Formasi Ideologi Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari

(1)

FORMASI IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK

KARYA OKKY MADASARI

TESIS

OLEH

PRINSI RIGITTA

097009009/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 1


(2)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul “Formasi Ideologi dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari”; tesis ini memfokuskan analisis terhadap representasi realitas sosial yang tergambar dalam sebuah karya sastra.

Tujuan disusunnya tesis ini adalah untuk melengkapi persyaratan pemerolehan gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik: Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan diselesaikannya tesis ini, peneliti berharap dapat memberikan suatu kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat mengilhami pemahaman terhadap karya sastra terutama Cultural Studies, yakni sebagai cerminan isu-isu sosial yang meliputi ideologi, politik dan kekuasaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat; sehingga pada akhirnya dapat memposisikan karya sastra sebagai sarana luapan ekspresi yang bersifat mendidik sekaligus mengintrospeksi dan memotivasi pembacanya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna, dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca; melainkan merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan pendalaman ilmu kesusasteraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di lain waktu.

Medan, September 2011


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan kepada Allah S.W.T. atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tak lupa dikumandangkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. Perlu diketahui bahwa selama penulisan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin sekali menyampaikan sebentuk ucapan terima kasih setulus hati.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing I. Selama masa bimbingan, beliau selalu memberikan motivasi, arahan, kritik, saran, serta kesediaan waktu ditengah-tengah kesibukannya yang sangat padat, sehingga dirasakan sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memperoleh banyak pelajaran berharga dari beliau, antara lain kedisiplinan, ketekunan, dan kemandirian. Beliau juga dengan tulus meminjamkan beberapa referensi kepada penulis untuk mendukung penyelesaian tesis ini.

Terima kasih dan rasa sayang saya kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing II. Beliau adalah sosok pembimbing sekaligus Ibu bagi penulis, beliau selalu menyediakan waktunya ditengah-tengah kesibukannya yang sangat padat untuk mendidik penulis dengan ilmu pengetahuan, referensi, dan filosofi kehidupan yang sangat relevantif. Beliau senantiasa memberikan wejangan-wejangan berharga kepada penulis, dan juga memotivasi penulis dengan nilai kesabaran, etika, moral, dan konsistensi. Sungguh suatu hal yang tidak pernah disangka penulis sebelumnya, bisa mendapat kesempatan menjadi mahasiswa bimbingannya.

Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral, material, spiritual, maupun ilham selama penyelesaian tesis ini, terutama kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc., (CTM), Sp.A(K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Ibu Dr. Nurlela, M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan segala kemudahan dalam penyelenggaraan kegiatan akademik.

4. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. dan Ibu Dr. Rosmawaty, M.Pd. selaku penguji, yang telah banyak memberikan koreksi bermanfaat.

5. Semua Dosen Program Studi Magister Linguistik dan Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan USU.

6. Kepada seluruh Staf Administrasi Program Studi Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana USU.

7. Kepada kedua orangtua saya. Ayahanda tercinta Ir. Syahril Dulman dan Ibunda (Almh.) Hj. Trisnawati yang telah membuai, membesarkan, mendidik, dan membina etika, moral, mental dan spiritual saya sebagai bekal menghadapi kehidupan yang didasari oleh tanggung jawab dan reputasi baik. Kepada Ibunda Nilawaty, yang turut mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatiannya.

8. Kepada Kakak-kakak tercinta, Ulfa Nadra, S.E, M.Si. dan Sucahyanto, S.T., M.M., Iqbal Reza, S.T. dan Vivi Ekayanti, S.T., Novel Faisal dan Yunita, Farid Aulia, S.Sos., M.Si. dan Rahima Purba, S.E., M.Si., Dwi Bagus Gunawan, S.T. dan Maslinda, S.S., yang selalu menstimulasi, membantu, menguatkan, menghibur, dan mencerahkan saya selama proses penyelesaian tesis ini.

9. Kepada keponakan-keponakan tercinta, R. Alfito Satria Kamil, Rr. Jasmine Tresna Sukmahani, Shiellsy Revioza Daulay, Fanny Nabila Putri Daulay, M.Wira Daulay, Thariq Daulay, Arrafa Istiqlal Jauhari Daulay, Nabila, Zahra, dan Camila. Generasi-generasi platinum ini telah menginspirasi saya untuk segera merampungkan tesis ini.


(5)

10.Sahabat-sahabat saya di AWK angkatan 2009/2010, Kak Ayu, Kak Elva, Kak Isma, Kak Henni, Kak Erni, Yelly, Bang Riko, Anggi Daulay, dan Cito. Juga rekan-rekan mahasiswa/i Magister Linguistik angkatan 2009/2010. Momen-momen manis kebersamaan kita selamanya akan menjadi pengerat tali silaturahmi kita.

11.Kepada tokoh-tokoh yang mengilhami penulis: Okky Madasari, Tenggina Rahmad Siswadi, Antonio Gramsci, Louis Althusser, John Storey, dan Stuart Hall.

Medan, September 2011 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL

PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING PANITIA PENGUJI

PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP

KATA PENGANTAR... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah... 8

1.3 Rumusan Masalah ... 9

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 10


(7)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN

KONSEP ... 12

2.1 Kajian Pustaka... 12

2.2 Landasan Teoretis ... 15

2.2.1 Cultural Studies... 16

2.2.2 Teori Hegemoni ... 18

2.3 Konsep... 21

2.3.1 Formasi... 21

2.3.2 Ideologi ... 22

2.3.3 Politik ... 24

2.3.4 Kekuasaan ... 25

2.3.5 Postrukturalisme... 25

2.3.6 Representasi ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.2 Teknik Analisis Data... 30

3.3 Data dan Sumber Data ... 32

3.3.1 Sumber Data Primer... 32

3.3.2 Sumber Data Sekunder... 33

3.4 Model Penelitian ... 33

BAB IV FORMASI IDEOLOGI TOKOH-TOKOH DAN IDEOLOGI INSTITUSI PUBLIK DALAM NOVEL ENTROK... 36

4.1 Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik ... 36

4.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik ... 56

4.2.1 Tokoh-tokoh Publik dalam Novel Entrok ... 56


(8)

4.3 Kelompok Ideologi ... 59

BAB V POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN

DENGAN IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK ... 66 5.1 Ideologi dalam Novel Entrok ... 66 5.2 Politik dan Kekuasaan... 68

BAB VI PENGARUH POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN DENGAN IDEOLOGI PARA TOKOH

DALAM NOVEL ENTROK ... 75 6.1...Kekuas

aan Pemerintah Orde Baru ... 75 6.2...Kekuas aan Kaum Militer ... 78 6.3...Kekuas aan Partai Politik ... 85 6.4...Doktrin asi Ideologi ... 89

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 92 7.1...Simpula

n... 92 7.2...Saran

... 93


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Kelompok Ideologi Para Tokoh dalam Novel Entrok ... 64 Tabel 4.2 Negosiasi Ideologi ... 65


(10)

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1. Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif ... 31 Bagan 2. Sifat-sifat Formasi ... 58 Bagan 3. Penguasaan Legislatif Melalui Sentralisasi Kekuasaan Pada


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto dan Biografi Okky Madasari ... 98

Lampiran 2. Sinopsis Novel Entrok Karya Okky Madasari ... 99

Lampiran 3. Kulit Sampul Novel Entrok Karya Okky Madasari ... 106


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi serta menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi. Ketiga hal tersebut dibahas melalui pendekatan cultural studies dan berdasarkan teori Hegemoni Gramsci serta konsep Ideologi Althusser, sehingga dapat diperoleh hubungan antara politik, kekuasaan, dan ideologi dalam novel Entrok. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian adalah novel Entrok karya Okky Madasari dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data, dan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Teknik analisis data dilakukan dengan strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh ideologi-ideologi masing-masing tokoh dan tokoh-tokoh institusi publik yang saling bertentangan sehingga menimbulkan pergolakan akibat tidak adanya konsensus di antara keduanya. Untuk mengatasi hal itu, maka diadakanlah negosiasi antara ideologi yang dianut tokoh dan tokoh-tokoh institusi publik, sehingga segala konflik yang muncul dapat diatasi. Hal ini menumbuhkan kesadaran masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran publik.

Kata-kata kunci : Ideologi, cultural studies, konsensus, aparatus, represif, otoriterisme, militeristik.


(13)

ABSTRACT

The purpose of this research is to formate the ideology of the characters and the ideology of public institution, to describe power and politic concerning with the ideologies and to analyze the influence of power and politic concerning with the ideologies. The three subjects are discussed with cultural studies approach and based on Gramsci’s theory of Hegemony as well as Althusser’s concept of Ideology, so that the relation among politic, power, and ideology in the novel Entrok can be found. The method of research used is Qualitative Descriptive method.

