Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Nelayan

2.1.1

Pengertian Nelayan
Menurut Imron dalam Mulyadi (2005: 7) Nelayan adalah suatu kelompok

masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan
cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal
di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi
kegiatannya.
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Revisi Undang-Undang No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 10 mendefinisikan Nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan
nelayan kecil (pasal 1 angka 11 UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan bahwa
nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan

ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal
perikanan paling besar berukuran 5GT (gross ton).
Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang
secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi menangkap ikan (binatang air
lainnya, tanaman air). Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat
jaring, menyangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal tidak
dikategorikan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan
penangkapan.

12
Universitas Sumatera Utara

Ensiklopedi Indonesia mendefenisikan Nelayan yaitu orang yang secara
aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti penebar
dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar,
nahkoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan),
sebagai mata pencaharian. Merujuk pada pengertian tersebut, rumah tangga yang
kegiatan utamanya bukan menangkap ikan, tetapi menggunakan ikan sebagai
bahan proses produksi bukan dikategorikan sebagai rumah tangga nelayan.
Demikian para pedagang ikan sekalipun hidup di tepi pantai juga tidak tergolong

dalam kategori nelayan. Nelayan berbeda dengan petani tambak. Perbedaan yang
mendasar adalah nelayan memanfaatkan wilayah pesisir sebagai tempat bekerja,
sedangkan petani tambak menelola daerah rawa, sungai, sawah, dan sejenisnya
untuk mengelola ikan dan produk perikanan lainnya. (Mulyadi 2005: 171)
2.1.2

Klasifikasi Nelayan
Nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa

kelompok.
1.

Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik
orang lain.
b. Nelayan juragan, adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang
dioperasikan oleh orang lain.
c. Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap
sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

(Mulyadi, 2005:7)

13
Universitas Sumatera Utara

2.

Ditjen Perikanan (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu
yang digunakan dalam melakukan pekerjaan operasi penangkapan/
pemeliharaan, yaitu:
a. Nelayan/Petani ikan penuh, yaitu nelayan/petani ikan yang seluruh waktu
pekerjaannya

digunakan

untuk

melakukan

pekerjaan


operasi

penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya ditanaman air.
b. Nelayan/petani ikan sambilan utama, yaitu nelayan/petani ikan yang
sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan
operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman
air.
c. Nelayan/ petani ikan sambilan tambahan yaitu nelayan atau petani ikan
yang sebagian kecil waktu kerjanya digunkan untuk melakukan
pekerjaan penangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/
tanaman air. (satria, 2015: 27).
3.

Berdasarkan

kepemilikan

sarana


penangkapan

ikan,

nelayan

diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Nelayan Penggarap : Nelayan penggarap adalah orang yang sebagai
kesatuan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan
ikan laut, bekerja dengan sarana penangkapan ikan milik orang lain.
b. Juragan/Pemilik : orang atau badan hukum yang dengan hak apapun
berkuasa/memiliki atas sesuatu kapal/perahu dan alat-alat penangkapan
ikan yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan, yang
dioperasikan oleh orang lain. Jika pemilik tidak melaut maka disebut

14
Universitas Sumatera Utara

juragan/pengusaha. Jika pemilik sekaligus bekerja melaut menangkap
ikan maka dapat disebut sebagai nelayan yang sekaligus pemilik kapal.

4.

Penggolongan nelayan dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan
armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, yaitu:
a. peasant-fisher atau nelayan tradisional yang bersifat sub-sistem, alokasi
hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari (khususnya pangan) bukan diinvestasikan kembali
untuk pengembangan skala usaha. (Satria, 2001)
b. post-peasant fisher, nelayan yang telah menggunakan teknologi
penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal
motor, beroperasi di wilayah pesisir, dan mulai berorientasi pasar. ABK
tidak bergantung pada tenaga kerja keluarga.
c. Commercial fisher (nelayan komersil), nelayan yang telah berorientasi
pada peningkatan keuntungan, teknologi penangkapan modern dan
membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengoperasikannya, dan
d. Industrial fisher, nelayan industri dengan ciri-ciri menurut Pollnac (1988)
mengorganisasikan sisten agribisnis yang modern, relatif padat modal,
kontribusi pendapatan yang lebih tinggi kepada pemilik dan awak,
daripada yang didapat oleh nelayan tradisional, dan memproduksi ikan
kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. (Satria, 2015: 29)


5.

Berdasarkan perahu/kapal kapal penangkap yang digunakan nelayan
dapat dibedakan menjadi:

a.

Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari:

1. Nelayan jukung

15
Universitas Sumatera Utara

2. Nelayan perahu papan (kecil, sedang, dan besar)
b.

Nelayan berperahu motor tempel


c.

