Aktivitas Nefroprotektif Ekstrak Etanol Temu Mangga (Curcuma mangga Val) Pada Mencit Jantan yang Diinduksi Parasetamol Chapter III V

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental.
Penelitian meliputi pengumpulan dan penyiapan bahan tumbuhan, identifikasi
sampel, pengolahan sampel, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan
ekstrak, penyiapan hewan percobaan, pengujian aktivitas antidiare ekstrak etanol
temu mangga (Curcuma mangga Val) secara oral pada mencit jantan, dan
pengolahan data. Data hasil penelitian dianalisis secara anova (analisis variansi)
menggunakan program SPSS versi 17 dan uji Post Hoc Tukey HSD .

3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan terdiri dari lemari pengering, oven, tanur, rotary
evaporator, seperangkat alat destilasi, freeze dryer, seperangkat alat penetapan
kadar air, desikator, kurs porselin, mikroskop, neraca hewan, neraca listrik,
blender, seperangkat alat bedah hewan, meja bedah, alat-alat gelas laboratorium,
mortir dan stamfer, aluminium foil, kaca objek (object glass), kaca penutup (deck
glass), cawan porselen, kertas saring, kandang hewan, oral sonde, pipet tetes, dan
spuit.
3.1.2 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang temu
mangga. Bahan yang digunakan adalah parasetamol, CMC Na, tablet Curcuma®
dan semua bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis kecuali

87
Universitas Sumatera Utara

dinyatakan lain adalah kloralhidrat, etanol 70%, etanol 96%, pereaksi Bouchardat,
pereaksi Dragendorff, pereaksi Mayer, besi (III) klorida, pereaksi Molisch, timbal
(II) asetat, asam sulfat, asam klorida, amil alkohol, methanol, kloroformisopropanol,

Liebermann-Burchard,

n-heksan,

toluen,

kloroform,

serbuk


magnesium, serbuk sengdan akuades.

3.2 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel
3.2.1 Pengumpulan Sampel
Pengambilan

sampel

dilakukan

secara

purposif

yaitu

tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel

didapatkan dari Pasar yang berasal dari daerah Brastagi.
3.2.2 Identifikasi Sampel
Determinasi bahan tumbuhan temu mangga (Curcuma mangga Val)
dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA) Universitas Sumatera Utara.
3.2.3 Pengolahan Sampel
Temu mangga (Curcuma mangga Val) dikumpulkan, dibuang bagian yang
tidak diperlukan (sortasi basah) selanjutnya dicuci bersih di bawah air mengalir,
ditiriskan, diiris dan ditimbang berat basahnya. temu mangga (Curcuma mangga
Val) selanjutnya dikeringkan di lemari pengering hingga kering dan ditimbang
berat kering simplisia. Setelah kering simplisia diblender sampai halus dan
diayak. Simplisia yang sudah halus disimpan dalam wadah plastik yang tertutup
rapat.

88
Universitas Sumatera Utara

3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,
mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan
kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu

tidak larut asam (Ditjen POM, 1995; WHO, 1992).
3.3.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Organoleptik
Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan mengamati
bentuk, bau, rasa dan warna dari serbuk simplisia temu mangga (Curcuma
mangga Val).
3.3.2 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia temu
mangga (Curcuma mangga Val). Serbuk simplisia temu mangga (Curcuma
mangga Val) diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan
kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah
mikroskop.
3.3.3 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi
toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 mL, alat penampung, pendingin,
tabung penyambung, dan tabung penerima.
Cara kerja:
Dimasukkan 200 mL toluena dan 2 mL air suling ke dalam labu alas bulat,
lalu destilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30
menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 mL.
Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 gram serbuk simplisia yang telah


89
Universitas Sumatera Utara

ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena
mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian
besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap
detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan
toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima
dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah
sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air
yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang
diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).
3.3.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dikeringkan dimaserasi selama 24 jam
dalam 100 mL campuran air dan kloroform (2,5 kloroform dalam air sampai 1000
mL) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 mL filtrat diuapkan
sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata dan telah ditara, sisanya
dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995).
3.3.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia yang telah dikeringkan dimaserasi
selama 24 jam dalam 100 mL etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok
sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian
disaring, 20 mL filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata
yang telah ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap.

