Kerjasama Pemerintah Kabupaten Bantaeng (1)
Kerjasama Pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan China Machinery Engineering
Corporation (CMEC) dalam pembangunan Bantaeng Industrial Park (BIP) Tahun
2014
Muhammad Faizal Alfian
Abstrak
Bantaeng melakukan lompatan yang sangat besar dengan melakukan
pembangunan industri yang dikenal sebagai Bantaeng Industrial Park (BIP).
Bantaeng BIP menjadi strategi Pembangunan daerah Bantaeng . maka untuk
mewujudkan BIP, pemerintah Kabupaten Bantaeng telah membangun kerjasama
dengan beberapa perusahaan. Salah satu mitra kerjasama pemerintah Bantaeng
adalah China Machinery Engineering Corporations (CMEC). Maka penulis dalam
skripsi ini melihat alasan dan faktor pendorong kerjasama pemerintah Kabupaten
Bantaeng dengan CMEC dalam pembangunan BIP.
Metode yang digunakan untuk menganalisis kerjasama pemerintah Bantaeng
dengan CMEC adalah kualitatif dengan pendekatan ekploratif. Sedangkan, teknik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan sutdi pustaka. Data primer
diperoleh dari wawancara dengan pemerintah Kabupaten Bantaeng. Dan data
sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, data, majalah dan berita yang terkait
dengan kerjasama pembangunan BIP.
Bagi Bantaeng, kerjasama dengan perusahaan Tiongkok merupakan salah
satu langkah mempercepat pembangunan BIP. Tiongkok dalam pembangunan BIP
merupakan posisi yang sangat sentral. Hal ini tunjukkan dari posisi yang diberikan
Bantaeng pada perusahaan CMEC di BIP. Hasil penelitian ini menunjukkan alasan
dan faktor pendorong pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan CMEC adalah:
Langkah strategis memperbesar peluang investasi banyak dipengaruhi oleh
institusional gap dan efisiensi penyelengaraaan kebijakan Indonesia; Dan perluasan
jejaring kerjasama ekonomi dipengaruhi oleh pembangunan daerah, ketidakpastian
hukum, pertumbuhan alamiah ekonomi, dan interdependensi Tiongkok-Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam yang berlimpah.
Hampir di seluruh wilayah negara Republik Indonesia memiliki sumber daya alam
yang berpotensi besar untuk mensejahterakan rakyat mulai dari perkebunan,
pertanian, perikanan, hingga pertambangan. Salah satu sumber daya alam yang
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah bidang pertambangan.
Bidang pertambangan Indonesia menjadi sangat penting karena memiliki kekayaan
alamhasil tambang yang melimpah (Wiliamson, 2012).
Maka dari itu, pemanfaatan kekayaan alam hasil tambang perlu didukung oleh
pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan perekonomian nasional
maupun regional. Menurut Katili, sumber daya alam atau kekayaan alam memegang
peran sebagai salah satu elemen penting bagi pembangunan regional dan nasional
(Katili, 2007). Apabila suatu daerah dapat memanfaatkan secara penuh potensi
sumberdaya alam untuk eksplorasi akan berdampak langsung kepada pembangunan di
regionalnya termasuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta kesempatan
kerja yang semakin besar bagi msayarakat.
Dalam perkembangannya dunia pertambangan memulai babak baru dengan
terbitnya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara.
Kebijakan tersebut berisi pelarangan ekspor mineral dan batu bara dalam bentuk raw
material. Jadi, para pelaku ekspor bahan tambang perlu melakukan pemurnian di
dalam negeri sebelum di ekspor keluar. Pemerintah Bantaeng mengambil kesempatan
yang besar tersebut dengan mendirikan industri hilir dalam bidang pertambangan
yang diberi nama dengan Bantaeng Industrial Park (BIP).
Bantaeng melakukan lompatan yang sangat besar dengan melakukan
pembangunan industri yang dikenal sebagai Bantaeng Industrial Park (BIP). Menurut
Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, bahwa wilayah Bantaeng memiliki letak yang
sangat strategi dalam pembangunan industri pengelolahan dan pemurnian biji besi,
wilayah-wilayah yang dulunya tandus dan tidak produktif, kini beralih fungsi menjadi
Bantaeng Industrial Park (BIP) (Pemkab Bantaeng, 2014).
CMEC merupakan perusahaan multinasional BUMN Tiongkok yang
tergabung kedalam perusahaan BUMN Sinomach yang ikut terlibat dalam
pembangunan industri smelter di Bantaeng. Keterlibatan BUMN Tiongkok dalam
pembangunan di Indonesia merupakan merupakan pertamakalinya. Bagi Pemerintah
Kabupaten Bantaeng, kerjasama dengan perusahaan asal Tiongkok merupakan
langkah strategis untuk pembangunan di Bantaeng, khususnya pada bidang industri.
Kerjasama pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan CMEC adalah keseriusan
Bantaeng dalam membangun industrinya. Penalaran penulis terhadap sikap
Pemerintah Bantaeng memilih Tiongkok sebagai mitra adalah, Tiongkok sebagai
negara yang mempunyai nilai investasi yang besar dengan nilai
Rp 55 triliun,
sehingga penulis melihat pentingnya investasi sebagai modal pembangunan Bantaeng
Industrial Park.
Maka dari itu, penulis mengambil judul “Kerjasama Luar Negeri Kabupaten
Bantaeng dengan China Machinery Engineering Coorporations (CMEC) dalam
pembangunan Bantaeng Industrial Park” Yang akan melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi pemerintah Kabupaten Bantaeng dalam melakukan kerjasama luar
ngeri dengan BUMN Tiongkok
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
pemerintah Kabpuaten Bantaeng dengan melakukan kerjasama luar negeri dengan
perusahaan asal Tiongkok, dalam membangun zona industri. Dengan adanya
pemahaman tersebut, diharapkan dapat membuka peluang kerjasama antara daerah
dengan daerah lain maupun perusahaan lain, dan pemerintah pusat mengetahui adanya
langkah strategis untuk mencapai industrialisasi daerah ini.
Untuk menganalisis kerjasama pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan CMEC,
penulis mengunakan konsep local economic development digunakan untuk melihat
tujuan pemkab Bantaeng untuk mencapai pembangunan daerah, sedangkan konsep
paradiplomasi untuk cara untuk mencapai pembangunan daerah.
Paradiplomasi merupakan hubungan diplomasi yang dilakukan oleh
pemerintah lokal atau regional melakukan aktifitas melewati batas-batas wilayah
nasional dan menyusun kerangka kerjasama luar negeri (Mukti, 2013). Aktifitas
kerjasama luar negeri tersebut berasal dari kewenangan pemerintah daerah yang
diperluas oleh pemerintah nasional.
Menurut Ivo Duchachek fenomena ikut berperannya pemerintah lokal dalam
hubungan internasional dimana hubungan yang terjadi secara politik diartikan sebagai
diplomasi. Kemudian, Duchachek dan Soldatos melihat bahwa diplomasi yang terjadi
di tingkat daerah menunjukkan aktifitas pararel, terkordinasi, saling menguntungkan
(Ariadi, 2000).
Ada beberapa factor yang mempengaruhi kegiatan paradiplomasi oleh
pemerintah daerah yaitu:
1. Factor domestik: segmentasi objektif (dorongan yang didasari oleh
perbedaan geografi, budaya, bahasa, agama, politik), asymmetry of' federated
(adanya ketidakseimbangan keterwakilan unit-unit sub nasional terhadap
kebijakan nasional dalam hubungan luar negeri), perkembangan ekonomi
dan institusional atau aktor globalisasi, me-tooism (dorongan mengikuti halhal yang dilakukan unit sub-nasional).
2. Factor nasional: inefisiensi penyelengaraan hubungan luar negeri, adanya
institutional gap (ketidaksetaraan perumusan kebijakan luar negeri daerah
satu denga yang lainnya), masalah-masalah yang terkait dengan nation-
building, ketidakpastian hukum, dan domestikasi politik luar negeri sebagai
dampak dari mengemukanya isu-isu politik tingkat rendah.
3. Factor eksternal: interdependensi global, interdependensi regional dan
keterlibatan/ penetrasi aktor eksternal.
Sedangkan local economic development atau Pembangunan ekonomi daerah
adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya
yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah
dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut
(Arsyad, 2010). Menurut Lincolin Arsyad (2010), pembangunan ekonomi daerah
adalah
suatu
proses
yang
mencakup
pembentukan
institusi-institusi
baru,
pemabangunan industri-industri, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk
menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru dan ahli
ilmu pengetahuan, pengembangan industri-industri baru.
Dalam paper Timothy Bartik (2003) berjudul “Local Economic Development
Policy” menyatakan "program pembangunan ekonomi" jatuh kedalam dua kategori
yaitu:
1. Memberikan bantuan disesuaikan dan ditargetkan pada usaha perorangan yang
dianggap memberikan manfaat pembangunan ekonomi yang lebih besar; dan
2. Inisiatif strategis dimana pajak umum, belanja, dan kebijakan peraturan
pemerintah berubah untuk mempromosikan pembangunan ekonomi lokal.
Pengembangan ekonomi lokal ini bisa dibilang terpengaruh oleh semua.
Kerjasama luar negeri pemkab Bantaeng dengan Tiongkok merupakan
aktivtias paradiplomasi yang mendukung pembangunan daerah (Bartik, 2003).
Sehingga pembangunan daerah merupakan tujuan dari Pemerintah Kabupaten
Bantaeng sedangkan paradiplomasi merupakan alat untuk mewujudkan tujuan
tersebut. Tetapi terdapat banyak yang mempengaruhi pemerintah Bantaeng untuk
melakukan kerjasama luar negeri (Bartik, 2003). Maka peneltian ini akan penulis akan
berusaha untuk menghubungkan factor-faktor yang mempengaruhi paradiplomasi
dengan pembangunan ekonomi lokal.
METODE
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Menurut
Moleong, penelitian kualitatif adalah peneltian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami objek penelitian dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa (Moleong, 2014). Sedangkan metode ekploratoris
dilakukan untuk mengetahui suatu kejadian ketika peneliti kurang mengetahui dan
memahami tentang suatu fenomena. Sehingga penulis akan mengetahui sebab-sebab
terjadinya kejadian tersebut.
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penenlitian ini adalah
telaah pustaka, observasi dan wawancara. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling (Sugiono, 2009). Teknik
analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, menganalisa
permasalahan dengan mengunakan pendekatan induktif umum. Pada tahap awal
teknik analisa data dimulai dengan pengumpulan data, mengkaji kesesuaian data
wawancara, literature dan observasi. Kemudian, penelitian dilanjutkan Interpretasi
data, berupa penafsiran terhadap data-data yang disajikan dan penyimpulan data.
