Efek Imunomodulator Ekstrak Rimpang Temu Giring (Curcuma Heyneana Val. Et Van Zijp.) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

(1)

EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

SKRIPSI

OLEH:

ELDIZA PUJI RAHMI NIM 071501005

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ELDIZA PUJI RAHMI NIM 071501005

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

OLEH:

ELDIZA PUJI RAHMI NIM 071501005

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: Mei 2011

Pembimbing I, Panitia Penguji

Drs. Saiful Bahri, MS., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 195208241983031001 NIP 195301011983031004

Drs. Saiful Bahri, MS., Apt.

Pembimbing II, NIP 195208241983031001

Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt. Dr. Edy Suwarso, SU., Apt.

NIP 195008221974121002 NIP 130935857

Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt. NIP 131 459 715

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ayahanda Maisyardi Senin dan ibunda Yenni Hilza, atas segala dukungan yang begitu luar biasa yang telah diberikan kepada ananda, serta kepada kakakku Elvina Primayesa, adikku Elfira Rahma Dayanti dan Rahmat Diza Fadillah dan keponakanku Hanif Arsa Wirayudha.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Saiful Bahri, MS., Apt., dan Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt., selaku pembimbing, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dari awal penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU dan Ibu Marianne, M.Si., Apt., selaku Kepala Lab.Farmakologi yang telah memberikan fasilitas dan sarana dalam melakukan penelitian.

3. Ibu Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt., selaku dosen wali yang telah

membimbing penulis selama masa pendidikan.

4. Bapak/Ibu staf pengajar di Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik dan


(5)

5. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt., dan Bapak Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini

6. Kepada staf dan asisten Lab Farmakologi Bg Bagus, Bg Dadang, Bg Abdi, Ibu Aminah, Ibu Poppy, Kak Wanda, Kak Nisa, Bg Harry, Kak Intan, Kak Tata, Bg Rian, Bg Mumu, Bg Aulia, Fanny, Meliza, serta anggota Lantai 3 Bg Hendra, Bg Rico, dan Bg Azhar, atas segala bantuan dan motivasi selama ini.

7. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan dukungan dan menjadi

penyemangat bagi penulis, Yani, Ayu, Danny, Ila, Fanny, Lia, teman-teman mahasiswa stambuk 2007 serta kakak dan adik Kelas Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Serta buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kitik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Farmasi.

Medan, Mei 2011 Penulis,


(6)

EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

ABSTRAK

Sistem imun berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan zat asing, seperti mikroorganisme patogen. Pada saat sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting untuk menjaga agar sistem imun tetap bekerja secara maksimal dalam menghadapi serangan mikroorganisme. Temu giring merupakan salah satu tumbuhan yang rimpangnya diduga memiliki aktivitas terhadap sistem imun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Pada penelitian ini dilakukan uji efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val. et van Zijp., suku Zingiberaceae) terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Ekstrak rimpang temu giring diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB. Siklofosfamida dosis 50 mg/kg BB sebagai kontrol positif, suspensi CMC 1% sebagai kontrol negatif, dan sel darah merah domba sebagai antigen.

Dari hasil pengujian statistik, pemberian ekstrak rimpang temu giring mampu meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi secara signifikan terhadap kelompok kontrol (p<0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak rimpang temu giring mempunyai efek imunomodulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Kata kunci: imunomodulator, respon hipersensitivitas tipe lambat, titer


(7)

IMMUNOMODULATORY EFFECT OF EXTRACT OF TEMU GIRING RHIZOME (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TO DELAYED TYPE

HYPERSENSITIVITY RESPONSE AND ANTIBODY TITER OF IMMUNITY CELLS OF MALE MICE

ABSTRACT

The immune system is useful to maintain the condition of the body against pathogenic microorganisms. When the immune system is not able to work well, improving the immune system becomes very important to keep the immune system still works optimally to face microorganisms attack. Temu giring is a plant and its rhizome has an activity against immune system. The objective of this study was to know the immunomodulatory effect of extract of temu giring rhizome to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice.

In this study, immunomodulatory effect test of temu giring rhizome extract (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice. Temu giring rhizome extract was administered orally with a dose of 100 mg/kg, 200 mg/kg, 400 mg/kg. Cyclophosphamide dose of 50 mg/kg as a positive control, 1% CMC suspension as a negative control, and sheep red blood cells as antigens.

From the results of statistical testing, administraton of temu giring rhizome extract is able to increase delayed type hypersensitivity response and antibody titer significantly to the control group (p<0.05). Thus concluded that temu giring rhizome extract have immunomodulatory effects to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice.

Keywords: immunomodulatory, delayed type hypersensitivity response, antibody titer, temu giring


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... v iii DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 5

2.1.2 Nama Daerah ... 5


(9)

2.1.4 Morfologi Tumbuhan ... 6

2.1.5 Kandungan Kimia ... 7

2.1.6 Kurkuminoid ... 7

2.1.7 Khasiat ... 8

2.2 Ekstraksi ... 9

2.3 Metode Ekstraksi ... 10

2.4 Sistem Imun ... 11

2.4.1 Respon Imun Nonspesifik ... 13

2.4.2 Respon Imun Spesifik ... 14

2.4.2.1 Respon Imun Selular ... 18

2.4.2.2 Respon Imun Humoral ... 18

2.4.2.3 Interaksi Antara Respon Imun Selular dengan Respon Imun Humoral ... 19

2.4.3 Imunomodulator ... 19

2.4.3.1Imunostimulator ... 19

2.4.3.2 Imunosupresor ... 19

2.4.3.3 Siklofosfamida ... 20

2.4.3.4 Metode Pengujian Efek Imunomodulator …… 20

BAB III. METODE PENELITIAN... 22

3.1 Alat dan Bahan ... 22

3.1.1 Alat-alat ... 22

3.1.2 Bahan-bahan... 22

3.1.3 Hewan Percobaan ... 23

3.2 Penyiapan Sampel... 23


(10)

3.2.2 Identifikasi Sampel ... 23

3.2.3 Pengolahan Sampel ... 23

3.3 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 24

3.3.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 24

3.3.2 Pemeriksaan Mikroskopik ... 24

3.3.3 Pemeriksaan Kadar Air Simplisia ... 24

3.3.4 Pemeriksaan Kadar Sari yang Larut dalam Air... 25

3.3.5 Pemeriksaan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol... 26

3.3.6 Pemeriksaan Kadar Abu Total ... 26

3.3.7 Pemeriksaan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 26

3.4 Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Giring... 27

3.4.1 Karakterisasi Ekstrak Rimpang Temu Giring ... 27

3.4.1.1 Penetapan Kadar Air Ekstrak ... 27

3.4.1.2 Penetapan Kadar Abu Total ... 28

3.4.1.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 28

3.5 Uji efek Imunomodulator ... 28

3.5.1 Penyiapan Hewan Percobaan ... 28

3.5.2 Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, Larutan Penyangga, dan Antigen ... 28

3.5.2.1 Penyiapan CMC 1% ... 29

3.5.2.2 Penyiapan Suspensi Siklofosfamida (SS) 0,5 % ... 29

3.5.2.3 Penyiapan Suspensi Ekstrak Rimpang Temu Giring (SERTG) 2% ... 29

3.5.2.4 Penyiapan Phosphate Buffer Saline (PBS) ... 30


(11)

3.5.3 Uji respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 30

3.5.4 Uji Titer Antibodi ... 31

3.6 Analisis Statistik... 32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

4.1 Simplisia dan Ekstrak... 33

4.2`Pengujian Efek Imunomodulator ... 35

4.2.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 37

4.2.2 Titer Antibodi ... 41

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pembagian Subkelas Imunoglobulin ... 17 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak... 34


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2.1 Struktur Kurkuminoid... 8

2.2 Diagram Sistem Imun ... 13

2.3 Diagram Asal Sel T dan Sel B ... 15

2.4 Siklofosfamida... 20

4.1 Grafik Volume Pembengkakan Kaki Mencit Pada Berbagai Perlakuan (Rerata ± SEM) ... 39


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Identifikasi Tanaman ... 49

2 Karakteristik Tumbuhan Temu Giring ... 50

3 Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak ... 52

4 Bagan Alur Penelitian ... 60

5 Alat-alat ... 61

6 Hewan Percobaan ... 63

7 Pembengkakan Kaki Mencit dan Hemaglutinasi ... 64


(15)

EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

ABSTRAK

Sistem imun berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan zat asing, seperti mikroorganisme patogen. Pada saat sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting untuk menjaga agar sistem imun tetap bekerja secara maksimal dalam menghadapi serangan mikroorganisme. Temu giring merupakan salah satu tumbuhan yang rimpangnya diduga memiliki aktivitas terhadap sistem imun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Pada penelitian ini dilakukan uji efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val. et van Zijp., suku Zingiberaceae) terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Ekstrak rimpang temu giring diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB. Siklofosfamida dosis 50 mg/kg BB sebagai kontrol positif, suspensi CMC 1% sebagai kontrol negatif, dan sel darah merah domba sebagai antigen.

