Aktivitas Nefroprotektif Ekstrak Etanol Temu Mangga (Curcuma mangga Val) Pada Mencit Jantan yang Diinduksi Parasetamol

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
Temu mangga merupakan tanaman asli daerah Indo-Malesian yaitu di
daerah tropis dan subtropis India. Pada umumnya temu mangga tumbuh di India,
Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Jawa. Tanaman ini lebih dikenal dengan
sebutan kunir mangga karena memiliki bau mangga yang khas pada potongan
rimpangnya (Ibrahim, dkk., 1999).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan temu mangga menurut Hutapea (1993) adalah
sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi: Spermatophyta, Sub divisi:
Angiospermae, Kelas : Monocotyledoneae, Bangsa :

Zingiberales,

Suku

:

Zingiberaceae, Marga : Curcuma, Jenis : Curcuma mangga Val. Et Zijp.

2.1.2 Nama Daerah
Sunda : Koneng joho, Madura: Temu pao (Hariana, 2008)
2.1.3 Nama Asing
Inggris : Mango ginger (Aggarwal, 2007)
2.1.4 Morfologi Tumbuhan
Tanaman temu mangga merupakan golongan semak-semak mempunyai
tinggi 1-2 m. Batang di dalam tanah membentuk rimpang hijau. Daunnya tunggal,
pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Akar serabut berwarna putih (Hutapea,
1993). Rimpangnya berasa manis, agak sedikit pahit, dan beraroma mangga segar
atau kweni. Kulit rimpang berwarna putih kekuningan pada kondisi segar dan

67
Universitas Sumatera Utara

menjadi kuning pada kondisi kering. Daging rimpang berwarna kuning muda
dengan aroma yang harum seperti buah mangga kweni (Sudewo, 2004).
2.1.5 Kandungan Kimia
Rimpang dan daun Curcuma mangga mengandung saponin dan flavonoid,
disamping itu daunnya juga mengandung polifenol (Hutapea, 1993). Temu
mangga juga mengandung senyawa antioksidan alamiah, yaitu kurkuminoid

(Sudewo, 2004). Minyak atsiri, tanin, amilum, gula dan dammar (Darwis, dkk.,
1991). Minyak atsiri temu mangga adalah golongan monoterpen hidrokarbon
terdiri dari 4 komponen utama yang teridentifikasi sebagai mirsen (78,6%), βosimen (5,1%), β-pinen (3,7%), dan α-pinen (2,9%) (Wong, dkk., 1999), dan
senyawa yang memberikan aroma seperti mangga adalah δ-3-karen dan (Z)-βosimen (Hernani dan Suhirman, 2001).
2.1.6 Kurkuminoid
Kurkuminoid adalah senyawa dari rimpang tanaman famili Zingiberaceae,
termasuk tanaman temu mangga, yang merupakan golongan polifenol, terdiri dari
tiga analog aktif yaitu: kurkumin, demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin
(Paige, dkk., 2009; Sharma, dkk., 2005). Kandungan utama dari kurkuminoid
adalah kurkumin yang berwarna kuning. Kandungan kurkumin dalam rimpang
temu-temuan berkisar 2-8% (Milobedzka, dkk., 1910; Tayyem, dkk., 2006).
Kurkuminoid tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti
DMSO (Dimetilsulfoksida), etanol, metanol, dan aseton (Goel, dkk., 2007;
Revathy, dkk., 2011). Temu mangga memiliki komposisi kurkumin 6,2%,
demetoksi-kurkumin 2,3% dan bisdemetoksikurkumin 3,0% (Susmiati, 2010).
Struktur analog kurkumin tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1

68
Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1 Struktur Kurkuminoid (Aggarwal, 2007)
Kurkumin akan terdegradasi oleh sinar ultra violet, temperatur tinggi, dan
oksidasi. Oleh sebab itu pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari
perlu diperhatikan, agar efikasi kurkumin tetap terjamin (Revathy, dkk., 2011). Di
dalam tubuh kurkumin diabsorpsi ke dalam darah, dengan cepat dimetabolisme di
dalam hati dan disekresi bersama kotoran (Bermawie, dkk., 2008).
2.1.7 Penelitian Terkait dan Khasiat
Berdasarkan beberapa penelitan yang menggunakan temu mangga. Temu
mangga memiliki aktivitas antidibetes (Hendrikos, 2014), adanya efek antioksidan
dan komoprevensi (pencegah kanker) dari temu mangga ditinjau dari aktiitas
glutathione-S-transferase