90
Universitas Sumatera Utara

Kadar sari larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
(Ditjen POM, 1995).
3.3.6 Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 gram serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang
seksama dimasukkan dalam kurs porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Kurs dipijar perlahan-lahan, kemudian naikkan suhu secara bertahap
hingga 600oC sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan,
ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan
kertas saring dalam kurs yang sama. Masukkan filtrat ke dalam kurs, uapkan,

pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).
3.3.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25
mL asam klorida 2N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu dan dicuci dengan air
panas, dipijarkan kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar
abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
(Ditjen POM, 1995).

3.4 Skrining Fitokimia Simplisia
Skrining fitokimia serbuk simplisia temu mangga (Curcuma mangga Val)
meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin,
glikosida, dan steroid/triterpenoid.

91
Universitas Sumatera Utara

3.4.1 Pemeriksaan Flavonoid
Sebanyak 10 gram serbuk simplisia ditambah 100 mL air panas,

dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang
diperoleh kemudian diambil 5 mL lalu ditambahkan 0,1 gram serbuk Mg dan 1
mL HCl pekat dan 2 mL amil alkohol, dikocok, dan dibiarkan memisah.
Flavonoid positif jika terjadi warna merah kekuningan atau jingga pada lapisan
amil alkohol (Farnsworth, 1966).
3.4.2 Pemeriksaan Alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian ditambahkan 1
mL asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air selama
2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji
alkaloida:
1. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer
akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.
2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi
Bouchardat akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.
3. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi
Dragendorff akan terbentuk warna merah atau jingga.
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit dua dari
tiga percobaan di atas (Ditjen POM, 1995).
3.4.3 Pemeriksaan Saponin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok
kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak

92
Universitas Sumatera Utara

kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida
2N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).
3.4.4 Pemeriksaan Tanin
Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia disari dengan 10 mL air suling lalu
disaring, filtratnya diencerkan sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2
mL dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna
biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Harborne,
1987). 3.4.5 Pemeriksaan Glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 gram, lalu disari dengan 30 mL
campuran etanol 95% dengan air suling (7:3) dan 10 mL asam sulfat 2N, direfluks
selama 1 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 mL filtrat ditambahkan 25
mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu
disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran isopropanol dan kloroform (2:3),
dilakukan berulang kali sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada

temperatur tidak lebih dari 500C. Sisanya dilarutkan dalam 2 mL metanol. Larutan
sisa dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air.Pada sisa
ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molisch. Kemudian secara perlahanlahan ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya
cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Ditjen
POM, 1995).
3.4.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid
Sebanyak 1gram serbuk simplisia dimaserasi dengan eter 20 mL selama 2
jam, disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan
2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Lieberman-

93
Universitas Sumatera Utara

Bourchard), diteteskan pada saat akan mereaksikan sampel uji. Apabila terbentuk
warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida sedangkan warna merah,
merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Temu Mangga (EETM)
Pembuatan ekstrak etanol temu mangga dilakukan secara maserasi dengan
pelarut etanol 96%. Sebanyak 500 g serbuk simpisia temu mangga dimasukkan ke

dalam wadah kaca, ditambahkan etanol 96% sebanyak 3,75 L, tutup, biarkan
selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci
ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 4 L. Pindahkan ke
dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2
hari. Dienaptuangkan atau disaring. Hasil yang diperoleh dipekatkan dengan
rotary evaporator sampai sebagian besar pelarutnya menguap dan dilanjutkan
proses penguapan di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak kental (Depkes,
RI., 1979).

3.6 Pengujian Efek Nefroprotektif EETM
Pengujian efek nefroprotektif meliputi penyiapan hewan percobaan,
penyiapan bahan uji, kontrol, obat pembanding, induksi kerusakan ginjal, dan
pengujian efek nefroprotektif.
3.6.1 Penyiapan Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit (Mus
musculus) jantan sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.

