Aplikasi Game Teknologi untuk Edukasi

Aplikasi Game Teknologi untuk Edukasi
Oleh Hafiz Ahmad
Dicanangkannya industri kreatif sebagai salah satu tulang
punggung ekonomi nasional oleh pemerintah telah
membawa sebuah fenomena menarik. Salah satu
diantaranya adalah maraknya kegiatan-kegiatan yang terkait
dengan pengembangan bidang kreasi animasi dan game
teknologi di Indonesia, khususnya sejak akhir tahun
2007. Dengan dukungan pemerintah, khusus melalui
Departemen Pendidikan Nasional dan sinergi beberapa
departemen dan kementrian negara, dua tahun kebelakang
telah dilangsungkan serangkaian festival game teknologi dan animasi, dimulai dari kota Malang di akhir
tahun 2007 dan terakhir adalah ITB Digital Media Festival di Bandung pada November 2008 yang lalu.
Fenomena ini menjadi menarik, karena meski game teknologi telah lama dikenal dan berkembang di
masyarakat, tetapi paradig a ya g erke a g se elu ya e deru g e ojokka
e tuk edia i i
melalui beragam aspek negatif yang mengemuka. Terlebih jika dikaitkan dengan ketertarikan anak-anak
pada berbagai jenis game teknologi yang sering kali dijadikan alasan yang membuat mereka lupa waktu
dan pelajaran sekolah. Belu lagi tuduha
ahwa dala
e erapa judul ga e tek ologi terdapat

materi-materi yang tidak sesuai dengan aspek budaya Nusantara dan etika masyarakat Timur. Dengan
penetapan game teknologi sebagai salah satu pilar industri kreatif menunjukkan telah terjadi perubahan
persepsi dan apresiasi terhadap keduanya yang lebih positif. Paparan ini mencoba menjelaskan secara
sederhana aspek-aspek positif dalam media game teknologi yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana
informasi dan pembelajaran melalui metode hiburan (edutainment).
Scott McCloud, seorang akademisi yang khusus berkecimpung dalam
bidang komik menawarkan satu pendapat yang menarik dalam
bukunya, Understanding Comics (Tundra Publishing, 1993). McCloud
menjabarkan bahwa untuk bisa mendeskripsikan sebuah media, kita
harus melakukan Operasi Estetika dengan memisahkan antara
bentuk media dan konten/materi media (But to define comics, we must
first do a little aesthetic surgery and separate form from content
[McCloud, 1993:5]). Lebih jauh lagi, McCloud mensimulasikan media
sebagai sebuah bejana air (teko, kendi, dsb) yang dapat diisi apa
saja. Materi yang diisikan pada bejana air tadi tentunya terserah dari
para kreator dan tentunya masing-masing kreator tadi pun memiliki
ide dan seleranya masing-masing (yang belum tentu sesuai dengan
selera dari pengguna media tadi). Yang paling utama dari realitas ini
adalah kesadaran bahwa jangan salah menilai pesan yang ada disampaikan tadi (the message/materi)
dengan media penyampai pesannya (the messenger).


Pendapat McCloud ini kemudian dikembangkan
oleh Alvanov Zpalanzani, Beny Maulana dan Hafiz
Ahmad dalam Histeria Komikita (Elexmedia
Komputindo, 2006) yang menjabarkan prinsip
media sebagai bejana air tadi bisa diperlihatkan
melalui bentuk bejana itu sendiri. Misalkan jika
media tadi disimulasikan sebagai gelas, maka
dengan melihat beragam bentuk gelas, kita bisa segera mengetahui untuk siapa dan tujuan apa dari
masing-masing gelas tadi. Gelas untuk anak balita tentunya memiliki bentuk yang berbeda dengan
gelas untuk remaja, apalagi orang tua. Gelas untuk kebutuhan sehari-hari akan berbeda dengan gelas
untuk kebutuhan pesta dan suasana resmi. Bahkan gelas untuk anggur pun berbeda antara untuk
anggur putih dan anggur merah. Jika dikembalikan pada wujud media seperti game teknologi, bentuk
gelas ini bisa disamakan sebagai genre, misalkan game yang masuk kategori genre anak-anak, remaja,
dewasa, memiliki konten edukasi, permainan dengan materi orang dewasa dan sebagainya. Hal ini
tentunya memudahkan orang (dalam hal ini orang tua) untuk bisa memilih tema dan judul game
teknologi yang sesuai untuk anak-anaknya. Tetapi perlu diingat kembali bahwa pada dasarnya materi
ya g terka du g dala setiap ga e adalah wewe a g sa g kreator. Jadi kembali pada analogi gelas
tadi, jika seorang kreator mengisi minuman keras pada gelas untuk anak balita, maka bentuk gelas
menjadi tidak sesuai dengan materi yang dikandungnya. Di sinilah pentingnya kesadaran dan wawasan

