Arti Penting Poundsterling bagi Inggris

Arti Penting Poundsterling bagi Inggris dalam Uni Eropa
Eka Deviana Putri (0911240049)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Abstrak
Pasca Perang Dunia II, beberapa negara di Eropa Barat membentuk sebuah
integrasi Eropa atau dikenal dengan European Union (EU). Pada awalnya mereka
bekerjasama untuk meningkatkan ekonomi untuk membayar kerugian yang
diakibatkan oleh Perang Dunia II. Dengan ide kerjasama tersebut, EU dapat
menghindari terjadinya konflik dalam kawasan karena negara-negara di Eropa
menjadi saling tergantung secara ekonomi, sehingga menciptakan perdamaian,
stabilitas, dan kemakmuran. Kemudian kerjasama itu berkembang menjadi sebuah
pasar tunggal di Eropa yang luas dimana orang, barang, jasa dan modal bergerak
bebas diantara negara-negara anggota, disebut sebagai common market. EU
bahkan menetapkan Euro sebagai mata uang bersama (common currency). Saat ini
17 dari 28 negara anggota EU menggunakan Euro sebagai mata uang resmi
negaranya, dikenal sebagai Eurozone. Sedangkan, 10 negara lain masih
mempertahankan mata uang masing-masing sebagai mata uang resmi, salah
satunya adalah Inggris. Meskipun Inggris merupakan anggota EU yang telah ikut
serta menciptakan integrasi secara ekonomi, politik, dan sosial, Inggris memiliki
alasan tersendiri untuk mempertahankan poundsterling sebagai mata uang resmi

negaranya.
Kata kunci: European Union (EU), Euro, Inggris, Poundsterling

Latar Belakang
European Union (EU) adalah sebuah integrasi dimana negara-negara
anggotanya melakukan kerjasama ekonomi, politik, dan sosial. Tujuan awal EU
dibentuk pasca Perang Dunia II adalah untuk meningkatkan kerjasama ekonomi.
Negara-negara yang melakukan perdagangan secara ekonomi menjadi saling
bergantung, sehingga dapat menghindari konflik. Selain itu, negara-negara di
Eropa menghadapi dua musuh yang sama yaitu ancaman eksternal dari Uni Soviet
selama Perang Dingin dan ancaman internal akan terjadinya perpecahan dan
konflik yang dapat menyebabkan perang dan instabilitas di Eropa seperti masa

lalu (Balaam & Veseth, 2001, p. 232). Saat ini EU telah menciptakan perdamaian,
stabilitas, dan kemakmuran di Eropa selama lebih dari lima puluh tahun.
Pada tahun 1957, EU atau Uni Eropa secara formal dimulai sebagai EEC
(European Economic Community) yang berfokus pada kerjasama ekonomi antar
negara. Pada tahun 1980-an, berubah menjadi EC (European Community) karena
fungi politik dan sosial berkembang. Kemudian berubah lagi pada tahun 1993
menjadi EU (European Union), suatu bukti bahwa integrasi telah berkembang dari

bidang ekonomi menuju bidang politik dan sosial. Integrasi ekonomi Uni Eropa
tidak terbentuk dalam waktu yang singkat dan instan. Biasanya suatu integrasi
ekonomi melalui beberapa tahapan atau level, yaitu: (Appleyard & Alfred, 1998,
p. 353- 355)
1. FTA (Free Trade Area)
Semua anggota menghapus tarif pada produk masing-masing, sementara
pada saat yang sama setiap anggota mempertahankan kebebasannya dalam
membuat kebijakan perdagangan dengan nonanggota. Dengan kata lain,
anggota FTA dapat mempertahankan tarif individu dan hambatan
perdagangan lain kepada negara non anggota.
2. CU (Custom Union)
Semua tarif antar anggota dihapus dan mereka mengadopsi kebijakan
komersial eksternal bersama terhadap non anggota.
3. CM (Common Market)
Semua tarif antar anggota dihapus dan mereka mengadopsi kebijakan
komersial eksternal bersama terhadap non anggota, dan semua hambatan
untuk pergerakan faktor ekonomi antara negara-negara anggota dihapus.
4. EU (Economic Union)
Mencakup semua fitur dari CM tetapi juga menyiratkan persatuan lembaga
ekonomi dan koordinasi kebijakan ekonomi seluruh negara anggota.

Ketika Economic Union mengadopsi mata uang bersama, hal ini juga telah
menjadi sebuah kesatuan moneter.
Berdasarkan tahapan itu integrasi ekonomi Uni Eropa telah sampai pada
tahap keempat. Pada awalnya kerjasama ekonomi hanya dilakukan oleh beberapa
negara di Eropa dengan membentuk ECSC (European Coal and Steel Community)

dimana free trade hanya berlaku untuk komunitas tertentu, dan perdagangan
dilakukan utamanya pada coal dan steel. Pada tahap FTA (Free Trade Area),
integrasi ekonomi di Eropa ditandai dengan terbentuknya EFTA (European Free
Trade Area). Negara-negara anggota sepakat untuk menghilangkan hambatan
dagang hanya untuk sesama negara angora EFTA, serta menggunakan tarif yang
berbeda untuk negara non anggota EFTA. Tahap selanjutnya yaitu CU (Custom
Union) dimana mereka mulai menerapkan tariff yang sama untuk negara non
anggota AFTA dan penyeragaman pabean.
Pada tahap CM (Common Market), terjadi pergerakan bebas orang,
barang, jasa dan modal diantara negara-negara anggota yang dikenal dengan
istilah “four freedom of movements”. Itulah sebabnya orang-orang yang ingin
melakukan perjalanan ke negara anggota lain tidak memerlukan visa. Pada tahap
EU (Economic Union), European Union berusaha menerapkan EMU (Economic
and Monetary Union) yaitu penyeragaman kebijakan moneter dan fiskal antar