HASIL
Dalam pembangunan daerah, Bantaeng telah menmbuat lompatan besar dalam
industrialisasi dengan mendirikan kawasan industri smelter. Kawasan tersebut adalah
Bantaeng Industrial Park (BIP). Dalam pembangunannya, BIP merupakan produk dari
kerjasama pemkab Bantaeng yang melibatkan beberapa perusahaan internasional
yaitu Malaysia, Tiongkok, dan Korea Selatan. BIP akan menjadi kawasan industri
yang dikelolah oleh tiga actor Bantaeng-Tiongkok-Malaysia.
Ketertarikan investor pada BIP adalah karena BIP didukung oleh orientasi
geografis yang sangat memungkinkan bagi pengusaha untuk melakukan distribusi
produk mineral baik untuk dimurnikan maupun untuk di ekspor kepasar global.
Investor Tiongkok merupakan salah satu investor dengan jumlah persuahaan
asing terbanyak yang berinvestasi pada industri smelter di BIP. Untuk mendukung
pembangunan Bantaeng Indutrial Park, perusahaan Tiongkok tersebut telah mengutus
beberapa perusahaan BUMN untuk ikut membangun Bantaeng Indutrial Park
diantaranya China Machinery Engineering Company (CMEC) dan China Harbour
Engineering Company (CHEC). Harapan bagi pemkab Bantaeng, Tiongkok akan
menjadi mitra strategis dalam pembangunan BIP.
Pada dasarnya Bantaeng melakukan industrialsasi dilatar belakangi oleh
kebijakan hilirisasi industri pertambangan Indonesia, yang diamanatkan melalui UU
No 4/2009. Dengan berlakuknya kebijakan tersebut, pemerintah Indonesia membatasi
ekspor minerba mentah, untuk dimurnikan di dalam negeri, sehingga dapat Indonesia
dapat memperoleh nilai tambah dari industri pemurnian minerba. Kebijakan tersebut
mempunyai dampak meluas hingga ketergantungan Negara asing terhadap produk
Indonesia. Disisi lain, Indonesia membutuhkan dukungan dari investor karena
keberhasilan dari kebijakan tersebut apabila investasi akan mengarah pada industri
hilir.
Kebijakan hilirisasi industri mineral Indonesia memiliki pengaruh dalam
menciptakan peluang terhadap kemajuan daerah khususnya, Bantaeng. Dengan
adanya kesempatan tersebut, Bantaeng membangun Bantaeng Industrial Park yang
akan menjadi industri yang bermanfaat dalam peningkatan pendapatah daerah, dan
secara langsung berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur di Bantaeng.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pemkab Bantaeng dalam
melaksanakan kerjasama dalam pembangunan BIP. Pertama adalah sebagai langkah
strategi dalam memperbesar peluang investasi bagi Pemkab Bantaeng dalam
mempercepat industrialisasi dan pembangunan kawasan Bantaeng Industrial Park.
Dari langkah strategis tersebut terdapat beberapa factor pendorong Pemkab Bantaeng
dalam memperbesar peluang investasi adalah sebagai berikut:
a. Institutional gap atau disparitas kelembagaan antara Bantaeng dengan daerah
lainnya di Indonesia. Tidak terwakilnya berapa daerah dalam kebijakan
hilirisasi industri, dimana pemerintah pusat hanya memusatkan perhatian
pada investasi sekala besar seperti Newmout Nusa Tenggara dan Freeport di
Papua. Hal ini menyebabkan Bantaeng membuka investasi pada perusahaan
CMEC, karena perhatian pemerintah hanya terpusat di beberapa daerah.
b. Efisiensi penyelengaraan kebijakan hilirisasi industi pertambangan di
Indonesia. Pemerintah pusat melihat ketidak terwakilan daerah dalam
kebijakan tersebut, sehingga pemeritah mengeluarkan Inpres No.3/2013
untuk
mengefisiensikan
penyelengaraan
kebijakan
hilirisasi
industri
pertambangan. Inpres tersebut berisi untuk memberikan kemudahan dalam
perizinan dalam investasi industri smelter oleh pemerintah daerah dan
pemerintah kabupaten. Bantaeng memanfaatkan Inpres tersebut dengan
memperbesar laju investasi di BIP, sehingga perusahaan CMEC tertarik
untuk menanamkan modalnya di Bantaeng.
c. Tujuan pembangunan daerah melalui industrialisasi, pembangunan ekonomi
daerah. Dengan membuka investasi di BIP, akan mendukung tujuan
pemerintah untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif menjadi lahan
industri pengolahan smelter. Melalui kerjasama pemkab Bantaeng dengan
CMEC akan mendukung pembangunan infrastruktur daerah, sehingga
Bantaeng akan mendapatkan nilai tambah dari kerjasama tersebut.
Kedua, perluasan jejaring kerjasama ekonomi
internasional. Ada beberapa
factor yang mempengaruhi pemkab Bantaeng untuk memperluas jejaring kerjasama
ekonomi internasional yaitu sebagai berikut:
a. Terdapat ketidakpastian hukum (constitutional uncertainities), dimana
Investor tidak mendapatkan kepastian hukum melalui kebijakan hilirisasi
industri pertambangan. Para pelaku usaha tambang melihat adanya
ketidakpastian hukum pada industri pertambangan, sehingga mendorong
pemkab Bantaeng memperluas jejaring kerjasama untuk mengundang
investasi masuk dan dengan mempermudah perizinan.
b. Pertumbuhan alamiah ekonomi dan jejaring kerjasama pemkab Bantaeng.
Dalam hal ini perkembangan jejaring internasional teknologi informasi, tidak
terlepas dari peran Nurdin Abdullah sebagai pemimpin yang mempunyai
jejaring kerjasama yang tinggi dengan pemerintah asing, sehingga CMEC
tertarik untuk menanamkan modalnya karena informasi tentang Kabupaten
Bantaeng yang mudah untuk diakses bagi jejaring internasional.
c. Interdependensi antara Indonesia dengan Negara investor industri hilir
minerba berpengaruh peluang yang diperoleh pemkab Bantaeng untuk
pembangunan daerah. Dimana terdapat ketertarikan perusahaan Tiongkok
pada industri yang berada pada dikawasan timur Indonesia. Maka
interdependensi tersebut mendorong pemkab Bantaeng untuk melakukan
kerjasama dengan CMEC.
Keterlibatan atau Tiongkok kedalam gagasan pembangunan BIP. Persuahaan
asal Tiongkok sebagai pengagas untuk mendirikan kawasan industri, menjadi tolak
ukur penetrasi CMEC kedalam pembangunan BIP. Keterlibatan dan penetrasi tersebut
menjadi factor pendukung terjalinnya paradiplomasi.
Jadi, kerjasama luar negeri oleh pemkab Bantaeng dengan CMEC dalam
pembangunan BIP adalah dilakukan atas inisiatif pembangunan daerah, industrialisasi
dan peningkatan ekonomi dalam kapasitas industri, sehingga pemkab Bantaeng
mengambil peluang dari berlakunya kebijakan hilirisasi dengan membuka jalur
investasi seluas-luasnya. Kerjasama tercipta bersamaan dengan perluasan jejaring
kerjsama dengan lembaga swasta lainnya, dan ekspor produk tambang minerba
Bantaeng kepasar global.
PEMBAHASAN
Latar Belakang Pembangunan Bantaeng Industrial Park (BIP)
Pada awalnya, pemkab Bantaeng hanya meprioritaskan pada investasi dan
pembangunan industri smelter yang tidak berorientasikan pada pembangunan
kawasan industri skala besar. Menurut pemerintah kabupaten Bantaeng menjelaskan:
Pada awalnya Bantaeng tidak memprioritaskan pembanguan suatu kawasan
industri, tetapi hanya diprioritaskan sebagai industri pengolahan mineral
yang akan didirikan dengan luas lahan 500 Ha, dan kemudian terus
mengalami perluasan lahan menjadi 1500 Ha (Wawancara Pemkab
Bantaeng, 2015)
Konsep industri yang diberikan hanya seluas 500 Ha dan hanya untuk ditempati
untuk industri pemurnian. Konsep awal ini merupakan strategi pemerintah untuk
mengambil peluang dari berlakunya kebijakan hilirisasi industri mineral dengan
mendirikan industri pengolahan mineral. Kemudian pemerintah mengadakan jajak
pendapat dan survei mulai dari masalah teknis dan rancangan strategis. Pemerintah
Bantaeng mulai mencanangan perluasan daerah industri smelter, yang ditawarkan
kembali kepada investor.
Dan setelah mengadakan meeting pada smelter summit pada bulan Maret 2014
yang dihadiri beberapa investor luar negeri. Hasil pertemuan tersebut membuat
investor tertarik untuk menanamkan modalnya untuk mengembangkan kawasan
industri, sehingga jumlah investor bertambah. Kemudian dilakukan penandatanganan
perjanjian kerjasama Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah
Kabupaten Bantaeng, China Machinery Engineering Corporation (CMEC), China
Harbor Company, PT Biidznillah Tambang Nusantara (BTN) Power Sdn.Bhd, dan
Doosan Heavy Industries and Construction Co Ltd. Diantara investor tersebut investor
asing memiliki peran besar mendorong pemerintah untuk mendirikan kawasan
industri terpadu. Negara Industri maju yang mengimpor produk mineral mentah asal
Indonesia seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Tiongkok ikut serta berinvestasi di
Bantaeng.
Investasi asing berkembang pesat di Bantaeng didorong oleh, yang pertama
adalah faktor kebijakan larangan ekspor mineral mentah, sehingga investor di paksa
untuk mendirikan industri pengolahan mineral. Kedua adalah faktor terbukanya lahan
investasi baru di Indonesia membuat investor asing tertarik untuk menanamkan
modalnya pada industri hilir di Indonesia. Untuk lebih jelasnya terdapat tinjauan
kebijakan mengenai pembangunan BIP adalah sebagai berikut:
1) Kebijakan Hilirisasi Pertambangan Di Indonesia
Mineral dan batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang bernilai
tinggi dan peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Berdasarkan
amanat yang terkandung didalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jadi sumber daya minerba perlu memberi
nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selama ini Industri pertambangan minerba
Indonesia tidak sesuai dengan amanat yang terkandung didalam pasal 33 UUD 1945.
Industri pertambangan dinilai merugikan negara dan lebih menguntungkan investor,
sehingga banyak menimbulkan masalah sosial di daerah. Sudah semestinya kekayaan
tersebut merupakan nilai tambah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Mineral tambang Indonesia cenderung dieskpor keluar dalam bentuk mentah,
lalu dimurnikan di luar negeri. Apabila dijual kembali dalam ke Indonesia maka harga
yang mineral yang telah murni akan bertambah cukup besar dari biaya industri
pemurnian (smelter) dan pajak masuk. Hal ini menyebabkan Indonesia kehilangan
peluang mendapatkan nilai tambah dari produksi mineral dalam negeri, dan pihak
asing banyak diuntungkan dalam mendapatkan bahan baku industrinya serta
mendapatakan harga yang terjangkau karena hanya membeli produk mineral mentah.
