Peranan Wilayatul Hisbah Dalam Mengurangi Seks Bebas Di Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seks dianggap suatu hal yang tidak lagi tabu untuk dibicarakan pada zaman kini,
hampir semua kalangan mengetahui tentang seks dengan perkembangan teknologi dan akses
informasi yang cepat berkembang pada saat ini baik kalangan anak-anak, remaja, dewasa
bahkan para birokrat. Terutama remaja masa kini mereka tahu tentang seks tapi mayoritas
remaja hanya sebatas tahu tentang seks, namun tidak memahami apa seks dan aktivitas seks
itu sebenarnya. Seks merupakan naluri alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia.
Perbedaan antara aktivitas seks dan hubungan seks mungkin mereka juga tidak
mengerti. Perlu diketahui berpelukan dan berciuman dengan pasangan saat ini sudah
termasuk aktivitas seks. Untuk itu alangkah pentingnya pendidikan tentang seks dini agar
memahami sisi positif dan negatif yang ditimbulkan oleh seks tersebut. Seks bebas telah
menjadi tradisi di kalangan remaja, dimana masa remaja seseorang berada dalam kondisi
pubertas aktif yang mana segala sesuatu baginya ingin diketahuinya, oleh karena itu pada
masa remaja seorang anak perlu sekali mendapat bimbingan moral maupun spiritual. Sebagai
makhluk yang mempunyai sifat egoisme yang tinggi maka remaja mempunyai pribadi yang
sangat mudah terpengaruh. Pada masa ini mereka sangat rentan dalam hal yang dapat
mempengaruhi perilaku baik ataupun buruk. Contoh perilaku buruk yang dapat
menghinggapi jiwa seorang remaja adalah keinginan untuk mencoba merasakan minuman
keras, narkoba bahkan berhubungan seks.
Makna seks bebas mengalami pergeseran, dimana seks bebas yang dulu di anggap
tabu oleh masyarakat dan khususnya remaja, saat ini seks bebas tidak lagi di anggap tabu atau
dianggap wajar-wajar saja oleh para remaja yang pernah melakukan hubungan seks sebelum
1
Universitas Sumatera Utara
menikah. Nilai-nilai dalam teman-teman sepermainan (peer group) yang menganggap seks
bebas merupakan hal yang wajar, maka nilai-nilai tersebut juga akan menjadi nilai-nilai yang
dianut dalam diri para remaja itu di karenakan selama ini pendidikan seks dianggap tabu,
karena asumsi yang beredar dikalangan publik adalah bahwa pendidikan seks sama dengan
sosialisasi aktivitas seks dan identitas seks. Padahal sesungguhnya apabila para remaja
mengetahui apa esensi atau pentingnya sebuah pendidikan seks yang mancakup tentang
pengetahuan genital, pemahaman mengenai organ-organ tubuh mana yang boleh dilihat atau
tidak, bagaimana cara menjaga kesehatan organ reproduksi, dan sejauh mana batasan-batasan
bergaul dengan teman lawan jenis, serta resiko apa yang mungkin dapat terjadi apabila melak
ukan seks bebas, maka para remaja tidak akan berani mencoba melaksanakan seks bebas.
Sebagai orang timur dahulunya sangat menjaga tata krama dalam bergaul namun
dengan masuknya budaya yang tanpa batas tata krama dan kesopanan membuat masyarakat
dan remaja terpengaruh sehingga tanpa kita sadari tidak ada lagi batas antara kesopanan dan
kebebasan. Hal tersebutlah yang mendorong remaja untuk berbuat dan bertingkah laku
layaknya
kebudayaan-kebudayaan
asing
khususnya
kebudayaan
barat.
Alangkah
menyedihkan saat ini diketahui bahwa banyak remaja-remaja kita yang terpengaruh dari
budaya orang tersebut. Permasalahan remaja saat ini merupakan persoalan yang sangat serius.
Jika permasalahan remaja yang ada di negeri ini tidak dikurangi dan diselesaikan dengan
cepat maka dapat menyebabkan hancurnya tatanan bangsa di masa depan.