The data of research are Entrok, a novel by Okky Madasari, and some books of reference. The technique of collecting data is done by the technique of taking notes on data card, and the method of heuristic and hermeneutic reading. The technique of data analysis is done by the strategy of content analysis, which is the type of analysis used to reveal, understand, and catch the message of literary work.

The result of analysis finds that the contradicting ideologies of each character and the characters of public institution cause upheaval as a result of the absence of consensus between both of them. Therefore a negotiation between the ideology of the characters and the ideology of the characters of public institution is held so that all conflicts that happen can be solved. This thing grows the public awareness and becomes public learning.

Keywords : Ideology, cultural studies, consensus, apparatus, repressive, otoriterism, militaristic.


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi serta menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi. Ketiga hal tersebut dibahas melalui pendekatan cultural studies dan berdasarkan teori Hegemoni Gramsci serta konsep Ideologi Althusser, sehingga dapat diperoleh hubungan antara politik, kekuasaan, dan ideologi dalam novel Entrok. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian adalah novel Entrok karya Okky Madasari dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data, dan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Teknik analisis data dilakukan dengan strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh ideologi-ideologi masing-masing tokoh dan tokoh-tokoh institusi publik yang saling bertentangan sehingga menimbulkan pergolakan akibat tidak adanya konsensus di antara keduanya. Untuk mengatasi hal itu, maka diadakanlah negosiasi antara ideologi yang dianut tokoh dan tokoh-tokoh institusi publik, sehingga segala konflik yang muncul dapat diatasi. Hal ini menumbuhkan kesadaran masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran publik.

Kata-kata kunci : Ideologi, cultural studies, konsensus, aparatus, represif, otoriterisme, militeristik.


(15)

ABSTRACT

The purpose of this research is to formate the ideology of the characters and the ideology of public institution, to describe power and politic concerning with the ideologies and to analyze the influence of power and politic concerning with the ideologies. The three subjects are discussed with cultural studies approach and based on Gramsci’s theory of Hegemony as well as Althusser’s concept of Ideology, so that the relation among politic, power, and ideology in the novel Entrok can be found. The method of research used is Qualitative Descriptive method.

The data of research are Entrok, a novel by Okky Madasari, and some books of reference. The technique of collecting data is done by the technique of taking notes on data card, and the method of heuristic and hermeneutic reading. The technique of data analysis is done by the strategy of content analysis, which is the type of analysis used to reveal, understand, and catch the message of literary work.

The result of analysis finds that the contradicting ideologies of each character and the characters of public institution cause upheaval as a result of the absence of consensus between both of them. Therefore a negotiation between the ideology of the characters and the ideology of the characters of public institution is held so that all conflicts that happen can be solved. This thing grows the public awareness and becomes public learning.

Keywords : Ideology, cultural studies, consensus, apparatus, repressive, otoriterism, militaristic.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di alam semesta ini atau segala sesuatu yang ditemukan pengarang yang dianggap menarik dan layak untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Oleh karena adanya pengalaman hidup yang dialami pengarang atau hal-hal hidup yang menarik yang pernah dijumpai pengarang dalam bersosialisasi dengan individu lainnya, maka karya sastra menjadi satu kesatuan yang utuh jika dipasangkan dengan masyarakat serta kebudayaan yang terlahir di dalamnya.

Karya sastra sebagai cerminan dari perilaku kehidupan manusia, tentunya tidak akan pernah lepas dari rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan di dalam hidup manusia. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan kebudayaan itu sendiri, yakni memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, dan manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005: 14). Sastra dan


(17)

kebudayaan adalah multidisiplin yang secara terus-menerus menelusuri model antarhubungan keduanya, sehingga makna karya sastra secara terus-menerus dapat ditafsirkan.

Karya sastra adalah pengungkapan sebuah sistem kultural yang tersimpan pada suatu bangsa. Hal ini didasarkan atas pentingnya peranan karya sastra itu sendiri dan bahasa yang ada di dalamnya. Pengungkapan sistem kultural di dalam karya sastra meliputi aspek-aspek kebudayaan yang sama sekali tidak bisa dipahami jika terpisah dari gejala yang lain. Karya sastra yang menyajikan permasalahan kebudayaan di dalamnya mempunyai sebuah bagian integral yang menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, dan sekaligus masuk akal. Permasalahan budaya di dalam karya sastra senantiasa memaparkan persoalan antara karya sastra dan manusia sebagai penghasil kebudayaan, dalam hubungan ini manusia yang dimaksudkan adalah tokoh-tokoh dalam karya sastra.

1

Apabila dilihat dari relevansi sastra terhadap eksistensi kebudayaan dan sumbangan yang dapat diberikan sastra terhadap pemahaman aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan kontemporer, maka model hubungan ini mengacu pada cultural studies. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan kebudayaan, yang pada umumnya berbeda, kebudayaan memiliki hakikat objektif empiris sedangkan karya sastra memiliki hakikat subjektif imajinatif.

Menurut Hutcheon (Ratna, 2005: 13) postmodernisme dan cultural studies, meskipun secara umum didefinisikan sebagai kajian yang mempelajari seluruh aktivitas kemanusiaan, tetapi apabila dilihat sejarah kelahirannya, yaitu di Inggris,


(18)

diawali dengan perdebatan mengenai sastra, khususnya perbedaan sastra tinggi dengan sastra kelas pekerja. Milner (Ratna, 2005: 13-14) juga menambahkan, pada dasarnya cultural studies merupakan pergeseran sosiologis, sebagai pergeseran paradigma dari penelitian sastra yang memberikan perhatian pada kualitas estetis, karya sastra yang tidak terkait dengan ruang dan waktu ke penelitian sastra sebagai konstruksi sosial. Pendekatan cultural studies merupakan teori dan kritik dalam kesusastraan Inggris kontemporer yang menekankan peran penting intelektual dan bersifat emansipatoris (Klarer, 1999).

Williams (Siswadi, 2010) mengungkapkan tiga kategori dalam mendefinisikan kebudayaan. Pertama, kebudayaan merupakan proses atau ketetapan manusia yang sempurna pada bagian kebenaran tertentu atau nilai-nilai universal. Proses ini merupakan penemuan dan gambaran di dalam kehidupan dan pekerjaan dari semua nilai. Kedua, kebudayaan diartikan sebagai manusia yang bekerja dengan intelektualitas, daya khayal, ide, dan pengalaman yang bermacam-macam dalam ingatan mereka. Kegiatan kritik berlangsung secara alami, gagasan dan pengalaman digambarkan serta dinilai. Ketiga, kebudayaan merupakan gambaran perjalanan fakta kehidupan yang diungkapkan dengan makna pasti dan nilai, tidak hanya dalam seni dan belajar tetapi juga dalam institusi dan tingkah laku yang luar biasa. Selanjutnya juga dipaparkan mengenai pembedaan kebudayaan mencakup kebudayaan tinggi (high culture) dan kebudayaan populer (popular culture) sebagai ranah cultural studies karena masing-masing kebudayaan tersebut memiliki ciri-ciri yang membedakannya. Kebudayaan tinggi berasal atau diciptakan oleh para petinggi atau


(19)

pejabat (dahulu kerajaan atau keraton), sedangkan kebudayaan populer berasal dari rakyat biasa. Kebudayaan tinggi tentu saja hanya dapat dinikmati oleh para petinggi di keraton saja (sekarang, masyarakat lapisan atas), sedangkan kebudayaan populer dapat dinikmati secara massal oleh masyarakat.

Kebudayaan tinggi senantiasa dipenuhi oleh orang-orang khusus dan pilihan, juga biaya yang diperlukan tidak sedikit, kebudayaan ini cenderung mewah dan bersifat sakral serta penciptaannya tidak bertujuan komersial. Sebaliknya kebudayaan populer senantiasa bersifat sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar, kebudayaan ini dilakukan dan dinikmati oleh rakyat biasa, dan penciptaan kebudayaan ini bertujuan komersial.

Siswadi (2010) memaparkan bahwa kebudayaan populer dihasilkan dari masyarakat modern (kapitalisme dan demokrasi). Kebudayaan ini tidak sekadar dianggap sebagai seni, tetapi juga sebagai barang komoditi yang mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini disebabkan karena sifat universal yang dimiliki oleh kebudayaan populer. Sejalan dengan hal tersebut maka muncul anggapan bahwa konstruksi sastra merupakan bagian dari industri budaya dan telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra, karena penciptaan sastra berbasis pada logika industri. Karya sastra atau produk-produk kebudayaan lainnya, tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi logika industri itu sedikit banyak ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami, dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi,


(20)

telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.