Dari hasil pengujian statistik, pemberian ekstrak rimpang temu giring mampu meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi secara signifikan terhadap kelompok kontrol (p<0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak rimpang temu giring mempunyai efek imunomodulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Kata kunci: imunomodulator, respon hipersensitivitas tipe lambat, titer


(16)

IMMUNOMODULATORY EFFECT OF EXTRACT OF TEMU GIRING RHIZOME (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) TO DELAYED TYPE

HYPERSENSITIVITY RESPONSE AND ANTIBODY TITER OF IMMUNITY CELLS OF MALE MICE

ABSTRACT

The immune system is useful to maintain the condition of the body against pathogenic microorganisms. When the immune system is not able to work well, improving the immune system becomes very important to keep the immune system still works optimally to face microorganisms attack. Temu giring is a plant and its rhizome has an activity against immune system. The objective of this study was to know the immunomodulatory effect of extract of temu giring rhizome to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice.

In this study, immunomodulatory effect test of temu giring rhizome extract (Curcuma heyneana Val. et van Zijp.) to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice. Temu giring rhizome extract was administered orally with a dose of 100 mg/kg, 200 mg/kg, 400 mg/kg. Cyclophosphamide dose of 50 mg/kg as a positive control, 1% CMC suspension as a negative control, and sheep red blood cells as antigens.

From the results of statistical testing, administraton of temu giring rhizome extract is able to increase delayed type hypersensitivity response and antibody titer significantly to the control group (p<0.05). Thus concluded that temu giring rhizome extract have immunomodulatory effects to delayed type hypersensitivity response and antibody titer of immune cells of male mice.

Keywords: immunomodulatory, delayed type hypersensitivity response, antibody titer, temu giring


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam. Beragam tumbuhan hidup di Indonesia, termasuk tumbuhan yang berkhasiat obat. Tumbuhan di Indonesia tercatat lebih dari 40.000 jenis, namun baru sekitar 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan sebagai obat (Hargono, 2000). Keadaan ini sebenarnya menjadi peluang untuk mengembangkan obat tradisional sebagai pilihan pengobatan dan pencegahan penyakit. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional di Indonesia masih rendah, keadaan kesehatan dan perekonomian masyarakat Indonesia yang juga masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain, sehingga pemenuhan kebutuhan obat sintetis menjadi terhambat oleh faktor biaya. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat kita dapat dilihat dari angka kematian masyarakat Indonesia yang masih berada di urutan atas di antara negara-negara anggota South East Asia Medical Information Center (SEAMIC) (Depkes RI, 2003). Angka kematian yang tinggi ini disebabkan tingginya jumlah penyakit terutama oleh paparan mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri dan jamur yang ada di lingkungan sekitar (Kresno, 2007).

Pada keadaan normal, paparan mikroorganisme patogen terhadap tubuh dapat dilawan dengan adanya sistem pertahanan tubuh (sistem imun) yang bekerja secara humoral maupun seluler. Hal ini berhubungan dengan peran yang ditunjukkan oleh fungsi dan jumlah sel imun. Namun, pada saat fungsi dan jumlah sel imun kurang memadai, paparan mikroorganisme patogen dapat menimbulkan


(18)

berbagai penyakit terutama terkait dengan penyakit infeksi. Oleh karena itu, upaya mempertahankan sistem imun tetap maksimal menjadi sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti mikroorgnisme patogen. Salah satu cara mempertahankan sistem imun adalah dengan pemberian imunomodulator, terutama zat yang meningkatkan sistem imun (Kusmardi, 2007).

Dewasa ini, pemanfaatan tumbuhan yang berkhasiat sebagai imunomodulator telah mengalami peningkatan. Contoh tumbuhan berkhasiat sebagai imunomodulator adalah tumbuhan dari genus curcuma dengan kandungan khas kurkumin. Varalakshmi dkk (2008) menyatakan bahwa kurkumin dapat memodulasi sistem imun dengan cara meningkatkan kemampuan proliferasi sel T. Berdasarkan penelitian tersebut, kurkumin dinyatakan memiliki aktivitas imunomodulator dan mempunyai prospek cukup baik untuk meningkatkan aktivitas sistem imun. Temu giring merupakan salah satu tumbuhan yang mengandung zat aktif kurkumin. Adanya kandungan kurkumin pada temu giring diduga menjadikan temu giring sebagai salah satu tumbuhan yang bersifat imunomodulator.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan uji efek ekstrak rimpang temu giring terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan sehingga dapat digunakan sebagai imunomodulator.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:


(19)

a. apakah ekstrak rimpang temu giring dapat meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan?

b. apakah ekstrak rimpang temu giring dapat meningkatkan titer antibodi sel

imun mencit jantan?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat hipotesis sebagai berikut:

a. ekstrak rimpang temu giring dapat meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan.

b. ekstrak rimpang temu giring dapat meningkatkan titer antibodi sel imun

mencit jantan.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. untuk mengetahui efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring dengan

meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan.

b. untuk mengetahui efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring dengan

meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. pengembangan rimpang temu giring menjadi suatu sediaan herbal terstandar dengan efek imunomodulator.

b. menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai


(20)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian Rimpang temu

giring

Ekstrak rimpang temu giring

Suspensi Siklofosfamida

CMC 1%

Karakteristik simplisia

Respon Hipersensitivitas tipe

lambat

Bengkak

1. Pemeriksaan makroskopik 2. Pemeriksaan mikroskopik 3. Penetapan kadar air 4. Penetapan kadar abu total 5. Penetapan kadar abu tidak

larut asam

6. Penetapan kadar sari yang larut dalam air

7. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Karakteristik ekstrak

1. Penetapan kadar air 2. Penetapan kadar abu total 3. Penetapan kadar abu tidak

larut asam


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Temu giring banyak ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan kecil atau peladangan dekat rumah penduduk, terutama di kawasan Jawa Timur. Kini, temu giring sudah banyak diusahakan oleh masyarakat sebagai tanaman apotik hidup, terutama di pulau Jawa. Penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat sudah mengusahakannya sebagai bahan jamu atau obat tradisional yang relatif menguntungkan (Muhlisah, 1999).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan temu giring menurut Citrosoepomo (1991) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma heyneana Val et van Zijp.

2.1.2 Nama Daerah

Jawa : Temu giring


(22)

2.1.3 Nama Asing

Inggris : Pale tumeric

2.1.4 Morfologi Tumbuhan

Temu giring merupakan suatu tumbuhan tahunan. Tumbuhan temu giring memiliki ketinggian mencapai 2 meter (Wijayakusuma, 2006).

Batang temu giring berwarna hijau pucat dan tumbuh tegak yang tersusun atas banyak pelepah daun. Daunnya berbentuk lanset yang melebar. Helaian daunnya tipis, uratnya kelihatan dan berwarna hijau muda. Bunga temu giring muncul dari bagian samping batang semu. Pinggiran mahkota bunga berwarna merah. Bunga ini memiliki daun-daun pelindung yang berujung lancip. Musim bunga berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Mei tahun berikutnya, namun paling banyak dijumpai pada bulan September sampai Desember (Muhlisah,1999).

Rimpang temu giring tumbuh menyebar di sebelah kiri dan kanan batang secara memanjang sehingga terlihat kurus atau membengkok ke bawah. Secara kesuluruhan, rimpang temu giring umumnya tumbuh mengarah ke bawah dengan percabangan berbentuk persegi. Apabila rimpang dibelah, akan terlihat daging rimpang berwarna kuning, berbau khas temu giring. Rimpang bagian samping umumnya memiliki rasa lebih pahit (Muhlisah, 1999).

Tanaman ini tumbuh pada daerah hingga ketinggian 750 m di atas permukaan laut. Temu giring dijumpai sebagai tanaman liar di hutan jati atau di halaman rumah, terutama di tempat yang teduh. Perbanyakan dilakukan dengan stek rimpang induk atau rimpang cabang yang bertunas (Mursito, 2003).


