DEIDEOLOGISASI PARTAI POLITIK PELUANG PO
DEIDEOLOGISASI PARTAI POLITIK: PELUANG POLITIK UANG DAN
MENGUATNYA CALON INDEPENDEN
Oleh: Rizkika Lhena Darwin1
“Berpolitik tanpa ideologi sama dengan
opportunisme” (Ahmad Dahlan Ranuwihardjo).
Abstract
This paper would like to expressed how deideologization impact on the strengthening of weak
democracy. First, deideologisasi opportunities in electoral practice money politics, where it
affects the integrity of the implementation of national democracy (read: external parties).
Second, deideologization impact on the strengthening of community support for independent
candidates in the elections, so that the party lost its function as a place to produce candidates
for potential head region. As a result of democracy in Indonesia decline electoral democracy
only promote free and fair competition, which more dominant transactional politics. Then the
weakening of democracy in the institutional political parties. At the end of their
reinstitusionalisasi important political parties as the strengthening of democracy internally
and externally.
Abstrak
Tulisan ini ingin mengemukakan bagaimana deideologisasi berdampak pada
lemahnya penguatan demokrasi. Pertama, deideologisasi membuka peluang praktek
politik uang pada ranah elektoral, dimana hal tersebut mempengaruhi integritas
pelaksanaan demokrasi nasional (baca: eksternal partai). Kedua, deideologisasi
berdampak pada menguatnya dukungan masyarakat terhadap calon independen
pada Pilkada, sehingga partai kehilangan fungsinya sebagai wadah kaderisasi dan
kandidasi bagi calon kepala daerah. Akibatnya demokrasi Indonesia dalam lingkup
nasional dan Aceh pada khususnya mengalami kemunduran demokrasi elektoral
yang hanya mengedepankan persaingan yang bebas dan adil, dimana politik
transaksional lebih dominan. Kemudian pelemahan demokrasi dalam partai politik
1 Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry
1
secara institusional. Pada akhirnya penting adanya reinstitusionalisasi partai politik
sebagai penguatan demokrasi secara internal maupun eksternal.
Pendahuluan
Deideologisasi atau berhentinya proses pendalaman ideologi menjadi
fenomena umum yang “menggerogoti” hampir semua partai politik di Indonesia.
Meski tanpa ideologi berpeluang munculnya praktek opportunisme dalam partai
politik dan mengesampingkan fungsi partai sebagai wadah perjuangan kepentingan
masyarakat luas. Tulisan ini ingin mengemukakan bagaimana deideologisasi
berdampak pada dua hal dalam demokratisasi; Pertama, deideologisasi membuka
peluang praktek politik uang pada pemilu, dimana hal tersebut mempengaruhi
pelaksanaan demokrasi nasional (baca: eksternal partai). Kedua, deideologisasi
berdampak pada menguatnya dukungan masyarakat terhadap calon independen
pada Pilkada, sehingga partai kehilangan fungsinya sebagai wadah kaderisasi dan
kandidasi bagi calon kepala daerah.
Sejatinya partai politik merupakan alat terbaik untuk proses demokrasi,
terutama dalam pemerintahan modern. Partai politik sebagai salah satu pilar
demokrasi perwakilan merupakan institusi yang mempunyai legitimasi untuk
melakukan agendaagenda politik yang berkaitan dengan sirkulasi elit disebuah
negara. Pada hakikatnya partai menjadi tolak ukur atas kemajuan atau kemunduran
sistem demokrasi di sebuah negara, sehingga partai selalu menjadi sorotan publik
2
sebagai ukuran kualitas demokrasi. Sebagai jembatan antara masyarakat dan
pemerintah (Roskin dkk, 2006), partai politik adalah perangkat utama
“memasukkan”, mengizinkan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan mereka
dan mengharapkan didengarkan oleh pemerintah. Namun dengan menguatnya
deideologisasi, partai mulai mengesampingkan semangat perjuangan dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pada akhirnya partai menjadi alat
pemuas “nafsu” elit yang fokus pada kekuasaan.
Peluang Politik Uang
Berbicara deideologisasi dan kaitannya dengan politik uang, bahwa tanpa
idelogi peluang kartelisasi bahkan sudah dimulai dari proses pemilihan sampai
dengan tataran kebijakan. Kartelisasi mengedepankan linked yang didasari oleh
kepentingan sekelompok elit untuk mensejahterakan diri. Faktanya, Indonesia
mengalami keseragaman ideologi (abu abu bersama) bagi partai politik. Hampir
semua partai masuk dalam tipologi partai catchall, dimana partai mengedepankan
penyesuaian ideologi dengan harapan dapat merangkul pemilih lebih luas.
