BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata - Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus P

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917

  juncto Staatblad

  . 1924-557 yang diundangkan pada tanggal 1 Maret 1975 dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak berlaku juga bagi golongan

31 Timur Asing Tionghoa .

  Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pengangkatan anak. Pengangkatan anak di kalangan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut tradisi, seorang laki-laki harus mempunyai anak laki-laki

  32 untuk melanjutkan garis keturunannya.

  Pengangkatan atas 3 (tiga) orang anak di bawah umur yang berada di bawah perwalian Nyonya Amini Nurdin masing-masing bernama Viviani, Vincent dan Vernia Everlim menggambarkan bahwa pengangkatan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi mengharuskan mengangkat anak laki-laki. 31 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78. 32 I b i d, hal. 79.

  19 Semula pengangkatan anak bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa diharuskan mengangkat anak laki-laki. Namun dalam perkembangannya dimungkinkan pengangkatan anak perempuan yaitu berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963 tertanggal 29 Mei 1963 yang menetapkan tentang pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan anak angkat perempuan ini dipersamakan dengan anak angkat laki-laki.

  Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara

  33

  anak yang diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga apabila orangtua angkat meninggal dunia maka anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya tersebut.

  Akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian orangtua angkat adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orangtua angkat yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian

  34 hak dan kewajiban tersebut diatur oleh hukum kewarisan.

  Hukum kewarisan memuat ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para

  35 ahli warisnya.

33 Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum , CV. Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 52.

  34 35 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 1995, hal. 1

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8

  Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari dua jenis, yaitu ahli waris ab intestato (menurut undang-undang) dan ahli waris

  36 testamentair

  (menurut surat wasiat). Mengenai ahli waris, dalam KUH Perdata digolongkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :

  37

  1. Anak atau keturunannya dan isteri (suami) yang masih hidup;

  38

  2. Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris;

  39 3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas.

  40 4. Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai derajat ke enam.

  Sebagaimana diketahui bahwa masalah pengangkatan anak (adopsi) tidak diatur dalam KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata yang diatur hanyalah pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada BUKU I Bab

  XII bagian III Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 KUH Perdata. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan saat ini, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi sudah

  41 mencakup pengakuan anak dalam arti luas.

  Pengangkatan anak dalam hukum perdata barat dikenal dengan istilah adopsi yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi KUH Perdata yang memang tidak mengatur 36 Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan, Medan Pustaka Bangsa Press, 2010, hal. 23. 37 38 Pasal 852 KUH Perdata 39 Pasal 854, 856 dan 857 KUH Perdata 40 Pasal 853 KUH Perdata

Pasal 861 ayat 1 KUH Perdata

41 Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakata, 2007, hal.174.

  masalah adopsi. Adopsi yang termuat dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut di atas hanya berlaku untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Pasal 5 huruf a Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut menyebutkan,

  “Suami, istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis keturunan laki-laki, baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya dari seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat”.

  Pasal 6 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Yang boleh diangkat adalah anak tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak serta tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain”. Pasal 7 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “ Usia anak laki-laki yang diangkat harus 18 (delapanbelas) tahun lebih muda dari suami dan 15 (limabelas) tahun lebih muda dari istri. Pasal 10

  Staatsblad

  1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Adopsi harus dilakukan atas dasar kata sepakat, dan pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris”. Pasal 15 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak”. Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan”. Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya, akan tetapi secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat tionghoa adalah agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki- laki. “Selanjutnya Pasal 15 ayat (2) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. Disamping itu adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal demi hukum”.

  Akibat hukum pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai keluarga adoptan datang tidak hanya

  42 dari keluarga adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.

  43 Ada 3 (tiga) akibat hukum dari pengangkatan anak yaitu:

  a. Memberikan ketentuan bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya

  b. Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal, penderajatan keluarga sedarah dan semenda dalam bidang hukum perkawinan, Ketentuan pidana didasarkan atas keturunan, perhitungan biaya perkaradan penyanderaan, mengenai pembuktian dengan saksi, mengenai saksi dalam pembuatan akta otentik. Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi terputus, maka hal ini berakibat pula pada hukum waris, yaitu anak angkat tersebut tidak lagi mewaris 42 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Angkat Dalam Undang-Undang, Citra

  Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.192-193 43 I b i d , hal 194.

  dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Pasal 11 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah, “Anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekuensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsinya”. Anak adopsi dipersamakan kedudukan dan derajatnya dengan anak sah yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengadopsi anak tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya, khususnya di bidang hukum waris, dimana anak adopsi tersebut berhak mewarisi harta kekayaan orang tua yang mengadopsinya bersama-sama dengan anak sah yang

  44 dilahirkan dari perkawinan suami-istri yang mengadopsinya.

