Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat bahwa setiap manusia dalam perjalanan hidupnya akan
melewati suatu masa, dilahirkan, hidup di dunia dan meninggal dunia. Masa-masa
tersebut tidak terlepas dari kedudukan kita sebagai mahluk Allah, karena dari Allahlah kita berasal dan suatu saat kita akan kembali berada dipangkuan-Nya. Selain
sebagai mahluk individu manusia juga berkedudukan sebagai mahluk sosial bagian
dari suatu masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap anggota
masyarakat lainnya.
Agama Islam merupakan agama yang berusaha mengatur umatnya agar
tercipta keadilan, kesejahteraan dan kedamaian dengan melaksanakan norma-norma
hukum yang ada dalam agama. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku sampai
pada saat ini selain hukum perkawinan, hukum kewarisan juga merupakan bagian
dari hukum keluarga yang memegang peranan yang sangat penting, bahkan
menentukan dan

mencerminkan sistem kekeluargaan


yang berlaku dalam

masyarakat.1
Hukum kewarisan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan
manusia, khususnya dalam hal keluarga. Hal ini disebabkan karena setiap manusia
akan mengalami suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam hidupnya dan
1

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, Cetakan V, Tintamas,
Jakarta, 1981, Hal 1.

1

Universitas Sumatera Utara

2

merupakan suatu peristiwa hukum yang terakhir pula dalam hidupnya, yaitu
meninggal dunia. Dalam suatu peristiwa hukum meninggal dunia maka dengan
sendirinya akan menimbulkan suatu akibat hukum yaitu mengenai pengurusan hak

dan kewajiban bagi orang yang ditinggalkannya. Penyelesaian dan pengurusan hak
dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggal dunia
seseorang diatur oleh hukum kewarisan.2 Termasuk pula ke dalam hak dan kewajiban
tersebut adalah pengurusan harta dari orang yang meninggal dunia.
Peristiwa hukum meninggalnya seseorang adalah suatu peristiwa yang pasti
dan dapat dibuktikan dengan adanya jasad si meninggal dan disaksikan oleh para
keluarga. Masalah kemudian timbul apabila orang yang akan diurus hak dan
kewajibannya dan termasuk pula hartanya tidak jelas keberadaannya dan tidak ada
kabar mengenai keadaannya, maupun mengenai hidup matinya orang tersebut dan
dapat dikatakan sebagai orang hilang. Kejadian ini menimbulkan polemik kepada
orang-orang yang memiliki hak dan kewajiaban sebagai orang yang ditingalkan.
Beberapa kasus mengenai orang hilang dapat dikarenakan adanya suatu
keadaan seperti saat terjadinya revolusi atau peperangan pada suatu negara, dan
berpotensi menimbulkan suatu keadaan orang-orang yang ada dalam kondisi tersebut
memilih untuk pergi meninggalkan daerah asalnya demi menghindari peperangan.
Selain itu hilangnya seseorang juga dapat terjadi dikarenakan kecelakaan atau
peristiwa bencana alam.

2


M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan
Menurut KUHPer (BW), Sinar Grafika,Jakarta, 1991, Hal 2

Universitas Sumatera Utara

3

Hukum Islam menyebut orang hilang sebagai mafqud, namun dalam
menetapkan seseorang berstatus sebagai mafqud memiliki aturan-aturan tersendiri.
Mafqud adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup atau
matinya. Orang ini sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti
keberadaannya apakah masih hidup atau tidak oleh keluarganya.3
Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat penting, karena penetapan
inilah yang akan digunakan untuk mengetahui posisi mafqud dalam hal memperoleh
hak dan kewajiban kewarisan.4 Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya
memerlukan kejelasan status tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan
masih hidup atau sudah meninggal dunia ) agar jelas hukum kewarisan dan harta
warisannya, dan jika sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai
statusnya.5
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti

hilang. Menurut para Faradhiyun, Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah
lama pergi meninggalkan tempat tinggalya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak
diketahui tentang hidup dan meninggal dunia.
Dalam kajian fikih Islam, penentuan status mafqud, apakah yang bersangkutan
masih hidup atau sudah meninggal dunia sangat penting karena menyangkut banyak