Beberapa faktor yang mendorong anak remaja usia sekolah SMP dan SMA
melakukan hubungan seks di luar nikah diantaranya adalah pengaruh liberalisme atau
pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan dan faktor keluarga yang mendukung ke arah
perilaku tersebut serta pengaruh dari media massa. Menurut Sigmund Freud, seks merupakan
naluri dasar yang sudah ada sejak manusia lahir. Sejak lahir, manusia sudah menjadi mahluk
yang seksual atau memiliki libido (enerji seksual) yang mengalami perkembangan melalui
2
Universitas Sumatera Utara
fase seperti anal, falik dan genital. Khususnya remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat
yang jelas karena tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak juga dewasa atau tua. masa
remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan, karena ia belum memperoleh
status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Tapi justru pada masa inilah butuh
perhatian khusus karena remaja sedang berada pada proses pencarian jati diri. Ibarat tubuh,
masyarakat terkadang juga bisa „sakit‟. Seks bebas di kalangan generasi muda kian marak
terjadi dan menjadi pembicaraan hangat. Mengurai ketimpangan tersebut, ada beberapa faktor
yang menjadi akar penyebab dari seks bebas itu. Seperti pengaruh dari media massa,
pengaruh budaya barat, kurangnya pendidikan agama dan juga pengabaian dalam keluarga
yang kemudian dijadikan sebagai sebuah cerminan. Hal itu menunjukkan bahwa selama ini
banyak remaja hanya bisa berkaca pada „cermin‟ yang retak (http://www.Serambi Indonesia,
diakses Sabtu 9 Maret 2013 14:23 WIB)
Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada 2002-2003 dinyatakan bahwa remaja
yang mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia
14-19 tahun, saat itu masih pada angka 34,7% untuk remaja putri dan 30,9% untuk remaja
putra. Sedangkan temuan terakhir sudah menunjukkan peningkatan sampai menyentuh 93.7%
(Seputar Indonesia, 24/2/2012)
Aceh sebagai daerah serambi mekkah ternyata memiliki permasalahan seks bebas pad
a remaja, seperti yang di sampaikan dalam surat khabar Serambi. Ketua Komisi Perlindungan
Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh, Tengku Anwar Yusuf Ajad menyatakan, saat ini
generasi muda Aceh banyak yang terlibat seks bebas (free sex) dan fenomena ini sudah
sangat serius, sehingga perlu segera ditangani. “Sebenarnya masalah ini sudah ada sejak
tahun 2009, namun saat ini anak-anak Aceh semakin kehilangan jati dirinya. Jika hal ini terus
dibiarkan tanpa ada tindakan nyata yang serius, maka dalam dua tahun mendatang anak-anak
3
Universitas Sumatera Utara
Aceh akan benar-benar hilang dalam kesesatan (http://www.Serambi Indonesia, diakses
Sabtu 9 Maret 2013 14:23 WIB)
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkesprov)
Aceh pada tahun 2012, Kota Lhokseumawe menduduki peringkat pertama terbanyak pelaku
seks pranikah di kalangan pelajar sekitar 70%, menyusul Banda Aceh sebanyak 50%.
Sedangkan Aceh Tengah berdasarkan data yang dihimpun dari Polres Aceh Tengah sebanyak
9 kasus seks bebas ditemukan, tahun 2010 meningkat menjadi 10 kasus. Temuan berdasarkan
survei atau penelitian semacam ini bukanlah merupakan berita yang menggembirakan. Tapi
itulah kenyataan mengemuka yang hadir dalam kehidupan masyarakat Aceh. Lunturnya
budaya malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan mereka untuk mendapat
pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas untuk dianggap bagian dari
masyarakat tersebut. Ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai ketimuran yang dianut, termasuk
dalam masalah seks di usia remaja (Serambi Indonesia, Sabtu, 9 Maret 2013 14:23 WIB)
Aceh adalah lokasi pertama masuknya Islam di Asia Tenggara, tepatnya di Peurlak
Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 Hijriah. Istilah "Serambi Mekkah" sebagai predik
at yang dilabelkan kepada daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memperlihatkan bahwa
daerah Aceh sangat kental dengan tradisi keislaman. Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
tidak saja menjadi agama mayoritas penduduk, bahkan prinsip-prinsip keislaman telah
dijadikan sebagai rujukan mutlak bagi hukum yang mengatur segala aspek kehidupan
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu acuan dalam penerapan Syari‟at Islam di
Aceh yang telah termodifikasi adalah Qanun Al-Asyi (Adat dan Hukum Islam) yang dibuat
pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu adat dijadikan sebagai fungsi untuk
mengharmoniskan kehidupan masyarakat berupa penyeimbangan kehidupan antar pribadi dan
antar kelompok. Dalam melaksanakan fungsi tersebut adat-istiadat harus berpegang teguh
kepada landasan sejalan dengan ajaran Agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Qanun
4
Universitas Sumatera Utara
inilah yang menjadi salah satu landasan hukum sebagian besar kesultanan yang ada di Asia
Tenggara dalam menerapkan Syari‟at Islam diwilayahnya masing-masing
(http://www.acehforum.or.id, diakses tanggal 17 Mei 2014 Pukul 21.35 WIB).
Munculnya Era Reformasi menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru pada tahun 1998
telah melahirkan kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapat termasuk dalam
hal tuntutan umat Islam di Aceh untuk melaksanakan Syari‟at Islam sebagai hukum positif
atau di integrasikan dengan hukum nasional,sampai pada perkembangannya sejarah penerapa
n
Syari‟at Islam di Aceh, dilembagakan melalui dukungan yaitu Undang-Undang Nomor 44
tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh yang meliputi agama, adat, pendidikan dan juga
peran ulama. Disahkan pula Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana
Aceh diberikan Peradilan Syari‟at Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari‟ah yang
kewenangannya ditetapkan oleh Qanun. Setelah itu juga muncul Undang-Undang yang
mengakomodir keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan Syari‟at Islam kembali seperti
Undang-Undang kekuasaan kehakiman Nomor 4 tahun 2004 yang memberikan peluang
untuk dibentuknya Mahkamah Syari‟ah di Aceh, dan yang terakhir adalah Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang dibuat berdasarkan butir-butir
perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) di Helsinki Finlandian.
Berdasarkaa keluarnya keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003
tanggal 3 maret 2003 tentang pembentukan makamah syari‟at di Provinsi Nangroe Aceh Daru
ssalam maka di Provnsi aceh sudah bertambah lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri, P
engadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Syari‟yah, Pengadilan Tata Usaha Negara
dan yang belum dibentuk adalah Pengadilan Tata Usaha Niaga, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dan Pengadilan Perikanan dan Kelautan.