Selanjutnya Siswadi (2010) juga mengemukakan bahwa kebudayaan populer menghasilkan karya sastra yang bergenre sastra populer. Sastra populer lahir dari semangat kebudayaan populer, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Sastra populer merupakan sebuah situs ideologi, sebab semua elemen dalam teks sastra (meliputi elemen material, elemen kesadaran, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan) merupakan representasi ideologi yang melekat pada setiap elemen tersebut. Sastra populer sebagai salah satu wujud dari fiksi populer, telah berhasil mentransmisikan ideologi dominan dari industri-industri budaya kepada massa yang dikorbankan dan termanipulasi. Menurut Storey (Siswadi, 2010), ideologi itu sendiri adalah sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia, yang mempunyai pengikut. Ideologi bersifat kolektif dan berada di wilayah superstruktur atau kesadaran dan menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang, lembaga-lembaga pemerintah, institusi pendidikan, organisasi-organisasi, perusahaan komersial, dan lain-lain. Sastra populer memiliki ciri yang khas yang membedakannya dengan apa yang dianggap sastra tinggi, seperti mengharamkan makna ganda, menghindari kerumitan dengan cara penyelesaian masalah dengan mudah, penokohan stereotip dengan sistem bintang, dan sebagainya.

Salah satu karya sastra populer yang saat ini sedang banyak diperbincangkan dan dinikmati masyarakat adalah novel Entrok karya Okky Madasari. Novel Entrok terbit pada April 2010 di Jakarta. Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan


(21)

karya pertamanya dalam dunia kreativitasnya. Novel ini berlatar waktu dan tempat, pada tahun 1950-1999 di sekitar daerah Madiun. Novel ini diterbitkan untuk memperingati hari Kartini 21 April 2010 lalu, bersama beberapa novel lainnya. Novel ini menceritakan perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini, seperti tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama. Novel ini juga memaparkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang kerap terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Soeharto diceritakan dalam novel ini berkisar antara tahun 1950 sampai 1999. Peristiwa yang mendominasi alur penceritaan dalam novel ini adalah kekuasaan kaum militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat lemah dan mengakibatkan doktrinasi ideologi terhadap masyarakat di dalam novel tersebut.

Di samping itu juga ditemukan kekuasaan partai politik dominan yang memengaruhi kehidupan sosial dalam novel Entrok. Sejalan dengan realitas sosial yang terdapat dalam novel, maka dapat dirujuk pada fakta sosial yang pernah terjadi sekitar tahun 1966 sampai 1998. Masa ini adalah masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Pada masa Soeharto ditemukan banyak ketimpangan sosial, seperti realitas sosial yang kerap dijumpai dalam novel Entrok.

Ketimpangan sosial pada era Orde Baru dapat dilihat melalui beberapa fakta sosial. Pertama, peristiwa Malari yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui


(22)

tindakan kerasnya yang pertama terhadap mahasiswa dan politisi sipil yang sebelumnya telah menjadi penyokong utama rezim Orde Baru. Tindakan penangkapan dan pengadilan yang dilakukan dalam kaitan dengan Malari dilakukan pula dalam kerangka “penyingkiran lawan politik” (Fatah, 2010: 199). Kedua, peran militer yang semakin meningkat, padahal tidak pernah terjadi sebelumnya dalam politik dan administrasi negara, dan seusai pembubaran parlemen untuk pertama kalinya militer duduk dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung sebanyak 35 orang dalam parlemen yang anggotanya 283 orang, jadi 12% untuk pertama kalinya sejak proklamasi kemerdekaan di dalam bidang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan militer. Sebuah proses yang dapat dikatakan state-corporatism sudah mulai berjalan sejak itu, ketika suatu sistem perwakilan dibuat di mana militer mewakili dirinya di dalam suatu parlemen. Di bidang administrasi negara jumlah militer aktif mulai mengambil tempat di dalam badan eksekutif di dalam pemerintahan daerah seiring dengan menguatnya pusat dan perlahan-lahan melenyapnya otonomi daerah (Dhakidae, 2003: 243). Ketiga, peristiwa penembakan massal rakyat Timor Timur di Santa Cruz yang dilakukan oleh militer (Dhakidae, 2003: 279). Keempat, adanya politik etnisitas seperti superioritas kebudayaan Jawa yang dimasukkan ke dalam politik Orde Baru, serta pelarangan terhadap bahasa Cina dan serpihan-serpihan kebudayaan Cina yang dipaksakan ke dalam politiknya melalui birokrasi sipil dan militer hanya dimungkinkan oleh kekerasan (Dhakidae, 2003: 288). Berdasarkan fakta sosial di atas, penulis didorong untuk menelusuri jejak fakta sosial yang digambarkan Okky Madasari dalam novel Entrok. Oleh sebab itu


(23)

ideologi-ideologi yang terdapat di dalam novel ini menjadikannya sebuah situs yang menarik bagi penulis untuk mengkajinya.

Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan perwujudan dari sastra populer. Novel ini juga mengandung produk ideologi tokoh-tokoh dan industri di dalamnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menitikberatkan pada ideologi yang muncul dari para tokoh dan industri, politik, dan kekuasaan dalam novel Entrok. Ketiga aspek ini merupakan isu yang fundamental dalam ranah cultural studies. Cultural studies juga menyentralkan budaya pop dalam kajiannya. Budaya pop secara gamblang dideskripsikan dalam novel Entrok karya Okky Madasari.

1.2 Batasan Masalah

Karya sastra mengandung berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia. Dengan kalimat lain, karya sastra merupakan kompleksitas dalam kehidupan manusia. Di dalamnya tertuang berbagai bentuk kehidupan manusia. Untuk membahas permasalahan yang bersifat kompleks dalam sebuah karya sastra, diperlukan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai.

Berdasarkan judul penelitian ini, masalah dibatasi dengan hanya memformasikan (membuat suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatif) ideologi-ideologi yang lahir dari para tokoh dan institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang terdapat dalam novel, dan mengkaji pengaruh ideologi, politik, dan kekuasaan terhadap para tokoh.


(24)

Pada akhirnya, semua ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terhadap novel Entrok.

1.3 Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana formasi ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam novel Entrok karya Okky Madasari?

2. Bagaimana pendeskripsian politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok?

3. Bagaimana pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi terhadap tokoh-tokoh dalam novel Entrok?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tesis adalah sebagai berikut:

1. Memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam novel Entrok.

2. Mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok.

3. Menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi terhadap para tokoh dalam novel Entrok.


(25)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian mengenai Kesusastraan Indonesia, dan selanjutnya dapat membantu penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Cultural Studies, Budaya Populer, dan novel-novel karya Okky Madasari.

2. Diharapkan mampu berkontribusi dalam pengembangan keilmuan, khususnya mengenai kajian Postrukturalisme.

3. Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas sosial masyarakat sebagai media perlawanan.


(26)

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial, ideologi, politik, dan kekuasaan yang digambarkan dalam sebuah novel dapat bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.

2. Memberikan kontribusi terhadap masyarakat dan pemerintah mengenai sejarah bangsa Indonesia pada masa Orde Baru.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP

Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam memecahkan permasalahan yang diangkat.

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini dikemukakan sebagai berikut:

1. Tesis Universitas Diponegoro oleh Akhlis Purnomo yang

berjudul Pandangan Para Tokoh Utama dalam Novel A Bird Named Enza Karya Dawn Meier Mengenai American Dream: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra (2009). Pada penelitian ini dibahas pandangan mengenai American Dream dalam novel A Bird Named Enza. Pandangan American Dream dibahas menurut tokoh-tokoh utama secara bervariasi tetapi memiliki kesamaan, yaitu memiliki keinginan kuat dalam mewujudkan


(28)

kehidupan yang lebih baik di Lemmon dengan semangat khas American Dream yaitu liberty, equality, dan prosperity.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu keduanya membahas masalah ideologi tokoh-tokoh yang berkaitan dengan wilayah praktik sosial berlangsung. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas ideologi tokoh-tokoh dan institusi publik dalam novel Entrok secara bervariasi dan bertentangan, seperti ideologi Marni sebagai tokoh ibu bertentangan dengan ideologi Rahayu sebagai tokoh anak.

12

2. Tesis Universitas Sumatera Utara oleh Bima Pranachitra yang berjudul Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley (2010). Pada penelitian ini dibahas mengenai penokohan Byronic Hero dan representasinya terhadap konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu keduanya menggunakan konsep Postrukturalisme dalam penelitiannya masing-masing. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas formasi ideologi, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi, serta mengkaji pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok.


(29)

3. Jurnal Studi Islam dan Budaya: “Relasi Formatif Hegemoni Gramsci dalam Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer” oleh Heru Kurniawan (2007). Pada penelitian ini dibahas pertentangan antara ideologi nasionalisme humanisme dan ideologi priyayi yang muncul dari hegemoni pemerintah kolonial Belanda di Indonesia yang terdapat dalam novel Perburuan.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu keduanya menggunakan teori hegemoni Gramsci dalam menganalisis objek penelitian. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas pertentangan antara ideologi yang lahir dari masyarakat Jawa abangan di Magetan dan ideologi yang muncul dari hegemoni kaum militer pada masa Orde Baru di Indonesia, keduanya terdapat dalam novel Entrok.

