Diskriminasi Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

(1)

DISKRIMINASI DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA

OKKY MADASARI

SKRIPSI

OLEH: SRI PURWANTI

100701043

DEPARTEMENSASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

DISKRIMINASI DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI SASTRA

Oleh : Sri Purwanti

100701043

Skripsi inidiajukan untuk melengkapi persyaratan menulis Skripsidalam bidang ilmu sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum NIP 19620925 198903 1 017 NIP 195004111981022001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan skripsi saya ini bukanlah karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi oleh orang lain dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.

Medan, Oktober 2014 penulis,

Sri Purwanti 100701043


(4)

DISKRIMINASI DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI SASTRA

ABSTRAK

Oleh: Sri Purwanti

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan jenis-jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasung Jiwakarya Okky Madasari yang diterbitkan tahun 2013. Pengumpulan data menggunakan teknik kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra dan teori diskriminasi oleh Fulthoni dan Mikarso. Hasil dari penelitian ini memaparkan beberapa hal yaitu mengenai jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Jenis diskrimnasi berupa diskrimnasi berdasarkan status sosial dan jenis kelamin. Bentuk-bentuk diskriminasi berupa: diskriminasi verbal, pengeluaran, dan fisik.


(5)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah Swt, atas berkah nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw, atas suri teladannya.

Megucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu mewujudkan impian saya menyelesaikan setudi dengan baik, yaitu:

1. Orangtua tercinta Ayahanda Daryono dan Ibunda Warti. Kakanda Darsi, Darmi, Wagini. Abangnda Anwar, Dedi irawan, Adinda Diki Chandra, Lisa, Mia, serta keluarga besar yang dengan luar biasa telah mencurahkan segala semangat, dorongan moril dan materi demi mewujudkan cita-cita saya.

2. Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memimpin dan membina Fakultas Ilmu Budaya. 3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., Selaku ketua Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budayaa Universitas Sumatera Utara dan juga menjadi dosen pembimbing I bagi penulis yang telah memberikan banyak dukungan dan masukan kepada penulis serta selalu sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Haris Sutan Lubis, M. SP. Selaku sekertaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

5. Dra. Yulizar Yunas, M. Hum., Selaku dosen pembimbing II penulis yang senantiasa memberi saran dan ilmu kepada penulis.

6. Drs. Abizar dan Drs. T. Aiyub Sulaiman selaku dosen pembimbing akademik.

7. Staf Pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia dan umumnya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

8. Sahabat-sahabat saya KBSI, Dira, Evi, Agus, Ade, Yasir, Riki, Indah, Indri, Elfi, Nesa, Desy, Ahyar, Iam, Bovi, Jaka, Nila, Pebri, Aisya, Jois, Devi, Tami, Siska, Gio, Amel, Raesita, Beti, Misni, Rika, Rosita, Gledis,


(6)

Ervina, Edo, Ari, Toga, Terima kasih atas cerita yang kita bangun untuk menuju strata satu.

9. Abangnda setambuk 2006-2009 (Desy Novianti, Mey fitriani, Eka Neni Jairani, Herlina, Oki Setiawan, Arie Azhari Nasution) dan Adinda 2011-2014.

10.Abangnda Teater ‘O’, Bambang Ryanto, Joko Saputra, Zainul Maarif, Robi Sahm, Ihsannuddin, Nandez, Cerly Fika, Anik, Amy,serta anggota Teater O lainya yang mendukung penulis untuk tetap semagat.

11.Keluarga besar 448 A, Fitri, Ui, Siti, Cut ida Agustina, Sauma, Juwita, Tia dan lainnya.

12.Teman-teman IMABSII, Mawar, Rizkha, Aini, Furqon, Ardi.

Kepada pihak yang tidak dapat disebutkan satu perastu, semoga bantuan dan dukungannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, namun penulis megharapkan kritik dan saran yang kontruktif demi perbaikan.

Medan, Oktober 2014 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... ... i

PERNYATAAN.... ... ii

ABSTRAK... ...iii

PRAKATA.... ... iv

DAFTAR ISI... ... vi

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

1.1 Latar Belakang... ... 1

1.2 Rumusan Masalah... ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... ... 3

1.3.1 Tujuan Penelitian... ... 3

1.3.2 Manfaat Penelitian... ... 3

BAB IIKONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA... ... 5

2.1 Konsep... ... 5

2.1.1 Diskrimnasi.... ... 5

2.2 Landasan Teori.... ... 7

2.2.1 Sosiologi Sastra... ... 7

2.3.2 Diskriminasi.... ... 8

2.3 Tinjauan Pustaka... ... 12

BAB III METODE PENELITIAN.... ... 16

3.1 Metode Penelitian... 16

3.2 Sumber Data.... ... 16

3.2 Teknik Pengumpulan Data... ... 17


(8)

BAB IV ANALISIS DISKRIMINASI DALAM NOVEL PASUNG

JIWA KARYA OKKY MADASARI... ... 20

4.1 Diskriminasi... ... 20

4.2 Jenis Diskriminsi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari... ... 21

4.2.1 Status Sosial... ... 21

4.2.2 Jenis Kelamin.... ... 25

4.3 Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasri... ... 30

4.3.1 Diskriminasi Verbal.... ... 30

4.3.2 Diskriminasi Pengeluaran... ... 32

4.3.3 Diskrimnasi Fisik... ... 33

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... ... 39

5.1 Simpulan.... ... 41

5.2 Saran.... ... 47

DAFTAR PUSTAKA Lampiran


(9)

(10)

DISKRIMINASI DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI SASTRA

ABSTRAK

Oleh: Sri Purwanti

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan jenis-jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasung Jiwakarya Okky Madasari yang diterbitkan tahun 2013. Pengumpulan data menggunakan teknik kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra dan teori diskriminasi oleh Fulthoni dan Mikarso. Hasil dari penelitian ini memaparkan beberapa hal yaitu mengenai jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Jenis diskrimnasi berupa diskrimnasi berdasarkan status sosial dan jenis kelamin. Bentuk-bentuk diskriminasi berupa: diskriminasi verbal, pengeluaran, dan fisik.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pengarang mendatangkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan berdasarkan pengalamannya. Walaupun bersifat fiksi pengarang mendatangkan konflik dengan sangat selektif, penuh penghayatan dengan sadar dan tanggung jawab. Karya sastra lahir dari seorang pengarang yang memunculkan gagasan, amanat tertentu berdasarkan imajinasi dengan bahasa sebagai penyampainya. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara mendalam melalui proses imajinasi.

Karya sastra diciptakan untuk menyampaikan ide, pesan yang terkandung di dalamnya kepada pembaca. Imajinasi berperan besar dalam menetukan karya sastra. Setiap pengarang memiliki ciri tersendiri dalam menghasilkan karya sastra , hal ini sesuai dengan kemampuan pengarang mengolah sumber dan objeknya.

Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012) dan , Pasung Jiwa (2013). Keempat novel tersebut merupakan karya Okky Madasari yang memiliki hubungan mengenai perlawanan atas ketidakadilan dan perjuangan untuk lepas dari belenggu.

Adapun alasan peneliti menjadikan novel Pasung Jiwa sebagai objek penelitian karena peneliti sangat tertarik dengan kehidupan (tokoh) yang terjadi


(12)

sebelum reformasi.Kebebasanuntuk bertindak dan berekspresi seolah-olah dibatasi oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Okky seolah-olah membawa


(13)

pembaca untuk kembali ke masa sebelum reformasi secara halus. Okky menulis karyanya berdasarkan fakta yang terjadi. Dalam novelnya ia menyinggung masalah krisis moneter, dan masalah sosial seperti diskriminasi.

Selain itu, novel Pasung jiwa menyuguhkan cerita yang tidak biasa. Seperti lelaki yang memiliki sifat kewanitaan, sehingga kehadiranya sulit diterima oleh masyarakat sekitarnya. Namun pada saat ia bebas dan menemukan jatidirinya dengan menganti nama menjadi Sasa, masyarakat dan keluarganya tidak dapat menerimanya.

Selain latar belakang tokoh sebagai waria, masih ada tokoh lain yang memiliki status sosial yang sulit diterima masyarakat. Seperti Elis, tokoh Elis adalah wanita tunasusila yang berani memilih jalan tersebut tanpa penyesalan. Sehingga mereka memperoleh tindakan diskriminasi. Tindakan diskriminasi merupakan pencekal kebebasan, karena latar belakang tertentu. Menurut Setiadi (2007: 158) Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang atau kelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, dan kelas sosial-ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas negara, dan kebangsaan seseorang.

Penelitian ini menjurus pada sastra dan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan sosiologi sastra (sosiosastra). Sosiologi dan sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda. Perbedaan dari disiplin ilmu inilah yang dapat melengkapi dan menjadi kesatuan. Seperti yang dikemukakan oleh Damono (1984:8) meskipun sastra dan sosiologi bukanlah dua bidang yang sama sekali berbeda garapan,


(14)

malah dapat dikatakan saling melengkapi, nyatanya keduanya selama ini cenderung untuk berpisah-pisah. Masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra dapat dipahami dengan teori sosilogi sastra.

1.2Rumusan Masalah

Agar penelitian tetap fokus pada satu titik tertentu maka penelitian harus dibatasi dengan adanya rumusan masalah. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah jenis-jenis diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari?

2. Bagaimnakah bentuk diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian memiliki tujuan dan manfaat. Penelitian memiliki tujuan dan manfaaat sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan jenis-jenis diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa

karya Okky Madasari.

2. Mendeskripsikan bentuk diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.


(15)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Setiap karya yang diciptakan akan memiliki manfaat. Adapun Manfaat dari penelitian ini.

1.3.2.1Manfaat Teoretis

1. Memberi dukungan terhadap apresiasi sebuah karya sastra khususnya novel.

2. Memperluas pemahaman terhadap sosiologi sastra dalam mengkaji karya sastra khususnya novel.

1.3.2.2Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memperluas pemahaman masyaraka terhadap jenis-jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa.

2. Hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan pembaca dalam memahami diskriminasi yang dialami seseorang berdasarkan objek primer yaitu novel Pasung Jiwa.


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep dibutuhkan dalam penelitian sebab didalamnya akan ditemui aspek-aspek yang menyangkut apa saja yang akan diteliti, sehingga penjabaran materi menjadi terarah, tidak melebar ke hal-hal yang lain. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2.1.1 Diskriminasi

Kata diskriminasi berasal dari bahasa latin yaitu discriminatus yang artinya membagi atau membedakan. Perlakuan membedakan terhadap orang lain berdasarkan kelompok tertentu merupakan diskriminasi yang dijabarkan oleh Banton (Dalam Sunarto, 2004:161).Menurut Hudaniah (2003:228) diskriminasi adalah prilaku yang diarahkan pada seseorang yang didasarkan semata-mata pada keanggotaan kelompok yang dimilikinya. Selanjutnya diskriminasi dalam UURI NO 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi sebagai berikut

“Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berahir pengurungan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.


(17)

Diskriminasi menurut Sears dkk (1985: 149) adalah perilaku menerimaatau menolak seseorang berdasarkan (setidak-tidaknya dipengaruhi oleh) keanggotaan kelompok. Maksudnya dipengaruhi oleh keanggotaan kelompok ialah kedudukan kelompok tersebut di dalam masyarakat. Selanjutnya, menurut Theodorson dan Theodorson, (dalam Fulthoni, 2009: 3) diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi.

Diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat biasanya diskriminasi individu dan diskriminasi institusi. Diskriminasi individu adalah tindakan seorang pelaku yang berprasangka. Diskriminasi institusi merupakan diskriminasi yang tidak ada hubungannya dengan prasangka individu melainkan dampak kebijaksanaan atau praktik berbagai institusi dalam masyarakat (Sunarto, 2004: 161). Selain diskriminasi individu dan institusi menurut Pettigrew (dalam Liliweri, 2005:221) diskriminasi dibagi menjadi diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi Langsung adalah tindakan membatasi suatu wilayah tertentu, seperti pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum dan semacamnya dan juga terjadi manakala pengambil keputusan diarahkan oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok tertentu. Sedangkan diskriminasi tidak langsung dilaksanakan melalui penciptaan kebijakan-kebijakan yang menghalangi ras/etnik tertentu untuk


(18)

berhubungan secara bebas dengan kelompok ras/etnik lainnya yang mana aturan dan prosedur yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan mengakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Diskriminasi individu merupakan diskriminasi langsung, sedangkan diskriminasi institusi merupakan diskriminasi tidak langsung (Liliweri, 2005: 222).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra menjadi landasan dalam penelitian ini dengan menggunakan teori ini dapat dipahami mengenai pengambaran masyarakat dalam karya sastra. selain itu, dengan mengunakan sosiologi sastra, karya sastra dapat dikaji atau fokus pada bentuk-bentuk sosial kemasyarakatannya.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini disebut sosiologi sastra. Istilah itu tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosilogis, atau sosiokultural. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu (Damono, 1984: 2 ).

Selanjutnya sosiologi sastra menurut pandangan Damono (1984:7) merupakan disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat dan sastra. seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.


(19)

Karya sastra diciptakan dengan keadaan sosial yang baik bahkan dalam keadaan buruk. Keadaan sosial tersebut akan diangkat dalam sebuah karya sastra dalam bentuk yang berbeda-beda.

Ian Watt (dalam Damono, 1987: 3-4) dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, membagi telaah sosiologi sastra ke dalam tiga bagian : (1) Konteks sosial pengarang, yakni menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. (2) Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. (3) Fungsi sosial sastra, dalam hal ini sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai pembaharu, pemberontak, penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca. Jadi dalam kajian ini peneliti menganalis berdasarkan sosiologi sastranya.

Seperti yang dikemukakan oleh Ian Watt bahwa Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Maka kajian terhadap Novel Pasung Jiwa

Karya Okky Madasari difokuskan dengan melihat bentuk-bentuk diskriminasi, penyebab terjadinya diskriminasi,dan dampak diskriminasi terhadap tokoh yang terdapat di dalam novel ini.


(20)

2.2.2 Diskrimnasi

Prasangka dan diskriminasi tidak dapat dipisahkan. Prasangka masih meliputi sikap keyakinan, dan predisposisi untuk bertindak, maka diskriminasi merupakan tindakan nyata. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki sikap prasangka yang sangat kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya,adat-istiadat, dan hukum (Liliweri, 2005: 218).

Menurut Doob (dalam, Liliweri: 218) diskriminasi dapat dilakuakn melalui kebijakan untuk mengurangi, memusnahkan, menaklukan, memindahkan, melindungi secara legal, menciptakan pluralisme budaya, dan mengasimilasi kelompok lain.

Fulthoni dkk (2009:4) memaparkan jenis-jenis diskriminasi yang sering terjadi, yaitu sebagai berikut :

a. Diskriminasi berdasarkan suku/etnis, ras, dan agama/keyakinan.

b. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (peran sosial karena jenis kelamin). Contohnya, anak laki-laki diutamakan untuk mendapatkan akses pendidikan dibanding perempuan; perempuan dianggap hak milik suami setelah menikah; dan lain-lain (dll).

c. Diskriminasi terhadap penyandang cacat. Contoh: penyandang cacat dianggap sakit dan tidak diterima bekerja di instansi pemerintahan.

d. Diskriminasi pada penderita HIV/AIDS. Contoh: penderita HIV/AIDS dikucilkan dari masyarakat dan dianggap sampah masyarakat.


(21)

e. Diskriminasi karena kasta sosial, Contoh: di India, kasta paling rendah dianggap sampah masyarakat dan dimiskinkan atau dimarjinalkan sehingga kurang memiliki akses untuk menikmati hak asasinya.

Jenis-jenis diskrimnasi yang telah dipaparkan oleh Fhultoni pada bagian pertama terjadinya diskrimnasi karena suku/etnis ras, dan agama/ keyakinan. Praktik diskriminasi di Indonesia berupa konflik, praktik diskriminasi yang tidak berbentuk konflik biasnya berbentuk kebijakan atau peraturan yang merugikan individu atau kelompok tertentu. Praktik diskriminasi berupa konflik adalah kasus Ambon dan Poso yang melibatkan komunitas Islam dan Kristen. Kasus penjarahan terhadap etnistionghoa (minoritas) tahun 1998 (Fulthoni, 2009:2).

Bagian kedua, diskriminasi terjadi karena jenis kelamin dan gender.Diskrimnasi ini disebut diskrimnasi jenis kelamin. Diskriminasi jenis kelamin merupakan bentuk diskrimnasi langsung dan kerap terjadi, biasanya diskriminasi ini menimpa kaum wanita. Pada tahun 1958 Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang hak-hak Politik Wanita dengan UU No. 68/1958. Selain itu Pemerintah RI juga meratifikasi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Namun, dengan demikina hingga saat ini masi saja terjadi berbagai bentuk diskriminasi dalam keluarga, dunia pendidikan dan dunia kerja, di dalam dan di luar negeri, hingga berdampak pada kekerasan, pelecean seksual dan pemerkosaan (Hartono, 2000:1).

Menurut Irianto (dalam Ihromi, 2000: 211) diskriminasi wanita terjadi karena (1) dalam mendapatkan hak wanita atas kesempatan kerja yang sama dengan pria, kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan; (2)


(22)

dalam memperoleh upah; (3) dalam menikmati hak terhadap jasmani; (4) hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja; (5) hak untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan (dan tetap mendapat tunjangan) karena kawin, hak akan cuti haid, cuti hamil dan melahirkan.

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, menurut data PBB, terdapat 25 instrumen mengenai Hak Asasi Manusia. Namun, Indonesia baru memiliki 5 instrumen, sehingga hal ini menunjukan betapa kecilnya perhatian pemerintah terhadap penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (Hartono, 2000:2-4).

Pembelaan atas kasus diskriminasi (kekerasan seksual) yang merujuk pada hukum sudah bisa dimanipulasi, sehingga orang terutama pejabat penegak hukum, tidak merasa kaget, sedih, dan terenyuh. Bahkan, pernyataan-pernyataan pemerintah dan pejabat penegak hukum membuktikan, bahwa masyarakat Indonesia sudah dididik untuk mencari keselamatan sendiri dan tidak menghiraukan kebenaran yang sebenarnya terjadi (Hartono, 2000:3-4).

Bagian ketiga diskriminasi terhadap orang cacat. Diskriminasi ini terjadi karena penyandang cacat sering mengalami kesukaran dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Para penyandang cacat fisik sering mengalami kesukaran dalam memperoleh pendidikan atau pekerjaan karena adanya aturan tertulis maupun kebijakan tidak tertulis yang menghambat mereka, meskipun secara fisik dan mental kemampuan mereka belum tentu berbeda dengan orang yang berbadan sehat (Sunarto, 2004: 155).

Keempat, diskrimnasi terhadap penderita HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS sering mengalami tindakan diskriminasi karena penyakitnya. Seharusnya, yang


(23)

harus dihindari adalah penyakitnya bukan penderita HIV/AIDS. Tetapi, yang terjadi di lapangan adalah menghindari penderitanya. Seperti dilarang bersekolah, bekerja karena masyarakat khawatir penyakitnya akan menular.

Kelima, diskrimnasi disebabkan kasta sosial. Kasta adalah golongan atau tingkatan. Kasta yang paling rendah akan memperoleh tindakan diskrimnasi dari kasta yang lebih tinggi. kasta digunakan di India, sedangkan di Indonesia di pulau Bali yang penduduknya mayoritas beragama Hindu.

Kelima jenis diskriminasi tersebut merupakan landasan untuk mengkaji jenis diskrimnasi yang terjadi dalam novel Pasung Jiwa.

Selain Jenis, diskriminasi juga memiliki bentuk. Bentuk diskrimnasi menurut Newman (dalam Mikarso, 2009: 88) bentuk diskriminasi berupa (1) diskriminasi verbal (Verbal exspression), diskriminasi yang dijalankan dengan cara menghina atau dengan kata-kata; (2) Penghindaran (avoidance), diskriminasi yang dijalankan dengan cara menghindari atau menjauhi seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak disukai; (3) Pengeluaran (exclusion), diskriminasi ini dijalankan dengan cara tidak memasukkan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dalam kelompoknya; (4) Diskriminasi fisik (physical abuse), diskriminasi yang dijalankan dengan cara menyakiti, memukul atau menyerang; (5) diskriminasi lewat pembasmian (extinction), perlakuan diskriminasi dengan cara membasmi atau melakuakan pembunuhan besar-besaran.

Bentuk diskriminasi tersebut merupakan teori yang digunakan dalam mengkaji bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa.


(24)

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Pasung Jiwakarya Okky Madasari merupakan novel yang kental dengan ketidak adilan dalam bertindakdi masa Orde Baru, untuk itu novel ini sangat menarik untuk dikaji. Berdasarkan penelusuran peneliti novel Pasung jiwa

karya Okky Madasari belum pernah diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.

Namun, penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan objek kajian yang sama telah dibahas olehAgus Pramudita (UNSOED,2014) dengan judul Kritik Sosial Dalam Novel Pasung Jiwa Karya

Okky Madasari. Peneliti menganalisis tentang unsur-unsur yang membangun

sebuah karya sastra yang meliputi: alur, latar, tokoh dan kritik sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan sosiologi dalam pengkajiannya dan berfokus pada batasan masalah berikut: 1. Unsur alur, latar, tokoh dan penokohan. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan, sehingga membuat inti cerita dapat dipahami yaitu tentang kritik sosial. 2. Kritik sosial yang meliputi, kritik terhadap pelanggaran norma sosial, kritik terhadap bidang pendidikan, dan kritik pandangan masyarakat terhadap kaum transgender.

Kurnia Ridha (2013) dalam skripsinya berjudul Diskriminasi Sosial Dalam

Novel Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Karya Agnes Davonar. Skripsi ini

membahas bentuk terjadinya diskriminasi sosial, sebab diskrimnasi sosial, dan dampak diskrimnasi dengan pendekatan sosiologi sastra. Bentuk diskriminasi dalam kajian tersebut terdiri dari diskriminasi langsung dan diskrimnasi tidak lansung. Diskriminasi langsung yang memiliki dampak langsung terhadap


(25)

individu, sedangkan diskriminasi tidak langsung terjadi berdasarkan peraturan yang sedang dijalankan dan menghambat korban diskriminasi. Diskriminasi dalam kajian ini berhubungan dengan kekerasan fisik dan pemaksaan. Diskrimnasi tidak langsung dalam kajian ini berhubungan dengan mengancam, penolakan, dan penghinaan. Penyebab terjadinya diskrimnasi dalam kajian ini adalah: 1. Status sosial. 2. Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan terutama ekonomi. 3. Tekanan dan intimidasi, biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok yang lebih lemah. 4. Perbedaan status antara orang normal dengan orang yang mempunyai kekurangan. Dampak dari diskriminasi sosial dalam penelitian Kurnia Ridha adalah merasa terhina, medapat kekerasan, dan menjadi objek hinaan.