(23)

2.1.5 Kandungan Kimia

Kandungan kimia rimpang temu giring antara lain minyak atsiri dengan komponen utama 8(17),12-labdadiene-15,16-dial, tanin dan kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksi-kurkumin dan bis-desmetoksi-kurkumin, pati, saponin, dan flavonoid (Ditjen POM, 1989).

2.1.6 Kurkumin (Kurkuminoid)

Kurkuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae, termasuk temu giring. Kandungan utama dari kurkuminoid adalah kurkumin yang berwarna kuning. Kandungan kurkumin dalam rimpang temu-temuan berkisar 3 – 4% (Joe et al., 2004; Eigner dan Schulz, 1999). Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aseton (Joe et al., 2004; Chattopadhyay et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kurkumin aman dan tidak toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah kurkumin yang aman dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/ hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Commandeur dan Vermeulen, 1996).

Kurkuminoid memberikan warna kuning pada temu-temuan dan dikenal sebagai zat yang bertanggung jawab terhadap adanya efek terapi dari tumbuhan tersebut (Aggarwal, 2006). Kurkuminoid terdiri dari kurkumin (deferuloilmetan), desmetoksi-kurkumin (feruloil-p-hidroksi-sinnamoiletan) dan bis-desmetoksi-kurkumin (bis-(p-hidroksisinnamoil)-metan) (Bermawie, dkk., 2008).


(24)

Gambar 2.1 Struktur Kurkuminoid

Keterangan : A = Struktur kurkumin B = Struktur desmetoksi-kurkumin C = Struktur bis-desmetoksi-kurkumin

Kurkumin akan terdegradasi oleh sinar ultra violet. Oleh sebab itu pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari perlu diperhatikan, agar efikasi kurkumin tetap terjamin. Daya serap tubuh terhadap kurkumin rendah sampai menengah. Di dalam tubuh kurkumin diabsorpsi oleh darah, dengan cepat dimetabolisme di dalam hati dan disekresi bersama kotoran. Penggunaan jangka pendek dan menengah cukup aman. Percobaan pada tikus yang diberikan kurkumin dosis tinggi secara terus-menerus dalam jangka panjang sampai 24 bulan bisa menimbulkan efek samping berupa adenoma dan lymphoma (Bermawie, dkk., 2008).

Pada pemberian secara oral, kurkumin akan dimetabolisme menjadi kurkumin glukoronida dan kurkumin sulfonat. Sedangkan pada pemberian secara sistemik atau intraperitoneal, kurkumin akan dimetabolisme menjadi tetrahidrokurkumin dan heksahidrokurkumin (Aggarwal, 2006).

2.1.7 Khasiat

Secara tradisional rimpang temu giring mempunyai beberapa khasiat antara lain sebagai obat luka (Ditjen POM, 1989), obat cacing, obat sakit perut, obat pelangsing, memperbaiki warna kulit (Mursito, 2003), obat untuk mengatasi perasaan tidak tenang atau cemas, jantung berdebar-debar, haid tidak teratur, obat

A B


(25)

rematik, menambah nafsu makan, meningkatkan stamina, menghaluskan kulit, obat jerawat, obat cacar air dan obat batuk (Wijayakusuma, 2006). Temu giring mengandung senyawa khas kurkumin yang dapat meningkatkan proliferasi sel T, sehingga kurkumin mempunyai prospek cukup baik untuk meningkatkan sistem imun (Varalakshmi dkk, 2008).

2.2 Ekstraksi

Ekstrak temu giring dibuat dari rhizoma temu giring yang mengandung minyak menguap tidak kurang dari 0,6% dan kurkuminoid tidak kurang dari 2,0% (NADFC, 2004).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair

(Ditjen POM, 2000).

Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari untuk ekstraksi adalah air, etanol, dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada penggunaan penyari air, etanol, atau etanol-air (Ditjen POM, 1986).


(26)

2.3 Metode-Metode Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:

1. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(27)

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.4 Sistem Imun

Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh, baik manusia maupun hewan, yang mempunyai kemampuan mengenal suatu benda asing terhadap tubuh dan selanjutnya tubuh akan memberikan respon dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme dengan akibat dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan bagi jaringan tubuhnya (Subowo,1993).

Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya. Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan sel imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut dinamakan


(28)

antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang menyertainya dinamakan respon imun (Subowo, 1993).

Tahap awal mekanisme tubuh dalam mengenal molekul asing adalah tahap pengenalan. Ada 2 sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam hal ini, yaitu:

1. Sistem pertahanan tubuh alamiah (innate immune system), yang dibawa

sejak lahir. Komplemen memegang peranan penting dalam mengenal jasad mikroorganisme tertentu dan segera menghancurkannya.

2. Sistem pertahanan tubuh yang didapat (adaptive immune system), dalam

hal ini antibodi memegang peranan utama. Dalam mengenal molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003).

Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2001).


(29)

Gambar 2.2 Diagram Sistem Imun (Baratawidjaja, 2001)

2.4.1 Respon imun nonspesifik

Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat tersebut (Kresno, 2001). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing dan melingdungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut. Komponen-komponen utama respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen,

Sistem imun

Nonspesifik Spesifik

Fisis/ mekanis

Larut Selular

- Kulit - Selaput lendir - Silia - Batuk - Bersin Biokimia - Asam lambung - Lisozim - Laktoferin - Asam neurominik Humoral - Komppleme n - Interferon - C Reactive

Protein (CPR) Fagosit - Mononuklear (Monosit dan makrofag) - Polimorfonuklear (Eosinofil dan Neutrofil) Sel Nol - N atural Killer

Cells (NK Cells) - Killer Cells (K

cells) Sel Mediator - Basofil dan

Mastosit - Trombosit

Humoral Selular

Sel B Sel T

- Sel Th (Th1 dan Th2) - Sel Ts - Sel Tc

Sel Plasma


(30)

mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK) (Kresno, 2001).

2.4.2 Respon Imun Spesifik

Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral (Kresno, 2001).

Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B.


(31)

+ +

Gambar 2.3 Diagram Asal Sel B dan Sel T (Sherwood, 2001)

Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang tetapi matang di timus. sel T dan B yang matang mengalir malalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing.

Sel T

Sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Sel T dapat dibedakan sebagai berikut:

Sel darah merah Trombosit Monosit Granulosit

Sumsum tulang

Sel prekursor Limfosit

Hemopoetik sumsum

Timus

Sel T Sel B

Jaringan limfoid perifer

Sel T Sel B

Invasi asing

Respon imun humoral

Respon imun seluler


(32)

a. Sel Thelper (Sel Th)

Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma.

b. Sel Tsuppresor (Sel Ts)

Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui mekanisme “check and balance”dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan akitivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi.

c. Sel Tcytotoxic (Sel Tc)

Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel yang terinfeksi virus (Sherwood, 2001).

Sel B

Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total (Tan, 2007). Pada membran sel B terdapat reseptor khas untuk megikat antigen. Aktivitas sel B distimulasi dengan adanya sel Th2 menjadi sel plasma dan akan membentuk antibodi.


(33)

Antigen

Antigen adalah molekul kompleks berukuran besar yang dapat mencetuskan respon imun (Sherwood, 2001). Protein adalah antigen yang paling sering dijumpai karena ukuran dan kompleksitasnya. Substansi organik yang mempunyai berat molekul rendah yang dapat bereaksi dengan antibodi tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung disebut hapten. Hapten baru dapat merangsang pembentukan antibodi apabila berikatan dengan molekul besar yang disebut carrier.

Antibodi

Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan menjadi 5 subkelas:

Tabel 2.1 Pembagian Subkelas Imunoglobulin

Struktur Subkelas Keterangan

Miu (µ) IgM -Terdapat dalam bentuk pentamer

-Merupakan molekul paling besar

-Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk

tempat antigen melekat dan disekresikan dalam tahap-tahap awal respon sel.

Gamma (γ) IgG -Merupakan immunoglobulin yang paling banyak di

dalam serum

Epsilon (ε) IgE -Merupakan mediator antibodi untuk respon alergi

-Mampu melekat pada sel mastosit atau basofil yang melepaskan mediator histamin, heparin, prostaglandin yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat

Alpha (α) IgA -Ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan,

pernafasan, dan genitouria, serta dalam air susu dan air mata

Delta (δ) IgD -Terdapat di permukaan sel B, tetapi fungsinya masih


(34)

2.4.2.1 Respon imun selular

Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang diberikan oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin yang dapat membantu menghancurkan antigen tersebut. Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001).

