Hubungan Antara Fatigue, Nyeri dan Depresi Dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Paska Stroke dan Nyeri Kepala Kronik

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan telah semakin
banyak digunakan sebagai ukuran penting untuk menilai pengaruhnya pada
penderita stroke dan nyeri kepala kronik. Kualitas hidup tidak hanya berfokus
pada defisit atau fungsi yang terganggu, tetapi juga mempertimbangkan
kenyataan bahwa kualitas hidup adalah atribut yang melekat dari persepsi diri
dan mampu mengukur kesehatan umum pasien dari berbagai aspek. Melalui
penilaian terhadap kualitas hidup, dapat berguna untuk mendeteksi masalah
fungsi psikososial atau penyesuaian yang buruk terhadap penyakitnya, bahkan
pada pasien dengan penyembuhan fungsional yang baik. Dalam kasus stroke,
misalnya, pasien yang cukup mandiri, berdasarkan evaluasi fungsional dapat
memiliki keterbatasan untuk kembali pada pekerjaan, kegiatan rekreasi atau
penyesuaian terhadap emosionalnya (Froes KS dkk, 2011; Merkante JP dkk,
2005).
Banyak pasien mengalami fatigue setelah stroke, fatigue sering
bermanifestasi sebaga kekurangan energi pada fisik dan mental dan banyak
pasien yang menyebutkan sebagai salah satu gejala sisa yang paling sulit untuk

menyesuaikan diri. Fatigue sering mengganggu proses rehabilitasi dan merusak
kemampuan pasien untuk mendapatkan kembali fungsi yang berkurang karena
stroke (Glader EL dkk, 2002).

1

Universitas Sumatera Utara

2

Pada sampel dari masyarakat Swedia pada satu tahun setelah stroke
terdapat 53% dari pasien dilaporkan mengalami fatigue yang secara khusus
dimulai setelah stroke. Literatur menunjukkan bahwa fatigue pada pasien stroke
adalah merupakan masalah utama yang dihadapi, seperti yang diperoleh pada
penelitian bahwa lebih dari sepertiga pasien stroke dapat mengalami fatigue
pada beberapa waktu setelah stroke.

Tidak ada penelitian lain yang

menunjukkan hubungan antara fatigue dan lokasi stroke atau fatigue dan tipe

stroke. Satu studi melaporkan hubungan antara jumlah stroke dengan fatigue,
dilaporkan terdapat proporsi fatigue yang lebih rendah pada pasien yang memiliki
stroke pertama kali dibandingkan dengan mereka yang memiliki stroke berulang
(Lerdal A dkk, 2009).
Penyebab fatigue paska stroke menunjukkan terdapat penyebab yang
multifaktorial. Telah dihipotesiskan bahwa fatigue setelah stroke merupakan hasil
dari kombinasi lesi organik di otak yang menyebabkan gangguan fungsional dan
stres psikososial yang berhubungan dengan penyesuaian pada situasi kehidupan
baru dan merupakan suatu proses dari pemulihan. Beberapa penelitian
mengungkapkan

bahwa

gejala

fatigue

dan

masalah


emosional

sering

berdampingan, tapi beberapa dari mereka mendukung pendapat bahwa
patogenesis fatigue bisa bebas dari gangguan emosional terutama depresi. Ada
beberapa penelitian yang menemukan korelasi positif antara gejala fatigue dan
ganggun mood, sedangkan penelitian yang lain menemukan tidak terdapat
hubungan. (Vuletic V dkk, 2011).
Menurut penelitian Christensen D dkk tahun 2008 dikatakan bahwa
fatigue adalah merupakan keluhan yang sering terjadi pada penderita stroke,
dilaporkan terdapat fatigue pada 40-74% pada pasien paska stroke. Namun

