Perjuangan Perempuan Dalam Tiga Novel Karya Okky Madasari

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai penggunaan teori feminisme dalam karya sastra sudah
banyak dilakukan orang. Di antaranya adalah Sugihastuti dan Itsna Hadi
Saptiawan pada tahun 2007 secara bersama-sama pernah mengulas dan
mempraktikan kritik sastra feminis dalam penelitian mereka terhadap novel Nyai
Dasima. Penelitian mereka menekankan permasalahan gender dan perempuan
yang menjadi kaum inferioritas. Adapun judul penelitiannya adalah Gender dan
Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis, bahkan penelitian ini
sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Pelajar dengan judul yang
sama. Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai perbandingan untuk melihat
kedudukan perempuan.
Selanjutnya kajian yang mempunyai garis singgung dengan penelitian ini
adalah “Aplikasi Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya
Kuntowijoyo”. Penelitian ini menunjukkan adanya citra perempuan kuasa dan
relasi gender antara perempuan dan laki-laki dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo.
Penelitian ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Citra Pustaka Yogyakarta
tahun 2009 dengan judul yang sama.
Penelitian lain dilakukan oleh Kiki Amalia (USU, 2009) dalam tesisnya yang

berjudul “Ideologi Feminisme dalam Novel-novel Karya Penulis Perempuan”.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran ideologi dalam

Universitas Sumatera Utara

novel-novel karya penulis perempuan yang disebabkan oleh faktor pendidikan,
status, sosial ekonomi, politik, budaya, dan agama. Hasil penelitian ini dapat
penulis manfaatkan untuk melihat ideologi feminisme.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Jilla Yusnita Handayani (UMSU, 2012)
meneliti tentang citra perempuan yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol IV, Edisi Januari 2012, yang berjudul “Citra
Tokoh Perempuan sebagai Pandangan Hidup Pengarang dalam Novel Pada
Sebuah Kapal karya N.H. Dini: Kajian Sastra Feminis”. Hasil penelitian ini
menunjukkan perbedaan citra perempuan dan laki-laki dominan ditentukan oleh
segi fisik dan psikologi. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai perbandingan
dalam pemakaian teori feminisme.
Kajian lain juga dilakukan oleh Widya Andayani (UMSU, 2013) meneliti
tentang novel Maryam yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Vol VI, Edisi Februari 2013, dengan judul “Gambaran
Toleransi Beragama di Indonesia dalam Novel Maryam karya Okky Madasari”.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat toleransi untuk agama
yang beraliran sesat. Penelitian ini dapat penulis manfaatkan sebagai data awal
untuk meneliti gambaran sosial dalam novel Maryam.

2.2. Konsep
Konsep berkaitan dengan konsep-konsep dasar kedudukan novel dalam
penelitian yang menggunakan teori feminisme, dan perjuangan perempuan dalam
ketiga novel Okky. Adapun alasan penulis memasukkan novel sebagai konsep

Universitas Sumatera Utara

karena novel adalah bahan dasar dalam pengkajian ini. Selain itu, novel sebagai
karya sastra memuat kehidupan yang mirip dengan kehidupan yang ada di alam
nyata.

2.2.1 Novel dalam Kajian Feminisme
Kajian feminisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya
sastra dan kehidupan masyarakat. Bahkan, Alfonso (2001:55) mengatakan, “This
is why Said proposes to regard the literary text as another instance of cultural
colonization.” (Inilah sebabnya mengapa Said mengemukakan agar menganggap

teks sastra sebagai contoh lain dari kolonisasi budaya). Hal ini disebabkan
kehidupan dalam sastra dan kehidupan dalam masyarakat memiliki hubungan
yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa
saling pengaruh-memengaruhi sehingga pembaca karya sastra mau tidak mau
harus menempatkan kehidupan dalam sastra dalam persinggungan dengan
kehidupan dalam masyarakat yang realistik.
Di samping fungsi novel sebagai model kehidupan masyarakat, pemilihan
novel untuk kajian feminisme ini didasarkan pada kelengkapan cerita dalam novel
dibandingkan genre sastra yang lain. Menurut Ratna (2004:336-337), “Novel
menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling
luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas.”
Dengan demikian, novel memenuhi karakteristik sastra yang baik sebagaimana
diungkapkan oleh Richard Hoggart (Teeuw, 2003:195), “Sastra yang baik
menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan

Universitas Sumatera Utara

kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi,
individu maupun sosial dunia yang sarat objek.”
Secara lebih spesifik, novel memiliki kedudukan penting dalam

mengungkapkan realitas kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Menurut Ratna
(2004:136), “Novel jelas merupakan objek karya sastra terpenting. Pertama,
pertimbangan dari segi medium yang cukup luas dan kaya, apabila dibandingkan
dengan genre lain. Kedua, dalam novel terkandung isi, pesan, dan amanat, bahkan
juga konsep-konsep yang beraneka ragam.” Dengan demikian, novel memiliki
potensi besar untuk mengungkapkan realitas historis sehingga memberi konstruksi
kehidupan sesuai dengan peradaban manusia yang melatarbelakangi pemunculan
novel tersebut.
Realitas sosial dalam realitas fiksi sastra feminis sarat dengan masalah
kehidupan perempuan. Bahkan, masalah kehidupan perempuan dalam kajian
feminisme memunculkan masalah lain yang tidak kalah penting, yakni perjuangan
perempuan untuk mencapai kesetaraan gender. Oleh karena itu, novel menjadi
media utama utnuk mengungkapkan sastra feminis sangat signifikan.
Gayatri Chakravorty Spivak yang menjadi juru bicara feminisme yang
berasal dari Calcutta (Asia Selatan). Esai-esai Spivak seperti Three Women‟s
Texts and a Critique of Imperialism (1985) dan Can the Subaltern Speak? (1988)
telah diantologikan secara luas dan dikutip sebagai contoh teks teori feminisme.
Fokus kajian Spivak yang menjadi ciri khas analisisnya adalah pada sudut
pandang Kaum Subaltern dalam kolonialisasi. Spivak yang mempresentasikan
teori