Nelayan berkapal motor, menurut GT (Gross Ton) terdiri dari:

1. Kurang dari 5 GT
2. 5-10 GT
3. 10-20 GT
4. 20-30 GT
5. 30-50 GT
6. 50-100 GT
7. 100-200 GT
8. 200-500 GT
9. Diatas 500 GT

2.2

Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir
Karakteristik masyarakat pesisir dapat diuraikan secara singkat dari

berbagai aspek, yaitu:

1.

Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapatkan dari

warisan orang tua atau

pendahulu berdasarkan pengalaman empiris. Juwono

dalam (Satria, 2015:16) menggambarkan penggunaan dugo-dugo oleh masyarakat
nelayan di Desa Kirdowono, yaitu seutas tali dengan batu pemberat untuk
mengetahui arah dan kekuatan arah dan aliran arus sekaligus kedalaman laut.
Demikian dengan sistem kalender dan penunjuk arah menggunakan rasi-rasi
bintang tertentu. Juwono dalam (Satria, 2015:16) menggambarkan mereka

16
Universitas Sumatera Utara

mengenal enam buah rasi bintang yang muncul secara bergantian sepanjang tahun,
yakni: Lintang Lumbung, Lintang Waluku, lintang Wuluh, Lintang Gubuh, dan

lintang Lanjar.
Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan
intelektual mereka yang hingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literatur
ekonomi sumber daya, indigenous knowledge tersebut sebagai tempat sebagai
salah satu sumber ilmu pengetahuan, seperti dalam metode RAPFISH (Rapid
Appraisal for Fisheries). (Satria, 2015: 16-17)
2.

Sistem Kepercayaan
Secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan cukup kuat bahwa

laut memiliki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan
semakin terjamin. Seperti tradisi sowan ke suhu atau dukun-dukun dalam rangka
mendapatkan keselamatan saat melaut dan memperoleh hasil tangkapan yang baik
(along). Suhu menganjurkan sebelum menangkap ikan ABK (anak buah kapal)
harus menyalakan dupo atau menyan (wewangian) di sekitar kapal. Pada saat
menebar jaring ke laut nelayan harus menebarkan bunga-bunga disekitar jaring.
Mereka yakin suhu berkontribusi bagi kesuksesan mereka menangkap ikan, tanpa
sowan ke suhu mereka seolah-olah kurang percaya diri untuk melaut. Sebagai

penghargaan pada suhu mereka memberi biasanya satu bagian pada suhu.
Demikian di Kirdowono, perawatan perahu dilakukan secara magis.
Juwono dalam (Satria, 2015: 19) menggambarkan, perahu telah dipersonifikasi
seperti manusia yang bisa sakit dan harus diobati. Pengobstsn perahu dilakukan
melalui kosokan atau penggoosokan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

17
Universitas Sumatera Utara

1. Badan perahu dan palka di dalamnya dibersihkan, dan lumut-lumut yang
menempel digodok dengan sabut kelapa atau pasir hingga bersih;
2. Perahu dicuci dengan air cucian beras atau banyu leri yang direndami daun
pinang (areca cathecu), alang-alang (Impererata cylindrica), dan klayu,
daun galing (Vitis trifolia), abu merang padi ketan hitam, dan berlian;
3. Badan perahu dilumuri dengan sambetan, yaitu rampan rempah-rempah
yang terbuat dari lempuyang, kunir adas pulasari, dan jahe. Air cucian
beras dan sambetan ini didapatkan dari dukun;
4. Pemilik perahu mengadakan selamatan kecil di perahu dengan sesajian dan
kemenyan disertai doa agar perahunya membawa rezeki yang besar dan
terlindung dari bahaya.
Sistem kepercayaan tersebut hingga kini masih mencirikan kebudayaan
nelayan. namun seiring perkembangan

teologis berkat meningkatnya tingkat

pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilai-nilai agama, upacara-upacara
tersebut bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme. Maksudnya
suatu tradisi yang terus dipertahankan meskipun telah kehilangan makna yang
sesungguhnya. Jadi, tradisi tersebut dijalankan hanya sebagai salah satu instrumen
stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. (Satria, 2015: 18-19)
3. Peran Perempuan
Aktivitas ekonomi perempuan merupakan gejala yang sudah umum bagi
kalangan masyarakat strata bawah, tak terkecuali perempuan yang berstatus
sebagai istri nelayan. Pollnac dalam (Satria, 2015:20) mengungkapkan pembagian
kerja keluarga nelayan adalah pria menangkap ikan dan anggota keluarga yang
perempuan menjual ikan hasil tangkapan tersebut. Peran perempuan ini menjadi

