Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III
BAB III
AGAMA DAN ETNIK SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL
. . Individu dan Masyarakat
Bab ini disusun dengan tujuan memberi kerangka
pemikiran bagi pengayaan bangunan teori identitas
dalam agama dan etnik sebagai dasar teoritis kedua
dalam studi ini. Namun sebelum menguraikan teori
identitas, pemahaman tentang asal-usul masyarakat
sebagai obyek analisis riset tentang komunitas akan
dieksplorasi secara detil. Sebab pembahasan identitas
selalu
terkait
dengan
dan
tumbuh
bersama
perkembangan masyarakat. Pertanyaan pertama yang
dimunculkan ialah apa itu masyarakat? Adakah kesamaan
antara masyarakat dengan komunitas? Lalu bagaimana
kedudukan dan peran komunitas dalam berinteraksi
sehingga
melahirkan
identitas
sosial?
Pertanyaan-
pertanyaan itu penting diterangkan, sebelum memasuki
karangka
teoritik
keterhubungannya
masyarakat.
mengenai
dengan
agama
identitas
dan
etnik
dan
di
Secara harafiah kata masyarakat berasal dari bahasa
Arab, yaitu syaraka, yang artinya ikut serta, berperan
serta atau bekerjasama dan bersekutu.
Serumpun
dengan arti itu dalam bahasa Latin, kata masyarakat
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab Indonesia
Yogyakarta: Pustaka Progresif,
,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
disebut socius, diderivasikan ke dalam bahasa )nggris
menjadi society, yang artinya kawan atau perkumpulan.
Sementara definisi akademik untuk mengetahui arti
masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa )ndonesia
KBB) , adalah sekumpulan manusia dalam arti yang
seluas-luasnya dan terikat oleh
kebudayaan yang
dianggap sama. Masyarakat merupakan sekumpulan
individu yang hidup bersama ketika berinteraksi dalam
kebudayaan yang sama. )ndividu di sini adalah manusia
sebagai makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan
berinteraksi. Pertanyaan selanjutnya, dalam kebutuhan
berinteraksi, apakah masyarakat yang dibentuk oleh
individu atau individu yang dibentuk oleh masyarakat?
Dengan kata lain, lebih dahulu mana antara individu itu
ada atau masyarakat yang lebih awal ada?
Pertanyaan
itu
dapat
dijawab
dengan
memperhatikan dari perspektif mana sosiolog memahami
masyarakat.
Jika
mengikuti
cara
pandang
Weber,
individu sebagai pembentuk masyarakat. Melalui analisis
Dhanny R. Cyssco, and Jack Dawson, World Dictionary Jakarta:
Pustaka Delapratasa,
,
.
http://kbbi.web.id/masyarakat. Diunduh pada tanggal
Oktober
.
Studi Weber tentang masyarakat bertolak dari pemahaman bahwa
interaksi sosial individu ditentukan oleh tindakannya yang terkait dengan
motif dan tujuan yang diekpresikan secara subyektif. Untuk mengetahui
motif tindakan individu diperlukan pemahaman mendalam verstehen ,
sehingga dapat diketahui arti atau makna dari fenomena tindakan tersebut
ketika berinteraksi. Pemahaman terhadap arti dari tindakan ini yang disebut
dengan paradigma sosiologi interpretatif. )ni artinya paradigma sosiologi
interpretatif berhubungan dengan tindakan individu mengandung motif atau
makna subyektif, yang memberikan gambaran kausalitas, atau sebab akibat
dari hubungan sosial fenomenal. Dengan mengetahui arti atau makna dari
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
tipe
kepemimpinan
dalam
dunia
sosial,
yakni
kepemimpinan kharismatik, Weber memandang individu
yang memiliki kekuatan adikodrati dan daya kharisma
adalah aktor pembentuk masyarakat di mana ia tumbuh
dan berkembang, seperti tindakan para utusan Tuhan dan
rohaniawan dalam mengkonstruksi dunia sosial. Namun
apabila merujuk perspektif Durkheim, masyarakat yang
membentuk individu di mana individu tunduk pada
tatanan
sosial yang mengikatnya sebagai anggota
masyarakat. Jika ada individu yang tidak tunduk atau
menyimpang dari masyarakat, ia menjadi individu yang
mengalami
anomali.
Jadi
masyarakat
merupakan
tindakan subyektif, Weber membedakan tindakan sosial menjadi empat,
yaitu Pertama, Tindakan Rasional Instrumental, yakni tindakan individu
berdasarkan cara yang digunakannya disesuaikan dengan tujuan yang
hendak dicapai dari tindakan itu dalam berinteraksi sosial. Jadi rasionalitas
dari tindakan diletakkan pada rasionalitas tujuan dan instrumen yang
digunakan. Biasanya tindakan seperti ini terjadi pada birokrasi modern.
Kedua, Tindakan Rasional Berorientasi Nilai, yakni tindakan individu yang
didasarkan pada asas kemanfaatan. Letak rasionalitasnya terdapat pada nilai
kegunaan dari tindakannya; benar atau salah dari penilaian yang diukur oleh
masyarakat. Rasionalitas tindakan berorientasi nilai biasa dilakukan oleh
kelompok-kelompok religius. Ketiga, Tindakan Tradisional, yakni tindakan
individu berdasarkan adat kebiasaan, atau tradisi yang dipelihara
masyarakat lokal. Tindakan ini dilakukan oleh tokoh-tokoh adat untuk
seremoni upacara adat dan tradisi. Keempat, Tindakan Afektif, yakni tindakan
individu yang didasarkan pada perasaan-perasaan intuitif atau reaksi
spontan ketika individu berinteraksi dengan sifatnya yang emotif dan psikis.
Lih., Max Weber, Economy And Society, Volume I, An Outline of Interpretative
Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich, ed., California: The Regents of
University of California,
, Chapter ) & ))) ,
.
Kepemimpinan kharisma merupakan kepemimpinan yang lahir dari
sifat-sifat khusus pada kepribadian individu yang dianggap memiliki
kemampuan luar biasa dan diperlakukan sebagai inidvidu yang mempunyai
sifat-sifat gaib dan unggul sehingga diikuti oleh masyarakat. )bid.,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
individu-individu
kelompok.
yang
mengikatkan
diri
dalam
. . Komunitas dan Identitas
Pada setiap masyarakat, terdapat karakteristik yang
mengikatnya sebagai anggota kelompok yang disebut
komunitas, yakni ikatan individu terhadap kelompok
berdasarkan kesamaan ciri-ciri sosial dan tujuannya
dalam
berkelompok.
Komunitas
juga
merupakan
kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi
lingkungan yang memiliki ketertarikan dan habitat yang
sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di
dalamnya mempunyai tujuan, kepercayaan, sumber daya,
preferensi, kebutuhan, risiko, kegemaran dan sejumlah
kondisi sosial lain yang serupa.
Ciri berkelompok dapat diketahui dari kesamaan
fisik, dapat pula ditentukan oleh kesamaan sosial, agama,
atau psikis. Ciri-ciri ini yang mendorong individu
Menurut Durkheim, dalam kontek integrasi indvidu dalam
masyarakat yang melahirkan solidaritas sosialnya terkait dengan tipe
masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat masih dalam taraf kehidupan
sederhana baca: primitif , ikatan sosial yang membentuk solidaritas
sosialnya dipersatukan oleh moralitas bersama yang disebut dengan
kesadaran kolektif yang bersifat mekanik. Berbeda dengan masyarakat yang
sudah berkehidupan modern, kesadaran kolektif yang mengikat moralitas nya menurun, digantikan oleh ikatan sosial yang didasarkan pada pembagian
kerja, di mana antara individu satu dengan individu lain terikat
solidaritasnya karena pekerjaan yang berbeda-beda yang menuntutnya
saling bergantung, sehingga melahirkan solidaritas organik. Lih, George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh
Alimandan Jakarta: Prenada Media Group,
, ; Bdk., Emile Dukheim,
The Divison of Labor in Society, translated by W.D. (alls New York, Free
Press,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
membentuk konsep diri dan konsep sosial yang sebangun
artinya dengan kesadaran jatidiri atau identitas. Sejalan
dengan itu, Koentjaraningrat mengungkapkan komunitas
merupakan
suatu
kesatuan
hidup
manusia
yang
menempati wilayah nyata dan berinteraksi sesuai dengan
sistem adat istiadat dan terikat oleh identitas komunitas
community sentiment . Penjelasan ini memperlihatkan
setiap komunitas memiliki tiga elemen, yaitu pertama
inidividu-individu
yang
berinteraksi
sosial.
Kedua,
kesatuan tempat atau wilayah di mana individu manusia
itu berinteraksi sosial, dan ketiga adalah identitas, seperti
ciri-ciri, cita-cita dan adat istiadat yang membentuk
sentimen kelompok dalam diri setiap individu.
. . Makna Agama dan Masyarakat
Menurut Durkheim, agama yang dianggap sudah
ketinggalan zaman ternyata masih dibutuhkan oleh
masyarakat
modern,
karena
agama
adalah
gejala
universal yang terdapat di semua kategori masyarakat.
Untuk
membuktikan
pernyataan
itu,
Durkheim
melakukan penelitian mengenai elemen-eleman dasar
kehidupan beragama, sehingga diketahui sebab-sebab
mengapa agama masih dibutuhkan dalam kehidupan
http://gurumenulis.blogspot.com/
/masyarakat-dan-komunitas.
Diunduh pada tanggal
Oktober
; Bdk., Emile Durkheim, The
Elementary Forms of the Religious Life New York: The Free Press,
.
K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan
Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,
,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
masyarakat modern. Dengan mengambil obyek penelitian
terhadap masyarakat yang masih hidup sederhana, yaitu
suku Aborigin, Durkheim menemukan banyak hal tentang
asal usul sistem religius pada kehidupan masyarakat
primitif di benua Australia itu.
Bagi
Durkheim,
sistem
religius
yang
paling
sederhana yang ditelitinya dari asal mula totem bermuara
pada konsep-konsep agama yang menyangkut dua ciri
utama, yaitu pertama; sistem religius yang ditelitinya itu
terdapat dalam organisasi masyarakat yang paling
sederhana, dan tidak ada lagi yang lebih sederhana dari
masyarakat itu. Kedua; sistem religius tersebut dapat
dijelaskan
tanpa
terlebih
dahulu
memperkenalkan
elemen-elemen lain dari agama yang lebih tua dari
padanya.
Durkheim kemudian menjelaskan pada mulanya
konsep totem dan fungsi sosialnya di masyarakat primitif
adalah lambang binatang, manusia totemik, sistem
kosmologi totemisme dan konsep tentang jenis-jenisnya,
totem individu, totem seksual sampai konsepsinya
tentang jiwa dan roh hingga ritual, memiliki fungsi yang
utama dalam pembentukan masyarakat primitif. Dalam
sistem religi totemisme, ia menyimpulkan sebagai
berikut:
Pertama, setiap masyarakat yang paling sederhana
selalu memiliki sistem kepercayaan terhadap yang
Emile Durkheim, The Elementary Forms.....,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
keramat, yang disucikan dan dihormati. Sesuatu yang
keramat disebut totem, yaitu benda-benda alam, manusia
dan binatang-binatang yang disucikan. Lambang-lambang
totem ini yang membedakan dunia profan dan dunia
sakral di masyarakat. Lebih lanjut dapat dijelaskan,
pembagian dunia yang berbeda bukanlah pada yang
supernatural dan natural pada masyarakat, tetapi pada
dunia yang sakral dan profan itu. Kategori yang pertama
dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan
normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi.
Sementara kategori kedua, yaitu yang profan merupakan
kebalikan yang pertama; ia lebih rendah, sekuler dan
tidak disakralkan. Dalam masyarakat primitif totem
menjadi lambang yang disakralkan, ia mengandung
tuntunan kuasa moral yang mengikat individu.
Kedua, sistem kepercayaan terhadap yang suci
kemudian
membentuk
praktek-praktek
ritual
atau
pemujaan sebagai bagian dari ikatan kolektif. Praktek
ritual merupakan upacara keagamaan yang dilakukan
secara terus menerus dan berulang-ulang sehingga
mengikat secara moral dan mental. Agama kemudian
dipahami
sebagai
sebuah
sistem
terpadu
dari
kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal-
hal yang sakral sacred things , yaitu hal-hal yang terpisah
dan terlarang . Jika ditanyakan, apa tujuan dari hal-hal
yang sakral?. Jawabannya terletak pada bagian kedua dari
)bid.,
)bid.,
.