4. Penelitian essay Tenggina Rahmad Siswadi yang berjudul

Perang Ideologi dalam Novel Entrok: Kajian Sastra Populer dan Hegemoni Gramsci (2010). Pada penelitian ini dibahas formasi dan negosiasi ideologi dalam novel Entrok.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu keduanya menganalisis novel Entrok sebagai objek penelitian dan menggunakan teori hegemoni Gramsci dalam menganalisis novel tersebut. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas formasi ideologi, mendeskripsikan politik


(30)

dan kekuasaan yang terdapat dalam novel Entrok serta mengkaji pengaruh ideologi, politik, dan kekuasaan terhadap tokoh-tokoh dalam novel. Di samping itu juga teori yang digunakan dalam menganalisis objek penelitian adalah teori hegemoni Gramsci dan teori ideologi Althusser.

5. Penelitian essay Apsanti Djokosujatno yang berjudul Entrok: Sebuah Novel Multifaset (2010). Pada penelitian ini dibahas tema-tema yang dimunculkan dari novel Entrok, seperti tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu keduanya menganalisis novel Entrok sebagai objek penelitian. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis mengedepankan salah satu tema, yakni politik, yang berhubungan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang semakin lama cenderung pada militer, menjadikan militer semakin berkuasa dan bertindak sewenang-wenang semenjak PKI dihancurkan. Hal ini melahirkan hegemoni dengan ideologi-ideologi tertentu.

2.2 Landasan Teoretis

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum


(31)

dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud. Sesuai dengan format penelitian yang dibuat dalam desain deskriptif-kualitatif, maka digunakan beberapa teori yang dimaksudkan sebagai pijakan.

2.2.1 Cultural Studies

Menurut Hall (Barker, 2009: 6), pendekatan cultural studies merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu kluster (atau bangunan) gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik, yang menyediakan cara-cara untuk membicarakan topik, aktivitas sosial tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya.

Cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoretis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa. Cultural studies dibangun oleh suatu cara berbicara yang tertata perihal objek-objek (yang dibawanya sebagai permasalahan) dan yang berkumpul di sekitar konsep-konsep kunci, gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian. Selain itu, cultural studies memiliki suatu momen ketika dia menamai dirinya sendiri, meskipun penamaan itu hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektual yang terus berubah (Barker, 2009: 6).


(32)

Menurut Hall (Storey, 2010: 2) cultural studies mengandung wacana yang berlipat ganda; merupakan seperangkat formasi; ia merekam momen-momen di masa lalu dan kondisi krisisnya (conjuncture) sendiri yang berbeda. Cultural studies mencakup pelbagai jenis karya yang berbeda; senantiasa merupakan seperangkat formasi yang tidak stabil; mempunyai banyak lintasan; kebanyakan orang telah mengambil posisi teoretis yang berbeda, kesemuanya teguh pada pendiriannya. Storey (2010: 1) mengatakan bahwa cultural studies bukanlah sekumpulan teori dan metode yang monolitik.

Cultural studies merupakan wacana yang membentang, yang merespons kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan, ketidaksetujuan, dan intervensi. Cultural studies juga menganggap budaya itu bersifat politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan. Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (seni tinggi); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Inilah definisi budaya yang bisa mencakup dua definisi sebelumnya; selain itu, dan ini sangat penting, melibatkan kajian budaya pop bisa bergerak melampaui eksklusivitas sosial dan sempitnya definisi budaya ini (Storey, 2010).


(33)

Bennett (Barker, 2009: 8) memaparkan bahwa cultural studies adalah suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dan lain-lain. Cultural studies berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upayanya melakukan perubahan.

Cultural studies dilihat sebagai situs penting bagi produksi dan reproduksi hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Storey (2010: 3), elaborasi yang sangat bagus mengenai cara melihat budaya ini barangkali datang dari Stuart Hall, yang menggambarkan budaya pop sebagai sebuah arena konsensus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung.

2.2.2 Teori Hegemoni

Sugiono (2006: 31) mengemukakan bahwa teori hegemoni Gramsci adalah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi


(34)

mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual.

Selanjutnya pandangan Gramsci (Sugiono, 2006: 34-35) menjelaskan bahwa mengenai pentingnya kepemimpinan kultural ini membuatnya mempertimbangkan kembali konsep “suprastruktur” Marxian. Tetapi bukannya memandang suprastruktur sebagai sebuah epifenomena semata, yakni refleksi semata dari elemen ekonomi sub / struktur, ia justru mengkarakterisasi suprastruktur sebagai penting dengan sendirinya. Ia memilah pengertian suprastruktur menjadi “dua level struktur utama”: tingkat pertama ia sebut “masyarakat sipil,” lainnya adalah “masyarakat politik” atau “negara”. Dalam konsepsi Gramsci “masyarakat sipil” mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut “swasta” seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. Karena aparatus-aparatus tersebut memainkan peran sangat signifikan dalam membentuk kesadaran massa, maka kemampuan kelompok(-kelompok) berkuasa dalam melestarikan kontrol sosial dan politiknya atas kelompok-kelompok lain sepenuhnya bergantung pada kemampuannya mengontrol aparatus-aparatus tadi. Yang dimaksud Gramsci dengan “masyarakat politik,” sebaliknya, adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah”. Termasuk dalam kategori ini, masyarakat politik mengacu pada, antara lain, institusi seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi dan pemerintah. Dengan kata lain, hal itu menunjuk pada semua institusi yang biasa disebut sebagai negara dan, memang demikian halnya, pada beberapa bagian Prison Notebooks Gramsci mempersamakan masyarakat politik dengan negara.


(35)

Mengikuti konsepsi di atas, Gramsci (Sugiono, 2006: 36) mendefinisikan negara sebagai persamaan dari masyarakat politik plus masyarakat sipil atau memakai rumusannya sendiri: “negara= masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lain hegemoni dilindungi oleh baju besi koersi. Patria dan Andi Arief (2003: 32) mengatakan bahwa hegemoni menurut Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya disebut momen dimana filsafat dan praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dari spirit ini berbentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator.

Harjito (Siswadi, 2010) menjelaskan bahwa terdapat empat hal yang ditonjolkan dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern. Menurut Loomba (Ratna, 2005: 189-190), subaltern merupakan sebutan


(36)

bagi kolektif yang terdiri atas orang-orang tertindas serta kelompok yang didominasi, dieksploitasi, dan kurang memiliki kesadaran kelas. Selanjutnya Harjito (Siswadi, 2010) menjelaskan pandangan Gramsci berikutnya. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam.

2.3 Konsep

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam penelitian, antara lain: (1) Formasi, (2) Ideologi, (3) Politik, (4) Kekuasaan, (5) Postrukturalisme, dan (6) Representasi.

2.3.1 Formasi

Harjito (Siswadi, 2010) menyatakan bahwa formasi merupakan suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatif. Formasi ideologi tidak hanya membahas ideologi apa saja yang terdapat dalam teks, akan tetapi juga membahas bagaimana relasi antar ideologi tersebut. Menurut Storey (Siswadi, 2010), formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material, kemudian dikaji lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen


(37)

solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Keempat elemen tidak harus muncul bersamaan. Elemen yang harus muncul adalah elemen material, yang berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial berlangsung.

2.3.2 Ideologi

Menurut Althusser (2010: 39), ideologi adalah sebuah representasi relasi individu-individu imajiner pada kondisi nyata dari eksistensinya. Terjadinya transposisi imajiner atas kondisi-kondisi eksistensi nyata disebabkan oleh eksistensi dari sejumlah kecil manusia sinis yang mengandalkan representasi dunia yang dipalsukan yang diimajinalisasikannya demi dominasi dan eksploitasi terhadap rakyat, sehingga sanggup memperbudak kecerdasannya dengan mendominasi imajinasi.

Selanjutnya Althusser (2010: 51) juga menjelaskan bahwa ideologi bertindak atau berfungsi dengan suatu cara yang merekrut subjek-subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua), atau mengubah individu-individu-individu-individu menjadi subjek-subjek (ideologi mengubah mereka semua) melalui operasi yang sangat presisi, yang dinamakan interpelasi. Individu diinterpelasi sebagai suatu subjek (bebas) agar ia dapat taat sepenuhnya pada perintah-perintah Subjek, yakni agar dia dapat (sepenuhnya) menerima ketaatannya, agar dia membuat gerak-gerik atau tindak tanduk dari ketaatannya sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Tidak ada


(38)

subjek kecuali dengan, dan demi ketaatannya. Itulah sebabnya mereka menjalaninya sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa sepertinya manusia memiliki esensi sebagai makhluk ideologi yang tak mungkin lepas darinya, seolah-olah ideologi merupakan udara tempat manusia menghirup nafas untuk melangsungkan hidup. Dengan adanya ideologi, dapat menolong manusia untuk memperoleh sumberdaya pemenuh kebutuhan bagi diri sendiri dan kelompoknya, juga mencegah lawan-lawannya untuk memperoleh hal yang sama.