18
Universitas Sumatera Utara

faktor penting dalam menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat penangkap
ikan karena pria mungkin menangkap ikan hanya kadang-kadang sementara
perempuan bekerja sepanjang tahun. Sejalan dengan hasil penelitian Andriati
dalam Kusnadi (2000), mengungkapkan salah satu stategi adaptasi yang ditempuh
oleh rumah tangga nelayan dalam mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga
adalah dengan mendorong istri mereka untuk ikut mencari nafkah. Yang lebih
menarik lagi istri nelayan dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga
sehari-hari. (Satria, 2015: 21)
4. Posisi Sosial Nelayan
Posisi sosial nelayan menarik untuk dicermati baik secara kultural maupun
struktusal. Disebabkan di kebanyakan masyarakat nelayan memiliki status yang
relatif rendah. Di India, nelayan tergolong berkasta rendah Pollnac dalam (Satria,
2015: 22). Di Jepang posisi nelayan mengalami degradasi status sehingga
mengalami problem regenerasi nelayan.
Rendahnya posisi sosial nelayan diakibatkan keterasingan nelayan.
Keterasingan tersebut menyebabkan masyarakat nonnelayan tidak mengetahui
lebih jauh bagaimana dunia nelayan serta sedikitnya waktu dan kesempatan
nelayan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Diakibatkan banyaknya alokasi
waktu nelayan untuk kegiatan penangkapan ikan dari pada untuk bersosialisi
dengan masyarakat nonnelayan yang secara geografis relatif jauh dari pantai.
Posisi sosial nelayan dapat dilihat secara politik. Sebuah tesis oleh
Goodwin dalam Staria (2001), yaitu salah satu ciri nelayan kecil adalah ketidak
mampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik, akibatnya nelayan terus daam
posisi dependen dan marjinal. Kapital sangat dominan dalam menentukan posisi

19
Universitas Sumatera Utara

nelayan. semakin besar penguasaan kapital, maka semakin besar kekuasaan untuk
memengaruhi proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peranan
yang sangat penting dalam menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial.
Selain tidak bisa berbuat banyak terhadap produk kebijakan yang diambil
pemerintah, secara empiris nelayan juga tidak mampu

berbuat banyak

menghadapi praktik-praktik perikanan dan non perikanan di wilayah pesisir yang
ternyata sangat mengganggu aktivitas mereka. Beberapa contoh praktik yang
hingga saat ini masih terus mengganggu antara lain, praktik trawl, praktik kapal
asing, dan penambangan pasir. Di Indonesia dengan mayoritas nelayan yang masih
tradisional, praktik trawl masih sulit diterima, kecuali pada wilayah-wilayah
tertentu yang fomasi sosialnya sudah modern, seperti di Pekalongan dan Pesisir
Jawa lainnya. Terbukti dengan berkembangya cothok atau arad yang hingga saat
ini relatif tak bermasalah. Berbeda dengan di Jawa, diluar Jawa (khususnya di
wilayah kepulauan) kehadiran trawl sangat merugikan nelayan tradisional.
Penghasilan nelayan secara signifikan menurun seiring berkembangnya mini trawl
dan sejenisnya. Namun nelayan tersebut tidak mampu menolah kehadiran trawl
karena lemahnya posisi sosial mereka. (Satria, 2015: 25)

2.3

Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok

masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan serta
pendapatan. Dalam pembahasannya sosial dan ekonomi sering menjadi objek
pembahasan yang berbeda. Dalam konsep sosiologi manusia sering disebut
dengan makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa

20
Universitas Sumatera Utara

adanya bantuan dari orang lain, sehingga arti sosial sering diartikan sebagai hal
yang berkenaan dengan masyarakat. Ekonomi barasal dari bahasa Yunani yaitu
oikos yang berarti keluarga atau rumah tangga dan nomos yang berarti peraturan.
Ada beberapa faktor yang dapat menentukan tinggi rendahnya keadaan
sosial ekonomi seseorang dalam masyarakat yaitu :
1.

Tingkat pendidikan.

2.

Jenis pekerjaan.

3.

Tingkat pendapatan.

4.

Keadaan rumah tangga.

5.

Tempat tinggal.

6.

Kepemilikan kekayaan.

7.

Jabatan dalam Organisasi.

8.

Aktivitas ekonomi ( anonim, 2017: 1)

2.3.1

Permukiman Nelayan
Permukiman secara fisik dapat diartikan sebagai kelompok bangunan

hunian dengan seluruh infrastruktur dan fasilitas pelayanan lingkungan. Untuk
melangsungkan hidup, manusia berada dan tinggal dalam permukiman pada
hampir seluruh waktu yang di jalani. Dalam suatu permukiman nelayan, terdapat
paling sedikit wisma, karya, marga dan rekreasi.