5
Universitas Sumatera Utara
Wilayatul Hisbah (WH) bukan institusi baru yang diperkenalkan di Aceh. Di masa
kesultanan Iskandar Muda, Wilayatul Hisbah sudah ada namun pada saat itu tidak dibentuk
sebuah lembaga khusus untuk melaksanakan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar (menyuruh orang
berbuat kebaikan dan mencegah orang melakukan perbuatan buruk). Oleh karna itu perannya
sudah memadai yang dilakukan oleh para Ulama, Imam Gampong, Geucik dan para orang tua
yang disegani, dibarengi pula oleh rakyat Aceh yang memiliki kesadaran religious yang tingg
i, sehingga keberadaan sebuah institusi pemerintahan yang tugasnya memantau pelaksanaan
Syari‟at Islam belum dirasa perlu. Setiap individu dengan kesadaran masing-masing menjadi
muhtasib (petugas Wilayatul Hisbah), menegur dan mengingatkan saudaranya sekiranya mere
ka melakukan perkara yang bertentangan dengan Syari‟at dan selalu mengajak saudaranya
melakukan perbuatan Ma‟ruf yang dianjurkan Syari‟at Islam.
Wilayatul Hisbah adalah lembaga resmi pemerintah yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran ringan yang berorientasi pada suatu tugas keagamaan,
Dengan misi untuk melakukan Amar ma‟ruf nahi Munkar, menyuruh orang berbuat kebaikan
dan mencegah orang melakukan perbuatan buruk. Tugas ini merupakan suatu kewajiban
Fardu yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa. Orang yang diangkat menjadi
petugas al-hisbah bukan dari kalangan yang mudah disuap dengan menghalalkan segala cara
(Rosyadi, 2006: 60-61)
Di Aceh lembaga wilayatul hisbah dibentuk berdasarkan surat keputusan Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam Nomor 01 tahun 2004 tentang organisasi dan
pembentukan Wilayatul Hisbah. Dalam Bab I (ketentuan umum) ayat 7, surat keputusan
Gubernur Provinsi NAD tersebut menyatakan bahwa Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang
mempunyai tugas untuk pembina, pengawasan dan melakukan advokasi terhadap peraturan
perundang-undangan bidang Syari‟at Islam dalam rangka melaksanakan Amar Ma‟ruf Nahi
Mungkar. Kemudian dalam Qanun nomor 11 tahun 2004 tentang kepolisian daerah NAD
6
Universitas Sumatera Utara
menentukan bahwa WH sebagai lembaga pembantu tugas kepolisian yang bertugas membina,
melakukan advokasi dan pengawasan pelaksanaan Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar dan bertugas
sebagai polisi khusus.
Secara formal aplikasi Syari‟at Islam di Aceh telah didukung oleh Undang-Undang
dan Qanun-Qanun yang bersifat publik. Ada 4 Qanun yang diterapkan kepada masyarakat
berkaitan dengan pelaksanaan Syaria‟at Islam, yaitu Qanun nomor 11 Tahun 2002 tentang
pelaksanaan Syari‟at Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syi‟ar Islam, Qanun nomor 12 Tahun
2003 tentang minuman Qhamar (minuman keras), Qanun nomor 13 Tahun 2003 tentang
Maisir (perjudian) dan Qanun nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum dan
pergaulan bebas).
Qanun dalam Bahasa Arab kata kerjanya Qanna yang berarti membuat hukum (to
make law to legislate). Kemudian Qanun berarti hukum (law), peraturan (rule atau
regulation), Undang-Undang (statute atau code) (Rosyadi, 2006: 170). Beroperasinya
Peradilan Syari‟ah maka perbuatan-perbuatan yang melanggar Syari‟at Islam seperti judi
(Maisir), minuman Keras (Khamar) dan perbuatan Mesum atau zina atau seks bebas yang
sudah ada Qanunnya, tindakan hukum atas pelanggaran tersebut sudah dilaksanakan melalui
proses pengadilan di seluruh Aceh dengan hukum islam yaitu hukuman Cambuk dan tidak
lagi berdasarkan Hukum Pidana (Nabhani, 2011: 6).
Adanya peranan Qanun-Qanun di atas diharapkan dapat merubah prilaku masyarakat
secara luas di Aceh sehingga dapat mengarah sesuai dengan Syari‟at Islam kembali, oleh
karena itu diperlukan dukungan, partisipasi dan saling mebenahi diri dari masyarakat luas
agar terwujudnya peranan Syari‟at Islam yang Kaffah. Maka untuk penerapan Syari‟at Islam
diperlukan kesiapan masyarakat dan aparat penegak hukum yang diserahkan kepada institusi
Wilayatul Hisbah (WH) sehingga diharapkan tidak akan terjadinya penyimpangan dalam
pelaksanaan syari‟at islam.
7
Universitas Sumatera Utara
Didalam Syari‟at Islam perbuatan seks bebas merupakan perbuatan yang tercela dan
terlarang, maka daripada itu di dalam Syari‟at Islam di Aceh di bawah institusi Wilayatul
Hisbah seks bebas dimasukkan dalam Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat
(perbuatan mesum) yang di harapkan Wilayatul Hisbah dapat membenahi nilai-nilai dan
moral di kalangan remaja. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi bahkan
menghilangkan perbuatan mesun tersebut di kalangan remaja.
Adapun beberapa program Wilayatul Hisbah dalam mengurangi seks bebas
dikalangan remaja sesuai Qanun no 14 tahun 2003 adalah:
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan Qanun nomor
14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas).
b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan
bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Qanun nomor 14
tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas). Pada saat tugas
pembinaan mulai dilakukan Muhtasib (sebutan petugas Wilayatul Hisbah) perlu
memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik atau Kepala
Gampong dan keluarga pelaku
c. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Qanun
nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas) kepada
penyidik
d. Menegur, memperingatkan dan menasehati seseorang yang patut di duga telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang
Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas). Selain itu berupaya untuk menghentikan
kegiatan atau perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundangan
Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas),
menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat Adat Gampong, serta
8
Universitas Sumatera Utara
memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalah gunaan izin
penggunaan suatu tempat atau sarana terhadap Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang
Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas) (Dinas Syari‟at Islam Kota Langsa).
