Swasembada pangan 5 komoditi di Indonesi

Bab I
Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang
Sebutan negara swasembada pangan dulu sempat disematkan pada Indonesia.

Julukan ini semakin memudar seiring menurunnya produksi pertanian karena rendahnya
minat masyarakat pada sektor ini. Dilihat dari luas wilayahnya, Indonesia tentu tidak
bisa dibandingkan dengan Vietnam atau Thailand. Namun, dua negara tersebut mampu
memaksimalkan luas wilayahnya untuk memproduksi pertanian khususnya beras dan
mendatangkan keuntungan dari kinerja ekspornya.
Lebih lanjut, untuk meningkatkan produksi pertanian pemerintah Indonesia
semenjak dulu hingga sekarang mengeluarkan berbagai kebijakan guna tercapai tujuan
tersebut. Berbagai kebijakan antara lain pembukaan lahan baru, diversifikasi pangan
guna mengurangi ketergantungan terhadap beras, teknologi baru, dan lain sebagainya.
Namun nyatanya dalam perjalanan, swasembada yang diinginkan tidak pernah tercapai.
Buktinya adalah pemerintah masih melakukan impor beras dari vietnam dan thailand.
Ini menunjukan bahwa pemerintah setengah hati dalam melakukan program yang telah
dicanangkan.
Belum selesai mengenai masalah tersebut, di satu sisi meningkatnya gaya hidup

masyarakat membuat kebutuhan akan pangan pun semakin beragam. Hal ini akan
meningkatkan produksi bahan pangan lain selain beras. Pemerintah yang awalnya hanya
memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan akan beras, menjadi bertambah dengan
kebutuhan bahan pangan pokok lainnya.
Lebih lanjut, dalam perjalanannya pemerintah membuat kebijakan seperti
peningkatan produksi beras, kedelai, gula, jagung, dan daging. Target pemerintah untuk
mewujudkan swasembada 5 komoditas strategis pada tahun 2014, sebagaimana yang
tertuang dalam Renstra Kementerian Pertanian. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa
berarti kita harus mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan masyarakat meliputi
bahan pangan tersebut.
Namun, pemerintah tidak melihat bahwa salah satu masalah yang dihadapai
yaitu input yang digunakan adalah sama, dalam hal ini lahan pertanian. Jika dilihat,
kondisi lahan pertanian di Indonesi masih minim. Dengan kondisi demikian tersebut,

1

realistiskah harus memenuhi semua kebutuhan kita dari produksi dalam negeri?. Selain
itu, jika ditinjau dari segi si petani nya berbagai kebijakan tersebut membuat mereka
bingung yaitu harus mengusahakan komoditi yang mana dan memberikan pendapatan
yang memuaskan bagi mereka. Belum lagi keseriusan pemerintah dalam mencapai

program yang masih perlu dipertanyakan dan berbagai kendala lainnya.
Dari gambaran tersebut maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai
kebijakan swasembada 5 komoditi tersebut, kaitannya dengan kendala yang dihadapi,
komoditi pertanian yang perlu dikembangkan dan kebijakan yang harus dilakukan oleh
pemerintah.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam

makalah ini adalah:
1. Bagaimana kendala pemerintah dalam mewujudkan swasembada 5 komoditi di
Indonesia?
2. Kebijakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
mewujudkan swasembada pangan di Indonesia?
1.3.

Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kendala pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan

di Indonesia.
2. Untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk mencapai swasembada pangan
di Indonesia.

Bab II

2

Kerangka Teori
2.1. Swasembada Pangan
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan
pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang
sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan
pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di
bidang kebutuhan pangan.
Lebih lanjut, swasembada pangan merupakan capaian peningkatan ketersediaan
pangan dengan wilayah nasional. Sampai saat ini di Indonesia, masih banyak kalangan
praktisi dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan
ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali
diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.

Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan akademisi menyadari bahwa kerawanan
pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga
karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan kerja,
sumberdaya ekonomi lainnya).
Hal ini konsisten dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan
determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.
Selain itu, yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan
sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia salah satu cara yaitu dengan berbagai macam kegiatan yaitu:


Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.



Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi &
jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung,
gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.




Penyuluhan & pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi, baik
pengembangan bibit, obat-obatan, teknologi maupun sumber daya manusia
petani.



Melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk
bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan

3

diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung
(khususnya Indonesia timur).
2.2. Kebijakan Pemerintah Dalam Swasembada Pangan
Masalah pangan sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai
macam kebijakan. Sejarah telah menyebutkan pada awal kemerdekaan Indonesia
pemerintahan Soekarno pernah mengeluarkan Progam Kesejahteraan Kasimo untuk
mencapai swasembada beras. Pemerintahan Soekarno juga pernah mengeluarkan
Progam Sentra padi untuk mencapai swasembada pangan. Namun akibat turbulensi

politik dan disertai dengan pemberontakan maka pada masa itu terjadi krisis pangan
yang cukup parah.
Indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat
diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan
pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia
(petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah
terbentuk sejak lama.
Namun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh
pihak terkait malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman
pangan. Fakta paling gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi
teknis – terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan
nonpertanian, terutama permukiman dan industri.
Maka jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan
kalaupun berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian hama, juga
penyediaan berbagai input – produksi beras nasional sulit sekali ditingkatkan lagi.
Produksi beras nasional boleh dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun.
Padahal konsumsi nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus
meningkat pasti dan begitu signifikan.
Di lain pihak, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras
meningkatkan produksi beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak mengenal

lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target mereka
bukan lagi sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi negara produsen
beras terbesar di dunia.