postrukturalis

dari

Jacques

Derrida

menekankan

pentingnya

Universitas Sumatera Utara

mendekonstruksi secara terus-menerus mempersoalkan program politis seperti
sosialisme, feminisme, nasionalisme antikolonial, dan identitas politis kaum
proletar, perempuan, dan penduduk koloni. Menurut Morton (2008:19), terhadap
perempuan subaltern, Spivak menempatkan perjuangan kebebasan perempuan
dan kaum perempuan di dunia Selatan secara bertahap mentransformasi ruang

nonrelasional keistimewaan etis ke dalam ruang keputusan dan tanggung jawab
politik.
Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang di
dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia
(dalam hal ini tokoh cerita). Secara spesifik, realitas sosial, misalnya kenyataankenyataan hidup dalam masyarakat. Dalam novel digambarkan tentang mayarakat
yang berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota
masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara
lebih sederhana, di dalam sebuah novel tergambar unsur-unsur masyarakat yang
terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalis di antara keduanya
meruapakan tema yang menarik untuk dikaji, sebab menyangkut hubungan antara
dua jenis kelamin yang berbeda. Pada akhirnya, membentuk tatanan kehidupan
masyarakat, baik secara sosial maupun budaya.
Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, hubungan antara laki-laki
dan perempuan, dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang
mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap
kedudukan tiap-tiap jenis kelamin. Proses ini dikuatkan oleh realitas dalam
banyak kebudayaan bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural

Universitas Sumatera Utara


dibandingkan dengan perempuan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi yang
terjalin menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan
dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang
lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial
dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang
lebih luas seperti kelompok masyarakat. Gambaran kehidupan sosial seperti ini
sering muncul di beberapa novel Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya
gerakan feminisme, perempuan menuntut persamaan hak baik di dalam ranah
domestik maupun dalam ranah publik, yang pada gilirannya memunculkan bentuk
perjuangan perempuan. Hal inilah yang akan peneliti lihat melalui novel yan
ditulis oleh Okky Madasari.

2.2.2 Realitas Sosial
Penelitin dari aliran Marxis dan sosiologi sastra beranggapan bahwa karya
seni sebagai dokumen sosial. Kenyataan bagi manusia dalam kehidupan seharihari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya dan yang dialaminya
secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan koheren. Hubungan antara seni
dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau sederhana. Hubungan itu
merupakan interaksi yang kompleks dan tidak langsung: ditentukan oleh konfensi
bahasa , konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw, 2003: 224-225).
Menurut Marx dan Engels dalam The German Ideology, bukan kesadaran

yang menentukan kehidupan, tetapi kehidupanlah yang menentukan kesadaran.
Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan

Universitas Sumatera Utara

keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka. Hubungan social
antarmanusia diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materialnya.
Hubungan antarkelas kapitalis dan kelas proletar membentuk “basis ekonomi”
atau

“infrastruktur”.

Dari

infrastruktur

ini

di


setiap

periode

muncul

“superstruktur”, bentuk-betuk hokum dan politik tertentu, negara tertentu, yang
berfungsi untuk melegitimasi kekuatan kelas sosial yang memiliki alat-alat
produksi. Superstruktur juga terdiri atas bentuk-bentuk kesadaran social yang riil
seperti politik, sgama, etika, estetika, dan seni (Eagleton, 2002:4-6).
Lebih lanjut Eagleton (2002:6-7) menjelaskan, Seni bagi Marxis
merupakan bagian dari ideologi masyarakat. Memahami masyarakat berarti
pemahaman terhadap seluruh proses sosial tempat karya sastra diciptakan. Karya
sastra merupakan bentuk persepsi dan memiliki relasi dengan cara memandang
realitas yang menjadi ideologi sosial suatu jaman. Memahami karya sastra adalah
memahami hubungan tidak langsung antara karya sastra dengan duia ideologis
tempat karya itu berada yang muncul pada unsure-unsur karya sastra.
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra
merupakan pencerminan dari masyarakatnya. Karya sastra memuat realitas sosial
dan berfungsi sebagai dokumen sosial masyarakat tempat karya itu diciptakan.

Karya sastra merupakan tiruan dari jagat realita. Sebagai makhluk sosial,
pengarang dipengaruhi oleh latar belakang sosiologisnya yang berupa srtruktur
sosial dan proses sosial termasuk di dalamnya perubahan sosial dalam
menciptakan karya sastra.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Perjuangan Perempuan
Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan
perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya
kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Seperti
diketahui, sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah dominasi laki-laki,
perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makhluk kelas dua. Secara
biologis jelas perempuan berbeda dengan kaum laki-laki, perempuan lebih lemah,
sebaliknya, laki-laki lebih kuat. Meskipun demikian perbedaan biologis mestinya
tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya
dalam masyarakat.
Di pihak yang lain, perbedaan secara alamiah tidak mungkin diubah,
sebagai asas kodrati, secara religius diciptakan oleh Tuhan, yang tidak mungkin
disangkal kebenarannya. Sebagai gejala alamiah, struktur biologis dengan

psikologinya telah diberikan kualitas yang seimbang. Sebaliknya, sebagai gejala
kultural, perbedaannya semata-mata didasarkan atas kepentingan kaum laki-laki.
Dalam hubungan inilah teori feminis mencoba memberikan jalan tengah, untuk
menemukan keseimbangan agar kedua pihak memperoleh makna yang sesuai
dengan kondisinya dalam masyarakat. Sejajar dengan penolakannya terhadap teori
bahasa Saussurean, feminisme pascamodern memandang bahwa laki-laki maupun
perempuan sekaligus sebagai pusat dan nonpusat, disesuaikan dengan posisi dan
kondisinya dalam masyarakat. Kaum perempuan tidak menuntut persamaan
biologis sebab perbedaan tersebut merupakan hakikat. Kaum perempuan melalui