Setiap individu dalam kelompok harus mampu menjaga keberlangsungan usaha pemenuhan kebutuhan, wujud konkretnya adalah produksi. Usaha-usaha itu dilakukan sedemikian rupa dan setiap usaha yang dianggap baik bagi produksi dipertahankan, dibakukan dan diwariskan kepada generasi penerus, senantiasa direproduksi. Setiap individu baru dipersiapkan untuk menjadi penerus proses produksi, menjadi alat bagi reproduksi produksi dan pelengkap bagi relasi produksi. Agar keberlangsungan proses reproduksi produksi dan relasi produksi terjaga dengan baik, maka individu-individu dipersatukan dan direkatkan oleh struktur tertinggi yaitu negara.

Takwin (Althusser, 2010: xxiv) memaparkan bahwa negara dengan aparatusnya menjaga dengan berbagai cara agar kondisi yang menunjang reproduksi dan relasi produksi berlangsung terus. Althusser lalu membedakan dua jenis aparatus negara menjadi: (a) Repressive State Apparatus (RSA) yang bekerja dengan cara represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi, hukum, penjara dan pengadilan);


(39)

dan (b) Ideological State Apparatus (ISA) yang bekerja dengan cara persuasif, ideologis (agama, pendidikan, keluarga, media massa, dan sebagainya).

Selanjutnya Althusser (2010: 20-21) menjelaskan bahwa aparatus Negara Represif (RSA) sepenuhnya berada pada wewenang institusi publik, sebaliknya, aparatus Negara Ideologis (ISA) kebanyakan merupakan wewenang institusi privat. Adapun institusi-institusi privat yang termasuk ke dalam aparatus Negara Ideologis (ISA) adalah sebagai berikut.

1.ISA Agama (sistem Gereja-gereja yang berbeda)

2.ISA Pendidikan (sistem Sekolah privat dan publik yang berbeda) 3.ISA Keluarga (merupakan unit produksi dan/atau unit konsumsi) 4.ISA Hukum

5.ISA Politik (sistem politik, termasuk pelbagai partai yang berbeda) 6.ISA Serikat Buruh

7.ISA Komunikasi (press, radio dan televisi, dan sebagainya) 8.ISA Budaya (kesusastraan, seni, olahraga, dan sebagainya)

2.3.3 Politik

Menurut Machiavelli (Schmandt, 2009: 269), politik mempunyai sistem nilainya sendiri yang berbeda dari sistem etika perseorangan. Kekuasaan sebagai nexus sistem ini, karena tanpa kekuasaan realisasi dari tujuan-tujuan sosial tidaklah mungkin. Oleh karenanya, segala sesuatu yang kondusif untuk mencapai,


(40)

mempertahankan, dan meluaskan kekuasaan politik bisa dibenarkan sekalipun hal itu jelas merupakan kejahatan dilihat dari sudut pandang moralitas dan agama.

2.3.4 Kekuasaan

Kekuasaan dipandang terdapat pada setiap level hubungan sosial. Kekuasaan bukan hanya sekadar perekat yang menyatukan kehidupan sosial, atau kekuatan koersif yang menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain, meskipun dia pada dasarnya memang demikian, karena dia juga merupakan proses yang membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau tatanan sosial. Dalam hal ini, kekuasaan, meskipun benar-benar menghambat, juga melapangkan jalan. Di samping itu, cultural studies menunjukkan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama karena soal kelas, dan kemudian baru karena soal ras, gender, kebangsaan, kelompok umur,dll (Barker, 2009: 10-11).

2.3.5 Postrukturalisme

Postrukturalisme merupakan aliran penyempurnaan terhadap aliran strukturalisme. Pada awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1980-an, dilakukan revisi oleh postrukturalisme terhadap strukturalisme, yakni dengan mempersempit


(41)

pretensi-pretensi ilmiahnya. Postrukturalisme memiliki ciri khas yaitu ketidakmantapan teks. Hal ini dapat dijelaskan bahwa makna sebuah karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna sebuah teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan partisipasi aktif. Karya sastra tidak hanya milik pengarang, tetapi juga milik pembaca. Karya sastra juga sebagai anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual. Oleh sebab itu, makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks juga tidak tertutup, tetapi terbuka karena secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.

Adapun beberapa kelemahan strukturalisme yang dikemukakan Teeuw (Ratna, 2004: 160), antara lain: (a) belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap; (b) karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial; (c) kesangsian terhadap struktur objektif karya; (d) karya dilepaskan dari relevansi pembacanya; dan (e) karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.

2.3.6 Representasi

Representasi adalah gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah batas representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang


(42)

diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Hall (Yolagani, 2007) berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia.

“so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya (Yolagani, 2007).


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Format desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, dengan analisis isi (content analysis). Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak ditekankan pada bagaimana teks-teks yang ada dalam komunikasi itu terbaca dalam interaksi sosial; dan bagaimana teks-teks itu terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Oleh karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan mampu untuk merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang terbaca oleh orang pada umumnya (Bungin, 2008: 158). Selanjutnya digunakan juga metode membaca heuristik dan hermeneutik. Pradopo (Jabrohim, 2003:80) menjelaskan,

Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan, cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian cerita secara berurutan.

Selanjutnya beliau juga menjelaskan, pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan


(44)

konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik juga merupakan pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya. Menurut Teeuw (1984: 123) hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Dalam praktik interpretasi sastra itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan lingkaran dalam bentuk spiral. Selanjutnya interpretasi (Palmer, 2005: 24) merupakan kerja pokok intelektualitas dalam memformulasikan keputusan yang benar tentang sesuatu.

Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam sastra antara lain:

“(1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama.”

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mencatat pada kartu data. Kartu data dibuat sesuai dengan kebutuhan permasalahan penelitian. Adapun tahapan pengumpulan data: (1) membaca novel Entrok secara cermat dan berulang-ulang; (2) menuliskan temuan data dalam kartu data, diklasifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian; (3) pada saat bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara mengabaikan data-data yang kurang relevan.

Menurut Bungin (2008), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode


(45)

pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data. Observasi sebagai metode penelitian kualitatif merupakan suatu pengamatan dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya. Oleh sebab itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuannya melalui hasil kerja panca indra mata, serta dibantu oleh panca indra lainnya.

3.2 Teknik Analisis Data

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada halaman sebelumnya, bahwasanya relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data. Strategi analisis data penelitian ini menggunakan strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Menurut Endraswara (2008: 160):

“Pada dasarnya, analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis konten cukup banyak, antara lain meliputi: (a) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (c) nilai filosofis, (d) nilai religius, (e) nilai kesejarahan, dan sebagainya. Dengan kata lain, peneliti baru memanfaatkan analisis konten apabila hendak mengungkap kandungan nilai tertentu dalam karya sastra.”


(46)

Dalam penelitian kualitatif, analisis konten ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, dan juga bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi. Pemahaman dasar terhadap kultur di mana komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap berbagai macam bentuk komunikasi di masyarakat (Bungin, 2008: 158).

Pada dasarnya, metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sekaligus juga adalah metode analisis data atau, dengan kata lain, prosedur metodis sekaligus juga adalah strategis analisis data itu sendiri, sehingga proses pengumpulan data juga adalah proses analisis data. Bahkan, keduanya erat berkaitan dengan teori.

Keseluruhan data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan strategi analisis data deskriptif-kualitatif (Bagan 1). Setelah seluruh data terkumpul, dilakukan analisis secara induktif dengan menggunakan metode triangulasi, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori. Keterangan tersebut digambarkan sebagai berikut:

Penokohan Alur Tema Latar Ideologi Politik Kekuasaan DATA DATA DATA DATA Induktif Analisis T E O R I

Bagan 1 Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif (Dimodifikasi dari sumber : Bungin, 2008)


(47)

Keterangan :

: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan. : tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah. : tanda panah putus-putus satu arah menunjukkan keterbukaan. 3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pustaka deskriptif yang berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang digambarkan dalam teks. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah data deskriptif menggunakan pendekatan cultural studies, yang dipelopori oleh Stuart Hall. Cultural studies cenderung merespons kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan, ketidaksetujuan, dan intervensi.