Fauzi mahasiswa Universitas Negeri Padang (2013) dalam skripsinya berjudul Diskrimnasi Sosial Dalam Novel Orang Cacat Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo. Dalam kajiannya, Fauzi mengunakan pendekatan sosiologi sastra dengan pembahasan bentuk dan penyebab terjadinya diskriminasi. dalam kajiannya Fauzi membahas mengenai proses sosial mengenai: kerjasama, persaingan, pertikaian atau pertentangan, dan akomodasi. penyebab terjadi diskrimnasi karena memiliki tubuh tidak sempurna yang berakibat pada tindakan diskriminasi.

Kajian mengenai diskrimnasi juga telah dibahas oleh Silalahi (2014) dalam skripsinya berjudul Bentuk-Bentuk Diskriminasi Dalam Kumpulan Puisi Esai Atas

Nama Cinta Karya Denny Ja: Tinjauan Sosiologi Sastra. Pembahasan mengenai


(26)

Bentuk-bentuk diskriminasi yang ia temukan berupa diskrimnasi berdasarkan perbedaan etnis, berdasarkan paham tentang agama, berdasarkan kelas sosial, berdasarkan orientasi seksual, dan berdasarkan perbedaan agama.

Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa skripsi yang pembahasannya relevan dengan penelitian ini, maka peneliti dapat melihat perbedaan yang terdapat dalam skripsi yang sudah ada sebelumnya dengan pembahasan penelitian ini, diantaranya terletak pada teori yang berbeda denagn objek yang sama yaitu novel Pasung Jiwa, misalnya penelitian Agus Pramudita. Agus Pramudita memfokuskan penelitian mengenai struktur dalam novel dan kritik sosial. Sedangkan pandangan dalam penelitian ini tidak membahas mengenai struktur novel dan kritik sosial. Skripsi Kurnia Ridha membahas mengenai diskrimnasi Sosial. Ia membatasi masalah berupa bentuk, penyebab, dan dampak dari diskrimnasi. Berbeda dengan penelitian ini, meski dalam penelitian ini terdapat diskrimnasi sosial tetapi peneliti tidak membahas dampak dan penyebab dari diskrimnasi terhadap tokoh.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan metode penelitian. Metode penelitian adalah satu ilmu yang mempelajari atau membicarakan cara-cara yang digunakan dalam usaha menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan (Semi, 1993:7).

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan jenis diskriminasi dan bentuk diskriminasi. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka digunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan gambaran yang kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (bersifat penemuan) (Noor, 2011:34). Jadi, penelitian ini tidak menggunakan angka-angka atau penjumlahan. Data dalam kajian ini akan diuraikan dengan metode deskripsi.

3.2 Sumber Data

Sumber data terdiri dari sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah Novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku sastra, artikel, jurnal, majalah, ebook, yang berhubungan dengan data yang diperlukan dalam membahas Novel Pasung Jiwa

ini.


(28)

Judul : Pasung Jiwa

Karya : Okky Madasari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jenis : Novel

Cetakan : Pertama Tahun terbit : 2013

Ukuran : 13,5 x 20 cm Tebal : 328

Gambar sampul : Seorang lelaki berambut panjang mengunakan pakaian wanita dengan manik-manik yang mengkilat. Mengunakan pewarna bibir merah hati. Keduan tangan lelaki itu mengengam jeruji.

Warna Sampul : Warna hitam dan coklat dominan Desain Sampul : Rizky Wicaksono

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian (Noor,2011: 138). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, yaitu menyimak dan mencatat. Teknik pustaka digunakan dengan sumber-sumber tertulis sebagai data. Teknik simak yaitu teknik yang fokus pada data primer dalam penelitian ini berupa novel Pasung Jiwa dengan menyimak secara cermat dan teliti.


(29)

Hasil dari penyimakan data akan dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam penyususnan laporan yang sesuai dengan tujuan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi:

1. Membaca data primer penelitian yaitu novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari dengan menemukan data penelitian berupa jenis-jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat di dalam novel. 2. Mencatat dan memilah data temuan sesuai dengan klasifikasinya.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi deskripsi kualitatif. Deskripsi kualitatif secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskripsi (Ratna, 2004:46). Cara kerja analisis deskripsi ialah dengan mendeskripsikan data yang sudah diidentifikasi melalui proses membaca. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisisjenis-jenis diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa.

Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis data meliputi: 1. Menyajikan data sesuai dengan masalah penelitian yaitu jenis-jenis

diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa

karya Okky Madasari.


(30)

3. Menginterpretasikan hasil analisis berupa penemuan jenis-jenis dan bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami tokoh dalam novel Pasung Jiwa

karya Okky Madasari.

4. Menyimpulkan hasil analisis sehingga diperoleh deskripsi mengenai jenis-jenis dan bentuk-bentuk diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari


(31)

BAB IV

DISKRIMINASI DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA

OKKY MADASARI

4.1 Diskriminasi

Diskrimnasi merupakan perlakuan yang tidak sama di dalam masyarkat berdasarkan suku, agama, ras, setatus sosial dan lainnya. Dalam UU RI tahun 1999 menjelsakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pembedaan manusia berdasarkan agama, suku, ras, etika, kelompok, golongan, setatus sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berahir pengurungan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan dalam kehidupan individu maupun kolektif dalam segala bidang yang mendukung kehidupan.

Diskriminasi terjadi dimana saja dan biasanya tanpa kita sadari. Diskriminasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan hak asasi manusia. Melakukan diskriminasi merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia bersifat horizontal (anatarwarga negara sendiri) dan vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human right) (Hartono, 2000:149)


(32)

4.2Jenis-Jenis Diskriminasi Dalam Novel Pasung JiwaKarya Okky Madasari

4.2.1 Status sosial

Status sosial dinilai berdasarkan jabatan, pendidikan, kekayaan (ekonomi), politisi, dan keturunan,. Maksud jabatan ialah pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang. Misalnya, jabatan yang dimiliki oleh direktur utama (dirut) lebih tinggi dibandingkan karyawan. Perlakuan yang diterima antar direktur utama (dirut) dan karyawan pasti berbeda. Individu atau kelompok yang memiliki status sosial berdasarkan jabatan, pendidikan, kekayaan, politisi, dan keturunan, biasanya mereka terbiasa dengan perlakuan istimewa. Perlakuan tersebut membentuk kepribadian seseorang atau kelompok masyarakat menjadi egois. Mengutamakan kebutuhan individu dan tidak memperdulikan kebutuhan umum.

Setatus sosial yang tinggi ini menjadi penyebab diskrimnasi sosial. Korban dari diskriminasi tidak dapat melakukan pembelaan karena alasan tertentu. Seperti yang terlihat dalam paragraf berikut:

“Ada satu anak jendral, satu anak pejabat. Kasusnya tidak bisa diperoses,” jawab Ayah datar.“Hah? Anak kita disiksa seperti anjing lalu pelakunya tidak bisa diperoses?!” ibu berteriak. Kini ia bukan hanya marah pada orang-orang yang menganiyayaku dan pada polisi yang tak memproses perkaraku. Ia marah pada Ayahku.

“Apa tidak bisa kamu lakukan sesuatu? Ini anak kita! Anak kandung kita sendiri disiksa orang kayak gitu dan kamu hanya diam saja?!” (PJ, 2013: 42).

Tingginya setatus sosial seseorang atau kelompok masyarakat menimbulkan rasa sewenang-wenang. Seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki status sosial tinggi merasa harus disegani dan harus diperlakukan secara istimewa.


(33)

Polisi yang seharusnya menegakkan keadilan tunduk dengan ancaman jendral dan pejabat. Bukan hanya sekadar tunduk. Buruknya moral penegak keadilan ini ialah menerima suap. Sehingga hukum yang harusnya merata menjadi pincang. Hukum yang sah di negara ini semakin tercoreng. Hukum tidak pernah salah, melainkan mereka yang membuat dan menjalankan hukum yang melanggar.

Dalam paragraf tersebut, Ayah korban (Sasana) adalah ahli hukum. Sayangnya ahli hukum tidak dapat menjalankan hukum secara semestinya. Ahli hukum seperti Ayah Sasana memiliki setatus yang tinggi. Namun, setatus yang dimiliki pejabat dan jendral lebih tinggi. Pada masa itu, tentara memiliki kekuatan penuh. Tidak heran banyak pembantain-pembantaiyan yang dilakukan tentara. Sehingga masyarakat takut dan tunduk dengan tentara.

Diskriminasi yang dilakukan oleh kelas sosial tinggi sangat kasar dan berani. Mereka menjalankan Lima bentuk diskriminasi yang dijabarkan oleh Newman. Mereka menghalalkan segala cara agar tujuan yang diinginkan tercapai. Seperti kutipan paragraf berikut.

Hingga hampir semua anak kelas 1 telah menjadi kambing-kambing dungu seperti Aku. Tak ada yang bisa melawan, tak ada yang berani melaporkan. Beberapa kali ada guru yang melihat penganiyayaan. Tapi tak ada yang mengambil tindakan. Tak ada yang kena hukum (PJ, 2013: 35).

Mereka (guru) seolah bungkam dan tidak ingin tahu dengan keributan yang berdampak pada kekerasan. Kekerasan bukan hal yang lumrah. Kekerasan dalam paragraf tersebut merupakan diskriminasi yang dilakukan oleh senior terhadap junior. Penyebab para guru bungkam karena mereka takut dengan orang tua siswa yang memiliki kekuasaan. Ketakutan itu berupa ancaman atau pemecatan. Para guru tidak ingin kehilangan pekerjaan dengan bersikap tegas.


(34)

Bersikap tegas dan melawan ketidakadilan harus siap dengan segala dampak yang terjadi. Seperti tindakan yang dilakukan Ayah Sasana untuk menuntut keadilan. Tetapi, Ayah Sasana tidak dapat berbuat apa-apa pada saat ancaman itu datang. Perhatikan paragraf berikut:

“Mereka mengancam ke kantor Ayah...” kata Ayah sambil terisak. Ayah kemudian berdiri mendekatiku. Ia memelukku lalu berkata, “Maafkan Ayah ya, Sasana... ayah tidak mampu membelamu...” (PJ, 2013: 43)

Mengancam merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Jika ancaman tersebut tidak diindahkan, mungkin saja mereka akan melakuakn tindakan yang lebih keji. Misalnya: merugikan, menyulitkan, menyusahkan, mencelakai, bahkan menghilangkan nyawa individu. Namun, berdasarkan paragraf tersebut, ancaman itu diindahkan dan menjadi penyesalan korban. Korban mengalah demi kebaikannya dan keluarganya.

“Tapi mereka dikeluarkan dari sekolah, kan? Tanya ibu tiba-tiba. Sepertinya ia masih menyimpan harapan untuk membuat kami tak terlalu larut dalam kekecewaan.