Universitas Sumatera Utara

gerakan dan teori feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu
memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang dinamis.
Dikaitkan dengan aspek-aspek kemasyarakatannya, kritik sastra feminis
pada umumnya membicarakan tradisi sastra oleh kaum perempuan, pengalaman
perempuan di dalamnya, kemungkinan adanya penulisan khas perempuan, dan
sebagainya. Dikaitkan dengan gerakan emansipasi, sastra feminis bertujuan untuk
membongkar, mendekonstruksi sistem penilaian terhadap karya sastra yang pada
umumnya selalu ditinjau melalui pemahaman laki-laki. Artinya, pemahaman
terhadap unsur-unsur sastra dinilai atas dasar paradigma laki-laki, dengan
konsekuensi logis perempuan selalu sebagai kaum yang lemah, sebaliknya, lakilaki sebagai kaum yang lebih kuat.
Contoh-contoh dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama
karya fiksi yang terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai
pengarang dapat dilihat baik dalam sastra lama maupun modern. Dalam sastra
lama tokoh-tokoh utama yang dimaksudkan, diantaranya: Rama, Arjuna,
Sutasoma, Hang Tuah, Rajapala, Jayaprana, dan sebagainya. Demikian juga
dalam sastra modern, sejak kelahirannya tahun 1920-an hingga sekarang tokohtokoh didominasi oleh laki-laki, sebagai kekuatan kelompok laki-laki.
Kesadaran berubah sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya novel-novel populer,
yang diikuti juga dengan hadirnya sejumlah pengarang dan tokoh perempuan.
Sebagai pengarang, wanita memang agak jarang. Konsisi marginal yang diterima
sejak berabad-abad, secara keseluruhan menyebabkan kaum perempuan hanya
berfungsi sebagai pembantu, pelayan, pengganti, alternatif kaum laki-laki yang

Universitas Sumatera Utara

lebih kuat. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia, para pengarang
perempuan yang pantas untuk disebutkan, di antaranya: Sariamin, Hamidah,
Marian Amin, Nursyamsu, Waluyati, Ida Nasution, S. Rukiah, Sitti Nuraini,
Suwarsih Djojopuspito, Nh. Dini, Titie Said, Basino, Poppy Hutagalung, Isma
Sawitri, Marga T, La Ros, Aryani, Marianne Katoppo, Maria A. Sarjono, Yati M.
Wiharja, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan sebagainya.
Sebagai tokoh fiksi perempuan, dalam rangka perjuangan emansipasi, pada
umumnya juga lahir melalui pengarang perempuan, seperti Hamidah (Hamidah
dalam Kehilangan Mestika) Yusnani (Selasih dalam Pengaruh Keadaan), dan
sebagian besar karya-karya para pengarang perempuan, seperti: N.H. Dini, Titie
Said, Marga T., dan sebagainya. Meskipun demikian, banyak juga tokoh fiksi
perempuan yang lahir melalui pengarang laki-laki, seperti: Siti Nurbaya (Marah
Rusli dalam Siti Nurbaya), Ni Rawit (Pandji Tisna dalam Ni Rawit Ceti Penjual
Orang), Sukreni (Pandji Trisna dalam Sukreni Gadis Bali), Tuti (Sutan Takdir
Alisjahbana dalam Layar Terkembang), Gusti Ayu Pandan Sari (Andjar Asmara
dalam Nusa Penida), dan sebagainya.
Kondisi di atas jelas mengindikasikan hadirnya kekuatan baru, kekuatankekuatan yang berfungsi sebagai antagonis, oposisi, bahkan sebagai antitesis
terhadap tradisi sastra sebelumnya. Karya sastra jelas dihasilkan oleh seorang
penulis, tetapi penulis itu sendiri adalah wakil masyarakat. Artinya, para
pengarang, khususnya para pengarang perempuan memiliki fungsi dan obsesi
untuk menampilkan tuntutannya, agar kehadirannya menjadi bermakna di dalam
masyarakat. Perempuan tidak seharusnya secara terus menerus terpinggirkan,

Universitas Sumatera Utara

perempuan juga berhak membentuk pusat-pusat baru, sejajar dengan gerakan
pascamodernis.
Dengan penjelasan di atas dapat dipahami adanya dua indikator yang
membedakan antara laki-laki dengan perempuan, pertama, aspek biologis atau
alamiah, kedua, aspek psikologis atau kebudayaan. Aspek yang pertama
merupakan pembawaan, yang dengan sendirinya tidak perlu dan tidak bisa
ditolak. Yang dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah aspek yang kedua,
kondisi-kondisi yang dikerangkakan secara kultural. Dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam ilmu sosial, disebut sebagai kesetaraan gender, kesetaraan antara
laki-laki denga perempuan, dalam kaitannya dengan struktur sosial.
Gerakan feminisme, khususnya masalah yang berhubungan dengan wanita,
pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, yaitu gerakan kaum perempuan
untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik
dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Kondisi-kondisi
fisik wanita yang lebih lemah secara alamiah hendaknya tidak digunakan sebagai
alasan untuk menempastkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah.
Pekerjaan wanita selalu dikaitkan dengan memelihara, pria selalu dikaitkan
dengan bekerja. Pria memikili kekuatan untuk menakhlukkan, mengadakan
ekspansi dan bersifat agresif. Perbedaan fisik yang diterima sejak lahir, kemudian
diperkuat dengan hegemoni struktur kebudayaan, adat-istiadat, tradisi, pendidikan
dan sebagainya.
Di Indonesia, emansipasi mulai diperhatikan sejak Repelita III
(1979/1980-1983/1984), ditandai dengan pengangkatan Menteri Negara Urusan