3.3.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah: Judul : Entrok

Pengarang : Okky Madasari

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tebal Buku : 288 halaman

Ukuran : 20 cm

Cetakan : Pertama


(48)

Warna sampul : warna cokelat muda, hijau, kuning, dan merah muda Gambar sampul: Gambar bra

Desain sampul : Restu Ratnaningtyas

3.3.2 Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan peneliti dalam menganalisis data primer antara lain berupa analisis sumber dari internet dan buku-buku yang dapat dijadikan sebagai acuan.

3.4 Model Penelitian

Ekstrinsik Pembaca

Intrinsik

Ideologi Politik Kekuasaan Penokohan

Alur Cerita Tema Novel

Latar

Formasi Ideologi dalam Novel Entrok Karya

Okky Madasari

Hegemoni

Kekuasaan Partai Doktrinasi Kekuasaan Kaum

Kekuasaan Pemerintah Orde


(49)

Pendekatan Cultural Studies

Keterangan : Pedoman Hidup Multifaset Bagi Manusia : tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan. : tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah. : tanda panah putus-putus satu arah menunjukkan keterbukaan.

Penjelasan Model :

Novel Entrok karya Okky Madasari dibahas menurut konsep pendekatan yang dipelopori oleh Wellek dan Warren (1977), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, alur cerita, tema, dan latar novel, sedangkan pada pendekatan ekstrinsik dikaji melalui ideologi, politik, dan kekuasaan.

Formasi ideologi yang digambarkan Okky Madasari dalam novel Entrok menitikberatkan pada ideologi aparatus negara yaitu militer yang kerap melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat sebagai tokoh-tokoh publik yang berada di wilayah praktik sosial berlangsung. Permasalahan tersebut kemudian dianalisis melalui konsep hegemoni Gramsci dan konsep ideologi Althusser.


(50)

Setelah dilakukan analisis, dapat diketahui bahwa ideologi muncul dari kekuasaan pemerintah pada masa Orde Baru yang menekankan pada kekuasaan kaum militer sebagai aparatus negara. Kemudian ideologi juga lahir dari kekuasaan partai politik dominan dan kerap memunculkan terjadinya doktrinasi ideologi oleh kelompok dominan terhadap kelompok subaltern atau yang lazim dikenal sebagai kelompok subordinat atau yang terpinggirkan.

Selanjutnya, hasil analisis di atas didasarkan pada pendekatan cultural studies untuk menyingkap isu-isu sosial yang fundamental. Dengan mengetahui adanya keberagaman isu-isu sosial dalam objek yang diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa melalui karya sastranya, Okky Madasari berusaha untuk menciptakan suatu tamsil bagi publik dalam menjalankan setiap babak kehidupannya secara multifaset.


(51)

BAB IV

FORMASI IDEOLOGI TOKOH-TOKOH DAN IDEOLOGI INSTITUSI PUBLIK DALAM NOVEL ENTROK

4.1 Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik

Pada era Orde Baru kerap ditemukan orang-orang animis, seperti halnya tokoh Simbok dan Marni dalam novel Entrok yang menganut Animisme. Hal inilah yang mengakibatkan mereka takut kepada pemerintah, terutama kepada tentara-tentara. Sebab kalangan tentara melabelisasi orang-orang di atas sebagai orang-orang PKI atau organisasi terlarang yang menjadi musuh negara. Sebagaimana yang dikatakan Dhakidae (2003: 204), bahwasanya perwira dalam kategori alat negara dengan tujuan utama menjadi pelayan negara yang sama sekali tidak politis, mereka PKI, anti-kiri, dan anti-Islam, kanan, bukan karena keyakinan mendalam dan pemahaman mendalam tentang keduanya, akan tetapi hanya bermodalkan keyakinan bahwa kedua-duanya akan menghancurkan tata tertib priyayi abangan Jawa. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.


(52)

"Tumpeng dan panggang itu kubuat untuk sesajen dewamu. Agar kau kembali ingat masih ada Dia di sana yang dulu selalu kau puja. Ayo minta ke Dia! Minta agar Dia kembali membuatmu punya jiwa!” (Entrok: 12).

Percakapan di atas merupakan ucapan Rahayu yang ditujukan kepada Marni agar Marni menyadari bahwa hal di atas merupakan kebiasaan yang kerap dilakukannya ketika jiwanya belum terganggu.

36

“Aku sebenarnya tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sekadar mengikuti perintah Simbok, kuucapkan permintaanku dalam hati, “Gusti Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, berkatilah usahaku. Aku mau punya uang, memiliki seperti yang dimiliki Nyai Wedana. Biar nggak ngrepoti orang lain.” Permintaan itu kuulangi terus, sampai Simbok menyentuh bahuku dan mengajakku masuk rumah.” (Entrok: 43).

Monolog di atas merupakan permintaan Marni dalam hati yaitu nyuwun kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Semua peristiwa dapat terjadi jikalau Dia yang menginginkan.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA agama, meskipun dalam cerita Marni dan Simbok belum mempunyai agama atau animisme, tetapi hal tersebut menunjukkan aktivitas transendental. Kutipan-kutipan tersebut merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, kemudian merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi dalam mempercayai sesuatu, elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa, serta elemen kebebasan hak warga negara.


(53)

Tentara-tentara senantiasa melakukan tradisi ronda keliling kampung dengan dalih menjaga keamanan. Di dalam menjalankan tradisi ronda tersebut, para tentara kerap melakukan pengutipan uang keamanan. Adapun orang-orang yang menjadi target utama bagi para tentara tersebut adalah orang-orang yang mempunyai banyak uang atau orang usahawan. Di samping itu juga orang animis dan orang-orang yang tidak disukai atau kontradiktif terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui data sebagai berikut.

“Dulu, aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam datang ke rumah kami. Kata Ibu, untuk keamanan. Lalu kenapa Ibu selalu memberikan uang pada mereka? tanyaku lagi. Namanya keamanan ya bayar, jawab Ibu. Orang-orang berseragam loreng sering datang ke rumah. Mereka selalu datang pada hari Senin dua minggu sekali. Kadang-kadang ada juga yang datang di luar hari itu. Katanya kebetulan lewat atau cuma mampir. Tapi sudah tahulah Ibu apa yang harus dilakukannya setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau bukan menyerahkan setumpuk uang.” (Entrok: 53).

Percakapan di atas menunjukkan keberadaan institusi publik dalam hal ini tentara, yang dinyatakan melalui ‘orang-orang berseragam loreng’ yang rutin datang mengambil uang keamanan dari Ibu, yaitu Marni.

“Ada banyak petugas berseragam loreng-loreng. Mereka memegang pistol, mengatur orang-orang. Meneriaki kalau ada yang nyolong antrean atau pulang sebelum masuk ke kamar coblosan.” (Entrok: 61).


(54)

Gambaran situasi di atas menunjukkan institusi publik atau tentara, hal ini dinyatakan melalui ‘petugas berseragam loreng dengan pistol’ mengatur orang-orang dalam pemilu.

Kedua kutipan di atas menunjukkan RSA yang mengatur lewat kekerasan dan represi terutama kepada orang-orang yang lemah dan bodoh. Kutipan-kutipan tersebut merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, dan juga merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi untuk melakukan represi dan kekerasan.

Masa-masa sulit dalam perekonomian yang terjadi sebelum rezim Orde Baru berkuasa, menjadikan rakyat Indonesia sulit untuk mengingat berbagai peristiwa penting dalam kehidupan mereka, seperti halnya momen kelahiran mereka atau sejarah berdirinya sebuah monumen nasional. Pada masa itu mereka hanya fokus pada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari bagi keluarganya masing-masing. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui data sebagai berikut.

“Tak juga kutahu kapan tepatnya aku dilahirkan. Simbok hanya berkata aku lahir waktu zaman perang. Saat semua orang menggunakan baju goni dan ramai-ramai berburu tikus sawah untuk digoreng.” (Entrok: 15).

Monolog di atas merupakan pernyataan Marni yang berkaitan dengan ingatannya atas waktu atau momen kelahirannya, yakni ketika orang-orang menjalani hidup dengan dilanda kesulitan pangan.


(55)

“Orang tak pernah tahun kapan persisnya Pasar Ngranget mulai ada. Mbah Noto, kuli paling tua yang bekerja paling awal dibanding kuli lain, hanya ingat dia sudah nguli pada zaman Jepang. Waktu zaman susah itu, barang dagangan sudah dicari. Singkong saja susah dicari di pasar. Semua hasil bumi petani diminta sama Jepang, buat bekal perang. Mbah Noto masih ingat rasa daging tikus hasil buruannya di sawah.” (Entrok: 36).