(GST)

secara

in

vitro


(Tedjo,

dkk.,

2005),

antihiperlipidemia (Silvia, 2008), antikanker (Yuandani, 2011). Temu mangga
berkhasiat sebagai penerun panas (antipiretik), penangkal racun (antitoksik),
pencahar (laksatif), dan antioksidan. Khasiat lainnya untuk mengatasi sakit perut,
mengecilkan rahim setelah melahirkan, mengurangi lemak perut, menambah nafsu
makan, gatal-gatal (pruritis), luka, sesak nafas (asma), radang saluran napas
(bronkitis), demam, kembung, dan masuk angin (Hariana, 2008; Rukmana, 2004).

69
Universitas Sumatera Utara

2.1.8 Mekanisme Antioksidan Kurkumin
Beberapa penelitian melaporkan mekanisme kerja kurkumin sebagai
antioksidan yaitu menekan stres oksidatif, meningkatkan aktivitas enzim GSH dan
gluthation peroksidase (Venkatesan, 2000)


meningkatkan enzim GST-ase

(Glutathion-S-Transferase) yang akan meningkatkan ekskresi dari metabolit
toksik parasetamol (Susan, 1992). Hasil penelitian Cekmen, dkk (2009)
melaporkan bahwa kurkumin juga meningkatkan enzim katalase dan superoksid
dismutase (SOD).

2.2 Parasetamol
Dosis oral parasetamol sebesar 325-1000 mg (secara rektal 650 mg), dan
dosis total harian tidak melebihi 4000 mg (Goodman dan Gilman, 2006). Menurut
Food and Drug Administration (FDA), dosis aman penggunaan parasetamol untuk
dewasa dan anak yang lebih dari 12 tahun adalah maksimal 4 gram/hari.
Konsumsi parasetamol dosis toksik sebesar 15 gram akan menyebabkan
kerusakan hati dan kerusakan hati ini akan diiringi kerusakan organ lain, salah
satunya adalah ginjal berupa nekrosis tubulus akut (Rini, dkk., 2013).
2.2.1 Farmakokinetik
Parasetamol dimetabolisme oleh hati melalui tiga cara, yaitu konjugasi
glukuronida, konjugasi sulfat, dan oksidasi mikrosomal (Blakely dan McDonald,
1995). Dengan dosis terapi pada orang dewasa, metabolisme melalui

glukuronidasi terjadi sekitar 63% dan sekitar 34% melalui sulfasi, yang tidak aktif
secara farmakologis (Katzung, 2006; Mazer dan Perrone, 2008).

70
Universitas Sumatera Utara

Reaksi tahap kedua terjadi juga melalui hepar. Sekitar 5% parasetamol
dosis terapi akan dioksidasi oleh enzim mikrosom P-450 menjadi reaksi
intermediet yang sangat reaktif, N-asetil-p-benzoquinone imine (NAPQI)
(Goodman dan Gilman, 2006; Mazer dan Perone, 2008). Hasil metabolit tersebut
akan direduksi oleh glutation dan diekskresikan sebagai asam merkapturik.
Hanya 1 % dari obat yang diekskresi diubah dalam bentuk urin. Sekitar
90-100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama pada dosis
terapeutik, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukoronat, asam
sulfat atau sistein, sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan deasetilasi juga
telah terdeteksi (Goodman dan Gilman, 2006). Proses metabolisme parasetamol
ini dijelaskan oleh Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Jalur Metabolisme Parasetamol (Medscape, 2005)


71
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Efek Nefrotoksik
Efek toksik parasetamol terhadap ginjal dapat terjadi melalui mekanisme
berikut:
a. Jalur sitokrom P-450
Efek ini berasal dari sintesis reaksi intermediet N-asetil-p-benzoquinone
imine (NAPQI) oleh sitokrom P-450. Saat overdosis parasetamol, simpanan
glukuronida dan sulfat di hati yang terbatas terpakai dengan cepat sehingga
produksi NAPQI berlebihan (Gunawan, dkk., 2009; Mazer dan Perone,
2008). Metabolit ini direduksi oleh glutation sampai simpanan glutation
seluler berkurang sehingga akan mengikat sitosol protein di jaringan (Blakely
dan McDonald, 1995). Hal ini mengganggu proses homeostasis dan enzim
lysosomal yang melakukan apoptosis sehingga terjadi nekrosis jaringan yang
berakhir dengan disfungsi organ (Mazer dan Perone, 2008). Enzim mikrosom
P-450 yang terlibat dalam proses ini ditemukan di hati dan ginjal, meskipun
agak berbeda di setiap organ. Tingkat keparahan kerusakan ginjal dan
kuantitas dari reaksi di jaringan dapat berkurang secara signifikan bila
inhibitor dari sitokrom P-450 tersedia (Mazer dan Perone, 2008).