Universitas Sumatera Utara

peranan Wanita. Secara akademis, ditandai dengan dibukanya Program Studi
Kajian Wanita di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Kondisi
seperti ini sudah sepantasnya diperhatikan mengingat jumlah penduduk permpuan
yang hampir seimbang dengan penduduk laki-laki. Dalam sastra, sudah
dipermasahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai
Pustaka dengan mengemukakan masalah kawin paksa. Kemudian dilanjutkan
dengan periode 1930-an, yang diawali dengan Layar Terkembang karya STA
(Ratna, 2004:191).
Dengan tidak melupakan jasa-jasa dan kepeloporan R.A. Kartini, secara
historis keberadaan dan perjuangan kaum perempuan di Indonesia, ditandai
dengan dilangsungkannya Kongres perempuan Indonesia I tahun 1928 di
Yogyakarta, yang disusul dengan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta
tahun 1935. Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung tahun 1938, yang
sekaligus menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Perempuan dalam gerakan keperempuanannya memposisikan dunia
pengetahuan ideal dan praktis secara harmonis sehingga keunikannya dengan cara
memandang dunia dapat dilakukan secara kritis. Ketika sang suami tidak bisa lagi
diharapkan untuk menyokong kebutuhan keluarga, maka perempuanlah yang
berperan untuk mengambil alih kondisi tersebut. Daya tahan perempuan dalam
keluarga telah berhasil mengubah dirinya dari status ibu rumah tangga menjadi
penolong dalam keluarga. Perjuangan ini terlihat dalam novel Entrok dan 86.
Dengan cara ini pula, perempuan membangun spiritual feminisme yang
tidak hanya berjuang untuk menolong dirinya sendiri tetapi juga berjuang untuk

Universitas Sumatera Utara

menolong orang-orang yang lemah untuk meraih hak-hak keadilan dan
kesejahteraan yang sama. Suatu pengalaman yang mengatasi berbagai
diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat seperti perbedaan berdasarkan
keyakinan yang dialami Maryam dalam novel Maryam, menyebabkan dia harus
memperjuangkan hak-hak kaum marginal.

2.2.4 Budaya Patriarki
Berbicara tentang perjuangan perempuan pastilah sangat berhubungan erat
budaya patriarki yang masih dianut oleh masyarakat di Indonesia. Perempuan
berjuang karena hak-hak mereka yangg tertindas, tertindas oleh kalangan yang
suprior dibanding mereka yang inferior. Patriarki sendiri berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa
tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang
dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan
suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma.
Pandangan dengan pedekatan sosio antropologi, juga meramaikan kajian tentang
posisi laki-laki.
Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap
perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan
laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan.
Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua
lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah
dan tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah

Universitas Sumatera Utara

masyarakat

patriarki

sejak

awal

membentuk

peradaban

manusia

yang

menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur
patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan
otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi
hirarki gender.
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal
pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara
keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki
otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada
posisi lemah (inferior). Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota
keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari
perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status,
dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada
anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan
perempuan.
Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena
masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan
sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang
dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap
remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan.
Berkaitan dengan pekerjaan, pembagian kerja dapat juga berarti
pembagian nilai, mengingat beberapa pekerjaan dan jangkauan yang dimilikinya

Universitas Sumatera Utara

mengandung kekuatan dan prestise lebih dibanding lainnya. Pada bermacam
masyarakat, pembagian kerja bergender melibatkan kekuatan dan status
diferensial.

Pekerjaan

laki-laki

(wilayah

laki-laki)

memiliki

kekuatan

kemasyarakatan yang lebih besar dan masuk melalui penempatan barang, jasa,
serta kontrol ritual. Laki-laki, pada sebagian besar budaya, memiliki akses pada
posisi publik lebih kuat dibanding perempuan. Sedangkan bagi perempuan,
pengaruh lebih condong pada wilayah domestik dan nonpublik. Pada keduanya,
pengaruh yang ada dibatasi oleh wilayah masing-masing. Karena wilayah privat
bergantung pada tempatnya di tengah-tengah wilayah publik, posisi puncak
seorang perempuan domestik di dalam orde sosial bergantung pada posisi patner
laki-lakinya di dalam masyarakat. Kemampuan perempuan dalam menggunakan
pengaruh dan kekuatannya di wilayah privat bergantung pada bagaimana si lakilaki mengalokasikan kepemilikan yang mereka punya di tengah-tengah publik
(Sugihastuti, 2010:54).
Oposisi gender tradisional sangat terkait dengan pembagian kerja pada
setiap strata dalam masyarakat. Dalam praktiknya, bukan hanya berwujud bukan
hanya pembagian kerja secara fisik, tetapi juga secara emosional. Pembagian kerja
bukan hanya semata-mata pembagian aktivitas saja. Pembagian kerja mengarah
pada kualitas gender yang oposisional. Misalnya oposisi tersebut dimuati oleh
pandangan tentang kebutuhan dasar orang lain sehingga hanya bisa berfungsi bila
berorientasi pada orang lain. Pada saat bersamaan pekerjaan seperti ini akan
menjadikan seseorang terbiasa pada pekerjaan dan kebutuhan orang lain.

Universitas Sumatera Utara

Dalam masyarakat Barat, pembagian kerja tergender sangat berhubungan
dengan alokasi fungsi perempuan di wilayah domestik atau privat dan alokasi
kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki. Perempuan sebagai subjek
mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga membesarkan.
Untuk urusan pemeliharaan, pekerjaan perempuan tidak hanya dilakukan untuk
anak-anak, melainkan untuk seluruh keluarga. Selain itu, perempuan dibebani
tugas merawat rumah tempat tinggal mereka. Bila pembagian kerja hanya
mengacu pada jenis kelamin, maka perempuan bertugas mengandung dan
mengasuh anak sedangkan si laki-laki tidak. Perempuan tentunya tidak akan
diperbolehkan melakukan pekerjaan lain saat mengandung dan mengasuh.

2.2.5 Feminisme Liberal
Penelitian ini menggunakan teori feminisme atau lebih spesifik lagi
feminisme liberal. Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia mempunyai kapasitas
untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar
ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh
kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar
mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya
kedudukan

setara

dengan

laki-laki

(http://id.scribd.com/doc/28956671

/FEMINISME#scribd).