2.4.2.2 Respon imun humoral

Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel plasma yang meproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Sel T-supresor juga ikut berperan dalam pengaturan produksi antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Pada respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel B memory (Kresno, 2001).


(35)

2.4.2.3 Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral

Salah satu interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral adalah antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada interaksi ini sitolisis terjadi dengan bantuan antibodi yang berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi), sehingga sel natural killer (NK) yang mempunyai reseptor pada fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada antigen sasaran dan menghancurkan antigen tersebut (Kresno, 2001).

2.4.3 Imunomodulator

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meregulasi sistem imun dengan tujuan menormalkan atau membantu mengoptimalkan sistem imun. Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Imunomodulator dapat dibagi menjadi 2, yaitu imunostimulator dan imunosupresor.

2.4.3.1 Imunostimulator

Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun. Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells dan makrofag serta melepaskan interferon dan interleukin (Tan H.T., 2007).

2.4.3.2 Imunosupresor

Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun. Imunosupresor mampu menghambat traskripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T. Imunosupresor dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu agen alkilasi, tiopurin, antimetabolit, produk fungi misalnya siklosporin, dan golongan kortikosteroid (Tan H.T., 2007).


(36)

2.4.3.3 Siklofosfamida

Gambar 2.4 Siklofosfamida

Siklofosfamida merupakan agen alkilasi yang mempunyai efek imunosupresif. Siklofosfamida memiliki aktivitas antiproliferasi yang kuat yang dilihat dari kemampuannya menurunkan produksi antibodi selama fase proliferasi.

Siklofosfamid memberikan efek pada mencit dengan dosis pemberian 50 mg/kg BB. Siklofosfamida menghambat aksi sel Ts dan sel Th2 sehingga

menekan produksi antibodi oleh sel B. Sel Th1 tidak dipengaruhi oleh siklofosfamida dan tetap bekerja secara normal. Sel Th1 akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi sehingga akan menarik makrofag ke tempat terjadinya induksi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan di tempat induksi (Turk, 1989).

2.4.3.4 Metode Pengujian Efek Imunomodulator

Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian efek imunomodulator. Beberapa di antaranya adalah uji respon hipersensitivitas tipe lambat, pengukuran antibodi (titer antibodi), uji transformasi limfosit T, uji komplemen, indeks migrasi makrofag, uji granulosit, bioluminisensi radikal, respon fagositik, respon proliferasi limfosit.


(37)

Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan melepaskan sitokin dan meningkatkan aktivitas makrofag sehingga dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji (Roit,1989)

Titer Antibodi

Respon imun spesifik dapat berupa respon imun seluler dan respon imun humoral. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun humoral yang melibat pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th yang menstimulasi sel B untuk pembentukan antibodi dan peningkatan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, 1989).


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental berdasarkan rancangan acak lengkap. Penelitian ini meliputi tahapan penelitian yaitu penyiapan sampel, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, karakterisasi ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan pengujian respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi pada hewan percobaan. Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tuckey meggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 15.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, neraca listrik (Vibra), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, perkolator, rotary evaporator, freeze dryer (Edward), blender (National), mikroskop (Olympus), mortir dan stamfer, neraca hewan, spuit 1 ml (Terumo), oral sonde, pletismometer air raksa, velocity 18R refrigerated centrifuge (Dynamic), microtube, microtitration plate, pipet mikro (Brand), dan kertas saring. Gambar alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 61.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temu giring, karboksi metil selulosa (CMC), sel darah merah domba (SDMD), natrium


(39)

klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), dinatrium hidrogen fosfat (Na2HPO4),

kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), aqua bidestilasi, heparin , larutan fisiologis,

etanol 96%, toluen, kloroform dan air suling

3.1.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit jantan dengan berat 20-30 gram berumur 2-3 bulan yang dikondisikan selama 1 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan lingkungannya. Gambar hewan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 63.

3.2 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel, identifikasi sampel, dan pengolahan sampel.

3.2.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel diperoleh dari Gang. Kejaksaan, Desa Hulu. Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 50.

3.2.2 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA), Universitas Sumatera Utara.

3.2.3 Pengolahan Sampel

Sampel rimpang temu giring yang masih segar dicuci kemudian ditiriskan lalu disortasi basah dan ditimbang beratnya sebagai berat basah. Selanjutnya rimpang dirajang, lalu dikeringkan hingga kering ditandai rimpang mudah


(40)

dipatahkan, kemudian ditimbang kembali sebagai berat kering kemudian diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan ditempat kering.

3.3 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam (Ditjen POM, 1995; WHO, 1992).

3.3.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada simplisia segar yang meliputi pemeriksaan bentuk, bau, rasa dan warna. Gambar simplisia dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 50.

3.3.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan cara meneteskan kloralhidrat diatas kaca objek, kemudian di atasnya diletakkan serbuk simplisia, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan mikroskopik untuk melihat adanya butir pati dilakukan di dalam media air. Pemeriksaan mikroskopik untuk melihat adanya minyak atsiri dilakukan dengan penambahan sudan III. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 51.

3.3.3 Penetapan Kadar Air Simplisia

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.


(41)

Cara penetapan:

Labu bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, didestilasi selama 2 jam. Setelah itu toluena didinginkan dan volume air di dalam tabung penerimaan dibaca. Kemudian ke dalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mulai mendidih, kecepatan tetesan diatur, lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling. Kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah 2 jam didestilasi, kemudian toluen dibiarkan dingin, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 52.

3.3.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air

Sebanyak 5 gram serbuk yang telah dikeringkan diudara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 53.


(42)

3.3.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 gram serbuk yang telah dikeringkan diudara, dimaserasi selama 24 jam dalam etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap.

Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (96%) dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 54.

3.3.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 600°C selama 3 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang

sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 55.

3.3.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan abu dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring dengan kertas masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot yang


(43)

dikeringkan diudara (Ditjen POM, 1995). Perhitungan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 56.

3.4 Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Giring

Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol 96 %.

Caranya, sebanyak 877 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana tertutup, cairan penyari dituangi sampai semua simplisia terendam, biarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan masa sedikit demi sedikit kedalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, tuangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan jika perkolat yang keluar telah jernih. (Ditjen POM, 1986). Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary evaporator). Kemudian dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu 40 0C pada tekanan 2 atm selama lebih kurang 24 jam dan diperoleh ekstrak kental sebanyak 146,72 g (Voigt, 1994). Pembuatan ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 60.

3.4.1 Pemeriksaan Karakterisasi Ekstrak Rimpang Temu Giring

Pemeriksaan karakteristik ekstrak rimpang temu giring meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam.

3.4.1.1 Penetapan Kadar Air Ekstrak

Penetapan kadar air ekstrak dilakukan seperti pada penetapan kadar air simplisia. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 57.


(44)

3.4.1.2 Penetapan Kadar Abu Total Ekstrak

Penetapan kadar abu total ekstrak dilakukan seperti pada penetapan kadar abu total simplisia. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 58.

3.4.1.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Penetapan kadar abu tidak larut asam ekstrak dilakukan seperti pada penetapan kadar abu tidak larut asam simplisia. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 59.

3.5 Uji Efek imunomodulator

Uji efek imunomodulator meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan kontrol, bahan uji, larutan penyangga dan antigen, uji respon hipersensitivitas tipe lambat, dan uji titer antibodi.

3.5.1 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat 20-30 g dibagi 5 kelompok, 1 kelompok kontrol negatif, 1 kelompok kontrol positif, dan 3

kelompok uji. Tiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit.

Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih satu minggu untuk penyesuaian lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan makanannya (Kusmardi, 2007).

3.5.2 Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, Larutan Penyangga dan Antigen

Penyiapan kontrol, bahan uji, larutan penyangga dan antigen meliputi penyiapan CMC 1%, penyiapan suspensi siklofosfamida 0,5%, penyiapan suspensi ekstrak rimpang temu giring 2%, penyiapan phosphate buffered saline, dan penyiapan sel darah merah domba.


(45)

3.5.2.1Penyiapan CMC 1%

Pembuatan suspensi CMC 1% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.5.2.2Penyiapan Suspensi Siklofosfamida (SS) 0,5%

Pembuatan suspensi siklofosfamida 0,5% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan sebanyak 125 mg siklofosafamida ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.5.2.3Penyiapan Suspensi Ekstrak Rimpang Temu Giring (SERTG) 2%

Pembuatan suspensi ekstrak rimpang temu giring 2% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan sebanyak 500 mg ekstrak rimpang temu giring ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.