Dapat dilihat, seperti halnya Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan
partai berideologi Islam namun berusaha menyanding nasionalis menjadi islam
nasionalis. Begitu juga Partai Demokrat dimana pada dasarnya keliatan nasionalis
tapi pada pernyataannya menyanding islam dan nasionalis, bahkan Partai Demokrat
telah membentuk majelis untuk mengakomodir dukungan pendukung ideologi
3
Islam. Partai Keadilan Sejahtera sendiri tidak jauh berbeda, yang berusaha nasionalis
dan menegara namun terlihat masih Islam. Beberapa contoh tersebut
menggambarkan partai sangat elektorialisoriented dengan menghidupkan semangat
pragmatisme dan konsumeriasme dalam kehidupan berpolitik. Hal tersebut
berdampak pada jebakan transaksional yang dilakukan oleh para politisi
membuahkan hasil pengabdian jangka pendek dan lebih mengedepankan
kepentingan individual elit.
Semangat pragmatisme dan konsumeriasme telah melegalkan praktik politik
uang pada proses pemilu. Pemilu 2014 dapat dijadikan sebagai cotoh yang
menunjukkan bagaimana partai politik mengedepankan praktik politik uang untuk
meraih kemenangan dengan menghilangkan ideologi sebagai strategi pemenangan
utama. Dalam buku “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada
Pemilu Legislatif 2014”, memperlihatkan mayoritas partai menggunakan praktik
politik uang untuk memenangkan pemilu (Aspinal dan Sukmajati (eds), 2015).
Bahkan dalam kasus Aceh, partai politik lokal (baca: Partai Aceh) sama dengan
partai politik nasional dengan memperlihatkan politik patronase (baca: money
politics) lebih berpengaruh dari pada ideologi sebagai upaya memenangkan pemilu
(Darwin dalam Edward dan Sukmajati (eds), 2015). Partai Aceh yang memiliki
ideologi dengan didukung historis yang kuat tidak cukup percaya diri dengan
menjadikan ideologi sebagai tumpuan utama pemenangan dalam elektoral.
4
Partai Aceh merupakan hasil dari proses tranformasi gerakan bersenjata
menjadi gerakan politik, dimana menjadi imbas dari jalan panjang menuju proses
demokratisasi di wilayah bekas konflik. Diharapkan dapat menjadi jalan keluar
untuk meminimalisir konflik yang akan meluas dan membawa Aceh pada arah
keberlanjutan pembangunan. Pembentukan partai politik lokal sebagai wadah baru
untuk menerjemahkan ideologi perjuangan GAM. Sejarah sebagai gerakan bersenjata
yang disatukan oleh ideologi perjuangan yang tegas, ketika bertransformasi juga
tidak menjadikan ideologi sebagai senjata utama perjuangan di ranah politik
elektoral.
Partai politik yang mengedepankan praktik politik uang masuk ke ranah
kekuasaan tetap akan menggunakan politik transaksional pada ranah kebijakan.
Pada ranah kebijakan, keterpilihan dengan cara transaksional berakibat pada
besarnya peluang kartelisasi dalam penentuan kebijakan. Seperti argumentasi Dan
Sletter (2004), koalisi partai politik pasca pemilu 2004 dilakukan tanpa adanya
fondasi ideologi berdampak terhadap jebakan akuntabilitas.
Pasca pemilu 2009 dan pemilu 2014 juga menunjukkan hal yang sama. Pasca
reformasi justru bukan demokrasi delegatif yang menguat. Bahkan koalisi KMP
(Koalisi Merah Putih yang digagas kubu Prabowo) dan KIH (Koalisi Indonesia
Hebat) tidak menunjukkan peta koalisi yang didasarkan pada basis ideologi tertentu.
Sehingga tidak menutup kemungkinan peluang kartelisasi terbuka lebar dalam
menentukan kebijakan publik sekalipun. Dalam koalisi yang tidak didasarkan pada
5
basis ideologi, maka partai anggota koalisi bisa saja keluar dari koalisi apabila
dianggap tidak menguntungkan partainya bukan alasan yang lebih substansi.
Pecahnya peta koalisi beberapa partai yang tergabung dalam KMP memperlihatkan
bagaimana koalisi yang tidak didasarkan pada ideologi.
Ideologi tidak menjadi pengikat koalisi, sehingga suksesi kepemimpinan dalam
internal setiap partai akan turut mempengaruhi keberlanjutan koalisi. Pertama kali
PAN yang memilih berbalik dari koalisi KMP yang awalnya dimotori oleh 6 partai
politik yaitu Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),dan Partai Bulan
Bintang (PBB). Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Golkar dan diikuti oleh
PPP. Selain dari ideologi secara internal dapat memecah belah internal masing
masing partai.
Ideologi merupakan arah dan petunjuk tentang identitas partai politik,
sekaligus menjelaskan kondisi ideal masyarakat yang ingin dibentuk. Ideologi secara
positif dapat menjadi motivasi dan dorongan untuk mengesampingkan atau
meminimalkan kepentinganyang mengarah pada oligarki dalam partai politik. Selain
itu ideologi dapat menjadi motivasi dan dorongan perjuangan sehingga ia turut
menentukan keterlibatan aktif partisipan, alasan bergabung bagi anggota partai baru
atau pertimbangan bagi pemilih memberikan hak suaranya sebagai bentuk
pertaruhan kebenaran yang diyakini absolusitasnya.