Ayah berbalik menghadap ibu. Dia diam sebentar lalu menggeleng. “ yayasan tak berani. Mereka minta Sasana yang dipindahkan. Demi kebaikan bersama...” (PJ, 2013: 44).

Pihak yayasan memberi kesempatan kepada Sasana agar Sasana tidak bersekolah di yayasan tersebut. Seharusnya pihak yang mendiskriminasi yang menerima perlakuan tersebut sebagai hukuman agar jerah. Sayangnya, keadilan yang diharapkan tidak sesuai. Kelompok masyarakat dengan setatus tinggi memiliki kekuasaan untuk mengatur. Dengan sarana dan prasarana yang mendukung, mereka dapat menekan pihak yayasan dengan ancaman tidak akan memberi bantuan kepada yayasan tersebut, atau ancaman lainnya yang dapat merusak reputasi yayasan. Pihak yayasan takut dengan ancaman tersebut,


(35)

sehingga Sasana harus menerima perlakuan tidak adil karena status sosial yang dimiliki orang tua Sasana lebih rendah dari yayasan.

Status sosial sangat penting demi kelangsungan hidup dalam masyarakat. Status sosial yang tinggi memeiliki nilai lebih daripada mereka yang memiliki status sosial rendah. Masyarakat dengan status rendah harus siapa dengan perlakuan sewenag-wenang atau diskriminasi dari masyarakat setatus sosial tinggi. Seperti yang terlihat dalam paragraf berikut:

Si komandan mendekatiku, lalu menarik kepalaku agar mendongak kepadanya“Jadi kamu itu bencong yang coba-coba melawan negara?” tanyanya

Aku diam. Lagi pula apa yang harus aku katakan “Jawab” teriaknya.

Aku mengeleng, “tidak, Pak,” jawabku.

“dasar bencong! Tidak bisa ngomong yang benar. Memangnya harus dibikin agar mulutnya itu ngomong apa adanya.” Katanya. Si Komandan itu membuka celananya. Aku langsung punya bayangan apa yang hendak ia lakukan. Tidak... tidak... tidak (PJ, 2013: 98).

Kini dia menarik tubuhku, lalu dengan kasar menarik celana dalamku sampai putus dan lepas begitu saja. Ia dorong tubuhku menghadap ke dinding. Lalu... aaaaargh! Sakit, sakit. Sakit di hati. Sakit di tubuh. Mereka melakukannya bergiliran. Aku benar-benar sudah merasa bukan manusia lagi (PJ, 2013:99-100).

Kelompok yang seharusnya memberi rasa nyaman dan rasa melindungi hilang dengan sepengal paragraf tersebut. Imajinasi tersebut buyar bahwa fakta sesungguhnya mereka berprilaku seperti binatang. Dalam paragraf tersebut, polisi melakukan penyelidikan terhadap terdakwa. Tidak heran jika penyelidikan tidak berbau kekerasan. Kekerasan bertujuan menakutnakuti tersangka agar tersangka mengakui perbuatannya. Saat introgasi berjalan, terdakwa diperlakukan tidak manusiawi. Tersangka mengalami pelecehan seksual karena setatus tersangka sebagai waria. Waria merupakan status sosial yang rendah dibandingkan status


(36)

sosial tentara. Tidak semua waria berprilaku buruk, tetapi dalam pandangan masyarakat, waria memiliki nilai negatif. Selain jabatan status sosial yang rendah, waria sering sekalididiskriminasi karena penampilan dan setatus gender yang tidak jelas yang berakibat penghindaran, penghinaan, bahkan pelecehan atau penganiayaan. Seperti yang tergambar dalam paragraf berikut:

Aku belum selesai menyanyikan satu lagu saat salah seorang lelaki itu meremas tonjolan dadaku. Ia melakaukannya sambil tertawa. Teman-temannya yang melihat pun ikut terbahak. Bau minuman keras menyengat ketika laki-laki itu mendekat. Mereka semua sedang mabuk. Remasan yang begitu cepat. Meninggalkan perasan ganjil, antara rasa kehilangan dan rasa di permalukan (PJ, 2013: 61).

Meski para waria dinilai berbeda, tetapi pada dasarnya mereka sama seperti kita, memiliki hati dan perasaan bahkan hati mereka lebih lembut dan sensitif. Ketika mendapat perlakuan seperti itu, hati kecilnya sakit dan menangis. Masyarakat memandang waria sangat rendah dan berprilaku buruk. Pada kenyataanya tidak semua waria berprilaku buruk. Seperti yang tergambar dalam paragraf berikut:

“Udani ae, ben kapok. Lanangan kok dadi wedok!

Kini mereka bergerak menarik semua pakaianku. Aku melawan dan merontah. Aku tidak mau ditelanjangi. Aku tidak mau dipermalukan seperti ini. Tapi mereka tak perduli. Kini sekelilingku penuh dengan orang-orang berjubah putih itu. Mereka semua tertawa menyaksikan aku ditelanjangi teman-temanya. Seluruh bajuku diambil. Hanya celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Aku menagis meraung-raung. Menagisi rasa terhina dan kekalahanku. Aku merasa sakit, jauh lebih sakit jika aku dihajar habis-habisan (PJ, 2013: 292).

4.2.2 Jenis Kelamin

Konsep seks dan jenis kelamin biasanya mengacu apada perbedaan biologis antara tubuh laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, pembahasan


(37)

mengacu pada perbedaan biologis yang umum dijumpai antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ reproduksi dan fungsinya, pada suara dan sebagianya. Contohnya hanya perempuanlah yang dapat melahirkan (Sunarto, 2000:110).

Tindakan diskriminasi sering dialami kaum wanita. Diskriminasi yang dialami wanita lebih menjurus pada pelecehan dan pemerkosaan. Selain itu tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan hamil kerap dirasakan oleh wanita. Seharusnya perusahaan memberi cuti hamil dan cuti melahirkan. Bakhan biaya persalinan ditanggung oleh perusahaan. Banyak para buruh tidak paham mengenai hak-hak mereka sebagai buruh. Sehingga, pihak perusahaan dengan muda menjalankana aturan yang menguntungkan perusahaan semata. Seperti misalnya para buruh di Batam hasil survei tahun 1996 dan 1997 oleh Ari Sunarijati (dalam Ihromi, 2000: 335) Mereka ternyata tidak tahu mengenai hak-hak mereka, seperti cuti haid, cuti tahunana, tunjangan hari raya (THR) setiap tahun. Disediakan kantin tempat makan siang. Juga disediakan poliklinik, dengan jumlah dan jenis obat-obatan yang terbatas. Selanjutnya dalam survei tersebut banyak buruh tidak paham tentang organisasi yang dapat membantu mengubah nasib mereka. Seperti Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Organisasi ini banyak menampung keluhan dan membela hak-hak para buruh.

Diskriminasi wanita mengacu pada pasal 1 konvensi wanita yaitu: “setiap pembedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan pemikiran atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak


(38)

asasi manusia dan kebebsan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita”. Perhatikan paragraf berikut:

Seminggu sebelum hilang, Marsini ikut minta naik upah, begitu cerita yang didapat Cak Man dari teman-teman Marsini. Lima orang, termaksud Marsini, menghadap mandor agar menyampikan permintaan itu keatasan. Karena tak digubris mereka nekat menghadap bagian personalia. Lima orang ini berani melakukan hal itu, karena kenaikan upah yang mereka minta hanya mengikuti peraturan baru pemerintahan yang sah. Pertemuan dengan kepala personalia tetap tak membuahkan hasil. Lima orang ini membagikan selebaran ke semuah buruh. Mengajak mogok sampai ada kenaikan upah (PJ, 2013: 83).

Sehari sebelum tanggal pelaksanaan mogok kerja, lima orang itu hilang. Termaksuk Marsini. Teman-temannya kebingungan. Mereka mulai mencari lima orang yang hilang. Bertanya kepada semua orang apakah ada yang tahu kemana semua orang apakah ada yang tahu kemana perginya lima orang itu. Setelah tiga hari tak ada kabar, mereka lapor polisi. Polisi bilang akan mencari. Tapi juga belum ada hasilnya sampai kini. Belakangan mandor mengumumkan memecat lima orang yang menghilang. Alasannya mereka membolos seenaknya dan pernah berusaha membuat kekacauan. Mandor juga mengumumkan agar buruh bekerja dengan tenang. Jangan pernah mencari-cari masalah kalau tak ingin hidup susah. Semua buruh ketakutan. Tak berani bertanya atau berusaha mencari Marsini dan empat orang lainnya (PJ: 83-84).

Cak Man mengunjungiku ke rumah sakit ini. Membawa foto Marsini yang tergeletak di pinggir hutan. “Marsini mati. Marsini dibunuh,” katanya (PJ, 2013: 126).

Paragraf tersebut mendeskripsikan diskriminasi antara perusahaan dan buruh wanita. Diskriminasi ini terjadi karena buruh meminta kesetaraan upah sesuai dengan peraturan pemerintah. Perusahaan tidak memberi peluang kepada buruh untuk menuntut haknya. Hak mereka adalah upah yang sudah disepakati oleh pemerintah daerah. Dampak dari tidak memberi peluang kepada buruh adalah hasil kerja yang tidak adil. Hasil kerja yang tida adil berupa upah mereka. buruh


(39)

menuntut haknya. Perusahaan melancarkan aksinya dengan membayar pihak berwenang untuk mengamankan para buruh yang membuat onar.

Cara yang dilakukan Marsini dan keempat temannya merupakan ancaman untuk perusahaan dan mereka pantas melakukan mogok kerja. Setelah melalui jalan damai dan ternyata tidak membuahkan hasil. Mereka memiliki jalan keluar yang baik. Yaitu mogok kerja dengan mengajak teman-teman lainnya. Sayangnnya, mereka tidak memiliki pendukung atau penyokong seperti organisasi yang membela hak-hak mereka. Mereka tidak pernah membayangkan, nyawa mereka menjadi ancaman karena menjadi sumber keributan. Marsini dan keempat temanya dipecat dari perusahaan. Sedangkan teman-teman yang lainya hanya kebingungan karena lima temanya tidak kunjung bekerja. Melaporkan polisi juga tidak menemukan titik terang. Perusahaan mencium gelagat kebingungan buruh lainnya dan mengumumkan bahwa lima temanya sudah dipecat. Faktanya kelima wanita itu diculik dan dibunuh.

Tindakan menghilangkan nyawa seseorang merupakan tindakan diskriminasi fisik. Diskriminasi ini dijalankan dengan cara memukul, menyakiti hingga menghilngkan nyawa seseorang.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa diskriminasi banyak dialami oleh kaum wanita seperti pelecehan hingga terjadi pemerkosaan. Kaum wanita dianggap lemah dan tidak dapat melawan. perhatiakan paragraf berikut:

“Mandor bejat! Pabrik bejjat! Seenaknya mecat orang setelah disedot habis-habisan

“Mandor itu... Mandor itu sudah memperkosa saya!” perempuan itu berbicara sambil menuding ke arah si mandor. Si mandor bergerak menarik lengan perempuan itu agar turun dari meja. Tapi suara perempuan itu sudah tak bisa dibendung lagi. “Sekarang saya bunting,


(40)

saya malah dipecat! Dasar binatang! Dia perkosa saya juga seperti binatang (PJ, 2013: 195).