Pada Tahun 2009, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara untuk mengganti UU No.11 Tahun 1967. Kedua
Kebijakan pertambangan menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam
pengelolaan sumber daya mineral dan batubara, terutama hiliirsasi industri
pertambangan dan pada sistem Kontrak Karya (KK) yang berubah menjadi Izin Usaha
Pertambangan (IUP).
Hilirisasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha
pertambangan atau pemanfaatan terhadap minerba agar tercipta nilai tambah yang
lebih besar. Selain itu, hilirisasi dimaksudkan agar tersedianya bahan baku industri di
dalam negeri, sehingga dapat mendukung terciptanya industri baru dan lapangan
pekerjaan, serta meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang (Media
Tambang, 2013).
Untuk mendukung kegiatan pemurnian dalam negeri pemerintah melalui
Permen ESDM No 7/2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahaan dan Pemurnian di Dalam Negeri, melakukan pengendalian
ekspor bijih mineral mentah keluar untuk dimurnikan didalam negeri. Kebijakan
tersebut termuat didalam pasal 16: “Komdoitas tambang mineral logam termasuk
produk samping/ sisa hasil/ mineral ikutan, mineral bukan logam dan batuan tertentu
yang dijual ke luar negeri wajib memenuhi batasan minimum pengolahan dan/ atau
pemurnian komoditas mineral tertentu”(Media Tambang, 2013).
Penerapan Permen tersebut dianggap sebagai pelemahan terhadap semangat
otonomi daerah, karena lebih bersifat merugikan perusahaan pertambagangan.
Menurut Selby Ihsan Saleh ketua umum Asosiasi Nikel Indonesia (ANI), pasca
diterbitkannya Permen ESDM No.7/2012, dunia pertambangan lesu. Kebijakan
pelarangan ekspor sejumlah produk tambang pukulan bagi pengusaha tambang,
karena industri pengolahaan dan pemurnian didalam negeri belum siap. Kemudian,
ANI mengajukan gugatan ke Mahkama Agung sehingga beberapa pasal Permen
tersebut dibatalkan dan mulai diterapkan pada tahun 2014 (Media Tambang, 2013).
Salah satu dampak dari berlakunya kebijakan hilirsasi minerba, adalah
tumbuhnya industri-industri baru yang akan menambah nilai tambah dalam
pendapatan negara dan daerah, sehingga hal tersebut menjadi kesempatan bagi setiap
daerah untuk memanfaatkan dengan sepenuhnya kebijakan tersebut. Menurut pemkab
Bantaeng:
Salah satu daerah yang memanfaatkan kesempatan tersebut adalah daerah
Bantaeng. Bantaeng merupakan daerah sangat potensial untuk mendirikan industri;
dimana letak geografisnya berada di wilayah timur Indonesia, menguntungkan bagi
investasi perusahaan untuk membangun suatu industri smelter di Bantaeng (Media
Industri, 2013). Kemudian Banteng membuka jalur investasi industry smelter, dan
terus mengembangkan industri dengan mempermudah investasi tambang. Orientasi
pertambangan mendapat dukungan dari pemerintah dalam Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2013 yang menginstruksikan kepada depalan Mentri serta kepala daerah.
Secara khusus Instruksi yang ditujukan kepada kepala daerah berisi: Bupati/Walikota
untuk mempercepat proses pemberian izin/rekomendasi dalam rangka pembangunan
pengolahan dan pemurnian mineral dan/atau infrastrukturnya; dan
memberikan
dukungan dan fasilitasi percepatan pembangunan pengolahan dan pemurnian
mineral serta infrastrukturnya.
Didukung dengan Inpres dan orientasi sumber daya dan letak geografis,
Bantaeng telah melaksanakan pembangunan suatu kawasan industri smelter yang
berdiri di atas lahan sebesar 3055Ha disebut sebagai Bantaeng Industrial Park (BIP)
(Profil Bantaeng, 2015). Beberapa perusahaan dari luar negeri seperti dari Tiongkok,
Malaysia, dan Korea Selatan ikut berinvestasi di industri smelter, bahkan perusahaan
dari ketiga negara tersebut ikut serta dalam pembangunan fasilitas di BIP.
Jadi, kebijakan hilirisasi industri mineral Indonesia memiliki pengaruh dalam
menciptakan peluang terhadap kemajuan daerah khususnya, Bantaeng. Dengan
adanya kesempatan tersebut, Bantaeng membangun Bantaeng Industrial Park yang
akan menjadi industri yang bermanfaat dalam peningkatan pendapatah daerah, dan
secara langsung berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur di Bantaeng.
2) Program Pembangunan Daerah melalui BIP
Program pembangunan daerah yang mendukung industrialisasi adalah tertuang
kedalam visi Kabupaten Bantaeng dalam RPJPD tahun 2013-2018 poin (b):
Terwujudnya kemitraan / interkoneksitas dengan Kabupaten / Kota di Sulawesi
Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya terkait pemanfaatan dan
pengelolaan potensi sumber daya alam, kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan
dalam rangka memenuhi kebutuhan industry, terselenggaranya event-event tingkat
provinsi dan tingkat nasional serta kerja sama dibidang pengembangan wirausaha
benih. Dan untuk mendukung visi pemkab Bantaeng menerapkan misi Kabupaten
Bantaeng pada poin (3) berisi: Peningkatan Jaringan Perdagangan, Industri dan
Pariwisata.
Bantaeng merupakan daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam yang
mendukung industri tambang. Lahan-lahan di Bantaeng hanya berpotensi untuk
pertanian, dan perkebunan. Tetapi gebrakan besar muncul ketika Pemerintah
Kabupaten Bantaeng segera mengambil peluang dengan adanya kebijakan hilirsasi
industri di Indonesia dengan membuka lahan untuk di investasikan. Hal ini menjadi
strategi pemeritah untuk menafaatkan lahan-lahan yang tidak berpotensial untuk
diinvestasikan pada industri tambang. Lahan yang menjadi sasaran investasi tersebut
adalah kecamatan Pajukkukang. Masyarakat kecamatan Pajukkukang sebagian besar
hidup menjadi peternak dan nelayan. Sebagian besar lahan di Pajukkukang digunakan
sebagian tempat beternak dan sebagian merupakan kecil digunakan untuk berternak
ikan, bahkan beberapa tempat hanya berupa lahan kosong yang hanya ditumbuhi oleh
rumput liar (Observasi, 2015).
Maka, pemkab Bantaeng memilih daerah tersebut untuk dimanfaatkan secara
penuh melalui bidang investasi dan mendongkrak perekonomian Kabupaten Bantaeng
melalui investasi industry pengolahan. Pemerintah Kabupaten Bantaeng membentuk
Kawasan Industri Bantaeng atau Bantaeng Industrial Park (BIP) di daerah
Pajukkukang. Selain akan memberi nilai tambah bagi masyarakat Pajukkukang dalam
hal ketenagakerjaan akan mendukung pembangunan infrastruktur daerah di
Kabupaten Bantaeng.
Pembangunan Bantaeng Industrial Park
Kerjasama dalam pembangunan Banteng Industrial Park mengunakan kerangka
investasi dengan sistem patungan (konsorsium) yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bantaeng melalui PT.Bintang Selatan (Perusda) dengan perusahaan asing
masing-masing dari Malaysia dan Tiongkok yaitu BTN Power Sdn.Bdh (Malaysia) China Machinery Engineering Corporation (Tiongkok) - PT. Bantaeng Sigma Persada
(Swasta Lokal) - ADP Daya Prima (M) Sdn.Bdh (Malaysia). Dari kelima konsorsium
perusahaan tersebut akan membentuk perusahaan baru (badan hukum) sebagai
pengelola BIP. Menurut pemerintah Kabupaten Bantaeng dalam wawancaranya:
“Bentuk kerjasamanya (banteng industrial park) adalah joint venture”
(Wawancara Pemkab Bantaeng, 2015)
Joint venture merupakan suatu bentuk kerjasama tertentu antara pemilik modal
nasional (swasta atau Perusahaan Negara) dan pemilik modal asing. Sedangkan dalam
kerangka hokum penanaman modal asing, Ismail Suny membedakan 3 (tiga) macam
kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan undang-undang
penanaman modal asing No. 1 Tahun 1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan
kontrak karya (Nursidi, 2014)
1. Kerjasama dalam bentuk joint venture dalam hal mana para pihak tidak
membentuk suatu badan hukum, yakni badan Indonesia ;
2. Kerjasama dalam bentuk joint enterprise dalam hal mana para pihak bersamasama dengan modalnya (modal asing dan modal nasional) membentuk badan
Indonesia.
3. Kerjasama dalam betuk Kontrak Karya, dalam hal mana pihak asing
membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia dengan modal asing ini yang menjadi pihak dalam perjanjian yang bersangkutan
mengadakan kerjasama dengan badan hukum Indonesia lainnya.
Walaupun dalam kerangka hukum Indonesia membedakan antara joint venture
dan joint interprises tapi dalam konteksnya, joint interprises adalah bagian dari join
venture (Nursidi, 2014). Jadi dalam pembangunan BIP, kerjasama konsorsium
merupakan bagian dari joint venture, yang kemudian berafiliasi membentuk badan
hukum atau perusahan (PT).
Kemudian untuk mengidentifikasi bentuk kerjasama konsorsium dan joint
venture antara Bantaeng-Malaysia-Tiongkok adalah termasuk dalam aktiftas
paradiplomasi, maka perlu melihat kategori yang termasuk dalam aktivitas
paradiplomasi. Berdasarkan prakteknya, Lecorus aktifitas paradiplomasi diaktegoikan
menjadi tiga yaitu (Mukti, 2013):
1. Hubungan kerjasama pemerintah sub-nasional yang hanya berorientasi pada
tujuan-tujuan ekonomi semata, seperti perluasan pasar, pengembangan investasi
keluar negeri, dan investasi secara timbal balik.
2. Paradiplomasi yang melibatkan berbagai bidang dalam kerjasama atau
multipurpose antara ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, ahli
teknologi, dan sebagainya
3. Paradiplomasi kompleks yang melibatkan motif-motif dan identitas nasionalis
wilayah yang spesifik. Melakukan kerjasama untuk menunjukkan dan
mengapresiasikan identitas nasionalnya yang secara otonom berbeda dengan
sebagian besar wilayah di Negaranya.