6
Menguatnya Calon Independen dalam Pilkada
Deideologisasi selain berdampak pada praktek politik uang, juga berdampak
pada menguatnya kemunculan calon independen. Dua hal yang mendukung hal
tersebut. Pertama, deideologisasi mengarahkan partai politik pada krisis kaderisasi
dan kandidasi, sehingga calon independen menjadi sebuah alternatif. Kedua,
deideologisasi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik,
sehingga meningkatnya dukungan terhadap calon independen pada Pilkada.
Ideologi menjadi pondasi dasar bagi partai politik untuk proses kaderisasi dan
kandidasi. Partai politik akan sulit melahirkan kandidat secara matang sesuai
dengan ideologi partainya. Bukan hal yang asing apabila pada Pilkada banyak sekali
bermunculan calon independen yang sudah memiliki figur ketokohan yang kuat
dalam masyarakat. Atau gambaran lain adalah ketika mendekati Pilkada beberapa
partai akan sangat disibukkan mencari “kandidat” secara karbit dengan melihat
kekuatan figur di masyarakat, tentunya dengan mengesampingkan ideologi partai
pengusung.
Adanya figur yang sangat kuat di masyarakat akan menguntungkan bagi partai
dari segi kemenangan dalam Pilkada. Namun sebaliknya keberadaan tokoh tersebut
dalam internal partai tidak mempunyai keterikatan atau tanggung jawab ideologi
terhadap partai politik itu sendiri. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada kasus Ahok
dalam Pilkada Jakarta tahun 2012.
7
Ahok diusung oleh Gerindra pada Pilkada Jakarta 2012 untuk mendampingi
Jokowi yang diusung oleh PDIP sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta. Figur Ahok
dengan kekhasan komunikasi dan gaya kepemimpinannya mendapat apresisasi
positif bagi sebagian masyarakat Jakarta. Figurnya kuat karena mendapat
penerimaan yang cukup baik dari sebagian masyarakat. Namun ditengah perjalanan
menuju Pilkada Jakarta 2017, Ahok tidak lagi didukung oleh Gerindra untuk maju
sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Di sini memperlihatkan bagaimana ideologi
tidak menjadi pengikat kader dan kandidat dengan partai politik tersebut.
“Kehengkangan” dapat terjadi kapan saja. Hal itu menjadi penjelasan yang lain bagi
figur seperti Risma dan Ganjar Pranomo dari PDIP.
Pilkada Aceh 2017 juga menggambarkan hal yang tidak jauh berbeda.
Kemunculan calon independen seperti Dotto Zaini Abdullah (incumbent gubernur
Aceh) dan Zakaria Saman juga bagian dari deideologisasi yang terjadi pada Partai
Aceh. Terlihat dari konflik internal partai dan suksesi dewan pembina berkibat pada
kemunculan kedua tokoh eksPartai Aceh memilih maju dari jalur calon independen
pada Pilkada Aceh 2017 tanpa memilih untuk menguatkan Partai Aceh.
Selanjutnya deideologisasi, calon independen dan ketidakpercayaan
masyarakat pada partai politik merupakan 3 hal yang saling terkait. Calon
independen merupakan dampak dari keputusasaan dan ketidakpercayaan
masyarakat kepada partai politik. Partai dianggap tidak konsisten dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Calon kepala daerah dari internal partai
8
politik dianggap sebagai bagian dari sistem partai yang tidak mampu
memperjuangkan kemaslahatan masyarakat. Sehingga penting menekankan
keterhubungan ideologi dalam proses rekrutmen dan kandidasi. Karena ideologi
tersebut dapat memudahkan masyarakat melakukan identifikasi partai politik, baik
pada elektoral maupun setelah duduk pada posisi kekuasaan.
Dukungan diberikan berdasarkan ideologi yang tergambar pada pondasi partai
politik yang visioner dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat pada partai
politik. Pada konteks Aceh, partai politik lokal yang seharusnya mendapatkan
kepercayaan lebih dari masyarakat. Pada masyarakat tumbuhnya ketidakpercayaan
publik dan kekecewaan terhadap Partai Aceh akibat kebijakan publik yang dibuat
Partai Aceh (Darwin dalam Edward dan Sukmajati (eds), 2015). Tidak ada
sinkronisasi antara ideologi yang digaungkan dengan penerapan kebijakan yang
mensejahterakan. Ada kecendrungan PA lebih mengedepankan pada sosok atau
karismatik.