kita semua dalam menilai suatu produk game teknologi dan animasi.
Sebagai sebuah media, game
teknologi tentunya memiliki
beragam fitur unggulan yang
membuatnya begitu mudah
masuk dan diterima berbagai
kalangan. Terlebih karena game
biasanya juga mengusung pemanfaatan teknologi multimedia dan interaktivitas yang membuat
pengguna memiliki peran aktif, membuatnya memiliki daya tarik yang lebih tinggi dibandingkan mediamedia lain yang menawarkan peran pasif bagi penggunanya. Lalu apa saja yang menjadikan game
teknologi seakan-akan begitu digjaya dalam membuat penggunanya terpesona?
Tricia Austin dan Richard Doust dalam New Media Design (Lawrence King Publishing, 2007)
menjabarkan bahwa dari studi yang telah dilakukan untuk mengukur pengaruh game teknologi bagi
penggunanya didapat beberapa temuan. Pertama, game adalah hal yang menyenangkan untuk
dilakukan sehingga pemain mendapatkan kesenangan dan kepuasan. Kedua, game adalah bentuk
permainan yang membutuhkan keterlibatan yang intens dan penuh. Ketiga, tantangan, kompetisi,
oposisi dan konflik yang ada di dalam game membutuhkan kemampuan pemecahan masalah yang
mendorong kreativitas. Keempat, storytelling dan representasi (misalkan dalam bentuk avatar pemain
dalam game) memberikan kesempatan mengekspresikan emosi. Kelima, game selalu dibentuk dalam
sebuah struktur aturan dan memiliki tujuan-tujuan tertentu yang memupuk motivasi. Keenam,


permainan yang interaktif menyediakan aksi dan hasil dalam bentuk umpan balik yang membantu
pemain membayangkan hasil yang dicapai. Ketujuh, kemenangan tentunya memberikan kepuasan pada
pemain. Dan terakhir, game interaktif yang melibatkan multiplayer akan membantu membangun
kelompok sosial.
Lebih jauh lagi, Austin dan Doust juga menjabarkan bahwa gameplay juga mampu mengeluarkan potensi
dari media baru sebagai theater digital yang imajinatif. Hal ini akan memberikan pemain akses pada
suatu waktu dan tempat di luar keseharian mereka, menyedot perhatian mereka dan menahan rasa
ketidak percayaan mereka baik pada tatanan kesadaran maupun sub kesadaran. Hal ini menjadikan
dunia dalam game seakan-akan menjadi dunia kedua yang berbeda realitasnya dari dunia mereka yang
nyata (seperti ditampilkan dalam game-game simulasi seperti The Sims atau Second Life).
Pada dasarnya manusia menyukai permainan dan memecahkan teka-teki. Dan dapat dikatakan bahwa
hal ini merupakan kegiatan tradisional yang dilakukan manusia dalam menghabiskan waktu luang:
bermain kartu, board game dan sebagainya. Dengan kondisi yang seperti ini, game teknologi bisa jadi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sehingga sayang rasanya jika
potensi game teknologi yang luar biasa ini tidak kita manfaatkan sebaik-baiknya, misalnya dengan
mengembangkan game untuk edukasi.
Untuk bisa membangun suatu game teknologi untuk edukasi yang berhasil, maka ada baiknya jika kita
juga mengenal genre-genre dalam game teknologi. Hal ini akan membantu dalam menentukan konten
mana yang sesuai untuk tiap genre, sehingga materi edukasi yang ingin disampaikan dapat kena sasaran
melalui pendekatan yang menyenangkan.