Pada dasarnya joint venture bukanlah termasuk dalam hubungan paradiplomasi,
karena menurut pengertianya adalah kerjasama patungan swasta atau perusahaan
negara dengan pemilik modal asing. Tetapi, apabila kerjasama tersebut dilakukan
pada level sub-nasional dan dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan pemerintah
dengan pemilik modal asing, maka kegiatan tersebut dapat digolongkan kedalam
aktivitas paradiplomasi. Maka dari itu, Kerjasama joint venture dan konsorsium
antara Bantaeng-Malaysia-Tiongkok termasuk pada model paradiplomasi pada
kategori pertama. Hubungan kerjasama yang hanya terfokus pada kegiatan ekonomi
yaitu investasi dan pembangunan suatu kawasan industri. Aktivitas tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bagan Paradiplomasi atau mekanisme Joint Venture pembangunan BIP
Dari bagan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi kerangka
terciptanya kerjasama paradiplomasi oleh kabupaten Bantaeng adalah mekanisme
joint venture antara pemerintah Bantaeng melalui Perusda dengan dua perusahaan
asal Malaysia, dan satu perusahaan Tiongkok. Walaupun secara mendasar bahwa
hubungan tersebut merupakan hubungan ekonomi, tetapi dalam kegiatanya
mekanisme tersebut merupakan bagian dari paradiplomasi. Dimana ketiga unsur
tersebut membentuk konsorsium untuk membuat satu badan hukum (perusahaan)
yatiu BIP.
Kerjasama dengan Perusahaan Tiongkok
Tiongkok merupakan salah satu Negara yang aktif melakukan investasi di
Indonesia. Berdasakan informasi dari Kementrian Perindustrian, Tiongkok akan
menanamkan investasi kebeberapa industri manufaktur dan industry mineral dan
batubara, terutama di kawasan Indonesia timur. Kementerian Perindustrian pun
menjadwalkan pertemuan lanjutan dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Liu
Jianchao guna membahas nota kesepahaman yang akan dijalin antarkedua Negara
(Kemenprin, 2014). Hal ini didukung oleh kesiapan 9 perusahaan mineral Tiongkok
untuk membangun smelter di Indonesia. Kesiapan tersebut telah tertuang didalam
perjanjian yang ditandatangani pada kesempatan pertemuan Indonesia-China Business
Luncheon APEC Leaders Meeting 7-8 Oktober 2013 di Bali (Media Industri, 2013).
Berdasarkan data tersebut Investasi Jepang, Singapura, Malaysia, Korea Selatan
dan Amerika Serikat mengalami penerunan, sedangkan investasi Tiongkok
mengalami peningkatan. Bahkan untuk pertama kalinya Amerika Serikat, yang
selama ini selalu masuk dalam lima besar investasi di Indonesia digeser oleh
Tiongkok. Peningkatan investasi Tiongkok memegang peran terpenting dalam
kemajuan ekonomi Indonesia, mengingat iklim investasi yang menurun oleh sejumlah
Negara besar.
Dalam pembangunan BIP, Perusahaan Tiongkok memegang peran sentral.
Dimana terdapat ketertarikan Tiongkok pada industri yang berada pada dikawasan
timur Indonesia. Sedangkan Bantaeng sendiri memiliki orientasi geografis yang
sangat setrategis untuk mengundang investasi (Media Industri, 2013). Untuk itu,
kerjasama Bantaeng-Tiongkok dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 3.3. Invetasi Tiongkok pada pembangunan Bantaeng Industrial Park
No
Nama Investor (perusahaan)
Produksi
Bentuk
Nilai
Investasi
Inves
Status
Keterangan
tasi
(USD
Mio)
1
Macrolink International
FeNi
Smelter
200
Mineral Cp.Ltd.
2
PT.Cheng Feng Mining
FeNi
Smelter
200
MoU, Ready di
Pembebasan
lapangan
lahan
MoU, Belum
-
aktif
3
PT.NingXia Anhydrous Port
FeNi
Smelter
100
Logistik (PT Zhongning
MoU, Ready di
Pembebasan
lapangan
lahan 50 Ha
MoU,Belum
-
Mining Industri)
4
PT.Yinyi Indonesia Mining
FeNi
Smelter
200
Investment
5
PT.Mex Internastional
aktif
NPI 12%,
Smelter
1,000
Pig Iron,
MoU, Belum
-
aktif
Iro Ore
6
PT.Huadi Nickel Alloy
Indonesia (PT Bakti Bumi
Sulawesi)
NPI
Smelter
200
MoU, Ready di
Tahap
lapangan
Pembangunan
Konstruksi,
Pembangunan
jetty.
7
China Machinery Engineering
PLTU
Power Plant
500
Company (CMEC
MoU, Ready di
Kerjasama
lapangan
dengan PT
Bantaeng
Zigma EnergyBTN Power
Sdh-
8
Xinhai Technology
PLTU
Power Plant
300
MoU,Belum
-
aktif
9
PT. BIP Power- GCL Power-
PLTU
Power Plant
900
Senhua Guohua Power
10
PT. China Harbour Indonesia
MoU, Belum
-
aktif
Port, Road,
Port
1000
MoU
-
and Public
Service
Berdasarkan table, secara garis besar kerjasama pemerintah Kabupaten
Bantaeng dengan perusahaan asal Tiongkok adalah sebagai berikut:
1.
Pembangunan Industri Smelter, kerjasama ini terdiri enam perusahaan di
antaranya adalah: Macrolink International Mineral Cp.Ltd, PT.Cheng Feng
Mining, PT.NingXia Anhydrous Port Logistik, PT.Yinyi Indonesia Mining
Investment, PT.Yinyi Indonesia Mining Investment, dan Xin Hai Technology.
2.
Pembangunan Pembangkit Listrik, kerjsama ini terdiri dari: China Machinery
Engineering Company (CMEC), Xinhai Technology, dan Senhua Guohua
Power.
3.
Pembangunan dermaga yang kerjasama yang dilakukan dengan PT. China
Harbour Indonesia.
Tiongkok dalam pembangunan BIP merupakan posisi yang sangat sentral.
Dimana Tiongkok menyumbangkan investor sebanyak 38% jumlah perusahaan,
dengan total nilai investasi sebesar 4,9 Milliar US$. Bagi Bantaeng, kerjasama
dengan perusahaan Tiongkok merupakan salah satu langkah mempercepat
pembangunan BIP. Dalam wawancara dinyatakan:
“Hampir seluruh teknologi yang digunakan dalam pembangunan adalah
berasal dari perusahaan-perusahaan luar negeri” (Wawancara Pemkab
Bantaeng, 2015)
Teknologi industri yang digunakan dalam pembangunan BIP adalah bersumber
dari investor asing BIP, sehingga beberapa teknologi industri Tiongkok juga berperan
dalam pembangunan BIP. Dalam hal ini, perusahaan Tiongkok mempunyai teknologi
konstruksi, mesin-mesin industri yang modern, sehingga mendukung proses
percepatan pembangunan BIP. Selain itu, juga akan mendukung capaian masterplan
BIP menjadi kawasan industri modern. Dari seluruh investasi terdapat tiga perusahaan
Tiongkok yang memiliki peran besar dalam pembangunan BIP yaitu:
Pertama, CMEC merupakan salah satu perusahaan Tiongkok konstruksi yang
bekerja pada spesialisasi proyek pembangkit tenaga listrik, transmisi dan distribusi.
CMEC adalah salah satu anak perushaan BUMN dari Tiongkok yaitu, China National
Machinery Engineering Corporations (Sinomach). Hal tersebut mendukung kondisi
keterwakilan pemerintah Tiongkok dalam kawasan industri Bantaeng, sehingga
CMEC dipilih sebagai wakil dalam joint venture BIP. Untuk mewakili banyaknya
perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di BIP, China Machinery Enginering
Company (CMEC) menjadi wakil Tiongkok dalam konsorsium dengan pemerintah
Kabupaten Bantaeng. CMEC dan Bantaeng mencapai keseriusan pembangunan
dimana pembangunan pembangkit listrik dari tiga Negara Tiongkok-MalaysiaIndonesia dalam tahap pembangunan, dan direncanakan akan diresmikan pada bulan
Mei 2015 (Observasi, 2015).
Kedua, China Harbour Engineering Company merupakan perusahaan kontraktor
internasional asal Tiongkok yang terkenal di dunia dengan konstruksi dermaga,
pengerukan dan reklamasi, jalan dan jembatan, kereta api, bandara, real estate, pabrik,
survey dan desain. China Harbour telah menjadi perusahaan kontrakor di Indonesia
yang telah menagangi banyak proyek di Indonesia, seperti: jembatan Suramadu,
Jakarta Internasional Container Terminal II dan IV, Pembangkit Listrik Teluk Naga
dan lain-lain.
Dalam pembangunan BIP, CHEC merupakan perusahaan yang mempunyai
pengaruh besar pembuatan kawasan industri tersebut. menurut pemerintah Bantaeng
dalam wawancara:
“China Harbour itu perusahaan yang mengagas untuk mendirikan
kawasan industri di Bantaeng” (Wawancara Pemkab Bantaeng, 2015)
CHEC merupakan salah satu pengagas yang akan mendirikan, sehingga
perusahaan tersebut juga ikut serta dalam merancang masterplan pembangunan BIP.
Terlihat dalam masterplan BIP, CHEC menjadi desain konstruksi wilayah-wilayah
industri di BIP. Investasi yang diberikan CHEC senilai 1,000 Juta US$ akan
diarahkan sektor pelayan publik dan distribusi produk industri seperti dermaga
kontainer, dan jalan raya.
DAFTAR RUJUKAN
Arsyad. Lincolin. 2010. “Ekonomi Pembangunan” UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
CIDES (Center for Information and Development Studies). 1993. “Pembangunan
Regional & Segitiga Pertumbuhan” CIDES-Jakarta
Katili, J.A.2007.“Harta Bumi Indonesia: Biografi J.A Kartili” Grasindo. Jakarta.
Sugiono. 2009. “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitati dan R&D”. ALFABETA.
Bandung.
Mukti, Takdir Ali. 2013, ‘Paradiplomacy: Kerjasama Luar Negeri oleh Pemda Di
Indonesia’ The Phinisi Press, Yogyakarta.
Moleong, Lexy J.2014. “Metodologi Peneltian Kualitatif”. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Bartik, Timothy. 2003. “Local Economic Development Policy”. Upjohn Institute
Staff Working Paper
Didi Nursidi, “Join Venture Sebagai Bentuk Kerjasama Penanaman Modal Asing Di
Indonesia”http://e-journal.kopertis4.or.id. Diunduh pada 8 Maret 2015.
Ariadi, Kurniawan. “Paradiplomasi, otonomi Daerah, dan Hubungan Luar Negeri”
dalam Jurnal Perencanaan Pembangunan, No. 21, S eptember/Oktober 2000.
Williamson, Victor Imanuel. 2012.
“Hak Menguasai Negara Atas Mineral Dan
Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba” didalam Jurnal
Konstitusi Volume 9 Nomor 3 September 2012
http://www.thenewbantaeng.com/index.php?option=com_content&view=article&id=
81:52-investor-dari-8-negara-hadiri-smelter-summit-2014-dibantaeng&catid=42:berita. Diakses pada 22 Desember 2014.
http://www.kemenperin.go.id/artikel/9342/Kawasan-Industri-Bantaeng-TarikInvestasi-Rp-55-Triliun. diakses pada 11 November 2014
Majalah Media Industri no. 4 Tahun 2013. “ Hilirisasi MInerba Meningkatakan
Industri Nasional”. Kementrian Perindustrian.
Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013
Corporation (CMEC) dalam pembangunan Bantaeng Industrial Park (BIP) Tahun
2014
Muhammad Faizal Alfian
Abstrak
Bantaeng melakukan lompatan yang sangat besar dengan melakukan
pembangunan industri yang dikenal sebagai Bantaeng Industrial Park (BIP).
Bantaeng BIP menjadi strategi Pembangunan daerah Bantaeng . maka untuk
mewujudkan BIP, pemerintah Kabupaten Bantaeng telah membangun kerjasama
dengan beberapa perusahaan. Salah satu mitra kerjasama pemerintah Bantaeng
adalah China Machinery Engineering Corporations (CMEC). Maka penulis dalam
skripsi ini melihat alasan dan faktor pendorong kerjasama pemerintah Kabupaten
Bantaeng dengan CMEC dalam pembangunan BIP.
Metode yang digunakan untuk menganalisis kerjasama pemerintah Bantaeng
dengan CMEC adalah kualitatif dengan pendekatan ekploratif. Sedangkan, teknik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan sutdi pustaka. Data primer
diperoleh dari wawancara dengan pemerintah Kabupaten Bantaeng. Dan data
sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, data, majalah dan berita yang terkait
dengan kerjasama pembangunan BIP.
Bagi Bantaeng, kerjasama dengan perusahaan Tiongkok merupakan salah
satu langkah mempercepat pembangunan BIP. Tiongkok dalam pembangunan BIP
merupakan posisi yang sangat sentral. Hal ini tunjukkan dari posisi yang diberikan
Bantaeng pada perusahaan CMEC di BIP. Hasil penelitian ini menunjukkan alasan
dan faktor pendorong pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan CMEC adalah:
Langkah strategis memperbesar peluang investasi banyak dipengaruhi oleh
institusional gap dan efisiensi penyelengaraaan kebijakan Indonesia; Dan perluasan
jejaring kerjasama ekonomi dipengaruhi oleh pembangunan daerah, ketidakpastian
hukum, pertumbuhan alamiah ekonomi, dan interdependensi Tiongkok-Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam yang berlimpah.
Hampir di seluruh wilayah negara Republik Indonesia memiliki sumber daya alam
yang berpotensi besar untuk mensejahterakan rakyat mulai dari perkebunan,
pertanian, perikanan, hingga pertambangan. Salah satu sumber daya alam yang
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah bidang pertambangan.
Bidang pertambangan Indonesia menjadi sangat penting karena memiliki kekayaan
alamhasil tambang yang melimpah (Wiliamson, 2012).
Maka dari itu, pemanfaatan kekayaan alam hasil tambang perlu didukung oleh
pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan perekonomian nasional
maupun regional. Menurut Katili, sumber daya alam atau kekayaan alam memegang
peran sebagai salah satu elemen penting bagi pembangunan regional dan nasional
(Katili, 2007). Apabila suatu daerah dapat memanfaatkan secara penuh potensi
sumberdaya alam untuk eksplorasi akan berdampak langsung kepada pembangunan di
regionalnya termasuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta kesempatan
kerja yang semakin besar bagi msayarakat.
Dalam perkembangannya dunia pertambangan memulai babak baru dengan
terbitnya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara.
Kebijakan tersebut berisi pelarangan ekspor mineral dan batu bara dalam bentuk raw
material. Jadi, para pelaku ekspor bahan tambang perlu melakukan pemurnian di
dalam negeri sebelum di ekspor keluar. Pemerintah Bantaeng mengambil kesempatan
yang besar tersebut dengan mendirikan industri hilir dalam bidang pertambangan
yang diberi nama dengan Bantaeng Industrial Park (BIP).
Bantaeng melakukan lompatan yang sangat besar dengan melakukan
pembangunan industri yang dikenal sebagai Bantaeng Industrial Park (BIP). Menurut
Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, bahwa wilayah Bantaeng memiliki letak yang
sangat strategi dalam pembangunan industri pengelolahan dan pemurnian biji besi,
wilayah-wilayah yang dulunya tandus dan tidak produktif, kini beralih fungsi menjadi
Bantaeng Industrial Park (BIP) (Pemkab Bantaeng, 2014).
CMEC merupakan perusahaan multinasional BUMN Tiongkok yang
tergabung kedalam perusahaan BUMN Sinomach yang ikut terlibat dalam
pembangunan industri smelter di Bantaeng. Keterlibatan BUMN Tiongkok dalam
pembangunan di Indonesia merupakan merupakan pertamakalinya. Bagi Pemerintah
Kabupaten Bantaeng, kerjasama dengan perusahaan asal Tiongkok merupakan
langkah strategis untuk pembangunan di Bantaeng, khususnya pada bidang industri.
Kerjasama pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan CMEC adalah keseriusan
Bantaeng dalam membangun industrinya. Penalaran penulis terhadap sikap
Pemerintah Bantaeng memilih Tiongkok sebagai mitra adalah, Tiongkok sebagai
negara yang mempunyai nilai investasi yang besar dengan nilai
Rp 55 triliun,
sehingga penulis melihat pentingnya investasi sebagai modal pembangunan Bantaeng
Industrial Park.
Maka dari itu, penulis mengambil judul “Kerjasama Luar Negeri Kabupaten
Bantaeng dengan China Machinery Engineering Coorporations (CMEC) dalam
pembangunan Bantaeng Industrial Park” Yang akan melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi pemerintah Kabupaten Bantaeng dalam melakukan kerjasama luar
ngeri dengan BUMN Tiongkok
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
pemerintah Kabpuaten Bantaeng dengan melakukan kerjasama luar negeri dengan
perusahaan asal Tiongkok, dalam membangun zona industri. Dengan adanya
pemahaman tersebut, diharapkan dapat membuka peluang kerjasama antara daerah
dengan daerah lain maupun perusahaan lain, dan pemerintah pusat mengetahui adanya
langkah strategis untuk mencapai industrialisasi daerah ini.
Untuk menganalisis kerjasama pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan CMEC,
penulis mengunakan konsep local economic development digunakan untuk melihat
tujuan pemkab Bantaeng untuk mencapai pembangunan daerah, sedangkan konsep
paradiplomasi untuk cara untuk mencapai pembangunan daerah.
Paradiplomasi merupakan hubungan diplomasi yang dilakukan oleh
pemerintah lokal atau regional melakukan aktifitas melewati batas-batas wilayah
nasional dan menyusun kerangka kerjasama luar negeri (Mukti, 2013). Aktifitas
kerjasama luar negeri tersebut berasal dari kewenangan pemerintah daerah yang
diperluas oleh pemerintah nasional.
Menurut Ivo Duchachek fenomena ikut berperannya pemerintah lokal dalam
hubungan internasional dimana hubungan yang terjadi secara politik diartikan sebagai
diplomasi. Kemudian, Duchachek dan Soldatos melihat bahwa diplomasi yang terjadi
di tingkat daerah menunjukkan aktifitas pararel, terkordinasi, saling menguntungkan
(Ariadi, 2000).
Ada beberapa factor yang mempengaruhi kegiatan paradiplomasi oleh
pemerintah daerah yaitu:
1. Factor domestik: segmentasi objektif (dorongan yang didasari oleh
perbedaan geografi, budaya, bahasa, agama, politik), asymmetry of' federated
(adanya ketidakseimbangan keterwakilan unit-unit sub nasional terhadap
kebijakan nasional dalam hubungan luar negeri), perkembangan ekonomi
dan institusional atau aktor globalisasi, me-tooism (dorongan mengikuti halhal yang dilakukan unit sub-nasional).
2. Factor nasional: inefisiensi penyelengaraan hubungan luar negeri, adanya
institutional gap (ketidaksetaraan perumusan kebijakan luar negeri daerah
satu denga yang lainnya), masalah-masalah yang terkait dengan nation-
building, ketidakpastian hukum, dan domestikasi politik luar negeri sebagai
dampak dari mengemukanya isu-isu politik tingkat rendah.
3. Factor eksternal: interdependensi global, interdependensi regional dan
keterlibatan/ penetrasi aktor eksternal.
Sedangkan local economic development atau Pembangunan ekonomi daerah
adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya
yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah
dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut
(Arsyad, 2010). Menurut Lincolin Arsyad (2010), pembangunan ekonomi daerah
adalah
suatu
proses
yang
mencakup
pembentukan
institusi-institusi
baru,
pemabangunan industri-industri, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk
menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru dan ahli
ilmu pengetahuan, pengembangan industri-industri baru.
Dalam paper Timothy Bartik (2003) berjudul “Local Economic Development
Policy” menyatakan "program pembangunan ekonomi" jatuh kedalam dua kategori
yaitu:
1. Memberikan bantuan disesuaikan dan ditargetkan pada usaha perorangan yang
dianggap memberikan manfaat pembangunan ekonomi yang lebih besar; dan
2. Inisiatif strategis dimana pajak umum, belanja, dan kebijakan peraturan
pemerintah berubah untuk mempromosikan pembangunan ekonomi lokal.
Pengembangan ekonomi lokal ini bisa dibilang terpengaruh oleh semua.
Kerjasama luar negeri pemkab Bantaeng dengan Tiongkok merupakan
aktivtias paradiplomasi yang mendukung pembangunan daerah (Bartik, 2003).
Sehingga pembangunan daerah merupakan tujuan dari Pemerintah Kabupaten
Bantaeng sedangkan paradiplomasi merupakan alat untuk mewujudkan tujuan
tersebut. Tetapi terdapat banyak yang mempengaruhi pemerintah Bantaeng untuk
melakukan kerjasama luar negeri (Bartik, 2003). Maka peneltian ini akan penulis akan
berusaha untuk menghubungkan factor-faktor yang mempengaruhi paradiplomasi
dengan pembangunan ekonomi lokal.
METODE
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Menurut
Moleong, penelitian kualitatif adalah peneltian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami objek penelitian dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa (Moleong, 2014). Sedangkan metode ekploratoris
dilakukan untuk mengetahui suatu kejadian ketika peneliti kurang mengetahui dan
memahami tentang suatu fenomena. Sehingga penulis akan mengetahui sebab-sebab
terjadinya kejadian tersebut.
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penenlitian ini adalah
telaah pustaka, observasi dan wawancara. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling (Sugiono, 2009). Teknik
analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, menganalisa
permasalahan dengan mengunakan pendekatan induktif umum. Pada tahap awal
teknik analisa data dimulai dengan pengumpulan data, mengkaji kesesuaian data
wawancara, literature dan observasi. Kemudian, penelitian dilanjutkan Interpretasi
data, berupa penafsiran terhadap data-data yang disajikan dan penyimpulan data.