Pelaksanaan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran Qanun nomor 14 tahun 2003
tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas) melalui proses jalan panjang, diawali
dari proses pengindentifikasian pelanggaran baik dari laporan masyarakat, razia dan berbagai
usaha lainnya, pemeriksaan jenis pelanggaran dan penyidikan guna pembuatan BAP untuk
diserahkan kepada kejaksaan. Setelah sempurna, BAP diserahkan ke Mahkamah Syari‟at
untuk diproses di pengadilan. Dan penerapan sanksi berdasarkan keputusan dari pengadilan
seperti:
a. Pelaku mesum atau seks bebas akan diberikan sanksi 3 – 9 kali hukuman cambuk atau
denda 2,5 – 10 juta
b. Penyedia fasilitas atau yang melindungi orang yang melakukan mesum/seks bebas
diberikan sanksi Kurungan 2 – 6 bulan atau denda 5 – 15 juta (Dinas Syari‟at Islam
Kota Takengon).
Pemerintah telah mengerahkan instansi terkait seperti Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU), Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (BP3A), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syariat
Aceh dan tentu saja pihak kepolisian. Namun pada saat ini yang masih sering beroperasi
dengan menggelar razia adalah Willayatul Hisbah. Aceh yang mayoritas penganutnya
beragama Islam, mengerahkan Willayatul Hisbah demi meminimalisir terjadinya kasus
khalwat dan mesum dalam ruang lingkup masyarakat. Banyak dari masyarakat Aceh yang
menyetujui adanya Willayatul Hisbah, namun saat ini hanya terlihat sesekali saja dan hanya
memberikan ceramah singkat “jangan berdua-duaan di tempat yang sepi” bagi pelaku, jika
kasusnya parah maka akan diberikan surat peringatan (Yusuf, E. J, dalam serambi, 2013)
9
Universitas Sumatera Utara
Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD adalah salah satu wilayah
tempat beroprasinya Institusi Wilayatul Hisbah yang termasuk dalam penerapan Qanun
Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas). Sejauh ini yang
dilakukan WH di Kemili dalam peranan WH dalam pengawasan adalah melakukan razia di
tempat terduga atau tepat terjadinya pelanggaran Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
khalwat (mesum atau seks bebas), patroli di malam hari dan didaerah rawan pelanggaran
Qanun tersebut seperti perumahan kontrak mahasiswa,
penggerebekan dan lain-lain.
Peranan Wilayatul Hisbah dalam pembinaan yang dilakukan di Desa Kemili adalah
sosialisasi, dialog interaktif, ceramah, mengenai Syari‟at Islam khususnya tentang Qanun
Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum atau seks bebas). Peranan Wilayatul Hisbah
dalam pemberian sanksi di Desa Kemili adalah pelaksanaan hukuman cambuk, diarak
keliling kampung serta dinikahkan dan lain-lain.
Bagi masyarakat Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon, Wilayatul Hisbah
sangat diharapkan kehadirannya sebagi Institusi yang sah. Namun dalam penerapan Syari‟at
Islam yang dijalankan oleh petugas Wilayatul Hisbah menuai pro dan kontra dari masyarakat
Aceh sendiri, khususnya mengenai perbuatan mesum atau seks bebas. Untuk itu adanya
program-program dalam mengurangi seks bebas dikaji lebih lanjut dan dituangkan melalui
penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis sebelumnya, penulis
tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut dalam bentuk penelitian dan dituangkan
dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul “Peranan Wilayatul Hisbah Dalam
Mengurangi Seks Bebas di Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD”.
10
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan langkah yang penting, karena langkah ini akan
menentukan kemana suatu penelitian itu diarahkan. Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan dilatar belakang masalah, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut
bagaimana Peranan Wilayatul Hisbah dalam mengurangi seks bebas di Desa Kemili
Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD?”.
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan Wilayatul Hisbah
dalam mengurangi seks bebas Di Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka :
a. Bagi penulis, dapat mempertajam kemampuan menulis dalam penulisan karya ilmiah,
menambah pengetahuan dan mengasa kemampuan berpikir penulis dalam menyikapi
dan menganalisis permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya
permasalahan seks bebas.
b. Bagi fakultas, dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka pengembangan
konsep-konsep dan teori-teori keilmuan mengenai Permasalahan seks bebas yang
dikembangkan oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya serta dapat
bermanfaat
c. Sebagai masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan
permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi untuk kajian ataupun penelitian
selanjutnya.
11
Universitas Sumatera Utara
d. Memberikan masukan kepustakaan serta menjadi sumber masukan kepada instasi
terkait.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam Skripsi
ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan
dalam 6 (enam) bab, dengan urutan sebagai berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN
Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang
diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi oprasional.
BAB III :
METODE PENELITIAN
Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik
pengumpulan data, serta teknik analisa data.
BAB IV :
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan
data-data lain, dimana penulis mengadakan penelitian.
BAB V :
ANALISA DATA
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta
dengan analisisnya.
12
Universitas Sumatera Utara
BAB VI :
PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubung dengan
penelitian yang dilakukan.