“Saya diperkosa.” Ia berbicara dengan suara tinggi, tak memedulikan orang-orang yang menoleh ke arah kami. “Dipaksa nuruti nafsunya. Kalau tidak mau akan dipecat.

Aku terus mendengarkan tanpa berkata apa-apa.

“Sekarang saya hamil. Bukannya dia tanggung jawab, malah saya dipecat!” (PJ, 2013: 200-201).

Diskriminasi yang dilakuakan oleh mandor tersebut berdasarkan golongan. Golongan buruh merupakan golongan rendah. Mandor tersebut memperlakukan buruh dengan sesuka hatinya. melakukan ancaman, pelecehan, dan pemerkosaan yang terjadi dengan buruh wanita itu. Mirisnya, pada saat buruh tersebut hamil tidak mendapat pertanggungjawaban. Justru pemutusan hubungan kerja yang didapatkan.

Banyak buruh tidak paham dengan hak-haknya. Mereka pasra pada saat dipecat secara sepihak tanpa adanya pesangon. Pemecatan sering dialami oleh wanita hamil. Seharusnya, mereka memperoleh hak mereka, yaitu hak cuti hamil yang sudah menjadi tanggung jawab perusahaan. Namun, fakta sesungguhnya para buruh tidak memperoleh haknya. Hak mereka dirampas perusahaan. Perusahaan mengambil peluang tersebut karena buruh tidak paham dengan hak-hak mereka. Perusahaan tidak mempekerjakan wanita hamil. Seperti yang tergambar dalam paragraf berikut:

Dulu mereka bekerja di pabrik yang sama. Setelah ketahuan hamil, istrinya dipecat oleh perusahaan. (PJ, 2013: 161)

Berdasarkan pasal 153 ayat (1) huruf e undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan (UUK) yang menyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerjaan atau buruh


(41)

perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyususi bayi”. Pada dasarnya perusahaan tidak dapat memaksa buruh untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri harus didasarkan pada kemauan dari pekerja atau buruh. Pengunduran diri yang diajukan pekerja atau buruh harus dalam bentuk tertulis atas kemauan sendiri. Tanpa ada indikasi adanya paksaan atau intimidasi dari perusahaan.

4.3 Bentuk Diskriminasi Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

4.3.1 Diskriminasi Verbal

Bentuk diskriminasi ini dijalankan dengan menghina atau dengan kata-kata. Bentuk diskriminasi ini merupakan bentuk diskriminasi yang sering terjadi dalam interaksi sosial. Sayangnya, masyarakat kurang menyadari bentuk diskriminasi ini. Bentuk diskriminasi ini sering terjadi antar individu dan individu, individu terhadap kelompok.

Diskriminasi verbal dalam novel Pasung Jiwadialami oleh tokoh Sasana yang menemukan jatidirinya menjadi Sasa (waria). Perhatikan kutipan berikut.

“Sekarang pengiringku bukan hanya kecrekan dan tepuk tanganku sediri. Aku sudah membeli tape recorder dan mikrofon yang kujinjing kemana-mana. Tinggal putar musik pengiringnya, lalu aku menyayi dan bergoyang. Benar saja dugaanku, begitu musik diputar orang-orang mulai menoleh ke arahku. Saat aku mulai menyanyi dan mulai bergoyang, semakin banyak yang mengerubungiku. Banyak yang tertawa, meledek, dan setengah menghina” (PJ, 2013:235).

Berdasarkan kutipan tersebut bentuk diskriminasi verbal yang terjadi anatara “Aku” dan “Penonton” (individu dan kelompok). Bentuk diskriminasi


(42)

verbal jelas tertulis dalam kutipan tersebut yaitu, tertawa, meledek, dan setengah meghina.

“sekarang saya tanya ke mbaknya,” katanya sambil menunjuk padaku. “pernah dihina orang tidak karena pakai baju seperti ini?”

Aku mengangguk (PJ, 2013: 66).

Pemaparan diskriminasi verbal dalam pernyataan tersebut berbentuk tersirat. Status sosial sebagai waria sangat sulit diterima oleh masyarakat, masyarakat berprasangka buruk terhadap kehidupan keseharian mereka hingga hal sepele seperti cara berpakian mereka yang mencolok yang berakibat pada penghinaan.

Pada dasarnya diskriminasi bersumber dari prasangka dan cap buruk (stigma). Cap buruk biasanya dipelajari dari pengaruh sosial masyarakat, tetangga, sekolah, media masa dan lain-lain. Diskriminasi terjadi apabila cap buruk dan prasangka itu sudah berubah menjadi aksi (Fulthoni, 2009:6). Perhatikan kutipan berikut.

“Hei, cong, kowe PKI ya?” tanya si komandan.

Aku langsung mengeleng. PKI apa? Partai Komunis Indonesia? Partai yang dilarang itu? Seumur-umur tahu namanya juga Cuma dari pelajaran sekolah.

“Jawab!”

“bukan,” jawabku

“Teros ngopo bikin rusuh koyok mau awan?”

Aku bingung mau jawab. BUUG! Tendangan kembali mampir diperutku. Aku jatuh bersama kursi yang aku duduki. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Remuk... seluruh badanku remuk.

“Enaknya kita apain bencong ini?” tanya si komandan.

“Kita pakai saja dulu, Ndan. Biasanya juga dipakai orang”, jawab yang lainnya. Mereka lalu terbahak bersama.(PJ, 2013:96)

Cap buruk sudah menjadi aksi yang berupa tindakan diskriminasi verbal. Sasana mendapat perlakuan tidak baik dari penegak keamanan. Seharusnya


(43)

mereka memberi rasa nyaman dan melindungi masyarakat. Namun, tidak jarang saat mereka melakukan penyidikan dengan menggunakan kekerasan tujuan mereka agar pelaku kejahatan mengakui tindakan yang belum tentu mereka lakukan. Tindakan ini kurang efektif karena memiliki unsur pemaksaan dengan ancaman penyiksaan atau pelecehan. Bentuk diskriminasi yang terdapat dalam kutipan tersebut terdiri dari dua bentuk yaitu diskriminasi verbal dan diskrimnasi fisik.

4.3.2 Diskriminasi Pengeluaran

Pengeluaran (exclusion), diskriminasi ini dijalankan dengan cara tidak memasukkan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dalam kelompoknya.

Ayah malu sekali malam itu. Mesti tetangga-tetangga masih belum percaya aku anaknya, tapi Ayah merasa semua orang kini mentertawakannya. Setelah aku pergi, Ibu memaksa ingin menemuiku. Ayah melarang. Katanya, aku bukan anaknya. Ibu bersikeras. Hingga akhirnya Ayah berkata, “Terserah kalau kamu inggin menemui dia. Tapi jangan pernah membawa dia ke rumah ini.”

Ibu mencariku sendirian. Saat ia memeluk erat tubuhku, saat itulah ia tak mau kehilangan aku lagi. Ia mencarikanku tempat tinggal tak jauh dari rumah Ayah, agar ia bisa dengan mudah mengunjungiku. Tapi ketika ia pulang untuk mengambil barang, Ayah marah besar. Ayah tak mau Ibu mengunjungiku. Ayah mau kami putus hubungan. Ayah tak mau lagi ada ruang untukku dalam hidupnya (PJ, 2013: 283).

Keluarga merupakan kelompok sosial yang terdiri dari sejumlah individu. Memiliki hubungan antar individu berupa ikatan, kewajiban, tanggun jawab di antara individu tersebut. Keluarga merupakan unit terkecil yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota keluarga.


(44)

Pengeluaran dari keluarga merupakan tindakan diskriminasi yang terjadi dalam keluarga. Ayah Sasana merasa malu memiliki anak seperti Sasana yang memiliki tampilan tidak seperti lelaki pada umumnya. Keputusan Ayah Sasana mengeluarkan Sasana dari silsila keluarga mendapat perotes dari Ibunya. Ibu Sasana memahami keadaan Sasana dan memilih untuk hidup bersama Sasana.

4.3.3 Diskrimnasi fisik

Merupakan tindakan diskriminasi yang dijalankan dengan cara menyakiti, memukul dan menyerang. Diskriminasi fisik berupa kekerasan, yang sangat merugikan korban diskriminasi. Diskriminasi fisik terjadi di setiap lingkungan sosial. Perhatikan paragraf berikut:

Dua orang yang memegang tangganku mendorong tubuhku hingga mengenai dinding. Kepalaku terbentur. Belum sempurna aku berdiri, salah seorang dari mereka mendorongku kembali, lalu menekan tubuhku ke dinding. Tangannya kini mencekik leherku.

“Kamu mau jadi anggota geng kita?” tanyanya. Aku diam. Tak paham maksud pernyataanya.

“Jawab!” serunya sambil memukul dadaku. Aku teriak kesakitan. Sakit sekali. Kini tubuhku didorong ke arah orang lain. Orang yang menangkap tubuhku kembali mendorong tubuhku ke orang lain. Tak hanya didorong, tapi juga ditendang... (PJ, 2013: 31-32).

Terjadinya diskriminasi fisik tersebut bedasarkan setatus sosial yang dimiliki oleh siswa dalam lingkungan sekolah. Hampir setiap sekolah bahkan universitas yang kita temui memiliki sistem senior dan junior. Junior sebagai anggota baru dalam lingkungan sekolah tidak dapat melakukan banyak tuntutan karena dianggap lemah. Senior meras lebih berkuasa karena mereka merasa kuat dan lebih dahulu mengenal lingkungan sekolah tersebut. Sebagai sesama siswa


(45)

seharusnya setiap siswa memiliki hak yang sama, hak untuk tidak dipukul, hak untuk tidak diancam, atau lainnya yang membatasi gerak-gerik siswa junior.

BUG! Satu pukulan mengenai perutku. BUG kini tendangan. BUG! BUG! Aku sudah tak tahu apa-apa lagi, selain rasa sakit, “Mau... mau... saya mau.. Tolong...” rintihku.

Salah satu dari mereka menarik tubuhku, lalu kembali menekanku kedinding.”Jadi , mulai sekarang kamu anggota Dark Gang.

Siaaap?!”

“Si... ap...” jawabku. Lemah dan pelan.

Dia masih belum puas. “Jawab yang keras!” serunya.

“Siaaap!” teriakku. Sekeras-kerasnya. Bukan karena aku benar-benar siap ikut geng itu, tapi karena aku takut... takut dipukul dan ditendang lagi. “Aturan buat anggota geng baru, harus ikut masa percobaan. Mulai besok kamu setor lima ribu tiap hari untuk kebutuhan geng.

Paham?!

“Pahaaam!” teriakku. Lalu... BUG! Sebuah pukulan kembali bersarang di perutku. Aku berteriak keras.

“ini semua rahasia. Kalau sampai ada yang tahu, rasakan akibatnya.” (PJ, 2013: 32-33).

Tapi hari ini... BUG! Salah satu dari mereka langsung memukul tepat di perutku.

“Mulai besok setoran tambah dua ribu, kita butuh banyak biaya,” katanya. Seorang lainnya ganti menendang di wajahku.

“pokoknya besok setoran kamu harus tujuh ribu,” kata pemukul pertama (PJ,2013: 35).