HASIL
Dalam pembangunan daerah, Bantaeng telah menmbuat lompatan besar dalam
industrialisasi dengan mendirikan kawasan industri smelter. Kawasan tersebut adalah
Bantaeng Industrial Park (BIP). Dalam pembangunannya, BIP merupakan produk dari
kerjasama pemkab Bantaeng yang melibatkan beberapa perusahaan internasional
yaitu Malaysia, Tiongkok, dan Korea Selatan. BIP akan menjadi kawasan industri
yang dikelolah oleh tiga actor Bantaeng-Tiongkok-Malaysia.
Ketertarikan investor pada BIP adalah karena BIP didukung oleh orientasi
geografis yang sangat memungkinkan bagi pengusaha untuk melakukan distribusi
produk mineral baik untuk dimurnikan maupun untuk di ekspor kepasar global.
Investor Tiongkok merupakan salah satu investor dengan jumlah persuahaan
asing terbanyak yang berinvestasi pada industri smelter di BIP. Untuk mendukung
pembangunan Bantaeng Indutrial Park, perusahaan Tiongkok tersebut telah mengutus
beberapa perusahaan BUMN untuk ikut membangun Bantaeng Indutrial Park
diantaranya China Machinery Engineering Company (CMEC) dan China Harbour
Engineering Company (CHEC). Harapan bagi pemkab Bantaeng, Tiongkok akan
menjadi mitra strategis dalam pembangunan BIP.
Pada dasarnya Bantaeng melakukan industrialsasi dilatar belakangi oleh
kebijakan hilirisasi industri pertambangan Indonesia, yang diamanatkan melalui UU
No 4/2009. Dengan berlakuknya kebijakan tersebut, pemerintah Indonesia membatasi
ekspor minerba mentah, untuk dimurnikan di dalam negeri, sehingga dapat Indonesia
dapat memperoleh nilai tambah dari industri pemurnian minerba. Kebijakan tersebut
mempunyai dampak meluas hingga ketergantungan Negara asing terhadap produk
Indonesia. Disisi lain, Indonesia membutuhkan dukungan dari investor karena
keberhasilan dari kebijakan tersebut apabila investasi akan mengarah pada industri
hilir.
Kebijakan hilirisasi industri mineral Indonesia memiliki pengaruh dalam
menciptakan peluang terhadap kemajuan daerah khususnya, Bantaeng. Dengan
adanya kesempatan tersebut, Bantaeng membangun Bantaeng Industrial Park yang
akan menjadi industri yang bermanfaat dalam peningkatan pendapatah daerah, dan
secara langsung berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur di Bantaeng.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pemkab Bantaeng dalam
melaksanakan kerjasama dalam pembangunan BIP. Pertama adalah sebagai langkah
strategi dalam memperbesar peluang investasi bagi Pemkab Bantaeng dalam
mempercepat industrialisasi dan pembangunan kawasan Bantaeng Industrial Park.
Dari langkah strategis tersebut terdapat beberapa factor pendorong Pemkab Bantaeng
dalam memperbesar peluang investasi adalah sebagai berikut:
a. Institutional gap atau disparitas kelembagaan antara Bantaeng dengan daerah
lainnya di Indonesia. Tidak terwakilnya berapa daerah dalam kebijakan
hilirisasi industri, dimana pemerintah pusat hanya memusatkan perhatian
pada investasi sekala besar seperti Newmout Nusa Tenggara dan Freeport di
Papua. Hal ini menyebabkan Bantaeng membuka investasi pada perusahaan
CMEC, karena perhatian pemerintah hanya terpusat di beberapa daerah.
b. Efisiensi penyelengaraan kebijakan hilirisasi industi pertambangan di
Indonesia. Pemerintah pusat melihat ketidak terwakilan daerah dalam
kebijakan tersebut, sehingga pemeritah mengeluarkan Inpres No.3/2013
untuk
mengefisiensikan
penyelengaraan
kebijakan
hilirisasi
industri
pertambangan. Inpres tersebut berisi untuk memberikan kemudahan dalam
perizinan dalam investasi industri smelter oleh pemerintah daerah dan
pemerintah kabupaten. Bantaeng memanfaatkan Inpres tersebut dengan
memperbesar laju investasi di BIP, sehingga perusahaan CMEC tertarik
untuk menanamkan modalnya di Bantaeng.
c. Tujuan pembangunan daerah melalui industrialisasi, pembangunan ekonomi
daerah. Dengan membuka investasi di BIP, akan mendukung tujuan
pemerintah untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif menjadi lahan
industri pengolahan smelter. Melalui kerjasama pemkab Bantaeng dengan
CMEC akan mendukung pembangunan infrastruktur daerah, sehingga
Bantaeng akan mendapatkan nilai tambah dari kerjasama tersebut.
Kedua, perluasan jejaring kerjasama ekonomi
internasional. Ada beberapa
factor yang mempengaruhi pemkab Bantaeng untuk memperluas jejaring kerjasama
ekonomi internasional yaitu sebagai berikut:
a. Terdapat ketidakpastian hukum (constitutional uncertainities), dimana
Investor tidak mendapatkan kepastian hukum melalui kebijakan hilirisasi
industri pertambangan. Para pelaku usaha tambang melihat adanya
ketidakpastian hukum pada industri pertambangan, sehingga mendorong
pemkab Bantaeng memperluas jejaring kerjasama untuk mengundang
investasi masuk dan dengan mempermudah perizinan.
b. Pertumbuhan alamiah ekonomi dan jejaring kerjasama pemkab Bantaeng.
Dalam hal ini perkembangan jejaring internasional teknologi informasi, tidak
terlepas dari peran Nurdin Abdullah sebagai pemimpin yang mempunyai
jejaring kerjasama yang tinggi dengan pemerintah asing, sehingga CMEC
tertarik untuk menanamkan modalnya karena informasi tentang Kabupaten
Bantaeng yang mudah untuk diakses bagi jejaring internasional.
c. Interdependensi antara Indonesia dengan Negara investor industri hilir
minerba berpengaruh peluang yang diperoleh pemkab Bantaeng untuk
pembangunan daerah. Dimana terdapat ketertarikan perusahaan Tiongkok
pada industri yang berada pada dikawasan timur Indonesia. Maka
interdependensi tersebut mendorong pemkab Bantaeng untuk melakukan
kerjasama dengan CMEC.
Keterlibatan atau Tiongkok kedalam gagasan pembangunan BIP. Persuahaan
asal Tiongkok sebagai pengagas untuk mendirikan kawasan industri, menjadi tolak
ukur penetrasi CMEC kedalam pembangunan BIP. Keterlibatan dan penetrasi tersebut
menjadi factor pendukung terjalinnya paradiplomasi.
Jadi, kerjasama luar negeri oleh pemkab Bantaeng dengan CMEC dalam
pembangunan BIP adalah dilakukan atas inisiatif pembangunan daerah, industrialisasi
dan peningkatan ekonomi dalam kapasitas industri, sehingga pemkab Bantaeng
mengambil peluang dari berlakunya kebijakan hilirisasi dengan membuka jalur
investasi seluas-luasnya. Kerjasama tercipta bersamaan dengan perluasan jejaring
kerjsama dengan lembaga swasta lainnya, dan ekspor produk tambang minerba
Bantaeng kepasar global.
PEMBAHASAN
Latar Belakang Pembangunan Bantaeng Industrial Park (BIP)
Pada awalnya, pemkab Bantaeng hanya meprioritaskan pada investasi dan
pembangunan industri smelter yang tidak berorientasikan pada pembangunan
kawasan industri skala besar. Menurut pemerintah kabupaten Bantaeng menjelaskan:
Pada awalnya Bantaeng tidak memprioritaskan pembanguan suatu kawasan
industri, tetapi hanya diprioritaskan sebagai industri pengolahan mineral
yang akan didirikan dengan luas lahan 500 Ha, dan kemudian terus
mengalami perluasan lahan menjadi 1500 Ha (Wawancara Pemkab
Bantaeng, 2015)
Konsep industri yang diberikan hanya seluas 500 Ha dan hanya untuk ditempati
untuk industri pemurnian. Konsep awal ini merupakan strategi pemerintah untuk
mengambil peluang dari berlakunya kebijakan hilirisasi industri mineral dengan
mendirikan industri pengolahan mineral. Kemudian pemerintah mengadakan jajak
pendapat dan survei mulai dari masalah teknis dan rancangan strategis. Pemerintah
Bantaeng mulai mencanangan perluasan daerah industri smelter, yang ditawarkan
kembali kepada investor.
Dan setelah mengadakan meeting pada smelter summit pada bulan Maret 2014
yang dihadiri beberapa investor luar negeri. Hasil pertemuan tersebut membuat
investor tertarik untuk menanamkan modalnya untuk mengembangkan kawasan
industri, sehingga jumlah investor bertambah. Kemudian dilakukan penandatanganan
perjanjian kerjasama Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah
Kabupaten Bantaeng, China Machinery Engineering Corporation (CMEC), China
Harbor Company, PT Biidznillah Tambang Nusantara (BTN) Power Sdn.Bhd, dan
Doosan Heavy Industries and Construction Co Ltd. Diantara investor tersebut investor
asing memiliki peran besar mendorong pemerintah untuk mendirikan kawasan
industri terpadu. Negara Industri maju yang mengimpor produk mineral mentah asal
Indonesia seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Tiongkok ikut serta berinvestasi di
Bantaeng.
Investasi asing berkembang pesat di Bantaeng didorong oleh, yang pertama
adalah faktor kebijakan larangan ekspor mineral mentah, sehingga investor di paksa
untuk mendirikan industri pengolahan mineral. Kedua adalah faktor terbukanya lahan
investasi baru di Indonesia membuat investor asing tertarik untuk menanamkan
modalnya pada industri hilir di Indonesia. Untuk lebih jelasnya terdapat tinjauan
kebijakan mengenai pembangunan BIP adalah sebagai berikut:
1) Kebijakan Hilirisasi Pertambangan Di Indonesia
Mineral dan batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang bernilai
tinggi dan peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Berdasarkan
amanat yang terkandung didalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jadi sumber daya minerba perlu memberi
nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selama ini Industri pertambangan minerba
Indonesia tidak sesuai dengan amanat yang terkandung didalam pasal 33 UUD 1945.
Industri pertambangan dinilai merugikan negara dan lebih menguntungkan investor,
sehingga banyak menimbulkan masalah sosial di daerah. Sudah semestinya kekayaan
tersebut merupakan nilai tambah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Mineral tambang Indonesia cenderung dieskpor keluar dalam bentuk mentah,
lalu dimurnikan di luar negeri. Apabila dijual kembali dalam ke Indonesia maka harga
yang mineral yang telah murni akan bertambah cukup besar dari biaya industri
pemurnian (smelter) dan pajak masuk. Hal ini menyebabkan Indonesia kehilangan
peluang mendapatkan nilai tambah dari produksi mineral dalam negeri, dan pihak
asing banyak diuntungkan dalam mendapatkan bahan baku industrinya serta
mendapatakan harga yang terjangkau karena hanya membeli produk mineral mentah.
