Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

23

BAB II
TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP PENGURUSAN HARTA
KEKAYAAN ORANG HILANG ( MAFQUD )

A. Dasar - Dasar Kewarisan Hukum Islam
1.

Pengertian Kewarisan Hukum Islam
Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari

seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.30 Hal ini berarti menentukan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian, masing-masing ahli waris,
menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dunia.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing31.
Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemiliknya harta peninggalan (tirkah)32 pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masingmasing.33 Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam adalah

hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masingmasing ahli waris, dan mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris
30

31
32
33

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta , 2008, Hal 33.

Lihat Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam
. Lihat Pasal 171 huruf d Kompilasi Hukum Islam
Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,Hal 1.

23

Universitas Sumatera Utara

24


dilaksanakan.34 Sedangkan menurut M.Idris Ramulyo, wirasah atau hukum waris
Islam adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum
faraidh.35
Ilmu waris disebut juga ilmu faraidh, diambil dari kata mafrudha yang
terdapat dalam QS AN-Nisa [ 4 ] : 7 , Mafrudha pada ayat diatas diartikan bagian
yang telah ditetapkan (bagian yang telah dipastikan kadarnya). Menurut al-Imam
Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husain , faraidh adalah bagian yang telah
ditentukan oleh syariat kepada yang berhak menerimanya, hal ini sesuai dengan hadis
Nabi Muhammad Saw : “sesungguhnya Allah Azza wazalla telah memberikan kepada
orang yang berhak akan haknya, ingatlah tidak ada wasiat kepada ahli warisnya”.
Menurut al-Qalyubi dan al-Umairah, faraidh adalah ilmu tentang masalah bagian
kewarisan. Faraidh merupakan jamak dari kata faridhah yaitu suatu bagian yang
telah ditentukan.
Sedangkan, pengertian ilmu faraidh menurut as-Syarbini yaitu ilmu yang
berhubungan dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara menghitung
yang dapat menghasilkan pembagian harta warisan, dan pengetahuan tentang bagianbagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap orang yang berhak
menerimanya. Dari beberapa defenisi diatas maka secara singkat ilmu faraidh atau

34


Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam , Raja Grafindo Persada ,
Jakarta, Hal 108.
35
M.Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Iin
Hill Co : Jakarta, 1991, Hal 42

Universitas Sumatera Utara

25

ilmu waris ialah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah meninggal
kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat Islam ( Al-Quran, AsSunah, ijma’, ulama dan ijtihad ulama ).
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Alquran dan hadis Rasullullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang
ditentukan Rasullullah. Dalam Al-quran yang paling banyak ditemui dasar atau
sumber hukum kewarisan itu dalam surat An-Nisaa’. Dalam surat An-Nisaa’, yang
mengatur mengenai kewarisan antara lain dalam ayat 1-14, 29, 32, 33 dan 176.
Dimana dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan jelas bahwa hukum-hukum waris
adalah ketentuan dari Allah36.
2.


Rukun Dan Syarat Mendapatkan Warisan

a.

Rukun Waris
Rukun waris yaitu :
1. Harta Warisan ( Mauruts atau Tirkah)
Harta warisan (mauruts) yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris
yang akan diterima oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya
perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat si pewaris. Dan
yang dimaksud dengan tirkahyaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli

36

Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-Ayat Al-Quran Yang Berkaitan Dengan
Hukum, Hasanah, Jakarta,2001, Hal 352.

Universitas Sumatera Utara


26

waris. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus
diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada : 37
a.

Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
Misalnya : benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang- piutang si
pewaris, surat-surat berharga, diyat, dan lain-lain yang dipandang sebagai
pemiliknya.

b.

Hak-hak kebendaan
Termasuk kelompok ini hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan
raya, sumber air minum, dan lain-lain

c.


Benda-benda yang berada ditangan orang lain38
Misalnya : barang gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari
orang lai, tetapi belum diserahterimakan kepada orang yang sudah
meninggal.

d.

