Korelasi Peranan Suami Istri pada Mayara

Korelasi Peranan Suami Istri pada Mayarakat Merjosari
Ditinjau dari Islam dan Hukum Nasional
Ahmad Rizza Habibi
(12210140)
Abstrak
Korelasi antara peranan suami dan istri yang terjadi di masyarakat Merjosari,
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang ini sangat beragam. Secara garis besar
peranan tersebut terklasifikasi kepada keluarga yang keduanya sama-sama
bekerja, dan yang hanya suami yang bekerja. Jenis penelitian ini adalah
penelitian empiris. Data yang dikumpulkan berupa data primeer melalui
wawancara, observasi dan dokumentasi, dan data sekunder berupa naskahnaskah atau teks-teks yang dianggap perlu untuk menunjang pembahasan.
Analisis data menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menguraikan
secara jelas dan ringkas mengenai tinjauan Islam dan Hukum Nasional tentang
korelasi peranan suami istri pada masyarakat Merjosari.
Kata Kunci: Peranan Suami Istri, Islam, Hukum Nasional.

Pendahuluan
Pada era globalisasi ini, perceraian semakin marak terjadi, yang sebagian besar dikarenakan
oleh ketidak tahuan para calon suami dan istri tentang pentingnya pembagian peran yang strategis
antara mereka berdua. Dari data yang di lansir oleh beberapa media massa menyebutkan bahwa
kasus perceraian pada tahun 2013 meningkat drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Di Malang

contohnya, menurut Eko Widianto (2013) lima tahun sebelumnya perceraian hanya mencapai 120
kasus, namun dalam tempo sembilan bulan terakhir meningkat menjadi 1.591 perkara. Kasus-kasus
tersebut didominasi oleh kasus perselingkuhan dan soal ekonomi.1
Dilihat dari aspek terjadinya perceraian tersebut, konflik dalam keluargalah yang menjadi
awal mula penyebabnya. Konflik tersebut muncul karena kebanyakan dari pria dan wanita yang
akan menikah belum faham betul akan arti dan tujuan penting dari sebuah pernikahan, yang dalam
1 Eko Widianto,diakses pada hari Sabtu, 31 Mei 2014 pukul 10:10, dari http:// Angka Perceraian
di Malang Melonjak Drastis _ -nasional- _ Tempo.co.htm//

islam disebut sebagai keluarga yang sakinah,mawaddah wa rahmah. Ditambah lagi konteks zaman
yang sudah berbeda jauh dari masa-masa sebelumnya, mengharuskan kepada mereka berdua untuk
mengerti dan menjalani sebuah kehidupan keluarga dalam masa transgender ini.
Huzaemah Tahido (2010) menyebutkan, semakin berkembang zaman dan masyarakat serta
semakin maju iptek, maka semakin banyak pula perempuan berpendidikan tinggi, punya keahlian
dan bekerja di luar rumah, yang pada akhirnya semakin sempit lapangan kerja bagi kaum laki-laki.
Fakta pada akhir dekade ini menyebutkan bahwa pekerja wanita lebih banyak daripada laki-laki.
Bukan tidak mungkin para perempuan akan bisa menjadi pencari nafkah utama, dan laki-laki hanya
akan diam di rumah.2
Bila ditilik lebih jauh dari piramida konstitusi Indonesia, Peraturan yang menaungi antara
hak dan kewajiban suami istri sendiri, masih terpaku kepada pembagian peran antara keduanya

yang bersifat sepihak. Menurut Saparinah Sadli (2010), Pasal 79 KHI tentang penetapan suami
sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga itu berarti memojokkan perempuan
dengan

