Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (1980-2000)

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

(1980-2000)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NURLAILISA 090706008

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG (1980-2000)

Yang diajukan oleh Nama : Nurlailisa Nim : 090706008

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP.

NIP 195908041985032002 tanggal……….

Ketua Departemen Sejarah tanggal……….

Drs. Edi Sumarno. M. Hum NIP 19640922198903100

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG (1980-2000) SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NURLAILISA 090706008 Pembimbing

Dra. Nina Karina, M.SP. NIP 195908041985032002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA JURUSAN

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno. M. Hum

NIP 196409221989031001


(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Fakultas Ilmu Budaya

dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis. M.A.

NIP 195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (……….)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (……….)

3. Dra. Nina Karina, M.Sp (……….)

4. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si (……….)


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam,

atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna

melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini adalah “ Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (1980-2000)“. Pada proses penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami rintangan maupun hambatan, akan tetapi

penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan yang sangat bernilai dari berbagai pihak,

terutama dari staf pengajar jurusan ilmu sejarah.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan

dan pengetahuan penulis. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

skripsi ini di masa yang akan datang sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna

nantinya baik itu untuk pembaca maupun untuk peneliti lainnya.

Medan Juli 2013

Penulis

Nurlailisa 090706008


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

Karunia kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan tenaga,

pikiran, serta bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada yang

terhormat:

1. Kepada kedua orang tua penulis Bapak Adnan dan Ibunda Nurmiati, yang telah merawat,

membesarkan, mendidik, dan selalu menyayangi penulis dengan penuh cinta, terimakasih

atas segalanya, doa, didikan, nasehat, dukungan kalian sehingga aku bisa seperti ini. Aku

janji sebisa ku akan ku balas jasa kalian dan aku akan berusaha membahagiakan kalian

orang yang sangat kusayangi di dunia ini. Kepada adikku yang sangat ku sayangi (Nurlia

Ayuni), terimakasih selama ini mau mendengar curhatanku dan dengan setia menemani ku

dalam mencari data di lapangan .

2. Bapak Syahron Lubis, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Medan, Pembantu Dekan I Husnan Lubis, Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan

Pembantu Dekan III Yuddi Adrian Muliadi, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis

peroleh di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, maka penulis dapat


(8)

3. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan dorongan, nasehat dan motivasi kepada penulis baik

selama kuliah maupun pada saat mengerjakan penulisan skripsi ini. Juga kepada Ibu Dra.

Nurhabsyah, Msi, sebagai Sekretaris Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Terimakasih untuk Bapak Drs. Wara Sinuhaji M.Hum sebagai dosen Penasehat Akademik.

5. Terimakasih banyak juga penulis hanturkan khususnya kepada Ibu Dra.Nina Karina Purba,

M.SP selaku Pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas segala arahan dan bantuannya

dalam penulisan skripsi ini. Ibu sangat luar biasa seperti sahabat saya sendiri, selalu

memotivasi dan suka becanda, ibu memang paling the best.

6. Terimakasih banyak penulis haturkan kepada seluruh Bapak/Ibu dosen di Departemen Sejarah, khususnya kepada dosen penguji yaitu ibu Lila dan pak Timbun masukannya begitu

membantu penulis dalam merevisi skripsi ini, juga kepada bang Amperawira selaku Tata

Usaha Departemen Sejarah (terimakasih atas arahannya bang).

7. Terimakasih banyak penulis ucapkan kepada opung (Panayungan Harahap), terimakasih

telah banyak membantu penulis baik dalam bentuk dukungan motivasi, khususnya materi

yang telah banyak dikeluarkan untuk membantu penulis.

8. Kawan-kawan sejarah khususnya Suryania, Ratna Sari, Elisa Purba, Toti, Shinta, Mustika, Wifky, Roni, Rona, Sigmer, Mukhlis, Lestari, Swandi, dan saudara Handoko. 2009 Is The

Best. Di sini kutemukan kawan-kawan yang luar biasa yang menjadi pemotivasi yang hebat.

9. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan sewaktu aku masih mengajar di BT/BS BIMA dan teman-temanku sekarang di BT/BS MEDICA

Dengan rasa suka cita penulis mohon doa kepada Allah SWT agar selalu dirahmati dalam melakukan pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari.


(9)

Penulis

Nurlailisa (090706008)

ABSTRAK

Latar belakang penulisan ini berangkat dari kehidupan nelayan yang selalu diidentikkan dengan kemiskinan, padahal kita ketahui bahwa laut menyediakan potensi yang begitu besar, tetapi kenapa nelayan di Indonesia belum bisa keuar juga dari lingkaran kemiskinan. Selain itu seringnya terjadi konflik antar nelayan yang dipicu oleh alat tangkap dan zona penangkapan ikan yang tidak jelas sehingga menyebabkan nelayan tradisional yang paling banyak terkena dampaknya.

Bagan merupakan sebuah Dusun yang berada di desa Percut kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini menjadi tempat penelitian karena wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan di dusun Bagan setelah mendapat bantuan kapal kepres 39 dan setelah nelayan banyak mengubah alat tangkapnya dari jaring dengan menggunakan pukat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah nelayan pukat, nelayan jaring, penampung ikan, pencari kerang. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil temuan di lapangan.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan informasi bahwa sebelum tahun 1980 maka nelayan hanya mengandalkan kapal yang menggunakan layar dan dayung dalam mencari ikan. Di tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu membantu nelayan dengan mengeluarkan kapal kepres 39 yang juga sampai ke dusun Bagan, dengan keluarnya keputusan ini maka penggunaan trawl (pukat harimau) dilarang. Seiring dengan berjalannya waktu peraturan tersebut pun seperti tidak ada lagi, pukat seolah dihalalkan pemakaiannya. Hal ini juga berlaku di dusun Bagan, yang mana nelayan awalnya menggunakan pukat Layang yang diperkenalkan oleh pak Burhan yang akhirnya nelayan lain ikut menggunakan pukat tersebut karena hasilnya yang lumayan dibanding dengan menggunakan jaring. Yang sampai sekarang pukat merupakan alat tangkap utama.

Kehidupan sosial nelayan dapat dilihat dari adanya sistem gotong royong yang dilakukan, lembaga patron-klient yang sampai saat ini masih berlaku di kehidupan nelayan.


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………i

UCAPAN TERIMA KASIH ……….ii

ABSTRAK ………..vi

DAFTAR ISI ………..vii

BAB I PENDAHULUAN ………....1

DARTAR TABEL………..ix

1.1. Latar Belakang Masalah ………..1

1.2. Rumusan Masalah ………...…7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...8

1.4. Tinjauan Pustaka ……….9

1.5.Metode Penelitian ………...12

BAB II GAMBARAN UMUM DUSUN BAGAN KECAMATAN P’ERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG………15

2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam………15

2.2. Keadaan Penduduk………..17

2.2.1. Pola Pekerjaan Masyarakat etnis Cina di Dusun Bagan………..21

2.2.1.1 Hubungan Sosial Etnis Cina dengan Masyarakat Dusun Bagan………21


(11)

2.3.1 Upacara Jamu Laut……….23

2.4. Pola Pemukiman………..26

BAB III KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN SEBELUM PENGGUNAAN KAPAL KEPRESS 39 TAHUN 1980………….30

3.1 Kehidupan Sosial Ekonomi………30

3.1.1 Hubungan Patron-Klien (Tauke-Anak Buah)………34

3.2 kebutuhan Keluarga Nelayan……….………36

3.2.1. Pemenuhan Kebutuhan Hidup (mata pencaharian)..………....38

3.2.2. Peran Isteri dan Anak Nelayan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup………43

3.3 Pendidikan di Dusun Bagan………...46

BAB IV PERUBAHAN DAN DAMPAK KEHIDUPAN MASYARAKAT DUSUN BAGAN SETELAH PENGGUNAAN PUKAT……….53

4.1Proses Terjadinya Perubahan Alat Untuk Menangkap Ikan………..53

4.2Penggunaan Pukat Dalam Menangkap Ikan………..58

4.2.1Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan………62

4.3 Respon Masyarakat Terhadap Perubahan………63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………68

5.1 Kesimpulan……….68


(12)

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN

DAFTAR TABEL HALAMAN

1. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Sampai dengan Tahun 2000 di

Dusun Bagan………..………..17

2. Banyaknya Sekolah, Kelas, Murid dan Guru SMU Negeri dan Swasta di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000………....19

3. Banyaknya Rumah Ibadah di Dusun Bagan tahun 2000………...…20

4. Banyaknya Sarana Kesehatan di Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2000………...21

5. Perkembangan Jumlah Nelayan Di Sumatera Utara 1995-1999………...41

6. Nelayan Dan Petani Ikan di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000………....51

7. Daftar Tingkat Pendidikan Nelayan Dusun Bagan Tahun 2006………...59

8. Jenis Alat Tangkap Nelayan Tradisional Bagan dan Hasil yang Diperoleh…...63

9. Perahu/ Kapal Penangkap Ikan di Percut Sei Tuan…...64

10. Jumlah Tangkapan Hasil Laut yang Diperoleh Nelayan Bagan Dengan Menggunakan Pukat Dalam Kilogram……….…72


(13)

Penulis

Nurlailisa (090706008)

ABSTRAK

Latar belakang penulisan ini berangkat dari kehidupan nelayan yang selalu diidentikkan dengan kemiskinan, padahal kita ketahui bahwa laut menyediakan potensi yang begitu besar, tetapi kenapa nelayan di Indonesia belum bisa keuar juga dari lingkaran kemiskinan. Selain itu seringnya terjadi konflik antar nelayan yang dipicu oleh alat tangkap dan zona penangkapan ikan yang tidak jelas sehingga menyebabkan nelayan tradisional yang paling banyak terkena dampaknya.

Bagan merupakan sebuah Dusun yang berada di desa Percut kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini menjadi tempat penelitian karena wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan di dusun Bagan setelah mendapat bantuan kapal kepres 39 dan setelah nelayan banyak mengubah alat tangkapnya dari jaring dengan menggunakan pukat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah nelayan pukat, nelayan jaring, penampung ikan, pencari kerang. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil temuan di lapangan.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan informasi bahwa sebelum tahun 1980 maka nelayan hanya mengandalkan kapal yang menggunakan layar dan dayung dalam mencari ikan. Di tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu membantu nelayan dengan mengeluarkan kapal kepres 39 yang juga sampai ke dusun Bagan, dengan keluarnya keputusan ini maka penggunaan trawl (pukat harimau) dilarang. Seiring dengan berjalannya waktu peraturan tersebut pun seperti tidak ada lagi, pukat seolah dihalalkan pemakaiannya. Hal ini juga berlaku di dusun Bagan, yang mana nelayan awalnya menggunakan pukat Layang yang diperkenalkan oleh pak Burhan yang akhirnya nelayan lain ikut menggunakan pukat tersebut karena hasilnya yang lumayan dibanding dengan menggunakan jaring. Yang sampai sekarang pukat merupakan alat tangkap utama.