Gambaran situasi di atas menjelaskan tentang riwayat berdirinya Pasar Ngranget yang dirunut melalui kisah hidup Mbah Noto yang dikaitkannya dengan zaman Jepang, zaman susah, dimana orang berburu tikus di sawah untuk dimakan.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA keluarga. Hal ini dapat dilihat melalui Simbok, Mbah Noto, dan orang-orang lain pada zaman tersebut, zaman perang, baju goni dan berburu tikus di sawah untuk dimakan. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu berburu tikus di sawah, di samping itu juga merupakan elemen kesadaran tradisi hidup susah, elemen solidaritas identitas rakyat biasa serta elemen kebebasan hak warga negara.

Tokoh Marni yang menganut Animisme senantiasa menjadi bulan-bulanan kaum militer. Marni berupaya untuk selalu menuruti segala permintaan komandan tentara terhadapnya, namun satu hal yang tetap dipertahankannya dari paksaan dan hasutan kaum militer adalah kepercayaannya terhadap Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Marni kerap melakukan aktivitas transendental yang kontradiktif dengan kepercayaan yang dianut oleh putrinya, Rahayu dan Pak Waji, guru agama Rahayu di sekolah. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.


(56)

“Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya menjadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.” (Entrok: 55-56).

Percakapan di atas menunjukkan ucapan Rahayu tentang kebiasaan Ibu atau Marni, yang kerap melakukan tirakat atau nyuwun kepada Pemilik dunia dan seisinya, yang diyakini Marni sebagai Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

“Kata Pak Waji, guru agamaku di SD, Ibu berdosa. Di depan kelas dia berkata, ibuku tak beragama. Ibuku sirik. Masih menyembah leluhur, memberi makan setan setiap hari. Pak Waji juga bilang ibuku punya tuyul.” (Entrok: 57).

Percakapan di atas menunjukkan ucapan Rahayu mengenai omongan-omongan Pak Waji, guru agamanya, yang kerap mengumpat tingkah laku Ibunya atau Marni.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini diperlihatkan dengan adanya pendapat yang berlawanan, yaitu antara Islam dan Animisme. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu Marni dengan kepercayaannya dan Pak Waji juga dengan agama Islamnya, yang nyata saling berseberangan. Di samping itu juga merupakan elemen kesadaran yang ditunjukkan melalui tradisi masing-masing, serta elemen solidaritas yang berwujud rakyat biasa.

Sesuai dengan harapan pemerintah Orde Baru, bahwasanya dalam setiap Pemilu dimenangkan oleh partai pemerintah, dengan tujuan agar pemerintahan Orde


(57)

Baru tetap berkuasa. Oleh sebab itu sebelum pelaksanaan pemilu, dilakukan berbagai upaya untuk memenangkan partai pemerintah. Untuk lebih jelas dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Partai Beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak Ratmadi, kepala sekolahku. Orang-orang bilang dia abangan. Di rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu, gambar itu dipasang di dinding luar rumah. Lalu tentara datang dan meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya.” (Entrok: 66).

Gambaran situasi di atas memperlihatkan kemenangan sebuah partai, yaitu partai kuning, sedang partai hijau dan partai merah masing-masing memperoleh satu suara dari sekian banyak penduduk tempat praktik sosial berlangsung.

“Aku juga diajari untuk mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu katanya juga menyimbolkan perdamaian. Kebalikannya adalah tiga jari, jempol, telunjuk, dan kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-orang yang suka bikin onar, orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah diwanti-wanti untuk tidak pernah mengacungkan tiga jari di mana pun.” (Entrok: 86).

Monolog di atas merupakan pernyataan Rahayu yang menjelaskan bahwa terjadi persuasi terhadap dirinya agar mencoblos partai nomor dua atau partai kuning pada pemilu, dan mengabaikan partai politik lainnya.

Kedua kutipan di atas merupakan ISA politik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berbeda, Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan


(58)

elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yang ditunjukkan dengan kebiasaan mengacungkan dua jari di mana pun berada.

Tentara-tentara sebagai institusi publik secara rutin melakukan ronda di Desa Singget, tempat praktik sosial berlangsung. Dengan berlandaskan dalih untuk menjaga keamanan, para tentara bersama Pak Lurah yang juga merupakan institusi publik kerap melakukan ancaman terhadap penduduk desa tersebut. Untuk lebih jelas dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Mohon maaf, Ndan. Istri saya ini memang tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Maaf, Ndan. Beribu maaf, Ndan. Monggo datang lagi saja minggu depan, Ndan. Nanti kami siapkan jatah buat keamanannya.”

“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata Sumadi dengan keras. Jarinya menunjuk-nunjuk muka Bapak. Bapak pucat pasi, tak mampu lagi bicara.” (Entrok: 71).

Percakapan di atas merupakan dialog antara Teja, suami Marni, dengan Sumadi, komandan dari institusi publik (militer).

“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to? Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).


(59)

Percakapan di atas merupakan ucapan Pak Lurah sebagai petinggi dan sebagai institusi publik yang bertujuan mengancam dan mendiskreditkan Marni yang berprofesi sebagai rentenir.

“Hari-hari terasa mudah dan begitu teratur bagi Ibu. Sejak dia mengikuti kemauan Komandan dan Pak Lurah, tak ada lagi orang-orang bersarung yang datang saat subuh dan menyebutnya rentenir langsung di depan hidungnya. Orang-orang hanya berani berbicara di balik punggung, dan bermanis-manis di depan muka.” (Entrok: 87).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa Marni atau tokoh Ibu semakin lancar dalam menjalankan usahanya sejak dia mengikuti segala kehendak komandan dan Pak Lurah sebagai petinggi dan sebagai institusi publik di tempat praktik sosial berlangsung.

Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA hukum. Dapat dikatakan bahwa apabila Marni tidak mau menuruti kehendak para petinggi atau institusi publik setempat, maka Marni bisa saja mendapat masalah, meskipun pada kenyataannya tidak bersalah. Hal seperti ini bisa membuatnya berhadapan dengan penegak hukum. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian sebagai petinggi atau sebagai institusi publik yang sering mengancam warganya, juga Marni sebagai warga yang selalu mengikuti kemauan petinggi, agar dia tidak mendapat masalah. Di samping itu kutipan-kutipan di atas juga merupakan elemen kesadaran yaitu sebagai warga yang kerap menjalankan tradisi untuk mengikuti kemauan petinggi atau institusi publik.


(60)

Berbagai aktivitas transendental warga Desa Singget merupakan reaksi terhadap pemerintah Orde Baru yang senantiasa menindas mereka, para warga tersebut meminta keselamatan dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dirinya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga dari perlakuan sewenang-wenang aparat pemerintah Orde Baru, dalam hal ini tentara-tentara dan juga institusi publik lainnya. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut ini.

“Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orang tuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka biasa pergi ke sana naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu ada makam, yang bisa memberi berkat bagi orang yang menziarahinya.

Ibu mendengarkan itu secara antusias. Ia sangat percaya upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selamatan setiap hari kelahiran.” (Entrok: 92).

Kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini dapat dilihat melalui kepercayaan yang dianut Koh Cayadi dan Marni yang cenderung digolongkan ke dalam Animisme, akan tetapi meskipun demikian, hal ini tetaplah merupakan aktivitas transendental yang rutin dilakukan oleh mereka. Di samping itu kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian mereka, elemen kesadaran berupa tradisi dalam


(61)

kepercayaan dan tradisi untuk kaya, elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa, dan elemen kebebasan berupa adat dan harta.

Pemerintah Orde Baru kerap kali menghadirkan tontonan budaya untuk meminimalisasi kejenuhan rakyat terhadap hal-hal monoton yang muncul akibat tindakan-tindakan represif aparatur negara. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadi pakem, halaman balai desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, Gong akan ditabuh dan orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai pemerintah.” (Entrok: 86).

Gambaran situasi di atas menunjukkan berlangsungnya sebuah tradisi pementasan gambyong yang kerap dilakukan setelah pemilu diadakan dan disusul dengan kemenangan partai pemerintah.

“Jam tujuh pagi di Glodok. Orang-orang sudah berdesak-desakan di halaman Pabrik Gula Purwadadi. Aku dan Teja ikut berdesak-desakan, sambil mencari-cari jalan, siapa tahu bisa mendapat tempat paling depan. Kami semua ingin bisa melihat iring-iringan Temanten Tebu. Iring-iringan muncul dari samping bangunan paling besar di pabrik gula itu. Paling depan terlihat seorang laki-laki berpakaian seperti pemain ketoprak dengan baju warna hijau mencolok dan hiasan kepala warna emas. Dia menjadi cucuk lampah, pemandu langkah orang-orang yang ikut dalam iring-iringan. Cucuk lampah menari-nari dalam setiap langkahnya, mengikuti irama gamelan dari bagian belakang iring-iringan. Di belakang cucuk lampah ada empat laki-laki mengusung tandu. Mereka berpakaian Jawa, beskap dengan kepala ditutup blangkon. Tandu itu dihiasi dengan janur dan melati, persis seperti tandu pengantin. Tapi yang ada di dalam tandu bukan manusia,


(62)

melainkan dua tebu yang juga dihias dengan kantil dan melati. Itulah Temanten Tebu.” (Entrok: 104).

