Hubungan Antara Fatigue, Nyeri dan Depresi Dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Paska Stroke dan Nyeri Kepala Kronik

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

STROKE

II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh
iskemik atau pendarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki
bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark
fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat
adalah kematian sel pada otak, medula spinalis, atau sel retina akibat iskemia,
berdasarkan:

-

Patologi, imaging atau bukti objektif dari focal injury iskemik pada

serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular
tertentu.

-

Atau bukti klinis dari focal injury iskemik pada serebral, medula
spinalis atau retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥ 24 jam
atau meninggal dan etiologi lainnya telah dieksklusikan (Sacco dkk,
2013).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang

dengan cepat yang disebabkan oleh pendarahan di parenkim otak atau
sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).

Universitas Sumatera Utara

10

II.1.2. Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukkan kecendrungan peningkatan status stroke

baik dalam hal kematian, kejadian maupun kecacatan. Angka kematian
berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55); 26,8% (umur 55-64
tahun) dan 23,5% (umur > 65 tahun).

Kejadian stroke (insiden) sebesar

51,6/100.000 penduduk. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan
profil usia yaitu sebesar 11,8% (< 45 tahun), 54,2% (usia 45-64 tahun) dan
33,5% (> 65 tahun) (Misbach J dkk, 2011).
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan bahwa
proposi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1986
meningkat yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89
per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986.
Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1988) dilaporkan bahwa
proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan
kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita)
dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per
100 penderita) (Sjahrir, 2003).
Data nasional menunjukkan stroke sebagai penyebab kematian tertinggi
di rumah sakit yaitu mencapai 15,4%. Berdasarkan hasil penelitian Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) cabang Medan dari 562 pasien
stroke pada 25 Rumah Sakit di Sumatera Utara, didapatkan kejadian stroke tidak
berbeda jauh antara perempuan dan laki-laki dimana kejadian pada perempuan
sebesar 296 orang (52,7%) dan laki-laki 266 (47,3%) dengan rata-rata usia 59
tahun (20-95 tahun). Keluhan utama pasien terbanyak adalah penurunan

Universitas Sumatera Utara

11

kesadaran berjumlah 198 kasus (35,3%), diikuti hemiparesis sinistra 134 kasus
(23,8%), dan hemiparesis dextra 133 kasus (23,7%). Faktor resiko terbesar
adalah hipertensi berjumlah 497 kasus (88,4%), diikuti diabetes melitus 155
kasus (27,6%), penyakit jantung 98 kasus (17,4%), dislipidemia 161 (28,6%),
merokok 193 (34,3%). Berdasarkan hasil CT sken kepala infark berjumlah 302
kasus (53,7%), hemoragik 152 kasus (27%), infark hemoragik 12 kasus (2,1%)
dan 96 (17,1%) tidak menjalani CT Sken kepala (Rambe dkk, 2013).
II.1.3. Faktor Resiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor
yang dipertimbangkan sebagai resiko yang kuat terhadap timbulnya stroke.

Faktor resiko timbulnya stroke (Sjahrir H, 2003).

1. Non modifiable risk factors
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c.

Keturunan/genetik

2. Modifiable Risk Factors
a. Behavioural Risk Factors
- Merokok
- Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat,
kolesterol, kurang buah
- Alkoholik
- Obat-obatan: narkoba (kokain), antikoagulansia, anti
platelet, obat kontrasepsi

Universitas Sumatera Utara


12

- Aktifitas yang rendah
b. Physiological Risk Factors
- Penyakit hipertensi
- Penyakit jantung
- Diabetes mellitus
- Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
- Gangguan ginjal
- Kegemukan (obesitas)
- Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit
perdarahan
- Kelainan anatomi pembuluh darah
- Stenosis karotis asimtomatik
II.1.4. Klasifikasi Stroke

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab setiap jenis
stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang
berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach J dan Soertidewi,
2011).

1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
a. Stroke Iskemik
- Transient Ischemic Attack (TIA)
- Thrombosis serebri
- Emboli serebri
b. Stroke Hemoragik

Universitas Sumatera Utara

13

- Perdarahan intraserebral
- Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Stroke in evolution
c.

Completed stroke


3. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebrobasiler
4. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu
a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
c. Lacunar Infarct (LACI)
d. Posterior Circulation Infarct (POCI)
5. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti
TOAST (Sjahrir H, 2003).
a. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan
(>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang
arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis.
Gambaran computed tomography (CT) sken kepala/MRI
menunjukkan adanya infark dikortikal, serebellum, batang

Universitas Sumatera Utara

14


otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm
dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.
b. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber
embolus dari jantung terdiri dari :
1. Resiko tinggi
- Prostetik katub mekanik
- Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
- Fibrilasi atrial
- Atrial kiri/atrial appendage thrombus
- Sick sinus syndrome
- Miokard infark baru (4 minggu, 5 serangan yang
memenuhi kriteria migren tanpa aura.
a Mempunyai paling tidak 2 dari 1-4 di bawah ini:
1. Lokasi unilateral.
2. Berdenyut.
3. Intensitas nyeri sedang-berat.
4. Bertambah berat apabila melakukan aktivitas fisik rutin
seperti berjalan atau naik tangga.

b Mempunyai gejala paling tidak 1 dari 1-2 di bawah ini:
1. Mual dan /muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
B. Didapati perbaikan apabila diberi obat triptan atau ergot pada saat
sebelum, yang diduga akan timbul gejala B.a tersebut di atas
C. Tidak ada penggunaan obat berlebihan dan tidak berkaitan dengan
penyebab gangguan lain.

Universitas Sumatera Utara

21

Kriteria diagnostik CTTH sesuai The International Classification of
Headache Disorders, 2nd Edition (2004) adalah sebagai berikut : (Sjahrir dkk,
2013).

A. Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/bulan, berlangsung > 3 bulan (≥ 180 hari
/tahun) dan juha memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus.
C. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut:

1. Lokasi bilateral
2. Menekan / mengikat (tidak berdenyut)
3. Ringan atau sedang
4. Tidak memberat dengan aktivitas fisik yang rutin.
D. Tidak didapatkan:
1. Lebih dari satu : fotofobia, fonofoia atau mual yang ringan
2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah
E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.
II.2.4. Patofisiologi
Patogenesis migren masih belum sempurna dipahami, namun terdapat
lima faktor penyumbang yang telah teridentifikasi, yaitu: 1) abnormalitas genetik,
2) perubahan endokrin dan ketidakseimbangan elektrolit, 3) hipereksitabilitas
neuronal pada neuron korteks serebral, secara sementara atau kronik,
khususnya pada regio oksipital, 4) cortical spreading depression, dan 5) aktivasi
neuron trigeminal, baik perifer atau sentral, sebagai suatu pemicu untuk induksi

Universitas Sumatera Utara

22


serangan migren. Faktor tersebut di atas sendiri maupun kombinasi dipercaya
menjadi indeks kunci formasi migren (O’Sullivan dkk, 2006).
Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway dari sistem
trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti
peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi protein kinase
seperti 5-HT (histamin), bradikinin, prostaglandin dan juga menganktivasi enzim
NOS. Adanya aktivasi nervus trigeminal akan melepakan CGRP dan peptida lain
yang menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi. Mediator ini meningkatkan
CGRP synthase lebih lanjut dan dilepaskan dalam waktu beberapa jam sampai
hari sesuai dengan frekuensi waktu 4-72 jam serangan migren (Sjahrir 2008,
Vukovic dkk, 2009).
Patofisiologi

migren

kronik

dan

mekanisme

yang

menghasilkan

transformasi belum sepenuhnya dimengeri. Akan tetapi peran sensitisasi sentral,
hipereksitabilitas kortikal dan inflamasi neurogenik telah diteliti. Modulasi nyeri
yang tidak normal mungkin memiliki peran dalam transformasi. Berkurangnya
inhibisi nyeri oleh daerah descending pain modulatory pathway telah diteliti pada
migren kronik. Pada penderita migren, nyeri yang dicetuskan oleh aktivasi
fungsional dari daerah inhibisi nyeri pada brainstem dan hubungan fungsional
dari daerah modulasi nyeri pada brainstem merupakan hal yang tidak normal.
Telah dinyatakan bahwa serangan migren berulang dapat menyebabkan
sensitasi sistem trigeminal, yang menyebakan menurunnya ambang untuk
aktivasi sistem ini, serangan migren yang lebih sering dan transformasi menjadi
migren kronik. Hipereksitabilitas kortikal mungkin juga berperan terhadap
transformasi migren (Schwedt, 2014).

Universitas Sumatera Utara

23

Sensitisasi sentral berperan dalam proses kemajuan penyakit migren
sendiri. Sensitisasi sentral epidodik/ yamg berulang dihubungkan dengan
kerusakan neuronal permanen pada level atau dekat dengan PAG, dengan
akibat

kurangnya

modulasi

lemah

untuk

nyeri

dan

pengobatan

yang

refractoriness, oleh karena itu mempengaruhi progresivitas penyakit. Sensitisasi
sentral adalah juga suatu penanda/ marker progresivitas fungsional yang lebih
sering dijumpai pada migren kronik dibandingkan dengan migren episodik
(Sjahrir, 2008).
Pelepasan berlebihan neuropeptida vasoaktif seperti CGRP dan hasil
inflamasi neurogenik mungkin juga berperan dalam patofisiologi migren kronik.
Studi terkini menemukan peningkatan konsentrasi CGRP plasma pada penderita
migren selama fase interiktal dibandingkan dengan penderita tanpa migren.
Lebih jauh lagi konsentrasi CGRP lebih tinggi pada penderita migren kronik
dibandingkan penderita migren episodik (Schwedt, 2014).
Pada tension type headache kronis bukti eksperimental menunjukkan
bahwa sensitisasi sentral yaitu sifat eksitabilitas neuron yang ditingkatkan sistem
saraf pusat yang dihasilkan oleh input nociceptive yang lama masuk dari jaringan
pericranial myofascial memainkan peranan penting dalam patofisiologinya.
Penemuan neurotransmitter dan neuromodulator seperti nitric oxide (NO),
calcitonin gene related peptide (CGRP), substance P (SP), neuropeptide Y (NPY)
& vasoactive intestinal polypeptide (VIP) yang dilibatkan pada proses nyeri
menyediakan pemahaman baru biologi dari nyeri kepala kronis (Sjahrir, 2008).
Banyak laporan penelitian mengenai metabolisme dan kadar serotonin
pada TTH, yang mendapatkan hasil berbeda-beda secara tidak konsisten. Akan

Universitas Sumatera Utara

24

tetapi pada uptake akan berkurang dan terdapat peninggian kadar platelet 5-HT
dan plasma 5-HT. Sedangkan pada CTTH didapati kadar platelet 5-HT maupun
plasma 5-HT adalah normal atau menurun (Sjahrir, 2008).
Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) adalah neurotransmitter yang
tersebar luas dan mempunyai peran yang kompleks dan penting dalam proses
modulasi nyeri yaitu sebagai antinociceptive pathway ascending maupun
descending dari brainstem ke medulla spinalis. Efek anti nosiseptive dari 5-HT
dimediasi oleh beberapa macam subtype reseptor 5HT1, 5HT2, 5HT3 yang
diikuti dengan peninggian sensitivitas nyeri pada CTTH. Reseptor serotonin juga
berperan penting pada sistem trigeminovaskular (Sjahrir, 2008).
II.3. FATIGUE
II.3.1. Definisi
Fatigue dapat didefinisikan sebagai suatu hilangnya kemampuan untuk
menghasilkan tenaga maksimal yang terjadi secara progresif selama (atau
mengikuti) kontraksi otot yang berulang ataupun terus-menerus atau hilangnya
kemampuan menghasilkan tenaga selama melakukan suatu aktivitas (Davis dkk,
2010).