Kehidupan sosial nelayan dapat dilihat dari adanya sistem gotong royong yang dilakukan, lembaga patron-klient yang sampai saat ini masih berlaku di kehidupan nelayan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Berdasarkan Deklarasi Djoeanda (1957) yang berisikan konsepsi Negara Nusantara

(Archipelagic States) yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum

Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982, maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

di dunia. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah laut 5,8

juta km, yang lebih kurang memiliki 17.508 buah pulau besar dan kecil, serta dikelilingi garis

pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah

Kanada1

Karena letak Indonesia yang strategis, diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia

serta oleh Benua Asia dan Australia, seharusnya bangsa Indonesia yang dapat keuntungan paling

besar dari posisi kelautan global tersebut. Sayangnya, bangsa Indonesia di masa lalu melupakan

jati dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumber daya kelautan hanya dipandang .

Dilihat dari keadaan geografis tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia menyadari dan

memanfaatkan potensi kelautan yang demikian besar. Realitas memperlihatkan bahwa hingga

saat ini potensi kelautan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum mampu

memberi sumbangan yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ironisnya lagi,

dibalik potensi kelautan yang begitu melimpah, justru komunitas nelayan yang menderita

kemiskinan. Bahkan, komunitas nelayan selalu diidentikkan dengan kemiskinan.

1


(15)

dengan “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka

dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, serta kurang mengindahkan aspek

kelestariannya.

Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan (keranjang sampah) berbagai

jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan

infrastruktur , Iptek, SDM, sumber daya keuangan, hukum dan kelembagaan terhadap bidang

kelautan di masa lalu sangat rendah. Sejak tahun 1970 sampai 1996 kredit usaha yang

dicurahkan untuk usaha perikanan sangatlah minim hanya sekitar 0,02 persen dari total kredit.

Oleh karena itu, wajar bila pencapaian hasil pembangunan kelautan sangatlah kecil dibandingkan

dengan potensi kekayaan laut yang kita miliki. 2

Negara maritim merupakan negara yang mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai

syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Negara maritim biasanya memiliki

visi maritim yaitu pandangan hidup yang digunakan untuk mengontrol dan memanfaatkan laut

sebagai syarat mutlak untuk mencapai kemakmuran dan kejayaan negara. Menurut Mahan3

Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi

kelautan yang cukup besar, seharusnya mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan

yang menggantungkan hidupnya pada potensi kelautan (maritim) tersebut. Realitasnya , ada

enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi geografis, karateristik dari tanah

dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk dan pemerintahan.

2

Ibid hlm 5.

3


(16)

kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan identik

dengan kemiskinan.4

Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan laut sebagai sumber mata pencaharian

salah satunya adalah masyarakat yang berada di dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei

Tuan yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan

5

. Masyarakat

yang menghuni daerah ini sebagian besar adalah beretnis Melayu. Tetapi hasil laut Indonesia

yang kaya akan sumber daya laut tidak mampu memberi kesejahteraan kepada nelayan. Tetapi

Pemerintah tidak hanya diam dengan keadaan yang dialami oleh nelayan. Pemerintah sering

memberikan bantuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan salah satunya adalah dengan

memberikan bantuan kapal Kepres 396 pada tahun 1980. Bantuan ini sampai ke desa nelayan

Dusun Bagan yang terletak di desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

Adapun masyarakat yang menghuni dusun ini sebagian besar adalah suku Melayu, dan sekitar

90% masyarakatnya menggantungkan kehidupan pada laut. Dusun Bagan ini pun tidak jauh

berbeda dengan desa nelayan umumnya yang kehidupan masyarakatnya identik dengan

kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Pemerintah mengeluarkan bantuan sesuai

dengan keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980 tentang penghapusan

jaring Trawl7

4Agus Suriadi dkk. Model Pemberdayaan Sosial Ekonomi Komunitas Nelayan Miskin Berbasis Perempuan. Medan : Universitas sumatera Utara. 2009. Hal 1

5

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya di laut atau di perairan lainnya.

6

Disebut kapal Kepres 39 karena kebijakan tersebut dikeluarkan sesuai dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl.

7

Kata trawl ini berasal dari bahasa Perancis “troler”, dari bahasa Inggris “trailing” artinya adalah yang bersamaan, dan dalam bahasa Indonesia artinya adalah tarik ataupun mengelilingi. Dari penggabungan arti tersebut maka dapat disimpulkan bahwa trawl adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menarik atau mengelilingi dan lebih dikenal sebagai pukat harimau.


(17)

dalam bentuk kredit dan dilengkapi dengan kredit untuk penggantian alat/perlengkapannya serta

kredit modal kerja.

Tujuan pemerintah mengeluarkan bantuan kapal Kepres 39 ini adalah untuk mengurangi

jumlah penggunaan trawl (pukat harimau) yang dapat menyebabkan rusak dan punahnya habitat laut. Selain itu, penggunaan trawl ini juga menyebabkan semakin sedikitnya tingkat penghasilan nelayan tradisional yang hanya menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Jadi untuk

menanggulangi dari pengurangan pemakaian pukat dan melindungi nelayan tradisional adalah

dengan dikeluarkannya bantuan ini, karena dengan menggunakan kapal ini nelayan bisa melaut

dengan lebih baik dan disertai dengan bantuan jaring. Jadi sejak tahun 1980 penggunaan pukat

dilarang. Kepres 39 ini dikeluarkan untuk membantu nelayan Bagan sebanyak 17 buah, satu buah

kapal itu digunakan untuk tiga orang nelayan atau istilahnya kongsi, yang mana kemudian kapal ini

akan dibayar dengan cara cicilan/kredit.8

Hingga tahun 1981 ternyata masih ada nelayan yang menggunakan trawl, nelayan ini adalah nelayan yang berasal dari pelabuhan Belawan yang saling berebut mencari ikan dengan

nelayan tradisional Bagan yang hanya menggunakan jaring. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik

antara nelayan Pelabuhan dengan nelayan Bagan. Nelayan Bagan tidak setuju atas penggunaan

trawl itu apalagi pengunaannya yang sudah dilarang sehingga pada saat itu nelayan Bagan

benar-benar marah, menangkap nelayan Pelabuhan dan membakar kapal mereka. Setelah ini masalah pun

seperti hilang begitu saja karena tidak ada kabarnya lagi

9

8

Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan pak Burhan tanggal 10 Desember 2012 di dusun Bagan. Uang untuk membayarnya diperoleh dari hasil tangkapan yang telah dibagi tiga orang yang sama rata dan sisanya itulah yang dikumpulkan untuk membayar kapal kepres 39 yang mana uang tersebut akan digunakan kembali oleh pemerintah untuk membeli kapal boat lainnya guna membantu nelayan yang tidak mendapat bantuan kapal kepres 39.

9 Ibid


(18)

Setelah masalah trawl (pukat harimau) reda maka muncul masalah baru di tahun 1996 yang masih menyangkut masalah nelayan pelabuhan Belawan dengan nelayan Bagan yaitu penggunaan

pukat Langgeh. Di sini nelayan Pelabuhan Belawan kembali menyulut konflik yaitu dengan penggunaan pukat kembali walaupun pukat yang digunakan lebih kecil dari pada trawl. Penggunaan pukat ini juga menyebabkan konflik kekerasan seperti penggunaan trawl sebelumnya yaitu pembakaran kapal antar kedua pihak. Selain itu ada juga peristiwa penangkapan nelayan Bagan

yang dilakukan nelayan Pelabuhan, yang pada saat melaut tepatnya pukul 03.00 WIB, nelayan

Bagan ditangkap dan dibawa ke daerah pelabuhan Belawan bahkan dipukuli. Setelah kejadian

tersebut selang beberapa hari kemudian di tengah malam tepatnya tahun 1996, polisi10 dengan

menggunakan baju biasa datang ke Bagan dengan tujuan ingin menculik orang-orang di dusun

Bagan khususnya nelayan. Akan tetapi pada saat itu ada warga yang mengetahui sehingga warga

itu pun menjerit dengan berteriak maling sehingga polisi tersebut dipukuli oleh warga. Tanpa

diduga polisi tersebut mengeluarkan tembakan sehingga menyebabkan dua orang tewas yaitu Ramli

dan Muhammad Ridwan. Konflik sesama nelayan berganti menjadi konflik antar polisi dengan

warga. 11

Setelah berakhirnya pemakaian trawl dan pukat langgeh maka muncul lagi hal yang baru di kalangan nelayan Bagan yang masih tetap pada penggunaan pukat yaitu pukat layang12

10

Polisi yang datang ke Bagan ini berasal dari sektor Belawan dan polisi ini datang berkisar kurang lebih 10 orang dengan menggunakan satu buah mobil polisi.

11 ibid 12

Dikatakan pukat Layang karena alat tangkapnya ketika dioperasikan seperti layang-layang yang akan ditarik oleh satu mesin kapal.

. Tetapi

kasus ini agak sedikit berbeda dengan kasus sebelumnya, karena pukat ini bukan berasal dari

nelayan pelabuhan Belawan tetapi buatan dari pak Burhan yang merupakan seorang nelayan Bagan.

Pak Burhan menggunakan pukat layang ini pada tahun 1997. Awal dia menggunakan pukat ini


(19)

tersebut, dan dia menawarkan untuk mencoba menggunakan pukat di daerah Bagan dan ternyata

hasilnya sangat memuaskan. Sejak itu pak Burhan mulai ketagihan menggunakan pukat layang,

tetapi penggunaan pukat tidak berjalan lancar, karena dia dimusuhi oleh nelayan lainnya bahkan

rumahnya hampir dibakar karena marahnya nelayan lain. Dengan hal tersebut maka penggunaan

pukat layang hanya sebulan digunakan oleh pak Burhan. Tetapi setelah ia tidak menggunakan pukat

itu lagi justru nelayan yang tadinya menentang maka merekalah yang kemudian menggunakan

pukat layang tesebut. Pukat layang ini sampai sekarang masih digunakan oleh nelayan Bagan.

Seperti sebelumnya yang telah penulis ungkapkan di atas bahwa negara Indonesia hampir

70% wilayahnya adalah perairan yang berarti banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya

pada laut, begitu juga masyarakat di Bagan ini. Di dalam mencari rejeki di laut ini sering terjadi

konflik karena perebutan sumber daya alam demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak terlepas di

desa nelayan Bagan ini yang sering terjadi konflik sesama nelayan, baik itu sesama nelayan Bagan

ataupun dengan nelayan Pelabuhan. Pada umumnya konflik ini terjadi karena penggunaan alat

dalam menangkap ikan yaitu pukat, penggunaan pukat menjadi pemicu utama terjadinya konflik

nelayan di dusun Bagan tahun 1980-2000.