3

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, Cetakan II,2005, Hal

132
4
Akhmad Faqih Mursid, Arfin Hamid, Muammar Bakry, Penyelesaian Perkara Mafqud di
Pengafilan Agama, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Jurnal Universitas Hasanuddin,
Makassar, Hal 5.
5
Abdul Manaf (Hakim Tinggi Pengadilan Agama Medan), Yurisdiksi Peradilan Agama
dalam Kewarisan Mafqud, www.pa-bengkulukota.go.id, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara


4

aspek, antara lain dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak
mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai
dzawil asobah. Sedangkan sebagai pewaris, tentu ahli warisnya memerlukan
kejelasan status meninggal dunianya, karena status ini merupakan salah satu syarat
untuk dapat dikatakan bahwa kewarisan mafqud bersangkutan sebagai telah terbuka.6
Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau meninggal
dunia), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan
menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan
bukti-bukti bahwa ia telah meninggal dunia. Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang
yang hilang (mafqud) dalam waktu yang lama dan tidak diketahui apakah ia masih
hidup atau sudah meninggal dunia, maka orang tersebut harus dihukumi hidup sampai
diketahui dengan pasti. 7
Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu,
menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan
hukum lain. Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan
terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena
itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status

hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk
menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan
bahwa orang hilang telah meninggal dunia atau belum.8
Dalam suatu perkara mafqud, pihak yang ingin mengajukan permohonan
penetapan mafqud, dapat mengajukan permohonannya kepada Pengadilan Agama.

6

Ibid
Akhmad Faqih Mursid, op.cit, Hal 7
8
Ibid
7

Universitas Sumatera Utara

5

Perkara mafqud merupakan salah satu wewenang atau kompetensi dari Pengadilan
Agama.Wewenang ini sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu :

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sadaqah
dan Ekonomi Syariah”
Pasal 96 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga dijadikan sebagi acuan,
sebagaiman dijelaskan dalam pasal tersebut yaitu :
“Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri atau suaminya
hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian meninggal dunia yang hakiki
atau meninggal dunia secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama”.
Selain pasal di atas, secara fikih untuk menentukan keadaan dan jangka waktu
bahwa seseorang itu dianggap sebagai telah mafqud menjadi kewenangan hakim
lembaga peradilan (hakim), bukan kewenangan lembaga lain, apalagi orang perorang.
Hakim dalam memutuskan seseorang yang mafqud telah meninggal dunia dalam
keadaan sebagai berikut:9
a.

Yang bersangkutan hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai
telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak atau dalam keadaan perang.

b.


Yang bersangkutan pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernahkembali.
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah

9

Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah, Ahkamul Mawarits, Dirosah Tatbiqiyyah, 1400
Masalah Mirotsiyyah Tasymulu Jami'a Halatil Mirotsi, Darussalam, 2005, Hal 543

Universitas Sumatera Utara

6

meninggal dunia setelah berlangsung tenggang waktu 40 tahun sejak
kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
c.

Yang bersangkutan hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan bisnis. Dalam
kasus ini hakim memutuskan kematian yang bersangkutan berdasarkan
pertimbangan sendiri).

Kemudian terdapat dua pendapat mengenai diputuskannya orang hilang yaitu,

ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini
sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup. Atau
diserahkan pada petimbangan hakim.
Bukan hanya dalam kajian fikih Islam saja penentuan soal wafatnya mafqud
ini menjadi kewenangan hakim. Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menentukan
demikian. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 171 huruf b yang
menyatakan bahwa :
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal duniaatau yang dinyatakan
meninggal

dunia

berdasarkan

putusan

pengadilan


beragama

Islam,

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”
Selain itu dalam Buku II juga telah secara tegas dinyatakan bahwa salah satu
muatan yurisdiksi voluntair Pengadilan Agama (PA) adalah soal permohonan agar
seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud.10 Untuk mengetahui keadaan status ahli
waris yang mafqud tersebut, makaperkara ini diserahkan kepada hakim Pengadilan

10

Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II,
edisi 2008.