II.3.2. Klasifikasi
Fatigue dapat diklasifikasikan atas fatigue sekunder, fisiologis atau
kronik. Fatigue sekunder disebabkan oleh suatu kondisi medis yang
mendasarinya dan dapat berlangsung selama 1 bulan atau lebih, tetapi
secara umum berlangsung kurang dari 6 bulan. Fatigue fisiologis
merupakan suatu ketidakseimbangan dalam exercise, tidur, diet maupun

Universitas Sumatera Utara

25

aktivitas lainnya yang rutin dilakukan, yang tidak disebabkan oleh suatu
kondisi medis tertentu serta membaik dengan beristirahat. Fatigue kronik
berlangsung > 6 bulan dan tidak membaik dengan beristirahat (Rosenthal
dkk, 2008).
II.3.3. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari fatigue dapat berasal dari sentral maupun
perifer. Fatigue perifer berkaitan dengan sejumlah perubahan fisiologis dan
biokimiawi yang terjadi pada sistem muskular sedangkan fatigue sentral terjadi di
bawah pengaruh sejumlah proses metabolik dan kimiawi pada berbagai struktur
SSP (Davis dkk, 2010; Klich, 2013).
Menurut beberapa peneliti, fatigue perifer disebabkan oleh berkurangnya
jumlah glikogen dan phosphocreatinine otot, peningkatan konsentrasi asam laktat
dan ion hydrogen dalam otot, anoksia otot skeletal aktif, hambatan aliran vena,
peningkatan suhu tubuh, menurunnya eksitabilitas dan potensial membran
istirahat dan gangguan mekanisme kontraksi serabut otot (gangguan pompa
kalsium pada retikulum endoplasma) (Klich, 2013).
Sedangkan fatigue sentral disebabkan oleh gangguan produksi hormon
dan neurotransmitter, perubahan respon humoral, beberapa eksploitasi substrat
energi atau berkurangnya eksitabilitas struktur SSP yang non spesifik. Hipotesis
yang dihasilkan pada tahun 1986 mengasumsikan bahwa sintesa dan
metabolisme 5-HT (serotonin), dopamin, noradrenalin merupakan faktor utama
yang terlibat selama penggunaan tenaga yang lama (Klich, 2013).

Universitas Sumatera Utara

26

Serotonin merupakan suatu neurotransmitter utama yang bertanggung
jawab untuk banyak fungsi behaviour dan somatik yang berkaitan dengan mood,
nafsu makan, tidur, ansietas dan regulasi endokrin. Pada saat yang bersamaan,
gangguan homeostasis yang dihasilkan dari kekurangan serotonin menyebabkan
gangguan mood, depresi dan berkurangnya nafsu makan. Disamping itu,
konsentrasi serotonin yang terlalu tinggi khususnya pada SSP menyebabkan
berkembangnya proses fatigue (Klich, 2013).
Fatigue sentral dapat disebabkan oleh keadaan di proksimal dan
termasuk di neuromuscular junction serta terbagi atas spinal dan supraspinal.
Fatigue sentral dapat berasal dari korteks serebri (melalui kerusakan kendali
descending ataupun berkurangnya motivasi). Fatigue sentral ini juga dapat terjadi
pada medulla spinalis (kerusakan letupan pada alpha motor neuron atau
kecepatan recruitment yang suboptimal untuk menghasilkan tenaga otot yang
sesuai). Fatigue perifer berasal dari otot dan biasanya melibatkan bioenergetika
ataupun kontraksi eksitasi otot (Davis dkk, 2010).
II.3.4. Fatigue Severity Scale
Fatigue Severity Scale (FSS) merupakan suatu kuesioner yang digunakan
untuk menilai tingkat keparahan fatigue, khususnya pada berbagai gagguan
medis dan neurologis. Kuesioner ini terdiri dari 9 item pernyataan yang berkaitan
dengan gejala fatigue dan responden yang dinilai, misalnya: bagaimana fatigue
mempengaruhi

motivasi,

olah

raga,

fungsi

fisik,

melaksanakan

tugas,

menganggu pekerjaan, keluarga ataupun kehidupan sosial, dimana responnya
dinilai dengan skala angka 1 sampai 7. Rentang skor yang diperoleh dari 1-7.
Respon pada kuesioner ini mulai angka 1 yang menyatakan “ sangat tidak setuju

Universitas Sumatera Utara

27

” sampai angka 7 yang menyatakan “ sangat setuju.“ Skor total dinilai dari ratarata semua subskor. Dimana skor tersebut diperoleh dari jumlah skor
keseluruhan dibagi dengan jumlah item pertanyaan.(Peres dkk, 2002; Seidel dkk,
2009)
Fatigue Severity Scale terdiri dari sembilan item dengan 7 poin dengan
format jawaban masing-masing angka adalah: (tidak pernah = 1, jarang = 2-3,
sesekali = 4, sering = 5-6, selalu = 7). Total skor adalah dinyatakan dengan ratarata semua subscores (Seidel S dkk, 2009).
Berdasarkan studi sebelumnya, dikatakan sebagai fatigue adalah bila
skor FSS adalah ≥ 5 dan dikatakan tidak fatigue adalah jika ≤ 4 dan skor antara
4,1 dan 4,9 dianggap meragukan (Tellez N dkk, 2005).
II.4. NYERI
II.4.1. Definisi
Nyeri adalah suatu rasa tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
disertai kerusakan jaringan potensial atau akut, atau digambarkan sebagai akibat
dari kerusakan yang terjadi. (Suryamiharja A dkk, 2011)
II.4.2. Epidemiologi
Hampir 20% terjadi pada populasi dewasa, terutama pada wanita dan
usia tua menderita nyeri kronik. Pertahunnya diperkirakan bahwa biaya yang
diperlukan untuk kasus nyeri kronik di Eropa adalah 200 milyar Euro dan di
Amerika diperkirakan lebih dari 150 milyar dolar AS (Tracey dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara

28

Dari hasil penelitian multisenter di unit rawat jalan di 14 rumah sakit
pendidikan seluruh Indonesia yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (POKDI Nyeri PERDOSSI) pada
bulan Mei 2002, didapatkan 4456 kasus nyeri yang merupakan 25% dari total
dari kunjungan pada bulan tersebut (Meliala KRTL, 2004).
II.4.3. Klasifikasi Nyeri
A. Nyeri Fisiologik
Nyeri fisiologik jarang membawa pasien ke dokter, oleh karena
nyeri mudah hilang dengan analgetik yang ringan atau tanpa
pengobatan. Timbulnya nyeri disebabkan adanya impuls noksius
ringan san singkat, misalnya gigitan nyamuk. Ciri khas nyeri fisiologis
adalah adanya korelasi antara kekuatan stimulus yang dapat diukur
dari discharge yang dihantarkan oleh nosiseptor dengan persepsi
nyeri atau subjektif nyeri (Meliala KRTL, 2004; Wolf CJ, 2004).
B. Nyeri Inflamasi
Pengalaman sensori pada nyeri akut yang diakibatkan oleh
stimulus noksius dimediasi oleh sistem nosiseptif. Sistem ini
mamanjang dari perifer hingga ke medulla spinalis, batang otak dan
talamus dan akhirnya diproyeksikan ke korteks serebri. Nyeri inflamasi
ditransmisikan melalui saraf dan pathways yang normal seperti pada
nyeri nosiseptif.

Meskipun begitu,

derajat kerusakan jaringan

mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi akut dan kronik yang
berpotensi menimbulkan nyeri, menurunkan ambang konduksi dan
sensitisasi sistem saraf pusat terhadap stimulus yang datang. Nyeri

Universitas Sumatera Utara

29

inflamasi biasanya berkurang dengan respon inflamasi dan kerusakan
yang mengalami penyembuhan (Vonroenn JH dkk, 2006).
C. Nyeri Neuropatik
Tipe nyeri ini disebabkan lesi jaringan baik perifer atau sentral.
Ciri khas nyeri ini dimana nyeri bisa muncul walaupun kerusakan
jaringan sudah sembuh ataupun tanpa kerusakan jaringan seperti
pada neuropatik diabetik. (Vonroenn JH dkk, 2006)
D. Nyeri Psikogenik atau Idiopatik
Nyeri Psikogenik ditegakkan bila dalam berbagai pemeriksaan
fisik diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan somatik yang objektif
sebagai penyebab nyeri. Nyeri ini umumnya memiliki komponen
kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Nyeri
ini berhubungan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan
otonom yang disebut sebagai pengalaman nyeri. (Meliala KRTL,
2004). Menurut Wolf CJ 2004 terdapat 4 Tipe Nyeri Primer (Gambar
1).
II.4.4. Mekanisme Nyeri
Berbagai mekanisme yang mendasari timbulnya nyeri telah ditemukan,
mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip,
sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural dan penurunan
inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif, nosiseptif merupakan mekanisme utama
munculnya nyeri yang diikuti oleh proses transduksi, transmisi dan persepsi.
Transduksi merupakan konversi stimulus noksius termal, mekanik atau kimia

Universitas Sumatera Utara

30

menjadi aktifitas listrik pada akhiran serabut sensorik yang spesifik. Konduksi
merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf perifer ke sepanjang
akson menuju akhiran nosiseptor di sistem saraf pusat dan transmisi merupakan
bentuk transfer sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya. Eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural dan penurunan inhibisi merupakan mekanisme yang khas
untuk nyeri neuropatik, semantara sensitisasi perifer terjadi pada nyeri inflamasi
dan sebagian bentuk nyeri neuropatik. Sensitisasi sentral terjadi pada kasus
nyeri inflamasi, nyeri neuropatik dan nyeri fungsional. Pemahaman mekanisme
yang mendasari nyeri khususnya nyeri kronik sangat penting, karena terapi yang
diberikan berdasarkan mekanisme penyakit. (Wolf CJ, 2004).

Universitas Sumatera Utara

31

Gambar 1. Empat Tipe Nyeri Primer
Dikutip dari: Wolf CJ. 2004. Pain: Moving from Symptom Control towards
Mechanism-Spesific
Pharmacologic
Management.
Ann
Intern
Med;140:441-451

Universitas Sumatera Utara

32

II.4.5. Numeric Rating Scale
Numeric Rating Scale adalah skala yang umum digunakan untuk
mengukur klinis nyeri. Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri dengan
angka yang paling mewakili nyeri tersebut. Numeric Rating Scale mudah untuk
dilaksanakan secara lisan dalam pengaturan klinis. Pada penggunaan alat ini,
petugas kesehatan menanyakan kepada pasien untuk mengukur tingkatan
intensitas nyeri mereka dengan skala angka dengan rentang 0 (tidak ada nyeri)
dan 10 (nyeri yang sangat berat). Berdasarkan kajian dan praktek klinis
sebelumnya, telah dikategorikan skrining nyeri pada nilai NRS sebagai berikut:
ringan (1-3), sedang (4-6), atau berat (7- 10) (Breivik H dkk, 2008 ; Bijur PE dkk,
2003)