4

Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah
seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani, sehingga
produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk mewujudkan
swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras sebanyak 2
juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009.
Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber
daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana produksi
dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi serta
dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.
Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni
dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan
pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.

2.3. Kerangka Pikir

Target swasembada 5 komoditas pangan strategis pada tahun 2014 yang
dicanangkan pemerintah dirasa sulit untuk diwujudkan. Ketersediaan lahan yang
semakin menurun dan desakan penduduk merupakan faktor yang sangat mempengaruhi.

5

Lahan, merupakan faktor yang sangat fundamental dikarenakan merupakan tempat
tumbuh bagi, kenaikan penggunaan lahan tanaman tertentu pastinya akan menurunkan
luasan lahan untuk tanaman lainnya.
Keterkaintannya dengan hal tersebut, dalam teori ekonomi dikenal kurva
kemungkinan produksi. Artinya kita harus memilih, tanaman mana yang ingin
ditingkatkan produksinya untuk mencapai produksi yang maksimal. Produksi yang
maksimal ini erat kaitannya dengan swasembada yang diprogramkan oleh pemerintah
saat ini.
Hubungan dengan luasan lahan yang semakin berkurang, ditambah dengan
kendalan anggaran dari sisi pemerintah maka pengfokusan pada beberapa komoditi
untuk diswasembadakan merupakan hal yang sangat perlu dilakukan. Dengan kegiatan
ini, luasan lahan yang ada benar-benar dimanfaatkan untuk satu atau dua komodias
sehingga hasil yang diperoleh maksimal. Komoditas mana yang ingin diusahakan,
dilihat berdasarkan potensi sumber daya alam dan kebutuhan masyarakat. Namun, untuk

mencapai ini diperlukan keseriusan pemerintah dan petani.
Dengan hasil yang melimpah tersebut, digunakan untuk memenuhi kebutuhan
Dagin

Kedela

Jagun

Pad

Gula

domestik untukg diri sendiri
atau domestik.
Selain
itu, kelebihan tersebut dapat
i
g
i
digunakan untuk ekspor kepada negara lain yang membutuhkan. Surplus dari kelebihan

produksi dalam negeri, dapat digunakan untuk impor komoditi lain yang tidak bisa
dihasilkan di dalam negeri. Selain itu, menurut saya sebuah konsep swasembada absolut
Kendalan
Kendala
yang artinya
bahwa semua komoditi
harus dihasilkan Anggaran
dari dalam negeri juga perlu
lainnya

lahan

pemerinta
h

direvisi mengingat program ini selain berbiaya mahal dan dukungan pemerintah yang
sangat kurang. Dengan demikian, meskipun kita melakukan impor dari negara luar,
akan tetapi selama surplus dari produksi dalam negeri bisa menutupinya maka program
Potensi
Optimalisasi

1
Kebutuha
ini layak untuk
diterapkan. Untuk
lebih jelasnya
mengenai
hal tersebut dapat dilihat
atau 2

pada kerangka berpikir sebagaiKomoditi
berikut: pada

n
konsumsi

lahan

Swasembada
komoditi

Surplus

6
Ketahanan
Pangan

Impor bahan
pangan
lainnya

Gambar 1. Kerangka Berpikir

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Keterbatasan dan Kompetisi Penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia
Lahan merupakan satu faktor produksi merupakan faktor produksi yang sangat
penting, dimana merupakan pabrik dari hasil-hasil pertanian. Selain itu, lahan juga

7

faktor produksi yang tahan lama, sehingga tidak diadakan depresiasi atau penyusutan.
Sebagai negara yang luas, indonesia memiliki luas daratan yang cukup besar bila
dibandingkan dengan negara lain. Dengan potensi tersebut, tentunya pengembangan
pertanian sangat cocok dilakukan.
Dari data statistik menunjukan bahwa di Jawa luas kepemilikan hanya 0,3 hektar
per KK dan sementara di luar Jawa hanya 1 hektar. Padahal menurut hasil analisis
ekonomi sederhana, luas kepemilikan lahan yang ekonomis minimal 2 hektar di Jawa
dan lebih dari 10 hektar untuk luar Jawa. Melihat kepemilikan lahan yang kecil tersebut
mampukah petani kita berproduksi dengan maksimal atau memenuhi target pemerintah
untuk swasembada pangan. Untuk lebih mengenai kepemilikan lahan di Indonesia,
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Sebaran Rumah Tangga Menurut Luas Lahan Yang Dikuasai di Indonesia
Tahun 2003 dan Tahun 2013.
Tahun

Golongan Luas Lahan (m2)
< 1.000
1.000 - 1.999
2.000 - 4.999
5.000 - 9.999
10.000 - 19.999
20.000 - 29.999
≥ 30.000
Jumlah
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

2003
9.380.300
3.602.348
6.816.943
4.782.812
3.661.529
1.678.356
1.309.896
31.232.184

2013
4.338.847
3.550.185
6.733.364
4.555.075
3.725.865
1.623.434
1.608.699
26.135.469