Universitas Sumatera Utara

7

Agama untuk memberikan penetapan dengan memperhatikan kemaslahatan baik

untuk si mafqud sendiri atau untuk ahli waris yang lain, yang dalam penetapannya,
seorang hakim harus menggunakan alasan-alasan yang jelas. Sehingga nantinya dapat
memberikan implikasi secara jelas atas hilangnya ahli waris tersebut.
Permasalahan mafqud sendiri dapat terjadi karena diluar kuasa manusia,
karena Allah yang mengatur setiap kejadian di muka bumi ini. Mafqud dapat terjadi
karena orang yang telah pergi dari tempat tinggal atau kampung halamannya dan
meninggalkan semua keluarganya, namun tidak ada kabar apapun mengenai kondisi
orang tersebut di perantauan. Tidak diketahui keadaan hidup atau matinya. Mafqud
juga dapat terjadi dalam suatu peristiwa kecelakaan atau musibah kejadian alam yang
menelan banyak korban jiwa, dan tidak dapat diidentifikasi atau diketahui apakah
masih hidup atau tidak.
Penelitian ini mengambil kasus khusus yang terjadi di Aceh pada 26
Desember 2004 yaitu, kejadian tsunami yang menelan banyak korban. Di mana tidak
semua korban dapat diindentifikasikan identitasnya, sehingga tidak diketahui apakah
masih hidup atau sudah meniggal dunia. Karena terdapat beberapa kejadian di mana
korban yang selamat, terseret jauh bahkan sampai ke Luar Negeri. Pada Pengadilan
Agama (PA) di Banda Aceh (selanjutnya disebut Mahkamah Syariah, karena di Aceh
memiliki kekhususan dalam penyebutan untuk Pengadilan Agama), terdapat beberapa
perkara permohonan penetapan mafqud untuk seseorang dan permohonan untuk
penetapan ahli waris.

Universitas Sumatera Utara

8

Sebagaimana terdapat pada kasus di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh
kasus Nomor 137/Pdt.P/2013/MS-Bna, dimana pemohon memohon kepada ketua /
Majelis Hakim Syari’ah Kota Banda Aceh untuk menjatuhkan penetapan

yaitu

menetapkan si mafqud telah meninggal dunia pada tanggal 26 Desember 2004 akibat
gempa bumi disertai gelombang tsunami, dan menetapkan pemohon/ahli waris untuk
dapat mengurus dan membalikkan namakan nama pada sertifikat hak milik tanah
nomor: 2020 Desa Lampaseh menjadi nama pemohon/ahli waris, Pemohon telah
mengajukan permohonan yang diterima dan di daftar di Kepaniteraan Mahkamah
Syari’ah Banda Aceh tanggal 5 Juni 2013 dan telah terdaftar dibawah register Nomor
137/Pdt.P/2013/MS-BNA, yang dimaksudnya sebagaimana dapat dilihat dalam
berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, Bahwa pada tanggal 26
Desember 2004 telah meninggal dunia saudara kandung Pemohon bernama X akibat
gempa bumi disertai gelombang tsunami, semasa hidup anak kandung keempat
mempunyai satu istri bernama NL binti UM dan meninggal dunia pada saat gempa
bumi disertai gelombang, dalam perkawinan antara anak kandung keempat dengan
NL binti UM tidak dikaruniai anak, ayah kandung dari anak keempat yang bernama
ZZ bin IU dan ibu kandung dari anak keempat bernma R binta P. Keduanyatelah
meninggal dunia sebelum tragedi gempa bumi dan gelombang tsunami melanda Kota
Banda Aceh; Bahwa dari perkawinan ZZ bin IU dengan R binti P dikaruniai anak
kandung sebanyak 7 (tujuh) orang, masing-masing yang telah meninggal dunia dan
masih hidup adalah :