Kehidupan masyarakat Bagan memberikan ketertarikan kepada penulis untuk mengkajinya

secara lebih dalam baik itu dari segi kehidupan ekonomi atau sosial, masyarakatnya yang sebagian

besar beretnis Melayu pesisir memberikan ketertarikan yang lebih pada penulis, hal ini dikarenakan

etnis Melayu yang kaya akan kebudayaan menarik untuk dikaji lebih dalam, selain itu

masyarakatnya yang identik dengan kemiskinan dan pendidikan yang rendah semakin menambah

ketertarikan. Masalah kemiskinan ini nantinya akan dikaitkan dengan kebiasaan orang Melayu yang

dikenal dengan sifat malasnya, yang apabila hari ini mendapat hasil yang lumayan maka untuk


(20)

seperti ini maka tidak akan ada uang yang bisa untuk ditabung. Jadi apabila beberapa hari ke depan

sang nelayan tidak mendapatkan hasil maka mereka pun akan kebingungan untuk menghidupi

keluarga mereka.

Penelitian ini akan memfokuskan pada masalah penggunaan pukat yang dilakukan nelayan

Bagan. Serta bagaimana kehidupan sosial masyarakatnya. Atas dasar pemikiran di atas maka

penelitian ini diberi judul “ Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang (1980-2000)”. Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1980-2000, dikarenakan tahun 1980 nelayan mendapat

bantuan kapal kepres 39 dari pemerintah, seharusnya dengan sudah dikeluarkan bantuan tersebut

tidak ada lagi yang namanya penggunaan trawl, tetapi ternyata trawl ini masih digunakan oleh nelayan pelabuhan yang menyebabkan pendapatan nelayan Bagan semakin sedikit karena hanya

menggunakan jaring biasa. Selain penggunaan trawl masih banyak lagi pukat lain yang digunakan menjadi pemicu konflik-konflik lain di tahun 1900-an, dan tahun 2000 adalah tahun yang bisa

menikmati hasil dari penggunaan pukat Layang.

1.2 Rumusan Masalah

Keobyektifan suatu penelitian tidak terlepas dari pemilihan topik tertentu sebagai

landasan pembahasan. Pemilihan topik tersebut harus dibatasi dan dikonsep dalam rumusan

masalah yang nantinya menjadi alur dalam penulisan. Permasalahan yang akan dibicarakan

dalam kajian ini terangkum dalam pertanyaan

1. Bagaimana kehidupan nelayan sebelum dan setelah mendapat bantuan kepres 39 oleh


(21)

2. Bagaimana kehidupan nelayan Bagan sebelum dan setelah menggunakan pukat sejak

tahun 1997 sampai tahun 2000?

3. Apa yang menyebabkan perubahan alat yang digunakan untuk menangkap ikan dari

jaring menjadi pukat?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setelah merumuskan masalah yang menjadi landasan pembahasan oleh penulis. Maka

selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tujuan

dari penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang sudah lebih dahulu

dirumuskan dalam rumusan masalah, sehingga harus relevan dengan masalah yang akan dibahas

dalam penelitian penulis. Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui kehidupan nelayan setelah mendapat bantuan kapal kepres 39 oleh

pemerintah tahun 1980.

2. Menjelaskan kehidupan nelayan Bagan setelah menggunakan pukat sejak tahun

1997 sampai tahun 2000.

3. Menjelaskan perubahan alat tangkap nelayan dari menggunakan jaring dengan

menggunakan pukat.

Penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat secara praktis maupun akademis

bagi pembaca untuk mengetahui beberapa hal, antara lain :

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pembendaharaan khazanah sejarah


(22)

2. Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan tentang perubahan kehidupan nelayan

sebelum dan sesudah penggunaan pukat sebagai alat menangkap ikan.

3. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan kepada pemerintah tentang

bagaimana menghadapi konflik antar nelayan yang sering terjadi di Indonesia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sebuah penelitian ilmiah tentu tidak terlepas dari tinjauan pustaka yang berguna

sebagai informasi dalam menentukan sumber-sumber yang relevan dengan obyek penelitian.

Sumber-sumber ini bisa berupa karya ilmiah, buku-buku ataupun dokumen-dokumen terkait.

Adapun sumber yang digunakan dalam refrensi penelitian proposal ini adalah hasil laporan penelitian Kelembagaan Sosial-Ekonomi Komunitas Nelayan (Studi deskriptif Pada Komunitas Nelayan di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang,

Propinsi Sumatera Utara (2006)). Yang diteliti oleh Badaruddin. Dari hasil penelitian ini

menghasilkan pernyatan bahwa tingkat pendidikan yang rendah di kalangan nelayan tidak

terlepas dari kondisi ekonomi orang tua mereka dulunya yang juga hidup dengan

kemiskinan. Dan kondisi ini juga berlanjut hingga ke anak-anak mereka saat ini. Pekerjaan

membantu orangtua sebagai nelayan sejak usia anak-anak (bagi anak laki-laki) turut

mendorong kurangnya motivasi untuk mendapatkan pendidikan pekerjaan sehari-hari, yang

dilakukan untuk membantu ibu mereka. Sebagian dari anak-anak perempuan juga turut

membantu ibu mereka dalam menjemur ikan dan membersihkan jaring.

Singgih Tri Sulistiyo dalam bukunya“ Pengantar Sejarah Maritim Indonesia”. Buku ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari, artinya laut merupakan


(23)

aktivitas kelautan bangsa Indonesia setua bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini dapat

dipahami karena asal mula nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia.

Dengan perahu-perahu yang sederhana mereka dapat mengarungi laut yang begitu luas dan

dalam.

Sumber selanjutnya yang penulis gunakan adalah skripsi Asfianti Syafitri Nasution

dalam skripsinya yang berjudul “ Strategi Nelayan Tradisional Dalam Meningkatkan

Ekonomi Keluarga” (2009). Di dalam skripsi dijelaskan bahwa kondisi bangsa Indonesia

yang sedang berada di multis kritis yaitu yang sedang dihadapkan pada krisis ekonomi,

politik, budaya, sosial, agama pertahanan dan keamanan. Masalah tersebut sudah ruwet

seperti benang kusut sehingga memerlukan orang-orang yang benar-benar siap dan

membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu

sangat sulit mengentaskan masalah ekonomi yang berarah pada kemiskinan, yang mana

dalam mengatasi hal ini berbagai cara dilakukan nelayan tradisional dalam mengatasi

masalah ekonominya. Mereka memiliki strategi masing-masing guna memenuhi kebutuhan

mereka demi mempertahankan kelangsungan hidup. Skripsi ini berbeda dengan skripsi yang

ditulis oleh penulis, tetapi walaupun demikian skripsi ini sangat membantu peneliti untuk

mengetahui jenis-jenis alat tangkap yang digunakan nelayan dalam mencari tangkapan di

laut.

Atika Rizkiyana dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Mengenai Pilihan Nelayan Terhadap Alat Penangkapan Ikan Di Kelurahan Beras Basah Kecamatan Pangkalan Susu,

Kabupaten Langkat Sumatera Utara” (2010). Ia lebih menekankan pada alat tangkap yang

digunakan nelayan Beras Basah dalam menangkap ikan. Yang menyatakan ketergantungan


(24)

sangat sederhana sehingga wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan

pantai. Di samping itu, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap

saat nelayan bisa turun ke laut, terutama pada musim ombak yang bisa berlangsung sampai

lebih dari satu bulan. Jadi dengan kesederhanaan alat yang digunakan pada musim tertentu

tidak ada tangkapan yang bisa diperoleh.

Sumber selanjutnya yang penulis gunakan adalah laporan penelitian dari Agus

Suriadi dkk dalam judul “ Laporan Penelitian Hibah Bersaing: Model Pemberdayaan Sosial

Ekonomi Komunitas Nelayan Miskin Berbasis Perempuan”. Di dalam laporan ini

dinyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan

ekonomi nelayan, misalnya melalui kebijakan yang dikenal dengan modernisasi perikanan

atau revolusi biru (blue revolution), belum mampu memberikan hasil yang memuaskan

secara berkeadilan untuk semua lapisan, bahkan cenderung menimbulkan persoalan baru

pada komunitas nelayan.

Analisis Profil Rumah Tangga Nelayan Di Sumatera Utara, Perwakilan BPS

Propinsi Sumatera Utara yang bekerjasama dengan Perencanaan Pembangunan Daerah

Sumut. Di dalam buku ini sangat jelas sekali dijabarkan jenis-jenis alat tangkap yang

digunakan nelayan di Sumatera Utara baik itu jenis pukat, jaring, pancing dan jenis rawai.

Buku ini sangat membantu peneliti menjadi pegangan dalam melakukan wawancara

mengenai kajian alat tangkap.

1.5 Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah memiliki metodologi, Demikian juga dengan


(25)

kritis rekaman peninggalan masa lampau13

1. Heuristik, yaitu tahap awal untuk mencari data-data melalui berbagai sumber dan relevan

dengan penelitian yang dilakukan. Dalam tahap heuristik ini peneliti mencari data-data

melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library

research). Pada studi lapangan (field research) peneliti lebih menekankan pada metode

wawancara. Di saat melakukan wawancara di lapangan banyak pengalaman yang peneliti

dapatkan salah satunya peneliti mengetahui bagaimana pengalaman para nelayan saat di laut

melalui cerita mereka yang begitu bersemangat menceritakannya. Dan saat peneliti ingin ikut

terjun langsung ke laut untuk mengetahui bagaimana pengoperasian alat tangkap, tetapi hal

tersebut tidak bisa dilakukan karena terkendala dengan jam kerja nelayan yang tidak

memungkinkan peneliti ikut. Untuk studi kepustakaan (library research) terdapat beberapa

sumber yang dijadikan informasi, antara lain sumber buku yang didapatkan di perpustakaan

USU, perpustakaan daerah di Medan ataupun perpustakaan lainnya yang ada di kota Medan. . Adapun metode sejarah terbagi dalam empat

langkah antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

2. Kritik Sumber, dimana setelah tahap heuristik maka sumber-sumber yang ada dilakukan

kritik untuk mencari kebenaran dari sumber yang didapat. Dalam tahap ini

sumber-sumber yang telah terkumpul diproses melalui kritik internal, informasi yang didapat baik

dari wawancara ataupun dari sumber-sumber tertulis dilihat kebenaran isinya. Kemudian

sumber primer dan sekunder tersebut masuk ke proses selanjutnya yaitu kritik eksternal.