negara anggota. Tahapan inilah yang akhirnya membuat Uni Eropa meluncurkan
mata uang tunggal yaitu Euro (€). Dalam hal ini, Perancis merupakan negara yang
menginginkan monetary union, sedangkan Jerman lebih tertarik pada political
union. Kedua negara ini merupakan pelopor kesatuan Eropa dan mendominasi di
Uni Eropa.
Euro (€) adalah bukti nyata dari integrasi Eropa dimana common currency
digunakan oleh 17 dari 28 negara anggota Uni Eropa. Manfaat common currency
tersebut sangat jelas bagi orang-orang yang bepergian ke luar negeri atau belanja
online di situs yang berbasis di negara-negara anggota Uni Eropa. Euro senidiri
diluncurkan sejak 1 Januari 1999 sebagai mata uang virtual untuk pembayaran
tunai dan tujuan akuntansi. Uang kertas dan koin diperkenalkan pada tanggal 1
Januari 2002. Lebih dari 332 juta orang di seluruh dunia menggunakan mata uang
yang dipegkan ke Euro. Berikut adalah 17 dari 28 negara anggota EU yang
dikenal sebagai Eurozone (www.europa.eu):









Austria
Belgia
Siprus
Estonia









Finlandia
Perancis
Jerman
Yunani












Irlandia
Itali
Luxemburg
Malta










Portugal
Slovakia
Slovenia
Spanyol

Belanda
Pada akhir Perang Dingin, EU atau Uni Eropa dihadapkan pada empat

masalah yang mengancam persatuan dan integrasi yang telah diciptakan, yaitu:
(Balaam & Veseth, 2001, p. 245)
1. The Ever-Wider Union
Bagaimana mengakomodasi tuntutan baru untuk keanggotaan EU tanpa
mengaleniasi anggota EU saat ini.
2. The challenge of the Regions
Apa yang harus dilakukan mengenai tuntutan otonomi daerah yang lebih
besar dalam EU.
3. The Security Issue

Bagaimana menangani masalah kemanan secara efektif selain ancaman
Soviet.
4. The German Problem
Bagaimana memastikan bahwa Jerman tetap berkomitmen pada kesatuan.
Secara teori monetary union dianggap mampu memecahkan empat masalah
tersebut dalam satu solusi. Hal ini didasarkan pada persepsi dimana sebuah mata
uang tunggal akan membuat pasar Eropa menjadi lebih efisien dan ekonomi Eropa
lebih dinamis. Dengan demikian masalah Jerman akan terselesaikan karena
Jerman akan terikat oleh jaringan kemungkinan terkuat seluruh Uni Eropa yaitu
uang dan akhirnya kerja sama politik akan dicapai (Balaam & Veseth, 2001, p.
247). Ini berarti Jerman akan mendapatkan political union yang diinginkan disaat
Perancis mewujudkan monetary union.
Bagi Uni Eropa mata uang tunggal menawarkan banyak keuntungan.
Misalnya saja, menghilangkan fluktuasi nilai tukar dan biaya pertukaran karena
lebih mudah bagi perusahaan untuk melakukan perdagangan lintas batas dan
ekonomi yang lebih stabil. Selain itu, ekonomi terus tumbuh dan konsumen

memiliki lebih banyak pilihan. Sebuah mata uang tunggal juga mendorong orang
untuk melakukan perjalanan dan berbelanja di negara-negara lain. Pada tingkat
global, Euro memberikan Uni Eropa pengaruh lebih besar karena merupakan mata

uang internasional kedua yang penting setelah dolar AS (www.europa.eu).
Di samping itu, Uni Eropa ingin mengurangi ketergantungan terhadap
dolar AS dimana dahulu Amerika Serikat memberi bantuan finansial setelah
Eropa mengalami kehancuran akibat Perang Dunia II. Inilah yang membuat
negara-negara Eropa tergantung pada perkenomian dan dolar AS, sehingga jika
terjadi krisis yang mempengaruhi nilai dolar AS maka mereka juga akan
menerima akibatnya. Selain mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS,
perekonomian Eropa juga menjadi lebih stabil dan terhindar dari spekulan.
Eropa juga telah memiliki bank sentral yaitu European Central Bank
(ECB) yang bertanggung jawab atas masalah moneter di Uni Eropa. Tujuan
utamanya adalah untuk menjaga stabilitas harga. ECB juga menetapkan sejumlah
suku bunga acuan untuk daerah Euro. Meskipun masih dikenakan pajak oleh
negara-negara Uni Eropa dan setiap negara memutuskan anggarannya sendiri,
pemerintah nasional telah merancang aturan umum pada keuangan publik untuk
dapat mengkoordinasi kegiatan mereka untuk stabilitas, pertumbuhan dan
lapangan kerja (www.europa.eu).
Euro memang terlihat sangat menjajikan, namun bukan berarti tidak ada
permasalahan dalam mengadopsi Euro karena masih ada beberapa beberapa
negara angggota EU yang tidak menggunakan Euro sebagai mata uang negaranya
sehingga membuat monetary union menjadi tidak sempurna. Berikut ini adalah 10

negara anggota EU yang masih mempertahankan mata uang masing-masing:










Bulgaria
Republik Ceko
Denmark
Hungaria
Latvia












Kroasia
Polandia
Rumania
Swedia
Inggris

Inilah yang membuat tahap kelima merupakan tahapan yang tidak mudah
untuk dilakukan karena diperlukan pemahaman dan visi bersama yang kuat untuk
mengikat diri dan bekerjasama dalam kerangka ekonomi untuk menyatukan

negara-negara di Eropa hingga memiliki mata uang tunggal. Hal ini setidaknya
membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun bagi Uni Eropa. Selain pertimbangan
ekonomi, faktor sejarah dimana sebagian negara Eropa mengalami kepedihan dan
menanggung akibat buruk dari Perang Dunia II membangkitkan semangat mereka
untuk bersatu agar sejarah kelam masa lalu tidak terulang lagi, namun hal itu tidak
cukup untuk membuat mereka semua menyetujui penggunaan mata uang tunggal.
Kesepuluh negara tersebut tentunya memiliki alasan masing-masing
mengapa mereka tidak mau mengadopsi Euro. Negara yang memiliki
perkonomian kuat seperti Inggris pun tidak mau mengadopsi Euro dan masih
menggunaka poundsterling sebagai mata uangnya. Pertanyaannya adalah mengapa
Inggris masih mempertahankan poundsterling sebagai mata uang resmi
negaranya?

Pembahasan
A. Merkantilisme Inggris dalam Uni Eropa
Merkantilisme adalah sekumpulan pemikiran ekonomi yang muncul di
Eropa selama periode 1500-1750. Negara memiliki tindakan yang sama terhadap
aktivitas ekonomi domestik dan peran perdagangan internasional, tujuannya
adalah untuk mendominasi ekonomi dan kebijakan pada masa itu. Merkantilisme
sering dianggap sebagai political economy of state building. Pusat pemikiran
merkantilisme adalah pandangan bahwa kekayaan nasional direfleksikan pada
logam berharga yang dimiliki suatu negara yaitu emas. (Appleyard & Alfred,
1998, p.19-20).
Dengan munculnya negara-negara nasional di Eropa Barat, muncul juga
kesatuan-kesatuan ekonomi nasional. Negara dianggap sebagai satu kesatuan
ekonomi sehingga negara selalu berusaha untuk mencapai neraca perniagaan yang
positif agar banyak emas yang mengalir ke dalam negeri. Semakin banyak emas
yang dimiliki suatu negara, semakin ia memiliki kedudukan yang kuat.
Merkantilisme adalah suatu sistem peraturan yang praktis, yang cara
menjalankannya lain antara negara satu dengan negara lainnya (Hardjosoebroto,

1976, p. 7). Persamaannya adalah tiap negara adalah merkantilis yang berusaha
mendapatkan emas sebanyak-banyaknya. Begitu pula dengan Inggris.
Merkantilisme di Inggris dimulai pada pemerintahan Henry VII (14851509) raja I dari keluarga Tudor (Hardjosoebroto, 1976, p. 8). Inggris menerapkan
peraturan-peraturan yang bersifat merkantilis yang berusaha membuat negaranya
untung dan secara tidak langsung merugikan negara lain, atau dikenal dengan
istilah zero-sum game. Merkantilisme dalam hal ini adalah suatu cita-cita
organisasi ekonomi yang dijalankan pemerintah (Hardjosoebroto, 1976, p.7).
Pemerintah memiliki kontrol penuh terhadap penggunaan dan pertukaran logam
berharga (emas), sering disebut sebagai bullionism (Appleyard & Alfred, 1998,
p.20). Tidak ada individu yang boleh melakukan hal itu karena disini negara
adalah aktor utama.
Merkantilisme Inggris dalam Uni Eropa terlihat sangat jelas dimana Inggris tetap

berusaha mencapai kepentingan nasionalnya dan tidak mau menyetujui kebijakan
yang dianggap akan merugikan negaranya. Pada awalnya Inggris tidak mau berada dalam
EEC karena beberapa alasan. Inggris khawatir akan hilangnya otonomi politik dan
ekonomi yang selalu menyertai integrasi ekonomi. Politisi Inggris dan mungkin sebagian
besar warga Inggris ragu-ragu untuk menyerahkan kekuasaan pengambilan keputusan
kepada orang lain atau untuk berbagi dengan Prancis dan Jerman. Inggris juga tidak mau
menyerahkan baik "preferensi impertial" nya – hubungan perdagangan preferensial
dengan negara-negara Persemakmuran - atau "hubungan khusus" dengan Amerika Serikat
yang begitu sangat dihargai (Balaam & Veseth, 2001, p. 238).

Teori merkantilisme menyatakan dengan jelas bahwa negara adalah aktor
utama, segala hal dilakukan demi mencapai kepentingan nasionalnya. Inggris dan
negara-negara lain di dunia saling berkompetisi untuk mendapatkan power dan
kekayaan (wealth) yang merupakan dasar dari power tersebut. Inggris menyadari
bahwasanya integrasi ekonomi akan menghalangi pencapaian kepentingan
nasional dan mengurangi kontrol negara di bidang dometik. Pada titik tertentu,
risiko masing-masing negara anggota adalah dipaksa untuk mengabaikan
kepentingan nasional-politik, ekonomi, sosial, atau budaya - sebagai konsekuensi
dari mempertahankan kewajiban internasional. (Balaam & Veseth, 2001, p. 236)
Tiap tahapan integrasi ekonomi mengikis peran negara dalam mengontrol
kondisi domestiknya. “Four freedom of movements” adalah langkah penting

dalam integrasi ekonomi dan politik. Negara yang terlibat menyerahkan sebagian
kedaulatannya atau otonomi politik nasional karena mereka tidak bisa lagi
mengatur batasan perdagangannya sendiri (Balaam & Veseth, 2001, p. 233).
Mereka kehilangan kemampuan untuk meregulasi pergerakan barang, jasa, orang,
dan modal ke dalam negaranya. Oleh karena itu Inggris sangat defensive terhadap
kebijakan Uni Eropa yaitu penyeragaman kebijakan moneter dan fiskal dimana
Euro diluncurkan sebagai mata uang tunggal.