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
definisi tersebut, yaitu praktek-praktek agama menyatu
dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja atau
umat; semua orang taat pada praktek itu.
Karya Durkheim tersebut yang mengguncangkan
masyarakat Eropa pada zamannya, menyumbangkan
pemikiran baru bagi masyarakat dan gereja mengenai arti
dan asal usul agama dengan pendekatan sosiologi. Agama
yang secara mainstream dipahami sebagai rumusan
teologi
dan
"mengabaikan"
sekumpulan
realitas
dokma
sosial,
metafisis
diubahnya
yang
dengan
pemahaman baru yang lebih empirik. Alhasil bagi
Durkheim, agama yang selama ini dipegang teguh oleh
masyarakat
di
mana
saja
berada,
bermula
dari
penghayatan yang suci terhadap sesuatu yang dipercayai
bersama; sehingga sesuatu yang suci itu menjadi perekat
terpenting dari kehadiran masyarakat. Oleh karena itu di
tangan masyarakatlah, agama menemukan pemaknaan
dan fungsi dasarnya bagi kehidupan sosial, terutama
melalui praktek-praktek ritual dan pemujaan terhadap
yang suci.
Pandangan Durkheim tersebut juga menjelaskan
pengertian
dan kedudukan
antara agama dengan
masyarakat itu sejalan maknanya, karena hakikat agama
tanpa masyarakat, ia tidak mungkin dapat hadir ke dunia
sosial, dan agama hanya menjadi nama yang dikenang
)bid.,
; Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern:
Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber, diterjemahkan
oleh Soeheba Kramadibrata Jakarta: U) Press,
,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
yang kehilangan wujud sosialnya. Begitu pula suatu
masyarakat tanpa agama, ia tidak dapat dikatakan sebagai
masyarakat karena dari agamalah masyarakat menjadi
ada untuk menemukan bentuknya sebagai organisasi
sosial yang hidup dengan ikatan nilai sakral. Dengan
demikian hubungan agama dengan masyarakat dalam
kontek pembagian dan pembedaan antara yang sakral
dan profan dalam dunia kebudayaan manusia adalah
hubungan yang tidak terpisahkan, karena kebutuhan
dalam merekatkan dunia sosial.
. . Identitas di Masyarakat
)dentitas atau dalam bahasa )ndonesia disebut
jatidiri telah menjadi wacana kontekstual yang menarik
saat ini. )dentitas menjadi isu sentral masyarakat
)ndonesia berkaitan dengan arus globalisasi. Modernisasi
yang
serta
merta
membawa
globalisasi
telah
menimbulkan kegelisahan tersendiri, terutama identitas
dirinya sebagai orang )ndonesia. Bahkan pemerintah
sendiri terus mengkampanyekan, bangsa )ndonesia harus
memperteguh identitas nasionalnya sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Globalisasi yang masuk dengan
sendirinya
dicurigai
sebagai
unsur
asing
yang
mengancam eksistensi bangsa dan negara, terutama
memudarnya identitas nasional.
George Ritzer & Douglas J . Goodman, Teori Sosiologi Modern...., .
Globalisasi telah membuat sibuk di masing-masing negara untuk
membangun kembali sistem ketaraturan lokal dan nasional. Konflik dan
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Kata identitas berasal dari bahasa )nggris, identity,
ia berakar dari bahasa Latin, idem yang bertarti sama
dan
identidem
yang berarti
berulang-ulang atau
berkali-kali . Kedua istilah ini membentuk kata baru
identitas yang berarti, sebelah menyebelah dengan
mereka yang serupa likeness dan satu oneness . )ni
artinya identitas secara harafiah maknanya sama, baik
sama dalam bentuk maupun isi. )dentitas mencerminkan
suatu kelompok mempunyai kesamaan yang diwujudkan
dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik
nilai dan cita-cita sosial yang sama.
(enri
Tajfel
adalah
tokoh
mula-mula
yang
menggagas teori identitas sosial yang berkaitan dengan
penjelasan mengenai prasangka, diskriminasi, konflik
antar kelompok dan perubahan sosial. Ciri khas fikiran
Tajfel adalah non-reduksionis, yang membedakan antara
proses kelompok dari proses dalam individu. Jadi harus
dibedakan antara proses seseorang dari orang lain dan
proses
identitas
sosial
yang
menentukan
apakah
seseorang dengan ciri-ciri tertentu termasuk atau tidak,
dalam suatu kelompok. )dentitas merupakan proses dari
keindividuan manusia menuju pada proses berkelompok
krisis globalisasi tidak terjadi di luar negara, melainkan justru di dalam
negara itu sendiri. Lih., Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika
Sistemik Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti,
, - .
Markus Dominggus Lere Dawa, Teori-teori Sosial Tentang Identitas,
Tugas Makalah Program Doktor Sosiologi Agama UKSW Salatiga,
, .
)dham
Putra,
Teori
)dentitas
Sosial ,
dalam
.
http://idhamputra.wordpress.com. Diunduh pada tanggal April
)bid.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
karena kesamaan ciri-ciri khusus dari masing-masing
individu dalam berperilaku sosial.
Perilaku
kelompok berbeda dengan perilaku
individu, sebab setiap individu menciptakan identitas
sosial di tengah identitas diri yang berproses, yang
membantunya mengkonseptualisasi dan mengevaluasi
diri
sendiri.
)dentitas
sosial
mencakup
banyak
karakteristik unik, seperti nama seseorang dan konsep
diri serta gender. Sebagai contoh seperti hubungan
interpersonal seseorang, yakni anak perempuan, anak
laki-laki, pasangan, orang tua, ideologi yang meliputi
pecinta lingkungan, demokrat, republikan, vegetarian.
Atribut
khusus
misalnya
homoseksual,
cerdas,
keterbelakangan mental, pendek, tampan dan afiliasi
etnik atau religi yang meliputi Katholik, orang selatan,
(ispanik, Yahudi, warga kulit hitam, Muslim, dan atheis .
Menurut Fromm, )dentitas diri dapat dibedakan
namun tidak dapat dipisahkan dengan identitas sosial.
Sebagai
individu,
manusia
membangun
identitas
berdasarkan konsep atau gambaran dari citra diri yang
ideal. Manusia sebagai makhluk sosial dalam membangun
identitas diri tidak terlepas dari norma dan peran sosial
yang berada di lingkungan sosialnya. Namun identitas
diri, menurut Erikson terbagi dua, yakni identitas pribadi
)bid.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan
Psikologi Terapan Jakarta: Balai Pustaka,
, .
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
dan identitas ego.
)dentitas pribadi berpusat pada
pengalaman masa lalu seseorang. )dentitas pribadi dapat
disebut identitas ego jika identitas tersebut disertai
dengan kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom
dan mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam
batinnya sendiri dan masyarakat. Bagi Erikson, proses
pembentukan identitas berlangsung secara perlahan dan
pada awalnya terjadi secara tidak sadar dalam diri
individu. Proses pembentukan identitas yang berangsurangsur itu dimulai pada periode pertama, yakni periode
kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar terhadap
dirinya dalam berinteraksi sosial.
Menurut William James sebagaimana dikutip
Sarlito, dalam hubungannya dengan identitas diri dan
identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika
berinteraksi sosial. Diri adalah segala sesuatu yang
dikatakan orang tentang dirinya sendiri, tidak hanya
tentang tubuh dan keadaan fisik, melainkan tentang anak,
istri, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman,
uang dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan
pengalaman,
bahwa
semua
sifat-sifat,
latar
ciri,
jenis
belakang
kelamin,
budaya,
pendidikan, dan semua atribut yang melekat pada
seseorang yang membentuk identitas sosial.
)bid.
)bid.
)rma Rahmalita, Identitas Etnik dalam Perspektif
http://irmarahmalita.blogspot.com. Diunduh pada tanggal April
Teori,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
)dentitas sosial berperan dalam hubungan antar
kelompok, yang tergantung dari dimensi psikis yang
dapat diterima aman atau tidak aman . Ketika identitas
aman memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung
mengevaluasi
out-group,
lebih
sedikit
bias
jika
membandingkan in-group dengan out-group, dan persepsi
sedikit pada homogenitas in-group. Sebaliknya, identitas
tidak aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan
dengan evaluasi yang sangat negatif terhadap in-group,
bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan
out-group, dan persepsi homogenitas in-group lebih
besar. Keempat dimensi identitas tersebut,
muncul
ketika individu berada di tengah-tengah kelompok. Jika
individu secara psiko-sosial berada dalam posisi rasa
percaya diri yang kuat, identitas sosialnya menguat,
sebaliknya ia menilai identitas sosial lain melemah.
Namun jika individu merasa tidak aman karena kurang
rasa percaya diri, ia memandang negatif identitas
sosialnya, sebaliknya identitas sosial lain dinilai positif.
Sebagai makhluk individu, konsepsi manusia tidak
dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu tanpa
menghubungkannya dengan lingkungan sekitar. Manusia
tidak dapat membungkus dirinya dalam satu kesatuan
individu, yang tidak pernah bersinggungan dengan situasi
sosial. Ketika manusia membicarakan konsepsi identitas
di situ pula manusia membicarakan kelompok group .
)bid.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Dengan demikian, gagasan tentang identitas adalah
hubungan antara individu dengan lingkungannya. Adanya
identitas
keberadaan
memudahkan
dirinya
manusia
dalam
mendeskripsikan
bertindak.
)dentitas
membentuk individu terikat dengan lingkungan sosial di
mana ia tumbuh memandang dunianya. Dari lingkungan
sosial, individu mengidentikkan diri dalam berinteraksi
sosial. )dentitas juga menyangkut usaha memahami
hubungan keanggotaan dalam masyarakat, agama dan
praktek-praktek sosial yang menunjukkan ekspresi dan
aspek manifestasinya dalam berperilaku sebagai anggota
kelompok.
Sementara itu, (.A.R. Tilaar, merumuskan konsep
identitas menjadi empat, yaitu pertama, identitas berarti
identik dengan yang lain. Konsep ini
menunjukkan
kesamaan antara individu satu dengan individu lain.
Kesamaan antara individu terjadi karena ia mempunyai
sisi kesamaan dalam dimesi kemanusiaannya. Kedua,
identitas berarti menjadi diri sendiri sebagai individu
yang dilahirkan secara merdeka dan otonom. Proses
pendidikan merupakan tugas pemerdekaan seseorang
untuk mengisi dan memberikan arti dan penghargaan
terhadap hidupnya. Ketiga, identitas berarti menjadi
identik dengan suatu ide. Konsep ide akan menghilangkan
nilai individu yang terlepas dari kekuasaannya. )de
.
)dham Putra, Teori Identitas Sosial...
A. De Fina, Discourse and Identity New York: Cambridge,
,
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
bersifat transedental yang lahir dari pilihan individu
sendiri. Keempat, identitas berarti individu yang bersikap
realisitis yang hidup bersama individu lain karena proses
interaksi sosial. Proses menjadi diri sendiri tidak terlepas
dari peran orang lain. Dalam berkelompok, individu tidak
dapat dilepaskan dari lingkungan yang menghidupi diri
dan membentuk kebudayaannya.
. . Agama dan Identitas
Merujuk hubungan pararel pemikiran Durkheim
mengenai eksistensi sosio-psikologis dengan organisme
biologis
manusia,
pembagian
kerja,
keduanya
integrasi
mengandung
dan
harmonisasi
unsur
dari
diversifikasi internal dan fungsi yang optimal sebagai
hasil dialektika yang terus-menerus antara perubahan
dan stabilitas dunia sosial. )a telah menempatkan
sosiologi agama dan teori pengetahuan di garda terdepan
dalam
studinya.
Studi
sosiologi
agamanya,
mengindentifikasi hakikat agama yang secara sui generis
selalu ada di sepanjang zaman, dengan menganalisis
bentuk-bentuk agama yang paling kuno pada masyarakat
dan kebudayaannya. Sementara teori pengetahuannya
mampu menghubungkan kategori-kategori dasar pikiran
manusia dari asal usulnya di dunia sosial.
(.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas, dan Identitas Bangsa
Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan Yogyakarta: Rineka
Cipta,
,
.