Hak-hak yang bukan kebendaan
Misalnya : hak syuf’ah, yaitu hak beli yang diutamakan bagi tetangga, dan
memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau diwakafkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta warisan adalah harta bawaan

ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selam asakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,

37
38

Factur Rahman, Ilmu Waris, AL-Ma’arif Tth, Bandung, Hal 33.
M.Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, Hal 13


Universitas Sumatera Utara

27

pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.39Sedangkan yang dimaksud
dengan harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun haknya.
Berdasarkan defenisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harta
warisan merupakan harta netto ( harta bersih ), setelah dipotong biaya-biaya
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, biaya pembayaran hutang, dan pembayaran wasia pewaris. Dan harta
warisan itu dapat berbentuk harta benda milik pewaris dan hak-haknya.
2. Pewaris ( Muwarrist)
Pewaris Yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun
mati hukmy.40 Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan
hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati
sejati.41 Menurut Kompilasi Hukum Islam, pewaris adalah orang yang pada
saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
pengadilan agama, meninggalkan harta ahli waris dan harta peninggalan.42

Berdasarkan defenisi diatas, maka syarat terjadinya waris mewarisi adalah
adanya orang yang meninggal dunia yang disebut muwarrist, baik secara
haqiqi maupun secara hukmy.

39

Lihat Pasal 171 Huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Mardani, op,cit., Hal 26.
41
Fatchur Rahman, op.cit, Hal 36.
42
Lihat Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam.
40

Universitas Sumatera Utara

28

3. Ahli waris ( Warist )
Yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah

atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.43
Berdasarkan defenisi diatas, maka syarat ahli waris yaitu :
a.

Mempunyai hubungan darah dengan pewaris, misalnya anak kandung,
orang tua pewaris, dan seterusnya.

b.

Mempunyai hubungan perkawinan ( suami/istri pewaris).

c.

Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris.

d.

Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia pembunuh
pewaris.

Ketiga rukun waris diatas harus terpenuhi secara keseluruhan, bila tidak

terpenuhi salah satunya, waktu waris mewarisi tidak dapat dilaksanakan.
Seseorang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli waris sama
sekali, maka kegiatam waris mewarisi tidak dapat dilakukan.
b.

Syarat waris
Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu:44
1.

Matinya

muwarits,

mutlak

harus

dipenuhi.


Seseorang

baru

disebutmuwarist jika dia telah meninggal dunia, itu berarti bahwa, jika

43

Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
HR.Otje Salman dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung,
2010, Hal 4-5.
44

Universitas Sumatera Utara

29

seseorang memberikan harta kepadanya para ahli warisnya ketika dia
masih hidup, maka itu bukan waris.
2.

Hidupnya waris mutlak harus dipenuhi. Seseorang ahli waris hanya akan
mewarisi jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah
yang boleh jadi muncul berkaitan dengan hal ini antara lain ialah mafqud,
anak dalam kandungan, dan mati berbarengan.

3.
3.

Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.

Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faraid dalam literatur hukum

Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur
peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam mengandung
berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula pada hukum kewarisan yang
bersumber dari akal manusia. Disamping itu, hukum kewarisan Islam dalam hal
tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain.
Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karesteristik dari hukum kewarisan
Islam itu.
Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Qur’an
dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
sunahnya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

30

sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima,
kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas
yang dimaksud adalah :
a. Asas Ijibari
Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti
pengalihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal
atau kehendak yang akan menerima.45
Dijalankannya asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti
bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung
kepada kehendak dari pewaris atas permintaan dari ahli warisnya. Unsur
paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli
waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta kepada dirinya sesuai
dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut
hukum perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada
kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima
tidak berlaku dengan sendirinya.
Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan
memberatkan orang yang akan menerima warisan, karena menurut ketentuan
45

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Edisi Pertama, Cetakan Keempat, Kencana,
Jakarta, 2012, Hal 19.

Universitas Sumatera Utara

31

hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan
tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris.
Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan
harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajibannya melunasi utang itu
dengan hartanya sendiri. Dalam hukum perdata diberikan kemungkinan untuk
tidak menerima hak kewarisan , karena menerima akan membawa akibat
menanggung risiko untuk melunasi utang pewaris.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal
tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris
terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah
ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan
kematiannya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik
ahli waris itu suka menerima atau tidak.
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari
beberapa segi yaitu : 46
1.