B. Keraguan Inggris Untuk Bergabung dalam Eurozone
Bergabung dalam Eurozone bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan
oleh Inggris karena banyak pertimbangan dan kemungkinan yang akan terjadi bila
Inggris memutuskan untuk menyetujui penyeragaman kebijakan moneter dan
fiskal. Dalam Uni Eropa sendiri, Inggris termasuk negara yang cukup banyak
menentang kebijakan EU, contoh konkretnya adalah Inggris tidak mau
mengadopsi Euro. Inggris tidak mau terikat dengan hanya satu benua karena
sepertinya Inggris memang ingin melebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia.
Seperti yang diungkapkan Winston Churchill dan kelompok Konservatif di House
of Commons. “We are with Europe, but not of it. We are linked, but not
compromised. We are interested and associated, but not absorbed… We belong to
no single Continent, but to all.” (Kaiser & Elvert, 2004, p. 10). Hal ini kemudian
dikenal dengan karakter Inggris yaitu “Britain’s semi-detached relationship with
continental Europe” pada tahun 1930, hubungan Inggris yang agak terpisah dari
benua Eropa.
Untuk melihat kemungkinan Inggris bergabung dalam Eurozone, Inggris
telah melakukan tes ekonomi. Kemudian Pejabat Keuangan (Chancellor of the
Exchequer) Inggris, Gordon Brown akan mengumumkan hasil dari lima tes
ekonomi yang sudah dilakukan sejak Oktober 1999. Jika hasil tes menunjukkan
bahwa Inggris akan bergabung dalam Eurozone, maka langkah selanjutnya adalah
referendum umum untuk meminta pendapat rakyat mengenai keharusan Inggris
bergabung dalam Eurozone.
Lima tes ekonomi yang dilakukan yaitu pertama, apakah kegiatan bisnis
dan struktur ekonomi Inggris cocok dengan anggota Eurozone lainnya, melihat

kenyataan akankah Inggris dan pihak lainnya dapat menerima dengan senang hati
tingkat suku bunga Euro pada basis permanen. Kedua, apakah ada fleksibilitas
yang cukup untuk mengatasi apabila muncul suatu masalah. Ketiga, tes dilakukan
berkaitan jika Inggris menyetujui EMU, apakah akan memberikan suatu kondisi
yang lebih baik bagi perusahaan-perusahaan Inggris dalam membuat keputusan
jangka panjang guna melakukan investasi di Inggris. Pertanyaan ini berkaitan
dengan posisi Inggris yang secara geografis terpisah dari daratan Eropa. Pada tes
keempat, tes juga dilakukan berkaitan dengan dampak yang akan terjadi, terutama
berkaitan dengan kemampuan daya saing industri jasa keuangan dan yang paling
utama pasar keuangan di London. Tes kelima adalah apakah akan lebih
mendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas, dan pada akhirnya memberikan
peluang lapangan kerja yang lebih luas di Inggris (Efrilia, 2008)
Tes Ekonomi di atas menimbulkan pro dan kontra antar aktor di Inggris.
Sebagian besar ekonom Inggris mengatakan bahwa tes tersebut lebih banyak
bernuansa politik dan menimbulkan makna ganda sehingga bisa memberikan
jawaban yang berbeda-beda. Misalnya menyangkut tes apakah struktur ekonomi
Inggris cocok dengan anggota zona euro lainnya, serta apakah cukup fleksibilitas
dalam mengatasi persoalan yang muncul, jelas akan mengundang berbagai
penafsiran dan interpretasi, terutama dari kacamata seorang politis. Mereka juga
berpendapat tes ekonomi yang diadakan tahun 1997 ini jelas sudah tidak sesuai
dengan kodisi saat ini. “Tahun 1997, jelas bukan hal bijaksana untuk bergabung,
nilai tukar tidak pas, kondisi perekonomian berbeda,” ujar Profesor Ray Barrell
dari Institut Nasional Riset Sosial dan Ekonomi (NIESR) sebagaimana dikutip
AFP (Efrilia, 2008). Barrell juga mengatakan, tes ini merupakan ide yang bagus,
namun jelas bermakna ganda. Terdapat tujuan politik yang tersembunyi
dibaliknya dan karena itu tes ini akan memperoleh sejumlah jawaban yang
berbeda-beda.
Pro dan kontra mengenai keputusan Inggris bergabung dalam Eurozone
masih berlanjut. Sebagian besar perusahaan besar Inggris pro terhadap keputusan
itu. Mereka menginginkan Inggris bergabung dalam Eurozone, bahkan para
pemimpin dari 25 perusahaan besar Inggris mengirim surat kepada Perdana
Menteri Tony Blair. Tujuan surat itu adalah mengingatkan dampak serius yang