menunjukkan

bahwa

tempat

dan

kewajiban

perempuan

terutama

di


sektor

keluarga/privat/domestik, sehingga mengurangi hak perempuan untuk mengembangkan potensi diri
secara penuh di sektor publik.3
Bila disandigkan dengan konteks dan kenyataan saat ini, peraturan tersebut sudah sangat
tidak relevan lagi, apabila diterapkan dalam keluarga di Indonesia ini. Karena kebutuhan pasar
global yang sudah semakin meningkat, keadaan sosial yang mengharuskan memperhatikan hak-hak
seorang perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya dan ekonomi masyarakat yang mau tidak
mau membutuhkan peran seorang perempuan di dalamnya.
Terlebih kepada keluarga yang berasal dari tataran keluarga yang kurang mampu. Sudah
semestinya perempuan membagi tugasnya dengan membantu sang suami untuk mencari uang.
Namun, dari keadaan ini memunculkan suatu permasalahan kembali, apabila sang suami dan si istri
sama-sama bekerja, apakah masih bisa keperluan domestik/rumah tangga dapat terurus dengan baik.
Apabila antara suami dan istri tidak bisa membagi peran yang tebaik dalam rumah tangganya, suatu
keniscayaan keluarga tersebut tidak akan bertahan lama. Keaktifan dan kepekaan sosial keluargalah
yang menjadi pondasi penting untuk menjalani bahtera rumah tangga yang bisa bertahan pada masa
sekarang ini.
Dari kegelisahan ini, peneliti sangat tertarik untuk mendalami aspek-aspek apa saja yang
musti dilakukan, untuk membangun sebuah keharmonisan dan kelanggengan sebuah ikatan dalam
kehidupan rumah tangga di era modern ini. Komunikasi pembagian dan pemaduan peran dalam

2 Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., “Fiqih Perempuan Kontemporer”, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 134.
3 Saprinah Sadli, “Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan”, (Cet. I;
Jakarta: Kompas, 2010), h. 173.

rumah tangga adalah salah satu pemikiran yang mungkin dapat ambil, maka sangat diperlukan
kiranya sebuah penelitian untuk dapat menjelaskan sikap strategis apa yang baik untuk dapat
dilaksanakan dalam suatu peran antara suami dan istri pada era globalisasi ini.

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian empiris, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan mengobservasi dan langsung ke lapangan. Sedangkan metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitataif deskriptif, data yang dibtuhkan dalam penelitian ini tidak
berbentuk angka atau diangkakan, karena daam menganalisis data digunakan kata-kata, bukan
dalam bentuk angka-angka (rumusan statistik).4
Pengumpulan data pada peniletian kualitatif dilakukan pada natural setting (kondisi yang
alamiah), maka pengumpulan data menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber
sekunder merupakan sumber yang yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya lewat orang lain atau dokumen.5

Sedangkan teknik pengumpulan data lebih banyak pada wawancara mendalam (in depht
interview), observasi dan dokumentasi. (a) Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara bertanya langsung dengan menggunakan lisan maupun tulisan. Dalam teknik
ini, penulis bertanya langsung kepada salah seorang pakar keluarga muslim yang menjadi
sekertraris di Laboratorium Konsultan Keluarga Sakinah Fakultas Syariah UIN Maulana Mailik
Ibrahim Malang; (b) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Penulis melakukan pengamatan
terhadap sepasang suami istri yang sama-sama bekerja dan mempunyai anak kecil di desa
Merjosari, Lowokwaru, Malang. (c) Dokumentasi, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara pencarian, pengumpulan dan pengkajian data-data atau catatan atau dokumen-dokumen yang
berasal dari literatur-literatur dan sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

Hasil dan Pembahasan
Islam Memandang dalam Peranan Suami Istri
Peranan, yang dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai fungsi atau kedudukan,
merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan khususnya pada kehidupan suami istri. 6 Huzaemah
4 Sapari Imam Asyari, “Suatu Petunjuk Praktis Metodologi Penelitian Sosial”, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), h.31.
5 Prof. Dr. Sugitono, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D”, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 225.

6 Risa Agustin, S.Pd., “Kamus Ilmiah Populer”, (Surabaya: Serba Jaya, tt)

Tahido (2010) menyatakan, ketika risalah Islam hadir pada 15 abad yang silam, ajarannya secara
subtansial telah menghapuskan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada
perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan oleh agama
kepada masing-masing jenis kelamin sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu
merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan bantumembantu.
Islam mengangkat derajat kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki, satu kedudukan
yang tidak pernah dimiliki oleh perempuan-perempuan lain dalam agama samawi terdahulu dan
tidak pula dalam kelompok masyarakat manusia yang diatur oleh sesama mereka dengan
meletakkan perundang-undangan dan peraturan tersendiri. Namun demikian, sebagian orang
mengatakan