Segi cara peralihan harta
Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang
mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali
oleh Allah SWT. Oleh karena itulah, kewarisan dalam Islam diartikan
dengan peralihan harta , bukan pengalihan harta, karena pada peralihan,

46

Ibid, Hal 21.

Universitas Sumatera Utara

32

berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada pengalihan tampak
usaha seseorang. Asas ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi
seseorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan
orang tua dan karib kerabat. Kata nasib berarti bagian, saham, atau jatah
dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain.
2.

Segi jumlah harta yang beralih
Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian atau ahli waris
dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris
maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau
mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat kepada apa
yang telah ditentukan itu.
Adanya unsur ijbari dari segi jumlah itu dapat dilihat dari kata
mafrudan yang secara etimologis berarti “ telah ditentukan atau telah
diperhitungkan.” Kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu fikih berarti
sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya. Dengan
menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya
ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa
secara mengikat dan memaksa.

3.

Segi kepada siapa harta itu beralih
Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka
yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti,

Universitas Sumatera Utara

33

sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya
dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang
berhak.
b. Asas Bilateral
Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang kemana arah peralihan
harta itu dikalangan ahli waris. Asas Bilateral dalam kewarisan mengandung
arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah47. Hal ini berarti
bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis
keturunan perempuan.
Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firma Allah SWT
dalam surat an-Nisa/4:7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa
seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari
pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan
dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar bagi
kewarisan Bilateral itu. Secara terperinci asas bilateral itu dapat dipahami
dalam ayat-ayat selanjutnya .
Dalam ayat 11 ditegaskan :
1.

Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan

47

Ibid, Hal 22

Universitas Sumatera Utara

34

seseorang laki-laki menerima sebanyak yang di dapat dua orang anak
perempuan.
2.

Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan, begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak
menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan

sebesar

seperenam

bagian,

bila

pewaris

ada

meninggalkan anak.
Dalam ayat 12 ditegaskan bahwa :
1.

Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki ahli
waris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau
perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.

2.

Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau
perempuan berhak menerima harta tersebut.

Dalam ayat 176 dinyatakan bahwa :
1.

Seseorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan ( ke atas dan
ke bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan
perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima
warisannya.

2.

Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas
dan ke bawah) sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki

Universitas Sumatera Utara

35

maupun perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak
mendapatkan warisannya.
Dari ketiga ayat diatas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu
beralih kebawah (anak-anak), keatas (ayah dan ibu), dan kesamping
(saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki
dan perempuan, dan menerima warisandari dua garis keluarga yaitu dari
garis laki-laki dan garis perempuan, inilah yang dinamakan kewarisan
secara bilateral.
c.

Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual diartikan
bahwa harta warisan dapat dibagi-bagiuntuk dimiliki secara perorangan48.
Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa
terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi ; kemudian jumlah tersebut
dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian
masing-masing.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan
kepada ketentuan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi
mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan
kewajiban, yang didalam ushul fikih disebut ahliyat-al-wujub. Dalam

48

Ibid 23

Universitas Sumatera Utara

36

pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri
harta warisan itu dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian.
Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan
al-Qur’an yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Ayat 7
surat an-Nisa’ secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun
perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya,
terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.
Dari ayat 7 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah bagian
untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta
yang ditinggalkan. Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk kepada ketentuan
yang berlaku.
d.

Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti
keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan
dalam melaksanakan kewajiban49. Perkataan adil banyak disebut dalam
Al-Qur’an yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam,
termasuk hukum kewarisan dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu
adalah titik tolak, proses, dan tujuan segala tindakan manusia.
Asas keadilan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak
yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding

49

Ibid, Hal 26.

Universitas Sumatera Utara

37

dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat.
e.

Asas Semata Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti
kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai
akibat dari meninggalnya seseorang50. Oleh karena itu, pengalihan harta
seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang
yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti, harta seseorang
tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama
orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala
bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain,
baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
meninggalnya, tidak termasuk kedalam kategori kewarisan menurut
hukum Islam.

4.