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa rata-rata lahan yang dikuasai oleh
petani di Indonesia dominan berada pada interval 2000 sampai 4999 m 2. Data ini
menunjukan bahwa petani Indonesia merupakan petani dengan penguasaan lahan yang
kecil. Berdasarkan hal tersebut, menurut perhitungan sederhana tersebut, petani di
Indonesia belum bisa untuk mencapai skala usaha secara ekonomis, jika dilihat dari
kepimilikan lahan tersebut.
Suatu hal yang ingin perlu dipertanyakan adalah bagaimana dampak kebijakan
land reform yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini. Apakah program tersebut
hanyalah sebuah tulisan semata. Dengan demikian, melihat fakta ini maka masih

8

mampukah kita melakukan swasembada beras atau bahkan yang lebih besar lagi
swasembada untuk beberapa komoditi yang telah dicanangkan.
Apriantono (2008) dalam tulisannya mengenai lahan pertanian di Indonesia
menjelaskan bahwa dengan lahan pertanian yang semakin menurun dan jumlah
penduduk indonesia yang semakin bertambah apakah cukupkah lahan pertanian kita
untuk memenuhi seluruh kebutuhan beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula, sayuran,
dan buah- buahan? Sebagai pembanding, kita bisa melihat profil lahan pertanian di
Brasil. Luas lahan pertanian Indonesia keseluruhan yang sekitar 21 juta hektar itu hanya
sama dengan luas lahan kedelai yang ada di Brasil yang penduduknya lebih kecil dari
Indonesia, luas sawah Indonesia sama dengan luas lahan tebu di Brasil, sementara luas
ladang penggembalaan sapi di Brasil (220 juta hektar) lebih luas dari seluruh daratan di
Indonesia (190 juta hektar).
Dengan kondisi yang demikian ini haruskah Indonesia memenuhi semua
kebutuhan kita dari produksi dalam negeri? Di mana kita menanam kedelai, padi,
jagung, tebu dan bagaimana pembagian luasananya. Lalu bagaimana dengan kompetisi
penggunaan lahan yang terjadi? Kompetisi penggunaan lahan itu sudah terjadi antara
jagung dengan padi, kedelai, tebu di Jawa. Petani tentu akan memilih komoditas yang
paling menguntungkan, risikonya kecil, biaya produksinya terjangkau, dan pasarnya
menjanjikan.
Kaitannnya dengan teori ekonomi mikro, maka kaitannya dengan kurva
kemungkinan produksi. Pendekatan yang dikemukakan oleh G. Harberlel ini
menggambarkan bahwa berbagai kemungkinan kombinasi maksimum output yang dapat
dihasilkan. Hubungannya dengan luas lahan yang ada di Indonesia, maka kebijakan
pemerintah mengenai swasembada kedelai, gula, jagung, dan daging harusnya perlu
direvisi lagi. Sebab, jika kita peningkatan produksi pada komoditi padi, bagaimana
dengan komoditi lainnya. Pada hal lahan yang digunakan adalah sama, apalagi
kebijakan tersebut dilakukan pada daerah yang sama pula.
Fakta menunjukan bahwa dampak kompetisi penggunaan lahan terekspresi
dengan jelas ketika produksi jagung nasional tahun 2007 naik sampai 14,4 persen, beras
naik 4.8 persen, tetapi produksi kedelai meluncur menuju titik nadirnya. Dengan
demikian walaupun kita kaya akan sumber daya tetapi itu tidak cukup untuk memenuhi
semua kebutuhan semua komoditas.

9

Masalah ketersediaan lahan menjadi kendala utama pencapaian swasembada
pangan. Untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan, pemerintah menetapkan
peningkatan produksi jagung sebesar 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging
sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen, dan beras 3,2 persen per tahun. Untuk mencapai
target ini, diperlukan peningkatan areal pertanaman. Kondisi ini menjadikan satu lahan
pertanian terpaksa dimanfaatkan untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan
secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam
upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika menggenjot produksi kedelai, misalnya,
maka produksi jagung akan turun. Ini karena lahan yang ada dimanfaatkan untuk
kedelai dan sebaliknya. Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional telah menjanjikan lahan
2 juta ha dari total lahan yang telantar 7,3 juta ha untuk areal penanaman pangan.
Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan tersebut
Selain faktor kepemilikan luas lahan yang kecil, kemerosotan luas lahan yang
ada di indonesia disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi. Saat ini, konversi
lahan pertanian telah mencapai 100.000 ha per tahun, sedangkan kemampuan
pemerintah dalam menciptakan lahan baru hanya maksimal 30.000 ha, sehingga setiap
tahun justru terjadi pengurangan lahan pertanian. Salah satu kegagalan pemerintah
dalam bidang pertanian adalah masih menjadikan pulau jawa sebagai sentra
pengembangan komoditi unggulan seperti padi, gula, dan komoditi lainnya. Harus
diakui bahwa pulau jawa merupakan pulau dengan tingkat kesuburan lahan paling baik
bila dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Namun, jika dilihat dari tingkat
kepadatan penduduk di Indonesia maka pulau jawa merupakan pulau dengan tingkat
kepadatan tertinggi. Inilah yang akan menjadi bumerang bagi pengembangan pertanian
indonesia ke depannya.
Lebih lanjut, dengan tingkat kepadatan tersebut maka lahan pertanian pastinya
akan berkurang atau dengan kata lain terjadi alih fungsi lahan yang cukup besar. Secara
langsung dampak yang diberikan akan menurunkan hasil pertanian. Hasil penelitian
yang dilakukan Li Jianga, Xiang zheng Deng, Karen C. Seto (2013) mengenai ‘The
impact of urban expansion on agricultural land useintensity in China’ menunjukan
bahwa urbanisasi di China telah mengakibatkan perubahan signifikan dan penggunaan
lahan pertanian. Selain itu, konversi lahan pertanian ke industri china ternyata juga
menurunkan indeks pertanaman campuran yang dilakukan oleh petani di China. Hasil