Universitas Sumatera Utara

Feminis liberal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa
yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari
teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh
kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”,
tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh
kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan
dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut.
Untuk kebanyakan kaum liberal feminis, perempuan cendrung berada “di dalam”
negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan.
Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau
bernegara. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum feminisme
liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap
perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan
politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara. Tokoh aliran ini adalah
Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini
perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan
perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan
bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki (teori-gender-feminis.doc.
hhtp://pmiiunira. weebli.com/).
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa
mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor
domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan
wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis,

Universitas Sumatera Utara

mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung
keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarir dengan
bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki,
sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya
terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada
abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama,
di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi
bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk
untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun
personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif
keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah
kontribusi dari pengalaman feminis liberal (teori-gender-feminis.doc. hhtp://
pmiiunira.weebli.com/).

3.2.6 Perempuan sebagai Pelaku Bisnis
Bekerja dapat menambah pendapatan keluarga, dan itu tidak sekedar
isapan jempol belaka. Pilihan untuk bekerja adalah tindakan yang secara sadar
dilakukan manusia untuk menunjukkan identitas sekaligus eksistensinya sebagai
diri pribadi. Pekerjaan adalah tindakan yang mesti memuaskan manusia karena
pekerjaan adalah tindakan khas manusia. Pekerjaan juga sekaligus tanda bahwa
manusia adalah makhluk sosial.

Universitas Sumatera Utara

Kesalahan konsep tentang seputar gender yang kadang diidentikkan
dengan seks sering kali melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender
dalam lingkungan rumah tangga bisa dicermati dari pembagian peran yang belum
berlaku secara berimbang. Dalam kehidupan rumah tangga dapat dicermati secara
jelas bahwa tugas menjaga anak,memasak,membersihkan rumah dan mencuci
pakaian menjadi tanggung jawab penuh istri, sementara suami hanya menerima
laporannya. Karenanya para laki-laki tempo dulu sangat jarang yang mau
menggendong anak atau mengantar anak ke sekolah. Bukannya para laki-laki
tidak mau menyayangi buah hati mereka atau cuek dengan keberadaan si kecil,
tetapi tugas untuk menjaga anak terlanjur dipercaya oleh masyarakat sebagai
tugasnya perempuan.
Pembagian peran laki-laki untuk mencari nafkah dan perempuan yang
mengurus soal rumah tangga sudah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi
tradisi keluarga. Modal pengambilan keputusan dalam konteks kehidupan rumah
tangga sepenuhnya berada pada sang ayah. Kaum ibunya hanya boleh menerima
pendapat suaminya, atau boleh ikut berdiskusi jika sang suami mengizinkan si
istri untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Salah satu penyebab terjadinya
model pengambilan keputusan yang demikian adalah karena suami yang mencari
nafkah hidup. Konsekuensinya, setiap keputusan menjadi tanggung jawab suami
sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhinya.
Husain (2009: 29) mengatakan bahwa prisip musyawarah dalam proses
pengambilan keputusan sejalan dengan konsep gender yang memberikan tawaran
secara egaliter kepada laki-laki dan perempuan untuk berdiskusi terlebih dahulu

Universitas Sumatera Utara

untuk memutuskan suatu perkara. Islam mengedepankan prinsip musyawarah
sebagai mediasi dalam mengidentifikasi tugas perempuan dan laki-laki rumah
tangga. Prinsip musyawarah pada akhirnya mengurangi salah paham diantara
perempuan dan laki-laki. Mengingat bahwa jika sekali saja terjadi salah paham,
akan dapat berkanjut dengan kekerasan terhadap salah satu pihak. Akibatnya,
anak-anak yang akan menderita, dan perkembangan kejiwaan mereka terganggu
karena ulah orang tuanya. Di banyak kota besar seperti Jakarta, Medan, dan
Makasar, para anak korban ulah orang tua mereka sering disebut dengan anakanak bronken home. Padahal bila orang tua mampu membicarakannya berimbang
peran masing-masing anggota keluarga secara musyawarah, maka konflik dalam
rumah tangga dapat diminimalisir.

3.2.7 Tingkat Kebutuhan Manusia
Sejak awal, manusia merupakan individu atau kelompok yang tidak
terlepas dari kebutuhan, walaupun kebutuhan ini hanya sebatas makan dan minum
serta pakaian yang sederhana. Kebutuhan sederhana itu hanya memanfaatkan
segala sesuatu yang tersedia dari alam, seperti kegiatan berkebun, berburu,
menangkap ikan di laut atau di sungai, dan sebagainya. Setelah peradaban
manusia berkembang maka kebutuhan hidup juga semakin meningkat.
Menurut Maslow, terdapat berbagai macam jenis kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan Menurut Intensitas Penggunaan
Kebutuhan menurut intensitas (tingkat) kegunaan diukur dengan prioritas
atau ukuran tingkat penting suatu kebutuhan.

Universitas Sumatera Utara

Macam-macam kebutuhan menurut intensitasnya yaitu:
1) Kebutuhan Primer
Kebutuhan primer (pokok) adalah kebutuhan minimal yang mutlak harus
dipenuhi untuk hidup sebagai layaknya manusia. Kebutuhan primer
meliputi makanan dan minuman, pakaian, serta tempat tinggal. Sedangkan
untuk kebutuhan rumah, masalahnya bukan hanya ada tidaknya tempat
berteduh, tetapi juga tersedianya penerangan listrik, sumber air bersih,
tempat mandi, buang air, sanitasi, keamanan, dan sebagainya.
2) Kebutuhan Sekunder
Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat, sehingga
keberadaannya menuntut kebutuhan selain kebutuhan primer. Kebutuhan
yang dipenuhi setelah kebutuhan primer disebut kebutuhan sekunder
(tambahan). Kebutuhan sekunder terkait erat dengan faktor lingkungan
hidup dan tradisi masyarakat serta faktor psikologis. Orang yang
mempunyai kedudukan di masyarakat sering merasa harus mempunyai
kebutuhan supaya dipandang layak, misalnya pakaian pesta, sepatu
bermerek, komputer, sumbangan atau sedekah dan lain sebagainya.
3) Kebutuhan Tersier
Setelah kebutuhan pokok dan kebutuhan tambahan terpenuhi akan muncul
kebutuhan tersier (barang mewah) untuk dipenuhi. Kebutuhan tersier lebih
terarah pada tujuan untuk mempertinggi status sosial (prestise) seseorang
atau terkait dengan hobi dan kegemaran tertentu. Contoh kebutuhan tersier
adalah mobil mewah, perhiasan, vila, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