II.5. DEPRESI
II.5.1. Definisi
Depresi

merupakan

suatu

gangguan

kesehatan

mental

yang

dikarakteristikkan oleh hilangnya afek positif (hilangnya minat dan kesenangan
dalam melakukan kegiatan dan pengalaman sehari-hari), mood yang menurun
dan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan gejala emosional, kognitif, fisik
dan behaviour (NCCMH, 2010).
Menurut DSM IV-TR eposode depresi mayor harus terjadi minimal selama
2 minggu dan diagnosa episode depresi mayor memerlukan minimal 4 gejala dari
yang termasuk berikut ini: perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan
aktivitas dan tidur, kurangnya energi, perasaan bersalah, gangguan dalam

Universitas Sumatera Utara

33

berpikir dan membuat keputusan, dan adanya ide/pikiran untuk mati atau bunuh
diri (Sadock dkk, 2007).
II.5.2. Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur
hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai depresi berat hingga 25%.
Sekitar 10 persen di perawatan primer dan 15 persen dirawat di Rumah Sakit.
Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 persen. Pada usia remaja
didapatkan prevalensi 5 persen dari komunitas yang memiliki gangguan depresi
berat (Ismail dan Siste, 2010).
II.5.3. Etiologi
Etiologi depresi dapat berupa faktor organobiologi, faktor kepribadian,
faktor psikodinamik, faktor psikososial dan faktor genetik (Ismail dan Siste, 2010;
Barroso, 2003).
II.5.4. Tanda dan Gejala
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah
gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak
mempunyai harapan, dicampakkan atau tidak berharga. Pikiran untuk melakukan
bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien depresi, dan 10 sampai
15 persen diantaranya melakukan bunuh diri. Beberapa pasien depresi
terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang
gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas
yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97
persen) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami

Universitas Sumatera Utara

34

kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami kendala di sekolah dan pekerjaan,
dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80 persen
pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari (insomnia) dan
sering terbangun di malam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi.
Kebanyakan pasien mengalami perubahan pada nafsu makan dan berat badan
(Ismail dan Siste, 2010).
II.5.5. Patofisiologi
Banyak studi yang telah melaporkan adanya abnormalitas biologis pada
penderita dengan gangguan mood yang termasuk depresi. Sampai saat ini
neurotransmiter monoamine seperti norepinephrine, dopamine dan serotonin
merupakan fokus utama dari teori-teori dan penelitian mengenai etiologi
gangguan ini (Sadock dkk, 2007).
Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan
noradrenalin yang terdapat di otaknya. Serotonin dan norepinephrine adalah
neurotransmitter yang berperan dalam proses nyeri maupun depresi, dimana
yang mengurus mood dan depresi terletak di korteks prefrontal dan sistem limbik.
Modulasi efek serotonin di otak menunjukkan efek impulsif, modulasi sexual
behaviour, appetite dan agresi. Sedangkan sistem norepinephrine menunjukkan
modulasi waspada, sosialisasi, energi dan motivasi. Jika keduanya bersaaman
maka akan memodulasi ansietas, iritabilitas, nyeri, mood, emosi dan fungsi
kognitif (Sjahrir, 2008).
Observasi dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa menurunnya
kadar 5-HT dapat menyebabkan perubahan persepsi emosional menyatakan
adanya suatu konsep mengenai bagaimana kadar 5-HT yang rendah dapat

Universitas Sumatera Utara

35

menyebabkan kerentanan terhadap depresi. Studi yang dilakukan oleh Harmer
menyatakan bahwa penderita depresi, 5-HT bekerja terhadap mood secara tidak
langsung dengan merubah bias dalam memproses informasi emosional.
Abnormalitas persisten dalam aktivitas 5 HT dapat dihubungkan dengan bias
negatif dalam proses emosional yang mencetuskan seseorang untuk mengalami
depresi (Cowen, 2008).
Depresi juga mempunyai korelasi positif dengan gangguan hipotalamus,
terbukti dengan adanya hipersekresi CRH (corticotrophin-releasing hormone).
Pelepasan CRH distimulir oleh norepinephrine dan asetilkolin. Di samping
adanya disfungsi serotonin dan norepinephrine, juga didapati disfungsi
hypothalamic-pituitary thyroid (HPT) axis, gangguan sekresi glukokortikoid,
aktivitas hypothalamic pituitary adrenal axis, kenaikan sintesa dan pelepasan
corticotropin releasing factor, disfungsi neurotransmitter glutamate, GABA, GH,
thyroid hormone (Sjahrir, 2008).
II.5.6. Beck Depression Inventory II
Beck Depression Inventory (BDI) II adalah instrumen yang dipublikasikan
oleh Beck, merupakan suatu pengukuran kuantitatif untuk simptom-simptom
depresi. Beck Depression Inventory (BDI) memiliki validitas yang baik dan dapat
digunakan pada populasi psikiatri dan non psikiatri (Conteras dkk, 2010).
Beck Depression Inventory (BDI) merupakan suatu daftar pertanyaan
yang dikembangkan untuk mengukut intensitas dan beratnya simptom-simptom
depresi. Terdiri dari 21 pertanyaan, masing-masing ditujukan untuk mengukur
simptom spesifik yang umum dijumpai pada orang dengan depresi. Pokok-pokok
dari