10

lain dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lahan
pertanian dan ekspansi perkotaan. Untuk itu, saran dari penelitian ini yaitu tanpa
perluasan produksi pertanian di daerah lain, total produksi pertanian di dalam negeri
cenderung menurun karena penurunan intensitas lahan pertanian.
Sejalan, dengan penelitian itu sudah seharusnya pemerintah mengkonsentrasikan
pertanian ke luar pulau jawa sebaga salah satu alternatifnya. Data statistik menunjukan
mencatat produksi pada tahun 2011 luas panen di Jawa turun 47.887 hektare, sedangkan
di luar Jawa naik 136.901 ha. Lahan rawa dan gambut di luar Jawa dapat menjadi
lumbung pangan masa depan. Selain itu, potensi lahan rawa di Indonesia mencapai 20
juta ha tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Sumatera, sedangkan potensi
untuk pertanian 9 juta Ha sebagian sudah dimanfaatkan untuk pertanian. Meskipun
lahan rawa sendiri produktivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan lahan sawah,
namun setidaknya dapat memberikan kontribusi bagi produksi pertanian di Indonesia.
Selain mengenai pengalihan pertanian ke luar jawa sumberdaya pemerintah juga
seharusnya membatasi konversi lahan pertanian ke non pertanian. Pemerintah sedikit
terlambat mengeluarkan peraturan mengenai informasi lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Di saat luasan lahan pertanian di pulau jawa sudah tergerus, baru
pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut.
Pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana memenuhi target swasembada
jagung, kedelai, daging sapi, gula dengan situasi alih fungsi dan kompetisi penggunaan
lahan yang luar biasa ini? Intensifikasi, diversifikasi, tumpang sari, dan ekstensifikasi
yang dirancang menggunakan format baru merupakan solusinya. Selain itu, tentu saja
harus ada upaya pencegahan alih fungsi lahan subur.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Smith, dkk (2010) mengenai ‘Competition for land’ menjelaskan bahwa ke depannya
dengan pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan peningkatan kebutuhan. Maka,
persaingan akan lahan bukan hanya pada mengenai masalah pertanian, namun juga
mengenai ‘ekosistem lainnya’. Untuk itu, kebijakan di masa depan mengenai sektor
pertanian, kehutanan, energi dan konservasi bisa memiliki efek mendalam dan sangat
diperlukan. Selain itu, teknologi untuk meningkatkan produktivitas per lahan pertanian
juga akan diperlukan ke depannya.

11

Berkaitan dengan hal tersebut, pemikiran ke depannya atau dalam jangka
panjang sudah selayaknya menjadi suatu pertimbangan. Dengan alasan bahwa,
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pengurangan lahan pertanian yang drastis
menjadi penyebabnya. Suatu kebijakan oleh pemerintah yang tepat perlu diambil ke
depannya mengenai penggunaan lahan pertanian, baik mengenai alih fungsinya dan
pemanfaatannya.
3.2. Swasembada, Dilema Kepentingan Petani dan Negara.
Pada tahun 2005, melalui UU No.11/2005 pemerintah meratifikasi Kovenan
Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan ini antara lain
berisi tentang tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi
hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi
manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.
Sebagai suatu negara yang berdaulat sudah seharusnya pemerintah menyediakan
kebutuhan akan pangan bagi rakyatnya. Naiknya gaya hidup masyarakat, membuat
kebutuhan suatu bangsa semakin beragam. Di sini, terlihat bahwa kebutuhan akan bahan
hasil pertanian semakin tinggi, sehingga kedudukan pelaku usahatani juga seharusnya
semakin penting. Namun, salah satu kekeliruan pembangunan pertanian yang kita lakoni
selama ini adalah karena ketidakjelasan ideologi pembangunan pertanian yang kita anut.
Dibandingkan dengan negara-negara maju atau negara berkembang lainnya, ternyata
negara kita kurang memiliki keberpihakan yang jelas dan tegas dalam membangun
pertanian dan juga membangun petani nya (Suara Rakyat, 21 April 2012).
Lebih lanjut, Uni Eropa dan Amerika Serikat, telah memposisikan pertanian
secara khusus dan unik. Mereka tetap menjaga sektor pertaniannya, dlindungi dan
dipandang sebagai sumber kebudayaan yang tidak boleh hilang dari kehidupan nya.
Penghargaan terhadap pertanian, bukan hanya dibuktikan lewat kemauan politiknya
yang kuat, namun juga didukung oleh anggaran yang memadai.
Melihat fakta tersebut bila dibandingkan dengan kondisi pertanian Indonesia,
maka akan terlihat sangat berbeda nyata. Program pemeritah untuk mencapai
swasembada pangan seolah-olah hanya untuk hanya niatan belaka tanpa ada
pelaksanaannya. Data statisitik menunjukan anggaran pemerintah hanya sebesar 2,6
persen dari APBN. Kecilnya persentase tersebut mengindikasikan ketidakseriusan