Gambaran situasi di atas menunjukkan prosesi ritual temanten tebu, yaitu suatu pesta besar untuk menyambut masa panen tebu dan giling tebu untuk menjadi gula.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA budaya, yaitu gambyongan dan temanten tebu. Di samping itu juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis.

“Putaran waktu kuhitung dengan sekat-sekat yang berasal dari kegiatan sekolah. Setengah tahun berlalu kuhitung dengan setiap rapor yang kuterima setiap kuartal. Rapor kuartal ketiga kelas satu SD menandakan akan segera berakhirnya tahun 1970.” (Entrok: 60).

Monolog di atas menunjukkan ucapan Rahayu yang mengungkapkan tentang gambaran pemikiran Rahayu dalam perhitungan waktu.

Pembuatan Waduk Kedung Merah berdampak pada penggusuran lahan-lahan di Desa Singget. Di atas lahan-lahan tersebut terdapat ladang, pohon, rumah-rumah, sekolah dan lain-lain. Waduk ini dibangun dengan tujuan untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Sekolah ini belum bisa menggantikan sekolah mereka yang dulu. Sekolah ini hanya penyelamat darurat untuk anak-anak yang haknya telah terenggut untuk mendapatkan ilmu. Sekolah ini juga akan


(63)

menjadi jalan keluar sementara atas hari-hari tanpa harapan yang dilalui anak-anak ini. Di sekolah baru, mereka akan kembali memiliki cita-cita, kembali memelihara mimpi. Mereka tidak akan lagi hanya keluyuran seharian hanya untuk memperebutkan neker atau engklek. Sekolah ini akan meyakinkan mereka lagi, hidup bukan hanya hari ini, tapi juga masih ada masa depan.” (Entrok: 221-222).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa sekolah baru telah didirikan untuk menggantikan sekolah lama (pesantren) yang telah roboh karena digusur alat-alat berat yang digerakkan oleh pemerintah daerah perihal tempat tersebut akan dijadikan waduk.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA pendidikan, karena memperlihatkan adanya sistem sekolah privat dan sekolah publik yang berbeda. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, elemen kesadaran yaitu tradisi untuk bersekolah, oleh karenanya sekolah itu harus tetap didirikan, untuk menjadikan manusia-manusia yang cerdas serta generasi yang lebih baik.

Profesi penebang tebu adalah pekerjaan yang banyak dilakukan oleh kaum pria di Desa Singget. Mereka kerap menerima upah dari Marni sebagai pemilik kebun tebu. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Pekerja-pekerja itu duduk mengelilingiku sambil menuang teh dari cerek ke gelas. Aku berdiri di tengah mereka yang semuanya laki-laki. Dan aku sekarang akan mengupahi mereka. Simbok, lihatlah anakmu ini sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki.” (Entrok: 102).


(64)

Monolog di atas merupakan ucapan Marni yang mengungkapkan keberhasilannya sebagai perempuan pekerja yang meniti karier dari seorang pengupas singkong. Kutipan tersebut juga mengungkapkan kesedihan seorang Marni karena kesuksesan yang tengah diraihnya tidak sempat disaksikan oleh Simbok.

“Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun ingin aku mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan, lebih-lebih hanya diupahi dengan telo. Tapi tak ada perempuan yang ikut menebang tebu. Tebu hanya menjadi jatah buruh-buruh laki-laki. Bagian buruh perempuan hanya nderep atau mbethot kacang.” (Entrok: 103).

Monolog di atas mengungkapkan pemikiran Marni tentang ambisinya untuk memberi upah setara antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Hal ini disebabkan adanya pengalaman pahit ketika Marni masih bekerja sebagai pengupas singkong bersama Simbok, yakni bekerja hanya dengan imbalan ubi.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA serikat buruh. Hal ini ditunjukkan melalui pemaparan aktivitas para buruh tebu di Desa Singget. Selanjutnya merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis yang terjelma dalam kehidupan keseharian dan elemen kesadaran yaitu tradisi menjadi buruh dan tradisi menjadi juragan.

Kekejaman pemerintah Orde Baru melalui kekuasaan kaum militer senantiasa menindas masyarakat sipil, dan hal ini berdampak pada terjadinya


(1)

akan ada perlindungan dan kemurahan rejeki yang terus mengalir apabila semua ritual di atas dijalankan.

Segala kebiasaan Ibunya tentu saja ditentang oleh Rahayu yang sangat menjunjung tinggi ajaran-ajaran agama yang hakiki yang telah diperolehnya dari guru agama di sekolah. Perbedaan paham inilah yang mengakibatkan Rahayu sering berselisih dengan Ibunya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang hingga Rahayu tumbuh menjadi seorang remaja yang beranjak dewasa. Ketika Rahayu telah lulus SMA, maka Sumarni pun menganjurkan kepada putrinya itu agar melanjutkan ke bangku kuliah. Dan Rahayu pun memilih berkuliah di Yogyakarta. Walaupun dengan berat hati Sumarni tetap memperbolehkan Rahayu hidup mandiri demi cita-citanya “jadi pegawai”.

Tak lama setelah kepergian Rahayu, konflik demi konflik pun terjadi pada kehidupan Sumarni. Meskipun usahanya berkembang pesat, akan tetapi tetap saja kebahagiaan yang sejati sulit untuk diperolehnya, belum lagi Teja yang sering pulang pagi. Sikap suaminya ini telah disadari Sumarni sebagai gejala-gejala perselingkuhan antara Teja dan gendakannya.

Tahun berganti tahun Sumarni lalui dengan peluh bercampur darah mengumpulkan rejeki seorang diri, karena Teja yang semenjak menikah dengan Sumarni adalah Teja yang hidup dari penghasilan sang istri semata. Sedangkan Rahayu tak juga datang ke kampung halamannya. Sumarni yang menyimpan kerinduan yang tulus selalu berdoa agar putri semata wayangnya itu senantiasa dalam perlindungan Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.


(2)

Dibalik harapan-harapan agung seorang ibu terhadap anaknya, ternyata sang anak satu-satunya ini telah menemukan kekasihnya, yaitu seorang dosen yang mengajarnya di universitas tempat Rahayu menimba ilmu. Dosen yang telah beristri itu adalah Amri Hasan. Rahayu dan Amri beserta beberapa temannya bergabung membentuk kelompok demonstran yang melakukan unjuk rasa di markas besar tentara, akan tetapi aksi mereka ditentang oleh pihak rektorat universitas, maka mereka pun resmi dikeluarkan dan Amri dipecat. Kemudian Rahayu pun kembali ke kampung halamannya bersama calon suaminya itu.

Doa restu pun diperoleh mereka dari kedua orang tua Rahayu meskipun ada rasa kecewa yang amat dalam pada diri Sumarni. Kemudian mereka menikah dengan hanya disaksikan orang-orang terdekat saja. Beberapa hari setelah pernikahan berlangsung mereka pun berangkat ke Yogyakarta. Setibanya di sana Rahayu pun bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik Kyai Hasbi, guru spiritual Amri. Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren pergi ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah. Mereka akan memperjuangkan nasib para warga yang tinggal di kampung tersebut.

Akan tetapi perjuangan mereka berakhir tragis, yang menyebabkan Rahayu masuk penjara dan Amri meninggal dunia. Sedangkan Ibu Rahayu belum sekalipun mendapatkan kabar dari putrinya itu. Kesedihan dialami Sumarni untuk kesekian kalinya. Teja meninggal dunia.


(3)

Setelah tiga tahun terlewati, Rahayu pun telah keluar dari penjara. Ia pun kembali kepada ibunya di tengah-tengah duka yang dialami keluarganya. Rahayu kini tidak lagi seperti Rahayu yang dulu. Kini Ia lebih pendiam dan sangat menurut kepada ibunya. Ia bahkan tidak lagi menentang Sumarni ketika sesajen-sesajen meramaikan rumahnya, juga ketika ibunya berdoa di depan rumah pada malam hari seraya memohon perlindungan kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

Sumarni menerima dengan legowo keadaan putrinya sebagai mantan napi. Akan tetapi Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi narapidana, akan mendapat perlakuan berbeda di lingkungan sosial dan mendapat tanda di KTP, karena pada masa itu hal ini dianggap terlibat dalam PKI. Sehingga orang yang telah masuk dalam kategori ini akan sulit diterima dalam masyarakat. Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Sumarni. Kondisi fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan keberadaan putri semata wayangnya yang meresahkan masyarakat Singget.


(4)

Lampiran 3

Kulit Sampul Novel Entrok Karya Okky Madasari


(5)

Lampiran 4

Kulit Sampul Buku-Buku Acuan


(6)