Partai politik yang mengedepankan sosok atau karismatik personal
dibandingkan ideologi akan mengalami krisis kader. Bila kita merujuk kepada
pemikiran La Palombara dan Weiner dalam Firmanzah (2012), partai politik
merupakan sebuah lembaga yang mempunyai kriteria organisasi jangka panjang
yang bukan hanya terdiri atas gabungan dari pendukung yang setia dengan
pemimpin kharismatik. Partai politik hanya akan berfungsi dengan baik sebagai
organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang mengatur aktivitas organisasi dan
9
ada mekanisme suksesi yang dapat menjamin keberlangsungan partai politik untuk
jangka waktu yang lama. Ketidak mampuan partai dalam membangun institusinya
menjadi sebuah fenomena sosial yang layak untuk dikaji dan diteliti lebih
mendalam, sehingga menghasilkan sebuah rekomendasi yang bisa dijadikan acuan
untuk konsep relasi kuasa kedepan. Banyak partai politik yang menganggap sosok
lebih penting dari pada ideologi. Sehingga proses rekrutmen dan kaderisasi bahkan
kandidasi tidak menguat pada keterhubungan ideologi. Padahal ideologi turut
mempengaruhi klientelisme dalam internal organisasi, dimana hubungan partai
dengan anggota bersifat instrumentalis, atau lebih bersifat ideologis yang
anggotanya mengenal dan mengharapkan partai bertidak berdasarkan identifikasi
terhadap partai (Randall and Svåsand dalam Pamungkas, 2011).
Deideologisasi partai politik di Indonesia sendiri diakibatkan oleh lemahnya
proses institusionalisasi partai tersebut. Reformasi partai politik perlu dilakukan
dengan reinstitusionalisasi partai politik. Proses institusionalisasi merupakan proses
pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku
maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (Randall dan
Svasand, 2002). Agar partai mampu menompang secara kokoh jalannya demokrasi
dan stabilitas politik, perlembagaan partai menjadi sebuah kebutuhan yang tidak
terhindarkan. Penguatan lembaga partai politik mengharuskan partai berkerja dalam
koridor fungsifungsi yang semestinya (Sigit Pamungkas, 2011: 63). Pemaparan
Randall dan Svasand bahwa pada tingkat institusionalisasi sebuah partai melalui 4
10
indikator: 1) derajat kesisteman (systemness) ; 2) identitas nilai (value infusion); 3)
otonomi keputusan(decisional autonomy); dan 4) reifikasi (reification). Keempat
indikator tersebut melihat kelembagaan partai politik dari segi internal dan
eksternal.
Proses ideologisasi menjadi landasan pada proses institusionalisasi karena akan
membentuk basis nilai atau identitas nilai di internal partai yang juga berdampak
pada maupun hubungan eksternal partai politik dengan konstituen. Hal tersebut
secara tidak langsung akan berdampak pada kualitas demokrasi internal partai
bahkan kualitas demokrasi eksternal partai baik dalam lingkup lokal maupun
nasional.
Kesimpulan: Reinstitusionalisasi Sebagai Penguatan Demokrasi
Sebagai kesimpulan, ideologi bukan hanya pembeda dari partai politik satu dan
yang lain. Tapi juga sebagai alat mendisiplinkan gerakan, perjuangan dan kekuasaan
politik. Sejatinya, pada perayaan pesta demokrasi, penelaahan lebih terhadap
ideologi, rekam jejak partai politik dan elit politiknya, arah perjuangan partai dan
peluang koalisi menjadi poin penilaian utama. Agar hal itu dapat tercapai, maka
reinstitusionalisasi partai politik perlu dilakukan. Dengan itu partai politik akan
mencapai kematangan demokrasi secara internal, yang mana juga akan turut
mendorong kemantangan demokrasi dalam ranah elektoral dan kebijakan. Terutama
Aceh, yang akan melakukan pemilukada pada tahun 2017 dan berpeluang besar
11
terlibat koalisi dengan beberapa partai politik untuk memajukan calon kepala
daerah. Identifikasi partai politik dengan kaca mata ideologi secara detil perlu
dilakukan. Agar masyarakat luas dapat terhindar dari kemelut politik transaksional,
populis, dan opportunis yang jauh dari menemukan jawaban permasalahan kekinian
Aceh yang hanya mampu ditawarkan oleh partai politik, solusi konkrit sebagai
turunan dari tegasnya ideologi politik yang dimikili dan diyakini oleh partai politik
itu sendiri.
Daftar Pustaka
Dan Slater (2004). Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power
After Democratic Transition. Indonesia: Academic Research Library. No. 78. Pg.
61
Edward Aspinal dan Mada Sukmajati (ed). ( 2015). Politik Uang di Indonesia.: Patronase
dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: Polgov UGM
Firmanzah (2012). Marketing Politik (Antara Pemahaman dan Realitas).Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Roskin dkk ( 2006). Political Science an introduction. Canada: Pearson Education
Sigit Pamungkas. (2011). Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta:
Institute for Democracy and Welfarism
12
Vicky Randall and Lars Svåsand.( 2002). Party Institusionalization in New Democracies.