94
Universitas Sumatera Utara

Sebelum digunakan, mencit diaklimatisasi selama 7 hari dengan kondisi
lingkungan percobaan.
3.6.2 Penyiapan Bahan
Bahan yang digunakan meliputi suspensi CMC Na sebagai kontrol,
suspensi Curcuma® sebagai pembanding, suspensi ekstrak etanol temu mangga
sebagai bahan uji, parasetamol sebagai penginduksi kerusakan ginjal.
3.6.2.1 Pembuatan Suspensi CMC Na 0,5% b/v
Sebanyak 500 mg Na-CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi air
suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa
yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling,
dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur, dicukupkan volumenya dengan
air suling hingga 100 mL (Anief, 1995).
3.6.2.2 Pembuatan Suspensi Curcuma®
Satu tablet Curcuma® mengandung 20 mg Curcuma xanthorrhiza.
Sebanyak 10 tablet Curcuma® ditimbang, digerus halus dalam lumpang, kemudian
timbang serbuk setara 20 mg Curcuma xanthorrhiza. Serbuk yang ditimbang
dimasukkan kedalam lumpang kemudian ditambah suspensi CMC Na 0,5%
sedikit demi sedikit sambil digerus homogen, kemudian diencerkan dengan
suspensi CMC Na 0,5% hingga 10 mL.
3.6.3 Uji Aktivitas Nefroprotektif EETM pada Mencit Jantan yang Diinduksi
oleh Parasetamol
Hewan uji dibagi atas 6 kelompok dan masing-masing terdiri dari 6 hewan
percobaan. Pengujian aktivitas nefroprotektif dijelaskan sebagai berikut:

95
Universitas Sumatera Utara

a. Kelompok I: kontrol normal, hewan uji diberikan makanan dan minuman
diberikan secara ad libitum.
b. Kelompok II: kontrol negatif, hewan uji diberikan suspensi Na CMC 0,5%
sekali sehari selama 7 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis
tunggal 1,05 g/kg bb (Sathishkumar, 2014) 1 jam setelah pemberian suspensi
Na CMC 0,5% pada hari ke-7. Makanan dan minuman diberikan secara ad
libitum.
c. Kelompok III: kontrol positif, hewan uji diberikan suspensi Curcuma 58
mg/kg bb sekali sehari selama 7 hari berturut-turut diikuti pemberian
parasetamol dosis tunggal 1,05 g/kg bb 1 jam setelah pemberian suspensi Na
CMC 0,5% pada hari ke-7. Makanan dan minuman diberikan secara ad
libitum.
d. Kelompok IV: hewan uji diberikan EETM dosis 100 mg/kg bb sekali sehari
selama 7 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1,05
g/kg bb 1 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-7. Makanan dan
minuman diberikan secara ad libitum.
e. Kelompok V: hewan uji diberikan EETM dosis 200 mg/kg bb sekali sehari
selama 7 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1,05
g/kg bb 1 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-7. Makanan dan
minuman diberikan secara ad libitum.
f. Kelompok VI: hewan uji diberikan EETM dosis 400 mg/kg bb sekali sehari
selama 7 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1,05
g/kg bb 1 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-7. Makanan dan
minuman diberikan secara ad libitum.

96
Universitas Sumatera Utara

3.6.3.1 Penyiapan Serum Darah dan Organ Ginjal
Pengambilan darah dilakukan 24 jam setelah pemberian parasetamol.
Mencit didislokasi di leher kemudian dibedah dan darah diambil menggunakan
jarum suntik langsung dari jantung mencit sebanyak 1mL, dimasukkan ke dalam
microtube dan didiamkan ± 20 menit. Darah disentrifuge dengan kecepatan 3000
rpm selama 20 menit untuk mendapatkan serum darah mencit. Pemeriksaan
kreatinin dilakukan di Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara. Histologi ginjal dilakukan di Laboratorium Histopatologi di
Rumah Sakit Murni Teguh.

3.7 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi
17. Data dianalisis dengan menggunakan metode Kolmogorov Smirnov untuk
menentukan

homogenitas

dan

normalitasnya.

Kemudian

dilanjutkan

menggunakan metode One Way Anova untuk menentukan perbedaan rata-rata di
antara kelompok. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji
Post Hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan.

97
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Skrining dan Karakterisasi Simplisia
Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi di Herbarium Medanense
(MEDA), Universitas Sumatera Utara adalah tumbuhan temu mangga (Curcuma
mangga

Val.