akan dihadapi perekonomian Inggris jika terus berada di luar Eurozone (zona
euro) dan dalam surat itu, mereka mengatakan bahwa Pemerintah Inggris harus
berani bergabung dalam Eurozone karena memberikan keuntungan jangka
panjang. Mereka juga mendesak PM Blair agar segera mengumumkan referendum
sebelum pemilu Inggris tahun 2006.
Salah satu kelompok kontra adalah sejumlah ekonom yang bergabung
dalam Financial Hub, London. Dalam suatu jajak pendapat, mereka mengatakan
dengan gamblang untuk menolak Inggris bergabung dalam Eurozone. Mereka
tidak rela menggantikan mata uang poundsterling yang sudah berusia 1.200 tahun
dengan Euro. Mereka juga khawatir bahwa independensi Inggris dalam kebijakan
moneter dan suku bunga akan hilang, serta kepentingan ekonomi Inggris menjadi
terabaikan karena harus mengutamakan kepentingan bersama dengan negaranegara Eropa lainnya yang bergabung dalam Eurozone (Efrilia, 2008)
Dalam beberapa berita, menyatakan bahwa Inggris semakin tertarik untuk
bergabung dalam kelompok negara pengguna mata uang euro atau Eurozone.
Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso mengatakan bahwa sejumlah politisi
Inggris sedang menimbang untuk bergabung dengan Eurozone, dalam sebuah
wawancara pada November 2008. Ketidakpastian ekonomi akhir-akhir ini telah
membuat mata uang euro menjadi pilihan yang lebih menarik. Namun Barroso
menambahkan bahwa tindakan Inggris untuk menggunakan Euro tidak akan
dilakukan dalam waktu dekat. “Saya tahu bahwa mayoritas warga Inggris masih
menentang, tetapi orang-orang berwenang di Inggris saat ini sedang
memikirkannya,” kata Barroso (Kawilarang, R. & Adiati, H, 2008).

C. Perdebatan Sepuluh Aktor Berpengaruh di Inggris Mengenai Euro
Pertimbangan akan keputusan Inggris untuk bergabung dalam Eurozone
masih berjalan hingga saat ini. Sebagai negara yang memiliki kontribusi besar di
bidang ekonomi, dan terpisah dari anggota Uni Eropa yang lain karena kondisi
geografisnya dan penolakan Inggris terhadap banyak kebijakan Uni Eropa,
membuat Inggris semakin sulit untuk mengadopsi Euro sebagai mata uang
negaranya. Padahal syarat untuk bergabung dalam Eurozone adalah kesepakatan

menggunakan Euro sebagai mata uang tunggal, dan dalam hal ini poundsterling
akan tergantikan.
Di dalam internal negara Inggris terdapat beberapa kelompok aktor yang
berpengaruh dan memperdebatkan masalah penggunaan Euro sebagai mata uang
resmi Inggris. Sepuluh aktor tersebut memiliki argumen masing-masing untuk
untuk berada di posisi pro atau kontra terhadap masalah mata uang ini, dan
sebenarnya di situlah mereka memasukkan kepentingan agar dapat tercapai. Tujuh
dari sepuluh aktor tersebut menginginkan Inggris untuk mengadopsi Euro. Mereka
inilah kelompok pro Euro yang terdiri dari: Labour government, Labour party,
Liberal Democrats, Bank of England, Confederation of British Industry, British
Bankers’ Association, dan British Chember of Commerce. Sedangkan tiga
kelompok lain yang merupakan kelompok kontra, tetap ingin mempertahankan
poundsterling sebagai mata uang Inggris. Mereka terdiri dari: Conservative Party,
Federation of Small Business, dan No-Campaign.
Conservative Party beranggapan bahwa dengan mengadopsi Euro sebagai
mata uang, maka Inggris akan kehilangan kontrol terhadap suku bunga. Jika suku
bunga terlalu tinggi untuk pasar Inggris, maka akan menghalangi public
investment dan berakibat mengurangi kemampuan pasar untuk berkompetisi (less
competitive market) yang berarti semakin sedikit perusahaan yang ada dan
semakin banyak yang akan kehilangan pekerjaan (unemployment). Dengan
banyaknya unemployment, pemerintah harus meningkatkan pengeluaran publik
untuk keamanan sosial, dan dengan meningkatnya pengeluaran publik, pemerintah
Inggris akan meningkatkan pajak (Sukardi, 2005, p. 4).
Di tambah dengan regulasi EMU, Conservative Party percaya bahwa
mengharmonisasi pajak dengan negara-negara Eurozone lainnya akan sangat pasti
terjadi dan menghasilkan lebih banyak pajak. Selain itu, negara-negara anggota
Eurozone harus mempertahankan budgetnya defisit pada level tertentu. Situasi ini
akan menciptakan tendensi pemerintah Inggris untuk meningkatkan pajak.
Conservative Party sejak awal tidak menginginkan adanya integrasi. Aktor ini
berargumen bahwa adopsi Euro akan meningkatkan kemungkinan untuk EU
menjadi lebih terintegrasi. Conservative party menolak kesatuan integrasi (EU
superstate) yang lebih dari sebelumnya (Sukardi, 2005, p. 4).

Kelompok anti-Euro yang bergabung dalam No Campaign British
beranggapan bahwa ekonomi Inggris berbeda dan Inggris sudah memiliki peran
yang bagus di luar Eurozone (Sukardi, 2005, p.5), sehingga tidak perlu
mengadopsi Euro. Oleh karena itu, kelompok anti-euro yang bergabung dalam No
Campaign menegaskan bahwa dua pertiga dari para usahawan Inggris dalam jajak
pendapat September 2002 menghendaki tetap mempertahankan poundsterling.
James Frayne, manajer kampanye dari No Campaign, mengatakan bahwa
Ekonomi zona Euro kini mengalami angka pengangguran yang tinggi dan
pertumbuhan ekonomi yang lemah. Itulah mengapa sebagian besar usahawan
Inggris menolak bergabung dalam Euro (Efrilia, 2008). Federation of Small
Business memiliki argumen sendiri. Mereka beranggapan bahwa dengan
mengadopsi Euro, kelompok bisnis kecil tidak mendapatkan keuntungan yang
cukup dan membuat mereka membayar ekstra cost. Selain itu, Federation of Small
Business percaya bahwa suku bunga acuan akan menjadi terlalu tinggi. Berikut ini
adalah tabel daftar 10 aktor yang pro dan kontra mengenai penggunaan Euro
sebagai mata uang Inggris beserta argumennya.
Tabel.1 Influential Actors and Their Arguments (Sukardi, 2005, p. 10)
Aktor
Labour government