Dalam

memilih

tempat

tinggal masyarakat tidak selalu terfokus pada kondisi rumah, tetapi lebih
memperhatikan kelengkapan dari fasilitas kegiatan dan sosial di lingkungan
tempat tinggal serta kemudahan aksesibilitasnya. Pola permukiman membicarakan
sifat dari persebaran permukiman dengan kata lain pola permukiman secara umum

21
Universitas Sumatera Utara

merupakan susunan sifat berbeda dari hubungan faktor-faktor yang menentukan
persebaran permukiman (Djemabut dalam Lukman, 2008: 27)
Menurut Imron (2003) dalam menempati wilayahnya, masyarakat pesisir
tidak berbeda dengan masyarakat yang hidup dalam kosentrasi lingkungan yang
lain, yang akan menuntut tiga kebutuhan utama, yaitu sebagai berikut:
1.

Suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari gangguan alam
sekitar.

2.

Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah
guna menjamin eksistensi kelangsungan hidupnya.

3.

Tempat yang dapat dipenuhi kebutuhan kehidupannya sehari hari.
Penelitian

tentang

permukiman

nelayan

pernah

dilakukan

oleh

Poedjiastoe dan Karmilah (2007) di kawasan permukiman nelayan Bandengan
Kabupaten Kendal. Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa pemenuhan terhadap
sarana sanitasi dasar tergolong masih buruk. Hal ini dapat dilihat dari kondisi
rumah yang belum memenuhi kriteria rumah sehat, kebiasaan masyarakat dalam
buang air besar masih di sungai atau laut karena tidak memiliki jamban,
pengelolaan limbah cair belum dilakukan dengan baik karena masih banyak
penggenangan air limbah dari rumah tangga di pekarangan rumah dan saluran
drainase permanen tertutup sampah, sampah rumah tangga juga belum dikelola
dengan baik, karena sampah masih dibuang di sembarang tempat, di selokan, di
pekarangan rumah dan di sungai. (Lukman, 2008:29)
Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Marwasta dan
Priyono (2007) dengan judul Analisis Karakteristik Permukiman Desa-desa
Pesisir di Kabupaten Kulonprogo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

22
Universitas Sumatera Utara

karakteristik permukiman berhubungan secara signifikan dengan kondisi sosial
ekonomi penduduk dan kondisi fisik lingkungan permukiman, dimana semakin
tinggi kondisi sosial ekonomi semakin baik tipe permukimannya. (Lukman, 2008:
30)

2.3.2

Pendapatan Nelayan
Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas

prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan
ataupun tahunan.
Menurut teori Milton Friedman bahwa pendapatan masyarakat dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara.
Pendapatan permanen diartikan sebagai pendapatan yang selalu diterima pada
periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya, sebagai contoh adalah
pendapatan dan upah, gaji.
Pendapatan merupakan variabel yang secara langsung mempengaruhi
apakah seseorang atau sekelompok orang akan mampu atau tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat hidup secara layak sebagai manusia
yang memiliki harkat dan martabat. Anggapan tersebut mudah dipahami bahkan
diterima, mengingat pendapatan dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh
barang dan jasa yang dibutuhkan agar seseorang atau sekelompok orang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. (Siagian, 2012:69)
Pendapatan nelayan tradisional cukup bervariasi, pendapatan Nelayan
tradisional di Riau rata-rata setahunnya dapat mencapai enam juta rupiah. Jumlah
pendapatan ini dikeluarkan untuk memenuhi beberapa kebutuhan rumah

23
Universitas Sumatera Utara

tangganya. Hampir 70% nelayan tradisional mempunyai utang kepada
tengkulak/toke. (Mulyadi, 2007: 155)

2.3.3 Pendidikan Nelayan
Nelayan tradisional adalah salah satu kelompok masyarakat pesisir yang
memiliki kerentanan ekonomi dan secara relatif paling tertinggal. Seperti
penduduk desa pantai yang lain, hampir semua nelayan tradisional umumnnya
kurang berpendidikan. (Dahuri, dalam Suyanto, 2013)
Pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai diajak berlayar dan ikut
melaut, sehingga mereka jarang yang sekolah. Pendidikan orang tua yang rendah
akan mempengaruhi pendidikan anak, khususnya pada warga pesisir. Pendidikan
yang dimiliki anak nelayan pada umumnya rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh
pendidikan dan persepsi orangtua terhadap pendidikan tinggi tidak ada. Nelayan
menganggap pendidikan bukanlah merupakan kebutuhan yang paling utama.
Sebagai seorang nelayan yang dibutuhkan hanya keterampilan dan kerja keras,
bagaimana cara memperoleh jumlah tangkapan yang melimpah, serta menjualnya
dengan harga tinggi. Padahal sesungguhnya, pendidikan sangat diperlukan
nelayan sebagai contoh di saat melaut seorang nelayan harus mengetahui arah
angin, proses jual beli ikan, dan mengawetkan ikan. Bagi nelayan, berlatih dan
belajar dari kebiasaan orangtua, dianggap sudah cukup untuk berlayar (Ono,
2015:29).
2.3.4 Interaksi Sosial
Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok

24
Universitas Sumatera Utara

manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua
orang bertemu, interaksi sosial di mulai pada saat itu. Mereka saling menegur,
berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Dari pernyataan
tersebut, jelas bahwa syarat untuk melakukan interaksi adalah: adanya kontak
sosial (social-contact) dan komunikasi. Dimana kontak sosial dalam bahasa latin
yaitu : con atau cum yang artinya bersama-sama dan tango yang artinya
menyentuh. Jadi kontak sosial dapat diartikan sebagai bersama-sama menyentuh.
Sedangkan komunikasi merupakan pembicaraan, gerak-gerah badaniah atau sikap,
perasaan-perasaan apa yang ingin di sampaikan oleh orang tersebut. (Soekanto
dalam Monica, 2016:25)

2.4

Kemiskinan Nelayan
Menurut (Cambers 1983) Dalam kondisi kemiskinan nelayan, komunitas

nelayan sendiri tidak memiliki sumber daya akibat kurangnya apresiasi terhadap
eksistensi hak dan kelembagaan lokal mereka. Dalam berbagai program
pemberdayaan, nelayan hanya merasa menjadi objek suatu kegiatan, berakhirnya
sebuah kegiatan maka berakhir juga partisipasi nelayan sehingga kondisinya tetap
miskin.
Peran aspek sosial juga turut menentukan derajat kesejahteraan nelayan.
Di masyarakat pesisir, stratifikasi sosial sangat menentukan akses dan kontrol
terhadap sumber daya (Allisaon dan Ellis 2001). Makin rendah kelas sosial
seorang nelayan, makin sedikit akses dan kontrol yang dimilikinya terhadap suatu
sumber daya. Di sisi lain, kuatnya peran institusi tradisional ekonomi seperti

25
Universitas Sumatera Utara

patron-klient di masyarakat pesisir menyebabkan kebanyakan nelayan terjerat ke
dalam sistem kelembagaan tradisional tersebut.
Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat nelayan Indonesia (Kusnadi,
Wiber, 2009) disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Susasana alam yang keras menyebabkan timbulnya ketidakpastian bagi
nelayan dalam menjalankan aktivitas sosial ekonomi yang terus-menerus
dalam menjaga konsistensi produksi hasil tangkapan.
2. Kualitas sumber daya manusia nelayan yang rendah yaitu rendahnya
tingkatan pendidikan, rendahnya budaya kewirausahaan, kurangnya
partisipasi dalam usaha produktif, pola kehidupan yang konsumtif, dan
gaya hidup yang dipandang boros.
3. Keterbatasan modal usaha menyulitkan nelayan untuk meningkan kegiatan
ekonominya. Nelayan sulit mendapatkan permodalan usaha mereka.
Lembaga keuangan seperti lembaga perbankan sangat tidak tertarik dalam
membantu pemberian kredit untukmodal usaha mereka. Hal tersebut
disebabkan selain tidak memiliki jaminan kebendaan yang merupakan
persyaratan mutlak bagi lembaga perbankan dalam pemberian kredit, juga
usaha mereka menangkap ikan dianggap sebagai bukan usaha yang layak
dibiayai sehingga nelayan kesulitan dalam melakukan diversifikasi usaha
perikanan.
4. Pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan perantara karena
nelayan harus menjual ikan kepada tengkulak dengan harga dibawah harga
pasar.

26
Universitas Sumatera Utara

5. Program pemerintah yang belum memihak nelayan. Sejauh ini program
pemerintah hanya menjadikan masyarakat nelayan sebagai objek, bukan
subjek sehingga akan meningkatkan pola kebergantungan masyarakat
nelayan itu sendiri.
Menurut kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan (Basuki, Pedum
PEMP 2008), penyebab kemiskinan nelayan dikelompokkan menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Terbatasnya akses teknologi dan informasi,
2. Terbatasnya akses permodalan,
3. Terabaikannya institusi dan hak tradisional masyarakat akan jaminan
profesi kenelayanan, serta
4. Kuatnya peran institusi tradisional yang mendominasi permodalan dan
permodalan hasil perikanan.