Vol 8, No.1, pp. 529. London: Sage Publications
13
MENGUATNYA CALON INDEPENDEN
Oleh: Rizkika Lhena Darwin1
“Berpolitik tanpa ideologi sama dengan
opportunisme” (Ahmad Dahlan Ranuwihardjo).
Abstract
This paper would like to expressed how deideologization impact on the strengthening of weak
democracy. First, deideologisasi opportunities in electoral practice money politics, where it
affects the integrity of the implementation of national democracy (read: external parties).
Second, deideologization impact on the strengthening of community support for independent
candidates in the elections, so that the party lost its function as a place to produce candidates
for potential head region. As a result of democracy in Indonesia decline electoral democracy
only promote free and fair competition, which more dominant transactional politics. Then the
weakening of democracy in the institutional political parties. At the end of their
reinstitusionalisasi important political parties as the strengthening of democracy internally
and externally.
Abstrak
Tulisan ini ingin mengemukakan bagaimana deideologisasi berdampak pada
lemahnya penguatan demokrasi. Pertama, deideologisasi membuka peluang praktek
politik uang pada ranah elektoral, dimana hal tersebut mempengaruhi integritas
pelaksanaan demokrasi nasional (baca: eksternal partai). Kedua, deideologisasi
berdampak pada menguatnya dukungan masyarakat terhadap calon independen
pada Pilkada, sehingga partai kehilangan fungsinya sebagai wadah kaderisasi dan
kandidasi bagi calon kepala daerah. Akibatnya demokrasi Indonesia dalam lingkup
nasional dan Aceh pada khususnya mengalami kemunduran demokrasi elektoral
yang hanya mengedepankan persaingan yang bebas dan adil, dimana politik
transaksional lebih dominan. Kemudian pelemahan demokrasi dalam partai politik
1 Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry
1
secara institusional. Pada akhirnya penting adanya reinstitusionalisasi partai politik
sebagai penguatan demokrasi secara internal maupun eksternal.
Pendahuluan
Deideologisasi atau berhentinya proses pendalaman ideologi menjadi
fenomena umum yang “menggerogoti” hampir semua partai politik di Indonesia.
Meski tanpa ideologi berpeluang munculnya praktek opportunisme dalam partai
politik dan mengesampingkan fungsi partai sebagai wadah perjuangan kepentingan
masyarakat luas. Tulisan ini ingin mengemukakan bagaimana deideologisasi
berdampak pada dua hal dalam demokratisasi; Pertama, deideologisasi membuka
peluang praktek politik uang pada pemilu, dimana hal tersebut mempengaruhi
pelaksanaan demokrasi nasional (baca: eksternal partai). Kedua, deideologisasi
berdampak pada menguatnya dukungan masyarakat terhadap calon independen
pada Pilkada, sehingga partai kehilangan fungsinya sebagai wadah kaderisasi dan
kandidasi bagi calon kepala daerah.
Sejatinya partai politik merupakan alat terbaik untuk proses demokrasi,
terutama dalam pemerintahan modern. Partai politik sebagai salah satu pilar
demokrasi perwakilan merupakan institusi yang mempunyai legitimasi untuk
melakukan agendaagenda politik yang berkaitan dengan sirkulasi elit disebuah
negara. Pada hakikatnya partai menjadi tolak ukur atas kemajuan atau kemunduran
sistem demokrasi di sebuah negara, sehingga partai selalu menjadi sorotan publik
2
sebagai ukuran kualitas demokrasi. Sebagai jembatan antara masyarakat dan
pemerintah (Roskin dkk, 2006), partai politik adalah perangkat utama
“memasukkan”, mengizinkan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan mereka
dan mengharapkan didengarkan oleh pemerintah. Namun dengan menguatnya
deideologisasi, partai mulai mengesampingkan semangat perjuangan dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pada akhirnya partai menjadi alat
pemuas “nafsu” elit yang fokus pada kekuasaan.
Peluang Politik Uang
Berbicara deideologisasi dan kaitannya dengan politik uang, bahwa tanpa
idelogi peluang kartelisasi bahkan sudah dimulai dari proses pemilihan sampai
dengan tataran kebijakan. Kartelisasi mengedepankan linked yang didasari oleh
kepentingan sekelompok elit untuk mensejahterakan diri. Faktanya, Indonesia
mengalami keseragaman ideologi (abu abu bersama) bagi partai politik. Hampir
semua partai masuk dalam tipologi partai catchall, dimana partai mengedepankan
penyesuaian ideologi dengan harapan dapat merangkul pemilih lebih luas.