bahwasannya,

islam

telah

memperkosa


hak-hak

perempuan

yang terlihat

termarjinalkan dengan laki-laki dalam derajatnya.
Riffat Hassan (dalam Mufidah Ch: 2009) melalui kajian al-Qur’an terutama pada ayat-ayat
yang berkaitan dengan teologi feminis. Kesetaraan gender yang menjadi prinsip universal Islam
terhambat oleh pandangan tradisional yang menyudutkan perempuan. Karena itu membongkar
dasar-dasar teologi tersebutdengan teologi feminis dan juga kritik terhadap syari’at yang
menurutnya dapat beradaptasi dengan waktu dan tempat, dapat dijalankan secara dinamis, kreatif,
evolutif, dan inovatif, termasuk kritik terhadap konsep kesetaraan gender dalam Islam. Seperti ayatayat Allah yang menjelaskan tentang keseimbangan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki.7

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik8dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. An-Nisa’:
32)

Selain itu, dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan,
“dan penciptaan laki-laki dan perempuan, Sesungguhnya usaha kamu memang
berbeda-beda.”(Q.S Al-Lail: 3-4)

7 Dr. Hj. Mufidah Ch., M.Ag., “Pengarusutamaan Gender pada Basis Keagamaan; Pendekatan
Islam, Strukturasi, & Konstruksi Sosial”, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), h. 28
8 Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala
yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan laki-laki dan perempuan,
melainkan karena peran dan fungsinya ada yang berbeda, namun fungsi masing-masing dari
mereka itu sama-sama penting dan semuanya dibutuhkan, karena saling melengkapi. Suami
tidak bisa mengambil alih tugas istri untuk hamil, melahirkan dan menyusi anak, begitu juga
sebaliknya. Namun, untuk peran-peran yang secara lahiriah seperti merawat anak, mengurusi
rumah masih bisa di musyawarahkan jika terdapat suatu keadaan yang mengharuskan seperti
itu. Dalam Al-Qur’an secara eksplisit diisyaratkan:
“dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al-Isra’: 24)


Tentang tanggung jawab dalam keluarga, Allah telah berfirman dalam ayatNya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..” (Q.S AnNisa’: 34)
Suami sebagai seorang pemimpin atau kepala rumah tangga, menurut Jawad
Mughniyah (1968), bahwa maksudnya tidak menunjukkan perbedaan antara laki-laki (suami)
dan perempuan (isteri), tetapi keduanya adalah sama. Ayat tersebut hanya ditunjukan bahwa
laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, keduanya adalah rukun kehidupan, tidak
satupun bisa hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditunjukkan
untuk kepemimpinan suami dalam memimpin isterinya, bukan untuk menjadi pemimpin secara
umum dan bukan untuk menjadi penguasa yang otoriter.9
Jadi ayat ini untuk mempertegas pembagian tugas antara suami dan istri. Tugas suami
adalah melindungi, menjaga, membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah, dan lain-lain.
Kelebihan kaum laki-laki dalam hal kemampuan mencari nafkan dan kekuatan memberikan
perlindungan telah menjadikan kaum perempuan labih mudah menjalankan tugas dan fungsinya
sesuai dengan fitrahnya, yaitu hamil, melahirkan serta mengasuh anak. Maka dengan ini, kaum
perempuan (para istri) dapat tentram dan sejahtera serta tercukupi seluruh kebutuhannya.
Dalam hal peran untuk nafkah, dalam ayat tersebut jelas menjadi kewajiban seorang
laki-laki, namun pada ayat lain dijelaskan,