2.5

Akar Kemiskinan Nelayan
Menurut (Craig dan Mayo, Charles 2001) modal (capital) alami yang

dimiliki oleh komunitas nelayan, seperti kapital sosial (social capital), kapital
sumber daya alam (natural resources capital), kapital sumber daya manusia
(human resources capital), kapital pengetahuan alami (traditional knowledge
capital) tidak akan mampu berperan secara maksimal jika tidak di dukung oleh
aliran atau asupan informasi dan teknologi kenelayanan. Permodalan merupakan
fondasi penting bagi nelayan dalam melakoni pekerjaannya. Hal itu disebabkan
makin sulitnya pencarian hasil tangkapan dan yang memadai dan meningkatnya

27
Universitas Sumatera Utara

jumlah pemanfaat sumber daya perikanan, sehingga dibutuhkan sarana yang
mampu menjangkau wilayah penangkapan ikan.
Pemerintah melalui program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir) menyediakan bantuan permodalan permodalan (berasal dari program
pengurangan dana subsidi BBM) dengan sistem bergulir. Namun program tersebut
tidak menjamin persoalan permodalan komunitas nelayan teratasi; mentalitas
nelayan dan pemerintah lokal masih dominan menganggap program ini hanya
peluang mencari keutungan. (Basuki, Bogar dalam Andi dkk 2013: 79).
Menurut (Cambers 1983) Dalam kondisi kemiskinan nelayan, komunitas
nelayan sendiri tidak memiliki sumber daya akibat kurangnya apresiasi terhadap
eksistensi hak dan kelembagaan lokal mereka. Dalam berbagai program
pemberdayaan, nelayan hanya merasa menjadi objek suatu kegiatan, berakhirnya
sebuah kegiatan maka berakhir juga partisipasi nelayan sehingga kondisinya tetap
miskin.
Peran aspek sosial juga turut menentukan derajat kesejahteraan nelayan.
Di masyarakat pesisir, stratifikasi sosial sangat menentukan akses dan kontrol
terhadap sumber daya (Allisaon dan Ellis 2001). Makin rendah kelas sosial
seorang nelayan, makin sedikit akses dan kontrol yang dimilikinya terhadap suatu
sumber daya. Di sisi lain, kuatnya peran institusi tradisional ekonomi seperti
patron-klient di masyarakat pesisir menyebabkan kebanyakan nelayan terjerat ke
dalam sistem kelembagaan tradisional tersebut.

28
Universitas Sumatera Utara

2.6

Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat

multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subjektif, tetapi
sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dapat
dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis
kemiskinan, yang oleh ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan
atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi apa yang tampak secara objektif tidak
miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya
perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya atau bahkan dengan
membandingkan

dengan

kondisi

yang

dialami

oleh

orang

lain,

yang

pendapatannya lebih tinggi darinya. Imron dalam (Mulyadi 2005:47)
Terdapat beberapa pendapat mengenai batasan-batasan dalam memahami
kemiskinan, sebagai berikut:
1. Mercher (dalam Matias 2012:5) kemiskinan adalah gejala penurunan
kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga
mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang
tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu
mencapai kehidupan yang layak.
2. Pearce (dalam Matias 2012:6) kemiskinan merupakan produk dari
interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal, dengan sumber daya
manusia serta kelembagaan. Dalam hal ini kemiskinan itu merupakan
suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang
bersifat timpang di antara berbagai elemen yang ada dalam suatu

29
Universitas Sumatera Utara

ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap
kehidupan manusia.
3. Departemen Pertanian mendefinisikan kemiskinan yang ditujukan kepada
petani atau nelayan kecil yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan,
yaitu dibawah 320 kg setara dengan beras per tahun per kapita. Sayogyo,
dalam Iskandar 2012: 2
4. Departemen Sosial mendefenisikan keluarga miskin sebagai keluarga yang
tidak memiliki mata pencaharian, atau penghasilan rendah, penghasilan
sangat rendah, kondisi rumah dan lingkungan tidak memenuhi syarat
kesehata, serta pendidikan terbatas.
5. Suparlan (2004: 315) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang
rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini
secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan,
kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang
miskin.
Begitu banyak pengertian tentang kemiskinan, tetapi secara umum dapat
dikatakan bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang
serba kekurangan. Dalam kaitan itu, kondisi serba kekurangan bisa saja diukur
secara objektif, dirasakan secara subjektif, atau secara relatif didasarkan pada
perbandingan dengan orang lain sehingga melahirkan pandangan objektif,
subjektif dan relatif tentang kemiskinan. Selain itu, kondisi serba kekurangan
bukan hanya dilihat dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi sosial budaya. Nugroho
dalam Mulyadi (2005:48)