Sebab – Sebab Mendapatkan Warisan
Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah

menyangkut waris, kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan waris berasal dari kata
bahasa arab yaitu waris, secara gramatikal berarti yang tinggal atau yang kekal, maka
dengan demikian apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan
waris tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta
yang ditinggalkan oleh si mati, dan populer dengan diistilahkan ahli waris.
50

Ibid, Hal 30.

Universitas Sumatera Utara

38

Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab
seseorang mendapatkan warisan dari si mayit ( ahli waris ) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : 51
a. Karena Hubungan Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang
termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit.
b. Karena Adanya Hubungan Darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan
adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit,
keturunan ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7 yang
artinya : “ Bagi laki-laki ada bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada pula bahagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut pembagian yang telah ditetapkan. Ahli waris yang termasuk dalam
klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak
saudara, dan lain-lain.
c. Karena Memerdekakan Si Mayit
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayit
disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayit dari perbudakan dalam hal
ini bisa seorang laki-laki atau seorang perempuan.
51

Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Edisi Kedua, Sinar
Grafika , Jakarta, 2008, hal 55

Universitas Sumatera Utara

39

d. Karena Sesama Islam
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli
waris sama sekali ( punah) , maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul
Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
B. Orang Hiang (Mafqud) Dalam Kewarisan Islam
1.

Pengertian Orang Hilang (Mafqud)
Sebagai bangsa Indonesia yang di dasarkan atas salah sumber hukum yaitu

Hukum Islam meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu52yang dihadapkan pada
permasalahan yang begitu kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering
sekali menimbulkan kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu
yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan
yang terjadi apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud).
Permasalahan kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim
Pengadilan Agama harus menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang
mendukung adanya peristiwa Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama
atas status dari seseorang yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda
masih hidupnya bahtera rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum
Islam adalah untuk selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan
perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta
kasih sayang selama hidup.
52

Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, Hal 78.

Universitas Sumatera Utara

40

Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti
hilang. Menurut para Faradhiyun, Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah
lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak
diketahui tentang hidup dan meninggal dunia.53Selain itu, ada yang mengartikan
mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih
hidup atau sudah meninggal dunia.Mafqud adalah orang yang pergi meninggalkan
kampunghalamannya

dalam

tenggang

waktu

yang

relatif

lama,

tidak

diketahui

lagikeadaannya, baik mengenai tempat tinggalnya maupun mengenai hidup danmeninggal
dunia54

Orang hilang atau dalam fikih disebut “mafqud” adalah orang yang terputus
beritanya sehingga tidak diketahui hidup atau meninggal dunia.55 Orang ini
sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau
meninggal dunia. Sedangkan menurut bahasa mafqud merupakan ism maf’ul dari
lafadz faqadayafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu56.
2.

Syarat-Syarat Dan Keadaan Seseorang Dinyatakan Hilang (Mafqud)
Mengkaji hukum waris Islam khususnya berbicara penetapan mafqud tidaklah

bisa dilepaskan dari keberadaan empat mahzab yang mengilhami segala sendi
kehidupan dan perbuatan hukum umat Islam. Mahzab menjadi kajian utama dalam
memaknai ajaran agama Islam. Mahzab ini secara bahasa merupakan jalan atau
53

Facthur Rahman, op,cit, Hal 504.
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, Gaya
Media Pratama,Jakarta ,2008, Hal143.
55
Amir Syarifuddin, op,cit , Hal 135.
56
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AlQuran, 1973, Hal 642.
54

Universitas Sumatera Utara

41

tempat berjalan atau landasan serta dasar fiqih Islam. Mahzab berasal dari kata
”dzahaba”artinya jalan atau tempat yang dilalui. Sedangkan menurut istilah ulama
fiqih, mahzab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai.
Ada empat mahzab besar yang dianut dalam sejarah Islam sebagai landasan
Fiqih Islam dengan jumlah dalil-dalil sahih Rasullullah Saw. Yakni Mahzab Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Keempat Mahzab ini memberikan penegasan tentang
penetapan seseorang dinyatakan meninggal dunia setelah menghilang dalam rentang
waktu tertentu.
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal dapat
dinyatakan sebagai orang yang sudah mati denganmelihat orang yang sebaya
diwilayahnya (tempat dia tinggal).57 Apabila orang-orang yang sebaya
dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang
sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa
batasnya adalah 90 Tahun.
b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah 70 Tahun. Hal ini di
dasarkan pada lafazh hadist secara umum yang menyatakan bahwa umur umat
Muhammad saw antara 60 Tahun sampai 70 Tahun. Dalam riwayat lain, dari
Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam
hingga tidak dikenal rimbanya dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim
guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dengan yang dapat
mengenali keberadaannya atau mendapatkankan informasi secara jelas melalui
57

Muhammad Ali ash-Shabuni, Op.cit, Hal 177-178.