Dalam proses ini data diverifikasi secara fisik untuk mencari kebenaran dari sumber-sumber

tersebut. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang

13

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto, Jakarta : UI Press, hlm. 32


(26)

benar obyektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan keobyektifannya

tanpa ada unsur kesubjektifitasan yang mempengaruhi hasil penulisan.

3. Interpretasi, pada tahap ini setelah data tersebut melewati kritik sumber maka penulis

melakukan tahapan yang ketiga yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil dari kritik

sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan

sumber, walaupun kita ketahui kesubjektifitasan itu tidak mungkin bisa dihilangkan

seluruhnya. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis membuatkan

hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

4. Historiografi, yaitu tahap akhir dalam metode sejarah. Tahapan ini berisi tentang penulisan,

pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Penulisan hasil

penelitian sejarah ini hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses

penelitian, sejak awal (heuristik) sampai dengan akhir yaitu penarikan kesimpulan sehingga

dapat dikatakan penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis. Berdasarkan penulisan

sejarah itu pula dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang

digunakannya tepat atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan

kesimpulannya memiliki validitas yang memadai atau tidak, jadi dengan penulisan sejarah ini


(27)

BAB II

GAMBARAN UMUM DUSUN BAGAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

2.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam

Dusun Bagan berada di desa Percut Kabupaten Deli Serdang, Kecamatan Percut Sei

Tuan. Menurut sejarah nama Percut diambil dari nama panggilan untuk wanita Aceh. Dimana

wilayah ini pada masa penjajahan kolonial Belanda terjadi perlawanan rakyat Percut untuk

mengusir penjajah yang dipimpin seorang wanita bersuku Aceh yang dipanggil “cut”. Maka

nama Percut sendiri merupakan singkatan dari kalimat “perjuangan cut” yang bertujuan untuk

mengenang dan menggambarkan betapa gigihnya perjuangan seorang cut untuk membebaskan

wilayah ini dari penjajahan Belanda14

Kecamatan Percut Sei Tuan ini mempunyai luas 190,79 Km² yang terdiri dari 18 desa dan

2 kelurahan. Lima desa dari wilayah kecamatan merupakan desa pantai dengan ketinggian dari

permukaan air laut dengan berkisar dari 10-20 m dengan curah hujan rata-rata 24 persen. Salah

satunya adalah Desa Percut yang terletak dengan jarak dari desa ke ibukota kecamatan Percut

Sei Tuan (Tembung) adalah 15 Km dan jarak ke ibukota Kabupaten Deli Serdang (Lubuk .

Bagan Percut sendiri berasal dari kata Bagan yang berarti pelabuhan. Jadi kata Bagan

Percut dapat diartikan sebagai wilayah pelabuhan yang berada di daerah Percut.

14

Indra Suryadarma, Lembaga Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lau, skripsi sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2008hal 29.


(28)

Pakam) kurang lebih 35 Km. Dan kurang lebih 20 Km jarak ke ibukota Propinsi Sumatera Utara

(Medan)15

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka .

Desa percut berada pada ketinggian 2 m di atas permukaan laut dan merupakan daerah

dataran rendah. Sementara itu curah hujan mencapai 0-278 mm/tahun dengan temperatur udara

sekitar 23°C-30°C. Dikenal ada dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim

kemarau biasanya berlangsung tiga bulan yaitu antara Juni hingga Agustus, sedangkan musim

penghujan berlangsung sembilan bulan yaitu antara September hingga Mei.

Untuk lebih jelasnya maka desa Percut mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cinta Rakyat

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Rejo

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cinta Damai dan Desa Pematang Lalang

Luas wilayah Desa Percut adalah 1063 ha, dimana diperkirakan sekitar 740 ha adalah

lahan yang bisa dipakai seperti untuk diusahai persawahan dan perladangan, sedangkan sisanya

adalah sekitar 323 ha diperuntukkan seperti pemukiman sekitar 102 ha, jalan, empang,

perkuburan sekitar 15 ha, perkantoran dan lain-lain. Dan 180 ha lahan digunakan untuk jalur

hijau.

Tanah yang diperuntukkan sebagai jalur hijau seluas 180 ha merupakan daerah pesisir

pantai yang ditumbuhi tanaman bakau. Jalur hijau ini dimaksudkan untuk menghindari terjadi

abrasi air laut ke dataran dan sebagai tempat beberapa habitat laut berkembang biak. Namun,

15


(29)

menurut pengamatan yang ada jalur hijau tersebut sebagian telah beralih fungsi (konversi)

menjadi pemukiman dan pertambakan16

Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Sampai dengan Tahun 2000 di Dusun Bagan

.

2.2 Keadaan Penduduk

Desa Percut terdiri dari 18 lingkungan/dusun yang masing-masing dipimpin oleh seorang

kepala lingkungan, pada tahun 1980 di Kecamatan Percut Sei Tuan dihuni oleh kurang lebih

272.000 jiwa. Jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini disebabkan

oleh adanya angka kelahiran dan adanya penduduk perantau yang datang ke daerah ini.

Penduduk di desa ini terdiri dari berbagai suku bangsa namun mayoritas penduduknya

adalah suku Melayu sebagai suku asli yang mendiami daerah ini. Selain itu juga terdapat

penduduk dari suku Batak Toba, Mandailing, Jawa, Karo, Simalungun dan sebagian lagi terdapat

penduduk non pribumi.

Tabel 1

16


(30)

No Golongan umur (tahun) Jenis kelamin Jumlah persentase Laki-laki Perempuan

1 0-4 251 256 507 5.22

2 5-9 316 291 607 6.25

3 10-14 278 283 561 5.77

4 15-19 286 312 598 6.26

5 20-24 527 521 1048 10.89

6 25-29 539 504 1043 10.83

7 30-34 447 471 918 9.55

8 35-39 469 471 940 9.78

9 40-44 626 641 1267 13.24

10 45-49 613 616 1229 12.66

11 50-54 219 223 442 4.55

12 55-59 172 256 428 4.44

13 60 tahun ke atas 35 53 88 4.40

Total 4.808 4.904 9.712 100.00

Sumber : Diolah dari Laporan Monografi Desa Percut 2000

Dari tabel I dapat diketahui bahwa proporsi penduduk golongan muda (0-14 tahun) relatif

kecil yaitu 17,24%, penduduk intermediate (15-59 tahun) mencapai 82,16%, sedangkan penduduk tua ( 60 tahun ke atas) hanya 0,60%. Hal tersebut memperlihatkan bahwa penduduk

desa Percut secara keseluruhan tergolong ke dalam usia menengah (intermediate).

Dari tabel I juga dapat diketahui struktur penduduk kelompok umur produktif dan

kelompok umur non produktif. Kelompok umur produktif yaitu kelompok umur antara 15-59

tahun (usia kerja), sedangkan penduduk yang termasuk kelompok non produktif terdiri dari

kelompok umur 0-14 tahun dan kelompok umur 59 tahun ke atas. Dengan demikian di desa

Percut terdapat 82,16% kelompok umur poduktif dan 17,84% kelompok umur non produktif.

Keadaan ini menggambarkan bahwa struktur penduduk desa Percut berdasarkan beban

tanggungan suatu keluarga relatif kecil.


(31)

Banyaknya Sekolah, Kelas, Murid dan Guru SMU Negeri dan Swasta di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000

Kec Sekolah Kelas Guru Murid

P. Sei Tuan Negeri/Swasta N/S N/S N/S

1/8 16/47 81/37 727/1732

Sumber : Kantor Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2000

Tidak ada data yang spesifik tentang keadaan pendidikan tentang Masyarakat Desa

Percut, sehingga peneliti mengambil data dari BPS berdasarkan per Kecamatan. Dan menurut

data yang peneliti dapat dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian Badaruddin, bahwa tingkat

pendidikan rata-rata Desa Percut rendah. Bahkan sebagian besar dari penduduk yang saat ini

berusia 45 tahun ke atas hanya berpendidikan Sekolah Dasar.

Dusun nelayan ini juga termasuk dusun dimana tingkat pendidikan warganya masih

relatif rendah. Rendahnya tingkat pendidikan di dusun ini disebabkan karena keadaan ekonomi

yang tidak mencukupi untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Di samping itu, tersedianya

pekerjaan mencari ikan ke laut membantu orang tua maupun sebagai nelayan buruh

menyebabkan anak-anak lebih tertarik untuk mendapatkan uang sejak dini. Hal ini sebenarnya

sangat merugikan mereka sendiri terutama untuk perbaikan nasib di kemudian hari.

Bagaimanapun tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang

mungkin akan diperoleh seseorang.


(32)

Banyaknya Rumah Ibadah di Dusun Bagan tahun 2000 Kecamatan Masjid Mushollah Vihara

PST 1 1 1

Sumber : wawancara, 24 Juli 2013.

Berdasarkan data di atas maka dapat kita lihat dari jumlah total angka yang ada, bahwa

rumah ibadah yang ada di Bagan adalah satu buah masjid yang terletak di daerah hulu dan satu

buah mushollah yang terletak di daerah hilir yang jarak keduanya adalah satu kilometer lebih.

Di dusun Bagan ini terdapat satu buah vihara yang merupakan tempat beribadahnya umat

Budha/Konguchu. Di Bagan ini terdapat satu buah tempat yang di dalamnya didiami oleh etnis

Cina, tidak diketahui sejak kapan etnis Cina ini berada di Dusun Bagan, yang pasti sebelum masa

Soeharto etnis Cina ini sudah ada di Bagan. Ketika masa Soeharto dan Habibie etnis Cina ini

tidak bebas dan tidak berani membangun tempat beribadah mereka. Ketika pemerintahan di

Indonesia dipegang oleh Gusdur yang memperkenalkan sistem pluralisme maka etnis Cina ini

mulai membangun rumah ibadah mereka. Awal masuknya ke Bagan etnis Cina ini ada sekitar 30

kepala keluarga lama kelamaan mencapai 70 kepala keluarga. Hal ini disebabkan banyaknya

keluarga mereka yang datang dari Riau dan Pontianak yang kemudian menetap di Dusun bagan

ini.

2.2.1. Pola Pekerjaan Masyarakat Etnis Cina yang ada di Dusun Bagan

Dahulu tepatnya di tahun 1980-an ada seorang perempuan beretnis Cina yang bernama

Liem Sio Kim berusia 54 tahun dia berasal dari Pontianak yang hanya sebatangkara di Dusun

Bagan menggantungkan hidupnya pada laut, dia menjadi seorang pencari kerang dan mengontrak


(33)

tubuhnya yang tak lagi sehat maka dia menghubungi keluarganya di Pontianak dan akhirnya dia

kembali ke kampung halamannya. Dia merupakan etnis Cina satu-satunya yang menjadi seorang

nelayan di Dusun Bagan.

