DEIDEOLOGISASI PARTAI POLITIK PELUANG PO

DEIDEOLOGISASI PARTAI POLITIK: PELUANG POLITIK UANG DAN
MENGUATNYA CALON INDEPENDEN
Oleh: Rizkika Lhena Darwin1

“Berpolitik   tanpa   ideologi   sama   dengan
opportunisme” (Ahmad Dahlan Ranuwihardjo).

Abstract
This paper would like to expressed how deideologization impact on the strengthening of weak
democracy. First, deideologisasi opportunities in electoral practice money politics, where it
affects the integrity of the implementation of national democracy (read: external parties).
Second, deideologization impact on the strengthening of community support for independent
candidates in the elections, so that the party lost its function as a place to produce candidates
for potential head region. As a result of democracy in Indonesia decline electoral democracy
only promote free and fair competition, which more dominant transactional politics. Then the
weakening of democracy in the institutional political parties. At the end of their
reinstitusionalisasi important political parties as the strengthening of democracy internally
and externally.
Abstrak
Tulisan ini ingin mengemukakan bagaimana deideologisasi berdampak pada
lemahnya penguatan demokrasi. Pertama, deideologisasi membuka peluang praktek

politik uang pada ranah elektoral, dimana hal tersebut mempengaruhi integritas
pelaksanaan demokrasi nasional (baca: eksternal partai). Kedua, deideologisasi
berdampak pada menguatnya dukungan masyarakat terhadap calon independen
pada Pilkada, sehingga partai kehilangan fungsinya sebagai wadah kaderisasi dan
kandidasi bagi calon kepala daerah. Akibatnya demokrasi Indonesia dalam lingkup
nasional dan Aceh pada khususnya mengalami kemunduran demokrasi elektoral
yang hanya mengedepankan persaingan yang bebas dan adil, dimana politik
transaksional lebih dominan. Kemudian pelemahan demokrasi dalam partai politik
1 Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry

1

secara institusional. Pada akhirnya penting adanya reinstitusionalisasi partai politik
sebagai penguatan demokrasi secara internal maupun eksternal.

Pendahuluan
Deideologisasi   atau   berhentinya   proses   pendalaman   ideologi   menjadi
fenomena umum yang “menggerogoti” hampir semua partai politik di Indonesia.
Meski   tanpa   ideologi   berpeluang   munculnya   praktek   opportunisme   dalam   partai
politik dan mengesampingkan fungsi partai sebagai wadah perjuangan kepentingan

masyarakat   luas.   Tulisan   ini   ingin   mengemukakan   bagaimana   deideologisasi
berdampak   pada   dua   hal   dalam   demokratisasi;  Pertama,  deideologisasi   membuka
peluang   praktek   politik   uang  pada   pemilu,   dimana   hal   tersebut   mempengaruhi
pelaksanaan   demokrasi   nasional   (baca:   eksternal   partai).  Kedua,  deideologisasi
berdampak   pada   menguatnya   dukungan   masyarakat   terhadap   calon   independen
pada Pilkada, sehingga partai kehilangan fungsinya sebagai wadah kaderisasi dan
kandidasi bagi calon kepala daerah. 
Sejatinya   partai   politik   merupakan   alat   terbaik   untuk   proses   demokrasi,
terutama   dalam   pemerintahan   modern.  Partai   politik   sebagai   salah   satu   pilar
demokrasi   perwakilan   merupakan   institusi   yang   mempunyai   legitimasi   untuk
melakukan   agenda­agenda   politik   yang   berkaitan   dengan   sirkulasi   elit   disebuah
negara. Pada hakikatnya partai menjadi tolak ukur atas kemajuan atau kemunduran
sistem demokrasi di sebuah negara, sehingga partai selalu menjadi sorotan publik

2

sebagai   ukuran   kualitas   demokrasi.   Sebagai  jembatan   antara   masyarakat   dan
pemerintah   (Roskin   dkk,   2006),   partai   politik   adalah   perangkat   utama
“memasukkan”,   mengizinkan   masyarakat   untuk   mendapatkan   kebutuhan   mereka
dan   mengharapkan   didengarkan   oleh   pemerintah.   Namun   dengan   menguatnya

deideologisasi,   partai   mulai   mengesampingkan   semangat   perjuangan   dalam
memperjuangkan   kepentingan   masyarakat.   Pada   akhirnya   partai   menjadi   alat
pemuas “nafsu” elit yang fokus pada kekuasaan.