Universitas Sumatera Utara

42

sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan
buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi sitrinya selama 40 tahun
untuk menunggu. Bila masa 40 tahun telah usai dan yang hilang belum juga
diketemukan maka mulailah ia untuk menghitung iddahnya sebagaimana
lazimnya istri yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu 40 hari.
c. Mazhab Syafi’i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah 90
Tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang sebaya di wilayahnya.
Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi’i ialah
bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan
tetapi, cukup dengan apa yang dianngap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi’i,
seorang hakim berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang
sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu.
d. Mahzab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam
keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau
menjadi salah satu seorang penumpang kapal yang tenggelam, maka
hendaknya dicari kejelasannya selama 4 tahun. Apabila selama 4 tahun belum
juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh
dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh
masa iddahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa iddahnya yang
dijalaninya selesai.

Universitas Sumatera Utara

43

3.

Macam-Macam Orang Hilang (Mafqud )
Macam-macam orang hilang (Mafqud) yaitu :
a. Hilang di negeri Islam. Dalam hal ini istri diperbolehkan untuk menuntut cerai
dari suaminya.
b. Hilang di negeri Musuh (kafir). Mereka berpendapat bahwa hukumnya sama
dengan hukum orang tawanan, artinya istrinya tidak boleh dikawin dan harta
bendanya tidak boleh dibagi. Kecuali pendapat Asyhab yang mengatakan
bahwa hukum suami tersebut sama dengan hukum orang yang hilang di negeri
islam.
c. Hilang dalam perang Islam, yakni perang antar kaum Muslimin. Malik
berpendapat bahwa ia disamakan dengan orang yang mati terbunuh tanpa
harus menunggu. Pendapat lain mengatakan harus ditunggu berdasarkan dekat
atau jauhnya tempat terjadinya peperangan. Akan tetapi bagi Malik, masa
menunggu yang paling lama adalah satu tahun.
d. Hilang dalam peperangan dengan kaum kafir. Mengenai hal ini ada empat
pendapat. Pertama, hukumnya sama dengan hukum orang yang ditawan.
Kedua, hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh sesudah
menunggu masa satu tahun,kecuali jika ia berada disuatu tempat yang sudah
jelas, maka disamakan dengan hukum orang yang hilang dalam peperangan
dan tindak kekerasan yang terjadi antar kaum Muslimin. Ketiga, hukumnya
sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum Muslimin. Keempat,

Universitas Sumatera Utara

44

hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh berkaitan dengan
istrinya, dan sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum Muslimin
berkaitan dengan harta bendanya. Yakni harus ditunggu, baru sesudah itu
dibagi. 58
Sementara kalangan Ulama madzhab Hambali membagi mafqud menjadi
2 macam, yaitu:
a.

Hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat
yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara.

b.

Hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang
tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak
kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan yang seharusnya ia
kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau ia hilang antara dua pasukan
yang bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan
sebagainya.59

4.

Akibat Hukum Orang Hilang ( Mafqud ) Dalam Kewarisan Hukum Islam
Orang hilang (mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup

atau meninggal dunia, sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti
apakah masih hidup atau meninggal dunia. Orang hilang (mafqud) menjadi persoalan
dalam hukum kewarisan karena kepastian hidup atau meninggal dunia itu merupakan

58

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,jilid 2, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad
Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2007, Hal 514.
59
Mahmoud Syaltout dan M. Ali as sayis, Perbandingan Mahzab, diterjemahkan oleh
Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta, Hal 248-248.