Dapat dilihat, seperti halnya Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan
partai berideologi Islam namun berusaha menyanding nasionalis menjadi islam
nasionalis. Begitu juga Partai Demokrat dimana pada dasarnya keliatan nasionalis
tapi pada pernyataannya menyanding islam dan nasionalis, bahkan Partai Demokrat
telah membentuk majelis untuk mengakomodir dukungan pendukung ideologi
3
Islam. Partai Keadilan Sejahtera sendiri tidak jauh berbeda, yang berusaha nasionalis
dan menegara namun terlihat masih Islam. Beberapa contoh tersebut
menggambarkan partai sangat elektorialisoriented dengan menghidupkan semangat
pragmatisme dan konsumeriasme dalam kehidupan berpolitik. Hal tersebut
berdampak pada jebakan transaksional yang dilakukan oleh para politisi
membuahkan hasil pengabdian jangka pendek dan lebih mengedepankan
kepentingan individual elit.
Semangat pragmatisme dan konsumeriasme telah melegalkan praktik politik
uang pada proses pemilu. Pemilu 2014 dapat dijadikan sebagai cotoh yang
menunjukkan bagaimana partai politik mengedepankan praktik politik uang untuk
meraih kemenangan dengan menghilangkan ideologi sebagai strategi pemenangan
utama. Dalam buku “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada
Pemilu Legislatif 2014”, memperlihatkan mayoritas partai menggunakan praktik
politik uang untuk memenangkan pemilu (Aspinal dan Sukmajati (eds), 2015).
Bahkan dalam kasus Aceh, partai politik lokal (baca: Partai Aceh) sama dengan
partai politik nasional dengan memperlihatkan politik patronase (baca: money
politics) lebih berpengaruh dari pada ideologi sebagai upaya memenangkan pemilu
(Darwin dalam Edward dan Sukmajati (eds), 2015). Partai Aceh yang memiliki
ideologi dengan didukung historis yang kuat tidak cukup percaya diri dengan
menjadikan ideologi sebagai tumpuan utama pemenangan dalam elektoral.
4
Partai Aceh merupakan hasil dari proses tranformasi gerakan bersenjata
menjadi gerakan politik, dimana menjadi imbas dari jalan panjang menuju proses
demokratisasi di wilayah bekas konflik. Diharapkan dapat menjadi jalan keluar
untuk meminimalisir konflik yang akan meluas dan membawa Aceh pada arah
keberlanjutan pembangunan. Pembentukan partai politik lokal sebagai wadah baru
untuk menerjemahkan ideologi perjuangan GAM. Sejarah sebagai gerakan bersenjata
yang disatukan oleh ideologi perjuangan yang tegas, ketika bertransformasi juga
tidak menjadikan ideologi sebagai senjata utama perjuangan di ranah politik
elektoral.
Partai politik yang mengedepankan praktik politik uang masuk ke ranah
kekuasaan tetap akan menggunakan politik transaksional pada ranah kebijakan.
Pada ranah kebijakan, keterpilihan dengan cara transaksional berakibat pada
besarnya peluang kartelisasi dalam penentuan kebijakan. Seperti argumentasi Dan
Sletter (2004), koalisi partai politik pasca pemilu 2004 dilakukan tanpa adanya
fondasi ideologi berdampak terhadap jebakan akuntabilitas.
Pasca pemilu 2009 dan pemilu 2014 juga menunjukkan hal yang sama. Pasca
reformasi justru bukan demokrasi delegatif yang menguat. Bahkan koalisi KMP
(Koalisi Merah Putih yang digagas kubu Prabowo) dan KIH (Koalisi Indonesia
Hebat) tidak menunjukkan peta koalisi yang didasarkan pada basis ideologi tertentu.
Sehingga tidak menutup kemungkinan peluang kartelisasi terbuka lebar dalam
menentukan kebijakan publik sekalipun. Dalam koalisi yang tidak didasarkan pada
5
basis ideologi, maka partai anggota koalisi bisa saja keluar dari koalisi apabila
dianggap tidak menguntungkan partainya bukan alasan yang lebih substansi.
Pecahnya peta koalisi beberapa partai yang tergabung dalam KMP memperlihatkan
bagaimana koalisi yang tidak didasarkan pada ideologi.
Ideologi tidak menjadi pengikat koalisi, sehingga suksesi kepemimpinan dalam
internal setiap partai akan turut mempengaruhi keberlanjutan koalisi. Pertama kali
PAN yang memilih berbalik dari koalisi KMP yang awalnya dimotori oleh 6 partai
politik yaitu Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),dan Partai Bulan
Bintang (PBB). Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Golkar dan diikuti oleh
PPP. Selain dari ideologi secara internal dapat memecah belah internal masing
masing partai.
Ideologi merupakan arah dan petunjuk tentang identitas partai politik,
sekaligus menjelaskan kondisi ideal masyarakat yang ingin dibentuk. Ideologi secara
positif dapat menjadi motivasi dan dorongan untuk mengesampingkan atau
meminimalkan kepentinganyang mengarah pada oligarki dalam partai politik. Selain
itu ideologi dapat menjadi motivasi dan dorongan perjuangan sehingga ia turut
menentukan keterlibatan aktif partisipan, alasan bergabung bagi anggota partai baru
atau pertimbangan bagi pemilih memberikan hak suaranya sebagai bentuk
pertaruhan kebenaran yang diyakini absolusitasnya.