13
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seks dianggap suatu hal yang tidak lagi tabu untuk dibicarakan pada zaman kini,
hampir semua kalangan mengetahui tentang seks dengan perkembangan teknologi dan akses
informasi yang cepat berkembang pada saat ini baik kalangan anak-anak, remaja, dewasa
bahkan para birokrat. Terutama remaja masa kini mereka tahu tentang seks tapi mayoritas
remaja hanya sebatas tahu tentang seks, namun tidak memahami apa seks dan aktivitas seks
itu sebenarnya. Seks merupakan naluri alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia.
Perbedaan antara aktivitas seks dan hubungan seks mungkin mereka juga tidak
mengerti. Perlu diketahui berpelukan dan berciuman dengan pasangan saat ini sudah
termasuk aktivitas seks. Untuk itu alangkah pentingnya pendidikan tentang seks dini agar
memahami sisi positif dan negatif yang ditimbulkan oleh seks tersebut. Seks bebas telah
menjadi tradisi di kalangan remaja, dimana masa remaja seseorang berada dalam kondisi
pubertas aktif yang mana segala sesuatu baginya ingin diketahuinya, oleh karena itu pada
masa remaja seorang anak perlu sekali mendapat bimbingan moral maupun spiritual. Sebagai
makhluk yang mempunyai sifat egoisme yang tinggi maka remaja mempunyai pribadi yang
sangat mudah terpengaruh. Pada masa ini mereka sangat rentan dalam hal yang dapat
mempengaruhi perilaku baik ataupun buruk. Contoh perilaku buruk yang dapat
menghinggapi jiwa seorang remaja adalah keinginan untuk mencoba merasakan minuman
keras, narkoba bahkan berhubungan seks.
Makna seks bebas mengalami pergeseran, dimana seks bebas yang dulu di anggap
tabu oleh masyarakat dan khususnya remaja, saat ini seks bebas tidak lagi di anggap tabu atau
dianggap wajar-wajar saja oleh para remaja yang pernah melakukan hubungan seks sebelum
1
Universitas Sumatera Utara
menikah. Nilai-nilai dalam teman-teman sepermainan (peer group) yang menganggap seks
bebas merupakan hal yang wajar, maka nilai-nilai tersebut juga akan menjadi nilai-nilai yang
dianut dalam diri para remaja itu di karenakan selama ini pendidikan seks dianggap tabu,
karena asumsi yang beredar dikalangan publik adalah bahwa pendidikan seks sama dengan
sosialisasi aktivitas seks dan identitas seks. Padahal sesungguhnya apabila para remaja
mengetahui apa esensi atau pentingnya sebuah pendidikan seks yang mancakup tentang
pengetahuan genital, pemahaman mengenai organ-organ tubuh mana yang boleh dilihat atau
tidak, bagaimana cara menjaga kesehatan organ reproduksi, dan sejauh mana batasan-batasan
bergaul dengan teman lawan jenis, serta resiko apa yang mungkin dapat terjadi apabila melak
ukan seks bebas, maka para remaja tidak akan berani mencoba melaksanakan seks bebas.
Sebagai orang timur dahulunya sangat menjaga tata krama dalam bergaul namun
dengan masuknya budaya yang tanpa batas tata krama dan kesopanan membuat masyarakat
dan remaja terpengaruh sehingga tanpa kita sadari tidak ada lagi batas antara kesopanan dan
kebebasan. Hal tersebutlah yang mendorong remaja untuk berbuat dan bertingkah laku
layaknya
kebudayaan-kebudayaan
asing
khususnya
kebudayaan
barat.
Alangkah
menyedihkan saat ini diketahui bahwa banyak remaja-remaja kita yang terpengaruh dari
budaya orang tersebut. Permasalahan remaja saat ini merupakan persoalan yang sangat serius.
Jika permasalahan remaja yang ada di negeri ini tidak dikurangi dan diselesaikan dengan
cepat maka dapat menyebabkan hancurnya tatanan bangsa di masa depan.
Beberapa faktor yang mendorong anak remaja usia sekolah SMP dan SMA
melakukan hubungan seks di luar nikah diantaranya adalah pengaruh liberalisme atau
pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan dan faktor keluarga yang mendukung ke arah
perilaku tersebut serta pengaruh dari media massa. Menurut Sigmund Freud, seks merupakan
naluri dasar yang sudah ada sejak manusia lahir. Sejak lahir, manusia sudah menjadi mahluk
yang seksual atau memiliki libido (enerji seksual) yang mengalami perkembangan melalui
2
Universitas Sumatera Utara
fase seperti anal, falik dan genital. Khususnya remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat
yang jelas karena tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak juga dewasa atau tua. masa
remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan, karena ia belum memperoleh
status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Tapi justru pada masa inilah butuh
perhatian khusus karena remaja sedang berada pada proses pencarian jati diri. Ibarat tubuh,
masyarakat terkadang juga bisa „sakit‟. Seks bebas di kalangan generasi muda kian marak
terjadi dan menjadi pembicaraan hangat. Mengurai ketimpangan tersebut, ada beberapa faktor
yang menjadi akar penyebab dari seks bebas itu. Seperti pengaruh dari media massa,
pengaruh budaya barat, kurangnya pendidikan agama dan juga pengabaian dalam keluarga
yang kemudian dijadikan sebagai sebuah cerminan. Hal itu menunjukkan bahwa selama ini
banyak remaja hanya bisa berkaca pada „cermin‟ yang retak (http://www.Serambi Indonesia,
diakses Sabtu 9 Maret 2013 14:23 WIB)
Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada 2002-2003 dinyatakan bahwa remaja
yang mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia
14-19 tahun, saat itu masih pada angka 34,7% untuk remaja putri dan 30,9% untuk remaja
putra. Sedangkan temuan terakhir sudah menunjukkan peningkatan sampai menyentuh 93.7%
(Seputar Indonesia, 24/2/2012)
Aceh sebagai daerah serambi mekkah ternyata memiliki permasalahan seks bebas pad
a remaja, seperti yang di sampaikan dalam surat khabar Serambi. Ketua Komisi Perlindungan
Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh, Tengku Anwar Yusuf Ajad menyatakan, saat ini
generasi muda Aceh banyak yang terlibat seks bebas (free sex) dan fenomena ini sudah
sangat serius, sehingga perlu segera ditangani. “Sebenarnya masalah ini sudah ada sejak
tahun 2009, namun saat ini anak-anak Aceh semakin kehilangan jati dirinya. Jika hal ini terus
dibiarkan tanpa ada tindakan nyata yang serius, maka dalam dua tahun mendatang anak-anak
3
Universitas Sumatera Utara
Aceh akan benar-benar hilang dalam kesesatan (http://www.Serambi Indonesia, diakses
Sabtu 9 Maret 2013 14:23 WIB)
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkesprov)
Aceh pada tahun 2012, Kota Lhokseumawe menduduki peringkat pertama terbanyak pelaku
seks pranikah di kalangan pelajar sekitar 70%, menyusul Banda Aceh sebanyak 50%.