&

Zijp)

kingdom Plantae (kerajaan Tumbuhan),

divisi

Spermatophyta (tumbuhan berbiji), kelas Monocotyledonae (kelas tumbuhan biji
berkeping satu), ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, dan genus Curcuma.
Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Hasil pemeriksaan makroskopik dari rimpang temu mangga (Lampiran 3),
adalah sebagai berikut: rimpang berwarna coklat muda berbentuk bulat, rapuh,
dan mudah dipatahkan, diameter 1-3 cm, panjang 10-13 cm, bagian dalam isinya
berwarna putih kekuningan di bagian luar dan kekuning-kuningan di bagian
tengah, bagian tepi berombak atau berkeriput bau khas seperti mangga kweni, rasa
pahit, agak pedas, lama-kelamaan menimbulkan rasa tebal. Hasil pemeriksaan
mikroskopik serbuk simplisia (Lampiran 4) terlihat fragmen parenkim, rambut
penutup, fragmen pembuluh kayu, fragmen gabus. fragmen butir pati, dan tetes
minyak atsiri.
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya kandungan
saponin, flavonoid, glikosida dan steroid/triterpenoid. Hasil karakterisasi simplisia
rimpang temu mangga yaitu penetapan kadar air yaitu sebesar 7,42 %, kadar sari
yang larut dalam air yaitu sebesar 15,47 %, kadar sari yang larut dalam etanol
yaitu sebesar 13,35 %, kadar abu total yaitu sebesar 7,63 %, kadar abu tidak larut
asam yaitu sebesar 1,71 %. Standarisasi simplisia untuk rimpang temu mangga

98
Universitas Sumatera Utara

belum tertera pada monografi buku Materia Medika Indonesia, sehingga
diharapkan untuk hasil karakterisasi temu mangga ini dapat digunakan sebagai
pembanding dalam pembuatan simplisia. Hasil skrining dan karakterisasi
simplisia temu mangga dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 berikut:
Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia Rimpang Temu Mangga
Skrining
Hasil
No.
1.

Flavonoid

+

2.

Alkaloid

-

3.

Saponin

+

4.

Tanin

-

5.

Glikosida

+

6.

Steroid/Triterpenoid

+

Keterangan : + = Mengandung golongan senyawa
- = Tidak Mengandung golongan senyawa
Tabel 4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia Rimpang Temu Mangga
No.
Skrining
Hasil
1.

Penetapan kadar air

7,42 %

2.

Penetapan kadar sari larut air

15,47 %

3.

Penetapan kadar sari larut etanol

13,35 %

4.

Penetapan kadar abu total

7,63 %

5.

Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

1,71 %

4.2 Kadar Serum Kreatinin
Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan serum kreatinin dari darah
mencit. Pemeriksaan serum kreatinin di lakukan di Laboratorium Kesehatan
Daerah Medan. Hasil serum kreatinin yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.3
berikut ini:

99
Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.3 Hasil pemeriksaan serum kreatinin pada mencit jantan
Rata-Rata ± SE (mg/dl)
No. Kelompok
1.

Normal

2.

Kontrol Negatif (Parasetamol)

3.

Kontrol Positif (Curcuma 58
mg/kg bb
Kelompok Perlakuan (EETM 100
mg/kg bb)

4.

0,3700 ±0,5701
1,2800 ±0,0836 *
0,4500± 0,0380
0,8060± 0,0702a,b*

5.

Kelompok Perlakuan (EETM 200
mg/kg bb)

0,7180± 0,0719 a,b*

6.

Kelompok Perlakuan (EETM 400
mg/kg bb)

0,5320± 0,0804 a,*

a
b
*

= berbeda signifikan kelompok kontrol negatif (p < 0,05)
= berbeda signifikan kelompok kontrol positif (p < 0,05)
= berbeda berbeda signifikan dengan kelompok normal (p < 0,05)
Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa rata-rata nilai serum kreatinin

untuk kelompok normal adalah sebesar 0,3700 mg/dl. Kadar pada Kelompok
normal masih berada dalam rentang normal serum kreatinin mencit, yaitu antara
0,3 – 1,0 mg/dl (Mitruka, 1981).
Kelompok kontrol negatif memiliki rata-rata serum kreatinin sebesar
1,2800 mg/dl. Kelompok kontrol positif memiliki rata-rata serum kreatinin sebesar
0,4500 mg/dl sedangkan kelompok perlakuan EETM 100 mg/kg bb memiliki ratarata nilai serum kreatinin sebesar 0,8060 mg/dl. Kelompok perlakuan EETM 200
mg/kg bb memilki rata-rata nilai serum kreatinin sebesar 0,7180 mg/dl, serta ratarata nilai serum kreatinin untuk kelompok kelompok perlakuan EETM 400 mg/kg
bb sebesar 0,5320 mg/dl.
Berdasarkan tabel tersebut diketahui rata-rata serum kreatinin pada
kelompok perlakuan terbesar yaitu 0,8060 mg/dl pada pemberian EETM 100