BDI

ini

mengukur

mood,

pesimisme,

perasaan

gagal,

perasaan

Universitas Sumatera Utara

36

ketidakpuasan, perasaan bersalah, penghukuman, perasaan benci akan diri
sendiri, pengkritikan terhadap diri sendiri, ide bunuh diri, menangis, iritabilitas,
penarikan diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam bekerja/ beraktivitas,
insomnia, fatigue, nafsu makan, kehilangan berat badan. Masing-masing dari 21
pertanyaan atau bagian ini memiliki 4 jawaban sebagai responsnya. Setiap
jawaban memiliki skor dari 0 hingga 3, dimana skor ini menunjukkan beratnya
simptom dan skor keseluruhan dijumlahkan dari jumlah respons dari masingmasing pertanyaan (Mercante J.P. dkk, 2005).
Dimana skor “0” menunjukkan tidak ada masalah dan skor “3”
menunjukkan masalah yang berat, dengan total skor keseluruhan mulai dari 0
sampai 63. Skor di bawah 13 menunjukkan tidak ada depresi, 14-20
menunjukkan depresi ringan, 21-30 menunjukkan depresi sedang, dan di atas 30
menunjukkan depresi berat (Bilgic dkk, 2011; Contreras dkk, 2010).
Beck Depression Inventory (BDI) ini memiliki kelebihan diantara
instrumen lainnya, dimana BDI ini membutuhkan waktu yang singkat, tidak
memerlukan orang yang terlatih, dan proses pelaksanaan dan sistem skoring
lebih terstandarisasi. Penelitian menunjukkan BDI memiliki reliabilitas dan
validitas yang baik sebagai skala depresi (Cusin dkk, 2009; Edwards dkk, 2001).

II.6. KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup menurut WHO didefinisikan sebagai persepsi individu dari
posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana

Universitas Sumatera Utara

37

mereka hidup dan kaitannya dengan tujuan, harapan, taraf/standar dan
kepentingan mereka (Kuyken dkk, 1995).
Untuk mengukur kualitas hidup maka

konsep kesehatan yang

berhubungan dengan kualitas hidup telah dikembangkan. Beberapa konsensus
ada yang menggambarkannya sebagai susunan beraneka ragam yang terdiri dari
domain fisik, psikologis, sosial dan fungsional dari kesehatan sebagai komponen
minimal yang akan dinilai dari pandangan pasien (Kuyken dkk, 1995).
II.6.1. World Health Organization Quality Of Life - BREF (WHOQOL-BREF)
World Health Organization Quality of Life - BREF merupakan instrumen
yang digunakan untuk menilai kualitas hidup yang terdiri dari 26 item yang
mengukur empat domain yang luas yaitu: kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
hubungan

sosial

dan

lingkungan.

Instrumen

WHOQOL-BREF

telah

dikembangkan secara kolaboratif disejumlah negara di seluruh dunia dan telah
digunakan di banyak bidang. (Skevington SM dkk, 2004).
Instrumen WHOQOL-BREF memiliki beberapa kekuatan terdiri dari item
kualitas hidup yang berkaitan dengan makna aspek kehidupan yang berbeda dari
responden dan bagaimana pengalaman kepuasan atau masalah mereka. Selain
itu, WHOQOL-BREF dapat menghasilkan profil dari nilai empat domain dalam
item yang relatif sedikit yaitu sebanyak 26 item. Kekuatan konseptual dan
metodologis dikombimasikan dengan sifat psikometri yang dapat dijelaskan
dengan baik menunjukkan bahwa WHOQOL-BREF memiliki tempat terkemuka di
antara instrumen kualitas hidup umum yang lainnya (Skevington SM dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

38

Domain fisik terdiri dari pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari,
ketergantungan pada obat-obatan dan pengobatan, energi dan kelelahan,
mobilitas, nyeri dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, dan kapasitas untuk
bekerja. Domain psikologis terdiri dari pertanyaan tentang perasaan positif dan
negatif, rasa percaya diri, gambaran tubuh dan gambar eksternal, keyakinan
pribadi, dan perhatian. Domain hubungan sosial terdiri dari pertanyaan tentang
hubungan dengan orang lain, dukungan sosial, dan kehidupan seks. Domain
lingkungan terdiri dari pertanyaan tentang lingkungan rumah, keamanan fisik
dan keselamatan, sumber keuangan, ketersediaan pelayanan kesehatan,
kegiatan rekreasi, lingkungan fisik, dan transportasi (Morgan I dkk, 2015).

II.7. HUBUNGAN ANTARA FATIGUE, NYERI DAN DEPRESI DENGAN
KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA PASKA STROKE
II.7.1. Hubungan antara Fatigue dengan Kualitas Hidup pada Penderita
Paska Stroke
Suatu penelitian prospektif kualitatif dari 11 pasien stroke hemisfer kanan
yang diwawancarai satu minggu, satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan setelah
stroke ditemukan bahwa semua pasien digambarkan mengalami fatigue.
Selanjutnya, fatigue adalah menjadi alasan utama untuk tidak melakukan
aktifitas. Penderita fatigue yang tidak beraktifitas menyatakan bahwa mereka
menjadi kurang berminat dan terdapat kecenderungan untuk mudah lelah yang
kemudian menjadi alasan utama untuk tidak beraktifitas. Sebaliknya, penilitian
yang lain menunjukkan bahwa fatigue setelah stroke tidak berhubungan dengan
pelaksanaan dalam aktifitas sehari-hari (Lerdal A dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