Sedangkan Aceh Tengah berdasarkan data yang dihimpun dari Polres Aceh Tengah sebanyak
9 kasus seks bebas ditemukan, tahun 2010 meningkat menjadi 10 kasus. Temuan berdasarkan
survei atau penelitian semacam ini bukanlah merupakan berita yang menggembirakan. Tapi
itulah kenyataan mengemuka yang hadir dalam kehidupan masyarakat Aceh. Lunturnya
budaya malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan mereka untuk mendapat
pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas untuk dianggap bagian dari
masyarakat tersebut. Ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai ketimuran yang dianut, termasuk
dalam masalah seks di usia remaja (Serambi Indonesia, Sabtu, 9 Maret 2013 14:23 WIB)
Aceh adalah lokasi pertama masuknya Islam di Asia Tenggara, tepatnya di Peurlak
Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 Hijriah. Istilah "Serambi Mekkah" sebagai predik
at yang dilabelkan kepada daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memperlihatkan bahwa
daerah Aceh sangat kental dengan tradisi keislaman. Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
tidak saja menjadi agama mayoritas penduduk, bahkan prinsip-prinsip keislaman telah
dijadikan sebagai rujukan mutlak bagi hukum yang mengatur segala aspek kehidupan
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu acuan dalam penerapan Syari‟at Islam di
Aceh yang telah termodifikasi adalah Qanun Al-Asyi (Adat dan Hukum Islam) yang dibuat
pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu adat dijadikan sebagai fungsi untuk
mengharmoniskan kehidupan masyarakat berupa penyeimbangan kehidupan antar pribadi dan
antar kelompok. Dalam melaksanakan fungsi tersebut adat-istiadat harus berpegang teguh
kepada landasan sejalan dengan ajaran Agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Qanun
4
Universitas Sumatera Utara
inilah yang menjadi salah satu landasan hukum sebagian besar kesultanan yang ada di Asia
Tenggara dalam menerapkan Syari‟at Islam diwilayahnya masing-masing
(http://www.acehforum.or.id, diakses tanggal 17 Mei 2014 Pukul 21.35 WIB).
Munculnya Era Reformasi menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru pada tahun 1998
telah melahirkan kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapat termasuk dalam
hal tuntutan umat Islam di Aceh untuk melaksanakan Syari‟at Islam sebagai hukum positif
atau di integrasikan dengan hukum nasional,sampai pada perkembangannya sejarah penerapa
n
Syari‟at Islam di Aceh, dilembagakan melalui dukungan yaitu Undang-Undang Nomor 44
tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh yang meliputi agama, adat, pendidikan dan juga
peran ulama. Disahkan pula Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana
Aceh diberikan Peradilan Syari‟at Islam yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syari‟ah yang
kewenangannya ditetapkan oleh Qanun. Setelah itu juga muncul Undang-Undang yang
mengakomodir keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan Syari‟at Islam kembali seperti
Undang-Undang kekuasaan kehakiman Nomor 4 tahun 2004 yang memberikan peluang
untuk dibentuknya Mahkamah Syari‟ah di Aceh, dan yang terakhir adalah Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang dibuat berdasarkan butir-butir
perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) di Helsinki Finlandian.
Berdasarkaa keluarnya keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003
tanggal 3 maret 2003 tentang pembentukan makamah syari‟at di Provinsi Nangroe Aceh Daru
ssalam maka di Provnsi aceh sudah bertambah lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri, P
engadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Syari‟yah, Pengadilan Tata Usaha Negara
dan yang belum dibentuk adalah Pengadilan Tata Usaha Niaga, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dan Pengadilan Perikanan dan Kelautan.