Awalnya etnis Cina ini hanya bermatapencaharian sebagai petani lama kelamaan mereka

mulai berternak kemudian mereka berdagang. Adapun hewan yang diternak oleh etnis Cina ini

adalah itik dan babi. Lahan untuk ternak dibagi dua setengah untuk itik dan setengah lagi untuk

babi. Usaha dagang yag dilakukan etnis Cina ini adalah usaha dagang perhiasan dan barang

elektronik. Hasil pertanian dan hasil ternak nantinya akan dijual ke masyarakat sekitar.

2.2.1.1. Hubungan Sosial Etnis Cina dengan Masyarakat Dusun Bagan

Etnis Cina yang merupakan penduduk non pribumi di Indonesia mendapat perlakuan lain

di Dusun Bagan ini, mereka tidak sepenuhnya diterima dengan tangan terbuka seperti etnis

pribumi lainnya, mereka terasingkan dengan etnis pribumi. Etnis selain Cina yang ada di Bagan

ini sering mengejek etnis Cina dengan sebutan “cina bonsai”. Hal ini membuat mereka semakin

merasa terasingkan, sehingga mereka memiliki sifat ketertutupan. Sifat etnis Cina seperti ini

terjadi pada etnis Cina golongan ekonomi rendah.

Berbeda dengan etnis Cina golongan menengah yaitu tingkat ekonominya yang sudah

lumayan tinggi. Golongan etnis ini lebih bisa berbaur dengan masyarakat sekitar, hal ini

disebabkan karena golongan etnis Cina ini sering membantu warga sekitar dengan memberi

bantuan seperti uang, gula dan beras. Sehingga disebut dengan “Cina dermawan”, dengan hal

tersebut masyarakat lebih bisa menerimanya. Selain itu, apabila etnis Cina ini merayakan


(34)

Mereka akan menghargai agama lain, dengan tidak memberi makanan yang tidak halal bagi

warga Muslim.

2.3. Etnik dan Budaya Dusun Bagan

Desa Percut termasuk desa yang didiami oleh penduduk yang terdiri dari berbagai suku

diantaranya Melayu, Batak, Mandailing, Karo, Jawa, Minang, Banjar, Bugis, dan juga etnis

Tionghoa. Suku terbesar yang mendiami Desa Percut adalah suku Melayu dan suku Jawa.

Dusun Nelayan juga dihuni oleh beragam suku dan yang menjadi suku mayoritas adalah

suku Melayu17. Beragamnya suku yang mendiami dusun Nelayan menurut data yang peneliti

dapat dari penelitian sebelumya18, berawal sejak terjadinya konflik sosial dusun tersebut dengan

desa tetangga yaitu Cinta Damai . Dusun Bagan ini pernah terlibat konflik sosial pada tahun

1954. Konflik antar desa ini pada awalnya dipicu oleh persoalan anak muda yang kemudian

menjurus pada konflik SARA19

2.3.1 Upacara Jamu Laut

. Konflik tersebut menyebabkan banyak warga dari dusun Bagan

yang keluar (pindah) ke desa lain karena merasa tidak aman tinggal di desa asal mereka. Sejalan

dengan berangsur pulihnya keamanan di dusun tersebut mulai pula orang-orang berdatangan

kembali, baik orang yang dulunya bermukim di dusun tersebut maupun orang-orang yang bukan

berasal dari dusun tersebut. Dalam proses itulah suku-suku lain masuk ke dusun ini meskipun

jumlahnya tidak seberapa. Karena jumlahnya yang tidak seberapa (minoritas) akhirnya mereka

beradaptasi dan melebur dengan budaya setempat yang mayoritas beretnis Melayu.

17

Yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah golongan bangsa yang menyatakan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan.

18

Badaruddin. hasil laporan penelitian Kelembagaan Sosial-Ekonomi Komunitas Nelayan (Studi deskriptif Pada Komunitas Nelayan di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara).Universitas Sumatera Utara. Medan: 2006

19


(35)

Masyarakat Bagan yang menggantungkan kehidupannya pada laut menganggap bahwa

laut adalah urat nadi mereka, sumber penghidupan mereka. Pada masa dahulu nelayan

mempercayai bahwa seluruh lautan dikuasai oleh kuasa makhluk halus, yaitu jin dan roh jahat.

Perairan laut menjadi ajang para nelayan mengais rezeki selain itu laut juga menjadi suatu

momok yang menakutkan, sebab laut banyak menyimpan misteri yang asih belum terjawab

melalui akal pikiran. Keyakinan dan kepercayaan akan mitos laut dan seluk beluk makhluk gaib

yang mempengaruhi pandangan dan perilaku nelayan dalam berinteraksi dengan lingkungan laut.

Keyakinan tentang adanya penghuni gaib di dalam laut setidaknya menciptakan suatu pola sikap

yang harus dijaga dan pantangan-pantangan yang harus diindahkan sewaktu melaut. Kehidupan

masyarakat tergantung pada banyaknya hasil perolehan ikan. Untuk itu masyarakat perlu

melakukan jamuan laut dengan harapan para penguasa laut dan jin laut tidak berang kepada

mereka dan mereka dapat memperoleh ikan yang melimpah atau disebut dengan persembahan.

Di Dusun Bagan ini awalnya pelaksanaan jamu laut diadakan setiap tahun tepatnya bulan

arab sebelum bulan ramadhan tiba. Dalam hal upacara jamu laut, berbagai hal yang berkaitan

dengan kepanitiaan pelaksanaan upacara diputuskan melalui musyawarah desa yang biasanya

dipimpin oleh kepala desa. Musyawarah akan dihadiri seluruh perangkat desa, pemuka adat,

disini dibicarakan masalah dana untuk upacara jamu laut yang akan dilakukan. Dana diperoleh

dari Camat, kepala desa, dinas perikanan, tauke dan dikutip dari warga Bagan khususnya

nelayan dengan seikhlas hati20

a. Nasi tumpeng atau disebut upah-upah. .

Dalam pelaksanaan upacara jamu laut ini maka donator yang menyumbang akn

diundang, pemuka adat beserta seluruh warga sekitar. Ada beberapa sesajen yang harus

disediakan, diantaranya yaitu:

20


(36)

b. Balai yang biasa untuk adat pernikahan diisi dengan telur dan ayam panggang.

c. Kepala kerbau atau kambing.

Kerbau atau kambing ini dipotong di bibir pantai, darahnya dihanyutkan ke laut dagingnya

akan dimasak oleh para ibu-ibu. Setelah selesai dimasak maka sesajen yang telah selesai

diletakkan di pinggir pantai di atas pendopo yang telah disediakan. Sesajen ini diletakkan begitu

saja sampai habis sendiri21. Sebagian daging yang telah dimasak akan dibagikan ke anak yatim.

Kepala kerbau atau kambing akan dikubur tepat di sebelah sesajen diletakkan22

a. Nelayan yang ingin pulang dari laut tidak boleh lewat melalui jalur yang dianggap

daerah larangan semasa upacara jamu laut diadakan.

.

Di saat upacara jamu laut ini diaksanakan maka ada beberapa pantangan yang harus dijaga

oleh warga sekitar khususnya nelayan. Adapun pantangannya adalah sebagai berikut:

b. Nelayan juga tidak boleh ke laut.

c. Dilarang mandi ke sungai.

Larangan ini semua dilaksanakan dalam waktu dua hari.

Di saat dahulu apabila tidak dilaksanakan upacara jamu laut ini maka warga di sekitar

akan diganggu oleh makhlus halus yang berada di laut. Seperti ada wanita muda yang sedang

hamil kerasukan dan menenggelamkan dirinya ke laut, dan ada beberapa kasus lain seperti ini

ada korban yang meninggal dan ada yang selamat. Inilah penyebab jamu laut diadakan di

Dusun Bagan ini.

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Bagan juga semakin mengerti dengan

agama Islam dan mereka menganggap bahwasannya upacara tersebut adalah perbuatan yang

21

Sebagian warga menganggap bahwa sesajen tersebut dimakan oleh makhluk gaib yang ada dilaut, dan sebagian lain menganggap bahwa sesajen tersebut habis dibawa angin atau diterjang ombak.

22


(37)

syirik, karena percaya adanya kekuatan lain selain kekuatan Tuhan. Selain itu menurut para

Ulama sekitar tempat tersebut memang upacara yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran

Islam. Sehingga dengan hal tersebut saat ini di dusun Bagan tidak ada lagi yang namanya jamu

laut.

Acara jamu laut sudah tidak lagi diadakan di Bagan, acara jamu laut kini sudah diganti

dengan acara tolak bala. Yang tujuannya untuk menolak segala bala dan hal yang buruk yang

terjadi di lautan khususnya saat nelayan mencari ikan di laut. Acara tolak bala ini dilakukan

dengan mengumpulkan masyarakat, pemuka adat, pemuka agama dan seluruh masyarakat

lainnya dengan membaca do’a atau disebut dengan kenduri dan nantinya akan diadakan acara

makan bersama, yang mana acara ini juga memiliki manfaat yang lain yaitu rasa kebersamaan

antar masyarakat.

2.4 Pola Pemukiman

Sebuah pemukiman umumnya disamakan dengan perumahan, padahal sebenarnya kedua

hal tersebut mempunyai arti yang berbeda. Adapun yang dimaksud dengan perumahan adalah

kumpulan sejumlah rumah yang mempunyai fungsi sebagai daerah tempat tinggal dan

lingkungan hunian yang mempunyai kelengkapan prasarana dan sarana pendukungnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan pemukiman adalah lingkungan hidup yang berada di luar

daerah dilindungi yang di dalamnya terdapat ruang untuk pemukiman atau perkantoran yang

mempunyai fungsi sebagai tempat tinggal atau hunian serta daerah yang terdapat kegiatan yang

menumbuhkan rasa perikehidupan serta penghidupan23

1. Pola pemukiman terpusat

.

Pola pemukiman penduduk dapat dibagi empat, yaitu:

23Http :


(38)

Pola ini biasanya terjadi karena masyarakat yang mempunyai garis keturunan yang sama

atau karena persamaan nasib. Pemukiman ini sering didapati pada daerah pegunungan yang

dahulunya cuma ditempati seseorang atau beberapa orang, lalu berkembang dengan membangun

rumah di sekitarnya yang terus berkembang dan melingkar, sehingga ada pusat dari pemukiman

tersebut. Adapun mayoritas kegiatan perekonomian pada pola pemukiman seperti ini adalah

bertani, berkebun, ladang dan peternakan.