Universitas Sumatera Utara

9

1) Anak kandung pertama ( meninggal dunia)
2) Anak kandung kedua (meninggal dunia)
3) Anak kandung ketiga ( meninggal dunia)
4) Anak kandung keempat ( meninggal dunia saat gempa tsunami)
5) Anak kandung kelima ( meninggal dunia)
6) Anak kandung keenam (masih hidup)
Bahwa setelah meninggal dunia anak kandung keempat, ahli waris yang
ditinggalkan dan masih hidup adalah :
1) Pemohon
2) Anak kandung keenam
Bahwa Pemohon mengajukan permohonan penetapan meninggal dunia serta
ahli waris untuk keperluan mengurus/membalik namakan sertifikat tanah atas nama
Almarhumah anak kandung keempat dengan sertifikat nomor : 2020 Desa Lampaseh
Aceh, Kecamatan Neuraxa, Kota Banda Aceh, menjadi nama Ahli Waris Pemohon
dan saudara dari pemohon bin ZZ.
Penentuan status orang hilang, apakah ia masih hidup atau telah meninggal
dunia amatlah penting. Karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban orang yang
hilang tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri. Untuk itu putusan
Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh terhadap perkara orang hilang tersebut sangat
menentukan bagi keluarganya. Karena dari penetapan Mahkamah SyariahKota Banda
Aceh tersebut akan menimbulkan akibat hukum, dimana salah satunya adalah tentang

Universitas Sumatera Utara

10

hak waris bagi orang hilang. Baik dalam posisinya sebagai pewaris, maupun dalam
posisi sebagai ahli waris.
Berdasarkan uraian di atas maka, penting untuk ditelititentang pengurusan
harta orang hilang (mafqud) menurut Hukum Islam, dengan judul: “ANALISIS
YURIDIS TENTANG TANGGUNG JAWAB TERHADAP PENGURUSAN
HARTA KEKAYAAN ORANG HILANG MENURUT HUKUM ISLAM” ( STUDI
PENETAPAN NOMOR 137/PDT.P/2013/MS-BNA)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka, dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap PengurusanHarta
Kekayaan Orang Hilang (Mafqud) Menurut Hukum Islam ?
2. Bagaimana Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Ahli Waris Terhadap Harta
Kekayaan Orang Hilang (Mafqud) Menurut Hukum Islam ?
3. Bagaimana Pertimbangan Hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh dalam
Penetapan Nomor 137/Pdt.P/2013/MS-BNA terhadap Harta Kekayaan Orang
Hilang ( Mafqud) ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah di atas maka,
penelitian ini memiliki tujuan untuk:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab terhadap pengurusan
harta kekayaan seseorang yang mafqud menurut hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

11

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dapat dilakukan ahli
waris terhadap harta kekayaan seseorang yang mafqud menurut hukum Islam.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Syariah
Kota Banda Aceh dalam Penetapan Nomor 137/Pdt.P/2013/MS-Bna terhadap
harta kekayaan orang hilang (Mafqud) .
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan serta sebagai literatur tambahan tentang harta kekayaan dan
waris, khususnya kepada tanggung jawab terhadap pengurusan harta kekayaan
orang hilang (mafqud) yang berdasarkan hukum Islam.
2. Secara praktis, penelitian ini adalah untuk menerapkan pengetahuan penulis
secara praktis dan diharapkan dari hasil penelitian ini agar masyarakat
mengetahui tentang tata cara penetapan orang hilang, tanggung jawab harta
orang hilang dan upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal menyangkut
harta kekayaan orang hilang (mafqud).
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah
dilakukan baik di kepustakaan penulilsan karya ilmiyah Magister Hukum maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan

Universitas Sumatera Utara

12

beberapa penelitian mengenai tanggung jawab terhadap pengurusan harta kekayaan ,
tetapi dibahas secara terpisah
1.

Tesis saudara Syuhada, NIM: 077005028/Magister Ilmu Hukum, dengan judul
analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan
harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya. Dengan
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pengaturan perluasan ketidakhadiran subjek hukum pada balai
harta peninggalan dan mengapa terjadi perluasan ketidakhadiran subjek
hukum tersebut ?
b. Bagaimanakah pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan yang
tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya ?
c. Bagaimanakah kendala dan upaya yang dilakukan balai harta peninggalan
dalam melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui
pemilik dan ahli warisnya ?

2.

Muhammad Iqbal, NIM 087011162/MKn dengan Judul Peran dan Tanggung
Jawab Baitul Mal Dalam pengelolaan Harta Kekayaan Tidak Diketahui Pemilik
dan Ahli Warisnya (Studi di Baitul Mal Kota Banda Aceh). Dengan
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pengaturan kedudukan dan kewenangan Baitul Mal Kota
Banda Aceh?
b. Bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan harta yang tidak diketahui pemilik
dan ahli warisnya di Baitul Mal Kota Banda Aceh?