30
Universitas Sumatera Utara

2.7

Indikator Kemiskinan
Untuk dapat hidup secara layak, manusia berhadapan dengan kebutuhan

minimum yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, jika seseorang atau sekelompok
orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum tersebut maka mereka
dikategorikan sebagai miskin. Sebaliknya jika seseorang atau sekelompok orang
tersebut mampu memenuhi kebutuhan minimum, akan dikategorikan sebagai tidak
miskin.
Jika dikaji secara mendalam, indikator kemiskinan yang beraneka ragam
dihasilkan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Pendapatan
Berdasarkan pendekatan pendapatan, kemiskinan dapat diukur dari besaran
jumlah nominal angka pendapatan atau nominal uang yang dihabiskan sebagai alat
pemenuhan kebutuhan. Sajogyo dalam (Siagian, 2012: 69) menjelaskan indikator
kemiskinan didasarkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan minimum
yang dapat diukur dari pendapatan.
Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik dalam bentuk pendapatan
rata-rata secara nasional untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp 233.174,-/bulan per
orang. sementara pemeritah Vietnam pada tahun 2010 telah menetapkan indikator
kemiskinan dengan hasil jika dikonvensikan ke dalam nilai rupiah adalah sebesar
Rp 450.000,-/bulan per orang. BPS dalam Kristanto, (dalam Siagian, 2012: 72).
Bank dunia juga turut menetapkan angka minimal untuk pengukuran
kemiskinan sebesar US$ 2 per hari per orang. Kondisi yang benar-benar miskin
adalah apabila pendapatan US$ 1 per hari per orang. The World Bank, dalam
(Siagian, 2012: 72).

31
Universitas Sumatera Utara

2. Pendekatan Konsumsi
Dalam pendekatan konsumsi hal utama yang menjadi pokok pengukuran
adalah jumlah asupan kalori yang dapat dipenuhi. Menurut BPS (dalam Siagian,
2012: 73) manusia hanya akan dapat hidup layak jika mengonsumsi makanan dan
minuman dengan kandungan minimal 2.100 kalori perkapita perhari.
Sedangkan menurut PBB yang membidangi makanan dan pertanian
(FAO) memperkirakan kebutuhan minimum jumlah kalori yang diperlukan tubuh
dalam cakupan kelayakan adalah sebesar 2.150 kalori perhari. (The World Bank,
dalam Siagian, 2012: 73). Penetapan FAO ternyata lebih besar dibandingkan
dengan penetapan BPS.
Hasil penelitian Dandekar dan Rath (India) menetapkan kebutuhan
minimal kalori per orang adalah 2.250 kalori. Sedamgkam Sukhame (India)
menyimpulkan kebutuhan kalori per orang mencapai 2.350 kalori per hari. Hasil
dari kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebutuhan yang diperlukan
lebih besar dari standarisasi BPS dan PBB. (Siagian, 2012: 73).
3. Pendekatan Multi Aspek
Tidak mampunya mengukur kemisikinan melalui satu indikator
kemiskinan

dalam

merepresentasikan

kebutuhan

hidup

manusia

secara

menyeluruh merupakan alasan penggunaan pendekatan multi aspek. Terdapat
berbagai komponen yang melandasi seseorang atau keluarga itu miskin.
Departemen sosial merumuskan indikator yang merefleksikan suatu
kondisi seseorang atau keluarga dalam masyarakat tergolong miskin dalam
beberapa aspek yaitu:

32
Universitas Sumatera Utara

1. Penghasilan rendah atau berada dalam kategori sangat miskin yang diukur
dari tingkat pengeluaran perbulan berdasarkan standat BPS per wilayah
Provinsi dan kabupaten/kota.
2. Ketergantungan akan bantuan dari program pemerintah maupun non
pemerintah sangat tinggi.
3. Keterbatasan pemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun
(hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap peroeang per tahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar sembilan tahun bagi anakanaknya.
6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kalibatas
garis sangat miskin.
7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari
40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.
8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun keatas yang buta huruf.
9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
10. Luas rumah kurang dari empat meter persegi.
11. Kesulitan air bersih.
12. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat). Departemen sosial (dalam
Siagian, 2012: 82)

33
Universitas Sumatera Utara

2.8

Konsep Penelitian
Nelayan bukan hanya orang yang menggantungkan hidup dari

menangkap ikan di laut, melainkan juga orang yang terlibat dalam proses
penangkapan ikan di laut. Nelayan tradisional merupakan nelayan menggunakan
perahu dan peralatan sederhana dalam melaut seperti perahu dayung dengan alat
tangkap jala/ jaring, bubu/nama lain untuk nelayan yang menggunakan perahu
dayung untuk menangkap kepiting dengan menggunakan perangkap/ranjau, dan
pencari kerang yang menggunakan tangan.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari kondisi
permukiman nelayan, pendapatan nelayan dan tingkat pendidikan nelayan.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengukur
kualitas hidup manusia. Tingkat pendidikan yang rendah akan membatasi
seseorang untuk masuk kedalam akses sumber daya ekonomi yang lebih baik
sehingga cenderung mengakibatkan kemiskinan dan ketertinggalan. Terdapat
faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat pendidikan anak nelayan yaitu
umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, umur ibu, tingkat
pendidikan ibu, jumlah tanggungan, pendapatan keluarga, status usaha kepala
keluarga, jenis kelamin anak dan lain sebagainya.
Kehidupan masyarakat nelayan identik dengan kemiskinan dan
ketertinggalan.