b. Kebutuhan Menurut Bentuk dan Sifatnya.
Menurut bentuk dan sifatnya, kebutuhan manusia dibagi menjadi:
1) Kebutuhan Jasmani
Kebutuhan jasmani (materiil) diperlukan untuk memenuhi keperluan
jasmani (raga) seseorang. Kebutuhan ini misalnya makanan sehat, pakaian
bersih, tempat berlindung, olahraga, dan lain-lain.
2) Kebutuhan Rohani
Kebutuhan rohani (spiritual) diperlukan untuk memenuhi keperluan rohani
(jiwa atau pikiran) seseorang. Jika kebutuhan rohani dipenuhi maka
seseorang akan mendapat kepuasan batin. Contoh kebutuhan rohani antara
lain pendidikan, ibadah, dan rekreasi. Kebutuhan jasmani dan rohani,
keduanya memang harus dipenuhi secara seimbang. Artinya, tidak hanya
mengutamakan kebutuhan jasmani saja tetapi juga kebutuhan rohani.
c. Kebutuhan Menurut Waktu Pemenuhan
Pembagian kebutuhan atas dasar waktu dibagi menjadi:
1) Kebutuhan Sekarang
Kebutuhan sekarang adalah kebutuhan yang harus dipenuhi saat ini dan
harus didahulukan. Yang termasuk kebutuhan ini misalnya makan, minum,
dan kesehatan. Kebutuhan sekarang bersifat rutin dan barang yang
diperlukan sebagian besar merupakan barang-barang kebutuhan pokok
yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan
sekarang merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda atau bersifat

Universitas Sumatera Utara

mendesak. Misalnya manusia membutuhkan obat di saat sakit, payung di
saat hujan, dan makanan ketika merasa lapar.
2) Kebutuhan Masa Depan
Kebutuhan masa depan adalah kebutuhan yang pemenuhannya sudah
dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Misalnya kebutuhan untuk memiliki
rumah sendiri dan pendidikan anak. Pemenuhan kebutuhan masa depan
biasanya dilakukan dengan menabung.
3) Kebutuhan yang Tidak Tentu Waktunya atau Tidak Terduga
Kebutuhan ini terjadi tiba-tiba dan bersifat insidentil (kadang-kadang
terjadi). Misalnya, kebutuhan berupa bantuan untuk saudara yang tertimpa
musibah.
4) Kebutuhan Sepanjang Waktu
Kebutuhan ini memerlukan waktu yang lama dan boleh dikatakan
sepanjang waktu. Kebutuhan ini misalnya kebutuhan menuntut ilmu atau
belajar. Saat ini, belajar atau mencari ilmu merupakan kebutuhan pokok
bagi manusia dan diperlukan sepanjang hidupnya. Untuk itu, manusia
membutuhkan pendidikan.
d. Kebutuhan Menurut Subjek
Penggolongan kebutuhan ini berdasarkan kepada yang membutuhkan.
1) Kebutuhan Individu
Kebutuhan individu (perorangan) adalah kebutuhan yang diperlukan oleh
masing-masing orang. Kebutuhan antara orang yang satu dengan yang
lainnya berbeda. Misalnya kebutuhan seorang anak berbeda dengan orang

Universitas Sumatera Utara

dewasa, kebutuhan nelayan berbeda dengan petani, dan kebutuhan pelajar
berbeda dengan karyawan.
2) Kebutuhan Kelompok
Kebutuhan kelompok (kolektif) adalah kebutuhan yang diperlukan oleh
sekelompok orang secara bersama-sama, misalnya masyarakat dalam satu
desa atau kota. Kebutuhan kelompok yang berwujud misalnya jalan,
jembatan, listrik, dan angkutan umum. Kebutuhan kelompok yang tidak
berwujud misalnya keamanan, ketertiban, kebersihan umum, dan menang
dalam

pertandingan.

Berbagai

kebutuhan

kelompok

tersebut

diselenggarakan oleh umum, dengan jalan usaha bersama dan atau dibiayai
oleh pemerintah dari uang hasil pajak.
Sarana jalan atau infrastruktur jalan merupakan kebutuhan kolektif
masyarakat, karena jalan sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan
ekonomi. Kondisi jalan yang baik akan mempermudah penditribusian
barang dan jasa serta memperlancar arus transportasi.
Jenis kebutuhan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Golongan Kebutuhan

Jenis kebutuhan

Contoh

No.
a)

1.

Kebutuhan
primer/pokok/utama,
yaitu
kebutuhan manusia yang
mutlak harus dipenuhi untuk
menjaga kelangsungan hidup.
Menurut
tingkat)
Kebutuhan
kepentingan/intensitas
sekunder/cultural/pelengkap,
yaitu
kebutuhan
yang
dipenuhi setelah kebutuhan
primer terpenuhi.
b.
Kebutuhan tersier, yaitu
kebutuhan tambahan yang
berupa barang-barang mewah.
a.
Kebutuhan sekarang, yaitu

Makan,
rumah

minum,

dan

Alat-alat rumah tangga,
alat-alat
sekolah,
kendaraan.

Perhiasan (emas dan
berlian), mobil mewah,
villa
Seorang yang lapar

Universitas Sumatera Utara

Menurut waktunya

2.

b.

a.