9 Muhammad Jawad Mughniyah, “Tafsir Al-Kasyif”, (Cet. 1, Jilid II, Beirut: Dar Al-Islam Li AlMalayin, 1968) h. 314.

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.S
At-Thalaq: 7)
Ayat diatas menunjukkan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada isteri dan
anak-anaknya. Nafkah yang dimaksud ialah memenuhi kebutuhan makan dan minum,
paakaian, tempat tinggal, pengobatan dan kebutuhan rumah tangga lainnya, sesuai dengan
kemampuan suami. Karena tanggung jawab penyedia nafkah inilah di antara alasan mengapa
suami menjadi pemimipin rumah tangga.10
Walaupun nafkah rumah tangga dibebankan kepada si suami, di dalam hukum islam
tidak dilarang kepada istri membantu suaminya dalam mencari nafkah dengan persetujuan
suaminya dan tidak mengganggu pelaksanaan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.
Perempuan juga diperbolehkan untuk memberi nafkah kepada suami, anak dan rumah
tangganya dari hasil jerih payahnya, meskipun menafkahi keluarga itu merupakan kewajiban
mutlak bagi suami, asal perempuan tersebut rela dalam hal ini, bahkan dalam keadaan suami
miskin, istri boleh memberikan zakat hartanya kepada istrinya, sebab si istri itu dalam
tanggungannya.

Berdasarkan pada uraian yang telah disampaikan, islam secara tegas telah mengatur
tentang pembagian tugas dan peran antara suami dan istri secara adil dan proporsional sesuai
dengan konteks yang ada. Antara suami dan istri bisa mengkolerasikan peran dalam rumah
tangganya tanpa ada intervensi dari salah satu pihak, namun kebebasan tersebut tidak boleh
sampai melupakan kewajiban dan tugas dasar dari keduanya masing-masing.

Interpretasi Relasi Suami Istri dalam Peraturan Nasional
Zainuddin Ali berpendapat, bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat
antara seorang pria dan wanita (suami istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu
pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami dan istri. Relasi antara keduanya diatur secara jelas pada Pasal 30
undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang

10 Khoiruddin Nasution, “Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I)”
(Yogyakarta: Academica, 2004) h. 169.

Perkawinan) dan Pasal 77 sampai dengan 84 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut
dengan KHI).11
Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan menyatakan: Sumai istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. Selain itu, Pasal 77 ayat (1) KHI berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah , mawaddah dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.dari Pasal-pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa
negara telah menaungi tentang tujuan luhur suatu perkawinan yang harus dijalankan untuk
dikorelasikan kewajiban tersebut oleh suami dan istri.
Masalah hak dan kewajiban suami istri seperti yang diatur dalam Pasal 31 UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi:
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Untuk ayat ke-1 pada pasal tersebut menjelaskan tentang kedudukan atau peranan
antara suami dan istri dalam suatu keluarga adalah seimbang, seimbang disini adalah antara
keduanya berhak untuk menjalankan tugas dan perananya masing-masing, dan tidak ada
halangan untuk bertukar peran apabila terdapat suatu hal yang mengahuruskannya berbuat
demikian. Untuk ayat ke-2 menjelaskan tentang hak untuk melakukan hal-hal yang
berhubungan dengan perbuatan hukum, karena pada usia ini sudah di anggap cakap hukum oleh
pembatasan usia nikah yang telah diatur.
Menurut Asni, terdapat pertimbangan untuk ayat ke-3, banyak pihak yang menjadikan
sasaran kritikan terhadap aturan tersebut, khususnya pemerhati masalah perempuan karena
dinilai membakukan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dengan mengukuhkan
peran istri pada sektor domestik kerumahtanggaan. 12 Selaras dengan itu, ayat tersebut menurut
Risma Nur Arifah, menjadikan seorang suami itu Superior dan istri Inverior, dimana akan
memunculkan rasa otoriter terhadap suami dan memarjinalkan peran istri untu mengembangkan
diri mereka.13
Untuk melakukan penilaian apakah hal tersebut merugikan perempuan atau tidak harus
ditelusuri seberapa jauh dampaknya bagi perempuan. Misalnya selama ini banayak suami yang
meminta istrinya berhenti kerja dengan alasan agar bisa fokus pada perannya untuk melayani
11 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., “Hukum Perdata ISLAM di Indonesia”, (Cet. 6, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 51.
12 Dr. Hj. Asni, M.Hi.., “Pembaruan Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kemetrian Agama
Republik Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2012), h. 273.
13 Risma Nur Arifah, S.Hi, M.H., Wawancara. Malang, Kamis 5 Juli 2014