  Dalam kasus ini Viviani, Vincent dan Vernia Everlim selaku Anak Angkat yang sah diangkat berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri memiliki status dan kedudukan yang sama dengan anak kandung sehingga merupakan ahli waris golongan pertama. Artinya mereka akan menutup atau menghalangi hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.

44 Herwando Pramanto, Hak Mewaris Anak Angkat Menurut KUH Perdata, Pustaka Ilmu, Surabaya, 2006, hal.28.

  Golongan ahli waris ditetapkan secara berurutan tetapi tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewaris semua harta peninggalan pewaris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan kedualah yang berhak sebagai ahli waris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan kedua, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan ketigalah yang berhak mewaris. Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah tidak ada, maka negaralah yang mewaris semua harta

  45 peninggalan pewaris.

B. Perwalian Anak Di Bawah Umur

  Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia setiap orang dapat menjadi subyek hukum, akan tetapi ada subyek hukum yang tidak sempurna artinya bahwa subyek hukum itu hanya mempunyai kehendak tetapi tidak mampu untuk menuangkan kehendaknya di dalam perbuatan hukum. Subyek hukum yang tidak sempurna tersebut diantaranya adalah :

  a. Orang-orang yang belum dewasa/anak di bawah umur;

  b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 45 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, Bandung, hal. 266.

  46 c. Orang-orang perempuan (wanita dalam perkawinan).

  Mengenai subyek hukum yang tidak sempurna, yaitu orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 330 KUH Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur

  47

  21 tahun dan belum pernah kawin sebelumnya, sedangkan wanita dalam perkawinan sejak dikeluarkannya SEMA Nomor 03 Tahun 1963, maka kedudukan wanita dalam perkawinan dianggap cakap menurut hukum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Dalam hal anak angkat masih di bawah umur, maka ketika orangtua angkat meninggal dunia negara berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menjamin kepentingan anak-anak di bawah umur tersebut. Tanggungjawab negara terhadap anak-anak di bawah umur diwujudkan dengan menetapkan wali (perwalian) bagi anak-anak tersebut melalui penetapan Hakim. Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua sehingga pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-

  48 undang.

  49 Perwalian adalah pengawasan anak di bawah umur. Perwalian merupakan

  suatu perbuatan hukum yang melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban sehingga dalam pelaksanaannya dituntut harus sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Bahwa mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah 46 47 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Internusa, Bandung, 1994, hal. 341.

  R. Subekti dan R.Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 90 48 49 R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003, hal.42 Ibid, hal.53 kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana

  50

  diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab kelimabelas. Sistem perwalian menurut KUH Perdata dikenal beberapa asas, yakni :

1. Asas tak dapat dibagi-bagi

  (Ondeelbaarheid)

  51 Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali. Ini tercantum dalam Pasal 331

  KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Dalam setiap perwalian, hanya ada seorang wali, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 351 dan Pasal 361 KUH Perdata”.

  Selanjutnya Pasal 351 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “Bila wali ibu kawin, maka suaminya, kecuali jika ia dikecualikan atau dipecat dari perwalian, selama dalam perkawinan antara suami dan istri tidak ada pisah meja dan ranjang atau tidak ada memisah harta benda, demi hukum menjadi wali peserta dan disamping istrinya bertanggung jawab secara tanggung menanggung sepenuhnya atas segala perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Perwalian peserta suami berakhir bila ia dipecat dari perwalian atau si ibu berhenti menjadi wali”.

  Pasal 361 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Bila seorang anak belum dewasa yang berdiam di Indonesia mempunyai harta kekayaan di negeri Belanda atau di daerah jajahanya diluar Indonesia maka atas permintaan seorang pengurus di negeri Belanda dan didaerah jajahan tersebut. Dalam hal ibu wali tidak bertanggung jawab atas tindakan- tindakan pengurus itu. Pengurus dipilih dengan cara yang sama seperti wali.” Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa perwalian yang tidak dapat dibagi-bagi mengandung arti bahwa hanya ada 1 (satu) wali yang dapat ditunjuk untuk menjadi wali bagi anak-anak di bawah umur yang dimintakan yang ditunjuk

  50 51 Pasal 330 ayat 3 KUH Perdata

Pasal 331 KUH Perdata

  sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Wali untuk anak-anak di bawah umur yang sama tidak boleh dibagi kepada 2 (dua) wali sekaligus.