Mengancam dengan kekerasan merupakan tindakan membatasi rasa aman terhadap individu dalam masyarakat. Berdasarkan UU tentang Hak Asai Manusia tahun 1999 pasal 30. “ setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadapa ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Hak rasa aman yang dimiliki tokoh Aku sudah dibatasi dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam


(46)

pernyataan tersebut berupa pembatasan untuk memiliki rasa saling aman. Tindakan ini merupakan diskriminasi jika ditinjau dari penjabaran mengenai diskriminasi dalam UU tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 3.

Pelecehan berupa tindakan diskriminasi fisik, berbeda dengan pelecehan verbal yang mengunakan sarana berupa ucapan. Contoh dalam paragraf berikut:

Aku belum selesai menyanyikan satu lagu saat salah seorang lelaki itu memeras tonjolan dadaku. Ia melakukannya sambil tertawa. Teman-temannya yang melihat pun ikut tertawa. Bau minuman keras menyengat ketika laki-laki itu mendekat. Mereka semua sedang mabuk. Remasan yang begitu cepat. meninggalkan perasaan ganjil, antarasa rasa kehilangan dan rasa dipermalukan (PJ,2013: 61).

Untuk memperjelas pernyataan tersebut, tokoh Aku merupakan seorang waria yang bekerja sebagai pengamen. Waria, mereka merupakan bagian dari kita. Namun, keberadaan mereka sulit untuk diterima dan setigmayang menempel pada waria sulit untuk dilepaskan. Waria selalu mendapat perlakuan tidak baik karena pekerjaan mereka. Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap waria sehingga sulit menemukan lapangan kerja bagi waria.

“Dasar bencong! Tidak bisa ngomong yang benar. Memang harus dibikin agar mulutnya itu ngomong apa adanya,” katanya. Si komandan itu membuka celananya. Aku langsung punya bayangan apa yang hendak ia lakukan. Tidak... tidak... tidak...!

Penisnya dimasukkan kedalam mulutku. Sambil tangannya memegang kepalaku dan menggerak-gerakkannya. Mereka semua tertawa. Aku meronta, berteriak tanpa bersuara. Sakit rasanya. Sakit yang begitu dalam. Terhina, tak dihargai sebagai manusia. Ada cairan terasa di mulutku. Aku masih tak bisa mengangkat kepala. Orang itu memaksaku menelannya. Mukannya menahan nikmat. Sesaat kemudian kepalaku dilepaskan. (PJ, 2013: 98-99)

Pelecehan yang terjadi merupakan tindakan diskriminasi fisik. Tokoh Aku (Sasa) memperoleh bentuk diskriminasi ini karena cap buruk yang dimiliki oleh waria. Sasa atau Sasana dipaksa untuk untuk mempuaskan nafsu para tentara.


(47)

Pada kenyataanya tidak semua waria melakukan pekerjaan malam seperti waria lainya. Berdasarkan data yang diperoleh dari novel Pasung Jiwa, Sasa berprofesi sebagai pengamen. Sebuah karya sastra dapat menjadi refleksi dari kehidupan nyata.

Pelecehan dalam novel Pasung Jiwa juga dialami oleh tokoh Kalina. Pelecehan ini terjadi di tempat Kalina bekerja. Perhatikan paragraf berikut.

“Itu mandor bejat. Orang-orang kantornya lebih bejat. Mereka semua binatang,” katanya tanpa menunggu aku bertanya.

“Saya diperkosa.” Ia bicara dengan suara tinggi, tak memedulikan orang-orang yang menoleh ke arah kami.” Dipaksa nuruti nafsunya. Kalau tidak mau akan dipecat (PJ, 2013: 200).

Bentuk diskrimnasi fisik yang dialami Saya (Kalina) adalah pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Selain itu Kalina diancam akan dipecat jika tidak menuruti permintaan mandornya.

Setorane endi, cong? Tanya salah satu dari mereka.

Cong? Cong? Aku selalu marah setiap ada yang memanggilku seperti itu, aku Sasa. Bukan cong, bukan bencong.

Setoran opo?” aku balik bertanya dengan kasar. Tak peduli dengan

tubuh mereka yang kekar.

Setoran keamanan to yo. Yok opo kon iki, golek duit sakpenake dewe,”

jawabnya.

Peh... aku memalingkan tubuh. Tidak memedulikan mereka dan mulai

sibuk dengan tape-ku. Pertunjukan akan segera dimulai.

Pundakku ditarik dari belakang. Kepalaku didorong, disandarkan pada tembok dan ditekan (PJ, 2013: 236).

...tapi tak lama kemudian pukulannya mendarat di kepalaku. Keras sekali. Temannya yang dari tadi diam kini beraksi. Pukulan mendarat di tubuhku bertubi-tubi. Aku tidak bisa melihat dengan jelas saat kurasakan benda keras dan panjang itu menghantam tubuhku (PJ, 2013: 237).

Tindakan diskriminasi fisik ini terjadi antara Sasa dan preman setempat dimana tempat Sasa mengamen. Preman memaksa Sasa untuk memberi uang keamnan. Nyatanya, mereka hanya memungut uang dengan cara tidak sopan.


(48)

Perlakuan mereka tidak jauh berbeda dengan merampok. Wajar saja Sasa tidak memperdulikan keinginan preman dan terjadilah kekerasan berupa pemukulan yang dilakukan preman terhadap Sasa. Preman setempat memiliki kekuatan untuk mendiskriminasi Sasa. Hal ini disebabkan mereka ditakuti, kasar, dan brutal. Secara tidak langsung mereka telah mengklaim bahwa tempat itu wilayah kekuasaan dan siapapun harus mematuhi aturannya. Preman merupakan kelompok yang dominan yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap individu lemah (Sasa). Tindakan diskriminasi terhadap individu yang lemah juga dialami oleh Elis. Elis adalah wanita penghibur di Sintai. Perhatikan kumpulan paragraf berikut: ...“Hai, hai, balik sini!” seru lelaki itu. Elis berjalan cepat menyususri lorong. Laki-laki itu mengejar dan terus berteriak-teriak. “Dia mengambil uang saya, dia pencuri! Katanya.

Empat laki-laki menghadang Elis. “Bukan mencuri, ini uang bayaran buat saya,” teriak Elis.

Laki-laki pelanggan Elis itu mendekat. Ia membuka selimut yang menutupi tubuh Elis. Uang itu ada dalam gengaman Elis yang tadi disembunyikan di balik selimut.

“Akan saya laporkan tempat ini ke polisi,” kata laki-laki itu.

Seorang laki-laki keturunan Cina datang. “Ada apa ini?” tanyanya sambil menepuk pundak laki-laki pelanggan itu.

Laki-laki Cina itu pemilik tempat ini.

“Tuh perempuan itu ngambil uang saya seenaknnya,” jawabnya sambil menunjuk Elis.

“Ini uang saya, Koh! Ini bayaran saya!” jawab Elis.

“Bayaran apa? Belum juga saya dapat apa-apa!” jawab laki-laki itu. “Enak saja belum dapat apa! Dari tadi saya sudah disuruh macam-macam sama dia!” sahut Elis.

“Mana ada pelacur mau dimasukin tidak boleh?! Apa maunya?!” laki-laki itu berteriak keras.

“Siapa yang tidak boleh? Saya cuman mau situ pake kondom!” jawab Elis.

“Heh, lonte! Ngapai ngatur-ngatur saya? Kamu niat jualan apa tidak?” Laki-laki itu terlihat semakin emosi.

“Saya lonte! Saya dagang tubuh! Saya jualan...! tapi saya bisa milih mau jual ke siapa!”

Laki-laki itu kehilangan kesabarnnya. Ia mendekat ke arah Elis dan menarik rambut Elis hingga kepalanya dekat ke mulut laki-laki itu.


(49)

Lonte kurang ajar! Saya laporkan tempat ini ke polisi biar ditutup. Biar kalian semua tak lagi bisa cari uang,” kata laki-laki itu sambil melotot tajam (PJ, 2013:179).

...”Kamu, Lis! Pergi dari tempat ini sekarang juga. Bawa semua barangmu.

Status sosial sebagai wanita penghibur banyak mengalami tindakan diskriminasi, selain diskriminasi fisik mereka juga sering mendapat perlakuan diskriminatif verbal, penghindaran, bahkan diskriminasi pengeluaran dari kelompok masyarakat tertentu. Dalam satu status sosial wanita penghibur sudah memperoleh lebih dari satu bentuk diskriminasi.

Elis, wanita penghibur yang perduli dengan kesehatnnya, sehingga ia memiliki pendirian yang sanggat kuat. Pendirian dia adalah pada saat melakukan hubungan kepada pelangganya ia selalu mengunakan pengaman. Tetapi, Elis bertemu dengna pelanggannya yang tidak ingin mengunakan pengaman (kondom) sehingga Elis dan pelanggnaya mengalami konflik.

Konflik yang terjadi mengakibatkan Elis memperoleh bentuk diskrimnasi fisik yaitu dijambak. Selain itu, Elis diancam oleh pelanggaya, pelangganya akan melaporkan tempat ini kepolisi.

Masalah Elis dan pelangganya semakin rumit saat Bos Sintai datang ketempat kejadian. Elis yang menjadi korban diskrimnasi tidak memperoleh pembelaan dari bosnya melainkan diusir dari tempat dia mencari kerja.


(50)

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian yang dilakukan terhadap novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari dapat dihasilkan beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Diskriminasi adalah Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berahir pengurungan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

2. Berdasarkan hasil uraiyan yang dibahas dalam novel Pasung Jiwakarya Okky Madasari, tokoh yang memperoleh tindakan diskrimnasi adalah tokoh yang memiliki status sosial yang rendah, seperti waria, buruh rendahan, wanita penghibur. Selain itu, tindakan diskriminasi berdasarkan status sosial tejadi berdasarkan kekuasaan dan setatus ekonomi. Tindakan diskriminasi ini terjadi anatara keluarga Sasana dengan yayasan sekolah, buruh pabrik dengan mandor.

3. Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi dalam novel Pasung Jiwa adalah (a) Diskriminasi verbal, diskriminasi ini berbentuk ucapan seperti


(51)

menghina. Diskriminasi ini dialami oleh Sasana atau Sasa karena berprofesi sebagai waria. Selain itu status sosial yang ia miliki juga rendah. (b) Diskriminasi pengeluaran. Korban diskrimnasi ini adalah Sasana. Sasana dikeluarkan dari keluarganya karena keadaan Sasana yang sangat buruk dan memalukan keluarga. (c) diskriminasi fisik, diskriminasi fisik berupa kekerasan, pelecehan dan sebagainya. Korban diskriminasi ini adalah Sasana atau Sasa, Kalina, Elis, Marsini. Diskriminasi yang Sasana peroleh berupa kekerasaan pada saat SMA antara senior dan Sasana. Pelecehan sesual merupakan bentuk diskriminasi. Sasana menjadi korban pelecehan seksual saat Sasana berada di koramil. Kalina dan Elis memperoleh diskirminasi fisik di tempat mereka bekerja.

4. Penyebab terjadinya diskriminasi dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari adalah status sosial dan jenis kelamin. Diskriminasi yang disebabkan status sosila dialami oleh Sasana, Kalina, dan Marsini. Status sosial yang lebih tinggi dapat terjadi karena kekayaan dan kekuasaan. Keluarga Sasana tidak memiliki kekuasaan saat melawan pihak yayasan. Diskriminasi disebabkan status sosial juga dialami Sasana. Diskriminasi ini terjadi di koramil. Diskriminasi yang disebabkan jenis kelamin dialami oleh Marsini. Marsini adalah seorang buruh rendahan yang meminta naik upah sesuai dengan peraturan daerah. Sayangnya usaha yang dilakuakan Marsini tidak berbuah manis, Marsini diculik dan dibunuh. Kalina, buruh pabrik yang dipaksa memuaskan nafsu mandor sehingga Kalina hamil. Kehamilan Kalina menyebabkan Kalina dipecat tanpa pesangon.