(46)

3.5.2.4Penyiapan Phosphate Buffered Saline (PBS)

Pembuatan PBS dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 8 gram NaCl, 0,2 gram KCl, 1,44 gram Na2HPO4, 0,24 gram KH2PO4, dilarutkan dalam

800 ml aqua bidestilasi, kemudian dicek pH dengan indikator pH hingga pH ±7 dan dapat disesuaikan dengan penambahan HCl atau NaOH, tambahkan aqua bidestilasi hingga 1 L (DeAngelis, 2007).

3.5.2.5Penyiapan Sel Darah Merah Domba (SDMD)

Pembuatan SDMD didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Puri et al (1993). Darah segar dikumpulkan dari domba yang disembelih. Darah dipisahkan dari plasmanya dengan pemusingan 1900 rpm menggunakan alat sentrifugasi pada suhu 4oC selama 10 menit. Kemudian supernatan dibuang. Endapan dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Setelah pencucian selesai, PBS dibuang, maka diperoleh SDMD 100%. Ke dalam SDMD 100% ditambahkan PBS dengan volume yang sama, hingga diperoleh SDMD 50%. Kemudian diambil 0,2 ml SDMD 50%, tambahkan PBS hingga 10 ml, sehingga diperoleh SDMD 1%.

3.5.3 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring ditentukan dengan mengukur volume respon hipersensitivitas tipe lambat menggunakan uji pembengkakan telapak kaki hewan uji (foot paw swelling test) (Rasool, 2006).

Sebanyak 25 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan pembagian sebagai berikut:

Kelompok I :diberi suspensi CMC Na 1% (b/v) sebagai kontrol negatif Kelompok II :diberi SERTG dengan dosis 100 mg/kg BB


(47)

Kelompok III :diberi SERTG dengan dosis 200 mg/kg BB Kelompok IV :diberi SERTG dengan dosis 400 mg/kg BB

Kelompok V :diberi SS dengan dosis 50 mg/kg BB sebagai kontrol positif

Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml SDMD 1% dalam PBS secara intraperitoneal pada hari ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7, sendi kaki mencit sebelah kanan diberi tanda batas pengukuran volume kaki mencit. Volume kaki mencit diukur sebagai volume awal (V0). Kemudian mencit diinjeksikan dengan 0,1 ml suspensi

SDMD 1% dalam PBS secara intraplantar pada telapak kaki sebelah kanan. Pada hari kedelapan (setelah 24 jam) diukur volume pembengkakan kaki mencit dengan platismometer air raksa. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan kaki mencit ke dalam tabung yang berisi air raksa sampai tanda batas pengukuran. Perubahan volume air raksa terlihat pada kenaikan skala pada pletismometer sebagai volume waktu tertentu (Vt) kaki mencit. Volume pembengkakan kaki mencit ditentukan berdasarkan selisih antara volume waktu tertentu (Vt) dengan volume awal (V0).

Gambar pembengkakan kaki mencit dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 64.

3.5.4 Uji Titer Antibodi

Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml SDMD 1% dalam PBS secara intraperitoneal pada hari ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7, sampel darah masing-masing mencit diambil melalui pembuluh darah vena di bagian ekor. Sampel darah dikumpulkan dalam tabung mikro (microtube), kemudian dilakukan pemusingan 1900 rpm dengan alat sentrifugasi pada suhu 40C selama 10 menit dan diambil serumnya. Nilai titer antibodi ditentukan dengan teknik hemaglutinasi. 25 µl serum


(48)

diteteskan ke dalam sumur microtitration plate 96 lubang, ditambahkan PBS dan SDMD dengan volume yang sama, dan diencerkan dua kali lipat (1:2; 1:4; 1:8; 1:16; 1:32; 1:64; 1:128; 1:256; 1:512; 1:1024; 1:2048; 1:4096) kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam dan diamati hemaglutinasi secara visual (Makare et al, 2001; Puri et al, 1993). Nilai titer antibodi ditentukan berdasarkan pengenceran terakhir dimana antibodi masih terdeteksi melalui hemaglutinasi yang terlihat secara visual. Nilai titer antibodi tersebut selanjutnya ditransformasikan dengan [2log(titer)+1] (Hargono, 2000). Gambar hasil hemaglutinasi dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 65.

3.6 Analisis Data

Data hasil penellitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 15. Data hasil penelitian ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA satu arah untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara perlakuan. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc Tuckey untuk mengetahui variabel mana yang memiliki perbedaan. Berdasarkan nilai signifikansi, p<0,05 dianggap signifikan. Data ditampilkan dalam rerata ± SEM dan dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 66.


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Simplisia dan Ekstrak

Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi di Herbarium Medanense (MEDA), Universitas Sumatera Utara. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 49.

Hasil pemeriksaan makroskopik dari rimpang temu giring (Lampiran 2, halaman 52) adalah berbentuk hampir bulat sampai jorong atau bulat memanjang, kadang bercabang atau berbentuk tidak beraturan, warna kuning, warna daging kuning terang, panjang 5-9 cm, dan diameter 2-4 cm. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia rimpang temu giring diperoleh bentuk keping pipih, ringan, diameter 2-4 cm dan ketebalan 1-4 mm; bagian tepi berombak atau berkeriput, warna kuning kecoklatan, bau khas, rasa pahit, sedikit pedas, lama-kelamaan menimbulkan rasa tebal. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia (Lampiran 2, halaman 51) terlihat fragmen berupa butir pati, tetes minyak atsiri, fragmen parenkim, rambut penutup, fragmen pembuluh kayu dan fragmen gabus.

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rimpang temu giring diperoleh kadar air 9,14%, kadar abu total 4,54%, kadar abu tidak larut dalam asam 1,66%, kadar sari yang larut dalam air 17,18%, kadar sari yang larut dalam etanol 11,72%. Hasil penetapan kadar air, kadar sari yang larut dalam air, kadar sari yang larut dalam etanol, dan kadar abu total memenuhi persyaratan pada Materia Medika Indonesia. Persyaratan umum pada Materia Medika Indonesia (MMI)


(50)

adalah kadar air tidak lebih dari 10%, kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 16%, kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 6%, kadar abu tidak lebih dari 9%, dan kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1,5%.

Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak rimpang temu giring diperoleh kadar air 3,97%, kadar abu total 0,42%, kadar abu tidak larut dalam asam 0,10%. Hasil penetapan kadar air, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam ekstrak memenuhi persyaratan Monograph of Indonesian Medicinal Plant Extracts. Persyaratan umum pada Monograph of Indonesian Medicinal Plant Extracts adalah kadar air tidak lebih dari 9,6%, kadar abu total tidak lebih dari 0,5%, dan kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 0,2%, yang dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak.

No Penetapan

Simplisia Ekstrak

Kadar (%)

Persyaratan MMI

Kadar (%)

Persyaratan MIMPE

1 Kadar sari larut dalam air 17,18 > 16 - -

2. Kadar sari larut dalam etanol 11,72 > 6 - -

3. Kadar abu total 4,54 < 9 0,42 < 0,5

4. Kadar abu tidak larut dalam asam 1,66 < 1,5 0,10 < 0,2

5. Kadar air 9,14 < 10 3,97 < 9,6

Keterangan :

MMI = Materia Medika Indonesia

MIMPE = Monograph of Indonesian Medicinal Plant Extracts

Dapat dilihat dari tabel di atas, kadar abu tidak larut dalam asam lebih besar dari yang ditetapkan dapat ditarik kesimpulan bahwa ini dipengaruhi oleh tanah tempat tumbuh tanaman temu giring tersebut. Hasil pemeriksaan kadar sari larut dalam etanol menunjukkan bahwa jumlah senyawa dalam simplisia rimpang


(51)

temu giring yang dapat tersari dalam pelarut etanol sebesar 11,72%, memenuhi persyaratan MMI. Standarisasi bahan baku dan ekstrak diperlukan karena kandungan bahan aktif yang terkandung dalam jenis tanaman yang sama dapat bervariasi, dengan standarisasi diharapkan bahan aktif yang terkandung di dalam bahan baku tersebut cukup konsisten, sehingga takaran yang digunakan untuk pengujian memiliki kandungan aktif yang setara.

Hasil penyarian 877 g serbuk simplisia rimpang temu giring dengan pelarut etanol 96% diperoleh ekstrak kental yang kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator dan kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer diperoleh 146,72 g ekstrak (rendemen 16,73%).