12

pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. Dengan anggaran sekecil tersebut apa
yang dapat kita lakukan untuk pembangunan pertanian di Indonesia. Padahal kebutuhan
akan pangan merupakan kebutuhan yang wajib bagi setiap orang bahkan lebih dari
sebuah keamanan nasional.
Hal tersebut baru sebuah potret di tingkat makro untuk pertanian di Indonesia.
Jika ditelaah lebih lanjut maka pada tataran mikro untuk penyaluran kredit, hal yang
sama juga terjadi pada pertanian di Indonesia.
Hasil penelitian yang dilakukan Catherine & Stephen (2008) menunjukan bahwa
kredit sangat berperan dalam peningkatan produktivitas pertanian dan hasil yang
diperoleh. Dengan demikian sudah selayaknya, dengan tujuan mencapai swasembada
petani kita untuk diperhatikan. Lebih lanjut, mengenai penelitian tersebut akses petani
untuk mengenai sangat ditentukan oleh kendala yang dihadapinya yaitu pembatasan,
dan resiko dari usahatani. Semua kendala tersebut, bermuara pada kepemilikan lahan
dan adanya prosedur yang berbelit. Potret petani dengan lahan yang sempit membuat
jaminan untuk memperoleh kredit sangat membatasi mereka. Lebih lanjut, Untuk lebih
jelasnya mengenai alokasi kredit dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Alokasi Kredit Menurut Sektor Tahun 2006 – 2008 (Triliun).
Tahun
Sektor
2004
2005
Pertanian
33,14
37,17
Pertambangan
7,81
8,12
Perindustrian
144,91
171,28
Listrik, gas, dan air
5,98
5,36
Konstruksi
19,97
26,98
Perdagangan, restoran, dan hotel
113,07
135,83
Pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi
17,66
19,82
Jasa dunia usaha
56,35
72,62
Jasa sosial/masyarakat
8,04
10,02
Lain-lain
152,49
208,37
Sumber: Tambunan (2008), (Data Bank Indonesia)

2006
43,21
11,15
180,28
5,22
33,82
156,93
26,41
74,99
10,28
224,73

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa sektor pertanian bukan merupakan
sektor peneriman terbesar untuk alokasi kredit. Walaupun terjadi peningkatan
alokasinya, sudah selayaknya alokasi untuk sektor pertanian untuk ditingkatkan.
Dengan demikian, melihat kecilnya alokasi anggran untuk sektor pertanian dan dalam
13

kenyataannya bahwa keberpihakan pemerintah terhadap petani di rasa kurang, maka
swasembada terhadap beberapa pangan utama sangat tidak mungkin untuk terjadi.
Untuk itu, menurut saya pemerintah harus menfokuskan pada salah satu komoditi untuk
tingkatkan produksinya (swasembada).
Selain itu, pemerintah selama ini hanya memberikan subsidi 60 trilyun dan
sebagian besar untuk pupuk (80%), sisanya untuk kredit, bibit, irigasi. Padahal menurut
ini sangat tidak efektif karena yang menikmati hasil tersebut bukanlah petani kecil yang
dominan dalam pertanian kita namun sebagian besar dinikmati oleh petani dengan lahan
besar yang mempunyai kekuasaan. Seharusnya anggaran tersebut direalokasi pada
pemberdayaan kemampuan petani, peningkatan teknologi, fasilitas industrialisasi
pedesaan. Subsidi seyogyanya lebih diarahkan ke petani untuk meningkatkan
produktivitas, kualitas sehingga pada akhirnya kesejahteraan bisa petani bisa tercapai.

3.3. Antara Kebijakan Pemerintah dan Prioritas Komoditi Yang Perlu Di
Swasembadakan.
Keinginan pemerintah untuk swasembada pada beberapa komoditi sangat
bertolak belakang dengan apa yang dilakukan. Ketergantungan pada impor salah satu
penyebabnya. Pemerintah diyakini tidak mampu mewujudkan swasembada pangan,
terutama di komoditas padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Sebab, pada
kenyataannya pemerintah masih tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan lima komoditas pokok tersebut. Selanjutnya, kondisi ini diperparah
oleh ketidakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Akibatnya, masyarakat
Indonesia yang mayoritas petani berada di bawah garis kemiskinan.
Niatan pemerintah untuk melakukan swasembada tersebut, akhirnya pudar oleh
kebijakan yang dibuat sendiri. Petani yang awalnya bersemangat untuk menanam jenis
tanaman tertentu misalnya kedelai akhirnya ‘malas’ untuk menanam jenis tanaman yang
diprogramkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan dengan adanya impor, maka
produksi yang dihasilkan oleh petani indonesia menjadi tidak terserap. Selain itu, fakta
menunjukan bahwa kecenderugan harga komoditi impor yang lebih murah
dibandingkan komoditi domestik Indonesia.