100
Universitas Sumatera Utara

mg/kg bb dan rata-rata serum kreatinin terkecil pada pemberian EETM 400 mg/kg
bb. Selain itu, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar serum kreatinin seiring
dengan meningkatnya dosis EETM. Diagram batang rata-rata hasil pengukuran

Kadar Serm Kreatinin (mg/dl)

serum kreatinin pada mencit jantan dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini:
1.6

*

1.4
1.2
a,b *

1

a,b *

0.8

a,*

0.6
0.4
0.2
0
Kontrol
Negatif

Perlakuan
EETM 100
mg/kg bb

Perlakuan
EETM 200
mg/kg bb

Perlakuan
EETM 400
mg/kg bb

Kontrol
Positif

Normal

Kelompok
Gambar 4.1 Diagram Batang Hasil Serum Kreatinin
a
b
*

= berbeda signifikan kelompok kontrol negatif (p < 0,05)
= berbeda signifikan kelompok kontrol positif (p < 0,05)
= berbeda berbeda signifikan dengan kelompok normal (p < 0,05)
Berdasarkan hasil uji statistik, kadar serum kreatinin kelompok kontrol

negatif CMC Na 0,5% memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,05) dengan
kelompok perlakuan lain. Kadar serum kreatinin kelompok kontrol positif
Curcuma® 58 mg/kg bb tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan EETM 400
mg/kg bb, dan berbeda signifikan (p < 0,05) dengan EETM 100 dan 200 mg/kg
bb. Kadar serum kreatinin kelompok perlakuan EETM 100 mg/kg bb tidak
memiliki perbedaan yang signifikan (p > 0,05) terhadap kelompok perlakuan
EETM 200 mg/kg bb, dan berbeda signifikan (p < 0,05) terhadap kelompok
perlakuan EETM 400 mg/kg bb. Kadar serum kreatinin kelompok perlakuan

101
Universitas Sumatera Utara

EETM 200 mg/kg bb memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,05) terhadap
kelompok perlakuan EETM 400 mg/kg bb. Kadar serum kreatinin kelompok
perlakuan EETM 100 mg/kg bb dan EETM 200 mg/kg bb memiliki perbedaan
yang signifikan (p < 0,05) dengan kelompok kontrol normal dan kontrol positif.
Kadar serum kreatinin kelompok perlakuan EETM 400 mg/kg bb memiliki
perbedaan yang signifikan (p < 0,05) terhadap normal, dan tidak berbeda
signifikan (p > 0,05) terhadap kelompok kontrol positif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian EETM
terhadap kadar serum kreatinin dan histologi organ ginjal pada mencit jantan
akibat parasetamol dosis toksik. EETM diberikan dalam berbagai dosis dengan
tujuan untuk mengetahui EETM dapat menetralisir kerusakan ginjal akibat
parasetamol dosis toksik dengan indikator kadar serum kreatinin yang menurun
dan histologi organ ginjal mencit.
Penggunaan parasetamol dosis toksik menimbulkan kerusakan jaringan
yang berhubungan dengan deplesi glutation secara signifikan dan terjadi
peroksidasi lipid sehingga terbentuk akumulasi intrasel dan pengikatan metabolit
reaktif yang tinggi (NAPQI), kerusakan sel hati dan sering berakhir dengan
kematian. Pengaruh serupa juga terjadi pada jaringan ginjal (Adeneye, dkk.,
2008). Hal ini menimbulkan akumulasi parasetamol yang berakibat terjadi reaksi
rantai biokimia dan memuncak pada nefropati akut maupun kronik (Schnellman,
2001). Selain itu, parasetamol juga memicu terjadinya apoptosis pada sel hati dan
ginjal (Ray dan Jena; Boulares, dkk., 2002).
Efek nefrotoksik dari parasetamol dosis toksik berhubungan dengan
gangguan metabolik berupa kekacauan elektrolit-elektrolit dalam serum, BUN