2. Asas persetujuan dari keluarga

  Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedangkan apabila pihak keluarga tidak datang meskipun telah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Pidana.

  Pengangkatan wali menurut KUH Perdata adalah:

  52 a. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama.

  Pasal 345 KUH Perdata menyatakan “apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekedar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”.

  Pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Apabila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

  

b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta

tersendiri

  Pasal 355 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa masing-masing orang tua, melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih 52 Pasal 345 sampai dengan Pasal 354 KUH Perdata berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut

  Pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain. Dengan kata lain, masing-masing orang tua yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim

  Pasal 359 KUH Perdata menentukan bahwa bagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.

  Macam–macam perwalian di dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata.

  53 1. Wali demi hukum.

  Perwalian ini muncul jika salah satu orang tua sudah meninggal, dan orang tua yang hidup terlama demi hukum akan menjadi wali bagi anak tersebut. Hal itu dimuat dalam Pasal 345 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”.

  Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. 53 Pasal 345 KUH Perdata Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

  54

2. Wali dengan penetapan pengadilan

  Perwalian ini muncul dikarenakan kedua orang tua meninggal dunia atau ada pemecatan terhadap orang tua. Maka dari itu oleh hakim untuk anak yang belum dewasa tersebut ditetapkan wali. Pasal 359 KUH Perdata menentukan bahwa semua

  minderjarige

  yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan.

  Dalam kasus penelitian ini Nyonya Amini Nurdin selaku nenek dari ketiga anak angkat dari Almarhumah Kartini dan Almarhum Sui Liong alias Ahok alias Suryadi Suwandi adalah sebagai wali yang ditetapkan melalui suatu penetapan pengadilan dalam hal ini adalah penetapan Pengadilan Negeri Medan Nomor 371/Pdt/P/2005/PN Medan tertanggal 20 Oktober 2005. Maka sesuai dengan Pasal 359 KUH Perdata maka Nyonya Amini Nurdin adalah sah sesuai hukum yang berlaku menjadi wali dari anak-anak angkat yang bernama Viviani, Vincent dan Verenia Everlim. Dalam Pasal 359 KUH Perdata tersebut menyebutkan bahwa bagi kalian anak belum dewasa yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orangtua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, pengadilan negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau menganggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda. 54 Pasal 359 KUH Perdata

  55

  3. Wali dengan surat wasiat

  Perwalian ini muncul berdasarkan surat wasiat yang ditulis oleh orang tua si anak. Pasal 355 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain. Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

  4. Wali soma ( Gezinj Voogd).

  Perwalian ini muncul jika terjadi pemecatan atau pencabutan dari kekuasaan orang tua.Tugas dari wali soma adalah mengawasi satu keluarga.Wali soma ini terjadi jika orang tua dari si anak dipecat namun si anak masih kecil dan tidak dimungkinkan untuk dipisahkan dari orang tua mereka. Maka dari itu si anak masih tetap dalam asuhan orang tua mereka walaupun orang tua si anak sudah dipecat, akan tetapi wali soma ini harus mengawasi anak tersebut.

  5. Wali Pengawas ( Weeskamer).

  Wali pengawas tidak mengawasi anak seperti wali–wali yang lain tetapi ia mengawasi wali–wali yang ada. Yang ditugasi menjadi wali adalah Balai Harta Peninggalan. 55 Pasal 355 ayat (1) KUH Perdata

  Dari defenisi tersebut terlihat perbedaan antara kekuasaan orang tua dengan perwalian, artinya terdapat perbedaan pokok antara kekuasaan orang tua dengan perwalian yaitu kekuasaan orang tua harus diberikan oleh kedua orang tua (ayah dan ibu). Jika perwalian diberikan pada salah satu orang tuanya saja atau orang lain.

  Apabila harus terjadi pengangkatan seorang wali, maka oleh balai harta peninggalan, baik sebelum maupun setelah pengangkatan itu harus diadakan tindakan-tindakan seperlunya guna pengurusan diri dan harta kekayaan si belum dewasa sampai perwalian itu mulai berlaku.

  Penetapan mengenai wali harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  a. Dalam hal orangtua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

  b. Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan Pengadilan.

  c. Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

  d. Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan. e. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana

  56 dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan Pengadilan dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk

  57 kepentingan yang terbaik bagi anak yang berada di bawah perwaliannya.