Universitas Sumatera Utara

45

syarat pokok dalam kewarisan. Dalam kewarisan penting disyaratkan kepastian
kematian pewaris dan kepastian status hidupnya pewaris saat pewaris meninggal
dunia. Menyangkut status hukum orang hilang (mafqud) tentang kewarisan mafqud,
perlu diadakan pemisahan dalam kedudukannya : 60
a. Kedudukan mafqud sebagai pewaris
Kedudukan mafqud sebagai pewaris, para ulama sepakat bahwa mafqud
dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya
tidak bisa dibagikan kepada ahli waris

61

sampai ada berita yang jelas bahwa

ia benar-benar telah meninggal dunia atau divonis oleh hakim tentang
meninggal dunia nya.
b. Kedudukan mafqud sebagai ahli waris
Kedudukan mafqud sebagai ahli waris, bagian untuk mafqud ditahan dahulu
sampai

jelas

meninggal

dunia,

alasannyamafqud

masih

diragukan

kematiannya, dapat menimbulkan masalah, bila setelah dibagikan ternyata ia
masih hidup, kecuali bila sudah diyakini meninggal dunianya atau sudah ada
putusnya pengadilan yang memutus bahwa secara hukum mafqud telah
meninggal dunia
Selain itu akibat hukum dari orang hilang (mafqud) yang statusnya belum ada
kejelasan yaitu :62
a. Istri orang hilang (mafqud) tidak boleh dikawinkan
60

Mardani, Op,Cit., Hal 96-97.
Ibid
62
Suhrawadi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., Hal 66.
61

Universitas Sumatera Utara

46

b. Harta orang hilang tidak boleh diwariskan
c. Hak-hak orang hilang (mafqud) tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Ketidakbolehan ketiga hal diatas sampai orang yang hilang diketahui dengan
jelas statusnya, yaitu apakah orang hilang masih hidup atau meninggal dunia. Dan
apabila masih diragukan maka statusnya harus dianggap sebagai masih hidup sesuai
dengan keadaan semula. Menyangkut yang berhak untuk menentukan seseorang yang
hilang sudah meninggal dunia hanyalah hakim yaitu dengan adanya permohonan
penetapan orang hilang.
C. Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Harta Kekayaan Orang Hilang
(Mafqud)
1.

Pengertian Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan wajib

menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum
bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala
sesuatunya, dan menanggung akibatnya.63 Tanggung jawab secara etimologi adalah
kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai
akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan
sebagainya).64

63

Rissa, https://rissaurus.wordpress.com/2012/04/17/pengertian-tanggung-jawab-danpenerapannya/, diakses pada tanggal 6 Juli 2015.
64
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

Universitas Sumatera Utara

47

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.Tanggung jawab itu
bersifat kodrati,artinya sudah menjadi bagian hidup manusia,bahwa setiap manusia di
bebani dengan tangung jawab. Apabila di kaji tanggung jawab itu adalah kewajiban
yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat.
Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa
bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan
menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.
Menurut kamus Hukum ada 2 (dua) istilah Tanggung jawab yaitu liability (the
state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability
merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang
paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab
yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefenisikan untuk
menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi
tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab
terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan UndangUndang dengan segera atau pada masa yang akan datang.65 Sedangkan responsibility
berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan,

2002, Hal. 1139
65
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal. 335

Universitas Sumatera Utara

48

keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban
bertanggung jawab atas Undang-Undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau
sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya.66
2.

Teori Tanggung Jawab Hukum Terkait Dengan Tanggung Jawab Terhadap
Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang ( Mafqud )
Sebelum mafqud mendapatkan kejelasan status hukumnya maka para ahli

waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagiharta kekayaan yang
ditinggalkan,ahli waris harus bertanggung jawab memelihara dan menyimpan harta
yang ditinggalkan oleh seorang mafqud sampai adanya kejelasan status hukumnya.
Teori tanggung jawabliability sangat tepat jika dikaitkan dengan tanggung
jawab ahli waris terhadap harta kekayaan seorang mafqud, ahli waris harus
bertanggung jawab mengurus terhadap harta yang ditinggalkan, harta – harta tersebut
terlebih dahulu harus dimafqufkan atau dibekukan, tidak dapat dipergunakan atau
dibagi-bagi sampai ada penetapan dari hakim. Apabila seorang mafqud memiliki
usaha yang harus dijalankan dan dikelola, maka yang harus dilakukan ahli waris yang
ditinggalkan adalah :
a. Ahli waris harus mengelola atau menjalankan usaha yang dimiliki seorang
mafqud.
b. Ahli waris bertanggung jawab atas pekerjaan yang dibebankan kepadanya .
c. Keuntungan yang didapatkan setelah dikeluarkan untuk keperluan usaha dari
seorang mafqudharus disimpan dan tidak dapat dibagi-bagikan kepada ahli
waris.
66

Ibid, Hal 335.

Universitas Sumatera Utara

49

d. Ahli waris dapat diberi upah atas pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan
jabatannya.
Setelah adanya kejelasan seorang mafqud dinyatakan telah meninggal dunia
maka harta yang ditinggalkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh ahli
warisnya, yaitu ahli waris harus menunaikan terlebih dahulu sejumlah kewajiban
seperti diterangkan oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 175 ayat 1:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b. Menyelesaikan

baik

hutang-hutang

berupa

pengobatan,

perawatan

termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
c. Menyelesaikan wasiat pewaris.
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.Dengan demikian,
harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang
pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas.
Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal.
Bahkan bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli
warisnya tersebut.
Meski begitu, Pasal 175 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam dengan tegas telah
menerangkan bahwa “Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban
pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”.
Terkait masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh
sendiri adalah persoalan yang serius, mengingat di aceh memakai hukum Islam67.
67

Arskal Salim, Pertanahan, Kewarisan, dan Perwalian di Aceh Pasca Tsunami,
http/ml.scribd.com, di akses pada tanggal 2 Oktober 2015.

Universitas Sumatera Utara

50

Dalam ajaran Islam hutang piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi
diharuskan untuk hati-hati dalam menerapkannya, karena hutang bisa mengantarkan
seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam
neraka. Di dalam figh Islam,hutang piutang dikenal dengan istilah Al-Qadrh, makna
Al-Qadrh secara etimologi ialah Al-Qath’u yang berarti memotong, harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qadrh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang68.
Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam.
Adapun dalil yang menunjukkan di syariatkannya hutang piutang ialah :
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (eezeki) dan kepadanyanya lah kamu
dikembalikan ( QS.Al-Baqarah: 245).
Adapun hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan
bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci , karena Nabi Muhammad Saw pernah
berhutang. Meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam
syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang
semaksimal mungkin jika tidak mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam
keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang menurut Rasullulah merupakan
penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat
membahayakan akhlak, sebagaimana sabda Rasullulah Saw : “ Sesungguhnya

68

Muhammad,
Adab
Hutang
Piutang,
sunnah.com/artikel/katagori/muamalah/htm,di akses pada tanggal 4 Oktober 2015.

http/alquran-

Universitas Sumatera Utara

51

seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji
lantas memungkiri” (HR.Bukhari). selanjutnya Rasullulah Saw pernah menolak
mensholatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan
tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda : ” Akan
diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutang” ( HR.Muslim).
Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan karena dapat
membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

TINJAUAN HUKUM TENTANG PENETAPAN WALI ADHAL MENURUT HUKUM PERKAWINAN Tinjauan Hukum Tentang Penetapan Wali Adhal Menurut Hukum Perkawinan (Studi tentang Penetapan Nomor 005/Pdt.P/2012/PA.Skh).

0 7 17

Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998.

0 4 6

PEWARISAN HARTA KEKAYAAN ORANG YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA KARENA HILANGNYA PESAWAT MENURUT HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 1 1

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 1 17

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 0 3

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 0 22

Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137 Pdt.P 2013 Ms-Bnd)

0 0 4

ANALISIS YURIDIS TENTANG HARTA BERSAMA (GONO GINI) DALAM PERKAWINAN MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

0 0 12

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata - Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus P

0 0 23

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB BALAI HARTA PENINGGALAN SEMARANG SEBAGAI KURATOR DALAM MELAKUKAN PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA KEKAYAAN DEBITOR PAILIT - Unika Repository

0 0 12