5
Universitas Sumatera Utara
Wilayatul Hisbah (WH) bukan institusi baru yang diperkenalkan di Aceh. Di masa
kesultanan Iskandar Muda, Wilayatul Hisbah sudah ada namun pada saat itu tidak dibentuk
sebuah lembaga khusus untuk melaksanakan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar (menyuruh orang
berbuat kebaikan dan mencegah orang melakukan perbuatan buruk). Oleh karna itu perannya
sudah memadai yang dilakukan oleh para Ulama, Imam Gampong, Geucik dan para orang tua
yang disegani, dibarengi pula oleh rakyat Aceh yang memiliki kesadaran religious yang tingg
i, sehingga keberadaan sebuah institusi pemerintahan yang tugasnya memantau pelaksanaan
Syari‟at Islam belum dirasa perlu. Setiap individu dengan kesadaran masing-masing menjadi
muhtasib (petugas Wilayatul Hisbah), menegur dan mengingatkan saudaranya sekiranya mere
ka melakukan perkara yang bertentangan dengan Syari‟at dan selalu mengajak saudaranya
melakukan perbuatan Ma‟ruf yang dianjurkan Syari‟at Islam.
Wilayatul Hisbah adalah lembaga resmi pemerintah yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran ringan yang berorientasi pada suatu tugas keagamaan,
Dengan misi untuk melakukan Amar ma‟ruf nahi Munkar, menyuruh orang berbuat kebaikan
dan mencegah orang melakukan perbuatan buruk. Tugas ini merupakan suatu kewajiban
Fardu yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yang berkuasa. Orang yang diangkat menjadi
petugas al-hisbah bukan dari kalangan yang mudah disuap dengan menghalalkan segala cara
(Rosyadi, 2006: 60-61)
Di Aceh lembaga wilayatul hisbah dibentuk berdasarkan surat keputusan Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam Nomor 01 tahun 2004 tentang organisasi dan
pembentukan Wilayatul Hisbah. Dalam Bab I (ketentuan umum) ayat 7, surat keputusan
Gubernur Provinsi NAD tersebut menyatakan bahwa Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang
mempunyai tugas untuk pembina, pengawasan dan melakukan advokasi terhadap peraturan
perundang-undangan bidang Syari‟at Islam dalam rangka melaksanakan Amar Ma‟ruf Nahi
Mungkar. Kemudian dalam Qanun nomor 11 tahun 2004 tentang kepolisian daerah NAD
6
Universitas Sumatera Utara
menentukan bahwa WH sebagai lembaga pembantu tugas kepolisian yang bertugas membina,
melakukan advokasi dan pengawasan pelaksanaan Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar dan bertugas
sebagai polisi khusus.
Secara formal aplikasi Syari‟at Islam di Aceh telah didukung oleh Undang-Undang
dan Qanun-Qanun yang bersifat publik. Ada 4 Qanun yang diterapkan kepada masyarakat
berkaitan dengan pelaksanaan Syaria‟at Islam, yaitu Qanun nomor 11 Tahun 2002 tentang
pelaksanaan Syari‟at Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syi‟ar Islam, Qanun nomor 12 Tahun
2003 tentang minuman Qhamar (minuman keras), Qanun nomor 13 Tahun 2003 tentang
Maisir (perjudian) dan Qanun nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum dan
pergaulan bebas).
Qanun dalam Bahasa Arab kata kerjanya Qanna yang berarti membuat hukum (to
make law to legislate). Kemudian Qanun berarti hukum (law), peraturan (rule atau
regulation), Undang-Undang (statute atau code) (Rosyadi, 2006: 170). Beroperasinya
Peradilan Syari‟ah maka perbuatan-perbuatan yang melanggar Syari‟at Islam seperti judi
(Maisir), minuman Keras (Khamar) dan perbuatan Mesum atau zina atau seks bebas yang
sudah ada Qanunnya, tindakan hukum atas pelanggaran tersebut sudah dilaksanakan melalui
proses pengadilan di seluruh Aceh dengan hukum islam yaitu hukuman Cambuk dan tidak
lagi berdasarkan Hukum Pidana (Nabhani, 2011: 6).
Adanya peranan Qanun-Qanun di atas diharapkan dapat merubah prilaku masyarakat
secara luas di Aceh sehingga dapat mengarah sesuai dengan Syari‟at Islam kembali, oleh
karena itu diperlukan dukungan, partisipasi dan saling mebenahi diri dari masyarakat luas
agar terwujudnya peranan Syari‟at Islam yang Kaffah. Maka untuk penerapan Syari‟at Islam
diperlukan kesiapan masyarakat dan aparat penegak hukum yang diserahkan kepada institusi
Wilayatul Hisbah (WH) sehingga diharapkan tidak akan terjadinya penyimpangan dalam
pelaksanaan syari‟at islam.
7
Universitas Sumatera Utara
Didalam Syari‟at Islam perbuatan seks bebas merupakan perbuatan yang tercela dan
terlarang, maka daripada itu di dalam Syari‟at Islam di Aceh di bawah institusi Wilayatul
Hisbah seks bebas dimasukkan dalam Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat
(perbuatan mesum) yang di harapkan Wilayatul Hisbah dapat membenahi nilai-nilai dan
moral di kalangan remaja. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi bahkan
menghilangkan perbuatan mesun tersebut di kalangan remaja.
Adapun beberapa program Wilayatul Hisbah dalam mengurangi seks bebas
dikalangan remaja sesuai Qanun no 14 tahun 2003 adalah:
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan Qanun nomor
14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas).
b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan
bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Qanun nomor 14
tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas). Pada saat tugas
pembinaan mulai dilakukan Muhtasib (sebutan petugas Wilayatul Hisbah) perlu
memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik atau Kepala
Gampong dan keluarga pelaku
c. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Qanun
nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas) kepada
penyidik
d. Menegur, memperingatkan dan menasehati seseorang yang patut di duga telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang
Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas). Selain itu berupaya untuk menghentikan
kegiatan atau perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundangan
Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas),
menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat Adat Gampong, serta
8
Universitas Sumatera Utara
memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalah gunaan izin
penggunaan suatu tempat atau sarana terhadap Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang
Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas) (Dinas Syari‟at Islam Kota Langsa).