Universitas Sumatera Utara

13

c. Hambatan-hambatan

apa sajakah

yang terjadi

terhadap

pelaksanaan

pengelolaan harta yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya tersebut ?
Penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keaslilan, karena belum ada yang melakukan penelitian yang
sama antara judul dengan permasalahan yang diambil dalam penelitian ini, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan
kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pemikiran atas butir-butir pendapat, atau teori,

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problematika) yang menjadi
perbandingan, pegangan teoritis.11Kerangka teori juga merupakan susunan dari
beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan
yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan12. Penelitian
hukum dalam tataran teori ini diperlukan bagi mereka yang ingin mengembangkan
suatu bidang kajian hukum tertentu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan dan
memperkaya pengetahuannya dalam penerapan aturan hukum. Sedangkan teori
adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi
merupakan

suatu abstraksi

intelektual

dimana pendekatan

secara

rasional

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal 80.
Muhammad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, , PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, Hal 72-73.
12

Universitas Sumatera Utara

14

digabungkan dengan pengalaman empiris13. Teori dipergunakan sebagai landasan
atau alasan mengapa suatu variable bebas tertentu dimasukan dalam penelitian.14
Selain itu teori bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang
sedang dikaji.
Menurut Shorter Oxford Dictonary, teori mempunyai beberapa defenisi yang
salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “ suatu skema atau sistem
gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari
sekelompok fakta atau fenomena suatu pernyataan tentang suatu yang dianggap
sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.
Maka teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang
dapat memenuhi kriteria yaitu :15
a.

b.

c.

d.

e.

Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek
sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui
pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas
sosiologis dan sosial;
Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus
diungkapkan melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan
pernyataan itu koheren dan kuat;
Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu
tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat
ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya;
Pernyataan itu haus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis
atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan
bentuk substansi atau eksistensinya
Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat
digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang
mereka coba terangkan;

13

M.Solly. Op.Cit., Hal 27
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta,Jakarta, 2003. Hal 192.
15
H.R.Otje Salman dan Anton F.Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, , Bandung,
2004,Hal 21.
14

Universitas Sumatera Utara

15

f.

g.

Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh
dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk
tingkah laku mereka sendiri.
Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu
harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan
dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan
yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.

Terkait dengan fungsi maupun kegunaan teori dalam suatu peneliatian
sebagaimana telah dijelaskan, maka teori yang digunakan sebagai landasan analisis
adalah Teori Kepastian Hukum dan Teori Kemashlahatan.
Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukum harus
memenuhi syarat-syarat, yaitu : 16
a. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten ;
b. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan
taat terhadapnya;
c. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut;
d. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan
hukm secara konsisten serta teliti sewaktu menyelesaikannya sengketa hukum;
e. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.
Seorang yang mafqud yang tidak diketahui keberadaannya apakah seseorang
itu masih hidup atau sudah meninggal dunia merupakan hal yang penting untuk
menentukan status hukumnya, karena menyangkut berbagai macam hal, diantaranya
adalah hukum keperdataan dan hukum kewarisannya. Terkait dalam kasus Perkara
Nomor 137/Pdt.P/2013/MS-Bna, untuk dapat mewujudkan suatu status hukum, maka
orang yang berkepentingan harus dapat melakukan suatu penetapan dari Mahkamah
Syariah agar harta kekayaan serta ahli waris yang masih hidup medapatkan kepastian
16

Jan Michiel Otto, “ Reele Rechtszekerheidin Ontwikkelingslanden”, Kepastian Hukum
Yang Nyata di Negara Berkembang, Penerjemah Tristam Moeliono, Cetakan Pertama, Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia, 2003, Hal 5