Bdk., Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori....,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Durkheim menemukan hakekat abadi agama dengan
memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral
tercipta dari ritual-ritual yang mengubah ikatan moral
masyarakat menjadi simbol religius yang mengikat
individu dalam kelompok. )katan moral berubah menjadi
ikatan kognitif karena kategori-kategori pemahaman
seperti klasifikasi, waktu, tempat dan penyebab, semua
berasal dari ritual keagamaan.
Penjelasan agama
tersebut menekankan masyarakat menghadirkan agama
dengan
mendefinisikan
fenomena
tertentu
sebagai
sesuatu yang sakral, sementara yang lain di luar agama
sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan
dan dianggap sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dari
peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama,
sementara aspek duniawi dianggap profan. Aspek sakral
ini yang membentuk esensi agama dalam realitas sosial
yang lahir dari kepercayaan pada benda-benda yang
disimbolisasikan dalam totem. Oleh karena itu bagi
Durkheim, agama juga merupakan sistem simbol yang
dengan simbol itu masyarakat menyadari dirinya.
Pandangan ini menjadi satu-satunya cara yang dapat
menjelaskan mengapa masyarakat memiliki kepercayaan
agama yang berbeda akibat perbedaan kebudayaannya.
Sebagaimana juga diketahui, selain yang sakral dan
profan, yang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan
.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern....,
)bid.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
agama di dunia sosial, ada tiga syarat lain, yaitu pertama,
kepercayaan
religius
sebagai
representasi
yang
mengekspresikan hakikat yang sakral dan hubungan yang
mereka miliki, baik dengan yang sakral maupun profan.
Kedua, ritual agama berupa aturan tingkah laku dan
praktek keagamaan yang mengatur sikap manusia
terhadap hal-hal yang sakral. Ketiga, komunitas moral
yang mengikat seluruh anggotanya, yang memungkinkan
agama diartikan sebagai kesatuan sistem kepercayaan
dan praktek yang menyatu dalam persekutuan moral
yang dinamai gereja atau umat.
Komunitas
moral
yang
dibentuk
agama
memberikan pemahaman bahwa setiap masyarakat lahir
karena perbedaan ciri religiusnya. Dalam masyarakat,
setiap kelompok memiliki totem. Dari totem lahirlah
sistem kepercayaan, ritual dan persekutuan kelompok.
Totem-totem yang dilambangkan ke dalam benda-benda
alam merupakan perwujudan yang berguna untuk
memelihara isi dan pesan suci masyarakat. Dari sini
totem sebagai perlambangan suci melahirkan identitas
masyarakat.
)ni
artinya
identitas
maupun
agama
memberikan makna yang kompleks dan pararel dalam
kehidupan sosial, yaitu yang pertama pada persoalan
metafisika, di mana agama memberikan penjelasan
tentang kehidupan yang memberi arah kepada mereka
bahwa kehidupan keseharian merupakan kemisteriusan
)bid.,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
yang bersifat metafisik karena ada kenyataan lain di
belakangnya.
Kedua,
pandangan
yang
menekankan
keterlibatan individu dalam kegiatan-kegiatan di dunia
sekuler. Pandangan ini mendorong si penganut untuk
menolak atau menerima struktur dan norma masyarakat
yang berlaku, dengan agama sebagai salah satu penentu
kesadaran sosial, yang disebut identitas.
(ans Mol memberikan gambaran yang paling
jelas mengenai hubungan identitas dan agama dengan
mengemukakan empat kategori peranan agama di
masyarakat,
yang
pada
gilirannya
menentukan
identitasnya, yaitu pertama, agama berperan dalam
dramatisasi dialektika masyarakat, yang lazim disebut
mitos dalam bentuk keyakinan primitif dan kebijaksanaan
moral, teologi dalam agama-agama dunia, dan ideologi
dalam bentuk sekuler. Mitos, teologi, dan ideologi
menyediakan pedoman bagi individu dan masyarakat
untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Mitos,
teologi dan ideologi juga dapat menyatukan berbagai
unsur di masyarakat dalam suatu uraian makna simbolik
yang jelas, padat dan singkat.
di
Kedua, agama membuat keteraturan transedental
masyarakat.
Semakin
kompleks
masyarakat,
M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap (ubungan Antara
)dentitas dan Agama , dalam (ans Mol, ed , Identity and Religion,
http://posapohlenteh.blogspot.com. Diunduh pada tanggal
April
.
(ans Mol, Religion and )dentity: A Dialectic )nterpretation of
Religious Phenomena , dalam (ayes, V.C. ed , Identity Issues and World
Religions Bedford Park, Australia: Australian Association for the Study of
Religion,
, .
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
diperlukan suatu
nilai suci tertinggi agar keteraturan
sosial terjaga. Fungsi sosial ini berkaitan dengan jaminan
keadilan, keutuhan, dan kelangsungan identitas sosial. )a
menjadi
proyeksi
suatu
orde
sosial
yang
belum
mengalami kontradiksi, karena adanya pandangan dunia
ratified realms
yang kekal
dipertahankan
dalam
Ketiga,
temporal.
sebagai tatanan yang
menghadapi
agama
gejolak-gejolak
dapat
mengembangkan
keterikatan emosional atau komitmen sosial. Komitmen
berkaitan erat dengan agama, membawa kehendak
bersama, seperti yang dilakukan oleh suku bangsa
tertentu dalam memperkuat solidaritas sosial. )a menjadi
pegangan emosional dalam pemusatan identitas yang
serba banyak. Keempat, agama, terutama dalam ritual,
dapat menegakkan nilai kebersamaan. Ritual memberikan
rasa memiliki dan identitas bagi manusia dalam
berkelompok,
tindakan,
ia
merupakan
pengucapan
dan
bentuk
mempertahankan obyek sakralisasi.
pengulangan
gerakan
Berdasarkan keempat kategori itu, Mol
yang
melihat
agama sebagai sakralisasi identitas , yakni keyakinan,
loyalitas, dan komitmen sosial yang memperteguh ikatan
dari berbagai unsur organisasi sosial, sehingga setiap
unsur itu semakin kohesif. Dalam tataran fungsi,
mekanisme
sakralisasi
berkontribusi
membangun
konsolidasi pada setiap unsur. Agama menjembatani
)bid.,
)bid.,
.
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
kesenjangan itu dan
memadukan unsur-unsur yang
bertentangan di masyarakat melalui sakralisasi identitas,
yang
meliputi
mitos,
ritual,
komitmen,
dan
transedentalisasi dunia yang menjamin kelangsungan
hidup masyarakat.
)nterpretasi
sosial
Mol
tentang
sistem-sistem
kepercayaan mengajukan suatu kerangka seperangkat
aturan moral yang diberi keabsahan. Kerangka-kerangka
ini dikembangkan untuk menarik dan mengikat berbagai
kelompok masyarakat serta bertujuan untuk meyakinkan
kelompok dalam situasi-situasi tertentu, seperti juga
bahasa dan peradaban manusia. Sistem kepercayaan atau
agama bukan merupakan hasil pemikiran seseorang,
melainkan hasil dari pemikiran bersama atau mengenai
eksistensi kolektif. Agama dan identitas dengan demikian,
memberikan pengertian sesuatu yang dianggap
ada
given yang diungkapkan dalam rupa kepentingan, cita-
cita, nilai dan pengetahuan, tercakup identitas yang
dipakai
oleh
individu
pengalaman-penalaman
kelompok di masyarakat.
dalam
hidupnya
menginterpretasikan
sebagai
anggota
. . Etnik dan Agama Sebagai Identitas
Dalam pada itu A. Liliweri membagi identitas
menjadi tiga, yaitu pertama, identitas pribadi; kedua
identitas sosial, dan ketiga identitas budaya. )dentitas
)bid., - .
M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap....
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
pribadi adalah identitas yang muncul berdasarkan
keunikan dan karakteristik individu yang berbeda dengan
orang lain, seperti bakat, kemampuan, minat dan pilihan
pribadi dalam hidupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan
setiap individu manusia memiliki bakat, selera dan minat
yang berbeda-beda yang menjadi keunikan identitasnya.
Sementara identitas sosial terbentuk karena individu
menjadi anggota kelompok dalam suatu kebudayaan di
masyarakat, antara lain kelompok yang berdasarkan
gender, kelompok usia, kelas sosial, kelompok profesi,
kelompok agama yang dihubungkan dengan dengan
wilayah tertentu, misalnya gereja atau masjid yang
menunjukkan realasi asosiatif kelompok agama dengan
tempat ibadah yang disebut jamaah. )dentitas budaya
merupakan karakteristik yang muncul karena individu
menjadi anggota suku bangsa atau etnik dan kebudayaan
tertentu yang menjadi asal usulnya di mana ia dilahirkan
dan berkoloni.
)dentitas budaya meliputi proses
Etnik sebagai kelompok sosial dicirikan dari atribut-atribut yang
beragam, seperti agama, sekte, kasta, daerah, bahasa, nasionalisme,
keturunan, ras, warna kulit dan kebudayaan. Atribut-atribut itu dapat
terwujud dalam bentuk tunggal, dapat pula merupakan kombinasi dengan
yang lain untuk mendefinsikan kelompok etnik dan etnisitas. Ada enam
karakteristik etnik, yaitu, nama kolektif, nenek moyang, sejarah kolektif,
kebudayaan unit kolektif, keterkaitan dengan teritori, dan sentimen
solidaritas. Namun dalam soal keterkaitan dengan teritori, adalah manakala
etnisitas tidak dapat mengaitkan dirinya dengan teritori, melainkan hanya
kesatuan kultural yang berada di luar teritori nenek moyangnya, seperti
etnik Yahudi di Eropa, atau etnik Arab dan Tionghoa di )ndonesia yang lahir
dari migrasi sosial. Etnik hasil migrasi sosial ini yang disebut kesatuan
kultural tanpa teritori. Lih., T.K. Oomen, Kewarganeraan, Kebangsaan dan
Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas, diterjemahkan oleh Munaban
Fahiesa Yogyakarta: Kreasi Wacana,
, - .
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi, ciri-ciri
bawaan, bahasa, agama, dan turunan dari kebudayaan
tertentu. Misalnya dapat dikatakan bahwa orang Jawa
memiliki identitas budaya yang ramah dan sopan santun,
atau orang Batak memiliki identitas budaya tegas dan
terbuka. Orang Jawa menganut berbagai macam agama,
sementara orang Batak kebanyakan beragama Kristen,
dan seterusnya
Dalam kaitannya dengan pergumulan agama dan
etnik sebagai identitas budaya yang terjadi di tengah
krisis, artikel Taufik Abdullah mengenai
)dentity
Maintenance and )dentity Crisis in Minangkabau dapat
menjelaskan kemunculan historis dari pembentukan
berbagai konfigurasi identitas antara adat istiadat
Minangkabau
dan
agama
)slam .
Abdullah
mengemukakan beberapa contoh menarik dari hubungan
yang kompleks antara sistem kekerabatan, agama dan
adat istiadat di tengah krisis identitas. Dalam tulisaan
itu, ia mengemukakan beberapa contoh mengenai suatu
gagasan yang diprakarsai oleh ulama Minangkabau,
seorang imam dari mazhab Syafi i di Mekah yang hendak
mengadakan perubahan menyeluruh pada struktur adat
Minangkabau. Caranya dengan menolak legalitas agama
terhadap adat istiadat matrilineal.
A. Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya
Yogyakarta: LKiS,
, - .
M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap....
)bid.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
(al itu mengakibatkan timbul penolakan keabsahan
kedudukan penghulu sebagai kepala suku yang ditandai
dengan tradisi kepemilikan tanah disamping mewarisi,
baik hak maupun sebutan penghulu sebagai fihak dari
garis keturunan ibu. Namun secara historis suatu proses
sangat lambat sudah berjalan dalam usaha pemecahan
konflik yang timbul antara adat istiadat dengan agama.
Dasar dari konservasi legal
legal conservation
di
Minangkabau sampai saat ini masih terletak pada
kemungkinan individu memainkan pelbagai peran dalam
berbagai situasi. Misalnya individu dapat berperan
sebagai anak dari ayahnya dan juga berperan sebagai
keponakan paman dari pihak ibu. Ketegangan yang timbul
dari adat sebagai sesuatu yang mempunyai kewenangan
historis dan tradisi sampai kini memberikan kesempatan
munculnya proses evaluasi yang memang memenuhi
tuntutan zaman.