Labour party

Liberal Democrats

Argumen

• Sebagai negara anggota Uni Eropa, Inggris harus
mengadopsi Euro.
• Perusahaan Inggris akan menikmati biaya transaksi yang
lebih sedikit dalam Eurozone
• Dengan mata uang tunggal, tidak ada lagi volatilitas nilai
tukar
• Euro akan mendorong perdagangan lintas negara
• Konsumer akan menikmati produk dengan harga yang lebih
murah
• Inggris tidak bisa menghindari Euro lagi
• Inggris akan mempertahankan pengaruhnya dalam Eurozone
• Common currency akan meningkatkan pekerjaan, investasi,
dan perdagangan
• Euro membawa kepastian bagi importir dan eksportir
• Euro akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif
• Inggris akan mempertahankan pengaruhnya dalam Eurozone

• Tiga alasan bagi bank: inflasi rendah, inflasi rendah, dan
inflasi rendah
• Dengan Euro, tidak ada lagi volatilitas nilai tukar
Confederation of
• Euro akan mengundang lebih banyak investasi asing
British Industry
• Euro akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif
• Dalam Euro, biaya transaksi berkurang
• Pasar akan dipenuhi produk yang lebih murah
• Sektor bisnis akan memulai proses changeover setelah
British Bankers’
pemerintah mengadopsi Euro. Jika refendum gagal, banyak
Association
bisnis akan kehilangan uangnya
• Euro membawa lebih banyak kompetisi di pasar
British Chember of • Inggris akan dipenuhi oleh lebih banyak peraturan dari
Brussels
Commerce
• Kemungkinan besar bagi bisnis untuk membayar pajak yang
lebih besar setelah Euro
• Sterling adalah simbol nasional
Conservative Party • Euro adalah langkah pertama untuk Uni Eropa sebagai
single state
• Lebih banyak peraturan dari Brussels
• Tidak cukup keuntungan bagi usaha kecil
Federation of Small • Adaptasi Euro akan membuat usaha kecil membayar biaya
Business
tambahan
• Tingkat bunga umum terlalu tinggi
• Economi Inggris berbeda
No-Campaign
• Keadaan Inggris baik-baik saja di luar Euro
Bank of England

D. Poundsterling Merupakan Kebanggaan Rakyat Inggris
Inggris bukanlah satu-satunya negara yang melakukan penolakan tehadap
penggunaan Euro sebagai mata uang tunggal, beberapa negara juga melakukan hal
yang sama seperti Denmark, Swedia, dll. Mereka memutuskan untuk
mempertahankan mata uangnya masing-masing. Pemerintah Denmark dan Swedia
sebelumnya melakukan referendum, namun hasil menunjukkan negatif atau
sedikit dukungan terhadap Euro (Jonung, 2004). Begitu juga di Inggris hasil
referendum menunjukkan negatif karena sebagian besar rakyat Inggris
mendukung poundsterling. Survei dari 1000 orang menunjukkan bahwa hanya
23% memilih “ya” untuk bergabung dengan mata uang tunggal Eropa, dan 6%

berkata “tidak yakin”. Pada Januari 2002, 31% orang berkata mereka akan
memilih ya untuk bergabung, dan 56% memilih tidak (BBC News, 2009)
Selain

dari

hasi

survei,

masyarakat

Inggris

mempertahankan

poundstersling karena merupakan simbol negara. Conservative Party adalah
kelompok anti-Euro yang menyatakan bahwa Poundsterling adalah simbol
nasional Inggris. Mata uang poundsterling sudah ada sekitar 1200 tahun yang lalu,
jauh lebih lama dibandingkan mata uang lainnya bahkan mata uang negara-negara
yang sekarang bergabung dalam Eurozone. Sterling adalah mata uang tertua dunia
yang masih dipakai (Rendall, 2007). David Sinclair, penulis buku “The Pound”
yang mengisahkan sejarah panjang mata uang Inggris, berargumen bahwa sangat
tepat jika warga Inggris memiliki hubungan emosional dan komitmen yang sangat
dalam dengan poundsterling (Efrilia, 2008). Rakyat Inggris tidak ingin
poundsterling yang merupakan suatu kebanggan, lenyap begitu saja. lnggris punya
alasan bahwa poundsterling tidak hanya sekadar mata uang bagi Inggris, tetapi
juga kebanggaan Imperium Inggris, yakni Britania Raya (SBM, 2005).

E. Kepercayaan terhadap Poundsterling
Inggris merasa bahwa tanpa bergabung dengan Uni Eropa, perekonomian
Inggris akan tetap baik-baik saja. Lagipula pada kenyataannya, Inggris menolak
beberapa kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa. Sama halnya dengan mata uang,
Inggris tidak mau mengadopsi Euro sebagai mata uang negaranya. Hal itu
dikarenakan Inggris masih ingin mempertahankan poundsterling dan percaya
bahwa Euro tidak lebih baik daripada poundsterling. Di samping itu, Inggris
masih yakin poundsterling tetap akan menjadi mata uang kuat dunia (hard
currency) yang bisa bertahan terhadap segala goncangan krisis ekonomi dan
moneter (SBM, 2005). Misalnya saja Krisis Yunani yang terjadi saat ini sangat
mempengaruhi mata uang Euro. Inggris yang menggunakan poundsterling tidak
terlalu mendapat dampak yang signifikan seperti yang dialami negara-negara
Eurozone.
Krisis Yunani berbeda dengan krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika
Serikat. Perbedaannya adalah Krisis Amerika Serikat dipicu oleh krisis perbankan
dan lembaga keuangan yang terlalu banyak memberikan kredit perumahan dengan