b. Prostaglandin
Kerusakan ginjal terjadi akibat efek inhibisi sintesis prostaglandin (PGE2)
oleh parasetamol. Prostaglandin berfungsi untuk mempertahankan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, khususnya pada keadaan kekurangan
cairan, dengan cara vasodilatasi dan menurunkan resistensi pembuluh darah
preglomerular.
vasokonstriksi

Penghambatan
sehingga

laju

sintesis

prostaglandin

filtrasi glomerulus

menyebabkan


menurun.

Hal

ini

72
Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan iskemia reversibel ginjal, penurunan tekanan hidrolik ginjal
(faktor pendorong utama untuk filtrasi glomerulus) dan gagal ginjal akut
(Rose, 2001).
Selain inhibisi sintesis prostaglandin (PGE2), mekanisme potensial lainnya
berkaitan dengan prostaglandin endoperoxide synthetase (PGES), walaupun
efeknya lebih subtansial pada kejadian kronik daripada kejadian akut. PGES
merupakan sebuah enzim pada ginjal yang mengaktifkan parasetamol
menjadi metabolit toksik, yaitu NAPQI. Proses ini banyak terjadi di medula
ginjal, sedangkan sitokrom P-450 memainkan peran yang lebih penting di
korteks ginjal (Mazer dan Perrone, 2008). Titik akhir kedua jalur tetap sama,

yaitu pembentukan metabolit toksik, kovalen mengikat protein seluler, diikuti
dengan kematian sel dan nekrosis jaringan.
c. Enzim N-deacetylase
Enzim ini bekerja pada parasetamol atau NAPQI dengan melakukan
deasetilasi substrat untuk p-aminophenol dan dikonversi menjadi radikal
bebas yang dapat berikatan dengan protein seluler (Mazer dan Perrone, 2008).
Proses ini mungkin terjadi bersama sistem enzim sitokrom P-450 dan telah
diteliti pada hewan.
Insufisiensi ginjal menunjukkan gejala berupa peningkatan BUN, serum
kreatinin dan serum potasium, penurunan jumlah urin dan berat badan (Ejaz,
2004). Hal tersebut terjadi antara 1 hingga 8 hari, walaupun sebagian besar kasus
melaporkan antara 2 hingga 5 hari setelah paparan. Serum kreatinin cenderung
meningkat pada 7 hari setelah paparan dengan jarak 3-16 hari (Mazer dan Perrone,
2008).

73
Universitas Sumatera Utara

2.3 Ginjal
2.3.1 Anatomi Ginjal

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm,
lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak
berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke
kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk merupakan
tanda yang penting, karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah
perubahan struktur dari ginjal tersebut (Price dan Wilson, 2006).
2.3.1.1 Struktur Makroskopis Ginjal
Lapisan kapsul ginjal terdiri atas lapisan fibrous bagian dalam dan bagian
luar. Bagian dalam memperlihatkan anatomis dari ginjal. Pembuluh-pembuluh
darah ginjal dan drainase ureter melewati hilus dan cabang sinus renal. Bagian
luar merupakan lapisan tipis yang menutup ginjal dan menstabilkan struktur
ginjal. Korteks ginjal merupakan lapisan bagian luar dan bersentuhan dengan
kapsul ginjal. Medula terdiri atas 6-18 piramid ginjal. Bagian dasar piramid
bersambungan dengan korteks dan diantara piramid dipisahkan oleh jaringan
kotrikal yang disebut kolum ginjal (Muttaqin dan Sari, 2011).