Universitas Sumatera Utara

3

hanya sedikit yang diketahui tentang tingkat keparahan dan etiologi dari fatigue
paska stroke. Selain itu, ditemukan tidak ada hubungan yang konsisten antara

fatigue pada pasien paska stroke dan faktor yang mungkin berpengaruh,
termasuk usia, jenis kelamin, depresi atau disabilitas tubuh.
Nyeri adalah konsekuensi jangka panjang yang sering terjadi

namun

masih kurang untuk diteliti. Pada tahun 2006 Jonsson dkk mengevaluasi
prevalensi dan intensitas nyeri pada 297 pasien stroke dari populasi berdasarkan
Lund Stroke Register. Mereka menemukan bahwa 4 bulan setelah onset stroke,
sepertiga dari pasien mengeluh nyeri sedang sampai berat dan pada 1 tahun
kemudian seperlima masih mengalami nyeri sedang sampai berat dan ditemukan
intensitas nyeri berat yang meningkat.
Keterlambatan antara stroke dan penilaian nyeri bagaimanapun juga
memainkan peran penting. Sekitar 10% dari pasien dengan gejala nyeri terjadi
lebih dari 2 bulan setelah stroke. Temuan menunjukkan bahwa follow-up jangka
panjang diperlukan untuk mengevaluasi nyeri pada pasien paska stroke pada
beberapa bulan atau tahun setelah stroke. Juga, karena sifat yang kompleks
pada pasien nyeri paska stroke maka perlu adanya strategi berbagai pengobatan
yang harus digunakan (Jonsson dkk, 2006).
Prevalensi nyeri yang dilaporkan setelah stroke bervariasi antara 19%

dan 74%. Data prevalensi keseluruhan dan karakteristik nyeri setelah stroke
adalah jarang. Satu studi berbasis populasi melaporkan prevalensi keseluruhan
stroke berhubungan dengan nyeri pada 1 tahun setelah stroke pertama kalinya
adalah menjadi 11%. Penelitian lain baru-baru ini melaporkan terdapat 21% dari
pasien melaporkan nyeri sedang sampai berat pada 16 bulan setelah stroke

Universitas Sumatera Utara

4

pertama kalinya. Nyeri pada ekstremitas bawah dan bahu adalah yang paling
banyak ditemukan, hanya 3% yang ditemukan memiliki Central Post Stroke Pain
(Lundstrom dkk, 2009).
Depresi umumnya terjadi pada pasien yang mengalami stroke dengan
perkiraan prevalensi tahun pertama adalah sebanyak 30% dan tampaknya
menjadi lebih berpengaruh daripada

keterbatasan fungsional yang dialami.

Sebuah tinjauan sistematis terbaru menunjukkan bahwa


terjadinya depresi

hingga 52% dalam waktu 5 tahun setelah mengalami stroke (Visser M dkk,
2014).
Gangguan neuropsikiatri seperti terjadinya depresi paska stroke menjadi
semakin penting untuk diperhatikan dalam jangka panjang pada pasien yang
mengalami stroke. Jika tidak diobati, depresi pada paska stroke yang terjadi pada
30% sampai 40% pada pasien stroke dapat mengganggu pemulihan dan
mempengaruhi hasil fungsional dan domain sosialnya. Dari 7 studi yang meneliti
efek depresi pada morbiditas stroke, 6 studi melaporkan pengaruh yang kuat
terhadap status depresi dengan kualitas hidup yang rendah (Haacke C dkk,
2006).
Penilaian kualitas hidup telah menjadi komponen evaluasi yang penting
pada pasien dengan nyeri kepala. Migren kronik dan nyeri kepala lainnya
berhubungan dengan keterbatasan yang signifikan pada semua dimensi yang
diukur pada kesejahteraan dan fungsi pasien tersebut dibandingkan dengan
populasi umum

penyakit kronis lainnya. Nilai


kualitas hidup pada populasi

migren kronik secara signifikan lebih rendah dan terdapat hubungan antara
kualitas hidup dan frekuensi migren dengan disabilitas. Peningkatan frekuensi

Universitas Sumatera Utara

5

migren dengan disabilitas akan menyebabkan kualitas hidup menjadi lebih
rendah (Bigal ME dkk, 2003).
Penelitin yang dilakukan oleh Seidel dkk (2009) yang mengevaluasi
apakah derajat fatigue berhubungan dengan migren kronik, didapati bahwa
fatigue ditemukan memiliki presentase yang tinggi (39,1%) pada penderita yang
mengalami serangan migren ≥ 8 hari perbulannya (32,7±11,4) dan paling rendah
pada kontrol (28,2 ± 9,4).
Migren kronis dan gangguan kejiwaan khususnya depresi, dapat tumpang
tindih dalam berbagai aspek klinis dan epidemiologis. Dari perspektif gejala klinis
serangan migren sering diikuti gejala kejiwaan, seperti depresi, lekas marah,