(ubungan
identitas
agama
dan
etnik
juga
ditemukan dalam dunia Kekristenan Batak di Sumatera
Utara, yaitu ketika konsep-konsep bahasa Kekristenan
Alkitabiah mengalami proses pribumisasi ke dalam
tradisi Batak Simalungun. Proses pribumisasi muncul,
terutama dalam penggunaan kata Allah yang bersifat
ilahiah ke dalam konsep teologi lokal Batak Simalungun,
dengan kata Naibata
yang berarti orang tua kita dalam
memanggil Tuhan, yang menjadi bagian dari pergulatan
)bid.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Gereja Protestan menemukan identitasnya dalam budaya
kekerabatan suku Batak Simalungun.
Agama sebagaimana etnik yang telah dijelaskan
pada pembahasan teoritis sebelumnya juga merupakan
sistem simbol dari suatu komunitas yang hidup di
masyarakat,yang pada akhirnya membentuk jatidiri
sosial. Jika identitas sosial dari agama dan etnik dikaitkan
dengan
pandangan
interaksionisme
simbolik
yang
digagas oleh George (erbert Mead, maka keduanya
memiliki persamaan, terutama bagaimana konsepsi diri
manusia terbentuk dalam berinteraksi. Manusia dalam
berinteraksi
selalu
saling
menerjemahkan
dan
mendefinisikan tindakan sosialnya. Bukan hanya sekedar
reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain
namun juga pada interaksi-interaksi yang terjadi antar
individu dan antar kelompok. Respon individu tidak
dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain
namun didasarkan atas makna yang diberikan terhadap
tindakan orang lain. )nteraksi antar individu maupun
kelompok,
dengan
demikian
dilakukan
dengan
penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau berusaha
untuk saling memahami maksud isarat dari tindakan
sosial masing-masing.
)nteraksionisme simbolik juga
dapat melahirkan identitas simbolik melalui hasil
internalisasi individu terhadap nilai-nilai, makna dan
Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku Dalam
Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS,
, - .
George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Jakarta: CV. Rajawali,
,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
pandangan orang lain atau kelompok tertentu melalui
proses pengambilan peran orang lain terutama yang
dianggap penting
significant other , yang selanjutnya
membentuk pengetahuan dalam cara berpikir.
Pandangan interaksionisme simbolik cenderung
mengambil model hubungan kausalitas, di mana tindakan
dan interaksi manusia yang menghasilkan makna, bukan
pada proses mental yang terisolasi. Manusia mempelajari
simbol sekaligus makna dalam berinteraksi dengan
merespon
simbol
melalui
proses
berfikir
dalam
memahami bahasa, baik bahasa isarat maupun kata-kata
sebagai sistem simbol yang begitu luas. Kata-kata menjadi
simbol karena digunakan untuk memaknai berbagai hal,
baik tindakan, obyek dan kata-kata lain hadir dan
memiliki makna hanya karena mereka telah dan dapat
dilukiskan melalui penggambaran kata-kata.
Melalui
simbol
memungkinkan
individu
berhubungan dengan dunia materi dan dunia sosial,
karena
dengan
simbol
individu
memberi
nama,
membentuk kategori dan mengingat obyek yang ditemui
dalam menata dunia sosial. Selain itu simbol juga
meningkatkan kemampuan individu mempersepsikan
lingkungan dan aktor agar mengetahui beberapa bagian
lingkungan daripada yang lain. Simbol juga meningkatkan
kemampuan berfikir, meskipun seperangkat simbol
Lalu Muhammad Arif, Identitas Sosial Tokoh Adat Islam ‘Watu Telu”
Di Bayan, Lombok Utara Yogyakarta: U)N Sunan Kalijaga,
,
; George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern....,
.
)bid.,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
memungkinkan terbatasnya kemampuan berfikir. Dalam
hal
ini
bahasa
lebih
banyak
berperan
dalam
meningkatkan kemampuan ini, yakni kemampuan berfikir
yang dipahami sebagai interaksi simbolik dengan diri
sendiri. Simbol dapat meningkatkan kemampuan individu
dalam memecahkan masalah. Manusia dapat berfikir
melalui beragam tindakan alternatif simbolik sebelum
benar-benar
melakukan.
Kemampuan
ini
dapat
mengurangi peluang dari kesalahan berat. Penggunaan
simbol memungkinkan aktor melampaui ruang, waktu
dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan
simbol, individu dapat membayangkan tentang hidup di
masa lalu maupun di masa depan. Selain itu individu
dapat melampaui pribadi mereka dan membayangkan
seperti apa dunia dari sudut pandang orang lain. Simbol
juga memungkinkan individu
membayangkan realitas
metafisis, seperti surga dan neraka. Dan yang paling
umum simbol memungkinkan individu menghindar dari
perbudakan yang datang dari lingkungan.
Pokok perhatian dari interaksionisme simbolik
adalah dampak makna dan simbol pada tindakan serta
interaksi manusia. Manusia memiliki dua perilaku yaitu
tertutup dan terbuka. Perilaku tertutup adalah proses
berfikir yang melibatkan simbol dan makna. Sedangkan
perilaku terbuka adalah perilaku aktual yang dilakukan
oleh individu. Perilaku tertutup menjadi pokok perhatian
)bid.,
)bid.,
.
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
terpenting dari interaksionisme simbolik, sementara
perilaku terbuka menjadi pokok perhatian para teoritisi
pertukaran atau behavioris tradisional.
Makna dan simbol memberi karakteristik khusus
pada tindakan sosial dan interaksi secara timbal balik.
Dengan kata lain, ketika melakukan tindakan, individu
juga mencoba memperkirakan dampaknya pada individu
lain. Dalam proses interaksi, secara simbolis individu
mengkomunikasikan makna dan mengarahkan pada
respon tindakan berdasarkan penafsiran, sehingga terjadi
proses saling mempengaruhi.
Pandangan
interaksionisme
simbolik
tidak
terlepas dari studi kebudayaan, terutama perhatiannya
yang terpusat pada tiga masalah pokok kebudayaan,
seperti produksi makna kultural, analisis tekstual makna
dan studi kebudayaan yang dijalani, serta pengalaman
yang dijalani. Pada ranah ini, studi kebudayaan diarahkan
pada seluruh bentuk kebudayaan, termasuk karya seni,
musik populer, sastra populer, berita televisi dan media
massa.
. . Identitas dan Perubahan
)dentitas
tidak
hanya
dibentuk
namun
juga
mengalami perubahan melalui proses adaptasi yang
bersifat dialektika. Peter L. Berger dan Thomas Luckman
)bid.
)bid.,
)bid.,
.
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
menjelaskan bahwa identitas adalah unsur kunci realitas
subyektif
dengan
dan
berada
masyarakat.
dalam
)dentitas
hubungan
dialektis
dibentuk oleh proses
sosial; identitas dibentuk, diubah, dan disesuaikan oleh
hubungan-hubungan sosial .
)ni artinya melalui proses
sosial yang bersifat dialektis, identitas sosial dibentuk
bahkan
mengalami
perubahan
struktur
ketika
berinteraksi sosial dengan dunia luar atau lingkungan
sosial. Oleh karena itu proses sosial sendiri dipengaruhi
oleh struktur sosial yang membentuk, mengubah dan
mengalami penyesuaian identitas. )dentitas individu juga
secara sosial dikonstruksi oleh kondisi fisik dan
karakteristik biologisnya sebagai makhluk yang hidup
berkelompok. )nteraksi antara manusia dan lingkungan
sosial juga merupakan suatu bentuk hubungan yang
khusus, yakni melalui proses dialektika yang terus-
menerus antara manusia sebagai makhluk hidup di satu
sisi, dengan lingkungan situasi sosio-historisnya di sisi
lain. Proses dialektika sosial dalam konstruksi dunia ini
berlangsung dalam dua arah, yaitu ke luar adalah
dialektika antara individu dengan lingkungan sosial, dan
ke dalam adalah dialektika antara kebutuhan fisik
individu dengan identitasnya yang terbangun secara
sosial.
Peter L. Berger, and Thomas Luckman, The Social Construction of
Reality New York: Anchor Book.
,
.
)bid.,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
Dalam konstruksi sosial, identitas lahir sebagai hasil
konstruksi yang berulang-ulang oleh karena pengaruh
perubahan yang terkait dengan dimensi perubahan
politik, sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Oleh
karena itu, P. J. Burke, menegaskan identitas terkait
dengan entitas individu maupun lingkungan sosial. L.
Donskis menambahkan identitas bersifat tidak tetap,
karena dapat berubah dari sekedar pilihan umum
bergeser menjadi elemen identitas majemuk, yang lahir
dari keterbukaan kontinuitas dan komunikasi sosial antar
individu di masyarakat.
)ni artinya identitas merupakan
hasil konstruksi makna, nilai dan pengetahuan yang
mengalami perubahan sehingga melahirkan atribut
kebudayaan yang majemuk.
. . Identitas Sebagai Studi Sosiologi Agama
Dari uraian di atas dapat diambil benang merah
bahwa identitas sosial pada mulanya merupakan kajian
psikologi sosial yang bermula dari pemahaman konsep
diri individu yang lahir dari kesadaran psikisnya di
tengah
dunia
sosial.
Namun
seiring
dengan
perkembangan zaman, ia juga merambah sebagai kajian
sosiologi agama , terutama jika studi tentang identitas
P.J. Burke, and J.E. Stats, Identity Theory Oxford: Oxford University
,
.
L. Donskis, Troubled Identity and the Modern World New York:
McMillan,
, .
Manuel Castells, The Power of Identity United Kindom: Blackwell
Publishing,
, .
Press,
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
dikaitkan dengan kehidupan agama sebagai ikatan sosial
yang mengintegrasikan kelompok. Secara historis teori
identitas berakar pada studi identifikasi kelompok,
perbandingan kelompok, perbedaan anggota di masingmasing kelompok dalam berinteraksi. Ketika identitas
terkait dengan tindakan kolektif dalam kelompok, ia
menjadi
identitas
interaksional
eksternal.
antar
kolektif,
terutama
kolektivitas
dengan
hubungan
kekuatan
Kekuatan eksternal di sini dapat berupa
globalisasi yang dapat menghasilkan perubahan pada
identitas kelompok di masyarakat.
Pada komunitas tempat ibadah yang menjadi tema
pokok studi ini, identitas komunitas tem;pat obadah itua
dibentuk oleh ajaran agama yang bertemu dengan etnik
Jawa. Tentu komunitas ini sebagaimana komunitas-
komunitas agama pada umumnya, -jika dilihat dari
pikiran Durkheim tentang hubungan pembentukan agama
dan
masyarakat
dalam
evolusi
sosialnya-,
selalu
menghadirkan tiga ciri utama, yaitu pertama, sistem
kepercayaan, pandangan dunia atau pemikiran religius
yang membentuk ide awal atau nilai dasar komunitas,
sehingga memiliki cita-cita dan tujuan sosialnya. Kedua,
sistem kepercayaan, pandangan dunia atau pemikiran
religius itu hanya dapat terpelihara dan memperoleh
perwujudan sosialnya melalui tindakan yang terus
Muhammad Johan Nasrul (uda, Teori Psikologi Sosial Makro
Yogyakarta: Ash-Shaff,
, - .
)bid., .
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
menerus dalam rupa ritual, kebiasaan, liturgia atau tradisi
yang
menghasilkan
corak
kebudayaan
komunitas.
Terakhir, yaitu melalui pemeliharaan pandangan dunia
atau sistem kepercayaan yang diterjemahkan ke dalam
realitas sosial dalam bentuk ritus dan tradisi upacara
yang dipraktekkan, komunitas agama hadir dan tumbuh
dalam dunia sosialnya yang bersifat unik.
Namun yang menjadi analisi pokok dari studi
komunitas agama yang berbasis pada tempat ibadah ini,
ialah
manakala
identitas
komunitas
di
satu
sisi
mempunyai ikatan religius dan kultural dengan masa
lampaunya, namun di sisi lain ia menghadapi tantangan
perubahan
ketika
berhadapan
dengan
lingkungan
eksternal, yakni globalisasi. )ni artinya terjadi hubungan
trialektika antara etnisitas dan agama di satu sisi, dan di
sisi lain globalisasi yang hadir ke dalam komunitas
tersebut.
Lih., Emile Durkheim, The Elementary Forms....