(52)

5.2 Saran

Objek dalam kajian ini adalah novel Pasung Jiwa,kajian yang digunakan adalah sosiologi sastra. Novel ini sangat disarankan dikaji berdasarkan Psikologi sastra, untuk lebih mendalami tokoh secara psikologi. Novel ini sangat kental dengan kajian psikologi karena terdapat tokoh transgender yang memiliki sifat kewanitaan.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Alawi, Hasan.2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendididkan dan kebudayaan.

Endraswara, Suwandi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yongyakarta: Media Perss.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Fulthoni.2009. Memahami Diskiminasi.Jakarta: ILRC

Hartono, Sunaryati. 2000. Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan

Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Hudaniah, Tri Daya Kisni. 2003. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Ihromi, Tapi Omas. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Alumni.

Irianto, Sulistyowati dan Achie, Sudiarti Luhulima. (ed). Kisah Perjalanan Panjang Konvensi Wanita di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja Dan Diskriminasi. 2012. Kesetaraan Dan Non

diskriminasi Di tempat Kerja Di Indonesia.Jakarta: Kementerian Tenaga

Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Madasari, Okky. 2013. Pasung Jiwa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Mikarso, Valentinus. 2009. Perjuangan-Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika dan Implikasinya Bagi Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM Narwoko, J Dwi dan Bagong Suyanto.(ed) 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan

Terapan. Jakata: Kencana.

Noor, Juliansyah. 2011. Metode Penelitian. Jakarta: Kencana.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sears dkk. 1985. Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga. Semi, Atar.1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Sunarto, Kamanto. 2004: Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Soekanto, Seorjono. 2009. Sosiologi Sebuah Pengantar.Jakarta: Rajawali Press. Undang-undang RI. 2009. Nomor: 44 Tahun 2009. Tentang Rumah Sakit. Jakarta:


(54)

Skripsi

Silalahi, Ervina. 2014. Bentuk-Bentuk Diskriminasi Dalam Kumpulan Puisi Esai

Atas Nama Cinta Karya Denny Ja: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi.

Fakultas Ilmu Budaya USU.

Internet

Agus Pramudita, Arina. (2014) Kritik Sosial Dalam Novel Pasung Jiwa Karya OkkyMadasari.http://bapendik.unsoed.ac.id/index.php?r=artikelilmiah/view &id=9119. Diakses tanggal 3 Desember 2014.

Fauzi, Rian. (2012). Diskriminasi Sosial Dalam Novel Orang Cacat Dilarang SekolahKaryaWiwidPrasetyo .http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ibs/article/ view/219. Diakses tanggal 20 Oktober 2014.

Kurnia Ridha, Fadhlina. (2013). Diskriminasi Dalam Novel Ayah, Mengapa Aku Berbeda?KaryaAgnesDavonar.http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ibs/articl e/view/3336. Diakses tanggal 20 Oktober 2014.

Diskriminasi Terhadap Minoritas


(55)

LAMPIRAN

1. Sinopsis Novel

Sasana Alias Sasa

Anak lelaki itu bernama Sasana, ia dibesarkan dengan kasih sayang orangtunaya yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Ayahnya ahli dalam bidang hukum dan ibunya ahli dalam bidang kesehatan tepatnya dokter bedah. Kedua orang tuanya tidak terlalu mahir bermain Piano. Untuk memuaskan ambisi mereka maka Sasana menjadi alasannya. Semenjak di dalam kandungan dan dilahirkan suara yang ia dengar pertama kali adala suara piano. Sasana kecil sangat mahir memainkan piano. Saat duduk di kelas 4 SD Sasana sudah mengumpulkan banyak prestasi, piala dan penghargaan yang telah ia umpulkan terkumpul rapih. Sayangnya Sasana tidak pernah memainkan piano dengan hati, ia hanya sekadar memainkan piano. Sasana memiliki seorang adik, namanya Melati.

Sasana baru tamat SD. Itulah pertama kali ia mendengar ada musik dangdut. Orangtuanya sangat marah karena tingkah Sasana pada malam itu. Ia tidak boleh bermain lagi di kampung sebelah kompleks. Kecintaan Sasana terhadap dangdut tidak dapat dibendung. Apalagi mbak Minah mengizinkan radionya dipinjam. Setiap malam ia menikamti musik dangdut di kamarnya. Pada akhirnya orang tuannya mengetahui tingkah anaknya. Radio disita, sebagai gantinya ayahnya memberikan kaset dengan musik-musik klasik.

Orang tuaya berharap Sasana masi memiliki keinginan untuk bermain piano. Tetapi harapan tersebut sirna karena Sasana tidak bisa memainkan Piano Lagi. Sasana jatuh cinta dengan musik dangdut.


(56)

Sasana remaja tidak dapat membanta saat ia dimasukkan di Sekolah SMA katolik. Siswa di sekolah tersebut semuannya lelaki. Untuk pelajaran agama setiap seminggu sekali guru agama didatang ke rumahnya. Di sekolah tersebut senioritasnya sangat tinggi. Setiap harinya Sasan harus menyetor uang Rp 5000 kepada Drak Gang. Selain memeras Drak Gang juga suka melaku kekerasan fisik. Akhirnya Sasana membenci dunia pria yang penuh kekerasan.Ayah Sasana menuntut Drak Gang. Sayangnya ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Karena Drak Gang anak dari orang yang berpengaruh di sekolahan.

Sasana menyongsong kebebasan dengan melanjut pendidikan di Malang. Di Malang ia bertemu dengan Cak Jek. Ia pandai bermain musik. Perkenalan mereka terjadi di warung Cak Mat. Awalnya Sasana hanya bernyanyi dan Cak Jek mengiringi musik dengan gitar. Semaki hari warung Cak Man ramai karena kehadian Cak Jek dan Sasana. Dari sekadar menghibur akhirnya mereka menjadi pengamen. Sasana meninggalkan bangku kulianya dan tinggal dengan Cak Jek di desa tidak begitu jauh dari kampus. Kini Sasana menghadirkan wajah barunya dengan tampilan berbeda dan nama berbeda pula yaitu Sasa.

Setiap malam mereka mengamen. Disela mengamen mereka istirahat dan bertemu dengan kelompok Marginal. Cak Jek mengeluhkan bahwa permainan kelompok Marginal sangat bagus apalagi alat musik mereka juga lengkap. Ahirnya Sasana dan Cak Jek merekrut Memed dan Leman yang dengan suka rela mereka angkut dari jalanan.Panggung Sasa bukan sekadar jalanan, kini ia menghibur di acara hajatan. Cak Man yang sudah lama tidak ada kabar, malam itu


(57)

datang ke rumah. Ia membawa kabar tentang Marsini. Marsini adalah anak Cak Man yang bekerja di Sidoarjo. Marsini diculik dan dibunuh.

Mereka bertiga berencana demo di depan pabrik tempat Marsini bekerja. Mereka berorasi dengan goyangan Sasa. Kelompok mereka semakin rami dengan bantuan kelompok Marginal. Hari yang sudah mereka rencanakan tiba. Sasa berorasi dengan bernyanyi dan bergoyang. Memed dan Leman mengiringi musik tersebut. Perlawana mereka dan satpam tidak berlangsung lama karena polisi dan tentara datang dan menyeret mereka. Sasana dibawa ke koramil. Mereka menggunakan Sasana sebagai pelampiasan nafsu. Setelah empat belas hari Sasana dikeluarkan dari tempat itu. Ia ingin pulang ke jakarta meninggalkan kelamnya Malang.

Tahun 1995 Sasana kembali ke Jakarta. Orang tuanya menerima dengan tangan terbuka. Ia kembali menjadi Sasana. Semenjak kejadian di koramil itu, Sasana mengalami trauma. Trauma yang Sasana alami selama empat belas hari itu susah untuk dihilangkan hingga ia sakit tifus. Setelah sembuh dari sakit, ia kuliah di kampus dekat rumahnya dengan jurusan hukum. Jurusan yang sama pada saat ia kulia di Malang dua tahun silam. Trauma yang Sasana alami sulit dihilangkan, saat Sasana melihat keramaian ia menjadi panik seperti orang gila. Ahirnya orang tuanya memasukkan Sasana ke rumah sakit jiwa.

Lama kelaman Sasana bertigkah layaknya orang gila. Ia meminta ibunya membawakan pakaian wanita lengkap dengan aksesorisnya. Awalnya ibunya curiga, Sasana yang cerdas dapat mengelabui kecurigaan ibunya dengan alasan pentas seni. Sasana menghadirkan jiwanya yang hilang. Sasana membuat


(58)

panggung baru di tempat itu.Cak Man berkunjung ke rumah sakit tempat Sasana dirawat. Ia menunjukkan foto Marsini yang tewas dibunuh. Setelah pertemuan itu Sasana marah besar dan membuat keributan. Setelah kejadian itu ada seorang suster yang selalu mengikutinya. Masita nama gadis itu. Sasana jatuh cinta dengan Masita. Masita ternyata dokter yang sedang melakukan penelitian dan Sasana objek penelitiannya. Masita memiliki rencana untuk melepaskan pasien rumah sakit jiwa.

Sasa kabur ke Malang. Sayangnya Sasa tidak menemukan orang yang dia cari. Dia menjadi gelandangan, dalam kesulitan tersebut dia dapat menerima dua kepribadiannya yaitu Sasana. Sasana sudah dikenal di Malang, apalagi goyanganya yang khas. Sasa melengkapi sarana untuk mengamen dengan membeli tape recorder. Saat Sasa mengamen tidak luput dari kekerasasn yang dilakukan oleh preman setempat.

Masa moneter, 1998. Sasana sebenarnya tidak paham dengan kata moneter. Pada saat mengamen ada yang memuji kalau lagunya yang dia bawakan bagus. Tiga mahasiswa tersebut mengajak Sasa untuk bergabung berorasi ke Jakarta. Dalam setiap pertemuan banyak yang Sasana ketahui. Kami berangkat ke Jakarta sebanyak 23 orang, duapuluh Mahasiswa, dan satu seorang pengamen dan dua pemuda pengangguran.Lagi dan lagi Sasa berorasi dengan goyangannya. Ya, Sasa mengikuti semunya karena semua sudah ditanggung oleh mahasiswa. Ia juga berpikir saatnya untuk pulang, dan mengenalkan Sasa kepada keluarganya.

Usai demo penurunan presiden, Sasa pulang ke rumah di Jakarta. Sasa diterima oleh ibunya, sedangkan ayahnya tidak menerima sama sekali.Mereka


(1)

Sasana remaja tidak dapat membanta saat ia dimasukkan di Sekolah SMA katolik. Siswa di sekolah tersebut semuannya lelaki. Untuk pelajaran agama setiap seminggu sekali guru agama didatang ke rumahnya. Di sekolah tersebut senioritasnya sangat tinggi. Setiap harinya Sasan harus menyetor uang Rp 5000 kepada Drak Gang. Selain memeras Drak Gang juga suka melaku kekerasan fisik. Akhirnya Sasana membenci dunia pria yang penuh kekerasan.Ayah Sasana menuntut Drak Gang. Sayangnya ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Karena Drak Gang anak dari orang yang berpengaruh di sekolahan.