Gambar 2.3 Struktur Makroskopis (Medscape, 2013)

74
Universitas Sumatera Utara

2.3.1.2 Stuktur Mikroskopis Ginjal
1. Nefron
Nefron merupakan unit dasar dari ginjal. Setiap ginjal memiliki 400.000800.000 nefron walupun jumlah ini terus berkurang seiring usia. (O’Callaghan,
2007). Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu secara bertahap
jumlah nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap tahun (Muttaqin
dan Sari, 2011).
2. Glomerulus
Glomerulus merupakan suatu bola kapiler yang dikelilingi oleh kapsula
bowman, kumpulan epitel tubulus berbentuk kapsul cekung dimana urin difiltrasi.
Glomerulus juga mengandung sel mesangial, yang merupakan penggantung
bentuk mengangga lengkung kapiler dan memiliki kemampuan kontraktil dan
fagositosik (O’Callaghan, 2007). Laju filtrasi glomerulus dipengaruhi oleh
tekanan arteri renalis, namun hubungannya tidak linear (George dan Nielson,
2013).
3. Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal awalnya melengkung lalu lurus dan kemudian menjadi
ansa henle. Sel tubulus merupakan sel epitel kolumnar yang tinggi dengan banyak
mikrovilli, permukaan yang luas dan asparatus endositik luminal yang
berkembang biak. Pada tubulus ini zat-zat seperti natrium, kalium, kalsium, fosfat,
glukosa, asam amino dan direabsorbsi aktif (O’Callaghan, 2007). Tubulus ini
sendiri memiliki peran dalam menreabsopsi sekitar 60% dari NaCl yang tersaring
dari air, dan sekitar 90% bikarbonat yang tersaring dalam sebagiaan besar nutrien
penting seperti misalnya glukosa dan asam amino (George dan Neilson, 2013).

75
Universitas Sumatera Utara

4. Ansa Henle
Ansa henle yang merupakan terusan dari tubulus proksimal memiliki
bentuk sel yang lebih gepeng dengan sedikit mikrovilli. Struktur berlanjut menjadi
segmen asendens tipis, kemudian asendens tebal yang sebagian besar selnya
kuboid dan bergerak menuju glomerulus dan berakhir di macula densa
(O’Callaghan, 2007). Ansa henle berperan dalam mereabsorpsi 15-25% NaCl
pada asendens tebal dan memekatkan urin, selain itu ansa henle juga menjadi
tempat kerja sebagian besar obat diuretik paling poten dan berkontribusi dalam
mereabsorpsi ion kalsium dan magnesium (George dan Neilson, 2013).
5. Asparatus Jukstaglomerular
Asparatus jukstaglomerular merupakan struktur yang terdiri dari tiga jenis
sel utama yaitu: sekumpulan sel yang disebut macula densa, sel mesangial
ektraglomerulus dan sel granular. Sel granular terdapat pada dinding arteriol
aferen dan menghasilkan renin (O’ Callaghan, 2007).
6. Tubulus Distal
Setelah macula densa, terdapat tubulus kontortus distal yang mereabsorbsi
5% NaCl yang tersaring (George, Neilson, 2013). Saluran ini bermuara ke tubulus
kolektivus. Duktus kolektivus terdiri dari tiga bagian yang dinamakan berdasarkan
kedalamannya pada ginjal yaitu duktus kolektivus kortikal, duktus kolektivus
medular luar, dan duktus kolektivus medular dalam. Duktus kolektivus medular
dalam mengalirkan ke duktus papilaris, yang berhubungan ke papila ginjal lalu ke
kalik mayor (O’ Callaghan, 2007).

76
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Struktur Mikroskopis Ginjal (Medscape, 2012)
2.3.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah
berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting ekskresi produk sisa
metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang
sesuai dan sekresi berbagai hormon autokoid (Robbins dan Kummar, 2004).
Darah yang membawa sisa–sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di
dalam glomeruli kemudian di tublus ginjal, beberapa zat masih diperlukan tubuh
untuk mengalami reabsorbsi dan zat–zat hasil sisa metabolisme mengalami
sekresi bersama air membentuk urin. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan
tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghaslkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk
di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalis ginjal untuk
kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2003).
Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang
sebagian besar ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan
internal :

77
Universitas Sumatera Utara

1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk Na+,
Cl-, K+, HCO3-, Ca2+, Mg2+, SO42-, PO42-, dan H+. Bahkan fluktuasi minor
pada konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat menimbulkan
pengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ di CES dapat
menimbulkan disfungsi jantung yang fatal.
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan
melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.
4. Membantu

memelihara

keseimbangan

asam

-

basa

tubuh

dan

menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.
5. Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui pengaturan
keseimbangan H2O.
6. Mengekskresikan produk - produk sisa dari metabolisme tubuh, misalnya
urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat - zat sisa
tersebut bersifat toksik bagi tubuh, terutama otak.
7. Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat penambah
pada makanan, pestisida, dan bahan - bahan eksogen non nutrisi lainnya
yang berhasil masuk ke dalam tubuh.
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah.
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001).