2. Pola pemukiman linear

Pola pemukiman ini mulanya dari pola pemukiman sejajar jalan raya yang kemudian

berkembang secara alamiah. Lahan yang dijadikan rumah pada pola pemukiman linear

merupakan lahan pertanian di sekitar lahan pemukiman. Pemukiman yang hadir berjajar di

belakang rumah yang lama mengikuti arah jalur jalan raya. Adapun mayoritas kegiatan

perekonomian pada pola pemukiman seperti ini adalah bertani, berkebun, berdagang, berternak

dan bidang jasa.

3. Pola pemukiman mengelilingi fasilitas

Pola pemukiman ini merupakan pola pemukiman yang hadir disebabkan dibangunnya

fasilitas umum, seperti sumber air, waduk, danau, pertokoan, pasar, sekolah, gedung olahraga,

gedung pemerintahan, universitas, dan fasilitas kehidupan lainnya. Arah perluasan pada

pemukiman ini yaitu menegelilingi fasilitas umum kemudian meluas dan melebar keluar dan

menuju ke segala arah. Adapun mayoritas kegiatan perekonomian pada pola pemukiman seperti

ini adalah berdagang dan bidang jasa.

4. Pola pemukiman memanjang yang mengikuti garis pantai

Pola pemukiman ini merupakan pola pemukiman yang mempunyai alur deretan rumah


(39)

Adapun mayoritas kegiatan perekonomian pada pola pemukiman seperti ini adalah nelayan, yang

menitikberatkan kehidupannya pada sektor perikanan.

Adapun pola pemukiman masyarakat dusun Bagan yaitu memanjang mengikuti garis

pantai yang ada di daerah tersebut. Dari tahun sebelum 1980 sampai tahun 2000 pola pemukiman

tidak berubah, hanya saja di tahun 2000an dibuat tanggul untuk menanggulangi banjir, sehingga

rumah-rumah yang sangat dekat dengan laut digusur dan dilarang untuk membuat kembali di

tempat yang sama, warga yang rumahnya digusur mendapat ganti rugi yang setimpal. Tetapi

sekarang ini masyarakat tidak menghiraukan larangan tersebut, karena sudah sangat banyak

warga yang kembali membuat rumahnya di pinggir laut tersebut dengan bentuk seperti rumah

panggung yang tujuannya agar air tidak masuk saat air laut sedang pasang24

Menurut hasil wawancara yang peneliti lakukan

. Karena

pembangunan rumah di pinggir laut ini semakin lama semakin menjamur pemerintah tidak bisa

berbuat apa-apa lagi, dan akhirnya pemerintah mengijinkan warga untuk mendirikan rumah di

tempat tersebut tetapi dengan syarat “harus siap apabila sewaktu-waktu pemerintah akan

menggusur rumah tersebut dan tanpa adanya ganti rugi”. 25

Kehidupannya di tepi laut mengakibatkan masyarakat menggantungkan kehidupannya

pada sektor perikanan, yang mana tahun 1998 pemakaian pukat menjamur di dusun Bagan.

Pemakaian pukat ini mengakibatkan penghasilan yang diperoleh semakin banyak dan

berpengaruh pada kehidupannya salah satunya berpengaruh pada rumah/tempat tinggal yang , pola pemukiman ini selain mengikuti

garis pantai juga bertujuan untuk mempermudah nelayan dalam mengawasi kapalnya yang

disandarkan di tepi laut.

24

Terjadi pasang berarti air laut akan meluap tinggi, pada saat musim Timur pasang terjadi pada bulan Januari sampai Juni dan terjadi pada siang hari, sedangkan di musim Barat terjadi pada bulan Agustus hingga September dan terjadi pada malam hari.

25


(40)

mengalami perubahan. Di tahun 1980-an semua nelayan memiliki rumah yang terbuat dari

papan, setelah penggunaan pukat sekitar tahun 2000-an sebagian rumah sudah berganti dari


(41)

BAB III

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN DUSUN BAGAN DESA PERCUT SEBELUM PENGGUNAAN KAPAL KEPRES 39 TAHUN 1980

3.1 Kehidupan Sosial Ekonomi

Masyarakat dusun Bagan ini 90% bermata pencaharian sebagai nelayan. Adapun yang

dimaksud dengan nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung

langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka

pada umumnya tinggal di pinggir pantai.

Sesungguhnya nelayan bukanlah suatu golongan tunggal, mereka terdiri dari beberapa

kelompok, termasuk juga di dusun Bagan ini, nelayan dapat dibedakan dalam tiga kelompok

yaitu:

a. Nelayan buruh, yaitu nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Yang

nantinya hasil tangkapan akan dibagi dua dengan pemilik sesuai dengan kesepakatan

yang dilakukan sebelumnya.

b. Nelayan perorangan, yaitu nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam

pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

c. Nelayan juragan, yaitu nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang

lain. Yang nantinya hasil tangkapan akan dibagi dua dengan pemilik sesuai dengan

kesepakatan yang dilakukan sebelumnya. Biasanya kesepakatan yang dilakukan melalui

bagi hasil, 40% untuk pemilik dan 60% untuk buruh. Tetapi biasanya kesepakatan ini

dilakukan apabila penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan pukat, karena


(42)

Tabel 4

Perkembangan Jumlah Nelayan Di Sumatera Utara 1995-1999

Kategori 1995 1996 1997 1998 1999

Penuh 70. 4037 74.992 78.092 78.534 79.108

Sambilan utama

36.148 34.620 33.795 33.472 33.815

Sambilan tambahan

5.121 5.563 5.702 5.588 5.563

TOTAL 111.708 115.175 116.589 117.594 118.486 Sumber: BPS Sumatera Utara,2000

Dari tabel 5 di atas maka dapat kita lihat dari jumlah persentase yang ada bahwa jumlah

yang paling tinggi terdapat pada kategori nelayan penuh yang memiliki jumlah persentase

sebesar 79.108. Dengan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa begitu banyak nelayan yang

menggantungkan hidupnya pada hasil laut, bahkan dapat dikatakan merupakan sumber

penghasilan satu-satunya. Jadi apabila dalam melaut tidak mendapatkan hasil sama sekali, maka

makan mereka pun akan terancam.

Adapun bahasa sehari-hari yang digunakan untuk komunikasi oleh penduduk dusun

Bagan adalah bahasa Melayu pesisir. Mereka menggunakan bahasa tersebut kepada setiap warga

tanpa memandang apakah seseorang itu etnis Melayu atau tidak, karena bagaimanapun para

pendatang tersebut sudah berbaur dengan penduduk asli yaitu etnis Melayu. Hubungan sosial


(43)

saling membantu yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia secara umum26. Hal ini dapat

dilihat dari kegiatan sosial yang telah melembaga yaitu melalui serikat tolong menolong, apabila

terjadi musibah atau kemalangan yang menimpa salah satu dari anggota masyarakat akan

membantu dengan memberi uang atau peralatan yang diperlukan27

Keadaan perekonomian sebelum tahun 1980 tepatnya sebelum mendapat bantuan kapal

kepres 39, dalam mencari ikan di laut nelayan masih menggunakan kapal tradisional yang hanya

menggunakan layar dan belum menggunakan mesin dengan mengandalkan arah hembusan

angin. Dengan hal tersebut maka hasil tangkapan yang diperoleh juga sedikit, bahkan kadang

hasil yang diperoleh hanya bisa untuk dikonsumsi sendiri saja tanpa bisa untuk dijual. Dari hasil

wawancara yang diperoleh, jumlah ikan atau udang yang diperoleh dengan menggunakan boat . Selain membantu kalau ada

kemalangan, kegiatan serikat tolong menolong ini juga akan membantu apabila ada anggotanya

yang akan melaksanakan sebuah pesta, seperti peminjaman alat-alat perlengkapan masak dan

anggota lainnya juga akan membantu dalam bentuk tenaga.

Hubungan sosial lainnya yang dapat dilihat dari masyarakat Bagan ini adalah kegiatan

yang biasa dilakukan oleh para laki-laki atau suami ketika mereka tidak pergi ke laut yaitu

memperbaiki secara bersama-sama kapal atau boat yang digunakan untuk mencari ikan,

membersihkan peralatan penangkapan ikan, membersihkan boat, atau duduk-duduk di kedai kopi

dan membicarakan apa saja yang mereka anggap menarik yang sedang hangat-hangatnya

dibicarakan. Adapun bahan pembicaraan yang biasanya dibahas mengenai bagaimana

pengalaman saat di laut, perbincangan dengan dunia politik, kondisi perekonomian dan lain

sebagainya yang dianggap mereka menarik untuk diperbincangkan.

26

Anna K Ritonang, Strategi Adaptasi Keluarga Nelayan Miskin Pasca Kenaikan BBM, Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2006, hal 46.

27


(44)

tradisional ini adalah sebanyak 3-5 kilogram perhari. Jam kerja nelayan tradisional adalah jam 5

pagi sampai jam 12 siang, yang biasanya sebelum sholat zuhur nelayan sudah sampai di rumah

supaya bisa melaksanakan sholat zuhur berjamaah di masjid28

Menurut kabar sebenarnya akan ada bantuan kepres selanjutnya, dengan adanya kabar

ini, maka nelayan dengan berbondong-bondong mendaftar ke kepala desa dengan biaya Rp.

5.000

.

Pada tahun 1980 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membantu nelayan yaitu

dengan mengeluarkan kapal kepres 39, satu paket kapal kepres ini yang terdiri dari boat, mesin,

alat tangkap, dan jaring terdiri dari tiga orang, kapal ini dibayar dengan cara cicilan. Tidak semua

nelayan dusun Bagan mendapat bantuan ini, adapun kriteria/syarat nelayan yang mendapat

bantuan ini adalah kelompok nelayan yang mempunyai sebuah organisasi. Dengan menggunakan

kapal kepres ini nelayan bisa menangkap ikan dengan lebih baik karena peralatan yang

digunakan lebih bagus dan lengkap dari sebelumnya sehingga hasil yang diperoleh juga lebih

banyak. Walaupun hanya sebagian nelayan yang mendapat bantuan kapal kepres ini, tetapi

kelompok yang mendapat kepres ini tidak memiliki perubahan sifat misalnya karena penghasilan

sudah lumayan menjadi sombong, malah kelompok nelayan yang mendapat kepres ini

memotivasi nelayan lain yang belum dapat bantuan untuk membentuk sebuah organisasi agar

kalau ada bantuan kepres selanjutnya semua nelayan akan mendapat bantuan yang sama.