6
Menguatnya Calon Independen dalam Pilkada
Deideologisasi selain berdampak pada praktek politik uang, juga berdampak
pada menguatnya kemunculan calon independen. Dua hal yang mendukung hal
tersebut. Pertama, deideologisasi mengarahkan partai politik pada krisis kaderisasi
dan kandidasi, sehingga calon independen menjadi sebuah alternatif. Kedua,
deideologisasi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik,
sehingga meningkatnya dukungan terhadap calon independen pada Pilkada.
Ideologi menjadi pondasi dasar bagi partai politik untuk proses kaderisasi dan
kandidasi. Partai politik akan sulit melahirkan kandidat secara matang sesuai
dengan ideologi partainya. Bukan hal yang asing apabila pada Pilkada banyak sekali
bermunculan calon independen yang sudah memiliki figur ketokohan yang kuat
dalam masyarakat. Atau gambaran lain adalah ketika mendekati Pilkada beberapa
partai akan sangat disibukkan mencari “kandidat” secara karbit dengan melihat
kekuatan figur di masyarakat, tentunya dengan mengesampingkan ideologi partai
pengusung.
Adanya figur yang sangat kuat di masyarakat akan menguntungkan bagi partai
dari segi kemenangan dalam Pilkada. Namun sebaliknya keberadaan tokoh tersebut
dalam internal partai tidak mempunyai keterikatan atau tanggung jawab ideologi
terhadap partai politik itu sendiri. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada kasus Ahok
dalam Pilkada Jakarta tahun 2012.
7
Ahok diusung oleh Gerindra pada Pilkada Jakarta 2012 untuk mendampingi
Jokowi yang diusung oleh PDIP sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta. Figur Ahok
dengan kekhasan komunikasi dan gaya kepemimpinannya mendapat apresisasi
positif bagi sebagian masyarakat Jakarta. Figurnya kuat karena mendapat
penerimaan yang cukup baik dari sebagian masyarakat. Namun ditengah perjalanan
menuju Pilkada Jakarta 2017, Ahok tidak lagi didukung oleh Gerindra untuk maju
sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Di sini memperlihatkan bagaimana ideologi
tidak menjadi pengikat kader dan kandidat dengan partai politik tersebut.
“Kehengkangan” dapat terjadi kapan saja. Hal itu menjadi penjelasan yang lain bagi
figur seperti Risma dan Ganjar Pranomo dari PDIP.
Pilkada Aceh 2017 juga menggambarkan hal yang tidak jauh berbeda.
Kemunculan calon independen seperti Dotto Zaini Abdullah (incumbent gubernur
Aceh) dan Zakaria Saman juga bagian dari deideologisasi yang terjadi pada Partai
Aceh. Terlihat dari konflik internal partai dan suksesi dewan pembina berkibat pada
kemunculan kedua tokoh eksPartai Aceh memilih maju dari jalur calon independen
pada Pilkada Aceh 2017 tanpa memilih untuk menguatkan Partai Aceh.
Selanjutnya deideologisasi, calon independen dan ketidakpercayaan
masyarakat pada partai politik merupakan 3 hal yang saling terkait. Calon
independen merupakan dampak dari keputusasaan dan ketidakpercayaan
masyarakat kepada partai politik. Partai dianggap tidak konsisten dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Calon kepala daerah dari internal partai
8
politik dianggap sebagai bagian dari sistem partai yang tidak mampu
memperjuangkan kemaslahatan masyarakat. Sehingga penting menekankan
keterhubungan ideologi dalam proses rekrutmen dan kandidasi. Karena ideologi
tersebut dapat memudahkan masyarakat melakukan identifikasi partai politik, baik
pada elektoral maupun setelah duduk pada posisi kekuasaan.
Dukungan diberikan berdasarkan ideologi yang tergambar pada pondasi partai
politik yang visioner dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat pada partai
politik. Pada konteks Aceh, partai politik lokal yang seharusnya mendapatkan
kepercayaan lebih dari masyarakat. Pada masyarakat tumbuhnya ketidakpercayaan
publik dan kekecewaan terhadap Partai Aceh akibat kebijakan publik yang dibuat
Partai Aceh (Darwin dalam Edward dan Sukmajati (eds), 2015). Tidak ada
sinkronisasi antara ideologi yang digaungkan dengan penerapan kebijakan yang
mensejahterakan. Ada kecendrungan PA lebih mengedepankan pada sosok atau
karismatik.