Menurut subyek yang
b.
menggunakan

3.

c.

kebutuhan manusia yang
harus segera dipenuhi saat itu
juga.
Kebutuhan kelak (yang akan
datang), yaitu kebutuhan yang
dipenuhi untuk keperluan
masa yang akan datang.
Kebutuhan individu, yaitu
kebutuhan
yang
digunakanuntuk
memenuhi
keperluan individu.
Kebutuhan kolektif/bersama,
yaitu
kebutuhan
untuk
memenuhi
keperluan
bersama/kelompok.
Alat pemuas kebutuhan
a)
Jika kalian memiliki banyak
kebutuhan, maka harus ada
b)
alat
pemuas
kebutuhan
tersebut.
c)
Alat pemuas kebutuhan dapat
dibedakan menjadi dua aitu
barang dan jasa.
d)
e)
f)

Sumber daya

4.

Untuk menghasilkan baranga.
barang dan jasa diperlukan
sumber daya (resources).
Dengan menggunakan sumber
daya ekonomi yang ada
melalui proses produksi dapat
b.
dihasilkan barang-barang dan
jasa.
c.

kebutuhan yang harus
dipenuhinya
adalah
makan dan minum.
Kita menabung untuk
kebutuhan kelak

Pelajar membutuhkan
buku atau alat tulis

Kegiatan
siskamling,
kegiatan
pramuka,
kegiatan olah raga bulu
tangkis, volley. Dll
Barang ekonomis :
makanan, pakaian dll
Barang bebas : sinar
matahari dan udara
Barang
subtitusi/pengganti : gula
aren X gula pasir
Barng komplementer :
buku tulis dg pulpen
Barang konsumsi : nasi,
pakaian
Barang modal : kayu
untuk meja.
Sumber Daya ALam
(SDA)
Dapat diperbaruhi dan
yang
tidak
dapat
diperbaruhi
Sumber DAya Manusia.
Tenaga kerja 15-65 th
Modal.

Tabel 2.1 Kebutuhan Manusia
Tingkat kebutuhan manusia dapat dilihat dari teori Hirarki kebutuhan
Maslow. Dalam teori itu disebutkan bahwa manusia akan meningkatkan taraf
hidupnya bila kebutuhan dibawahnya telah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow
meliputi:

Universitas Sumatera Utara

1. Kebutuhan Fisiologis
Ini adalah kebutuhan biologis, yang terdiri dari kebutuhan oksigen,
makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Kebutuhan ini adalah
kebutuhan tingkat pertama yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Sifat
kebutuhan ini sangat kuat karena jika seseorang tidak diberi semua
kebutuhan, maka dalam pencarian seseorang untuk kepuasan, kebutuhan
fisiologis yang akan datang pertama kali.
2. Kebutuhan Keamanan
Ketika semua kebutuhan fisiologis sudah terpuaskan dan tidak
mengendalikan pikiran

dan perilaku lagi, kebutuhan keamanan dapat

menjadi aktif. Orang tua memiliki kesadaran keamanan untuk melindungi
anak-anaknya. Apalagi dalam keadaan darurat atau periode disorganisasi
dalam struktur sosial, seperti kerusuhan, rasa aman sangat diperlukan.
3. Kebutuhan cinta, sayang dan kepemilikan.
Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis sudah
terpenuhi, kelas berikutnya adalah kebutuhan untuk cinta, sayang dan
kepemilikan. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi
perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan dua manusia saling
memberi dan menerima cinta dan kasih sayang sehingga menimbulkan
rasa saling memiliki.
4. Kebutuhan Esteem atau harga diri
Jika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa
menjadi dominan. Ini melibatkan kebutuhan harga diri untuk seseorang

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan
untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari
orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan
berharga sebagai orang di dunia. Ketika mengalami frustrasi, orang merasa
rendah, lemah, tidak berdaya dan tidak berharga.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka kebutuhan untuk
aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri
sebagai orang perlu untuk “menjadi dan melakukan” yang orang itu “lahir
untuk dilakukan.” Misalnya, seorang musisi harus bermusik, seniman
harus melukis, dan penyair harus menulis. Kebutuhan ini membuat diri
mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi,
tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak
aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah
untuk diketahui. Berbeda dengan kebutuhan untuk aktualisasi diri,
seseorang itu akan terlihat gelisah. Hal ini tidak selalu jelas apa yang
seseorang inginkan ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Dari teori di atas dapat diketahui bahwa bila manusia telah dapat
memenuhi kebutuhan awal, yaitu kebutuhan fisilologis dalam contoh ini,
maka manusia itu akan berusaha meningkatkan kepada kebutuhan hidup
selanjutnya yaitu kebutuhan keamanan dan hingga dapat memenuhi
kebutuhan yang terakhir yaitu kebutuhan hidup akan aktualisasi diri dalam
lingkungannya. Kebutuhan hidup manusia menjadi sebuah motivasi

Universitas Sumatera Utara

tersendiri yang menjadikan manusia semakin berusaha meningkatkan taraf
hidupnya menjadi lebih baik.

3.2.8

Kejawen
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki

arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan
kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan Kejawen bersifat umum, biasanya
karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Pada dasarnya,
istilah kejawen adalah Javanism, Javaneseness, merupakan suatu cap untuk
menggambarkan unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat
Jawa dan mendefiniskannya sebagai suatu kategori khas.
Javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa yang
menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima
terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah
masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Dalam konteks umum
Kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Kejawen dalam opini
umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orangorang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis suku Jawa.
Penganut Kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama
dalam pengertian sebagai agama monoteistik, seperti Islam, Hindu, atau Kristen,
tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang
iringi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). Ajaran Kejawen biasanya
tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep

Universitas Sumatera Utara

keseimbangan. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan
Konfusianisme atau Toaisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir
tidak ada kegiatan perluasan ajaran, namun pembinaan dilakukan secara rutin
(MH.Yana, 2012: 110).
Ajaran Kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran
agama pendatang, baik Hindu, Budha, maupun Kristen. Gejala sinkritisme atau
penggabungan unsur-unsur ini sendiri dipandang bukan sesuatu ya ng aneh
karenan dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan
jaman.
Diperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam
sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar
bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme terdapat lengkap pada
dirinya, yang berisikan kosmoslogi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada
hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya dimana ciri khas Jawa tersendiri, yaitu
suatau sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada
gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa.
Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu
badan pengetahuan yang menyeluruh, yang digunakan untuk menafsirkan
kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Jadi, kejawen bukanlah suatu
kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup yang
diilhami oleh cara berpikir Javanisme. Sebagian besar dari masyarakat Jawa
adalah Jawa kejawen atau Islam abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani
kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh, misalnya tidak melakukan sholat

Universitas Sumatera Utara

lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan
Ramadhan.
Dasar pandangan hidup mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan
masyarakat sudah ditentukan dalam segala segi. Mereka menganggap bahwa
pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan
sebelumnya, jadi mereka harus menanggung kesulitan hidup dengan sabar.
Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka
pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang dianggap
seperti Tuhan sehingga menimbulkam perasaan keagamaan dan rasa aman.