Pelaksanaan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran Qanun nomor 14 tahun 2003
tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas) melalui proses jalan panjang, diawali
dari proses pengindentifikasian pelanggaran baik dari laporan masyarakat, razia dan berbagai
usaha lainnya, pemeriksaan jenis pelanggaran dan penyidikan guna pembuatan BAP untuk
diserahkan kepada kejaksaan. Setelah sempurna, BAP diserahkan ke Mahkamah Syari‟at
untuk diproses di pengadilan. Dan penerapan sanksi berdasarkan keputusan dari pengadilan
seperti:
a. Pelaku mesum atau seks bebas akan diberikan sanksi 3 – 9 kali hukuman cambuk atau
denda 2,5 – 10 juta
b. Penyedia fasilitas atau yang melindungi orang yang melakukan mesum/seks bebas
diberikan sanksi Kurungan 2 – 6 bulan atau denda 5 – 15 juta (Dinas Syari‟at Islam
Kota Takengon).
Pemerintah telah mengerahkan instansi terkait seperti Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU), Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (BP3A), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syariat
Aceh dan tentu saja pihak kepolisian. Namun pada saat ini yang masih sering beroperasi
dengan menggelar razia adalah Willayatul Hisbah. Aceh yang mayoritas penganutnya
beragama Islam, mengerahkan Willayatul Hisbah demi meminimalisir terjadinya kasus
khalwat dan mesum dalam ruang lingkup masyarakat. Banyak dari masyarakat Aceh yang
menyetujui adanya Willayatul Hisbah, namun saat ini hanya terlihat sesekali saja dan hanya
memberikan ceramah singkat “jangan berdua-duaan di tempat yang sepi” bagi pelaku, jika
kasusnya parah maka akan diberikan surat peringatan (Yusuf, E. J, dalam serambi, 2013)
9
Universitas Sumatera Utara
Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD adalah salah satu wilayah
tempat beroprasinya Institusi Wilayatul Hisbah yang termasuk dalam penerapan Qanun
Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum atau seks bebas). Sejauh ini yang
dilakukan WH di Kemili dalam peranan WH dalam pengawasan adalah melakukan razia di
tempat terduga atau tepat terjadinya pelanggaran Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
khalwat (mesum atau seks bebas), patroli di malam hari dan didaerah rawan pelanggaran
Qanun tersebut seperti perumahan kontrak mahasiswa,
penggerebekan dan lain-lain.
Peranan Wilayatul Hisbah dalam pembinaan yang dilakukan di Desa Kemili adalah
sosialisasi, dialog interaktif, ceramah, mengenai Syari‟at Islam khususnya tentang Qanun
Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum atau seks bebas). Peranan Wilayatul Hisbah
dalam pemberian sanksi di Desa Kemili adalah pelaksanaan hukuman cambuk, diarak
keliling kampung serta dinikahkan dan lain-lain.
Bagi masyarakat Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon, Wilayatul Hisbah
sangat diharapkan kehadirannya sebagi Institusi yang sah. Namun dalam penerapan Syari‟at
Islam yang dijalankan oleh petugas Wilayatul Hisbah menuai pro dan kontra dari masyarakat
Aceh sendiri, khususnya mengenai perbuatan mesum atau seks bebas. Untuk itu adanya
program-program dalam mengurangi seks bebas dikaji lebih lanjut dan dituangkan melalui
penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis sebelumnya, penulis
tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut dalam bentuk penelitian dan dituangkan
dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul “Peranan Wilayatul Hisbah Dalam
Mengurangi Seks Bebas di Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD”.
10
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan langkah yang penting, karena langkah ini akan
menentukan kemana suatu penelitian itu diarahkan. Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan dilatar belakang masalah, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut
bagaimana Peranan Wilayatul Hisbah dalam mengurangi seks bebas di Desa Kemili
Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD?”.
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan Wilayatul Hisbah
dalam mengurangi seks bebas Di Desa Kemili Kecamatan Bebesen Kota Takengon NAD.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka :
a. Bagi penulis, dapat mempertajam kemampuan menulis dalam penulisan karya ilmiah,
menambah pengetahuan dan mengasa kemampuan berpikir penulis dalam menyikapi
dan menganalisis permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya
permasalahan seks bebas.
b. Bagi fakultas, dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka pengembangan
konsep-konsep dan teori-teori keilmuan mengenai Permasalahan seks bebas yang
dikembangkan oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya serta dapat
bermanfaat
c. Sebagai masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan
permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi untuk kajian ataupun penelitian
selanjutnya.
11
Universitas Sumatera Utara
d. Memberikan masukan kepustakaan serta menjadi sumber masukan kepada instasi
terkait.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam Skripsi
ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan
dalam 6 (enam) bab, dengan urutan sebagai berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN
Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang
diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi oprasional.
BAB III :
METODE PENELITIAN
Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik
pengumpulan data, serta teknik analisa data.
BAB IV :
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan
data-data lain, dimana penulis mengadakan penelitian.
BAB V :
ANALISA DATA
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta
dengan analisisnya.
12
Universitas Sumatera Utara
BAB VI :
PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubung dengan
penelitian yang dilakukan.
13
Universitas Sumatera Utara