78
Universitas Sumatera Utara

Beberapa uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan kadar
kreatinin, kadar ureum atau BUN (Blood Urea Nitrogen), dan klirens kreatinin.
Pemeriksaan BUN, ureum, atau kreatinin di dalam serum merupakan uji faal
ginjal yang paling sering dipakai di klinik. Sayangnya kedua uji ini baru
menunjukkan kelainan, pada saat ginjal sudah kehilangan 2/3 dari fungsinya
(Purnomo, 2003)
Kreatinin adalah hasil dari katabolisme otot skeletal, diekskresikan oleh
ginjal, dan tidak terpengaruh oleh kondisi hidrasi seseorang. Oleh karena kreatinin
pada orang yang dalam keadaan aktif, setiap hari relatif konstan, yakni lebih
kurang 1 mg/menit pada orang dewasa, maka pemeriksaan ini cukup dipercaya
sebagai uji pemeriksaan faal ginjal. Nilai kreatinin dipengaruhi oleh usia, besar
atau volume massa otot, dan jenis kelamin. Pada orang yang berotot, nilai
kreatinin lebih tinggi daripada yang tidak, dan pada usia yang semakin tua, nilai
kreatininnya semakin meningkat. Demikian pula pada lelaki, laju katabolisme otot
relatif lebih tinggi daripada perempuan sehingga nilai kreatininnya lebih tinggi
(Purnomo, 2003). Nilai kreatinin darah normal (metode Jaffe reaction) pada pria
yaitu 0,7-1,1 mg/dl dan wanita yaitu 0,6-0,9 mg/dl (Mangarengi, 2003).
2.3.3 Patologi Ginjal
Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ tubuh
lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada umumnya. Bagian ginjal
yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah glomerulus yang bekerja
berdasarkan faktor - faktor hemodinamika dan osmotik (Ganong, 2003).
Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein yang
bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat lolos

79
Universitas Sumatera Utara

(Junquiera dan Carneiro, 2002). Sel tubulus selain berfungsi mereabsorbsi, juga
menambahkan zat - zat kimiawi seperti yodium, amonia dan hippuric acid. Pada
disfungsi glomerulus, bahan - bahan asing tiba di tubulus dalam kadar yang
abnormal melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus
mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan - bahan yang
harus diserap kembali (Junquiera dan Carneiro, 2002).
Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali
natrium, albumin, glukosa dan air, dan juga bermanfaat dalam penggunaan
kembali bikarbonat. Epitelium tubulus proksimalis merupakan bagian yang paling
sering terserang iskemia atau rusak akibat toksin, karena kerusakan yang terjadi
akibat laju metabolisme yang tinggi (Suyanti, 2008).
Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah
glomerulus (Soeksmanto, 2006). Menurut Soeksmanto (2006), kerusakan yang
terjadi sering di sebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, trombosis,
emboli, dan infeksi virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat
menyebabkan berbagai dampak baik secara morfologi maupun fungsional. Secara
morfologis kerusakan glomerulus di tandai dengan terjadinya nekrosis dan
ploriferasi dari sel membran serta infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara
fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah, lolosnya protein
dan makromolekul lain dalam jumlah yang besar pada filtrat glomerulus.
Kerusakan pada glomerulus juga dapat berupa atrofi dan fibrosis sehingga
menyebabkan atrofi sekunder pada tubulus renalis (Soekmanto, 2006).
Nefrosis merupakan istilah morfologik untuk kelainan ginjal degeneratif
terutama yang mengenai tubulus. Kelainan tubulus dapat menyebabkan