Universitas Sumatera Utara

16

hukum. Sehingga dengan adanya penetapan dari Mahkamah Syariah, maka harta
yang ditinggalkan oleh mafqud dapat diwariskan kepada ahli waris yang masih hidup.
Teori Kemashlahatan dikenal dalam konteks sistem Hukum Islam, digunakan
sebagai teori penerapan atau aplikasi dalam penerapan ini yang memiliki pandangan
bahwa dalam mewujudkan sesuatu lebih baik dilihat dari sejauh mana aturan itu dapat
memberikan manfaat yang terbanyak diantara banyak orang, artinya disamping
memberikan manfaat kepada banyak orang tetapi manfaat itu tidak bertentangan pula
dengan ketentuan Perundang-Undangan baik dalam konteks Hukum Nasional
maupun dalam Konteks Hukum Islam.
Teori Kemashlahatan adalah teori manfaat atau suatu pekerjaan yang
mengandung manfaat. Istilah ini dikemukakan ulama Ushul Fiqih dalam membahas
metode yang dipergunakan saat melakukan istinbath (menetapkan hukum
berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada nash).
Imam Al-Ghazali, ahli Fikih mazhab al-Syafi’I, seperti di kutip oleh
Zamakhsyari :
“Mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memlihara
tujuan-tujuan syarak”. Ia memandang bahwa suatu kemashlahatan harus
sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia. Alasannya, kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan
kepada kehendak syarak, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa
nafsu17
Selanjutnya, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan syara’ yang harus
dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,
17

Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqh dan Ushul FiqihCita pustaka Media
Perintis, Bandung, 2013, Hal 36.

Universitas Sumatera Utara

17

dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang intinya bertujuan
memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya dinamakan
mashlahat. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang
berkaitan dengan kelima aspek tujuan syarak tersebut juga dinamakan mashlahat.18
Dalam hal ini, Imam Asy-Syatibi, ahli ushul Fiqih mazhab Maliki,
mengatakan tidak dibedakan antara kemashlahatan dunia dan kemashlahatan akhirat,
karena apabila kedua kemashlahatan tersebut bertujuan untuk memelihara kelima
tujuan syarak diatas, maka keduanya termasuk ke dalam konsep mashlahat. Karena
menurut Imam Asy-Syatibi, kemashlahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah
SWT harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.19 Teori ini digunakan untuk
mengetahui bahwa penyelesaian dalam Putusan Kasus diatas harus benar-benar
membawa kemaslahatan bagi semua pihak.

2.

Konsepsi
Konsep merupakan sebuah hal yang penting dalam melakukan sebuah

penelitian. Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan Teori Observasi, antara abstrak dengan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.20
Konsep itu sendiri didefinisikan sebagai generalisasi dari sebuah fenomena yang ada.

18

Ibid,Hal 37.
As-Syathibi, Al-Muwafaqaat Fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 4, Hal 36.
20
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal 31

19

Universitas Sumatera Utara

18

Konsep ini ada sebagai penjelas atas fenomena-fenomena tertentu yang saat itu
sedang ada.21 Konsep menjadi penting karena pada dasarnya konsep itu sendiri adalah
sebuah ide yang bersifat abstrak yang mampu digunakan untuk mengklasifikasikan
dan menggolongkan sesuatu lewat suatu istilah atau rangkaian kata.
Disini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan
suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis, yang sering
sekali masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang
akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian22
Orang hilang atau dalam bahasa belanda disebut Afwezig merupakan orang
yang telah meninggalkan tempat tinggalnya untuk suatu jangka waktu yang relatif
lama, tanpa menunjuk orang lain untuk mewakili dan mengurus kepentingannya.23
Sedangkan dalam Islam, orang hilang atau yang disebut sebagai mafqud adalah orang
yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak diketahui lagi
tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup
atau sudah meninggal dunia.24 Jika seseorang pergi dan terputus beritanya, tidak
diketahui apakah ia masih hidup atau meninggal dunia, sedangkan seorang hakim
menetapkan bahwa ia telah meninggal dunia, maka yang demikian ini dinamakan
mafqud.25

21

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal 73
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal 298.
23
J. Satrio, S.H., Hukum Pribadi Bagian I (Persoon Alamiah), Cipta Aditya Bakti, Bandung,
1999, Hal 20.
24
Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah, Ahkamul Mawarits, Dirosah Tatbiqiyyah, 1400
Masalah Mirotsiyyah Tasymulu Jami'a Halatil Mirotsi, Darussalam, 2005, Hal 542.
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Penerjemah Nur Hasanuddin, Jilid 4, Pena Pundi Aksara,
Jakarta, 2004, Hal 510.
22