Masyarakat nelayan dikategorikan sebagai masyarakat miskin

dengan indikasi bahwa tingkat perekonomiannya masih lemah karena tingkat
pendapatan yang rendah, kualitas hidupnya rendah, kesejahteraan sosial rendah,
dan hidup dalam kesulitan. Nelayan terjebak dalam perangkap kemiskinan yang
pelik, tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan dan kesehatan.

34
Universitas Sumatera Utara

Nelayan juga kesulitan mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank
beranggapan bahwa pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi.
Kesenjangan antara kehidupan nelayan yang miskin ditengah kekayaan
laut Indonesia merupakan suatu ironi bagi masyarakat Indonesia. Tingkat
pendidikan nelayan, permukiman nelayan dan pendapatan nelayan dapat
menggambarkan kehidupan sosial ekonomi nelayan. Demikian halnya dengan
kemiskinan yang dialami nelayan, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan
kondisi tersebut. Bagan alur fikir akan dipaparkan sebagai berikut:
Bagan Alur Fikir:

Nelayan

Kehidupan Sosial
Ekonomi

1. Permukiman
Kondisi tempat tinggal nelayan
2. Tingkat Pendidikan
Kondisi pendidikan anak nelayan
3. Pendapatan
Aktivitas perekonomian yang
dilakukan keluarga nelayan
4. Interaksi sosial
Interaksi sosial keluarga nelayan

Faktor Penyebab
Kemiskinan Nelayan

35
Universitas Sumatera Utara

2.9

Defenisi Konsep
Konsep adalah suatu makna yang berada di alam fikiran atau di dunia

kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan
atau kata-kata. Dengan demikian, konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri,
konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang
merujuk ke gejala nyata ke alam empiris. Konsep adalah sarana merujuk ke dunia
empiris bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri. ( Suyanto, Sutinah,
2005: 49).
Memahami pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan
maka peneliti membatasi konsep sesuai dengan penelitian ini antara lain:
1. Nelayan adalah orang yang kegiatan sehari-harinya menangkap ikan di laut
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan nelayan tergantung
langsung pada penghasilan yang diperoleh melalui penangkapan ikan.
Nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional seperti: nelayan dengan
perahu dayung, nelayan bubu/penangkap kepiting dan nelayan penangkap
kerang.
2. Kehidupan Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam
kelompok masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, tingkat
pendidikan serta pendapatan. Dalam hal ini, kehidupan sosial ekonomi
masyarakat nelayan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan nelayan,
pendapatan nelayan, dan perumahan nelayan.
3. Kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
individu/ keluarga terkhusus kebutuhan pokok yang sangat berpengaruh

36
Universitas Sumatera Utara

terhadap kemampuan/ potensi individu dalam pengembangan dirinya
maupun keluarga.
4. Tingkat Pendidikan nelayan sangat mempengaruhi cara pandang dan pola
fikir untuk memandang kehidupannya sebagai kondisi yang dapat
diperbaiki. Tingkat pendidikan yang rendah maka wawasan nelayan juga
terbatas untuk menyadari kondisi kehidupan sosial ekonominya sebagai
sesuatu yang dapat dan harus ditingkatkan, sedangkan nelayan yang
menyadari pentingnya pedsidikan akan memiliki kesadaran kondisi
kehidupan ekonominya sebagai sesuatu yang dapat di tingkatkan.
5. Permukiman diartikan sebagai kelompok bangunan hunian dengan seluruh
infrastruktur dan fasilitas pelayanan lingkungan. Untuk melangsungkan
hidup, manusia berada dan tinggal dalam permukiman pada hampir seluruh
waktu yang di jalani. Melalui gambaran kondisi pemukiman dapat menjadi
tolak ukur untuk menilai kondisi kehidupan sosial ekonomi nelayan.
6. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,
menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antar kelompokkelompok manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok
manusia. Interaksi sosial keluarga nelayan mempengaruhi kehidupan sosial
dan ekonomi nelayan.
7. Pendapatan nelayan sangat dipengaruhi hasil tangkapan dan pembagian
hasil. Bagi nelayan tradisional dan nelayan perorangan pendapatannya
ditentukan hasil tangkapan dan kuantitas pergi melaut dalam sebulan.
Sedangkan bagi nelayan buruh tingkat pendapatannya sangat ditentukan
hasil tangkapan, pola bagi hasil dan siklus melaut.

37
Universitas Sumatera Utara