  Apabila seorang anak belum mendapat penetapan Pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau Lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu yang bertindak sebagai wali pengawas terhadap harta kekayaan anak tersebut untuk kepentingan si anak tersebut

  58 yang harus dilakukan melalui Penetapan Pengadilan.

  Wali yang telah ditunjuk oleh Pengadilan sebagaimana yang dimuat di dalam

  Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk

  

59

  kepentingan anak yang terbaik untuk anak. Dalam hal wali yang ditunjuk tersebut ternyata tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaan sebagai wali, atau wali yang ditunjuk tersebut meninggal dunia, maka status perwaliannya akan dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan Pengadilan.

  56 57 Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 58 Ibid 59 Ibid Ibid

  Mengenai perwalian KUH Perdata mengatur bahwa perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian itu tanpa bantuan atau izin tertulis dari

  60

  suaminya”. Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka bantuan dari

  61 pendamping (bijstand) dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.

  Pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata tersebut menyatakan : “Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”

  Dalam KUH-Perdata diatur beberapa kewajiban seorang wali sebagai berikut:

  62

1. Memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan. Apabila kewajiban ini

  tidak dilaksanakan wali maka ia dipecat dan diharuskan membayar biaya- biaya dan ongkos-ongkos.

  63 2. Mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya.

  64 3. Mengadakan jaminan.

  60 61 Pasal 332 b ayat (1) KUH Perdata 62 Pasal 332 b ayat (2) KUH Perdata 63 Pasal 368 KUH Perdata 64 Pasal 368 ayat (1) KUHPerdata

Pasal 335 KUH Perdata

  4. Menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan.

  65

  5. Menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak

  yang tidak memberikan hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin wali pengawas (Weeskamer).

  66

  6. Mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara.

  67

  7. Menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.

d. Berakhirnya Perwalian

  Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari 2 (dua) keadaan yaitu :

  68

  1) Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena : a. Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig)

  b. Matinya si anak

  c. Timbulnya kembali kekuasaan orangtuanya

  d. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui 2) Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena:

  a. Ada pemecahan atau pembebasan atas diri si wali 65 Pasal 338 KUH Perdata 66 Pasal 389 KUH Perdata 67 Pasal 392 KUH Perdata 68 Rusman Ali, Perwalian Menurut Hukum Perdata Indonesia, Media Ilmu, Jakarta, 2010, hal. 35 b. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 KUH Perdata) Syarat utama untuk pemecatan wali adalah karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri. Alasan lain yang dapat dimintakan untuk pemecatan atas wali didalam Pasal 382 KUH Perdata menyatakan :

  a. Jika wali berkelakuan buruk

  b. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya c. Jika wali dalam keadaan pailit

  d. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut e. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap

  f. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 368 KUH Perdata)

  g. Jika wali tidak memberikan pertanggungjawaban kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 372 KUH Perdata).

C. Pengurusan Terhadap Harta Milik Anak Di bawah Umur

  Salah satu jenis pewalian yang sah dikenal secara hukum dalam KUH Perdata adalah perwalian yang diangkat oleh hakim sebagaimana diatur di dalam Pasal 359 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “semua anak yang belum dewasa yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua dan yang diatur dalam perwalian yang sah akan ditunjuk seorang wali oleh pengadilan.” Hakim akan mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil keluarga sedarah (bloedvermanten) atau semenda atau periparan (aangehuwden).

  Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orangtua, dimulai dari saat orangtua itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.

  Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua. Berdasarkan

  Pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan. Adapun kewajiban wali adalah : Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harat Peninggalan. Pasal 368 KUH Perdata apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos- ongkos.

  1. Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (Pasal 386 ayat 1 KUH Perdata)

  2. Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 335 KUH Perdata)

  3. Kewajiban menentukan jumlah yang dapat digunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan (Pasal 338 KUH Perdata)

  4. Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer (Pasal 389 KUH Perdata).

  5. Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang Negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara (Pasal 392 KUH Perdata).

  6. Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.

  Pengawasan atas diri siapapun (orang yang menentukan perwalian) Dalam

  Pasal 383 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan “Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan”.

  Pasal 383 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan “…pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata”. Namun demikian pada keadaan tertentu pun ia dapat bertindak sendiri atau didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal pun ia itu akan menikah”.

  Pasal 385 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan bahwa, “barang-barang yang termasuk dalam pengawasan wali adalah berupa barang-barang yang dihadiahkan atau diwariskan kepada siapapun dengan ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus”.

  Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan, yaitu :

  1. Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena : a. Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig)

  b. Matinya si anak

  c. Timbulnya kembali kekuasaan orangtuanya

  d. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui

  2. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena : a. Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali

  b. Ada alasan pembebasan atau pemecatan dari perwalian (Pasal 380 KUH Perdata)

  Dari uraian di atas maka dalam kasus penelitian ini pihak yang berwenang dan berhak mengurus harta kekayaan anak angkat di bawah umur tersebut adalah Amini Nurdin yang merupakan nenek dari cucunya Viviani, Vincent dan Vernia Everlim, karena Amini Nurdin telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Medan sebagai wali dari ketiga anak angkat tersebut melalui penetapan pengadilan Nomor 371/Pdt/P/2005/PN Medan tertanggal 20 Oktober 2005. Dengan demikian seharusnya harta warisan yang ditinggalkan oleh orangtua angkatnya bernama Kartini dan Sui Liong alias A Hok alias Suryadi yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang Mandala Air Line pada tanggal 05 September 2005 yang lalu. Namun pada kenyataanya sebagian dari harta peninggalan berupa 1 (satu) potong emas muri batangan seberat 185 (seratus delapan puluh lima) gram atas nama Viviani beserta surat aslinya, 1 (satu) potong emas murni batangan seberat 179 (seratus tujuh puluh sembilan) gram atas nama Vincent beserta surat aslinya dan 1 (satu) potong emas murni batangan seberat 179 (seratus tujuh puluh sembilan) gram atas nama Vernia Everlim beserta surat aslinya berada ditangan Lim A Gek alias Agek. Ketiga emas batangan tersebut tidak dikembalikan kepada ahli waris yang sah yaitu ketiga anak angkat dari Kartini dan Sui Liong alias A Hok alias Suryadi, sehingga Amini Nurdin selaku nenek dari ketiga anak angkat tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru pada tanggal 31 Juli 2009 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Pekanbaru pada tanggal 3 Agustus 2009 dengan register perkara perdata Nomor 79/Pdt/G/2009/PN.PBR.

  Pengajuan gugatan oleh Amini Nurdin terhadap para tergugat yang menguasai harta dari anak-anak angkat tersebut berupa 3 (tiga) potong emas murni batangan seberat total 543 (lima ratus empat puluh tiga) gram diakibatkan karena tidak adanya niat baik dari pada tergugat untuk mengembalikan harta berupa emas murni batangan tersebut. Pihak tergugat secara KUH Perdata bukanlah merupakan pihak yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai wali yang sah dari ketiga anak angkat tersebut, sehingga para tergugat yakni Lim A Gek alias Agek dan Lim A Siong alias Asiong tidak berhak untuk menguasai harta berupa emas murni batangan dari ketiga anak angkat tersebut. Oleh karena itu, Amini Nurdin sebagai nenek dari ketiga anak angkat tersebut berusaha untuk mengembalikan harta warisan yang merupakan hak milik dari ketiga anak angkat tersebut melalui jalur hukum yakni dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.

  Meskipun para tergugat khususnya para tergugat II yakni Lim Asiong alias Asiong menyatakan dirinya juga ikut bertanggung jawab atas semua harta dan urusan keluarga termasuk ketiga orang yang masih di bawah umur sesuai dengan akta keterangan ahli waris Nomor 32 yang dibuat dihadapan Notaris H. Asman Yunus pada tanggal 20 Oktober 2005, namun bukan berarti tergugat II Lim Asiong alias Asiong berhak menguasai harta warisan yang ditinggalkan oleh Almarhum Kartini dan Almarhum Sui Liong alias Ahok alias Suryadi Suwandi. Tergugat II Liem Asiong alias Asiong bukan merupakan wali dari ketiga anak angkat tersebut, karena itu Liem Asiong tidak memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan dari ketiga anak angkat tersebut, apalagi menguasai harta kekayaannya. Kewenangan dari pengurusan harta kekayaan dari ketiga anak angkat tersebut berdasarkan surat penetapan pengadilan Nomor 371/Pdt/P/2005/PN Medan tertanggal 20 Oktober 2005 adalah Amini Nurdin selaku nenek dari ketiga anak angkat tersebut.

Dokumen yang terkait

Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

1 129 146

Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

3 93 133

Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011)

2 91 130

Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 70

Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Adat, Hukum Perdata (Staatsblad 1917 No. 129) Dan Hukum Islam

0 26 5

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 49

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 31

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 1 30

BAB II PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga - Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

0 0 35

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

0 0 25