29

28

Wawancara, Baharuddin 5 Mei 2013

29

Adapun nama kepala desa tersebut adalah Mursam Batubara.

dengan harapan akan mendapat bantuan kepres selanjutnya, tetapi ternyata bantuan yang

ditunggu-tunggu tidak kunjung datang kembali, uang pendaftaran pun hangus begitu saja. Hal ini

disebabkan ketidakpercayaan pemerintah pada nelayan karena kredit nelayan yang mengalami


(45)

distributor yang ditugaskan untuk mengutip langsung kepada nelayan tidak menyetorkan uang

tersebut, sehingga dengan hal ini pemerintah menganggap bahwa nelayan tidak benar karena

tidak mau membayar kewajibannya padahal kapal kepres telah diberi. Dengan hal tersebut maka

pemerintah menarik kapal kepres yang telah diberikan nelayan, dan nelayan tidak bisa menolak,

sehingga kapal pun ditarik. Tetapi tidak semua nelayan mau memberikan kapalnya untuk ditarik,

ada beberapa nelayan bandal yang tidak ingin memberikan kapalnya dan kapal pun akhirnya

tetap dimiliki nelayan yang akhirnya rusak juga karena tidak adanya perawatan yang dilakukan.

Kapal Kepres ini mengalami kerusakan total pada tahun 198830

Tauke adalah sebutan untuk para pengumpul hasil laut (tangkapan) nelayan. Pada umumnya

tauke memiliki modal dan pemilik materi, ia tidak terlibat langsung dalam kegiatan melaut yang

berperan sebagai patron.

.

3.1.1 Hubungan Patron-Klien (Tauke-Anak Buah)

31

Golongan komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi

tetapi memiliki modal lain diantaranya yaitu tenaga dan keahlian mereka disebut dengan buruh

atau anak buah yang berperan sebagai klien. 32

Pola pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan yang penuh akan resiko dan tingkat

penghasilan yang tidak menentu jumlahnya33. Fenomena kelembagaan sosial-ekonomi

patron-klien merupakan hal yang umum ditemukan di tengah-tengah masyarakat nelayan34

30

Wawancara, Baharuddin, Mei 2013

31

Rizkiyana Atika, Kajian Mengenai Pilihan Nelayan Terhadap Alat Penangkapan Ikan Di Kelurahan Beras Basah Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat Sumatera Utara, skripsi Sarjana, Medan : Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara, 2010.

32

.Menurut hasil wawancara dengan pak Baharuddin bahwa kelembagaan patron-klien ini sudah ada sekitar tahun 1950-an.

33

Aritonang K , Op cit hal 65.

34

.Badaruddin Op cit hal 30.

, hal ini


(46)

kemajuan masyarakat. Hubungan patron-klien ini merupakan hubungan majikan dengan buruh

nelayan, secara tidak langsung dalam hubungan patron-klien ini telah terjadi eksploitasi35

terhadap buruh, dimana pendapatan patron yang cukup tinggi sedangkan buruh rendah.

Meskipun sudah cukup banyak hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa hubungan

kelembagaan patron-klien ini bersifat ekspolitatif, namun kelembagaan ini masih tetap bertahan, hal ini membuktikan bahwa patron ini menurut sebagian nelayan sangat dapat membantu

nelayan. Apabila nelayan ini bekerja dengan tauke36

Meskipun tidak semua nelayan bekerja dengan sistem hubungan patron-klien, namun nelayan tradisional

yang berarti adanya hubungan patron-klien,

maka di saat musim pasang mati yang pada saat musim ini maka hasil laut akan sangat sedikit

dan di sinilah peran tauke untuk membantu nelayan yang selalu siap memberi pinjaman terhadap

buruh yang menjadi anggotanya. Hubungan patron-klien merupakan hubungan timbal balik sikap patron (tauke) yang peduli dengan kehidupan buruhnya juga harus didukung dengan sikap

buruh nelayan yang berusaha menyenangkan majikannya. Adanya sifat jujur, setia, kemauan

untuk bekerja akan membuat tauke perhatian dan mau membantu buruhnya.

37

35Eksploitasi

(bahasa Inggris: exploitation) yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.

36

Tauke yang ada di Dusun Bagan ini banyak pendatang ada bersuku Batak danMelayu .

37

.Nelayan tradisional adalah nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang cukup sederhana. Nelayan ini biasanya tidak menggunakan solar untuk boatnya karena mereka menggunakan sampan dengan cara mendayungnya, dan alat tangkap ikan dengan menggunakan jaring atau jala. Karena peralatan yang digunakan sangat sederhana, maka hasil tangkapan yang diperoleh juga sedikit.

masih tetap terkait dalam hubungan patron-klien dalam hal menjual hasil

penangkapan ikan. Meskipun di dusun Bagan ini terdapat daerah Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

tetapi sebagian nelayan tradisional tidak menjualnya ke TPI melainkan ke patron/tauke dengan alasan adanya jaminan peminjaman yang akan diberikan oleh tauke kepada nelayan saat musim


(47)

paceklik tiba, atau pada saat nelayan tidak bisa melaut baik itu akibat gangguan cuaca, sakit atau

sebagainya. Selain itu tauke akan membantu saat nelayan membutuhkan uang untuk membeli

peralatan menangkap ikan seperti untuk membeli jaring atau jala.

3.2. Kebutuhan Keluarga Nelayan

Kebutuhan ekonomi nelayan dusun Bagan ini mengarah pada kebutuhan yang bersifat

primer (makan, minum, pakaian dan rumah) dan juga kebutuhan yang bersifat sekunder alat-alat

(kendaraan, alat tangkap ikan) dan perabot (lemari, kursi, televisi). Selain kebutuhan ekonomi

tersebut masyarakat Bagan ini juga memiliki kebutuhan yang lebih penting yaitu kebutuhan

nelayan dalam menangkap ikan yang berupa perahu, jaring dan kebutuhan lain yang

berhubungan dengan perlengkapan untuk menangkap ikan. Kebutuhan ekonomi nelayan sangat

bergantung pada pendapatan yang mereka peroleh yang penghasilannya juga tergantung pada

sedikit banyaknya hasil tangkapan yang mereka peroleh.

Kebutuhan dalam keluarga juga harus diperhitungkan mulai dari biaya pendidikan anak,

listrik, peralatan mandi (sabun, sikat gigi, odol), serta kebutuhan dalam membeli peralatan rumah

tangga. Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut isteri dan anak nelayan akan ikut membantu

meningkatkan ekonomi keluarga, karena mereka sadar dengan hanya menjadi seorang nelayan

tidak akan mampu mengatasi kebutuhan-kebutuhan tersebut tanpa dibantu anggota keluarga

lainnya.

Selain itu, kebutuhan ekonomi nelayan juga mencakup pada kebutuhan untuk membeli

jaring, perahu bahkan pukat apabila alat tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Jika nelayan

tidak mampu membeli, mereka dapat meminjam uang dengan tauke, dan di sinilah peran tauke sangat membantu nelayan. Bagi rumah tangga nelayan, terutama nelayan buruh yang terpenting


(48)

adalah makan setiap hari dengan lauk pauk yang sederhana. Lauk pauk yang umum adalah ikan

laut sepanjang masih bisa diperoleh oleh nelayan.

Pemenuhan kebutuhan ini baik kebutuhan primer, sekunder, tersier maupun kebutuhan

perlengkapan dalam melaut akan dapat terpenuhi bergantung pada tingkat penghasilan nelayan.

Untuk itu nelayan Bagan berusaha untuk menyeimbangkan pendapatan yang dihasilkan dengan

pengeluaran yang dibutuhkan untuk pengeluaran mereka sehari-hari. Dalam hal ini isterilah yang

memegang peranan besar bagaimana berusaha menyeimbangkan pengeluaran yang semakin hari

harga kebutuhan semakin melambung dengan hasil yang pas-pasan. Biasanya isteri nelayan

akan mensiasatinya dengan pola makan yang hemat, yaitu dengan mengandalkan hasil

tangkapan, sehingga uang bisa dipergunakan untuk membeli beras, sayur tidak menjadi pola

makan yang diutamakan.

3.2.1 Pemenuhan Kebutuhan Hidup (Mata Pencaharian)

Mata pencaharian hidup suku Melayu erat berkaitan dengan sumber daya yang tersedia di

lingkungan tempat tinggal (kediaman) mereka. Kaitan yang erat itu tampak dari keanekaragaman

mata pencaharian orang Melayu, yaitu sebagai petani bila tinggal di daerah rendah dan jauh dari

laut, dan sebagai nelayan bila mereka tinggal di tepi laut. Berbicara tentang nelayan maka

diidentikkan dengan yang namanya kemiskinan. Kemiskinan nelayan Melayu menjadi lebih

dalam lagi mengingat bahwa suku bangsa Melayu yang merupakan salah satu pribumi di

Sumatera Utara yang seharusnya dominan, tapi ternyata mengalami pasang surut kehidupan


(49)

dikatakan bahwa sampai sekarang belum juga bangkit dari ketenggelamannya dan masih belum

ada usaha untuk menariknya keluar dari pertapaannya yang cukup lama.38

38

Arif Nasution dkk. Isu-isu Ekonomi Kelautan, dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Medan : Pustaka Pelajar. 2005

Kita ketahui bahwa etnis Melayu Sumatera Timur ini pernah mengalami kejayaan dan etos

kerja yang tinggi, dan saat ini etnis Melayu keadaannya berbanding terbalik dengan masa lalu.

Hal ini terlihat dari proses sejarah yang menunjukkan betapa kemakmuran orang Melayu di

zaman kolonial telah merosotkan tanggung jawab bangsawan Melayu terhadap masa depan

orang Melayu itu sendiri, tetapi di lain pihak kemakmuran itu menaikkan status mereka.

Pelly menyatakan bahwa kemunduran yang mematahkan kebanggaan Melayu itu adalah

karena perubahan ekologi. Perubahan ekologi akibat dari berbagai migrasi suku-bangsa dan ras

ke Sumatera Timur telah mengubah jumlah dan komposisi penduduk yang menyebabkan orang

Melayu menjadi kelompok minoritas di negerinya sendiri. Perubahan ini dapat diumpamakan

seperti air bah yang digerakkan oleh kekuatan kapitalisme kolonial yang secara paksa melanda

kehidupan sosial budaya masyarakat Melayu.

Setidaknya ada dua gelombang migrasi yang terjadi pada panghujung abad ke 19 dan

permulaan abad ke 20 ke Sumatera Timur. Penguasa kolonial Belanda membuka perkebunan

yang pada mulanya mendatangkan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak yang merupakan

gelombang migrasi pertama. Orang Cina bekas kuli kebon ini keluar dari perkebunan dan

menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti Medan, Pematang Siantar dan Tanjung Balai,

yang kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis lain

seperti Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Bagian terbesar dari mereka merupakan migran

gelombang kedua yang tujuannya selain berdagang juga banyak untuk menjadi pekerja di kantor,


(50)

Akibat migrasi yang terjadi dalam dua gelombang ini orang Melayu kelihatan menjadi

minoritas dalam jumlah populasi, walaupun kedudukan mereka dalam bidang politik dan budaya

masih tetap dominan. Namun akhirnya perubahan demografis diikuti perubahan ekologi yang

paling mendasar yaitu tanah-tanah orang Melayu yang dijadikan perkebunan. Dengan demikian,

perubahan terjadi pada sistem ekonomi rakyat walaupun oleh Sultan diberi ganti rugi.