14

Lebih lanjut, murahnya komoditi impor dikarenakan areal pertanian yang
diusahakan sangat besar oleh negara-negara tersebut. Dengan produksi yang melimpah,
maka dengan harga jual yang murah dapat menutupi biaya yang dikeluarkan oleh
petani. Berdasarkan gambaran tersebut, menurut saya pemerintah harus menitikberatkan
pada salah satu, atau dua komoditi yang menjadi unggulan untuk dikembangkan.
Misalnya saja, jika pemerintah ingin fokus pada swasembada beras dan jagung, maka
dua komoditi inillah yang perlu ditingkatkan produksinya. Pemerintah juga perlu
melihat komoditi yang kemungkinan bersubstitusi dalam penggunaan lahan yang sama.
Misalnya saja, karakteristik antara tanaman kedelai dan jagung yang menghendaki pada
wilayah kering jika tanaman kedelai yang diprioritaskan makan produksi dari tanaman
jagung sudah pastinya akan menurun. Dengan demikian, pemerintah harus
memprioritaskan salah komoditi dengan karakteristik yang hampir sama.
Dengan kondisi anggaran yang minim, sudah seharusnya pemerintah
menfokuskan pada satu atau dua komoditi untuk diswasembadakan. Melihat kondisi
bahwa pangan utama masyarakat indonesia sebagian besar adalah beras, maka menurut
saya komoditi yang paling layak dan harus untuk ditingkatkan adalah padi, tanaman
yang lainnya yaitu jagung. Potret dari negara vietnam, mengapa swasembada beras
berhasil dilakukan adalah karena kemampuan pemerintah untuk mengurangi konsumsi
beras per kapita. Akan tetapi, bagi masyarakat indonesia hal ini sulit dilakukan karena
masih adanya anggapan bahwa kita belum makan kalau belum mengkonsumsi beras.
Selain itu, dengan pendapatan per kapita yang rendah membuat sulit masyarakat
indonesia untuk mencari alternatif pangan lainnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan
tingkat pendapatan yang membuat penduduk kurang mampu untuk mendapatkan
berbagai jenis makanan pengganti nasi (barang substitusi untuk nasi) yang pada
umumnya harganya relatif sama atau bahkan lebih mahal dibandingkan nasi.
Sebuah alasan mengapa harus dikembangkan tanaman padi dan jagung, menurut
pemikiran sederhana saya bahwa ketersediaan lahan untuk mendukung kedua komoditi
ini sangatlah baik. Alternatif pengembangan menurut saya adalah wilayah indonesia
bagian barat yang subur diprioritaskan untuk pengembangan tanaman padi, sedangkan
wilayah Indonesia tengah dan sebagian wilayah timur yang agak kering dikembangkan
untuk tanaman jagung. Kedua komoditas ini selain tidak selain berkompetisi satu sama
lain, pengembangan keduanya juga dapat saling menggantingkan. Artinya bahwa

15

konsumsi beras dapat digantikan oleh jagung sebagai bahan makanan pokok. Hal ini
dikarenakan di beberapa daerah masih menjadikan jagung sebagai pangan utama selain
beras.
Secara historis, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis
karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Selain 90 persen penduduk Indonesia
menjadikan beras sebagai makanan pokoknya, beras juga menjadi industri yang
strategis bagi perekonomian nasional. Beras juga penting sebagai instrumen untuk
menjaga kestabilan pangan keamanan pangan rakyat indonesia. Dengan demikiann,
secara historis komoditas beras tidak semata-mata hanya komoditas ekonomi,
melainkan juga sebagai komoditas sosial politik yang strategis. Kegagalan dalam
penyediaan beras sebagai pangan utama akan bisa menimbulkan implikasi sosial politik
yang sangat mahal.
Selanjutnya, jagung juga merupakan salah satu komoditi potensial untuk
dikembangkan. Tanaman ini, mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah
dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di Indonesia pada
lingkungan fisik dan sosial-ekonomi yang sangat beragam. Pengembangan wilayah
timur indonesia sebagai basis komoditi ini sangat diperlukan. Data menunjukan bahwa,
ketersediaan lahan untuk pengembangan jagung masih sangat besar yaitu sebesar 43,10
persen dari lahan yang cocok belum digunakan. Potensi lahan tersebut sebagian besar
berada pada Kalimantan dan wilayah timur Indonesia. Dengan kedua wilayah yang
berbeda ini diharapkan produksi yang dihasilkan akan maksimal dikarenakan
penggunaan lahan yang berbeda tempat.
Mengenai swasembada daging di Indonesia, berdasarkan data statistik
menunjukan bahwa konsumsi daging masyarakat Indonesia tercatat lebih rendah
dibandingkan dua negara lain di ASEAN, yakni Malaysia dan Filipina. Indonesia cuma
mengkonsumsi 1,8 kilogram (kg) per kapita, Malaysia sebesar 15 kg dan Filipina 7 kg
per tahun. Dengan kebutuhan konsumsi yang kecil tersebut, apakah program
swasembada daging masih perlukan dilakukan oleh pemerintah. Jika dilihat, kebutuhan
makan daging sapi di Indonesia hanya menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier, yang
berarti tidak makan daging pun tidak menjadi masalah, sehingga menurut saya tanpa
swasembada daging pun tak menjadi masalah.

16

Berbeda dengan komoditi beras yang menjadi bahan pangan utama, konsumsi
daging bagi setiap rumah tangga frekuensi sangat kecil bila dibandingkan dengan beras
atau komoditi lainnya. Tingginya kebutuhan daging di Indonesia, relatif disebabkan
oleh permintaan oleh masyarakat dengan golongan pendapatan menengah ke atas,
perhotelan atau pada hari-hari raya keagamaan tertentu saja. Sedangkan kita tahu bahwa
sebagian besar penduduk indonesia mayoritas penduduk dengan golongan pendapatan
yang rendah, sehingga bagi mereka mengkonsumsi daging masih termasuk barang
merah. Untuk lebih jelas mengenai konsumsi beberapa komoditi di Indonesia dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan di
Indonesia, 2009-2013 (Kg).
Komoditi

2009
2010
Beras
91.302 90.155
Jagung
1.825
1.564
Daging sapi
0.313
0.365
Daging ayam
3.076
3.546
Tempe
7.039
6.935
Gula
79.049 76.911
Sumber: BPS Nasional, 2014.