Peluang Politik Uang
Berbicara   deideologisasi   dan   kaitannya   dengan   politik   uang,   bahwa   tanpa
idelogi   peluang   kartelisasi   bahkan   sudah   dimulai   dari   proses   pemilihan   sampai
dengan   tataran   kebijakan.   Kartelisasi   mengedepankan  linked  yang   didasari   oleh
kepentingan   sekelompok   elit   untuk   mensejahterakan   diri.   Faktanya,   Indonesia
mengalami   keseragaman   ideologi   (abu   abu   bersama)   bagi   partai   politik.   Hampir
semua partai masuk dalam tipologi partai catch­all, dimana partai mengedepankan
penyesuaian ideologi dengan harapan dapat merangkul pemilih lebih luas. 
Dapat dilihat, seperti halnya Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan
partai   berideologi   Islam   namun   berusaha   menyanding   nasionalis   menjadi   islam
nasionalis. Begitu juga Partai Demokrat dimana pada dasarnya keliatan nasionalis
tapi pada pernyataannya menyanding islam dan nasionalis, bahkan Partai Demokrat
telah   membentuk   majelis   untuk   mengakomodir   dukungan   pendukung   ideologi
3

Islam. Partai Keadilan Sejahtera sendiri tidak jauh berbeda, yang berusaha nasionalis

dan   menegara   namun   terlihat   masih   Islam.   Beberapa   contoh   tersebut
menggambarkan   partai   sangat elektorialis­oriented dengan   menghidupkan   semangat
pragmatisme   dan   konsumeriasme   dalam   kehidupan   berpolitik.   Hal   tersebut
berdampak   pada   jebakan   transaksional   yang   dilakukan   oleh   para   politisi
membuahkan   hasil   pengabdian   jangka   pendek   dan   lebih   mengedepankan
kepentingan individual elit.
Semangat pragmatisme dan konsumeriasme telah melegalkan praktik  politik
uang   pada   proses   pemilu.   Pemilu   2014   dapat   dijadikan   sebagai   cotoh   yang
menunjukkan bagaimana partai politik mengedepankan praktik politik uang untuk
meraih kemenangan dengan menghilangkan ideologi sebagai strategi pemenangan
utama. Dalam buku “Politik Uang di Indonesia:  Patronase dan Klientelisme pada
Pemilu   Legislatif   2014”,   memperlihatkan   mayoritas   partai   menggunakan   praktik
politik   uang   untuk   memenangkan   pemilu   (Aspinal   dan   Sukmajati   (eds),   2015).
Bahkan   dalam   kasus   Aceh,   partai   politik   lokal   (baca:   Partai   Aceh)   sama   dengan
partai   politik   nasional   dengan   memperlihatkan   politik   patronase   (baca:   money
politics) lebih berpengaruh dari pada ideologi sebagai upaya memenangkan pemilu
(Darwin   dalam   Edward   dan   Sukmajati   (eds),   2015).   Partai   Aceh   yang   memiliki
ideologi   dengan   didukung   historis   yang   kuat   tidak   cukup   percaya   diri   dengan
menjadikan ideologi sebagai tumpuan utama pemenangan dalam elektoral.


4

Partai   Aceh   merupakan   hasil   dari   proses   tranformasi   gerakan   bersenjata
menjadi gerakan politik, dimana menjadi imbas dari jalan panjang menuju proses
demokratisasi   di   wilayah   bekas   konflik.   Diharapkan   dapat   menjadi   jalan   keluar
untuk   meminimalisir   konflik   yang   akan   meluas   dan   membawa   Aceh   pada   arah
keberlanjutan pembangunan. Pembentukan partai politik lokal sebagai wadah baru
untuk menerjemahkan ideologi perjuangan GAM. Sejarah sebagai gerakan bersenjata
yang   disatukan   oleh   ideologi   perjuangan   yang   tegas,   ketika   bertransformasi   juga
tidak   menjadikan   ideologi   sebagai   senjata   utama   perjuangan   di   ranah   politik
elektoral. 
Partai   politik   yang   mengedepankan   praktik   politik   uang   masuk   ke   ranah
kekuasaan   tetap   akan   menggunakan   politik   transaksional   pada   ranah   kebijakan.
Pada   ranah   kebijakan,   keterpilihan   dengan   cara   transaksional   berakibat   pada
besarnya peluang kartelisasi dalam penentuan kebijakan. Seperti argumentasi Dan
Sletter   (2004),   koalisi   partai   politik   pasca   pemilu   2004   dilakukan   tanpa   adanya
fondasi ideologi berdampak terhadap jebakan akuntabilitas. 
Pasca pemilu 2009 dan pemilu 2014 juga menunjukkan hal yang sama. Pasca
reformasi   justru   bukan   demokrasi   delegatif   yang  menguat.   Bahkan   koalisi   KMP
(Koalisi   Merah   Putih   yang   digagas   kubu   Prabowo)   dan   KIH   (Koalisi   Indonesia