Universitas Sumatera Utara

19

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.26 Kemudian, harta warisan
adalah harta bawaan ditambah bagian untuk keperluan waris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
Pengertian dari waris sendiri adalah berasal dari bahasa Arab, dalam buku
Ensiklopedi Islam disebutkan, kata “waris “ berasal dari bahasa arab warisa-yarisuwarsan atau irsan/turas, yang berarti “mempusakai”, waris adalah ketentuan tentang
pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris, serta jumlahnya. Istilah
waris sama dengan faraid, yang berarti”kadar” atau “bagian”.27
Istilah ‘hukum Islam’ terdiri dari dua kata dasar ‘ hukum’ dan ‘Islam’. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan:
1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan
oleh penguasa atau pemerintah;
2. Undang-undang, peraturan, dan sebagainya, untuk mengaturpergaulan hidup;
3. Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang
tertentu, dan
4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan),
vonis
Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik

26

27

Lebih lanjut lihat dalam pasal 171 ( e ) KHI.
Azra, Azyumardi,Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005, Hal 263.

Universitas Sumatera Utara

20

peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa28. Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dan ada yang
tidak tertulis. Adapun kata kedua yaitu ‘ Islam’ adalah agama Allah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW, untuk disampaikan kepada umat manusia guna mencapai
kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Jadi hukum Islam adalah merupakan seperangkat norma atau peraturan yang
bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk mengatur tingkah laku
manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam bahasa sederhana hukum Islam
adalah hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian maka jenis penelitian

yang digunakan adalah yuridisnormatif, yaitu dengan mengkaji peraturan perundangundangan, teori-teori hukum dan yurisprudensi yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas29
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis karena hanya memaparkan obyek yang
diteliti, diselidiki dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan perundang-

28

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
diIndonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Edisi 5, Cet. V, 1996, Hal 8.
29
Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta,
1988,Hal 9.

Universitas Sumatera Utara

21

undangan yang menyangkut permasalahan yaituBagaimana Tanggung Jawab
Terhadap Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang (Mafqud) Menurut Hukum
Islam, Bagaimana Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Ahli Waris Terhadap Harta
Kekayaan Orang Hilang (Mafqud) Menurut Hukum Islam dan Bagaimana
Pertimbangan Hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh dalam Penetapan Nomor
137/Pdt.P/2013/MS-Bna terhadap Harta Kekayaan Orang Hilang (Mafqud).
2.

Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang memiliki

kekuatan hukum mengikat kedalam dan dibedakan dalam :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti Al-quran,
Hadist, Kitab Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Pemerintah yang
berhubungan dengan penelitian ini dan menjadi dasar hukum dalam penelitian
ini.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah dan hasil
penelitian sebelumnya.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petujuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

22

3.

Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi

kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
menelaah bahan kepustakaan atau dokumen-dokumen terkait. Studi ini meliputi
bahan hukum primer, sekunder dan tersier, selain itu akan dilakukan wawancara
dengan informan yaitu Hakim Mahkamah Syariah .
4.

Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan metode analisis

kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data atau
bahan-bahan hukum. Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni
berfikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan
menggunakan perangkat normatif.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

TINJAUAN HUKUM TENTANG PENETAPAN WALI ADHAL MENURUT HUKUM PERKAWINAN Tinjauan Hukum Tentang Penetapan Wali Adhal Menurut Hukum Perkawinan (Studi tentang Penetapan Nomor 005/Pdt.P/2012/PA.Skh).

0 7 17

Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998.

0 4 6

PEWARISAN HARTA KEKAYAAN ORANG YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA KARENA HILANGNYA PESAWAT MENURUT HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 1 1

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 1 17

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 0 3

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

1 2 29

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 0 4

ANALISIS YURIDIS TENTANG HARTA BERSAMA (GONO GINI) DALAM PERKAWINAN MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

0 0 12

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata - Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus P

0 0 23

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB BALAI HARTA PENINGGALAN SEMARANG SEBAGAI KURATOR DALAM MELAKUKAN PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA KEKAYAAN DEBITOR PAILIT - Unika Repository

0 0 12