Tahun
2011
89.477
1.199
0.417
3.65
7.3
73.834

2012
87.235
1.512
0.365
3.494
7.091
64.761

2013
85.514
1.304
0.261
3.65
7.091
66.482

Dengan mencermati kondisi yang demikian ini, kebijakan untuk swasembada
daging perlu untuk dicermati kembali. Dengan melihat data tersebut, apakah kebutuhan
akan daging benar-benar sangat mutlak harus dipenuhi? Dengan demikian, menurut
saya seharusnya kita memenuhi komoditi yang menjadi kebutuhan utama atau yang
paling mendesak saja.
3.4. Swasembada Absolut Vs Impor
Di tengah ketersediaan lahan yang semakin berkurang, tekanan penduduk yang
semakin tinggi, dan kebutuhan akan bahan pangan yang semakin beragam maka sebuah
pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh indonesia
antara komoditi yang harusnya diswasembadakan. Ada dua cara pandangan dalam
mencapai swasembada. Cara pertama yang dikenal dengan swasembada absolut yaitu
kebutuhan konsumsi suatu negara dipenuhi dari produksi dalam negeri dan kedua yaitu
swasembada dengan memenuhi dalam negeri dengan menggunakan impor.
17

Lebih lanjut, bila dikaitkan dengan konsep ketahanan pangan, maka Singapura
dengan luas negara yang kecil mampu memenuhi ketahanan pangannya.

Dengan

ketersediaan lahan yang terbatas, Singapura menggunakan konsep swasembada yang
kedua yaitu pemenuhan kebutuhan yang sulit melalui produksi maka impor merupakan
jalan keluarnya.
Jika ditelaah lebih lanjut, ternyata swasembada absolut kurang memberi dampak
positif. Selain karena berbiaya mahal, ia juga mengekang hak-hak petani untuk
menanam tanaman pilihannya. Ketersediaan anggaran pemerintah untuk bidang
pertanian yang minim maka sudah seharusnya fokus pada satu atau dua jenis komoditi
saja. Dengan demikian produksi pertanian yang diperoleh akan maksimal.
Penelitian yang dilakukan Gao (2010) yang berjudul ‘Discussion on Issues of
Food Security Based on Basic Domestic Self-Sufficiency’ menunjukan bahwa ketahanan
pangan adalah jaminan dasar bagi keamanan nasional. Untuk China, sebuah negara
yang memegang populasi terbesar di dunia, keamanan pangan lebih jelas masalah
penting yang menyangkut dengan nasional keamanan, perbaikan ekonomi, kebahagiaan
nasional dan jaminan sosial.
Namun, di bawah kondisi globalisasi ekonomi, ada argumen yang berbeda
mengenai apakah ketahanan pangan China harus didasarkan pada dasar negeri
swasembada atau harus diganti dengan impor. Makalah ini akan menyatakan bahwa
kepatuhan terhadap strategi ketahanan pangan " memuaskan dasar negeri swasembada "
adalah pilihan yang diperlukan, oleh mengambil situasi serius dari krisis pangan global
yang telah terjadi dalam dua sampai tiga tahun terakhir sebagai latar belakang dan dari
tiga perspektif tentang pentingnya dan khusus barang makanan, situasi serius pasokan
makanan internasional dan situasi nasional khusus Cina. Sementara itu, ia akan
mengajukan dasar pikiran dan kebijakan untuk memastikan dasar swasembada makanan
itu.
Berdasarkan temuan tersebut, selama pemerintah indonesia belum bisa
membangun pertanian secara keseluruhan dengan baik. Maka salah satu solusinya
adalah dengan fokus pada beberapa komoditi yang ingin dikembangkan (unggulan dan
potensi) dan impor terhadap komoditi yang belum bisa dikembangkan secara optimal.
Dengan tulisan ini bukan berarti saya mendukung impor, akan tetapi dengan fokus pada
komoditi tertentu maka hasil yang diperoleh dapat menutupi kekurangan (impor)

18

tersebut. Di mana, hasil maksimal yang diperoleh akan dipergunakan untuk menutupi
biaya yang dikeluarkan untuk impor komoditi lainnya.
Lebih lanjut, namun dalam perjalannya bukan berarti kita harus mengimpor
bahan pangan yang belum bisa diproduksi dengan baik di dalam negeri. Pemerintah dan
petani juga harus berusaha terus menerus untuk mengembangkan teknologi dan sarana
prasarana yang mendukung guna mengatasi kendala lahan dan lainnya. Temuan oleh
Ezedinma (2013) menjelaskan bahwa Negara Nigeria harus mendukung perdagangan
bebas tetapi hanya di daerah yang tidak bisa mengembangkan kapasitas domestik.
Dalam kasus impor beras, kebijakan negara harus pelindung sampai keuntungan
ekonomi dari penjualan, efisiensi dan kemandirian dalam negeri produksi.
Hasil tersebut, menjelaskan bahwa kebijakan impor dilakukan hanya berlaku
jika produksi dalam negeri belum mampu untuk mencukupi kebutuhan, dan diikuti
dengan pengembangan teknologi guna memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu,
intervensi kebijakan harus fokus pada intensifikasi produksi dan meningkatkan on- farm
yield untuk mengurangi biaya produksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Jalal Salem dan Mojtaba Mojaverian (2013) yang
berjudul ‘The Study of Food Import Capacity Effects on Rural Households' Food
Security in Iran’ menjelaskan bahwa penggunaan sumberdaya potensial untuk menutupi
sangat bermanfaat untuk menutupi impor akan suatu komoditi. Dalam penelitian ini
dijelaskan bahwa pendapatan Iran yang tinggi dari sumber daya minyak dan gas (migas)
digunakan untuk menutupi impor bahan pangan di negera tersebut. Dengan demikian,
ekspor produktif dialokasikan untuk impor makanan, terus-menerus meningkatkan
ketahanan pangan masyarakat pedesaan di jangka panjang.
Berdasarkan penelitian tersebut, seharusnya Indonesia bisa mencontoh terhadap
apa yang dilakukan oleh Negara Iran. Jelas memang bahwa nilai dari potensi yang
didapat dari minyak dan gas cukup berbeda dengan hasil pertanian. Namun, apa
salahnya dengan memusatkan pada salah satu atau dua komoditi, dapat memberikan
hasil yang maksimal, sehingga dengan nantinya surplus yang diperoleh akan menutupi
impor bahan pangan lainnya.
Dengan demikian kebutuhan akan bahan pangan masyarakat indonesia dapat
terpenuhi. Ini, hanya bisa dilakukan jika semua pihak baik pemerintah maupun
masyarakat saling mendukung satu sama lain. Dengan kesungguhan untuk meraihnya,