4.2 Pengujian Efek Imunomodulator

Pada penelitian ini, pengujian efek imunomodulator ekstrak rimpang temu giring dilakukan dengan metode respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap aktivitas dan mekanisme sistem imun humoral yang melibatkan sel T dan sel B. Menurut Makare et al (2001), metode tersebut mempunyai keuntungan diantaranya memungkinkan dua komponen respon imun diukur pada spesies yang sama dibawah kondisi ideal, relatif sederhana dan tidak mahal.

Pengujian dilakukan dengan cara menginduksi sel imun mencit dengan SDMD sebagai antigen secara intraperitoneal pada hari ke-0. Respon hipersensitivitas tipe lambat diketahui dari volume pembengkakan kaki mencit yang diukur pada hari ke-8 setelah sehari sebelumnya sel imun mencit diinduksikan kembali dengan SDMD secara intraplantar. Pengukuran volume pembangkakan dilakukan dengan menggunakan alat pletismometer air raksa.


(52)

Pengukuran nilai titer antibodi dilakukan pada hari ke-7 dengan menggunakan metode hemaglutinasi. Hemaglutinasi adalah ikatan antara sel darah merah sebagai antigen dengan antibodi sehingga menimbulkan suatu gumpalan yang dapat dilihat. Pada lingkungan dengan pH netral, sel darah merah bermuatan negatif sehingga akan terjadi aksi tolak-menolak antar sel. Oleh karena itu sel darah merah yang digunakan disuspensikan dalam larutan penyangga dengan pH ±7 (PBS) untuk menjaga agar sel darah merah tetap dalam kondisi pH netral, sehingga tetap bermuatan negatif. Hemaglutinasi terbentuk karena adanya ikatan silang antara sel darah merah dengan antibodi. Antibodi yang mempunyai kemampuan lebih besar untuk berikatan dengan sel darah merah adalah IgM. IgM mempunyai ukuran yang besar dan valensi yang tinggi, sehingga dapat melawan rintangan elektrik dan membentuk ikatan silang dengan sel darah merah sehingga menyebabkan terjadinya aglutinasi. Antibodi lainnya seperti IgG mempunyai ukuran dan valensi yang lebih kecil, sehingga kemampuannya melawan rintangan elektrik lebih lemah dibandingkan dengan IgM (Kuby, 1994). Terkait dengan prinsip hemaglutinasi di atas, maka dalam penelitian ini sel darah merah yang digunakan sebagai antigen adalah sel darah merah domba (SDMD) karena memiliki muatan negatif yang lebih kuat, sehingga kemampuannya untuk berikatan dengan antibodi semakin kuat. Dengan demikian, hasil hemaglutinasi yang diperoleh dapat diketahui dengan mudah. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:


(53)

Tabel 4.2 Volume Pembengkakan Kaki Mencit dan Nilai Titer Antibodi

No Perlakuan

Volume Kaki

mencit (ml) Nilai Titer Antibodi

V0 Vt ∆V Titer antibodi [2(Log(titer)+1]

1 CMC Na 1%

1,8 2,5 0,7 4 2,20

1,8 2,5 0,7 8 2,81

1,8 2,4 0,6 8 2,81

1,9 2,4 0,5 8 2,81

1,8 2,3 0,5 4 2,20

2

Suspensi ekstrak rimpang temu giring dosis 100

mg/kgBB

1,8 3,1 1,3 64 4,61

1,7 3 1,3 32 4,01

1,7 3 1,3 32 4,01

1,9 3 1,1 64 4,61

1,9 3,1 1,2 32 4,01

3

Suspensi ekstrak rimpang temu giring dosis 200

mg/kgBB

1,5 3 1,5 256 5,82

1,8 3,3 1,5 256 5,82

1,5 3,1 1,6 512 6,42

1,6 3 1,4 256 5,82

1,8 3,2 1,4 256 5,82

4

Suspensi ekstrak rimpang temu giring dosis 400

mg/kgBB

1,8 3,4 1,6 512 6,42

1,7 3,5 1,8 1024 7,02

1,5 3,3 1,8 512 6,42

1,8 3,5 1,7 512 6,42

1,6 3,4 1,8 512 6,42

5

Suspensi siklofosfamida

dosis 50 mg/kgBB

1,8 3,6 1,8 2 1,60

1,9 3,8 1,9 4 2,20

1,9 3,6 1,7 2 1,60

1,8 3,5 1,7 2 1,60

1,8 3,7 1,9 4 2,20

Suspensi siklofosfamida (SS) digunakan sebagai kontrol positif karena mekanisme kerja siklofosfamida telah diketahui yaitu menekan populasi sel T supresor (Makare,2001;Mitsuoka,1979). Siklofosfamida juga diketahui mempunyai aktivitas antiproliferatif yang menghambat pembentukan antibodi. Dengan demikian siklofosfamid hanya berpengaruh pada sel T supresor dan sel B (Turk, 1989).

4.2.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Respon hipersensitivitas tipe lambat dikenali dengan reaksi imuno-inflamasi, dimana makrofag dan sel Th1 berperan besar dalam proses tersebut (Mukherjee, 2010). Reaksi imuno-inflamasi ditandai dengan adanya


(54)

pembengkakan pada tempat terjadinya induksi antigen. Pembengkakan terjadi karena adanya antigen spesifik yang mengaktivasi sel T terutama sel Th1. Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan beberapa sitokin yang bersifat proinflamasi. Sitokin tersebut akan menarik makrofag ke tempat terjadinya

induksi dan mengaktivasinya sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas

fagositik untuk melawan antigen yang masuk (Tiwari, 2004). Penarikan makrofag inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Semakin besar pembengkakan menunjukkan semakin tinggi respon hipersensitivitas tipe lambat sehingga dapat menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun.

Hasil pengukuran volume pembengkakan kaki kanan mencit sebagai respon terhadap hipersensitivitas tipe lambat dapat dilihat pada gambar berikut.


(55)

Gambar 4.1. Volume Pembengkakan Kaki Mencit Pada Berbagai Perlakuan (Rerata ± SEM)

Keterangan:

^ = berbeda signifikan dengan CMC 1%

+ = berbeda signifikan dengan SERTG dosis 100 mg/kg BB * = berbeda signifikan dengan SERTG dosis 200 mg/kg BB

” = berbeda signifikan dengan SERTG dosis 400 mg/kg BB

# = berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB tb^ = tidak berbeda signifikan dengan CMC 1%

tb+ = tidak berbeda signifikan dengan SERTG dosis 100 mg/kg BB tb* = tidak berbeda signifikan dengan SERTG dosis 200 mg/kg BB tb” = tidak berbeda signifikan dengan SERTG dosis 400 mg/kg BB tb# = tidak berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB

Pada gambar 4.1 di atas terlihat bahwa SERTG dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB, dan SS dosis 50 mg/kg BB menunjukkan volume pembengkakan yang jauh berbeda dengan CMC Na 1% sebagai kontrol. SERTG dosis 400mg/kg BB dengan volume pembengkakan 1,74 ml menunjukkan volume pembengkakan yang lebih besar dibandingkan dengan SERTG dosis 100mg/kg BB dan SERTG dosis 200mg/kg BB yang bernilai 1,24 dan 1,48 ml.

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan

+*”#

^*”#

^+”#


(56)

program SPSS versi 15 terhadap volume pembengkakan kaki mencit dimana hasil analisis variansi dapat kita lihat pada Lampiran 8, halaman 69. Hasil analisis variansi diperoleh harga F hitung>F tabel (F tabel = 2,87). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap volume pembengkakkan kaki mencit dengan nilai signifikansi p<0,05.

Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tuckey untuk semua perlakuan dimana hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 70.

Hasil uji Post Hoc Tuckey menunjukkan bahwa volume pembengkakan kaki mencit kelompok perlakuan SERTG dosis 400 mg/kg BB menyamai kelompok perlakuan SS dosis 50 mg/kg BB (kontrol positif). Hal ini terkait dengan mekanisme kerja siklofosfamid.