102
Universitas Sumatera Utara

dan serum kreatinin (Adeneye, dkk., 2008). Kreatinin berasal dari endogen akibat
pemecahan keratin jaringan (Palani, dkk., 2009). BUN dan serum kreatinin
mencerminkan kecepatan laju filtrasi glomerulus (LFG) sehingga bila terjadi
penurunan LFG sebesar 50%, kadar BUN dan serum kreatinin akan meningkat
dua kali lipat (Noer, 2006).
Berdasarkan analisis data kadar serum kreatinin yang dilakukan terhadap
kelompok kontrol, dapat diketahui bahwa pemberian parasetamol dosis toksik
pada kelompok kontrol negatif menyebabkan kadar serum kreatinin yang
meningkat serta memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok normal.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gosh dan Shil (2007), Adeneye, dkk.,
(2008), dan Palani, dkk., (2009) yang menunjukkan peningkatan signifikan serum
kreatinin pada pemberian parasetamol dosis toksik.
Kreatinin merupakan produk penguraian otot yang mengindikasikan
adanya gangguan fungsi ginjal apabila kadarnya melebihi batas normal. Kreatinin
serum merupakan indikator kuat bagi fungsi ginjal dan konsentrasinya relatif
konstan dari hari ke hari (Corwin, 2009).
Kurkuminoid sebagai antioksidan dalam temu mangga dapat menetralisir
kerusakan ginjal akibat parasetamol dosis toksik dengan indikator kadar serum
kreatinin yang menurun. Hal ini didukung oleh penelitian Ismail (2016) tentang
pemberian kurkumin dapat menurunkan kerusakan ginjal tikus yang telah
diinduksi oleh parasetamol dan penelitian Khorsandi (2008) tentang kurkumin
pada ekstrak Curcuma longa dapat melindungi organ ginjal mencit yang telah
diinduksi parasetamol serta penelitian Sanubari (2013) mengenai ekstrak kunyit

103
Universitas Sumatera Utara

dan temulawak dapat mengurangi kerusakan ginjal mencit yang telah diinduksi
parasetamol.
Rimpang temu mangga yang digunakan dalam penelitian ini mengandung
antioksidan alami berupa kurkuminoid (Hutapea, 1993; Sudewo, 2004). Penelitian
telah menunjukkan bahwa gugus fenolik kurkumin sangat berperan sebagai
penangkal radikal (antioksidan). Kurkumin sebagai inhibitor sitokrom p-450
kemungkinan diperantarai oleh kehadiran gugus hidroksi (Hakim, 2003).
Reaksi radikal hidroksil (OH) dengan kurkumin menyebabkan hidrogen
fenolik ditarik, kemudian radikal fenolik yang dihasilkan dimantapkan dan
bereaksi kembali dengan radikal fenolik tersebut. Dengan cara ini OH dinetralkan,
sehingga mencegah terjadinya peroksidasi lipid pada membrane mitokondria.
Kemudian kurkumin akan terurai membentuk asam ferulat dan fenilbutenon
(Suyatna, 2012).
4.3 Hasil Histopatologi Organ Ginjal
Hasil yang diamati pada histopatologi ginjal mencit yang diberi
parasetamol dengan dosis toksik, terdapat perubahan histopatologinya. Selain
terjadi kenaikan serum kreatinin darah, jaringan pada organ ginjal juga mengalami
kerusakan sel akibat dosis toksik parasetamol yang diberikan pada mencit jantan.
Parasetamol yang diberikan akan mengalami proses metabolisme di dalam tubuh.
Bahan toksikan yang masuk melalui sistem gastrointestinal atau secara oral akan
dimetabolisme di ginjal. Toksikan yang masuk dapat menyebabkan perubahan
histopatologi pada organ ginjal. Penelitian ini ditemukan adanya perubahan
gambaran struktur histologis ginjal pada kelompok perlakuan berupa atrofi
glomerulus, pelebaran lumen tubulus dan nekrosis.

104
Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.4 Hasil Histopatologi Organ Ginjal
Kelompok
Atrofi
Pelebaran
Glomerulus
Lumen Tubulus

Nekrosis

Kontrol Normal

-

-

-

Kontrol Negatif

++

++

++

Kontrol Positif

-

-

-

Perlakuan EETM
100 mg/kg bb

-

+

-

Perlakuan EETM
200 mg/kg bb

-

+

-

Perlakuan EETM
400 mg/kg bb

-

-

-

Keterangan : (-) = normal; (+) = ringan; (++) = sedang;
Pada kelompok kontrol negatif, kelompok dengan pemberian ekstrak
etanol temu mangga 100 mg/kg bb dan kelompok dengan pemberian ekstrak
etanol temu mangga 200 mg/kg bb pada struktur histologisnya terlihat atrofi
glomerulus, pelebaran lumen tubulus, dan nekrosis (kematian sel). Pada kelompok
kontrol normal, kelompok kontrol positif dan kelompok dengan pemberian
ekstrak etanol temu mangga 400 mg/kg bb jaringan ginjal tampak normal. Pada
kelompok perlakuan EETM 400 mg/kg bb tidak terjadi kerusakan jaringan ginjal
karena ekstrak etanol temu mangga mampu memperbaiki kerusakan ginjal akibat
induksi parasetamol. Gambaran histopatologi ginjal dapat dilihat pada gambar
berikut.