Hebat) tidak menunjukkan peta koalisi yang didasarkan pada basis ideologi tertentu.
Sehingga   tidak   menutup   kemungkinan   peluang   kartelisasi   terbuka   lebar   dalam
menentukan kebijakan publik sekalipun. Dalam koalisi yang tidak didasarkan pada
5

basis   ideologi,   maka   partai   anggota   koalisi   bisa   saja   keluar   dari   koalisi   apabila
dianggap   tidak   menguntungkan   partainya   bukan   alasan   yang   lebih   substansi.
Pecahnya peta koalisi beberapa partai yang tergabung dalam KMP memperlihatkan
bagaimana koalisi yang tidak didasarkan pada ideologi. 
Ideologi tidak menjadi pengikat koalisi, sehingga suksesi kepemimpinan dalam
internal setiap partai akan turut mempengaruhi keberlanjutan koalisi. Pertama kali
PAN yang memilih berbalik dari koalisi KMP yang awalnya dimotori oleh 6 partai
politik yaitu Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai
Persatuan   Pembangunan   (PPP),   Partai   Keadilan   Sejahtera   (PKS),dan   Partai   Bulan
Bintang   (PBB).   Kemudian   dilanjutkan   dengan   keluarnya   Golkar   dan   diikuti   oleh
PPP.   Selain   dari   ideologi   secara   internal   dapat   memecah   belah   internal   masing­
masing partai. 
Ideologi   merupakan   arah   dan   petunjuk   tentang   identitas   partai   politik,
sekaligus menjelaskan kondisi ideal masyarakat yang ingin dibentuk. Ideologi secara
positif   dapat   menjadi   motivasi   dan   dorongan   untuk   mengesampingkan   atau

meminimalkan kepentinganyang mengarah pada oligarki dalam partai politik. Selain
itu   ideologi   dapat   menjadi   motivasi   dan   dorongan   perjuangan   sehingga   ia   turut
menentukan keterlibatan aktif partisipan, alasan bergabung bagi anggota partai baru
atau   pertimbangan   bagi   pemilih   memberikan   hak   suaranya   sebagai   bentuk
pertaruhan kebenaran yang diyakini absolusitasnya.

6

Menguatnya Calon Independen dalam Pilkada
Deideologisasi selain berdampak pada praktek politik uang, juga berdampak
pada   menguatnya   kemunculan   calon   independen.   Dua   hal   yang   mendukung   hal
tersebut. Pertama, deideologisasi mengarahkan partai politik pada krisis kaderisasi
dan   kandidasi,   sehingga   calon   independen   menjadi   sebuah   alternatif.   Kedua,
deideologisasi   menurunkan   tingkat   kepercayaan   masyarakat   pada   partai   politik,
sehingga meningkatnya dukungan terhadap calon independen pada Pilkada.
Ideologi menjadi pondasi dasar bagi partai politik untuk proses kaderisasi dan
kandidasi.   Partai   politik   akan   sulit   melahirkan   kandidat   secara   matang   sesuai
dengan ideologi partainya. Bukan hal yang asing apabila pada Pilkada banyak sekali
bermunculan   calon   independen   yang   sudah   memiliki   figur   ketokohan   yang   kuat
dalam masyarakat. Atau gambaran lain adalah ketika mendekati Pilkada beberapa

partai   akan   sangat   disibukkan   mencari   “kandidat”   secara   karbit   dengan   melihat
kekuatan figur di masyarakat, tentunya dengan mengesampingkan ideologi partai
pengusung.
Adanya figur yang sangat kuat di masyarakat akan menguntungkan bagi partai
dari segi kemenangan dalam Pilkada. Namun sebaliknya keberadaan tokoh tersebut
dalam internal partai tidak mempunyai keterikatan atau tanggung jawab ideologi
terhadap partai politik itu sendiri. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada kasus Ahok
dalam Pilkada Jakarta tahun 2012. 