Mekanisme kerja siklofosfamida terhadap potensiasi hipersensitivitas tipe lambat adalah dengan menurunkan populasi sel T supresor (Makare,2001;Mitsuoka,1978) dan menghambat pembentukan antibodi oleh sel B (Turk, 1989). Dengan demikian, siklofosfamida diketahui hanya berpengaruh pada sel T supresor dan sel B, tetapi tidak pada sel Th1. Sel Th1 adalah sel yang berperan dalam terjadinya respon hipersensitivitas tipe lambat. Sel Th1 yang teraktivasi oleh antigen akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi sehingga akan menarik makrofag ke area induksi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan pada area induksi (Tiwari, 2004). Untuk membedakan mekanisme kerja siklofosfamida dan ekstrak, maka dilakukan uji berikutnya, yaitu titer antibodi.


(57)

Berdasarkan perhitungan statistik yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan volume pembengkakan kaki mencit pada kelompok perlakuan SERTG dosis 100, 200, 400 mg/kg BB terhadap kontrol negatif CMC 1%. Peningkatan volume pembengkakan kaki mencit merupakan gambaran adanya peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit tersebut. Peningkatan respon ini mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan sel imun mencit dalam menanggapi antigen terutama peningkatan respon imun spesifik seluler. Sel yang berperan dalam respon imun seluler adalah sel T terutama sel Th. Saat tubuh terpapar oleh antigen, sel Th akan teraktivasi dan mengaktifkan makrofag yang berperan dalam proses fagositosis (Roit, 1989). Dengan demikian, ekstrak rimpang temu giring menunjukkan efek stimulasi terhadap sel T terutama sel Th.

4.2.2 Titer Antibodi

Titer antibodi ditentukan dengan metode hemaglutinasi. Penentuan hemaglutinasi titer antibodi bertujuan untuk menetapkan respon humoral melawan SDMD. Peningkatan respon imun humoral dibuktikan dengan adanya peningkatan titer antibodi mencit yang mengindikasikan peningkatan kepekaan sel T dan sel B terkait dengan produksi antibodi.

Efek pemberian SERTG dan SS menunjukkan hasil yang berbeda pada titer antibodi. Titer antibodi sel imun mencit dapat kita lihat pada gambar 4.2.


(58)

Gambar 4.2: Titer Antibodi Sel Imun Mencit (Rerata±SEM) Keterangan:

^ = berbeda signifikan dengan CMC 1%

+ = berbeda signifikan dengan SERTG dosis 100 mg/kg BB * = berbeda signifikan dengan SERTG dosis 200 mg/kg BB

” = berbeda signifikan dengan SERTG dosis 400 mg/kg BB

# = berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB tb^ = tidak berbeda signifikan dengan CMC 1%

tb+ = tidak berbeda signifikan dengan SERTG dosis 100 mg/kg BB tb* = tidak berbeda signifikan dengan SERTG dosis 200 mg/kg BB tb” = tidak berbeda signifikan dengan SERTG dosis 400 mg/kg BB tb# = tidak berbeda signifikan dengan SS dosis 50 mg/kg BB

Pada gambar 4.2 terlihat bahwa SERTG dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB menunjukkan nilai titer antibodi yang berbeda dengan CMC 1% sebagai kontrol. Pemberian SERTG dosis 400 mg/kg BB menunjukkan peningkatan nilai titer antibodi senilai 6,54. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan SERTG dosis 100 dan 200 mg/kg BB yang bernilai 4,25 dan 5,94. Perbedaan yang cukup besar juga terlihat antara SERTG dosis 400 mg/kg BB dengan SS dosis 50 mg/kg BB. Bahkan nilai titer antibodi SS dosis 50 mg/kg BB lebih rendah dibandingkan CMC 1%. Hal ini menunjukkan bahwa siklofosfamida menurunkan produksi antibodi. Dengan demikian terbukti bahwa mekanisme siklofosfamida adalah

+*”#

^*”#

^+”#

^+*#


(59)

dengan menekan produksi antibodi dengan cara mempengaruhi sel B. Berdasarkan hasil penelitian ini, siklofosfamida secara keseluruhan konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan mekanisme kerja siklofosfamida dalam model penelitian yang sama.

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan program SPSS versi 15 terhadap titer antibodi dimana hasil analisis variansi dapat kita lihat pada Lampiran 8, halaman 69. Hasil analisis variansi volume pembengkakkan dan titer antibodi di peroleh harga F hitung>F tabel (F tabel = 2,87). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap titer antibodi sel imun, dengan nilai signifikansi p<0,05.

Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tuckey untuk semua perlakuan dimana hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 70. Uji Post Hoc Tuckey menunjukkan adanya perbedaan titer antibodi yang bermakna dari masing-masing kelompok uji dengan signifikansi p<0,05.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian SERTG dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB memberikan efek peningkatan titer antibodi sel imun mencit. Sedangkan pemberian SS dosis 50 mg/kg BB menurunkan titer antibodi sel imun mencit. Peningkatan titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th, yaitu sel Th2 untuk menstimulasi produksi dan meningkatkan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, 1989). Antibodi akan berikatan dengan antigen yang menginfeksi tubuh. Ikatan antigen dan antibodi memberikan


(60)

gambaran adanya efek stimulasi ekstrak rimpang temu giring terhadap respon imun humoral yang berkaitan dengan stimulasi dan aktivasi sel B.

Dari uraian hasil uji statistik di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian SERTG memberikan efek meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Pemberian SERTG dosis 400 mg/kg BB memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian SERTG dosis 100 mg/kg BB dan SERTG dosis 200 mg/kg BB. Sedangkan pemberian SS dosis 50 mg/kg BB menunjukkan efek yang meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat tetapi menurunkan nilai titer antibodi sel imun mencit. Hal ini sesuai dengan mekanisme siklofosfamida berdasarkan literatur dan penelitian sebelumnya, yaitu menekan proliferasi sel T supresor dan menekan produksi antibodi. (Mitsuoka, 1976; Turk,1989).

Rimpang temu giring mengandung senyawa khas kurkumin yang secara in vivo telah diteliti khasiatnya sebagai imunostimulan. Efek imunomodulator kurkumin berhubungan dengan kemampuannya dalam meningkatkan kemampuan proliferasi sel T (Varalakshmi,2008) . Pada penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa kurkumin meningkatkan aktivitas sel B yang dapat dilihat dari kemampuannya meningkatkan titer antibodi. Dengan demikian rimpang temu giring dapat digunakan sebagai imunomodulator terkait dengan pengaruhnya dalam meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit.


(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Pemberian ekstrak rimpang temu giring meningkatkan respon

hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan

2. Pemberian ekstrak rimpang temu giring meningkatkan titer antibodi sel

imun mencit jantan

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut mengenai isolasi dan identifikasi zat aktif dalam rimpang temu giring yang dapat meningkatkan respon imun dengan menggunakan metode lain seperti uji granulosit, bioluminisensi radikal, dan uji transformasi limfosit T.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Aggarawal, B.B., Chitra S., Nikita M., Haruyo i. (2006). Curcumin: The Indian Solid Gold. Page 2.

Araujo, C. C. and L. L. Leon. (2001). Biological Activities of Curcuma Longa L. Mem. Inst. Osw. Cruz. 96: 723-728.

Baratawidjaja G. K. dan Iris R. (2001). Imunologi Dasar. Dalam Buku: Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Slamet Suryono. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 3-8.

Bermawie, N., Rahardjo, M., Wahyuno, D dan Ma’mun. (2007). Status Teknologi Budidaya dan Pasca Panen Tanaman Kunyit dan Temulawak Sebagai

Penghasil Kurkumin

Citrosoepomo, G. (2001). Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman 106.

Commandeur, J. N. and N.P. Vermeulen. (1996). Cytotoxicity and Cytoprotective Activities of Natural Compounds: The Case of Curcumin. Xenobiotica.

26: 667-680.

DeAngelis, K.M. (2007). Phosphate Buffer Saline a.k.a PBS. http

Ditjen POM. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 169 – 171.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 5, 10-11.

Eigner D. and D. Scholz. (1999). Ferula asa-foetida and Curcuma Longa in Tradisional Medical Treatment and Diet in Nepal. J. Eth. Pharm. 67: 1-6. Handojo, Indro. (2003). Pengantar Imunoasai Dasar. Surabaya: Airlangga

University Press. Hal. 1.

Hargono, Djoko., M.Wien Winarso., Ayu Werawati. (2000). Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.) terhadap aktivitas Sistem Imun Mencit Putih. Cermin Dunia Kedokteran. 127: 22-29.

Joe B., M. Vijaykumar, and B.R. Lokesh. (2004). Biological Properties of Curcumin Cellular and Molecul Mechanisms of Action. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 44: 97-111.


(63)

Kresno, Boedina Siti. (2001). Imunologi: Diagnosis dan Proses Laboratorium. Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 5, 10-12, 112-128.