Partai politik yang mengedepankan sosok atau karismatik personal
dibandingkan ideologi akan mengalami krisis kader. Bila kita merujuk kepada
pemikiran La Palombara dan Weiner dalam Firmanzah (2012), partai politik
merupakan sebuah lembaga yang mempunyai kriteria organisasi jangka panjang
yang bukan hanya terdiri atas gabungan dari pendukung yang setia dengan
pemimpin kharismatik. Partai politik hanya akan berfungsi dengan baik sebagai
organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang mengatur aktivitas organisasi dan
9
ada mekanisme suksesi yang dapat menjamin keberlangsungan partai politik untuk
jangka waktu yang lama. Ketidak mampuan partai dalam membangun institusinya
menjadi sebuah fenomena sosial yang layak untuk dikaji dan diteliti lebih
mendalam, sehingga menghasilkan sebuah rekomendasi yang bisa dijadikan acuan
untuk konsep relasi kuasa kedepan. Banyak partai politik yang menganggap sosok
lebih penting dari pada ideologi. Sehingga proses rekrutmen dan kaderisasi bahkan
kandidasi tidak menguat pada keterhubungan ideologi. Padahal ideologi turut
mempengaruhi klientelisme dalam internal organisasi, dimana hubungan partai
dengan anggota bersifat instrumentalis, atau lebih bersifat ideologis yang
anggotanya mengenal dan mengharapkan partai bertidak berdasarkan identifikasi
terhadap partai (Randall and Svåsand dalam Pamungkas, 2011).
Deideologisasi partai politik di Indonesia sendiri diakibatkan oleh lemahnya
proses institusionalisasi partai tersebut. Reformasi partai politik perlu dilakukan
dengan reinstitusionalisasi partai politik. Proses institusionalisasi merupakan proses
pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku
maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (Randall dan
Svasand, 2002). Agar partai mampu menompang secara kokoh jalannya demokrasi
dan stabilitas politik, perlembagaan partai menjadi sebuah kebutuhan yang tidak
terhindarkan. Penguatan lembaga partai politik mengharuskan partai berkerja dalam
koridor fungsifungsi yang semestinya (Sigit Pamungkas, 2011: 63). Pemaparan
Randall dan Svasand bahwa pada tingkat institusionalisasi sebuah partai melalui 4
10
indikator: 1) derajat kesisteman (systemness) ; 2) identitas nilai (value infusion); 3)
otonomi keputusan(decisional autonomy); dan 4) reifikasi (reification). Keempat
indikator tersebut melihat kelembagaan partai politik dari segi internal dan
eksternal.
Proses ideologisasi menjadi landasan pada proses institusionalisasi karena akan
membentuk basis nilai atau identitas nilai di internal partai yang juga berdampak
pada maupun hubungan eksternal partai politik dengan konstituen. Hal tersebut
secara tidak langsung akan berdampak pada kualitas demokrasi internal partai
bahkan kualitas demokrasi eksternal partai baik dalam lingkup lokal maupun
nasional.
Kesimpulan: Reinstitusionalisasi Sebagai Penguatan Demokrasi
Sebagai kesimpulan, ideologi bukan hanya pembeda dari partai politik satu dan
yang lain. Tapi juga sebagai alat mendisiplinkan gerakan, perjuangan dan kekuasaan
politik. Sejatinya, pada perayaan pesta demokrasi, penelaahan lebih terhadap
ideologi, rekam jejak partai politik dan elit politiknya, arah perjuangan partai dan
peluang koalisi menjadi poin penilaian utama. Agar hal itu dapat tercapai, maka
reinstitusionalisasi partai politik perlu dilakukan. Dengan itu partai politik akan
mencapai kematangan demokrasi secara internal, yang mana juga akan turut
mendorong kemantangan demokrasi dalam ranah elektoral dan kebijakan. Terutama
Aceh, yang akan melakukan pemilukada pada tahun 2017 dan berpeluang besar
11
terlibat koalisi dengan beberapa partai politik untuk memajukan calon kepala
daerah. Identifikasi partai politik dengan kaca mata ideologi secara detil perlu
dilakukan. Agar masyarakat luas dapat terhindar dari kemelut politik transaksional,
populis, dan opportunis yang jauh dari menemukan jawaban permasalahan kekinian
Aceh yang hanya mampu ditawarkan oleh partai politik, solusi konkrit sebagai
turunan dari tegasnya ideologi politik yang dimikili dan diyakini oleh partai politik
itu sendiri.
Daftar Pustaka
Dan Slater (2004). Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power
After Democratic Transition. Indonesia: Academic Research Library. No. 78. Pg.
61
Edward Aspinal dan Mada Sukmajati (ed). ( 2015). Politik Uang di Indonesia.: Patronase
dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: Polgov UGM
Firmanzah (2012). Marketing Politik (Antara Pemahaman dan Realitas).Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Roskin dkk ( 2006). Political Science an introduction. Canada: Pearson Education
Sigit Pamungkas. (2011). Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta:
Institute for Democracy and Welfarism
12
Vicky Randall and Lars Svåsand.( 2002). Party Institusionalization in New Democracies.
Vol 8, No.1, pp. 529. London: Sage Publications
13