Tradisi pertanian rakyat bertukar dari kultur pertanian komoditi ekspor menjadi petani

tanaman semusim yang cukup untuk makan saja, karena disediakan tanah jaluran. Cara bertani

seperti ini mengakibatkan terjadinya kemiskinan ekonomi bagi orang Melayu. Sebagai penunggu

tanah bekas, menanti panen tembakau untuk menanam pala dan palawija telah menanamkan “

kebiasaan hidup santai” karena ketergantungan kepada bantuan Sultan sebagai kebijakan

pemerintah Kolonial Belanda. Sementara itu, perkembangan kota menuntut pekerjaaan baru

seperti pertukangan, perdagangan, jasa industri dan kepegawaian.

Selain tidak tertarik dan kalah bersaing dengan suku lain, pendidikan yang rendah akhirnya

membawa orang Melayu tidak kebagian dalam struktur pekerjaan baru itu, sehingga muncullah

tradisi “menepi pada suku bangsa Melayu itu”.

Seperti diketahui, bahwa suatu kebudayaan masyarakat faktornya sangat ditentukan oleh

lingkungan fisik dan sosial budaya yang memberikan bentuk tentang apa dan bagaimana

kehidupan yang memuaskan. Kehidupan di tengah tidak lagi memberikan kepuasan kepada

mereka akibat perubahan lingkungan tadi. Akhirnya “hidup di tepi pantai lebih memberikan

kepuasan”. Namun sayangnya laut tidak menggugah lagi dan tidak dapat meningkatkan

kehidupan yang lebih baik. Kehidupan diterima dengan pasrah dan mereka tidak dapat keluar


(51)

Begitu juga dengan keadaan alam dan letak geografis yang dimiliki oleh daerah Bagan ini

tentunya akan berpengaruh pada pola kerja sebagai nelayan yang sudah turun temurun digeluti

dari generasi sebelumnya dengan pemanfaatan sumber daya laut yang ada. Nelayan merupakan

kelompok masyarakat yang hidupnya jauh lebih miskin dibandingkan dengan komunitas

lainnya.39

Adapun yang dimaksud dengan musim menjadi faktor penentu penghasilan nelayan adalah

bahwa nelayan merupakan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan alam, kondisi cuaca

sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan, pengetahuan tentang cuaca

merupakan hal yang mutlak harus diketahui oleh nelayan, karena dengan alat tangkap yang

sederhana mereka turun ke laut tidak ada gunanya. Nelayan Bagan membagi musim ke dalam

tiga musim. Musim yang pertama ada yang dimaksud dengan musim Barat yang terjadi pada

bulan September, Oktober, November, Desember dan Januari. Yang mana pada musim ini

frekuensi angin Barat Daya dan Barat serta curah hujan sangat tinggi, musim ini juga ditandai

dengan ombak besar dan angin kencang yang menyebabkan nelayan mengalami kendala dalam

melaut. Namun walaupun demikian, menurut nelayan Bagan musim Barat merupakan musim

yang banyak memberikan pendapatan hasil bagi mereka. Hal ini disebabkan karena curah hujan

yang tinggi akan menambah volume ketinggian air sampai ke tepi pantai dan hutan desa dimana Mereka tidak memiliki kepastian dalam meniti hari-hari di tengah laut, sehingga

pendapatan mereka pun tidak menentu setiap harinya. Musim menjadi salah satu faktor penentu

apakah mereka mendapat ikan hasil tangkapan lebih banyak atau malah sebaliknya. Kondisi

ekonomi yang tidak berkembang ini sudah terjadi dari generasi ke generasi. Bertahun-tahun

menjadi seorang nelayan tidak menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi keluarga yang lebih

baik. Rumah sederhana dari tepas, pendidikan anak yang rendah, pola pikir yang pasrah terhadap

nasib sudah menjadi ciri khas suatu komunitas nelayan.

39


(52)

kondisi ini sering dimanfaatkan oleh ikan dan udang untuk bertelur di hutan bakau, hal ini

membuat banyak nelayan yang melakukan operasi penangkapan di sekitar tepi pantai dan hutan

desa setelah masuknya musim Timur.

Selain musim Barat, nelayan juga mengenal musim Timur, musim ini terjadi pada bulan

Februari, Maret, April, Mei dan Juni. Pada musim ini angin berhembus dari Timur dan Timur

laut. Pada musim ini kecepatan angin dan curah hujan relatif hujan pula. Nelayan beranggapan

bahwasannya pada musim Timur merupakan musim perkembangan ikan. Di musim ini ikan

tidak sebanyak pada saat musim Barat, tetapi walaupun demikian penghasilan nelayan masih

cukup untuk menghidupi para nelayan.

Memasuki akhir bulan Juni sampai bulan Agustus terjadilah apa yang dikatakan nelayan

dengan musim Tenggara. Pada saat musim ini angin berhembus dari arah Tenggara dan

membawa hawa panas, terkadang juga angin pada musim ini tidak menentu dan sulit untuk

diketahui. Pada saat kondisi seperti ini umumnya nelayan sulit untuk mendapatkan ikan,

sehingga para nelayan Bagan menyebutnya dengan masa peceklik. Ini merupakan musim yang

sangat sedikit penghasilan yang diperoleh nelayan Bagan.

Di saat musim paceklik inilah nelayan mengalami masa-masa yang sangat sulit, karena

ikan yang diperoleh sangat sedikit bahkan terkadang hanya bisa untuk dikonsumsi sendiri. Para

nelayan juga tidak memiliki tabungan karena pendapatan yang pas-pasan, sehingga di sinilah

peran tauke untuk membantu para nelayan buruh yang kesulitan dalam bentuk pinjaman yang biasanya berupa uang. Ketika hasil tangkapan laut sudah kembali stabil maka nelayan akan

mengembalikan uang yang dipinjamkan dengan cara mencicil. Bagi nelayan yang tidak terlibat


(53)

keadaan musim paceklik maka isteri nelayan akan berhutang terlebih dahulu di warung-warung

sekitar rumah nelayan.

Tabel 5

Nelayan Dan Petani Ikan di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000

Kecamatan Nelayan Laut Nelayan

perairan umum/sambilan

Petani Ikan Waktu Penuh Sambilan

PST 1489 425 16 28

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2000.

Dari tabel 6 di atas maka dapat kita lihat bahwa jumlah nelayan waktu penuh merupakan

jumlah nelayan yang paling banyak jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak

masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Begitu juga sebaliknya

jumlah nelayan perairan sambilan merupakan jumlah yang paling sedikit.

3.2.2. Peran Istri dan Anak Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup

Pada saat musim paceklik nelayan tidak setiap hari pergi ke laut, karena percuma juga

nelayan pergi ke laut kalau tidak ada hasil yang diperoleh. Pada saat nelayan tidak pergi ke laut

maka nelayan ini akan memperbaiki kapal dan jaring mereka yang rusak, atau sekedar


(54)

Isteri nelayan juga memiliki pendidikan sama seperti nelayan yaitu pendidikan yang

rendah. Dengan pendidikan yang rendah maka lapangan kerja yang terbuka juga akan semakin

sedikit, yang akhirnya pekerjaan isteri nelayan ini juga tidak terlepas dari laut. Sebagian istri

nelayan ikut dalam pekerjaan mencari kerang di laut, pencarian kerang dimulai dari pukul 17.00

WIB sampai pukul 01.00 WIB. Biasanya dilakukan dalam bentuk kelompok, yaitu satu sampan

yang terdiri dari 15 orang. 40

Jika diperhatikan serentetan rumah-rumah di pinggir jalan dusun Bagan ini maka akan

ditemukan barisan warung-warung sampah, warung kopi, jajanan bahkan kedai nasi. Ternyata

sebagian besar pemilik warung di pinggir jalan tersebut sebagian besar adalah para isteri nelayan.

Walaupun begitu banyak usaha jualan di dusun Bagan ini tetapi tidak mengurangi motivasi para

isteri nelayan untuk membuka usaha yang sama, karena banyaknya jumlah warung-warung

sangat didukung oleh banyaknya pembeli. Warung-warung tersebut selalu ramai karena banyak

Selain mencari kerang, adapun strategi lainnya yang dilakukan isteri nelayan dalam

pemenuhan kebutuhan hidup adalah dengan membuat ikan asin. Hasil yang diperoleh suami

sedikit disisakan sebelum dijual untuk dibuat menjadi ikan asin, sedikit-sedikit ikan asin ini yang

dikumpulkan dan ketika sudah banyak maka ikan asin ini akan dijual kepada tengkulak dengan

harga berkisar dari Rp. 8.000 per kg sampai dengan harga yang paling mahal yaitu Rp. 18.000.

Adapun jenis ikan yang dijadikan sebagai ikan asin adalah ikan gelama batu, ikan lidah yang

kecil-kecil. Uang hasil penjualan ini sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup

anggota keluarga nelayan.

40

Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan pada tanggal 12 Oktober 2012 hari jumat. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi dalam mencari kerang ini. Karena mencari kerang di dasar laut atau di bawah air, tepatnya di dalam lumpur, maka ketika mereka menunduk ke bawah untuk mengambil kerang tersebut maka ketika ada sampan atau boat yang lewat tidak jarang pencari kerang ini akn tersenggol oleh sampan tersebut. Selain itu, ketika cuaca sedang hujan maka tantangan yang harus dihadapi juga semakin berat, yaitu ketika adanya cahaya petir para pencari kerang ini akan segera memasukan ke dalam air yang tujuannya agar tidak tersambar oleh petir.


(1)

Sumber : koleksi foto pribadi, Januari 2013.

Lampiran 13

Tempat persandaran kapal-kapal nelayan yang sedang tidak beroperasi Di sinilah sebagian nelayan menyandarkan kapalnya apabila sedang tidak beroperasi.


(2)

Sumber : koleksi foto pribadi, Januari 2013.

Lampiran 14


(3)

Sumber : koleksi foto pribadi, Juni 2013.

Lampiran 15


(4)

Sumber : koleksi foto pribadi, Juni 2013.


(5)

Kapal pengangkutan. Kapal ini bisa memanjakan pengunjung yang ingin melihat laut lepas dengan membayar Rp. 5.000-10.000


(6)