19

ditopang oleh dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dibarengi dengan
pemilihab metode yang tepat, pencapaian swasembada jelas tinggal menunggu waktu
untuk diwujudkan.
Bab IV
Simpulan dan Saran
4.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Swasembada pangan memang perlu karena bertujuan memenuhi kebutuhan
pangan secara mandiri dan tidak ketergantungan dari pihak lain (luar negeri),
akan tetapi melihat kendala keterbatasan lahan dan berbagai faktor lainnya
sekarang ini swasembada akan beberapa bahan pangan tersebut menjadi sangat
tidak mungkin untuk dilakukan ke depannya.
2. Kebijakan yang perlu dimabil oleh pemerintah yaitu dengan pemfokusan pada
satu atau dua komoditi yang ingin diswasembadakan sangat perlu dilakukan.
Dengan memanfaatkan kendala yang ada, maka akan dapat menghasilkan
produksi yang maksimal guna tercapai swasembada akan bahan pangan tertentu.
4.2. Saran
1. Perlu meninjau kembali kebijakan kembali mengenai program swasembada
pangan terhadap beberapa bahan pangan tersebut dikarenakan swasembada
absolut tidak mutlak harus dilakukan oleh pemerintah.
2. Untuk mewujudkan swasembada suatu komoditi, diperlukan adanya kerjasama
antara pemerintah dan petani dalam hal ini ketersediaan sarana dan prarasarana
yang mendukung, dan kebijakan yang mendukung petani.

20

DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Anton. 2008. Cukupkah Lahan Pertanian Kita.
http://mediatani.wordpress.com/2008/04/09/cukupkah-lahan-pertanian-kita/.
Dipublikasi 9 April 2008, diakses 16 April 2014.
Badan Pusat Statistik Nasional. 2014. Data Konsumsi dan Pengeluran.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=05¬ab=4. Diakses 18 Mei 2014
Badan Pusat Statistik Nasional. 2014. Pengunaa Lahan.
http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php. Diakses 18 Mei 2014
Ezedinma, Chuma. 2013. Impact of Trade on Domestic Rice Production and the
challenge of Selfsufficiency In Nigeria.
http://www.warda.cgiar.org/workshop/ricepolicy/chuma.e/chuma.e.nigeria.paper.pd
f
Fiki Ariyanti. 2013. Konsumsi Daging RI Cuma 18 Kg Kalah Dari Malaysia dan
Filipina. http://bisnis.liputan6.com/read/623106/konsumsi-daging-ri-cuma-18-kgkalah-dari-malaysia-dan-filipina. Dipublikasi 26 Jun 2013, diakses 18 Mei 2014.
Gao, Shutao. 2010. Discussion on Issues of Food Security Based on Basic Domestic
Self-Sufficiency. Asian Social Science, Vol 6, No 11 (2010). From
http://ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/7982.
Guirkinger, Catherine dan Stephen R. Boucher. 2008. Credit constraints and
productivity in Peruvian agriculture. Agricultural Economics 39 (2008) 295–308.
From onlinelibrary.wiley.com, Agricultural Economics › Vol 39 Issue 3
Jiang, Li, Xiangzheng Deng, Karen C. Seto. 2013. The impact of urban expansion on
agricultural land use intensity in China. Elsivier, Land Use Policy 35 (2013) 33-39.
From http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264837713000744
Salem, Jalal, Mojtaba Mojaverian. 2013. The Study of Food Import Capacity Effects on
Rural Households' Food Security in Iran. International journal of Agronomy and
Plant Production, Vol 4 (6), 1234 - 1240, 2013. From
http://ijappjournal.com/wp-content/uploads/2013/05/1234-1240.doc.pdf.
Smith, Pete dkk. 2010. Competition for land. Royal society publishing. From
http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/365/1554/2941.full.pdf
Suara Rakyat. 21 April 2012. Kepentingan Petani Vs Kepentingan Negara?
https://www.facebook.com/notes/suara-rakyat/kepentingan-petani-vs-kepentingannegara. Dipublikasi 21 April 2012 pukul, diakses 19 Mei 2014.

21

Tambunan. 2008. Ketahanan Pangan Di Indonesia, Mengidentifikasi Beberapa
Penyebab. http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-983024-01082008.pdf. Dipublikasi Agustus 2008, diakses 19 Mei 2014.

22