39

Fatigue yang terjadi paska stroke berhubungan signifikan dengan semua
aspek kualitas hidup baik bivariat dan multivariate. Ditemukan bahwa dengan
nilai fatigue yang lebih tinggi berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih
rendah. Pengaruh fatigue paska stroke tersebut dapat bebas dari status
perkawinan penderita stroke, jenis kelamin, usia, pekerjaan sebelum stroke,
stroke berulang atau stroke pertama kalinya. Tingkat hubungan antara fatigue
paska stroke dengan domain kualitas hidup bervariasi, kualitas hidup pada
domain fisik merupakan salah satu yang paling berat terkena dampak setelah
stroke mungkin dikarenakan adanya gangguan motorik dan keterbatasan
fungsional yang menyertai penyakit. Dampak dari fatigue paska stroke pada
domain fisik pada kualitas hidup biasanya muncul setelah dampaknya pada
kualitas hidup terhadap emosional. Bertentangan dengan pola yang diamati ini,
studi longitudinal menemukan hubungan kuat antara fatigue paska stroke dan
kesehatan fisik daripada antara fatigue paska stroke dan kesehatan mental.
Sementara pada satu studi cross-sectional juga mengobservasi adanya
hubungan yang lemah antara fatigue paska stroke dengan kesehatan fisik
(Onabajo GV dkk, 2014).
II.7.2. Hubungan antara Nyeri dengan Kualitas Hidup pada

Penderita

Paska Stroke
Pada penderita stroke, kualitas hidup dapat berubah karena konsekuensi
dari fungsional dan

kognitif

dari stroke dan gangguan mood. Hasil dari

penelitian jonsson dkk pada tahun 2006 menunjukkan bahwa rasa nyeri
mempengaruhi kualitas hidup pada penderita stroke, nyeri digambarkan sering
konstan dari waktu ke waktu dan mengganggu tidur pada setengah dari pasien.

Universitas Sumatera Utara

40

Sementara itu dijumpai sebanyak 25-50%

pasien paska stroke dengan rasa

nyeri yang kemudian ditemukan kualitas hidupnya berubah. Oleh karena itu
harus dilakukan evaluasi dan follow up dalam jangka waktu yang lama pada
pasien stroke yang mengalami nyeri (Jonsson dkk, 2006).
II.7.3. Hubungan antara Depresi dengan Kualitas Hidup pada

Penderita

Paska Stroke.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas hidup
sembilan bulan setelah stroke dan menemukan kualitas hidup yang rendah ini
pada beberapa domain. Dalam satu tahun follow up pada pasien di Cina,
ditemukan bahwa tidak ada perubahan kualitas hidup dalam domain fisik, tetapi
terdapat penurunan kualitas hidup pada domain lainnya dan ditemukan
peningkatan depresi. Depresi adalah suatu kondisi negatif yang signifikan
mempengaruhi kualitas hidup serta ditemukan bahwa depresi adalah prediktor
utama dari kualitas hidup satu tahun setelah stroke (Froes KS dkk, 2011).
Menurut penelitian Altindag dkk, 2008 mengatakan bahwa gejala depresi
umum ditemukan dan tingkat keparahan depresi dapat berhubungan dengan
status fungsional dan kualitas hidup yang buruk pada pasien paska stroke.
Dalam penelitian ini, 48,7% dari pasien stroke didiagnosa menderita depresi
berat. Depresi merupakan komplikasi umum psikiatrik dari stroke. Namun,
seringkali tidak diketahui dan tidak diobati. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa depresi yang tidak diobati setelah stroke akan menghambati proses
rehabilitasi, membahayakan kualitas hidup dan meningkatkan mortalitas.
Keberhasilan dalam pengobatan depresi akan dapat memfasilitasi pasien stroke
untuk mengikuti program rehabilitasi, hasil ini konsisten dengan penelitian

Universitas Sumatera Utara

41

sebelumnya. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nydevik I dkk,
1992 yang meneliti hubungan depresi dan kualitas hidup pada pasien depresi,
menurut penelitian mereka depresi tidak berhubungan dengan penurunan
kualitas hidup pasien. Penelitian oleh King RB pada tahun 1996

juga tidak

menemukan hubungan antara kepuasan dengan tingkat keparahan terjadinya
kelemahan pada pasien stroke.

II.8. HUBUNGAN ANTARA FATIGUE, NYERI DAN DEPRESI DENGAN
KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA NYERI KEPALA KRONIK
II.8.1. Hubungan antara Fatigue dengan Kualitas Hidup pada Penderita
Nyeri Kepala Kronik
Fatigue berhubungan dengan nyeri kepala yaitu terjadi pada 16-79%
penderita migren dan 21-65% penderita CTTH. Dalam suatu studi yang dilakukan
oleh Peres dkk (2002), sekitar 84,1% penderita migren kronik menunjukkan
peningkatan skor Fatigue Severity Scale (FSS) dan sekitar 2/3 penderita
memenuhi criteria Chronic Fatigue Syndrome (Peres dkk, 2002; Seidel S dkk,
2009).
Penurunan kualitas hidup pada pasien migren kronik tidak hanya
disebabkan oleh serangan migren itu sendiri, tetapi juga oleh adanya gangguan
penyerta seperti fatigue yang berlebihan dan mengantuk di siang hari yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderita migren. Penurunan pada domain
kesehatan fisik juga terjadi signifikan yang menyebabkan terjadinya nilai kualitas
hidup yang rendah (Seidel S dkk, 2009 ; Shaik MM dkk,2014).