Sasana menyongsong kebebasan dengan melanjut pendidikan di Malang. Di Malang ia bertemu dengan Cak Jek. Ia pandai bermain musik. Perkenalan mereka terjadi di warung Cak Mat. Awalnya Sasana hanya bernyanyi dan Cak Jek mengiringi musik dengan gitar. Semaki hari warung Cak Man ramai karena kehadian Cak Jek dan Sasana. Dari sekadar menghibur akhirnya mereka menjadi pengamen. Sasana meninggalkan bangku kulianya dan tinggal dengan Cak Jek di desa tidak begitu jauh dari kampus. Kini Sasana menghadirkan wajah barunya dengan tampilan berbeda dan nama berbeda pula yaitu Sasa.

Setiap malam mereka mengamen. Disela mengamen mereka istirahat dan bertemu dengan kelompok Marginal. Cak Jek mengeluhkan bahwa permainan kelompok Marginal sangat bagus apalagi alat musik mereka juga lengkap. Ahirnya Sasana dan Cak Jek merekrut Memed dan Leman yang dengan suka rela mereka angkut dari jalanan.Panggung Sasa bukan sekadar jalanan, kini ia menghibur di acara hajatan. Cak Man yang sudah lama tidak ada kabar, malam itu


(2)

datang ke rumah. Ia membawa kabar tentang Marsini. Marsini adalah anak Cak Man yang bekerja di Sidoarjo. Marsini diculik dan dibunuh.

Mereka bertiga berencana demo di depan pabrik tempat Marsini bekerja. Mereka berorasi dengan goyangan Sasa. Kelompok mereka semakin rami dengan bantuan kelompok Marginal. Hari yang sudah mereka rencanakan tiba. Sasa berorasi dengan bernyanyi dan bergoyang. Memed dan Leman mengiringi musik tersebut. Perlawana mereka dan satpam tidak berlangsung lama karena polisi dan tentara datang dan menyeret mereka. Sasana dibawa ke koramil. Mereka menggunakan Sasana sebagai pelampiasan nafsu. Setelah empat belas hari Sasana dikeluarkan dari tempat itu. Ia ingin pulang ke jakarta meninggalkan kelamnya Malang.

Tahun 1995 Sasana kembali ke Jakarta. Orang tuanya menerima dengan tangan terbuka. Ia kembali menjadi Sasana. Semenjak kejadian di koramil itu, Sasana mengalami trauma. Trauma yang Sasana alami selama empat belas hari itu susah untuk dihilangkan hingga ia sakit tifus. Setelah sembuh dari sakit, ia kuliah di kampus dekat rumahnya dengan jurusan hukum. Jurusan yang sama pada saat ia kulia di Malang dua tahun silam. Trauma yang Sasana alami sulit dihilangkan, saat Sasana melihat keramaian ia menjadi panik seperti orang gila. Ahirnya orang tuanya memasukkan Sasana ke rumah sakit jiwa.

Lama kelaman Sasana bertigkah layaknya orang gila. Ia meminta ibunya membawakan pakaian wanita lengkap dengan aksesorisnya. Awalnya ibunya curiga, Sasana yang cerdas dapat mengelabui kecurigaan ibunya dengan alasan pentas seni. Sasana menghadirkan jiwanya yang hilang. Sasana membuat


(3)

panggung baru di tempat itu.Cak Man berkunjung ke rumah sakit tempat Sasana dirawat. Ia menunjukkan foto Marsini yang tewas dibunuh. Setelah pertemuan itu Sasana marah besar dan membuat keributan. Setelah kejadian itu ada seorang suster yang selalu mengikutinya. Masita nama gadis itu. Sasana jatuh cinta dengan Masita. Masita ternyata dokter yang sedang melakukan penelitian dan Sasana objek penelitiannya. Masita memiliki rencana untuk melepaskan pasien rumah sakit jiwa.

Sasa kabur ke Malang. Sayangnya Sasa tidak menemukan orang yang dia cari. Dia menjadi gelandangan, dalam kesulitan tersebut dia dapat menerima dua kepribadiannya yaitu Sasana. Sasana sudah dikenal di Malang, apalagi goyanganya yang khas. Sasa melengkapi sarana untuk mengamen dengan membeli tape recorder. Saat Sasa mengamen tidak luput dari kekerasasn yang dilakukan oleh preman setempat.

Masa moneter, 1998. Sasana sebenarnya tidak paham dengan kata moneter. Pada saat mengamen ada yang memuji kalau lagunya yang dia bawakan bagus. Tiga mahasiswa tersebut mengajak Sasa untuk bergabung berorasi ke Jakarta. Dalam setiap pertemuan banyak yang Sasana ketahui. Kami berangkat ke Jakarta sebanyak 23 orang, duapuluh Mahasiswa, dan satu seorang pengamen dan dua pemuda pengangguran.Lagi dan lagi Sasa berorasi dengan goyangannya. Ya, Sasa mengikuti semunya karena semua sudah ditanggung oleh mahasiswa. Ia juga berpikir saatnya untuk pulang, dan mengenalkan Sasa kepada keluarganya.

Usai demo penurunan presiden, Sasa pulang ke rumah di Jakarta. Sasa diterima oleh ibunya, sedangkan ayahnya tidak menerima sama sekali.Mereka


(4)

tinggal terpisah dengan Ayah dan Melati. Ibu megontrak rumah yang cocok untuk mereka tinggalin. Ibu Sasana membuatnya menjadi penyanyi profesional. Kini ibunya menjelma menjadi manager dan sahabat karibnya

Jaka Wani Alias Cak Jek

Mei 1995, Jaka Wani lebih dikenal Cak Jek akhirnya mendarat di pulau Batam. Kejadian Maret silam memaksa ia harus pergi dari tanah kelahirannya. Sebelumnya kakak lelaki Cak Jek bekerja di Batam dan sudah menikah. Untungnya di Batam mudah mendapatkan pekerjaan. Cak Jek bekerja di pabrik pembuatan TV. Cak Jek tidak memikirkan yang lain. Ia fokus dengan pekerjaannya. Setiap akhir pekan karyawan plesir di pusat kota, di bagian Nagoya dan puncaknya di Sintai untuk memuaskan kebutuhan rohani. Cak jek bertemu dengan Elis wanita yang kuat dan berani. Setelah melakukan hubungan intim Elis meminta bayaran yang tarifnya di patok per jam. Setiap minggu Elis menjadi langganan Cak Jek. Kiriman ke kampung untuk ibu sengaja Cak Jek kurangi.

Elis diusir dari Sintai karena Elis telah mengecewakan pelanggan. Elis tidak terima dengan perbuatan pelangganya yang melanggar prinsipnya. Semenjak kejadian itu Cak Jek tinggal bersama Elis di rumah kontrakan. Tidak lama setelah kejadian Elis kembali menjadi wanita penghibur. Cak Jek marah mengetahui situasi itu, tetapi Elis sadar dan tidak ingin melawanya. Rumah kontrakakan mereka menjadi tempat pelacuran. Cak jek menjadi germo, uang yang ia kumpulkan sudah cukup dan sebentar lagi ia akan keluar dari pabrik. Sebelum keputusan itu terjadi masyarakat mengrebek rumah mereka.


(5)

Setelah kejadian itu Cak Jek atau Jaka Wani kembali tinggal di mes pabrik. Ia telah kembali menjadi mesin pabrik yang hanya fokus dengan pekerjaanya. Sasa dan Elis sili berganti mengisi pikiran Cak Jek. Ia merasa bersalah dengan mereka. Siang itu seorang buru bernama Sarti berteriak menuntut keadilan. Dua minggu setelah itu, kejadian itu terulang lagi dengan orang yang berbeda. Gadis itu bernama Kalina. Ia diperkosa oleh mandor dan atasanya. Ia hamil dan dipecat dari pabrik. Ia menuntut mengapa mereka tidak bertanggung jawab tetapi malah memecatnya. Sejalan dengan kejadian itu Jaka Wani tanpa sengaja memecahkan kaca yang sedang ia bersihkan. Mandor marah dan ia dipangil ke ruangan supervisor. Jaka dapat bekerja seperti biasa dengan syarat tidak menerima gajih selama dua hari. Jaka Wani tidak terima dan Jaka Wani membogem supervisornya. Jaka Wani dipecat secara sepihak. Jaka Wani, mencari cara untuk membalas, Jaka Wani berencana mendemo pabrik dengan karyawan-karyawan yang dipecat secara sepihak. Sayangnya, sebelum aksi demo terjadi Jaka sudah menjadi buronan karena kekerasan yang ia lakukan kepada supervisornya.

Desember 1999, Jaka yang baru turun ke darat setelah tiga tahun berlayar. Ia mendarat di Jakarta. Ia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Nasib baik berpihak padanya, dia masuk dalam rombongan yang mengaku membela agama, membela negara. Awalnya ia menolak karena dasar agama yang dia miliki terkesan buruk. Setelah lama mengenal kelompok itu, mereka tidak jauh berbeda dengan Jaka Wani. Mereka munafik dan ternyata hanya berkedok agama.

Tugas mereka menyerang kafe-kafe yang sedang beroprasi. Setelah menyelesaikan tugas mereka merayakan kemenagan dengan pesta minuman keras.


(6)

Sudah tiga bulan Jaka bersama mereka, dia memutuskan untuk mengunjungi ibunya di Malang. Setibanya di Malang, dia tidak dapat menemui ibunya. Ibunya sudah meninggal dan meninggalkan banyak hutang. Dialah si rentenir, si lintah darat. Jaka mengusir linta darat itu dengan kekerasan. Jaka mengunakan rumah ibunya sebagai tempat berkumpul Laskar Malang. Laskar di Malang semakin terkenal, banyak yang bekerja sama dengan Laskar Malang yaitu polisi. Selain polisi, pengusaha hingga wali kota atau orang yang sekadar belajar agama juga datang ke Laskar. Jaka Wani mulai goyah saat Laskar Malang melakuakn pembantaian. Jaka Wani bertemu dengan Memed dan Leman.

Hari ini Sasana dan Ibunya berada di kota Malang. Siangnya Sasa mengelilingi kota tersebut dan menceritakan setiap kejadian di jalanan kota tersebut. Malamnnya Sasa akan mangung, disela mangungnya terjadi keributan. Laskar Malang menghancurkan acara tersebut. Alasannya konser musik Sasa melanggar agama dengan goyangannya. Sasa dibawa ke kantor polisi. Sasana alias Sasa bertemu dengan Cak Jek alias Jaka Wani. Semenjak kejadian itu, Sasa sangat benci terhadap Cak Jek. Ternyata Cak Jek merasa bersalah saat melihat Sasa di persidangan. Sasna tidak diizinkan mengunakan pakaian yang ia inginkan.

Jaka wani mengunjungi Sasana di penjara. Jaka Wani meminta maaf dengan prihal sebelumnya dan berbicara yang sebenarnya. Dengan menggunakan kekuasaan Jaka Wani sebagai ketua Laskar, Sasa dapat keluar dari penjara dan mereka lari, lari menuju kebebasan.