AGAMA DAN ETNIK SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL
. . Individu dan Masyarakat
Bab ini disusun dengan tujuan memberi kerangka
pemikiran bagi pengayaan bangunan teori identitas
dalam agama dan etnik sebagai dasar teoritis kedua
dalam studi ini. Namun sebelum menguraikan teori
identitas, pemahaman tentang asal-usul masyarakat
sebagai obyek analisis riset tentang komunitas akan
dieksplorasi secara detil. Sebab pembahasan identitas
selalu
terkait
dengan
dan
tumbuh
bersama
perkembangan masyarakat. Pertanyaan pertama yang
dimunculkan ialah apa itu masyarakat? Adakah kesamaan
antara masyarakat dengan komunitas? Lalu bagaimana
kedudukan dan peran komunitas dalam berinteraksi
sehingga
melahirkan
identitas
sosial?
Pertanyaan-
pertanyaan itu penting diterangkan, sebelum memasuki
karangka
teoritik
keterhubungannya
masyarakat.
mengenai
dengan
agama
identitas
dan
etnik
dan
di
Secara harafiah kata masyarakat berasal dari bahasa
Arab, yaitu syaraka, yang artinya ikut serta, berperan
serta atau bekerjasama dan bersekutu.
Serumpun
dengan arti itu dalam bahasa Latin, kata masyarakat
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab Indonesia
Yogyakarta: Pustaka Progresif,
,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
disebut socius, diderivasikan ke dalam bahasa )nggris
menjadi society, yang artinya kawan atau perkumpulan.
Sementara definisi akademik untuk mengetahui arti
masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa )ndonesia
KBB) , adalah sekumpulan manusia dalam arti yang
seluas-luasnya dan terikat oleh
kebudayaan yang
dianggap sama. Masyarakat merupakan sekumpulan
individu yang hidup bersama ketika berinteraksi dalam
kebudayaan yang sama. )ndividu di sini adalah manusia
sebagai makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan
berinteraksi. Pertanyaan selanjutnya, dalam kebutuhan
berinteraksi, apakah masyarakat yang dibentuk oleh
individu atau individu yang dibentuk oleh masyarakat?
Dengan kata lain, lebih dahulu mana antara individu itu
ada atau masyarakat yang lebih awal ada?
Pertanyaan
itu
dapat
dijawab
dengan
memperhatikan dari perspektif mana sosiolog memahami
masyarakat.
Jika
mengikuti
cara
pandang
Weber,
individu sebagai pembentuk masyarakat. Melalui analisis
Dhanny R. Cyssco, and Jack Dawson, World Dictionary Jakarta:
Pustaka Delapratasa,
,
.
http://kbbi.web.id/masyarakat. Diunduh pada tanggal
Oktober
.
Studi Weber tentang masyarakat bertolak dari pemahaman bahwa
interaksi sosial individu ditentukan oleh tindakannya yang terkait dengan
motif dan tujuan yang diekpresikan secara subyektif. Untuk mengetahui
motif tindakan individu diperlukan pemahaman mendalam verstehen ,
sehingga dapat diketahui arti atau makna dari fenomena tindakan tersebut
ketika berinteraksi. Pemahaman terhadap arti dari tindakan ini yang disebut
dengan paradigma sosiologi interpretatif. )ni artinya paradigma sosiologi
interpretatif berhubungan dengan tindakan individu mengandung motif atau
makna subyektif, yang memberikan gambaran kausalitas, atau sebab akibat
dari hubungan sosial fenomenal. Dengan mengetahui arti atau makna dari
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
tipe
kepemimpinan
dalam
dunia
sosial,
yakni
kepemimpinan kharismatik, Weber memandang individu
yang memiliki kekuatan adikodrati dan daya kharisma
adalah aktor pembentuk masyarakat di mana ia tumbuh
dan berkembang, seperti tindakan para utusan Tuhan dan
rohaniawan dalam mengkonstruksi dunia sosial. Namun
apabila merujuk perspektif Durkheim, masyarakat yang
membentuk individu di mana individu tunduk pada
tatanan
sosial yang mengikatnya sebagai anggota
masyarakat. Jika ada individu yang tidak tunduk atau
menyimpang dari masyarakat, ia menjadi individu yang
mengalami
anomali.
Jadi
masyarakat
merupakan
tindakan subyektif, Weber membedakan tindakan sosial menjadi empat,
yaitu Pertama, Tindakan Rasional Instrumental, yakni tindakan individu
berdasarkan cara yang digunakannya disesuaikan dengan tujuan yang
hendak dicapai dari tindakan itu dalam berinteraksi sosial. Jadi rasionalitas
dari tindakan diletakkan pada rasionalitas tujuan dan instrumen yang
digunakan. Biasanya tindakan seperti ini terjadi pada birokrasi modern.
Kedua, Tindakan Rasional Berorientasi Nilai, yakni tindakan individu yang
didasarkan pada asas kemanfaatan. Letak rasionalitasnya terdapat pada nilai
kegunaan dari tindakannya; benar atau salah dari penilaian yang diukur oleh
masyarakat. Rasionalitas tindakan berorientasi nilai biasa dilakukan oleh
kelompok-kelompok religius. Ketiga, Tindakan Tradisional, yakni tindakan
individu berdasarkan adat kebiasaan, atau tradisi yang dipelihara
masyarakat lokal. Tindakan ini dilakukan oleh tokoh-tokoh adat untuk
seremoni upacara adat dan tradisi. Keempat, Tindakan Afektif, yakni tindakan
individu yang didasarkan pada perasaan-perasaan intuitif atau reaksi
spontan ketika individu berinteraksi dengan sifatnya yang emotif dan psikis.
Lih., Max Weber, Economy And Society, Volume I, An Outline of Interpretative
Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich, ed., California: The Regents of
University of California,
, Chapter ) & ))) ,
.
Kepemimpinan kharisma merupakan kepemimpinan yang lahir dari
sifat-sifat khusus pada kepribadian individu yang dianggap memiliki
kemampuan luar biasa dan diperlakukan sebagai inidvidu yang mempunyai
sifat-sifat gaib dan unggul sehingga diikuti oleh masyarakat. )bid.,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
individu-individu
kelompok.
yang
mengikatkan
diri
dalam
. . Komunitas dan Identitas
Pada setiap masyarakat, terdapat karakteristik yang
mengikatnya sebagai anggota kelompok yang disebut
komunitas, yakni ikatan individu terhadap kelompok
berdasarkan kesamaan ciri-ciri sosial dan tujuannya
dalam
berkelompok.
Komunitas
juga
merupakan
kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi
lingkungan yang memiliki ketertarikan dan habitat yang
sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di
dalamnya mempunyai tujuan, kepercayaan, sumber daya,
preferensi, kebutuhan, risiko, kegemaran dan sejumlah
kondisi sosial lain yang serupa.
Ciri berkelompok dapat diketahui dari kesamaan
fisik, dapat pula ditentukan oleh kesamaan sosial, agama,
atau psikis. Ciri-ciri ini yang mendorong individu
Menurut Durkheim, dalam kontek integrasi indvidu dalam
masyarakat yang melahirkan solidaritas sosialnya terkait dengan tipe
masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat masih dalam taraf kehidupan
sederhana baca: primitif , ikatan sosial yang membentuk solidaritas
sosialnya dipersatukan oleh moralitas bersama yang disebut dengan
kesadaran kolektif yang bersifat mekanik. Berbeda dengan masyarakat yang
sudah berkehidupan modern, kesadaran kolektif yang mengikat moralitas nya menurun, digantikan oleh ikatan sosial yang didasarkan pada pembagian
kerja, di mana antara individu satu dengan individu lain terikat
solidaritasnya karena pekerjaan yang berbeda-beda yang menuntutnya
saling bergantung, sehingga melahirkan solidaritas organik. Lih, George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh
Alimandan Jakarta: Prenada Media Group,
, ; Bdk., Emile Dukheim,
The Divison of Labor in Society, translated by W.D. (alls New York, Free
Press,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
membentuk konsep diri dan konsep sosial yang sebangun
artinya dengan kesadaran jatidiri atau identitas. Sejalan
dengan itu, Koentjaraningrat mengungkapkan komunitas
merupakan
suatu
kesatuan
hidup
manusia
yang
menempati wilayah nyata dan berinteraksi sesuai dengan
sistem adat istiadat dan terikat oleh identitas komunitas
community sentiment . Penjelasan ini memperlihatkan
setiap komunitas memiliki tiga elemen, yaitu pertama
inidividu-individu
yang
berinteraksi
sosial.
Kedua,
kesatuan tempat atau wilayah di mana individu manusia
itu berinteraksi sosial, dan ketiga adalah identitas, seperti
ciri-ciri, cita-cita dan adat istiadat yang membentuk
sentimen kelompok dalam diri setiap individu.
. . Makna Agama dan Masyarakat
Menurut Durkheim, agama yang dianggap sudah
ketinggalan zaman ternyata masih dibutuhkan oleh
masyarakat
modern,
karena
agama
adalah
gejala
universal yang terdapat di semua kategori masyarakat.
Untuk
membuktikan
pernyataan
itu,
Durkheim
melakukan penelitian mengenai elemen-eleman dasar
kehidupan beragama, sehingga diketahui sebab-sebab
mengapa agama masih dibutuhkan dalam kehidupan
http://gurumenulis.blogspot.com/
/masyarakat-dan-komunitas.
Diunduh pada tanggal
Oktober
; Bdk., Emile Durkheim, The
Elementary Forms of the Religious Life New York: The Free Press,
.
K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan
Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,
,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
masyarakat modern. Dengan mengambil obyek penelitian
terhadap masyarakat yang masih hidup sederhana, yaitu
suku Aborigin, Durkheim menemukan banyak hal tentang
asal usul sistem religius pada kehidupan masyarakat
primitif di benua Australia itu.
Bagi
Durkheim,
sistem
religius
yang
paling
sederhana yang ditelitinya dari asal mula totem bermuara
pada konsep-konsep agama yang menyangkut dua ciri
utama, yaitu pertama; sistem religius yang ditelitinya itu
terdapat dalam organisasi masyarakat yang paling
sederhana, dan tidak ada lagi yang lebih sederhana dari
masyarakat itu. Kedua; sistem religius tersebut dapat
dijelaskan
tanpa
terlebih
dahulu
memperkenalkan
elemen-elemen lain dari agama yang lebih tua dari
padanya.
Durkheim kemudian menjelaskan pada mulanya
konsep totem dan fungsi sosialnya di masyarakat primitif
adalah lambang binatang, manusia totemik, sistem
kosmologi totemisme dan konsep tentang jenis-jenisnya,
totem individu, totem seksual sampai konsepsinya
tentang jiwa dan roh hingga ritual, memiliki fungsi yang
utama dalam pembentukan masyarakat primitif. Dalam
sistem religi totemisme, ia menyimpulkan sebagai
berikut:
Pertama, setiap masyarakat yang paling sederhana
selalu memiliki sistem kepercayaan terhadap yang
Emile Durkheim, The Elementary Forms.....,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
keramat, yang disucikan dan dihormati. Sesuatu yang
keramat disebut totem, yaitu benda-benda alam, manusia
dan binatang-binatang yang disucikan. Lambang-lambang
totem ini yang membedakan dunia profan dan dunia
sakral di masyarakat. Lebih lanjut dapat dijelaskan,
pembagian dunia yang berbeda bukanlah pada yang
supernatural dan natural pada masyarakat, tetapi pada
dunia yang sakral dan profan itu. Kategori yang pertama
dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan
normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi.
Sementara kategori kedua, yaitu yang profan merupakan
kebalikan yang pertama; ia lebih rendah, sekuler dan
tidak disakralkan. Dalam masyarakat primitif totem
menjadi lambang yang disakralkan, ia mengandung
tuntunan kuasa moral yang mengikat individu.
Kedua, sistem kepercayaan terhadap yang suci
kemudian
membentuk
praktek-praktek
ritual
atau
pemujaan sebagai bagian dari ikatan kolektif. Praktek
ritual merupakan upacara keagamaan yang dilakukan
secara terus menerus dan berulang-ulang sehingga
mengikat secara moral dan mental. Agama kemudian
dipahami
sebagai
sebuah
sistem
terpadu
dari
kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal-
hal yang sakral sacred things , yaitu hal-hal yang terpisah
dan terlarang . Jika ditanyakan, apa tujuan dari hal-hal
yang sakral?. Jawabannya terletak pada bagian kedua dari
)bid.,
)bid.,
.