suami dan anak-anak. Dalam kasus seperti ini, sepertinya hanya kepentinagan suami yang
diutamakan dankepentinagan istri untuk mengaktualisasikan potensi dirinya dalam bidangbidang profesi menjadi termarjinalkan. Demikian pula, pembagian peran tersebut
mempengaruhi sikap para orang tua dalam hal prioritas pendidikan bagi anak perempuannya
karena yang ada dalam pikiran mereka anaknya kelak hanya akan menjadi ibu rumah tangga.14
Apalagi pada masyarakat pedesaan atau masyarakat dari kalangan ekonomi kebawah,
seperti pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, bahwa banyak anak perempuan yang
sebenarnya punya potensi tetapi tidak disekolahkan samapai sepantasnya oleh orang tuanya
karena pola pikir tersebut. Di pihak sang anak perempuan sendiri, juga akan kehilangan
semangat atau motivasi untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya karena selalu dihantui
pikiran bahwa jalur peran yang akan dilakoninya kelak yang hanya akan berjkutat di sekitar
rumah tangga. Hal terpenting baginya adalah berusaha menadapatkan calon suami yang mapan.
Masih menurut Risma, jika keadaan tersebut benar terbentuk karena adanya pengaturan
dalam undang-undang perkawinan maupun KHI, sudah seharusnya dipikirkan kembali
keberadaan pasal tersebut. Pernyataan dalam pasal tersebut bisa ditinjau ulang, entah dengan
kalimat lain atau ada peluang ditiadakan saja. Namun, menurut Alvino Dinova pada acara di
salah satu media televisi menegaskan, alasan peraturan tersebut masiha ada karena belum ada
sensivitas dari para anggota DPR untuk menyetujui rancangan undang-undang pengganti KHI
dan Undang-Undang Perkawinan, padahal sudah berkali-kali rancangan tersebut yang
selanjutnya disebut Counter Legal Drafting (CLD) itu diajukan. “Ya wajar sajalah UndangUndang tersebut masih ada, peresentase anggota DPR laki-laki saja masih jauh lebih besar
daripada perempuan, kan mereka pelakunya”, tegas Risma menambahi.
Seandainya pasal tersebut ditiadakan, para ibu akan tetap menjalankan perannya
sebagaimana yang diamanatkan oleh agama, negara dan masyarakatnya. Sekali lagi, yang
terpenting adalah saling pengertian dan kerja sama antara suami istri dalam meringankan beban
masing-masing.
Dijelaskan pada pasal 33 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suami istri
wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain. Dalam KHI diatur dalam Pasal 77 ayat (2), (3), (4) yang diungkapkan sebagai
berikut;
(2) Suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
14 Pola pikir ini secara tudak langsusng juga melahirkan prinsip ketergantungan perempuan
khususnya pada masalah ekonomi, dengan anggapan bahwa kelakmereka akan dihidupi oleh
suaminya. Akibatnya, mereka tidak dipersiapkan untuk mandiri melalui bekal pendidikan atau
keterampilan yang memadai.

(3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka,
baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agama.
(4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
Dari sini sudah sangat jelas diaktakan bahwa komunikasi antara suami istri adalah suatu
hal yang terpenting yang harus ada pada suatu keluarga. Dan arti dari pemberian bantuan lahir
batin satu kepada yang lain di atas menunjukkan bahwa tidak ada batasan domestik atau nondomestik, jika salah satu dari mereka membutuhkan bantuan seumpama untuk mengantarkan
sekolah si anak sedaangkan si istri sudah berangkat bekerja, selagi si suami mampu maka
selayaknya hal tersebut bisa dikomunikasikan apabila antara keduanya sudah tertanam rasa
saling mencintai dan menghormati.