Pada Tahun 2009, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara untuk mengganti UU No.11 Tahun 1967. Kedua
Kebijakan pertambangan menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam
pengelolaan sumber daya mineral dan batubara, terutama hiliirsasi industri
pertambangan dan pada sistem Kontrak Karya (KK) yang berubah menjadi Izin Usaha
Pertambangan (IUP).
Hilirisasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha
pertambangan atau pemanfaatan terhadap minerba agar tercipta nilai tambah yang
lebih besar. Selain itu, hilirisasi dimaksudkan agar tersedianya bahan baku industri di
dalam negeri, sehingga dapat mendukung terciptanya industri baru dan lapangan
pekerjaan, serta meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang (Media
Tambang, 2013).
Untuk mendukung kegiatan pemurnian dalam negeri pemerintah melalui
Permen ESDM No 7/2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahaan dan Pemurnian di Dalam Negeri, melakukan pengendalian
ekspor bijih mineral mentah keluar untuk dimurnikan didalam negeri. Kebijakan
tersebut termuat didalam pasal 16: “Komdoitas tambang mineral logam termasuk
produk samping/ sisa hasil/ mineral ikutan, mineral bukan logam dan batuan tertentu
yang dijual ke luar negeri wajib memenuhi batasan minimum pengolahan dan/ atau
pemurnian komoditas mineral tertentu”(Media Tambang, 2013).
Penerapan Permen tersebut dianggap sebagai pelemahan terhadap semangat
otonomi daerah, karena lebih bersifat merugikan perusahaan pertambagangan.
Menurut Selby Ihsan Saleh ketua umum Asosiasi Nikel Indonesia (ANI), pasca
diterbitkannya Permen ESDM No.7/2012, dunia pertambangan lesu. Kebijakan
pelarangan ekspor sejumlah produk tambang pukulan bagi pengusaha tambang,
karena industri pengolahaan dan pemurnian didalam negeri belum siap. Kemudian,
ANI mengajukan gugatan ke Mahkama Agung sehingga beberapa pasal Permen
tersebut dibatalkan dan mulai diterapkan pada tahun 2014 (Media Tambang, 2013).
Salah satu dampak dari berlakunya kebijakan hilirsasi minerba, adalah
tumbuhnya industri-industri baru yang akan menambah nilai tambah dalam
pendapatan negara dan daerah, sehingga hal tersebut menjadi kesempatan bagi setiap
daerah untuk memanfaatkan dengan sepenuhnya kebijakan tersebut. Menurut pemkab
Bantaeng:
Salah satu daerah yang memanfaatkan kesempatan tersebut adalah daerah
Bantaeng. Bantaeng merupakan daerah sangat potensial untuk mendirikan industri;
dimana letak geografisnya berada di wilayah timur Indonesia, menguntungkan bagi
investasi perusahaan untuk membangun suatu industri smelter di Bantaeng (Media
Industri, 2013). Kemudian Banteng membuka jalur investasi industry smelter, dan
terus mengembangkan industri dengan mempermudah investasi tambang. Orientasi
pertambangan mendapat dukungan dari pemerintah dalam Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2013 yang menginstruksikan kepada depalan Mentri serta kepala daerah.
Secara khusus Instruksi yang ditujukan kepada kepala daerah berisi: Bupati/Walikota
untuk mempercepat proses pemberian izin/rekomendasi dalam rangka pembangunan
pengolahan dan pemurnian mineral dan/atau infrastrukturnya; dan
memberikan
dukungan dan fasilitasi percepatan pembangunan pengolahan dan pemurnian
mineral serta infrastrukturnya.
Didukung dengan Inpres dan orientasi sumber daya dan letak geografis,
Bantaeng telah melaksanakan pembangunan suatu kawasan industri smelter yang
berdiri di atas lahan sebesar 3055Ha disebut sebagai Bantaeng Industrial Park (BIP)
(Profil Bantaeng, 2015). Beberapa perusahaan dari luar negeri seperti dari Tiongkok,
Malaysia, dan Korea Selatan ikut berinvestasi di industri smelter, bahkan perusahaan
dari ketiga negara tersebut ikut serta dalam pembangunan fasilitas di BIP.
Jadi, kebijakan hilirisasi industri mineral Indonesia memiliki pengaruh dalam
menciptakan peluang terhadap kemajuan daerah khususnya, Bantaeng. Dengan
adanya kesempatan tersebut, Bantaeng membangun Bantaeng Industrial Park yang
akan menjadi industri yang bermanfaat dalam peningkatan pendapatah daerah, dan
secara langsung berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur di Bantaeng.
2) Program Pembangunan Daerah melalui BIP
Program pembangunan daerah yang mendukung industrialisasi adalah tertuang
kedalam visi Kabupaten Bantaeng dalam RPJPD tahun 2013-2018 poin (b):
Terwujudnya kemitraan / interkoneksitas dengan Kabupaten / Kota di Sulawesi
Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya terkait pemanfaatan dan
pengelolaan potensi sumber daya alam, kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan
dalam rangka memenuhi kebutuhan industry, terselenggaranya event-event tingkat
provinsi dan tingkat nasional serta kerja sama dibidang pengembangan wirausaha
benih. Dan untuk mendukung visi pemkab Bantaeng menerapkan misi Kabupaten
Bantaeng pada poin (3) berisi: Peningkatan Jaringan Perdagangan, Industri dan
Pariwisata.
Bantaeng merupakan daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam yang
mendukung industri tambang. Lahan-lahan di Bantaeng hanya berpotensi untuk
pertanian, dan perkebunan. Tetapi gebrakan besar muncul ketika Pemerintah
Kabupaten Bantaeng segera mengambil peluang dengan adanya kebijakan hilirsasi
industri di Indonesia dengan membuka lahan untuk di investasikan. Hal ini menjadi
strategi pemeritah untuk menafaatkan lahan-lahan yang tidak berpotensial untuk
diinvestasikan pada industri tambang. Lahan yang menjadi sasaran investasi tersebut
adalah kecamatan Pajukkukang. Masyarakat kecamatan Pajukkukang sebagian besar
hidup menjadi peternak dan nelayan. Sebagian besar lahan di Pajukkukang digunakan
sebagian tempat beternak dan sebagian merupakan kecil digunakan untuk berternak
ikan, bahkan beberapa tempat hanya berupa lahan kosong yang hanya ditumbuhi oleh
rumput liar (Observasi, 2015).
Maka, pemkab Bantaeng memilih daerah tersebut untuk dimanfaatkan secara
penuh melalui bidang investasi dan mendongkrak perekonomian Kabupaten Bantaeng
melalui investasi industry pengolahan. Pemerintah Kabupaten Bantaeng membentuk
Kawasan Industri Bantaeng atau Bantaeng Industrial Park (BIP) di daerah
Pajukkukang. Selain akan memberi nilai tambah bagi masyarakat Pajukkukang dalam
hal ketenagakerjaan akan mendukung pembangunan infrastruktur daerah di
Kabupaten Bantaeng.
Pembangunan Bantaeng Industrial Park
Kerjasama dalam pembangunan Banteng Industrial Park mengunakan kerangka
investasi dengan sistem patungan (konsorsium) yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bantaeng melalui PT.Bintang Selatan (Perusda) dengan perusahaan asing
masing-masing dari Malaysia dan Tiongkok yaitu BTN Power Sdn.Bdh (Malaysia) China Machinery Engineering Corporation (Tiongkok) - PT. Bantaeng Sigma Persada
(Swasta Lokal) - ADP Daya Prima (M) Sdn.Bdh (Malaysia). Dari kelima konsorsium
perusahaan tersebut akan membentuk perusahaan baru (badan hukum) sebagai
pengelola BIP. Menurut pemerintah Kabupaten Bantaeng dalam wawancaranya:
“Bentuk kerjasamanya (banteng industrial park) adalah joint venture”
(Wawancara Pemkab Bantaeng, 2015)
Joint venture merupakan suatu bentuk kerjasama tertentu antara pemilik modal
nasional (swasta atau Perusahaan Negara) dan pemilik modal asing. Sedangkan dalam
kerangka hokum penanaman modal asing, Ismail Suny membedakan 3 (tiga) macam
kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan undang-undang
penanaman modal asing No. 1 Tahun 1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan
kontrak karya (Nursidi, 2014)
1. Kerjasama dalam bentuk joint venture dalam hal mana para pihak tidak
membentuk suatu badan hukum, yakni badan Indonesia ;
2. Kerjasama dalam bentuk joint enterprise dalam hal mana para pihak bersamasama dengan modalnya (modal asing dan modal nasional) membentuk badan
Indonesia.
3. Kerjasama dalam betuk Kontrak Karya, dalam hal mana pihak asing
membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia dengan modal asing ini yang menjadi pihak dalam perjanjian yang bersangkutan
mengadakan kerjasama dengan badan hukum Indonesia lainnya.
Walaupun dalam kerangka hukum Indonesia membedakan antara joint venture
dan joint interprises tapi dalam konteksnya, joint interprises adalah bagian dari join
venture (Nursidi, 2014). Jadi dalam pembangunan BIP, kerjasama konsorsium
merupakan bagian dari joint venture, yang kemudian berafiliasi membentuk badan
hukum atau perusahan (PT).
Kemudian untuk mengidentifikasi bentuk kerjasama konsorsium dan joint
venture antara Bantaeng-Malaysia-Tiongkok adalah termasuk dalam aktiftas
paradiplomasi, maka perlu melihat kategori yang termasuk dalam aktivitas
paradiplomasi. Berdasarkan prakteknya, Lecorus aktifitas paradiplomasi diaktegoikan
menjadi tiga yaitu (Mukti, 2013):
1. Hubungan kerjasama pemerintah sub-nasional yang hanya berorientasi pada
tujuan-tujuan ekonomi semata, seperti perluasan pasar, pengembangan investasi
keluar negeri, dan investasi secara timbal balik.
2. Paradiplomasi yang melibatkan berbagai bidang dalam kerjasama atau
multipurpose antara ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, ahli
teknologi, dan sebagainya
3. Paradiplomasi kompleks yang melibatkan motif-motif dan identitas nasionalis
wilayah yang spesifik. Melakukan kerjasama untuk menunjukkan dan
mengapresiasikan identitas nasionalnya yang secara otonom berbeda dengan
sebagian besar wilayah di Negaranya.