standar rendah (subprime loans) dan transaksi derivatif yang sangat besar.
Sementara Krisis Yunani tidak dipicu oleh krisis perbankan, tetapi karena krisis
utang pemerintah. Yunani terlalu banyak meminjam pada masa lalu untuk
membiayai pengeluaran yang besar. Sebagai anggota Uni Eropa, Yunani dapat
meminjam dengan bunga murah karena memiliki peringkat utang relatif baik
karena ditunjang oleh kekuatan ekonomi Jerman dan Perancis. Di samping itu,
banyak bank investasi yang membujuk Yunani untuk terus meminjam, bila perlu
Yunani melakukan pinjaman off balance sheet. Akibatnya, utang Yunani semakin
besar (115 persen produk domestik bruto/ PDB) dan kemudian baru diketahui
laporan keuangannya banyak rekayasa. Akibatnya, peringkat dan harga surat
utang Yunani jatuh, padahal banyak bank Eropa memiliki surat utang Pemerintah
Yunani sekitar US$429 (Ramli, 2010).
Krisis yunani menyebabkan kurs Euro dan harga saham Eropa jatuh.
poundsterling terhindar dari penderitaan karena teraniaya seperti yang dialami
Euro karena krisis hutang yang dialami Yunani (Harvest International Future,
2011). Sebelum Krisis Yunani, Euro terlalu kuat, pernah mencapai 1,5 dollar
AS/Euro sehingga membuat negara-negara Eropa yang ekonominya relatif lemah
semakin

tidak

kompetitif.

Memang

memiliki

mata

uang

yang

kuat

membanggakan, tetapi jika uang kuat sebelum waktunya dan tidak didukung oleh
fundamental, justru sangat merugikan. Dilema itulah yang dihadapi oleh negaranegara PIGS (Portugal, Italy, Greece, Spain). Mereka terperangkap dalam mata
uang Euro yang kuat. Seandainya mereka melepaskan diri dari Euro, mereka akan
mampu meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi
(Ramli, 2010). Euro kembali terpuruk di sesi perdagangan seiring dengan
meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap krisis utang Zona Euro. Kekhawatiran
tersebut dipicu oleh beberapa kabar terutama mengenai Yunani. (Detikfinance,
2011)
Dengan adanya krisis yunani yang menyebar di beberapa negara Eropa
terutama pengguna Euro membuktikan bahwa ketidakstabilan ekonomi negara
pengguna Euro akan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi negara pengguna
Euro lainnya. Dalam hal ini, meskipun Inggris tidak bisa dikatakan berada di
posisi aman (tidak terkena dampak krisis yunani), namun setidaknya Inggris tidak

perlu memusingkan masalah Euro seperti yang terjadi pada Jerman. Duta besar
Jerman untuk Yunani berjanji bahwa Jerman tidak akan membiarkan Yunani jatuh
(VOANews, 2010). Karena itulah Jerman ikut memberi dana talangan kepada
Yunani untuk menstabilkan mata uang Euro.
Jerman yang merupakan negara dengan ekonomi terkuat di zona euro akan
menjadi kontributor terbesar dalam pemberian dana talangan ini. Banyak orang
Jerman yang marah karena hasil pembayaran pajak mereka digunakan untuk
menalangi Yunani. Mereka beranggapan tidak ada gunanya menalangi negara
yang sudah melakukan kecurangan akuntansi keuangan negara dan membuat
masalahnya menyebar ke negara lain. Sementara itu, di Jerman, Kanselir Jerman
Angela Merkel, mempertimbangkan akan meminta pengesahan dari parlemen atas
kontribusi Jerman memberi talangan kepada Yunani senilai 8,4 miliar Euro.
Merkel mengharapkan persetujuan parlemen sudah didapatkan pada Jumat akhir
pekan ini. ”Saya rasa ini adalah satu-satunya cara agar kita dapat membuat
Euro stabil kembali. Ini merupakan program yang berkesinambungan, dapat
berjalan selama beberapa tahun,” katanya. (Kompas, 2010)
Yunani sendiri akan menerima dana talangan dari Uni Eropa dan Dana
Moneter Internasional agar tidak terjadi gagal bayar atas utang sebesar 9 miliar
euro yang akan jatuh tempo pada 19 Mei 2010. Total dana talangan yang
diberikan sejumlah 110 miliar Euro. Sebagai kompensasi, Yunani menghemat
anggarannya dengan memangkas tunjangan pegawai negeri. Pengeluaran yang
dapat dihemat sekitar 30 miliar Euro dalam tiga tahun (Bataviase, 2011).

Kesimpulan
Keputusan untuk bergabung dalam Eurozone bukanlah hal yang
sederhana. Banyak terjadi pro dan kontra mengenai masalah ini. Beberapa aktor
mengatakan keputusan bergabung dalam Eurozone adalah yang terbaik karena
dapat meningkatkan perekonomian, di sisi lain ada yang berpendapat sebaiknya
Inggris tetap berada di luar Eurozone. Mereka yang menolak penggunaan Euro ini
tergabung dalam tiga kelompok yaitu Conservative Party, Federation of Small
Business, dan No-Campaign. Perdebatan telah terjadi sejak lama namun hingga
saat ini Inggris belum memutuskan untuk bergabung dalam Eurozone karena lebih