105
Universitas Sumatera Utara

Glomerulus
Tubulus Proksimal

Tubulus Distal
Gambar 4.2 Jaringan ginjal kelompok kontrol normal
Tubulus Distal
Pelebaran Lumen
Tubulus
Glomerulus
Atrofi Glomerulus
Tubulus Proksimal
Nekrosis
Gambar 4.3 Jaringan ginjal kelompok kontrol negatif
Glomerulus
Tubulus Distal
Tubulus Proksimal

Gambar 4.4 Jaringan ginjal kelompok kontrol positif
Tubulus Proksimal
Pelebaran Lumen
Tubulus
Glomerulus
Tubulus Distal
Gambar 4.5 Jaringan ginjal kelompok perlakuan EETM 100 mg/kg bb

106
Universitas Sumatera Utara

Pelebaran Lumen
Tubulus

Tubulus Distal
Tubulus Proksimal
Glomerulus
Gambar 4.6 Jaringan ginjal kelompok perlakuan EETM 200 mg/kg bb

Glomerulus
Tubulus Distal

Tubulus Proksimal
Gambar 4.7 Jaringan ginjal kelompok perlakuan EETM 400 mg/kg bb
Nefrotoksisitas seperti akibat parasetamol dapat menyatukan beberapa
jalur molekuler apoptosis, termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler
dan aktivasi kaspase. Meskipun parasetamol tidak merubah ekspresi mRNA
(messenger-Ribose Nucleid Acid) pada gen antiapoptosis Bcl-xL, tetapi dapat
menurunkan kadar protein Bcl-xL, yang berarti dapat meningkatkan aktivitas
apoptosis (Lorz, dkk., 2005). Parasetamol juga menginduksi stres retikulum
endoplasma pada glomerulus ginjal, yang menyebabkan stres oksidatif dan
inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus (Inagi, 2009). Senyawa
ROS, yang merupakan hasil metabolisme parasetamol, juga dapat menyebabkan
kerusakan glomerulus yang diawali dengan inflitrasi leukosit (Singh, dkk., 2006).

107
Universitas Sumatera Utara

Salah satu efek merugikan overdosis parasetamol adalah nekrosis tubulus ginjal
(Goodman dan Gilman, 2008). Pelebaran ruang Bowman diakibatkan atrofi
glomerulus,

yaitu

menurunnya

ukuran

jaringan

yang

disebabkan

oleh

berkurangnya jumlah sel atau berkurangnya ukuran sel (Spector, 1993).
Kerusakan ini mengakibatkan terganggunya proses filtrasi darah. Jika kemampuan
menyaring darah berkurang, maka sel darah dan protein dapat keluar bersama urin
atau malah tertimbun pada tubulus karena dapat lolos pada proses filtrasi
(Hasnisa, dkk., 2014).
Kerusakan sel organ ginjal pada kelompok dengan pemberian ekstrak
etanol temu mangga 100 mg/kg bb dan kelompok dengan pemberian ekstrak
etanol temu mangga 200 mg/kg bb memiliki kerusakan yang sedikit dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Pada kelompok dengan pemberian ekstrak etanol temu
mangga 400 mg/kg bb hampir tidak memiliki kerusakan sel ginjal jika
dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain.

108
Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
a. EETM dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb memiliki
aktivitas nefroprotektif terhadap mencit jantan yang diinduksi parasetamol.
Dosis efektif dari EETM sebagai neproprotektif adalah pada dosis 400
mg/kg bb dengan kadar serum kreatinin 0,5320 ± 0,0804 mg/dl yang
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) dari kontrol negatif
dan tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dari kontrol positif dan tidak
menunjukkan adanya kerusakan jaringan ginjal pada pemeriksaan
histopatologi jaringan.
b. Peningkatan dosis EETM dari dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, dan 400
mg/kg bb menunjukkan peningkatan aktivitas neproprotektif.

5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas nefroprotektif temu
mangga dengan rentang waktu yang lebih lama (kronis), induktor yang berbeda,
dan indikator yang berbeda.

109
Universitas Sumatera Utara