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
definisi tersebut, yaitu praktek-praktek agama menyatu
dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja atau
umat; semua orang taat pada praktek itu.
Karya Durkheim tersebut yang mengguncangkan
masyarakat Eropa pada zamannya, menyumbangkan
pemikiran baru bagi masyarakat dan gereja mengenai arti
dan asal usul agama dengan pendekatan sosiologi. Agama
yang secara mainstream dipahami sebagai rumusan
teologi
dan
"mengabaikan"
sekumpulan
realitas
dokma
sosial,
metafisis
diubahnya
yang
dengan
pemahaman baru yang lebih empirik. Alhasil bagi
Durkheim, agama yang selama ini dipegang teguh oleh
masyarakat
di
mana
saja
berada,
bermula
dari
penghayatan yang suci terhadap sesuatu yang dipercayai
bersama; sehingga sesuatu yang suci itu menjadi perekat
terpenting dari kehadiran masyarakat. Oleh karena itu di
tangan masyarakatlah, agama menemukan pemaknaan
dan fungsi dasarnya bagi kehidupan sosial, terutama
melalui praktek-praktek ritual dan pemujaan terhadap
yang suci.
Pandangan Durkheim tersebut juga menjelaskan
pengertian
dan kedudukan
antara agama dengan
masyarakat itu sejalan maknanya, karena hakikat agama
tanpa masyarakat, ia tidak mungkin dapat hadir ke dunia
sosial, dan agama hanya menjadi nama yang dikenang
)bid.,
; Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern:
Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber, diterjemahkan
oleh Soeheba Kramadibrata Jakarta: U) Press,
,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
yang kehilangan wujud sosialnya. Begitu pula suatu
masyarakat tanpa agama, ia tidak dapat dikatakan sebagai
masyarakat karena dari agamalah masyarakat menjadi
ada untuk menemukan bentuknya sebagai organisasi
sosial yang hidup dengan ikatan nilai sakral. Dengan
demikian hubungan agama dengan masyarakat dalam
kontek pembagian dan pembedaan antara yang sakral
dan profan dalam dunia kebudayaan manusia adalah
hubungan yang tidak terpisahkan, karena kebutuhan
dalam merekatkan dunia sosial.
. . Identitas di Masyarakat
)dentitas atau dalam bahasa )ndonesia disebut
jatidiri telah menjadi wacana kontekstual yang menarik
saat ini. )dentitas menjadi isu sentral masyarakat
)ndonesia berkaitan dengan arus globalisasi. Modernisasi
yang
serta
merta
membawa
globalisasi
telah
menimbulkan kegelisahan tersendiri, terutama identitas
dirinya sebagai orang )ndonesia. Bahkan pemerintah
sendiri terus mengkampanyekan, bangsa )ndonesia harus
memperteguh identitas nasionalnya sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Globalisasi yang masuk dengan
sendirinya
dicurigai
sebagai
unsur
asing
yang
mengancam eksistensi bangsa dan negara, terutama
memudarnya identitas nasional.
George Ritzer & Douglas J . Goodman, Teori Sosiologi Modern...., .
Globalisasi telah membuat sibuk di masing-masing negara untuk
membangun kembali sistem ketaraturan lokal dan nasional. Konflik dan
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Kata identitas berasal dari bahasa )nggris, identity,
ia berakar dari bahasa Latin, idem yang bertarti sama
dan
identidem
yang berarti
berulang-ulang atau
berkali-kali . Kedua istilah ini membentuk kata baru
identitas yang berarti, sebelah menyebelah dengan
mereka yang serupa likeness dan satu oneness . )ni
artinya identitas secara harafiah maknanya sama, baik
sama dalam bentuk maupun isi. )dentitas mencerminkan
suatu kelompok mempunyai kesamaan yang diwujudkan
dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik
nilai dan cita-cita sosial yang sama.
(enri
Tajfel
adalah
tokoh
mula-mula
yang
menggagas teori identitas sosial yang berkaitan dengan
penjelasan mengenai prasangka, diskriminasi, konflik
antar kelompok dan perubahan sosial. Ciri khas fikiran
Tajfel adalah non-reduksionis, yang membedakan antara
proses kelompok dari proses dalam individu. Jadi harus
dibedakan antara proses seseorang dari orang lain dan
proses
identitas
sosial
yang
menentukan
apakah
seseorang dengan ciri-ciri tertentu termasuk atau tidak,
dalam suatu kelompok. )dentitas merupakan proses dari
keindividuan manusia menuju pada proses berkelompok
krisis globalisasi tidak terjadi di luar negara, melainkan justru di dalam
negara itu sendiri. Lih., Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika
Sistemik Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti,
, - .
Markus Dominggus Lere Dawa, Teori-teori Sosial Tentang Identitas,
Tugas Makalah Program Doktor Sosiologi Agama UKSW Salatiga,
, .
)dham
Putra,
Teori
)dentitas
Sosial ,
dalam
.
http://idhamputra.wordpress.com. Diunduh pada tanggal April
)bid.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
karena kesamaan ciri-ciri khusus dari masing-masing
individu dalam berperilaku sosial.
Perilaku
kelompok berbeda dengan perilaku
individu, sebab setiap individu menciptakan identitas
sosial di tengah identitas diri yang berproses, yang
membantunya mengkonseptualisasi dan mengevaluasi
diri
sendiri.
)dentitas
sosial
mencakup
banyak
karakteristik unik, seperti nama seseorang dan konsep
diri serta gender. Sebagai contoh seperti hubungan
interpersonal seseorang, yakni anak perempuan, anak
laki-laki, pasangan, orang tua, ideologi yang meliputi
pecinta lingkungan, demokrat, republikan, vegetarian.
Atribut
khusus
misalnya
homoseksual,
cerdas,
keterbelakangan mental, pendek, tampan dan afiliasi
etnik atau religi yang meliputi Katholik, orang selatan,
(ispanik, Yahudi, warga kulit hitam, Muslim, dan atheis .
Menurut Fromm, )dentitas diri dapat dibedakan
namun tidak dapat dipisahkan dengan identitas sosial.
Sebagai
individu,
manusia
membangun
identitas
berdasarkan konsep atau gambaran dari citra diri yang
ideal. Manusia sebagai makhluk sosial dalam membangun
identitas diri tidak terlepas dari norma dan peran sosial
yang berada di lingkungan sosialnya. Namun identitas
diri, menurut Erikson terbagi dua, yakni identitas pribadi
)bid.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan
Psikologi Terapan Jakarta: Balai Pustaka,
, .
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
dan identitas ego.
)dentitas pribadi berpusat pada
pengalaman masa lalu seseorang. )dentitas pribadi dapat
disebut identitas ego jika identitas tersebut disertai
dengan kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom
dan mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam
batinnya sendiri dan masyarakat. Bagi Erikson, proses
pembentukan identitas berlangsung secara perlahan dan
pada awalnya terjadi secara tidak sadar dalam diri
individu. Proses pembentukan identitas yang berangsurangsur itu dimulai pada periode pertama, yakni periode
kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar terhadap
dirinya dalam berinteraksi sosial.
Menurut William James sebagaimana dikutip
Sarlito, dalam hubungannya dengan identitas diri dan
identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika
berinteraksi sosial. Diri adalah segala sesuatu yang
dikatakan orang tentang dirinya sendiri, tidak hanya
tentang tubuh dan keadaan fisik, melainkan tentang anak,
istri, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman,
uang dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan
pengalaman,
bahwa
semua
sifat-sifat,
latar
ciri,
jenis
belakang
kelamin,
budaya,
pendidikan, dan semua atribut yang melekat pada
seseorang yang membentuk identitas sosial.
)bid.
)bid.
)rma Rahmalita, Identitas Etnik dalam Perspektif
http://irmarahmalita.blogspot.com. Diunduh pada tanggal April
Teori,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
)dentitas sosial berperan dalam hubungan antar
kelompok, yang tergantung dari dimensi psikis yang
dapat diterima aman atau tidak aman . Ketika identitas
aman memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung
mengevaluasi
out-group,
lebih
sedikit
bias
jika
membandingkan in-group dengan out-group, dan persepsi
sedikit pada homogenitas in-group. Sebaliknya, identitas
tidak aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan
dengan evaluasi yang sangat negatif terhadap in-group,
bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan
out-group, dan persepsi homogenitas in-group lebih
besar. Keempat dimensi identitas tersebut,
muncul
ketika individu berada di tengah-tengah kelompok. Jika
individu secara psiko-sosial berada dalam posisi rasa
percaya diri yang kuat, identitas sosialnya menguat,
sebaliknya ia menilai identitas sosial lain melemah.
Namun jika individu merasa tidak aman karena kurang
rasa percaya diri, ia memandang negatif identitas
sosialnya, sebaliknya identitas sosial lain dinilai positif.
Sebagai makhluk individu, konsepsi manusia tidak
dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu tanpa
menghubungkannya dengan lingkungan sekitar. Manusia
tidak dapat membungkus dirinya dalam satu kesatuan
individu, yang tidak pernah bersinggungan dengan situasi
sosial. Ketika manusia membicarakan konsepsi identitas
di situ pula manusia membicarakan kelompok group .
)bid.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Dengan demikian, gagasan tentang identitas adalah
hubungan antara individu dengan lingkungannya. Adanya
identitas
keberadaan
memudahkan
dirinya
manusia
dalam
mendeskripsikan
bertindak.
)dentitas
membentuk individu terikat dengan lingkungan sosial di
mana ia tumbuh memandang dunianya. Dari lingkungan
sosial, individu mengidentikkan diri dalam berinteraksi
sosial. )dentitas juga menyangkut usaha memahami
hubungan keanggotaan dalam masyarakat, agama dan
praktek-praktek sosial yang menunjukkan ekspresi dan
aspek manifestasinya dalam berperilaku sebagai anggota
kelompok.
Sementara itu, (.A.R. Tilaar, merumuskan konsep
identitas menjadi empat, yaitu pertama, identitas berarti
identik dengan yang lain. Konsep ini
menunjukkan
kesamaan antara individu satu dengan individu lain.
Kesamaan antara individu terjadi karena ia mempunyai
sisi kesamaan dalam dimesi kemanusiaannya. Kedua,
identitas berarti menjadi diri sendiri sebagai individu
yang dilahirkan secara merdeka dan otonom. Proses
pendidikan merupakan tugas pemerdekaan seseorang
untuk mengisi dan memberikan arti dan penghargaan
terhadap hidupnya. Ketiga, identitas berarti menjadi
identik dengan suatu ide. Konsep ide akan menghilangkan
nilai individu yang terlepas dari kekuasaannya. )de
.
)dham Putra, Teori Identitas Sosial...
A. De Fina, Discourse and Identity New York: Cambridge,
,
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
bersifat transedental yang lahir dari pilihan individu
sendiri. Keempat, identitas berarti individu yang bersikap
realisitis yang hidup bersama individu lain karena proses
interaksi sosial. Proses menjadi diri sendiri tidak terlepas
dari peran orang lain. Dalam berkelompok, individu tidak
dapat dilepaskan dari lingkungan yang menghidupi diri
dan membentuk kebudayaannya.
. . Agama dan Identitas
Merujuk hubungan pararel pemikiran Durkheim
mengenai eksistensi sosio-psikologis dengan organisme
biologis
manusia,
pembagian
kerja,
keduanya
integrasi
mengandung
dan
harmonisasi
unsur
dari
diversifikasi internal dan fungsi yang optimal sebagai
hasil dialektika yang terus-menerus antara perubahan
dan stabilitas dunia sosial. )a telah menempatkan
sosiologi agama dan teori pengetahuan di garda terdepan
dalam
studinya.
Studi
sosiologi
agamanya,
mengindentifikasi hakikat agama yang secara sui generis
selalu ada di sepanjang zaman, dengan menganalisis
bentuk-bentuk agama yang paling kuno pada masyarakat
dan kebudayaannya. Sementara teori pengetahuannya
mampu menghubungkan kategori-kategori dasar pikiran
manusia dari asal usulnya di dunia sosial.
(.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas, dan Identitas Bangsa
Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan Yogyakarta: Rineka
Cipta,
,
.