80
Universitas Sumatera Utara

albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara mikroskopis kelainan dijumpai
pada tubulus kontortus proksimal berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak,
nekrosis dan kalsifikasi (Suyanti, 2008).
Kerusakan yang terjadi pada tubulus, disebabkan karena dua pertiga dari
ultrafiltrat glomerulus, secara terus - menerus direabsorpsi pada tubulus. Proses
transpor yang terjadi pada tubuli juga memungkinkan terjadinya akumulasi toksin
- toksin intrarenal, sehingga mempertinggi konsentrasi lokal dari bahan – bahan
berbahaya tersebut. Bahan - bahan asing yang masuk ke dalam tubuh, pada
umumnya dapat dimetabolisme melalui proses enzimatik sebagai pertahanan
untuk melindungi tubuh dari bahan - bahan kimia berbahaya. Secara simultan,
bahan - bahan berbahaya hasil buangan metabolisme tersebut diproses dan
diekskresikan dalam bentuk urin yang dikeluarkan setiap hari. Kemampuan untuk
memproteksi kerusakan akibat bahan kimia di atas, umumnya dimiliki oleh semua
jenis mamalia, meskipun kemampuan melawan partikel - partikel bahan tersebut
bervariasi diantara species, terutama dalam memindahkan 1 group etil melalui
oksidasi mikrosomal (Soeksmanto, 2006).
2.3.4 Penyakit Ginjal
2.3.4.1 Pengertian Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atautransplantasi ginjal (Brenner & Lazarus, 2012).
Semua proses penyakit yang dapat menyebabkan kehilangan nefron secara
progresif dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal secara kronik. Seiring

81
Universitas Sumatera Utara

dengan berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi, nefron yang tersisa akan
beralih mengambil fungsi nefron yang rusak, dengan kata lain nefron bekerja
untuk nefron yang sehat sekaligus menggantikan kerja nefron yang sudah rusak.
Hal ini akan mempercepat proses patofisologis karena semakin banyaknya nefron
yang harus bekerja ekstra. Jika ginjal sudah tidak mampu melakukan fungsinya,
penderita akan membutuhkan terapi pengganti ginjal atau transplantasi
(O’Callaghan, 2007).
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:
a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG)
b. Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m², tidak termasuk kriteria penyakit
ginjal kronik (Suwitra, 2010)
2.3.4.2 Etiologi
Beberapa penyakit yang secara permanen merusak nefron dapat
menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik. Etiologi penyakit ginjal kronik
sangat bervariasi antara satu Negara dengan Negara lainnya. Penyebab utama
penyakit gagal ginjal paling banyak adalah Diabetes Mellitus, diikuti dengan
hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar serta penyebab lainnya (Farida,
2010).

82
Universitas Sumatera Utara

2.3.4.3 Patofisiologis Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan pada
perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factor sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Keadaan ini diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal yang
dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth Factor β (TGF-β)
menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Selain itu progresifitas
penyakit

ginjal

kronik

juga

dipengaruhi

oleh

albuminuria,

hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia (Price & Wilson, 2006).
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan
ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal
atau malah meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif ditandai adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada
LFG sebesar 60%, masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum pada pasien. Pada LFG sebesar
30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah 30% terjadi
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga

83
Universitas Sumatera Utara

mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan,
terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia,
hipervolemia, natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan
stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat
dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2010).
2.3.4.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (GGK)
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage)
Klasifikasi

derajat

penyakit,

dibuat

atas

dasar

LFG

dengan

juga

mempertimbangkan klirens kreatinin yang memberi pengaruh pada LFG.
Perhitungan digunakan dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault yang
menggunakan konsentrasi kreatinin serum pada perhitungannya, rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :
Rumus Cockcroft-Gault
Perkiraan Klirens Kreatinin (mL/menit) =
(140) − usia x berat badan Kg)
72 x Pcr (mg/dL)
*Pada perempuan dikalikan 0,85
Penentuan LFG secara tepat tidaklah mudah karena dua indeks yang sering
dihitung (urea dan kreatinin) memiliki karakteristik yang memengaruhi
keakuratan sebagai penanda klirens. Kreatinin berguna untuk memperkirakan
LFG karena sifat zat terlarut kecil yang mudah terfiltrasi. Namun kadar kreatinin
serum dapat meningkat secara akut akibat konsumsi makanan yang mengandung
daging sehingga hasil perhitungan LFG menjadi besar (Denker dan Brenner,
2013).

84
Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut (KDIGO, 2012):
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat
Penjelasan

LFG
(ml/mnt/1,73m²)

G1
G2
G3a

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringansedang

≥ 90
60-89
45-59

G3b

Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedangberat

30-44

G4
G5

Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
Gagal ginjal

15-29
< 15 atau dialisis

2.3.4.5 Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit seperti keseimbangan diet, kebutuhan jumlah kalori, kebutuhan
cairan, dan kebutuhan elektrolit & mineral (Sukandar, 2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

85
Universitas Sumatera Utara

3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari PGK.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2010).

86
Universitas Sumatera Utara