Austin dan Doust (2007: 142) membagi genre dalam game teknologi sekaligus penjabaran sifat-sifatnya
sebagai berikut:
1. Adventure games melatih kemampuan pemain dalam memecahkan teka-teki dan menemukan
artefak;
2. Educational games memanfaatkan game sebagai wahana pembelajaran, khususnya untuk anakanak;
3. Fighthing games menekankan pada pertarungan satu lawan satu dan seni bela diri;
4. Multiplayer online games melibatkan banyak pemain untuk berinteraksi bersama-sama secara
online;
5. Platform games mencakup permainan tradisional dua dimensi seperti berlari, meloncat dan
berpindah dari satu level ke level lain untuk mengalahkan musuh dan mengumpulkan hadiah;
6. Puzzle games menantang pemain untuk memecahkan teka-teki berbasis logika dan
mengeksplorasi labirin untuk mencari jalan keluar;
7. Racing games biasanya menempatkan pemain dalam kursi pengemudi kendaraan kencang
paling mutakhir;
8. Role playing games (RPG) memberikan kesempatan pada pemain untuk berperan sebagai
seorang petualang dengan peran khusus dalam sebuah dunia fantasi;

9. Serious games mengajarkan skenario dunia nyata dan biasa dimanfaatkan dalam permainan
korporasi;
10. Simulation games bertujuan untuk mencipta ulang aktivitas dalam pendekatan yang serealistik

mungkin;
11. Sports games mengemulasi permainan fisik dalam olah raga ke dalam ruang keluarga;
12. Strategy games terfokus pada perencanaan dan kemampuan manajerial; dan
13. Traditional games adalah game yang berbasis pada permainan-permainan papan (board games)
dan kartu yang populer.
Pengetahuan terhadap genre-genre game teknologi
setidaknya akan memudahkan perancang game
untuk bisa menggabungkan antara konten dengan
pendekatan game yang sesuai. Misalkan jika kita
ingin memberikan pembelajaran mengenai sistem
distribusi pasar secara komprehensif yang dimulai
dari pembelian bahan mentah hingga pemasaran produk jadi di toko-toko maka bisa dipilih pendekatan
game edukasi yang menggabungkan genre serious games, simulation games dan strategy games. Di sini
kemudian bisa dilihat lagi, apa yang ingin dicapai dari game tadi. Jika pemain ditempatkan sebagai CEO
suatu perusahaan maka genre yang lebih berperan adalah strategy games, karena pemain dituntut
untuk bisa mengambil keputusan strategis dan melatih kemampuan manajerial. Kemudian misalkan kita
ingin membuat sebuah game edukasi sederhana mengenai peraturan lalu lintas, maka bisa dipilih genre
racing games dengan fokus pada pemecahan masalah menghadapi beragam aturan dan rambu-rambu
lalu lintas. Game ini misalnya akan menempatkan pemain sebagai pengendara taksi yang diburu waktu
untuk mengantarkan penumpangnya ke tujuan tertentu tetapi sambil mematuhi peraturan lalu lintas

sepanjang jalan yang dia lalui.
Hal yang paling penting saat kita ingin merancang sebuah game teknologi, khususnya untuk tujuan
edukasi adalah kembali pada prinsip dasar kenapa orang ingin bermain game: mendapatkan unsur
kesenangannya (fun factor). Sesuaikan materi dan gameplay game tadi dengan kemampuan rata-rata
mereka yang nantinya akan memainkannya. Jika game edukasi yang kita buat justru membuat pemain
menjadi frustasi, jangankan muatan edukasinya bisa sampai, jangan-jangan memainkan game-nya saja
sudah merupakan satu keajaiban. Suatu produk game teknologi baru bisa dikatakan berhasil jika
pemainnya mau memainkannya sampai habis dan mendapatkan satu pengalaman tersendiri yang bisa
memancingnya untuk bermain lagi, lagi dan lagi. Hal ini dapat membuat materi edukasi yang ingin
disampaikan dapat diterima secara baik oleh target sasarannya.
*Tulisan ini disampaikan dalam seminar Festival Game dan Animasi Pendidikan 2009 di Poliseni
Yogyakarta, 24 Maret 2009.