Kuby, J. (1994). Immunology. Secong Edition. New York: W.H. Freeman and Company. Pages 23-45.

Kumar, S.V. Sharma, P.K., Dudhe R., Kumar, N. (2011). Immunomodulatory Effects of Some Traditional Medicinal Plants. J. Chem. Pharm. Res.

3(1): 678.

Kusmardi, Shirly, K., dan Enif, E.T. (2007). Efek Imunomodulator Ekstrak Daun Ketepeng Cina (Cassia alata. L) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag. Makara Kesehatan. Vol 11. No 2. Hal. 50-51. Makare, Neelam., Subhash B., Vinod R. (2001). Immunomodulatory Activity Of

Alcoholic Extract Of Mangifera indica L. In Mice.

J. Eth. Pharm. 78: 133-137.

Mitsuoka, Akio, Shigeru M., Mitsuo B., Takyuki H. (1979). Cyclophosphamide Eliminates Suppressor T Cells In Age-associated Central Regulation Of Delayed Hypersensitivity In Mice. J. Exp. Med. 149: 123-126.

Muhlisah, F. (1999). Temu-temuan dan Empon-empon : Budi Daya dan Manfaatnya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Halaman 53–54.

Mukherjee, D., Tarak N.K., P.Venkatesh, B.P. Saha, Pulok K.M. (2010). Immunomodulatory Potential Of Rhizome And Seed Extracts Of Nelumbo nucifera Gaertn. J. Eth. Pharm. 128: 492-493.

Mursito, B. (2003). Ramuan Tradisional Untuk Pelangsing Tubuh. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya. Halaman 82-83.

Pradita, D. (2010). Uji Efek Ekstrak Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp.) Sebagai Penurun Kadar Kolesterol Darah Marmot Jantan (Cavia porcellus). Skripsi Sarjana Strata-1. Universitas Sumatera Utara.

Puri, Anju, Ragini S., R.P. saxena, K.C. Saxena. (1993). Immunostimulant Agent From Andrographis paniculata. J. Nat. Prod. 56: 996.

Rantam, F.A. (2003). Metode Imunologi. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 1.

Rasool, M., P. Varalakshmi. (2006). Immunomodulatory Role of Withania somnifera Root Powder on Experiment Induced Inflamation: An In Vivo and In Vitro study. Vas. Pharm. 44: 406-410.


(1)

a.

b.

a.

Sebelum Induksi Antigen


(2)

(Sambungan)

Hemaglutinasi Titer Antibodi

Aglutinasi (+)


(3)

Tests of Normality

.241 5 .200* .821 5 .119

.349 5 .046 .771 5 .046

.231 5 .200* .881 5 .314

.349 5 .046 .771 5 .046

.241 5 .200* .821 5 .119

.367 5 .026 .684 5 .006

.367 5 .026 .684 5 .006

.473 5 .001 .552 5 .000

.473 5 .001 .552 5 .000

.367 5 .026 .684 5 .006

Perlakuan kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif Pembengkakan Titerantibodi

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true s ignificance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

De scri ptives

5 .6000 .10000 .04472 .4758 .7242 .50 .70

5 1.2400 .08944 .04000 1.1289 1.3511 1.10 1.30 5 1.4800 .08367 .03742 1.3761 1.5839 1.40 1.60 5 1.7400 .08944 .04000 1.6289 1.8511 1.60 1.80 5 1.8000 .10000 .04472 1.6758 1.9242 1.70 1.90 25 1.3720 .45141 .09028 1.1857 1.5583 .50 1.90 5 2.5660 .33411 .14942 2.1511 2.9809 2.20 2.81 5 4.2500 .32863 .14697 3.8419 4.6581 4.01 4.61 5 5.9400 .26833 .12000 5.6068 6.2732 5.82 6.42 5 6.5400 .26833 .12000 6.2068 6.8732 6.42 7.02 5 1.8400 .32863 .14697 1.4319 2.2481 1.60 2.20 25 4.2272 1.88850 .37770 3.4477 5.0067 1.60 7.02 kontrolnegatif 100mg/kgB B 200mg/kgB B 400mg/kgB B kontrolpos itif Total kontrolnegatif 100mg/kgB B 200mg/kgB B 400mg/kgB B kontrolpos itif Total Pembengk akan Tit erantibodi

N Mean St d. Deviat ion St d. E rror Lower Bound Upper Bound 95% Confidenc e Interval for

Mean

Minimum Maximum


(4)

ANOVA

4.718 4 1.180 137.163 .000

.172 20 .009

4.890 24

83.708 4 20.927 221.858 .000

1.887 20 .094

85.594 24

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total Pembengkakan

Titerantibodi

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

(Sambungan)


(5)

Multiple Comparisons Tukey HSD

-.64000* .05865 .000 -.8155 -.4645 -.88000* .05865 .000 -1.0555 -.7045 -1.14000* .05865 .000 -1.3155 -.9645 -1.20000* .05865 .000 -1.3755 -1.0245

.64000* .05865 .000 .4645 .8155

-.24000* .05865 .005 -.4155 -.0645 -.50000* .05865 .000 -.6755 -.3245 -.56000* .05865 .000 -.7355 -.3845

.88000* .05865 .000 .7045 1.0555

.24000* .05865 .005 .0645 .4155

-.26000* .05865 .002 -.4355 -.0845 -.32000* .05865 .000 -.4955 -.1445

1.14000* .05865 .000 .9645 1.3155

.50000* .05865 .000 .3245 .6755

.26000* .05865 .002 .0845 .4355

-.06000 .05865 .842 -.2355 .1155

1.20000* .05865 .000 1.0245 1.3755

.56000* .05865 .000 .3845 .7355

.32000* .05865 .000 .1445 .4955

.06000 .05865 .842 -.1155 .2355

-1.68400* .19424 .000 -2.2652 -1.1028 -3.37400* .19424 .000 -3.9552 -2.7928 -3.97400* .19424 .000 -4.5552 -3.3928

.72600* .19424 .010 .1448 1.3072

1.68400* .19424 .000 1.1028 2.2652 -1.69000* .19424 .000 -2.2712 -1.1088 -2.29000* .19424 .000 -2.8712 -1.7088 2.41000* .19424 .000 1.8288 2.9912 3.37400* .19424 .000 2.7928 3.9552 1.69000* .19424 .000 1.1088 2.2712 -.60000* .19424 .041 -1.1812 -.0188 4.10000* .19424 .000 3.5188 4.6812 3.97400* .19424 .000 3.3928 4.5552 2.29000* .19424 .000 1.7088 2.8712

.60000* .19424 .041 .0188 1.1812

4.70000* .19424 .000 4.1188 5.2812 -.72600* .19424 .010 -1.3072 -.1448 -2.41000* .19424 .000 -2.9912 -1.8288 -4.10000* .19424 .000 -4.6812 -3.5188 -4.70000* .19424 .000 -5.2812 -4.1188 (J) Perlakuan 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB (I) Perlakuan kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif kontrolnegatif 100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB kontrolpositif Dependent Variable Pembengkakan Titerantibodi Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is s ignificant at the .05 level. *.


(6)

Pe mbengkakan

Tukey HSD

a

5

.6000

5

1.2400

5

1.4800

5

1.7400

5

1.8000

1.000

1.000

1.000

.842

Perlak uan

kontrolnegatif

100mg/kgB B

200mg/kgB B

400mg/kgB B

kontrolpos itif

Sig.

N

1

2

3

4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Us es Harmonic Mean S ample Size = 5.000.

a.

Ti tera ntibodi

Tukey HSD

a

5

1.8400

5

2.5660

5

4.2500

5

5.9400

5

6.5400

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

Perlak uan

kontrolpos itif

kontrolnegatif

100mg/kgB B

200mg/kgB B

400mg/kgB B

Sig.

N

1

2

3

4

5

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subs ets are displayed.

Us es Harmonic Mean S ample S ize = 5.000.

a.

(Sambungan)

Homogeneous


Dokumen yang terkait

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

6 95 87

Efek Imunostimulator Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens (Lour.) Merr) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titerantibodi Sel Imun Pada Mencit Jantan

5 78 91

Efek Imunostimulator Ekstrak Etanol Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume.) terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

3 29 82

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 14

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 2

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 2 5

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 10

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 3 4

Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Respon Hipersensitivitas dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 15

Efek Imunomodulator Ekstrak Etil Asetat Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) Terhadap Respon Hipersensitivitas Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

0 0 14