cemas, aktivitas yang berlebihan, kesulitan berpikir, anoreksia atau peningkatan
nafsu makan. Migren kronis umumnya menjadi penyerta dengan kondisi klinis
lain. Depresi adalah salah satu yang paling sering dilaporkan (hingga 80%),
diikuti oleh cemas (70%), insomnia (71%) dan kondisi medis lainnya seperti
fatigue (66%). Depresi sedang sampa berat adalah keadaan yang umum terjadi
pada migren kronik. Keinginan bunuh diri dilaporkan oleh banyak pasien,
penilaian risiko bunuh diri dan pengobatan harus ditangani pada migren kronis.
Aspek-aspek lain seperti gangguan tidur, fatigue, mudah marah, rasa bersalah
dan kurangnya produktivitas dapat turut terlibat pada pengobatan terhadap
migren kronis. Beck Depression Inventory II dapat digunakan sebagai alat yang
mudah untuk mengakses aspek klinis keparahan depresi pada pasien migren
kronik (Mercante JP dkk, 2005).
Meskipun hubungan antara migren dan kondisi kejiwaan telah banyak
ditunjukkan, sedikit penelitian yang menilai hubungan pada progresivitas migren.

Universitas Sumatera Utara

6

Pada suatu studi cross-sectional, dibandingkan dengan Chronic Tension Type

Headache, pasien dengan migrain kronis lebih cenderung untuk memiliki depresi,
yaitu perbandingan depresi pada migren kronis dibandingkan dengan CCTH
yaitu 70 % dengan 59%, p= 0,062) dan gejala anxietas (43 % dengan 25%, p=
0,005. Frekuensi nyeri kepala memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas
hidup, pasien dengan CTTH memiliki nilai kualitas hidup yang lebih rendah
dibandingkan pasien ETTH (Bigal ME dkk, 2003).
I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang
telah diuraikan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan antara fatigue, nyeri dan depresi dengan kualitas
hidup pada penderita paska stroke dan nyeri kepala kronik?
I.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara fatigue, nyeri dan depresi dengan
kualitas hidup pada penderita paska stroke dan nyeri kepala kronik.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan antara fatigue, nyeri dan depresi dengan
kualitas hidup pada penderita paska stroke dan nyeri kepala kronik di

RSUP HAM Medan dan RS jejaring.

Universitas Sumatera Utara

7

1.3.2.2

Untuk mengetahui hubungan antara fatigue dengan kualitas hidup
pada penderita paska stroke di RSUP HAM Medan dan RS jejaring.

1.3.2.3

Untuk mengetahui hubungan antara nyeri dengan kualitas hidup pada
penderita paska stroke di RSUP HAM Medan dan RS jejaring.

1.3.2.4

Untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan kualitas hidup
pada penderita paska stroke di RSUP HAM Medan dan RS jejaring.


1.3.2.5

Untuk mengetahui hubungan antara fatigue dengan kualitas hidup
pada penderita nyeri kepala kronik di RSUP HAM Medan dan RS
jejaring.

1.3.2.6

Untuk mengetahui hubungan antara nyeri dengan kualitas hidup pada
penderita nyeri kepala kronik di RSUP HAM Medan dan RS jejaring.

1.3.2.7

Untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan kualitas hidup
pada penderita nyeri kepala kronik di RSUP HAM Medan dan RS
jejaring.

1.3.2.8

Untuk mengetahui karakteristik demografi penderita paska stroke dan
nyeri kepala kronik di RSUP HAM Medan dan RS jejaring.

I.4. Hipotesis
Ada hubungan antara fatigue, nyeri dan depresi dengan kualitas hidup
pada penderita paska stroke dan nyeri kepala kronik.

Universitas Sumatera Utara

8

I.5.
1.5.1.

Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian untuk Peneliti
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
kewajiban pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik Medan.

1.5.2.

Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara
keilmuan tentang hubungan antara fatigue, nyeri dan depresi dengan
kualitas hidup pada penderita paska stroke dan nyeri kepala kronik serta
dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya.

1.5.3.

Manfaat Penelitian untuk Masyarakat
Dengan mengetahui hubungan antara fatigue, nyeri dan depresi
dengan kualitas hidup pada penderita paska stroke dan nyeri kepala
kronik maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengobatan bagi
penderita yang memiliki faktor resiko mengalami gangguan terhadap
kualitas hidupnya.

Universitas Sumatera Utara