Integrasi Peran Suami Istri dalam Kenyataan Sosial Masyarakat
Dalam sosial masyarakat indonesia pada era globalisasi ini, khususnya seperti yang
yang telah di amati oleh peneliti, bahwasannya terdapat dua golongan yang secara garis besar
dapat di klasifikasikan menjadi, relasi antara suami istri yang sama-sama bekerja dan suami
istri yang yang hanya suaminya yang bekerja.
Untuk suami dan istri yang sama-sama bekerja disini masih bisa dibagi lagi kepada,
suami dan istri yang sama-sama bekerja dari orang berpendidikan kelas menegah keatas, dan
suami istri yang sama-sama bekerja karena kebutuhan ekonomi.
Untuk suami istri yang sama-sama bekerja dari orang-orang yang berpendidikan
menegah keatas, kebanyakan dari mereka adalah untuk memberikan ruang untuk si istri
mengaktulaisasikan dirinya dan mempunyai sesnsivitas yang tinggi terhadap satu dengan yang
lainnya. Dalam membagi peran antara keduanya untuk mengurus rumah tangga, mereka
mengkomunikasikannya dengan baik. Namun disini untuk mereka yang bekerjanya tidak
terkontrol, biasanya mereka mengandalkan pembantu untuk mengurusi kebutuhan rumah
tangga, dan babysitter untuk mendampingi anak-anak mereka. Memang kebebasan untuk
melaksanakan peran dalam mengexplor dirinya masing-masing bisa terpenuhi, nmuan apabila
komunikasi antara keduanya tidak tepat maka kewajiban dasar mereka akan tidak terpenuhi dan
berdampak kepada keluarga tersebut. Contohnya dampak kepada anak mereka, apabila orang
tuanya berangkat pada pukul 06:00 pagi dan pulang pada pukul 17:00, maka kesempatan untuk
bersama anaknya akan semakin sedikit, padahal jika anak tersebut pada masa-masa emasnya
dalam pertumbuhan tidak diasuh sendiri oleh orang tuanya, maka perilaku anak yang
terkonstruk padanya akan mengikuti lingkungan si anak tumbuh, apalagi jika anak tersebut di
asuh oleh babisitter yang latar belakangnya belum jelas. Dampak selanjutnya adalah kepada

hubungan suami istri itu sendiri, meraka yang jarang ketemu karena batasan wilayah kerja,
dimana mereka berangkat pada esok hari dan bertemu kembali pada malam hari yang pada
waktu itu adalah masa-masa lelah para pekerja, dan pada tempat mereka bekerja masingmasing memiliki pergualan antara lawan jenis. Maka tidak jarang akan terjadi kerenggangan
antara hubungan mereka apabila komunikasi antara mereka tidak berjalan dengan baik.
Yang selanjutnya adalah suami istri yang sama-sama bekerja karena masalah kebutuhan
ekonomi, untuk wilayah sosial yang seperti ini, yang paling riskan menjadi dampak kenyataan
seperti ini adalah anak. Anak akan semakin tidak terurus apabila antara suami dan istri tidak
menitipkan kepada saudara atau tetangga yang dianggapnya pantas untuk merawatnya, karena
faktanya mereka tidak mampu untuk membayar babysitter. Salah satu kenyataan yang
ditemukan oleh peneliti adalah, istri tetap bekerja namun kerjanya di rumah dengan mendirikan
warung kecil-kecilan, denagn seperti ini anak minimal bisa terawasi karena berada pada
jangkauan rumah. Ada juga keluarga yang mengajak anaknya ditempat kerja karena tidak ada
yang mengurusi di rumah, menurut pandangan peneliti anak tersebut kurang bisa terawasi
karena pasti kedua ornag tuanya sibuk dengan pekerjaannya.
Untuk keluarga yang hanya suami yang bekerja ini juga bisa dibagi menjadi dua bagian
garis besar, dari keluarga yang berpendidikan dan dari keluarga yang masih terkonstruk oleh
pemikiran budaya.
Untuk keluarga yang hanya suami yang bekerja dari golongan berpendidikan, mereka
berpendapat bahwa apabila si suami sudah mencukupi nafkahnya kepada keluarganya maka si
istri tidak harus bekerja. Disni peran istri lebih dominan di domestik atau hanya urusan rumah
tangga dan pendidikan anak. Namun terdapat sedikit diskriminasi sosial apabila si istri tersebut
mempunyai kapabilitas untuk bekerja dan berkarya namun si suami tidak mengizinkannya
karena merasa dengan pekerjaannya sudah bisa mmencukupi kebutuhan keluarganya dan demi
keberlangsungan pendidikan anaknya.
Untuk keluarga yang bekerja hanya suaminya karena paradigmanya sudah terkonstruk
oleh budaya dan lingkungan mereka bahwa wilayah istri adalah sumur, kasur dan dapur saja.
Maka keberlangsungan keluarga yang ideal akan mandek kepada posisi lakki-laki saja.
Perempuan akan termarjinalkan oleh pandangan tersebut, sampai pendidikan pun dirasakan
hanya perlu untuk seorang laki-laki, sedangkan perempuan akan terbatas pada punggung suami.