Pada dasarnya joint venture bukanlah termasuk dalam hubungan paradiplomasi,
karena menurut pengertianya adalah kerjasama patungan swasta atau perusahaan
negara dengan pemilik modal asing. Tetapi, apabila kerjasama tersebut dilakukan
pada level sub-nasional dan dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan pemerintah
dengan pemilik modal asing, maka kegiatan tersebut dapat digolongkan kedalam
aktivitas paradiplomasi. Maka dari itu, Kerjasama joint venture dan konsorsium
antara Bantaeng-Malaysia-Tiongkok termasuk pada model paradiplomasi pada
kategori pertama. Hubungan kerjasama yang hanya terfokus pada kegiatan ekonomi
yaitu investasi dan pembangunan suatu kawasan industri. Aktivitas tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bagan Paradiplomasi atau mekanisme Joint Venture pembangunan BIP
Dari bagan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi kerangka
terciptanya kerjasama paradiplomasi oleh kabupaten Bantaeng adalah mekanisme
joint venture antara pemerintah Bantaeng melalui Perusda dengan dua perusahaan
asal Malaysia, dan satu perusahaan Tiongkok. Walaupun secara mendasar bahwa
hubungan tersebut merupakan hubungan ekonomi, tetapi dalam kegiatanya
mekanisme tersebut merupakan bagian dari paradiplomasi. Dimana ketiga unsur
tersebut membentuk konsorsium untuk membuat satu badan hukum (perusahaan)
yatiu BIP.
Kerjasama dengan Perusahaan Tiongkok
Tiongkok merupakan salah satu Negara yang aktif melakukan investasi di
Indonesia. Berdasakan informasi dari Kementrian Perindustrian, Tiongkok akan
menanamkan investasi kebeberapa industri manufaktur dan industry mineral dan
batubara, terutama di kawasan Indonesia timur. Kementerian Perindustrian pun
menjadwalkan pertemuan lanjutan dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Liu
Jianchao guna membahas nota kesepahaman yang akan dijalin antarkedua Negara
(Kemenprin, 2014). Hal ini didukung oleh kesiapan 9 perusahaan mineral Tiongkok
untuk membangun smelter di Indonesia. Kesiapan tersebut telah tertuang didalam
perjanjian yang ditandatangani pada kesempatan pertemuan Indonesia-China Business
Luncheon APEC Leaders Meeting 7-8 Oktober 2013 di Bali (Media Industri, 2013).
Berdasarkan data tersebut Investasi Jepang, Singapura, Malaysia, Korea Selatan
dan Amerika Serikat mengalami penerunan, sedangkan investasi Tiongkok
mengalami peningkatan. Bahkan untuk pertama kalinya Amerika Serikat, yang
selama ini selalu masuk dalam lima besar investasi di Indonesia digeser oleh
Tiongkok. Peningkatan investasi Tiongkok memegang peran terpenting dalam
kemajuan ekonomi Indonesia, mengingat iklim investasi yang menurun oleh sejumlah
Negara besar.
Dalam pembangunan BIP, Perusahaan Tiongkok memegang peran sentral.
Dimana terdapat ketertarikan Tiongkok pada industri yang berada pada dikawasan
timur Indonesia. Sedangkan Bantaeng sendiri memiliki orientasi geografis yang
sangat setrategis untuk mengundang investasi (Media Industri, 2013). Untuk itu,
kerjasama Bantaeng-Tiongkok dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 3.3. Invetasi Tiongkok pada pembangunan Bantaeng Industrial Park
No
Nama Investor (perusahaan)
Produksi
Bentuk
Nilai
Investasi
Inves
Status
Keterangan
tasi
(USD
Mio)
1
Macrolink International
FeNi
Smelter
200
Mineral Cp.Ltd.
2
PT.Cheng Feng Mining
FeNi
Smelter
200
MoU, Ready di
Pembebasan
lapangan
lahan
MoU, Belum
-
aktif
3
PT.NingXia Anhydrous Port
FeNi
Smelter
100
Logistik (PT Zhongning
MoU, Ready di
Pembebasan
lapangan
lahan 50 Ha
MoU,Belum
-
Mining Industri)
4
PT.Yinyi Indonesia Mining
FeNi
Smelter
200
Investment
5
PT.Mex Internastional
aktif
NPI 12%,
Smelter
1,000
Pig Iron,
MoU, Belum
-
aktif
Iro Ore
6
PT.Huadi Nickel Alloy
Indonesia (PT Bakti Bumi
Sulawesi)
NPI
Smelter
200
MoU, Ready di
Tahap
lapangan
Pembangunan
Konstruksi,
Pembangunan
jetty.
7
China Machinery Engineering
PLTU
Power Plant
500
Company (CMEC
MoU, Ready di
Kerjasama
lapangan
dengan PT
Bantaeng
Zigma EnergyBTN Power
Sdh-
8
Xinhai Technology
PLTU
Power Plant
300
MoU,Belum
-
aktif
9
PT. BIP Power- GCL Power-
PLTU
Power Plant
900
Senhua Guohua Power
10
PT. China Harbour Indonesia
MoU, Belum
-
aktif
Port, Road,
Port
1000
MoU
-
and Public
Service
Berdasarkan table, secara garis besar kerjasama pemerintah Kabupaten
Bantaeng dengan perusahaan asal Tiongkok adalah sebagai berikut:
1.
Pembangunan Industri Smelter, kerjasama ini terdiri enam perusahaan di
antaranya adalah: Macrolink International Mineral Cp.Ltd, PT.Cheng Feng
Mining, PT.NingXia Anhydrous Port Logistik, PT.Yinyi Indonesia Mining
Investment, PT.Yinyi Indonesia Mining Investment, dan Xin Hai Technology.
2.
Pembangunan Pembangkit Listrik, kerjsama ini terdiri dari: China Machinery
Engineering Company (CMEC), Xinhai Technology, dan Senhua Guohua
Power.
3.
Pembangunan dermaga yang kerjasama yang dilakukan dengan PT. China
Harbour Indonesia.
Tiongkok dalam pembangunan BIP merupakan posisi yang sangat sentral.
Dimana Tiongkok menyumbangkan investor sebanyak 38% jumlah perusahaan,
dengan total nilai investasi sebesar 4,9 Milliar US$. Bagi Bantaeng, kerjasama
dengan perusahaan Tiongkok merupakan salah satu langkah mempercepat
pembangunan BIP. Dalam wawancara dinyatakan:
“Hampir seluruh teknologi yang digunakan dalam pembangunan adalah
berasal dari perusahaan-perusahaan luar negeri” (Wawancara Pemkab
Bantaeng, 2015)
Teknologi industri yang digunakan dalam pembangunan BIP adalah bersumber
dari investor asing BIP, sehingga beberapa teknologi industri Tiongkok juga berperan
dalam pembangunan BIP. Dalam hal ini, perusahaan Tiongkok mempunyai teknologi
konstruksi, mesin-mesin industri yang modern, sehingga mendukung proses
percepatan pembangunan BIP. Selain itu, juga akan mendukung capaian masterplan
BIP menjadi kawasan industri modern. Dari seluruh investasi terdapat tiga perusahaan
Tiongkok yang memiliki peran besar dalam pembangunan BIP yaitu:
Pertama, CMEC merupakan salah satu perusahaan Tiongkok konstruksi yang
bekerja pada spesialisasi proyek pembangkit tenaga listrik, transmisi dan distribusi.
CMEC adalah salah satu anak perushaan BUMN dari Tiongkok yaitu, China National
Machinery Engineering Corporations (Sinomach). Hal tersebut mendukung kondisi
keterwakilan pemerintah Tiongkok dalam kawasan industri Bantaeng, sehingga
CMEC dipilih sebagai wakil dalam joint venture BIP. Untuk mewakili banyaknya
perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di BIP, China Machinery Enginering
Company (CMEC) menjadi wakil Tiongkok dalam konsorsium dengan pemerintah
Kabupaten Bantaeng. CMEC dan Bantaeng mencapai keseriusan pembangunan
dimana pembangunan pembangkit listrik dari tiga Negara Tiongkok-MalaysiaIndonesia dalam tahap pembangunan, dan direncanakan akan diresmikan pada bulan
Mei 2015 (Observasi, 2015).
Kedua, China Harbour Engineering Company merupakan perusahaan kontraktor
internasional asal Tiongkok yang terkenal di dunia dengan konstruksi dermaga,
pengerukan dan reklamasi, jalan dan jembatan, kereta api, bandara, real estate, pabrik,
survey dan desain. China Harbour telah menjadi perusahaan kontrakor di Indonesia
yang telah menagangi banyak proyek di Indonesia, seperti: jembatan Suramadu,
Jakarta Internasional Container Terminal II dan IV, Pembangkit Listrik Teluk Naga
dan lain-lain.
Dalam pembangunan BIP, CHEC merupakan perusahaan yang mempunyai
pengaruh besar pembuatan kawasan industri tersebut. menurut pemerintah Bantaeng
dalam wawancara:
“China Harbour itu perusahaan yang mengagas untuk mendirikan
kawasan industri di Bantaeng” (Wawancara Pemkab Bantaeng, 2015)
CHEC merupakan salah satu pengagas yang akan mendirikan, sehingga
perusahaan tersebut juga ikut serta dalam merancang masterplan pembangunan BIP.
Terlihat dalam masterplan BIP, CHEC menjadi desain konstruksi wilayah-wilayah
industri di BIP. Investasi yang diberikan CHEC senilai 1,000 Juta US$ akan
diarahkan sektor pelayan publik dan distribusi produk industri seperti dermaga
kontainer, dan jalan raya.
DAFTAR RUJUKAN
Arsyad. Lincolin. 2010. “Ekonomi Pembangunan” UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
CIDES (Center for Information and Development Studies). 1993. “Pembangunan
Regional & Segitiga Pertumbuhan” CIDES-Jakarta
Katili, J.A.2007.“Harta Bumi Indonesia: Biografi J.A Kartili” Grasindo. Jakarta.
Sugiono. 2009. “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitati dan R&D”. ALFABETA.
Bandung.
Mukti, Takdir Ali. 2013, ‘Paradiplomacy: Kerjasama Luar Negeri oleh Pemda Di
Indonesia’ The Phinisi Press, Yogyakarta.
Moleong, Lexy J.2014. “Metodologi Peneltian Kualitatif”. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Bartik, Timothy. 2003. “Local Economic Development Policy”. Upjohn Institute
Staff Working Paper
Didi Nursidi, “Join Venture Sebagai Bentuk Kerjasama Penanaman Modal Asing Di
Indonesia”http://e-journal.kopertis4.or.id. Diunduh pada 8 Maret 2015.
Ariadi, Kurniawan. “Paradiplomasi, otonomi Daerah, dan Hubungan Luar Negeri”
dalam Jurnal Perencanaan Pembangunan, No. 21, S eptember/Oktober 2000.
Williamson, Victor Imanuel. 2012.
“Hak Menguasai Negara Atas Mineral Dan
Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba” didalam Jurnal
Konstitusi Volume 9 Nomor 3 September 2012
http://www.thenewbantaeng.com/index.php?option=com_content&view=article&id=
81:52-investor-dari-8-negara-hadiri-smelter-summit-2014-dibantaeng&catid=42:berita. Diakses pada 22 Desember 2014.
http://www.kemenperin.go.id/artikel/9342/Kawasan-Industri-Bantaeng-TarikInvestasi-Rp-55-Triliun. diakses pada 11 November 2014
Majalah Media Industri no. 4 Tahun 2013. “ Hilirisasi MInerba Meningkatakan
Industri Nasional”. Kementrian Perindustrian.
Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013