memilih untuk mempertahankan mata uangnya yaitu poundsterling. Sebagian
besar rakyat Inggris yang memilih untuk tetap menggunakan poundsterling dan
menolak untuk mengadopsi Euro. Di Inggris, poundsterling sendiri bukan hanya
merupakan mata uang, melainkan simbol nasional Inggris. Mata uang
poundsterling sudah ada sekitar 1200 tahun yang lalu dan menjadi mata uang
tertua dunia yang masih dipakai. Selain itu poundsterling juga adalah kebanggaan
Imperium Inggris sehingga rakyat Inggris tidak ingin poundsterling lenyap begitu
saja karena tergantikan oleh Euro.
Inggris merupakan negara yang memiliki ekonomi kuat di Eropa. Dengan
kekuatannya itulah Inggris merasa lebih baik berada di luar Eurozone. Inggris
juga percaya bahwa poundsterling bisa lebih bertahan terhadap segala goncangan
krisis ekonomi dan moneter daripada Euro. Hal itu dibuktikan dengan adanya
Krisis Yunani yang melanda Eropa dan memberi dampak buruk terhadap
perekonomian negara-negara pengguna Euro (Eurozone) lainnya. Inggris juga
tidak perlu menghawatirkan nilai Euro yang jatuh dan terbebani oleh pikiran
untuk mengatasi krisis yunani ini. Berbeda dengan Jeman yang merupakan negara
dominan di Uni Eropa dan pengguna Euro. Jerman tidak suka dengan kondisi
Euro yang terpuruk sehingga berusaha untuk membuat Euro stabil kembali. Salah
satu cara adalah dengan memberi dana talangan kepada Yunani senilai 8,4 miliar
Euro.
Dari segi politik, Inggris merasa bila mengadopsi Euro maka akan
semakin terintegrasi dengan negara-negara pengguna Euro lain. Sebagaimana
diketahui bahwa sebenarnya integrasi akan menghilangkan sebagian kedaulatan
negara. Karena itulah Inggris khawatir akan hilangnya otonomi politik dan
ekonomi yang selalu menyertai integrasi ekonomi. Inggris juga menyadari
bahwasanya integrasi ekonomi akan menghalangi pencapaian kepentingan
nasional dan mengurangi kontrol negara di bidang dometik. Dalam hal ini, Inggris
sama sekali tidak ingin pihak luar ikut camput dalam urusan domestiknya dan
melanggar kedaulatan yang dimiliki meskipun secara tidak langsung (melalui
ekonomi dan mata uang tunggal). Inggris benar-benar konsisten menjaga
kedaulatan dan kepentingan nasionalnya.

Daftar Pustaka
BUKU
Appleyard, D. R., dan Field, A. J. 1998. International Economics: Trade Theory
and Policy. Singapore: McGraw-Hill.
Balaam, D. N., dan Veseth, M. 2001. Introduction to International Political
Economy. New Jersey: Upper Saddle River.
Burchill, S., dan Linklater, A. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional.
Bandung: Nusa Media.
Ellsworth, P.T., dan Leith. J. C. 1009. The International Economy. New York:
Macmillan Publishing Company.
Hardjosoebroto, S. 1976. Pengantar Sejarah Perekonomian Dunia: Akhir Abad
Pertengahan Sampai Perang Dunia II. Yogyakarta: BPFE.
Jackson, R & Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jonung, L. (2004). ’The Political Economy of Monetary Unification: The Swedish
Euro Referendum’. Cato Journal. Retrieved February 8, 2005.
Kaiser, W., dan Elvert, J. 2004. European Union Enlargement: A Comparative
History. London dan New York: Routledge.
Soelistyo. 1981. Ekonomi Internasional: Teori Perdagangan Internasional.
Yogyakarta.
Sukardi, S. 2005. Ten Actors Blowing Their Trumpets: Understanding a
Constellation for the Labour Government to Secure the Euro Adaptation.
White, L. (2003). ‘Currency Competition and Consumer-Driven Unification’.
Cato Journal, 23(1), 139-145.
SITUS
The euro/monetary union diakses pada 14 Juli 2013
Peneliti CARE IPB Bogor, & Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah Univ. Syiah
Kuala, 2009, ‘Keberhasilan UE, Bagaimana ASEAN?’, 17 Agustus,
diakses pada 14 Juli 2013
Anonim, 2010, ‘G20 Sambut Baik Bailout Keuangan Yunani, Bataviase, 5 Mei, <
http://bataviase.co.id/node/198216> diakses pada 14 Juli 2013
Anonim, 2011, ‘Krisis Utang Memburuk, Euro Terpuruk’, Detik Finance, 23 Mei,
diakses pada 14 Juli 2013
Anonim, 2010, ‘IMF: Krisis Utang Yunani Ancam Eurozone’, VOA News, 28
April, diakses pada 14 Juli 2013

Anonim, 2009, ‘Most Britons Still Oppose Euro', BBC News, 1 Januari,
diakses pada 14 Juli
2013
Efrilia, 2008, ‘Perekonomian Inggris’, 11 Maret,

diakses pada 14 Juli 2013
Harvest International Future, Sterling terhindar dari krisis Yunani tetapi
dihadapkan dengan masalah sendiri, diakses pada 14 Juli 2013
Joe, 2010, ‘Yunani Dapat Dana Talangan’, Kompas, 4 Mei,
diakses pada 14 Juli 2013
Kawilarang, R. & Adiati, H. 2008, ‘Inggris Kian Tertarik Pakai Euro’, Viva
News, 1 Desember, diakses pada 14 Juli 2013
Ramli, Rizal, 2010, Krisis Utang Yunani, Kompas, 31 Mei,

diakses pada 14 Juli 2013
Rendall, R. 2007, ‘Economic Terms Explained’, BBC News, 12 November,

diakses pada 14 Juli 2013
SBM, Nugroho. 2005, ‘Usulan Mata Uang Tunggal ASEAN’, Suara Merdeka, 27
September,
diakses pada 14 Juli 2013