Kesimpulan
Dari keseluruhan analisis tersebut dapat dismpulkan bahwa, dari kenyataan fenomena
yang ada pada sosial masyarakat, masih terdapat pembagian peran antara suami dan istri yang

belum sesuai dengan dengan yang digariskan oleh islam sendiri maupun peraturan perundangundangan tentang perkawinan di Indonesia.
Untuk keluarga yang sama-sama bekerja, seharusnya pembagian peran harus lebih
diperhatikan diantara keduanya. Komunikasi antara keduanya dan keterbukaan apabila terdapat
suatu kegenjalan dalam pembagian peran harus segera di atasi. Konsep keseimbangan dan
salaing peka untk saling membantu harus ada pada keduanya. Adapun yang berkaitan dengan
pendidikan anak, apabila terpaksa tidak bisa mendampinginya dan terpaksa menitipkannya,
maka orang yang mau dititipkan tersebut harus jelas latar belakangnya dan sosial lingkungan
dia hidup, agar terjamin keberlangsunagn anak tersebut.
Sedangkan bagi keluarga yangg hanya suaminya bekerja, tidak ada alasan untuk
melrang istrinya untuk mengaktualisasikan dirinya selama masih dalam koridor etis dan
memang mempunyai kapabilitas. Karena pada zaman globalisasi ini, perempuan juga
mempunyai hak untuk publik, dan berpendidikan tinggi. Kalaupun dia tidak bekerja,
pendidikan tersebut bisa bermanfaat untuk mendidik anak-anaknya.

Saran-saran
Bagi pemrintah untuk mengadakan pendampingan kepada calon suami dan istri yang
akan menikah agar tidak ada kesalah pahaman tentang peran suami dan istri. Dan juga
mengadakan penyuluhan terhadap masyrakat pedesaan yang khususnya masih terkonstruk
dalam paradigmanya bahwa masih ada pendikotomian wilayah pearanan antara suami dan istri.
Bagi keluarga yang telah menikah, untuk memahami tujuan penting diadakannya
pernikahan, dan saling memahami kondisi pasangannya, juga saling terbuka dana saling tolong
menolong dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.
Bagi peneliti selanjutnya, penelitian mengenai korelasi peran suami istri pada era
globalisasi ini diharapkan menjadikan ilustrasi untuk karya-karya selnutnya dalam bidang yang
sama. Hal ini agar dapat menggali lebih dalam tentang informasi peranan-peranan antara suami
istri yang semin berkembang seiring zaman berjalan. Seihingga dapat bermafaat bagi calon
suami dan istri di era selnjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Risa, S.Pd., “Kamus Ilmiah Populer”, (Surabaya: Serba Jaya, tt)
Ali, Zainuddin, Prof. Dr. H. M.A., “Hukum Perdata ISLAM di Indonesia”, (Cet. 6, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006)
Asni, Dr. Hj. M.Hi.., “Pembaruan Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kemetrian Agama
Republik Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2012)
Asyari, Sapari Imam, “Suatu Petunjuk Praktis Metodologi Penelitian Sosial”, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983)
Mufidah Ch., Dr. Hj. M.Ag., “Pengarusutamaan Gender pada Basis Keagamaan; Pendekatan
Islam, Strukturasi, & Konstruksi Sosial”, (Malang: UIN-Malang Press, 2009)
Mughniyah, Muhammad Jawad,. “Tafsir Al-Kasyif”, (Cet. 1, Jilid II, Beirut: Dar Al-Islam Li AlMalayin, 1968)
Nasution, Khoiruddin., “Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I)” (Yogyakarta:
Academica, 2004)
Sadli, Saprinah “Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan”, (Cet. I; Jakarta:
Kompas, 2010)
Sugitono, Prof. Dr. “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D”, (Bandung: Alfabeta,
2012)
Widianto, Eko,. diakses pada hari Sabtu, 31 Mei 2014 pukul 10:10, dari http:// Angka Perceraian di
Malang Melonjak Drastis _ -nasional- _ Tempo.co.htm//
Yanggo, Huzaemah Tahido, Prof. Dr. Hj. M.A., “Fiqih Perempuan Kontemporer”, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22