Bdk., Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori....,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Durkheim menemukan hakekat abadi agama dengan
memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral
tercipta dari ritual-ritual yang mengubah ikatan moral
masyarakat menjadi simbol religius yang mengikat
individu dalam kelompok. )katan moral berubah menjadi
ikatan kognitif karena kategori-kategori pemahaman
seperti klasifikasi, waktu, tempat dan penyebab, semua
berasal dari ritual keagamaan.
Penjelasan agama
tersebut menekankan masyarakat menghadirkan agama
dengan
mendefinisikan
fenomena
tertentu
sebagai
sesuatu yang sakral, sementara yang lain di luar agama
sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan
dan dianggap sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dari
peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama,
sementara aspek duniawi dianggap profan. Aspek sakral
ini yang membentuk esensi agama dalam realitas sosial
yang lahir dari kepercayaan pada benda-benda yang
disimbolisasikan dalam totem. Oleh karena itu bagi
Durkheim, agama juga merupakan sistem simbol yang
dengan simbol itu masyarakat menyadari dirinya.
Pandangan ini menjadi satu-satunya cara yang dapat
menjelaskan mengapa masyarakat memiliki kepercayaan
agama yang berbeda akibat perbedaan kebudayaannya.
Sebagaimana juga diketahui, selain yang sakral dan
profan, yang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan
.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern....,
)bid.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
agama di dunia sosial, ada tiga syarat lain, yaitu pertama,
kepercayaan
religius
sebagai
representasi
yang
mengekspresikan hakikat yang sakral dan hubungan yang
mereka miliki, baik dengan yang sakral maupun profan.
Kedua, ritual agama berupa aturan tingkah laku dan
praktek keagamaan yang mengatur sikap manusia
terhadap hal-hal yang sakral. Ketiga, komunitas moral
yang mengikat seluruh anggotanya, yang memungkinkan
agama diartikan sebagai kesatuan sistem kepercayaan
dan praktek yang menyatu dalam persekutuan moral
yang dinamai gereja atau umat.
Komunitas
moral
yang
dibentuk
agama
memberikan pemahaman bahwa setiap masyarakat lahir
karena perbedaan ciri religiusnya. Dalam masyarakat,
setiap kelompok memiliki totem. Dari totem lahirlah
sistem kepercayaan, ritual dan persekutuan kelompok.
Totem-totem yang dilambangkan ke dalam benda-benda
alam merupakan perwujudan yang berguna untuk
memelihara isi dan pesan suci masyarakat. Dari sini
totem sebagai perlambangan suci melahirkan identitas
masyarakat.
)ni
artinya
identitas
maupun
agama
memberikan makna yang kompleks dan pararel dalam
kehidupan sosial, yaitu yang pertama pada persoalan
metafisika, di mana agama memberikan penjelasan
tentang kehidupan yang memberi arah kepada mereka
bahwa kehidupan keseharian merupakan kemisteriusan
)bid.,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
yang bersifat metafisik karena ada kenyataan lain di
belakangnya.
Kedua,
pandangan
yang
menekankan
keterlibatan individu dalam kegiatan-kegiatan di dunia
sekuler. Pandangan ini mendorong si penganut untuk
menolak atau menerima struktur dan norma masyarakat
yang berlaku, dengan agama sebagai salah satu penentu
kesadaran sosial, yang disebut identitas.
(ans Mol memberikan gambaran yang paling
jelas mengenai hubungan identitas dan agama dengan
mengemukakan empat kategori peranan agama di
masyarakat,
yang
pada
gilirannya
menentukan
identitasnya, yaitu pertama, agama berperan dalam
dramatisasi dialektika masyarakat, yang lazim disebut
mitos dalam bentuk keyakinan primitif dan kebijaksanaan
moral, teologi dalam agama-agama dunia, dan ideologi
dalam bentuk sekuler. Mitos, teologi, dan ideologi
menyediakan pedoman bagi individu dan masyarakat
untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Mitos,
teologi dan ideologi juga dapat menyatukan berbagai
unsur di masyarakat dalam suatu uraian makna simbolik
yang jelas, padat dan singkat.
di
Kedua, agama membuat keteraturan transedental
masyarakat.
Semakin
kompleks
masyarakat,
M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap (ubungan Antara
)dentitas dan Agama , dalam (ans Mol, ed , Identity and Religion,
http://posapohlenteh.blogspot.com. Diunduh pada tanggal
April
.
(ans Mol, Religion and )dentity: A Dialectic )nterpretation of
Religious Phenomena , dalam (ayes, V.C. ed , Identity Issues and World
Religions Bedford Park, Australia: Australian Association for the Study of
Religion,
, .
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
diperlukan suatu
nilai suci tertinggi agar keteraturan
sosial terjaga. Fungsi sosial ini berkaitan dengan jaminan
keadilan, keutuhan, dan kelangsungan identitas sosial. )a
menjadi
proyeksi
suatu
orde
sosial
yang
belum
mengalami kontradiksi, karena adanya pandangan dunia
ratified realms
yang kekal
dipertahankan
dalam
Ketiga,
temporal.
sebagai tatanan yang
menghadapi
agama
gejolak-gejolak
dapat
mengembangkan
keterikatan emosional atau komitmen sosial. Komitmen
berkaitan erat dengan agama, membawa kehendak
bersama, seperti yang dilakukan oleh suku bangsa
tertentu dalam memperkuat solidaritas sosial. )a menjadi
pegangan emosional dalam pemusatan identitas yang
serba banyak. Keempat, agama, terutama dalam ritual,
dapat menegakkan nilai kebersamaan. Ritual memberikan
rasa memiliki dan identitas bagi manusia dalam
berkelompok,
tindakan,
ia
merupakan
pengucapan
dan
bentuk
mempertahankan obyek sakralisasi.
pengulangan
gerakan
Berdasarkan keempat kategori itu, Mol
yang
melihat
agama sebagai sakralisasi identitas , yakni keyakinan,
loyalitas, dan komitmen sosial yang memperteguh ikatan
dari berbagai unsur organisasi sosial, sehingga setiap
unsur itu semakin kohesif. Dalam tataran fungsi,
mekanisme
sakralisasi
berkontribusi
membangun
konsolidasi pada setiap unsur. Agama menjembatani
)bid.,
)bid.,
.
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
kesenjangan itu dan
memadukan unsur-unsur yang
bertentangan di masyarakat melalui sakralisasi identitas,
yang
meliputi
mitos,
ritual,
komitmen,
dan
transedentalisasi dunia yang menjamin kelangsungan
hidup masyarakat.
)nterpretasi
sosial
Mol
tentang
sistem-sistem
kepercayaan mengajukan suatu kerangka seperangkat
aturan moral yang diberi keabsahan. Kerangka-kerangka
ini dikembangkan untuk menarik dan mengikat berbagai
kelompok masyarakat serta bertujuan untuk meyakinkan
kelompok dalam situasi-situasi tertentu, seperti juga
bahasa dan peradaban manusia. Sistem kepercayaan atau
agama bukan merupakan hasil pemikiran seseorang,
melainkan hasil dari pemikiran bersama atau mengenai
eksistensi kolektif. Agama dan identitas dengan demikian,
memberikan pengertian sesuatu yang dianggap
ada
given yang diungkapkan dalam rupa kepentingan, cita-
cita, nilai dan pengetahuan, tercakup identitas yang
dipakai
oleh
individu
pengalaman-penalaman
kelompok di masyarakat.
dalam
hidupnya
menginterpretasikan
sebagai
anggota
. . Etnik dan Agama Sebagai Identitas
Dalam pada itu A. Liliweri membagi identitas
menjadi tiga, yaitu pertama, identitas pribadi; kedua
identitas sosial, dan ketiga identitas budaya. )dentitas
)bid., - .
M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap....
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
pribadi adalah identitas yang muncul berdasarkan
keunikan dan karakteristik individu yang berbeda dengan
orang lain, seperti bakat, kemampuan, minat dan pilihan
pribadi dalam hidupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan
setiap individu manusia memiliki bakat, selera dan minat
yang berbeda-beda yang menjadi keunikan identitasnya.
Sementara identitas sosial terbentuk karena individu
menjadi anggota kelompok dalam suatu kebudayaan di
masyarakat, antara lain kelompok yang berdasarkan
gender, kelompok usia, kelas sosial, kelompok profesi,
kelompok agama yang dihubungkan dengan dengan
wilayah tertentu, misalnya gereja atau masjid yang
menunjukkan realasi asosiatif kelompok agama dengan
tempat ibadah yang disebut jamaah. )dentitas budaya
merupakan karakteristik yang muncul karena individu
menjadi anggota suku bangsa atau etnik dan kebudayaan
tertentu yang menjadi asal usulnya di mana ia dilahirkan
dan berkoloni.
)dentitas budaya meliputi proses
Etnik sebagai kelompok sosial dicirikan dari atribut-atribut yang
beragam, seperti agama, sekte, kasta, daerah, bahasa, nasionalisme,
keturunan, ras, warna kulit dan kebudayaan. Atribut-atribut itu dapat
terwujud dalam bentuk tunggal, dapat pula merupakan kombinasi dengan
yang lain untuk mendefinsikan kelompok etnik dan etnisitas. Ada enam
karakteristik etnik, yaitu, nama kolektif, nenek moyang, sejarah kolektif,
kebudayaan unit kolektif, keterkaitan dengan teritori, dan sentimen
solidaritas. Namun dalam soal keterkaitan dengan teritori, adalah manakala
etnisitas tidak dapat mengaitkan dirinya dengan teritori, melainkan hanya
kesatuan kultural yang berada di luar teritori nenek moyangnya, seperti
etnik Yahudi di Eropa, atau etnik Arab dan Tionghoa di )ndonesia yang lahir
dari migrasi sosial. Etnik hasil migrasi sosial ini yang disebut kesatuan
kultural tanpa teritori. Lih., T.K. Oomen, Kewarganeraan, Kebangsaan dan
Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas, diterjemahkan oleh Munaban
Fahiesa Yogyakarta: Kreasi Wacana,
, - .
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi, ciri-ciri
bawaan, bahasa, agama, dan turunan dari kebudayaan
tertentu. Misalnya dapat dikatakan bahwa orang Jawa
memiliki identitas budaya yang ramah dan sopan santun,
atau orang Batak memiliki identitas budaya tegas dan
terbuka. Orang Jawa menganut berbagai macam agama,
sementara orang Batak kebanyakan beragama Kristen,
dan seterusnya
Dalam kaitannya dengan pergumulan agama dan
etnik sebagai identitas budaya yang terjadi di tengah
krisis, artikel Taufik Abdullah mengenai
)dentity
Maintenance and )dentity Crisis in Minangkabau dapat
menjelaskan kemunculan historis dari pembentukan
berbagai konfigurasi identitas antara adat istiadat
Minangkabau
dan
agama
)slam .
Abdullah
mengemukakan beberapa contoh menarik dari hubungan
yang kompleks antara sistem kekerabatan, agama dan
adat istiadat di tengah krisis identitas. Dalam tulisaan
itu, ia mengemukakan beberapa contoh mengenai suatu
gagasan yang diprakarsai oleh ulama Minangkabau,
seorang imam dari mazhab Syafi i di Mekah yang hendak
mengadakan perubahan menyeluruh pada struktur adat
Minangkabau. Caranya dengan menolak legalitas agama
terhadap adat istiadat matrilineal.
A. Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya
Yogyakarta: LKiS,
, - .
M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap....
)bid.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
(al itu mengakibatkan timbul penolakan keabsahan
kedudukan penghulu sebagai kepala suku yang ditandai
dengan tradisi kepemilikan tanah disamping mewarisi,
baik hak maupun sebutan penghulu sebagai fihak dari
garis keturunan ibu. Namun secara historis suatu proses
sangat lambat sudah berjalan dalam usaha pemecahan
konflik yang timbul antara adat istiadat dengan agama.
Dasar dari konservasi legal
legal conservation
di
Minangkabau sampai saat ini masih terletak pada
kemungkinan individu memainkan pelbagai peran dalam
berbagai situasi. Misalnya individu dapat berperan
sebagai anak dari ayahnya dan juga berperan sebagai
keponakan paman dari pihak ibu. Ketegangan yang timbul
dari adat sebagai sesuatu yang mempunyai kewenangan
historis dan tradisi sampai kini memberikan kesempatan
munculnya proses evaluasi yang memang memenuhi
tuntutan zaman.