7

Ahok diusung oleh Gerindra pada Pilkada Jakarta 2012 untuk mendampingi
Jokowi yang diusung oleh PDIP sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta. Figur Ahok
dengan   kekhasan   komunikasi   dan   gaya   kepemimpinannya   mendapat   apresisasi
positif   bagi   sebagian   masyarakat   Jakarta.   Figurnya   kuat   karena   mendapat
penerimaan yang cukup baik dari sebagian masyarakat. Namun ditengah perjalanan
menuju Pilkada Jakarta 2017, Ahok tidak lagi didukung oleh Gerindra untuk maju
sebagai  calon  Gubernur  DKI   Jakarta.  Di  sini  memperlihatkan  bagaimana  ideologi
tidak   menjadi   pengikat   kader   dan   kandidat   dengan   partai   politik   tersebut.
“Kehengkangan” dapat terjadi kapan saja. Hal itu menjadi penjelasan yang lain bagi

figur seperti Risma dan Ganjar Pranomo dari PDIP. 
Pilkada   Aceh   2017   juga   menggambarkan   hal   yang   tidak   jauh   berbeda.
Kemunculan calon independen seperti Dotto Zaini Abdullah (incumbent gubernur
Aceh) dan Zakaria Saman juga bagian dari deideologisasi yang terjadi pada Partai
Aceh. Terlihat dari konflik internal partai dan suksesi dewan pembina berkibat pada
kemunculan kedua tokoh eks­Partai Aceh memilih maju dari jalur calon independen
pada Pilkada Aceh 2017 tanpa memilih untuk menguatkan Partai Aceh.
Selanjutnya   deideologisasi,   calon   independen   dan   ketidakpercayaan
masyarakat   pada   partai   politik   merupakan   3   hal   yang   saling   terkait.   Calon
independen   merupakan   dampak   dari   keputusasaan   dan   ketidakpercayaan
masyarakat   kepada   partai   politik.   Partai   dianggap   tidak   konsisten   dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Calon kepala daerah dari internal partai
8

politik   dianggap   sebagai   bagian   dari   sistem   partai   yang   tidak   mampu
memperjuangkan   kemaslahatan   masyarakat.   Sehingga   penting   menekankan
keterhubungan   ideologi   dalam   proses   rekrutmen   dan   kandidasi.   Karena   ideologi
tersebut dapat memudahkan masyarakat melakukan identifikasi partai politik, baik
pada elektoral maupun setelah duduk pada posisi kekuasaan. 
Dukungan diberikan berdasarkan ideologi yang tergambar pada pondasi partai

politik   yang   visioner   dapat   mengembalikan   kepercayaan   masyarakat   pada   partai
politik.   Pada   konteks   Aceh,   partai   politik   lokal   yang   seharusnya   mendapatkan
kepercayaan lebih dari masyarakat. Pada masyarakat tumbuhnya ketidakpercayaan
publik dan kekecewaan terhadap Partai Aceh akibat kebijakan publik yang dibuat
Partai   Aceh  (Darwin   dalam   Edward   dan   Sukmajati   (eds),   2015).   Tidak   ada
sinkronisasi   antara   ideologi   yang   digaungkan   dengan   penerapan   kebijakan   yang
mensejahterakan.   Ada   kecendrungan   PA   lebih   mengedepankan   pada   sosok   atau
karismatik. 
Partai   politik   yang   mengedepankan   sosok   atau   karismatik   personal
dibandingkan   ideologi   akan   mengalami   krisis   kader.  Bila   kita   merujuk   kepada
pemikiran   La   Palombara   dan   Weiner  dalam   Firmanzah   (2012),  partai   politik
merupakan   sebuah   lembaga   yang   mempunyai   kriteria   organisasi   jangka   panjang
yang   bukan   hanya   terdiri   atas   gabungan   dari   pendukung   yang   setia   dengan
pemimpin   kharismatik.   Partai   politik   hanya   akan   berfungsi   dengan   baik   sebagai
organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang mengatur aktivitas organisasi dan
9

ada mekanisme suksesi yang dapat menjamin keberlangsungan partai politik untuk
jangka waktu yang lama. Ketidak mampuan partai dalam membangun institusinya
menjadi   sebuah   fenomena   sosial   yang   layak   untuk   dikaji   dan   diteliti   lebih