Universitas Sumatera Utara

42

II.8.2. Hubungan antara Nyeri dengan Kualitas Hidup pada Penderita Nyeri
Kepala Kronik
Pada penelitian yang dilakukan Shaik M dkk (2014) dikatakan bahwa
skor nyeri secara signifikan lebih tinggi dijumpai pada kelompok migren dengan
disabilitas yang berat. Lamanya mengalami nyeri kepala dengan intensitas nyeri
yang berat sangat berpengaruh dengan terjadinya disabilitas yang lebih tinggi,
hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada populasi migren di Taiwan,
USA, Korea dan Italia. Tingkat keparahan dan tingkat nyeri kepala akibat
migren bisa menjadi penentu utama beban migrain. Disabilitas yang berat pada
pasien migren membutuhkan perawatan khusus karena mereka sering
mengalami nyeri akibat nyeri kepala. Faktor yang mungkin menyebabkan hal ini
adalah tidak terdiagnosisnya migren lebih awal dan. dikombinasikan dengan
lamanya

frekuensi

nyeri

kepala

migrain

yang

berat

secara

signifikan

berhubungan dengan nilai kualitas hidup pada domain kesehatan fisik yang lebih
rendah dan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan fisik di rumah dan di
tempat kerja. Namun, nilai pada domain kualitas hidup lainnya yaitu psikologis,
sosial dan lingkungan tidak berbeda secara signifikan (Shaik MM dkk, 2014).

II.8.3. Hubungan antara Depresi dengan Kualitas Hidup pada Penderita
Nyeri Kepala Kronik
Menurut penelitian Falagvina dkk, pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara nyeri kepala kronik dan depresi, dilaporkan dalam
literatur bahwa meskipun belum ada penjelasan logis yang menunjukkan
hubungan ini namun terbukti terdapat hubungan dua arah pasien nyeri kepala

Universitas Sumatera Utara

43

kronik dengan peluang lebih tinggi terkena depresi. Ada beberapa temuan
molekuler yang telah dilaporkan dalam hubungan migren dan depresi. Gangguan
sebagian besar yang berhubungan dengan rendahnya tingkat serotonin adalah
depresi Ternyata, serotonin juga terlibat sebagai neurotransmitter pada migraine.
Aksi serotonin dimediasi oleh reseptor 5HT1A yang terdapat dalam jumlah besar
di hippocampus. Perubahan yang ditemukan pada reseptor ini selama proses
modulasi nyeri dan antara serangan migrain menyebabkan hipotesis bahwa
migrain terlibat dengan terjadinya jumlah serotonin yang rendah.
Migren kronik dapat menyebabkan peningkatan terjadinya nilai kualitas
hidup yang rendah pada semua domain kualitas hidup terutama pada depresi
dibandingkan dengan yang tidak mengalami migren, sehingga identifikasi awal
dan pengobatan yang tepat pada migren dapat secara signifikan meningkatkan
kualitas hidup (Morgan I dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

44

II.9. Kerangka Teori
NYERI KEPALA KRONIK

PASKA STROKE

KRONIK

Fatigue

Fatigue  alasan utama untuk
tidak melakukan aktifitas &
kecenderungan untuk mudah
lelah yang menjadi alasan
utama untuk tdk beritaktifitas.
Sebaliknya , penilitian yg lain
fatigue setelah stroke  tdk
berhbgan dengan pelaksanaan
dalam aktifitas sehari-hari.
(Lerdal A dkk, 2009).
Fatigue paska stroke 
berhubungan signifikan dengan
semua aspek kualitas hidup
baik bivariat dan multivariat
dengan nilai fatigue yang lebih
tinggi berhubungan dengan
kualitas hidup yang
lebih
rendah. (Onabajo GV dkk,

Nyeri

Jonsson dkk (2006) 
rasa nyeri mempengaruhi
kualitas hidup pada
penderita stroke & 2550% pasien dgn nyeri
dapat mengubah kualitas
hidup pada penderita
paska stroke, sehingga
perlu dilakukan evaluasi
dan follow up dalam
jangka waktu yang lama.

Fatigue

Depresi

Depresi  suatu kondisi
negatif yg signifikan
mempengaruhi kualitas
hidup serta ditemukan
bahwa depresi adalah
prediktor utama pada
kualitas hidup satu tahun
setelah stroke (Froes KS
dkk, 2011)

Fatigue  berhubungan
dengan nyeri kepala
yaitu pada 16-79%
penderita migren & 2165% penderita CTTH.
Dalam suatu studi yang
dilakukan oleh Peres dkk
(2002), sekitar 84,1%
penderita migren kronik
menunjukkan pe↑ skor
Fatigue Severity Scale.

Menurut
penelitian
Altindag dkk (2008) 
gejala depresi adalah
umum
terjadi
pada
pasien stroke dan tingkat
keparahan depresi dapat

Pe ↓ kualitas hidup pada
pasien migren kronik 
tidak hanya disebabkan
oleh serangan migren itu
sendiri, tetapi juga oleh
adanya gguan penyerta
seperti fatigue yang
berlebihan (Seidel S dkk,
2009;Shaik MM
dkk,

Nyeri

Pada penelitian yang
dilakukan Shaik M dkk
(2014) nilai nyeri
secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok
migren dgn disabilitas
yang berat. Nilai kualitas
hidup
pd
domain
kesehatan fisik dijumpai
lbh rendah shg kegiatan
fisik di rumah dan di
tempat kerja menjadi
terganggu. Namun, nilai
pd domain kualitas
hidup
lainnya yaitu
psikologis, sosial dan
lingkungan tdk berbeda
secara signifikan. (Shaik

Depresi

Menurut Falagvina
dkk, 2013 ada
hbgan antara nyeri
kepala kronik dan
depresi.
Migren
kronik menyebabkan
terjadinya
kualitas
hidup yang buruk
pada semua domain
kualitas hdp terutama
dengan depresi

KUALITAS HIDUP
Universitas Sumatera Utara

45

II.10. Kerangka Konsep

Fatigue

PASKA
STROKE

Nyeri

Depresi

KUALITAS
Fatigue

NYERI
KEPALA
KRONIK

HIDUP

Nyeri

Depresi

Universitas Sumatera Utara