(ubungan
identitas
agama
dan
etnik
juga
ditemukan dalam dunia Kekristenan Batak di Sumatera
Utara, yaitu ketika konsep-konsep bahasa Kekristenan
Alkitabiah mengalami proses pribumisasi ke dalam
tradisi Batak Simalungun. Proses pribumisasi muncul,
terutama dalam penggunaan kata Allah yang bersifat
ilahiah ke dalam konsep teologi lokal Batak Simalungun,
dengan kata Naibata
yang berarti orang tua kita dalam
memanggil Tuhan, yang menjadi bagian dari pergulatan
)bid.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Gereja Protestan menemukan identitasnya dalam budaya
kekerabatan suku Batak Simalungun.
Agama sebagaimana etnik yang telah dijelaskan
pada pembahasan teoritis sebelumnya juga merupakan
sistem simbol dari suatu komunitas yang hidup di
masyarakat,yang pada akhirnya membentuk jatidiri
sosial. Jika identitas sosial dari agama dan etnik dikaitkan
dengan
pandangan
interaksionisme
simbolik
yang
digagas oleh George (erbert Mead, maka keduanya
memiliki persamaan, terutama bagaimana konsepsi diri
manusia terbentuk dalam berinteraksi. Manusia dalam
berinteraksi
selalu
saling
menerjemahkan
dan
mendefinisikan tindakan sosialnya. Bukan hanya sekedar
reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain
namun juga pada interaksi-interaksi yang terjadi antar
individu dan antar kelompok. Respon individu tidak
dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain
namun didasarkan atas makna yang diberikan terhadap
tindakan orang lain. )nteraksi antar individu maupun
kelompok,
dengan
demikian
dilakukan
dengan
penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau berusaha
untuk saling memahami maksud isarat dari tindakan
sosial masing-masing.
)nteraksionisme simbolik juga
dapat melahirkan identitas simbolik melalui hasil
internalisasi individu terhadap nilai-nilai, makna dan
Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku Dalam
Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS,
, - .
George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Jakarta: CV. Rajawali,
,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
pandangan orang lain atau kelompok tertentu melalui
proses pengambilan peran orang lain terutama yang
dianggap penting
significant other , yang selanjutnya
membentuk pengetahuan dalam cara berpikir.
Pandangan interaksionisme simbolik cenderung
mengambil model hubungan kausalitas, di mana tindakan
dan interaksi manusia yang menghasilkan makna, bukan
pada proses mental yang terisolasi. Manusia mempelajari
simbol sekaligus makna dalam berinteraksi dengan
merespon
simbol
melalui
proses
berfikir
dalam
memahami bahasa, baik bahasa isarat maupun kata-kata
sebagai sistem simbol yang begitu luas. Kata-kata menjadi
simbol karena digunakan untuk memaknai berbagai hal,
baik tindakan, obyek dan kata-kata lain hadir dan
memiliki makna hanya karena mereka telah dan dapat
dilukiskan melalui penggambaran kata-kata.
Melalui
simbol
memungkinkan
individu
berhubungan dengan dunia materi dan dunia sosial,
karena
dengan
simbol
individu
memberi
nama,
membentuk kategori dan mengingat obyek yang ditemui
dalam menata dunia sosial. Selain itu simbol juga
meningkatkan kemampuan individu mempersepsikan
lingkungan dan aktor agar mengetahui beberapa bagian
lingkungan daripada yang lain. Simbol juga meningkatkan
kemampuan berfikir, meskipun seperangkat simbol
Lalu Muhammad Arif, Identitas Sosial Tokoh Adat Islam ‘Watu Telu”
Di Bayan, Lombok Utara Yogyakarta: U)N Sunan Kalijaga,
,
; George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern....,
.
)bid.,
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
memungkinkan terbatasnya kemampuan berfikir. Dalam
hal
ini
bahasa
lebih
banyak
berperan
dalam
meningkatkan kemampuan ini, yakni kemampuan berfikir
yang dipahami sebagai interaksi simbolik dengan diri
sendiri. Simbol dapat meningkatkan kemampuan individu
dalam memecahkan masalah. Manusia dapat berfikir
melalui beragam tindakan alternatif simbolik sebelum
benar-benar
melakukan.
Kemampuan
ini
dapat
mengurangi peluang dari kesalahan berat. Penggunaan
simbol memungkinkan aktor melampaui ruang, waktu
dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan
simbol, individu dapat membayangkan tentang hidup di
masa lalu maupun di masa depan. Selain itu individu
dapat melampaui pribadi mereka dan membayangkan
seperti apa dunia dari sudut pandang orang lain. Simbol
juga memungkinkan individu
membayangkan realitas
metafisis, seperti surga dan neraka. Dan yang paling
umum simbol memungkinkan individu menghindar dari
perbudakan yang datang dari lingkungan.
Pokok perhatian dari interaksionisme simbolik
adalah dampak makna dan simbol pada tindakan serta
interaksi manusia. Manusia memiliki dua perilaku yaitu
tertutup dan terbuka. Perilaku tertutup adalah proses
berfikir yang melibatkan simbol dan makna. Sedangkan
perilaku terbuka adalah perilaku aktual yang dilakukan
oleh individu. Perilaku tertutup menjadi pokok perhatian
)bid.,
)bid.,
.
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
terpenting dari interaksionisme simbolik, sementara
perilaku terbuka menjadi pokok perhatian para teoritisi
pertukaran atau behavioris tradisional.
Makna dan simbol memberi karakteristik khusus
pada tindakan sosial dan interaksi secara timbal balik.
Dengan kata lain, ketika melakukan tindakan, individu
juga mencoba memperkirakan dampaknya pada individu
lain. Dalam proses interaksi, secara simbolis individu
mengkomunikasikan makna dan mengarahkan pada
respon tindakan berdasarkan penafsiran, sehingga terjadi
proses saling mempengaruhi.
Pandangan
interaksionisme
simbolik
tidak
terlepas dari studi kebudayaan, terutama perhatiannya
yang terpusat pada tiga masalah pokok kebudayaan,
seperti produksi makna kultural, analisis tekstual makna
dan studi kebudayaan yang dijalani, serta pengalaman
yang dijalani. Pada ranah ini, studi kebudayaan diarahkan
pada seluruh bentuk kebudayaan, termasuk karya seni,
musik populer, sastra populer, berita televisi dan media
massa.
. . Identitas dan Perubahan
)dentitas
tidak
hanya
dibentuk
namun
juga
mengalami perubahan melalui proses adaptasi yang
bersifat dialektika. Peter L. Berger dan Thomas Luckman
)bid.
)bid.,
)bid.,
.
.
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
menjelaskan bahwa identitas adalah unsur kunci realitas
subyektif
dengan
dan
berada
masyarakat.
dalam
)dentitas
hubungan
dialektis
dibentuk oleh proses
sosial; identitas dibentuk, diubah, dan disesuaikan oleh
hubungan-hubungan sosial .
)ni artinya melalui proses
sosial yang bersifat dialektis, identitas sosial dibentuk
bahkan
mengalami
perubahan
struktur
ketika
berinteraksi sosial dengan dunia luar atau lingkungan
sosial. Oleh karena itu proses sosial sendiri dipengaruhi
oleh struktur sosial yang membentuk, mengubah dan
mengalami penyesuaian identitas. )dentitas individu juga
secara sosial dikonstruksi oleh kondisi fisik dan
karakteristik biologisnya sebagai makhluk yang hidup
berkelompok. )nteraksi antara manusia dan lingkungan
sosial juga merupakan suatu bentuk hubungan yang
khusus, yakni melalui proses dialektika yang terus-
menerus antara manusia sebagai makhluk hidup di satu
sisi, dengan lingkungan situasi sosio-historisnya di sisi
lain. Proses dialektika sosial dalam konstruksi dunia ini
berlangsung dalam dua arah, yaitu ke luar adalah
dialektika antara individu dengan lingkungan sosial, dan
ke dalam adalah dialektika antara kebutuhan fisik
individu dengan identitasnya yang terbangun secara
sosial.
Peter L. Berger, and Thomas Luckman, The Social Construction of
Reality New York: Anchor Book.
,
.
)bid.,
.
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
Dalam konstruksi sosial, identitas lahir sebagai hasil
konstruksi yang berulang-ulang oleh karena pengaruh
perubahan yang terkait dengan dimensi perubahan
politik, sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Oleh
karena itu, P. J. Burke, menegaskan identitas terkait
dengan entitas individu maupun lingkungan sosial. L.
Donskis menambahkan identitas bersifat tidak tetap,
karena dapat berubah dari sekedar pilihan umum
bergeser menjadi elemen identitas majemuk, yang lahir
dari keterbukaan kontinuitas dan komunikasi sosial antar
individu di masyarakat.
)ni artinya identitas merupakan
hasil konstruksi makna, nilai dan pengetahuan yang
mengalami perubahan sehingga melahirkan atribut
kebudayaan yang majemuk.
. . Identitas Sebagai Studi Sosiologi Agama
Dari uraian di atas dapat diambil benang merah
bahwa identitas sosial pada mulanya merupakan kajian
psikologi sosial yang bermula dari pemahaman konsep
diri individu yang lahir dari kesadaran psikisnya di
tengah
dunia
sosial.
Namun
seiring
dengan
perkembangan zaman, ia juga merambah sebagai kajian
sosiologi agama , terutama jika studi tentang identitas
P.J. Burke, and J.E. Stats, Identity Theory Oxford: Oxford University
,
.
L. Donskis, Troubled Identity and the Modern World New York:
McMillan,
, .
Manuel Castells, The Power of Identity United Kindom: Blackwell
Publishing,
, .
Press,
Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
dikaitkan dengan kehidupan agama sebagai ikatan sosial
yang mengintegrasikan kelompok. Secara historis teori
identitas berakar pada studi identifikasi kelompok,
perbandingan kelompok, perbedaan anggota di masingmasing kelompok dalam berinteraksi. Ketika identitas
terkait dengan tindakan kolektif dalam kelompok, ia
menjadi
identitas
interaksional
eksternal.
antar
kolektif,
terutama
kolektivitas
dengan
hubungan
kekuatan
Kekuatan eksternal di sini dapat berupa
globalisasi yang dapat menghasilkan perubahan pada
identitas kelompok di masyarakat.
Pada komunitas tempat ibadah yang menjadi tema
pokok studi ini, identitas komunitas tem;pat obadah itua
dibentuk oleh ajaran agama yang bertemu dengan etnik
Jawa. Tentu komunitas ini sebagaimana komunitas-
komunitas agama pada umumnya, -jika dilihat dari
pikiran Durkheim tentang hubungan pembentukan agama
dan
masyarakat
dalam
evolusi
sosialnya-,
selalu
menghadirkan tiga ciri utama, yaitu pertama, sistem
kepercayaan, pandangan dunia atau pemikiran religius
yang membentuk ide awal atau nilai dasar komunitas,
sehingga memiliki cita-cita dan tujuan sosialnya. Kedua,
sistem kepercayaan, pandangan dunia atau pemikiran
religius itu hanya dapat terpelihara dan memperoleh
perwujudan sosialnya melalui tindakan yang terus
Muhammad Johan Nasrul (uda, Teori Psikologi Sosial Makro
Yogyakarta: Ash-Shaff,
, - .
)bid., .
Agama dan Etnik sebagai Identitas Sosial
menerus dalam rupa ritual, kebiasaan, liturgia atau tradisi
yang
menghasilkan
corak
kebudayaan
komunitas.
Terakhir, yaitu melalui pemeliharaan pandangan dunia
atau sistem kepercayaan yang diterjemahkan ke dalam
realitas sosial dalam bentuk ritus dan tradisi upacara
yang dipraktekkan, komunitas agama hadir dan tumbuh
dalam dunia sosialnya yang bersifat unik.
Namun yang menjadi analisi pokok dari studi
komunitas agama yang berbasis pada tempat ibadah ini,
ialah
manakala
identitas
komunitas
di
satu
sisi
mempunyai ikatan religius dan kultural dengan masa
lampaunya, namun di sisi lain ia menghadapi tantangan
perubahan
ketika
berhadapan
dengan
lingkungan
eksternal, yakni globalisasi. )ni artinya terjadi hubungan
trialektika antara etnisitas dan agama di satu sisi, dan di
sisi lain globalisasi yang hadir ke dalam komunitas
tersebut.
Lih., Emile Durkheim, The Elementary Forms....