mendalam, sehingga menghasilkan sebuah rekomendasi yang bisa dijadikan acuan
untuk konsep relasi kuasa kedepan.   Banyak partai politik yang menganggap sosok
lebih penting dari pada ideologi. Sehingga proses rekrutmen dan kaderisasi bahkan
kandidasi   tidak   menguat   pada   keterhubungan   ideologi.   Padahal   ideologi   turut
mempengaruhi   klientelisme   dalam   internal   organisasi,   dimana   hubungan   partai
dengan   anggota   bersifat   instrumentalis,   atau   lebih   bersifat   ideologis   yang
anggotanya mengenal dan mengharapkan partai bertidak berdasarkan identifikasi
terhadap partai (Randall and Svåsand dalam Pamungkas, 2011). 
Deideologisasi partai politik  di Indonesia sendiri diakibatkan oleh lemahnya
proses   institusionalisasi   partai   tersebut.   Reformasi   partai   politik   perlu   dilakukan
dengan reinstitusionalisasi partai politik. Proses institusionalisasi merupakan proses
pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku
maupun   secara   kultural   dalam   mempolakan   sikap   atau   budaya   (Randall   dan
Svasand, 2002). Agar partai mampu menompang secara kokoh jalannya demokrasi
dan   stabilitas  politik,  perlembagaan   partai  menjadi   sebuah   kebutuhan   yang   tidak
terhindarkan. Penguatan lembaga partai politik mengharuskan partai berkerja dalam
koridor   fungsi­fungsi   yang   semestinya (Sigit   Pamungkas,   2011:   63). Pemaparan
Randall dan Svasand bahwa pada  tingkat institusionalisasi sebuah partai melalui 4
10

indikator:   1)   derajat   kesisteman (systemness) ;   2)   identitas   nilai (value   infusion); 3)
otonomi   keputusan(decisional   autonomy); dan   4)   reifikasi (reification). Keempat
indikator   tersebut   melihat   kelembagaan   partai   politik   dari   segi   internal   dan
eksternal.
Proses ideologisasi menjadi landasan pada proses institusionalisasi karena akan
membentuk basis nilai atau identitas nilai di internal partai yang juga berdampak
pada   maupun   hubungan   eksternal   partai   politik   dengan   konstituen.   Hal   tersebut
secara   tidak   langsung   akan   berdampak   pada   kualitas   demokrasi   internal   partai
bahkan   kualitas   demokrasi   eksternal   partai   baik   dalam   lingkup   lokal   maupun
nasional. 

Kesimpulan: Reinstitusionalisasi Sebagai Penguatan Demokrasi
Sebagai kesimpulan, ideologi bukan hanya pembeda dari partai politik satu dan
yang lain. Tapi juga sebagai alat mendisiplinkan gerakan, perjuangan dan kekuasaan
politik.   Sejatinya,   pada   perayaan   pesta   demokrasi,   penelaahan   lebih   terhadap
ideologi, rekam jejak partai politik dan elit politiknya, arah perjuangan partai  dan
peluang  koalisi menjadi  poin penilaian utama.  Agar hal itu dapat  tercapai,  maka
reinstitusionalisasi   partai   politik   perlu   dilakukan.   Dengan   itu   partai   politik   akan
mencapai   kematangan   demokrasi   secara   internal,   yang   mana   juga   akan   turut
mendorong kemantangan demokrasi dalam ranah elektoral dan kebijakan. Terutama
Aceh,   yang   akan   melakukan   pemilukada   pada   tahun   2017   dan   berpeluang   besar
11

terlibat   koalisi   dengan   beberapa   partai   politik   untuk   memajukan   calon   kepala
daerah.   Identifikasi   partai   politik   dengan   kaca   mata   ideologi   secara   detil   perlu
dilakukan. Agar masyarakat luas dapat terhindar dari kemelut politik transaksional,
populis, dan opportunis yang jauh dari menemukan jawaban permasalahan kekinian
Aceh   yang   hanya   mampu   ditawarkan   oleh   partai   politik,   solusi   konkrit   sebagai
turunan dari tegasnya ideologi politik yang dimikili dan diyakini oleh partai politik
itu sendiri.

Daftar Pustaka
Dan Slater (2004). Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power 
After Democratic Transition. Indonesia: Academic Research Library.  No. 78. Pg. 
61
Edward Aspinal dan Mada Sukmajati (ed). ( 2015). Politik Uang di Indonesia.: Patronase
dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: Polgov UGM
Firmanzah  (2012). Marketing Politik (Antara Pemahaman dan Realitas).Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Roskin dkk ( 2006). Political Science an introduction. Canada: Pearson Education
Sigit Pamungkas. (2011). Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: 
Institute for Democracy and Welfarism

12

Vicky Randall and Lars Svåsand.( 2002). Party Institusionalization in New Democracies. 
Vol 8,  No.1, pp. 5­29. London: Sage Publications

13