3.2.9

Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan gerakan Islam yang berpusat di India. Gerakan ini

menekankan aspek-aspek ideologis,-eskatologis karena gerakan ini bersifat
mahdiistik dengan keyakinan bahwa al-Mahdi dipandang sebagai “Hakim pengislah” atau sebagai “Juru Damai”. Menurut keyakinannya, al-Mahdi mempunyai
tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan umat Islam, baik di bidang
akidah maupun syari‟ah. Ahmadiyah berharap umat Islam bersatu kembali seperti
pada zaman Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itu, al-Mahdi juga diyakini
bertujuan mempersatukan kembali semua agama, terutama agama Nasrani dan
Hindu, agar melebur ke dalam Islam.
Sebagaimana pemikir Islam lainnya, Mirza Ghulam Ahmad berusaha
memperbaiki keadaan umat Islam India melalui perubahan pola pikir

dalam

memahami agama Islam yang disesuaikan dengan perubahan jaman. Zulkarnain

Universitas Sumatera Utara

(2006: 58) menjelaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah diangkat
Tuhan sebagai al-Mahdi dan al-Masih merasa mempunyai tanggung jawab moral
untuk memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat
al-Quran sesuai dengan tuntutan jaman dan “Ilham” Tuhan kepadanya. Motif
Mirza Ghulam Ahmad ini, tampaknya didorong oleh gencarnya serangan kaum
misionaris Kristen dan propaganda Hindu terhadap umat Islam pada saat itu.
Ahmadiyah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1924 ketika dua
pendakwah Ahmadiyah Lahore datang ke Jogja. Pada kesempatan ini mereka
berdua diundang oleh Minhadjurrahman Djojosoegito, sekretaris Muhammadiyah,
dalam Muktamar Muhammadiyah ke-13. Di kemudian hari, ia ketahuan telah
masuk dalam Ahmadiyah Lahore, lalu dikeluarkan dari Muhammadiyah. Pada
tahun 1930, ia mendirikan secara resmi Gerakan Islam Ahmadiyah (GIA), dan
duduk sebagai pucuk pimpinan.
Ahmadiyah Lahore sendiri lahir setelah kematian khalifah Al-Masih yang
pertama, Almulawi Nuruddin, pada 13 Maret 1914. Menurut kelompok ini, MGA
tidak membutuhkan khalifah perorangan. Cukup Anjuman -lembaga yang
didirikan oleh MGA mula-mula untuk mengawasi keuangan dan maqbarah
Bahishti di Qadiyan yang diperuntukkan bagi para pejuang Ahmdiyah- sebagai
estafet penerus kepemimpinan dakwah.
Ketika Khalifah kedua, Basyiruddin Mahmud Ahmad terpilih, mereka
yang dipimpin oleh Mulawi Muhammad Aly tidak setuju. Lalu mereka keluar dari
Qadiyian, pindah ke Lahore, dan mendirikan Anjuman tandingan. Sejak saat
itulah kedua kelompok ini terputus, dan masing-masing saling mengklaim paling

Universitas Sumatera Utara

benar. Bahkan ortodoksi Qadiyan lazim menyebut Lahore sebagai kelompok
sempalan yang sesat.
Ada sejumlah revisi versi Lahore terhadap tradisi keimanan Qadiyan.
Selain doktrin khilafah yang menjadi pemicu perpecahan, adalah doktrin kenabian
MGA. Bagi Lahore, kenabian telah berakhir, walau pewahyuan itu sendiri tidak
pernah berhenti. Menurut mereka, jika kenabian masih ada, Sayidina Ali tentulah
sudah menjadi nabi. Karena dalam sebuah hadits, kedudukan Sayidina Ali sama
dengan kedudukan Nabi Harun bagi Nabi Musa. Akan tetapi kenabian telah
berakhir, dan Sayidina Ali tidak pernah menyandang kenabian.
Dari konsep kenabian yang hampir mirip dengan konsep Ahlusunnah ini,
pewahyuan MGA ditarik lagi ke dalam konsep yang semi internal. Mereka yang
tidak percaya terhadap wahyu MGA tidak kafir. Mereka sah menjadi imam bagi
non-Ahmadi. Jenazahnya juga harus disalati. Selama tidak mengkafirkan Ahmadi,
maka mereka adalah sesaudara.
Kehadiran mereka di Jogja walau menimbulkan riak, akan tetapi tidak
sampai kepada gelombang yang besar. Buku-buku terbitan Ahmadiyah Lahore
bahkan banyak dinikmati oleh mendiang Bung Karno, dan HOS Tjokroaminoto,
karena kerasionalannya. Juga sejumlah mahasiswanya bergabung dengan HMI.
Adapun Ahmadiyah Qadiyan, kehadirannya ke Indonesia murni misi
Messiah, sebagai penerus Imam Mahdi MGA. Adalah Maulana Rahmat Ali orang
pertama yang datang ke Indonesia melalui Aceh pada tahun 1925. Ia datang ke
Sumatra atas rekomendasi tiga pelajar Thawalib di Qadiyan. Tiga pelajar ini
awalnya merencanakan melanjutkan studi ke Mesir, akan tetapi guru-gurunya di

Universitas Sumatera Utara

Thawalib, Padang, menyarankannya untuk pergi ke India. Di India mereka mulamula mengenal Ahmadiyah Lahore, yang kemudian mengantarkannya kep