Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB VI

BAB VI
RESPON GLOBALISASI

6. . Agama dan Globalisasi
Analisis mengenai responsi komunitas Masjid

Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi pada

Bab ini diawali dengan uraian pengantar mengenai
hubungan

agama

dan

gobalisasi.

Tidak

mudah


menemukan formula hubungan keduanya dalam sifatnya

yang tunggal dan monolitik. (ubungan agama dan
globalisasi lebih bersifat kompleks sekompleks makna

agama dan globalisasi itu sendiri ketika dipahami oleh
masing-masing pakar dan agamawan pada setiap agama.
Kompleksitas

hubungan

keduanya

terletak

pada

perspektif dan dimensi apa globalisasi itu dipandang

sebagai kekuatan dunia yang mempengaruhi agama.

Apakah globalisasi dilihat dalam perspektif ekonomi,
politik atau perspektif kebudayaan? Dari perspektifperspektif ini yang dapat membantu memahami secara

tepat bagaimana globalisasi mempengaruhi kehidupan
beragama dalam interaksinya di masyarakat lokal.

Begitu pula kompleksitas hubungan agama dan

globalisasi ini dapat menemukan titik fokus jika dapat

mendudukkan secara tepat bagaimana agama dimengerti
oleh kaum agamawan ketika meresponsi globalisasi. Jika
agama dipahami sebagai sistem keparcayaan terhadap

yang sakral, maka ia mengandung ajaran mengenai nilai-

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

nilai


suci

dalam

arti

nilai-nilai

yang

dihormati

kebenarannya sehingga senantiasa diperjuangkan oleh
pemeluknya dalam kehidupan nyata. Pada gilirannya
nilai-nilai yang dipercayainya itu tumbuh mentradisi dan
terinstitusi secara sosial menjadi sistem kebudayaan di

mana agama itu dilahirkan dan berkembang. Namun

terdapat pula sekelompok orang yang memahami agama


secara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris
kehilangan

dimensi

kerohaniannya

sebagai

sistem

kepercayaan yang dapat mengantarkan manusia dalam
kehidupan yang bermartabat dan luhur.

Untuk itu dengan melihat perspektif-perspektif

agama dan globalisasi secara relevan dan mendudukkan
hubungan keduanya dengan baik, akan diketahui secara


jelas bagaimana kompleksitas perspektif-perspektif itu
terurai,

sehingga

bagaimana

agama

dapat

dipahami

memberikan

dengan

responsi

benar


ketika

berinteraksi dengan globalisasi sebagai kekuatan dunia

yang mengubah dalam realitas sosial. Kekuatan dunia di
sini berarti globalisasi dipandang secara teoritis sebagai
kekuatan eknomi, politik dan kebudayaan.

Sebagai fenomena kebudayaan yang mengubah,

globalisasi juga menghadirkan kebudayaan baru yang

berdampak pada perubahan nilai-nilai agama yang
diyakini kebenarannya oleh setiap pemeluknya sekian
lama ketika keduanya berinteraksi dalam wilayah yang

terbuka diantara lokalitas dan globalitas. Proses interaksi

diantara ruang lokalitas dan globalitas ini tidak saja


Respon Globalisasi

melahirkan peleburan kebudayaan secara evolutif dan
menyatu, akan tetapi juga memungkinkan munculnya tata
baru di dunia sosial, seperti nilai moral baru, sensitifitas

agama, pertukaran nilai akibat responsi spiritual dan

berbagai bentuk elemen ajaran agama yang melahirkan

etika global. Pada satu sisi globalisasi dapat mendorong
terwujudnya harmoni sosial di tengah masyarakat

multikultural dalam konsensus etika global. Namun di sisi
lain, globalisasi dapat menjadi peringatan sekaligus
ancaman

yang


dampak

positif

menakutkan

jika

ia

menimbulkan

penyeragaman kebudayaan baru yang instan yang

menghancurkan nilai-nilai transedensi agama. Berbagai
dan

negatif

globalisasi


itu

juga

menghasilkan respon yang berbeda dalam diri setiap
kelompok agama, satu pihak tidak menerima globalisasi
dalam rupa timbulnya reaksi penolakan yang keras, dan
menghendaki

kembali

ke

nilai-nilai

yang

bersifat


tradisionalistik dan kolot, yang tidak jarang reaksinya
diekspresikan

melalui

cara-cara

kekerasan

yang

meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Ada pula pihak lain
yang memanfaatkan globalisasi sebagai sebuah kekuatan
dunia yang dipandang secara kreatif dan optimistik.

Apabila globalisasi dilihat sebagai bagian dari

kekuatan kapitalisme global, semua masyarakat dan
elemen lain, termasuk agama


institusi

ditariknya

Mark Juergensmeyer, )ntroduction: Religious Ambivalence to Global
Civil Society , dalam Mark Juergensmeyer ed. , Religion in Global Civil
Society New York: Oxford University Press,
, .

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

menjadi aktor ekonomi yang mendukung pertumbuhan
kapitalisme. (al ini terjadi karena sistem kapitalisme
pada globalisasi ekonomi selalu menuntut penguasaan

tunggal atas dunia, sehingga membangkitkan minat para
aktor ekonomi untuk melakukan investasi, produksi dan
konsumsi yang kesemuanya bergantung pada besarnya
kekuatan nilai pasar di masyarakat sebagai sumber
keuntungan

yang

tidak

ada

habisnya.

Sebagai

perwujudan ideologi kapitalisme, globalisasi dengan

demikian tumbuh dalam kehendak ekspansi yang kuat

untuk menguasai tata dunia dalam doktrin pertumbuhan
ekonomi, melakukan ekploitasi sumber daya alam dan
sumber daya manusia, memperluas produksi barang ke
berbagai negara dan bangsa, serta penyebaran tingkat

konsumsi barang dengan memperluas jaringan pasar ke

seluruh dunia sebagai komoditas yang menyatu. Doktrin
pertumbuhan ekonomi kapitalistik itu lahir dalam

rangkaian misinya untuk mendapatkan keuntungan
material berlipat ganda yang tidak jarang orientasinya
mengabaikan kepentingan sosial masyarakat lapisan

bawah. Globalisasi dengan demikian, tidak saja menjelma
menjadi

sistem

kekuasaan

ekonomi,

tetapi

kekuasaan politik dunia yang bersifat kapitalistik.

juga

Sebagai sistem kekuasaan ekonomi dan politik

dunia, kapitalisme telah berkembang sedemikian pesat.

Abdullahi A. An-Na im, The Politics of Religion and the Morality of
Globalization , dalam Mark Juergensmeyer ed. , Religion in Global Civil
Society New York: Oxford University Press,
, .

Respon Globalisasi

Sebagai contoh, pada saat terjadi kelemahan ekonomi
satu negara, seperti AS, akan mengakibatkan terjadi

goncangan ekonomi di negara-negara lain. )ni artinya
dalam situasi ketika politik ekonomi seluruh dunia sudah

menyatu, maka globalisasi telah berada pada puncak

perkembangan sejarahnya. Seluruh dunia telah menjadi

satu secara ekonomi dengan AS sebagai penggerak

utamanya secara politik. Oleh karena itu, goncangan
ekonomi yang terjadi di AS, menimbulkan goncangan juga
di berbagai bagian lain dunia. Robinson menyebutnya

sebagai tahapan kapitalisme global yang memuncak

dengan intensive capitalism ketika kebutuhan manusia di

berbagai belahan dunia telah menjadi komoditas tunggal

di mana hal itu terjadi setelah extensive capitalism
tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme di
berbagai belahan dunia.

Namun globalisasi yang bersifat kapitalistik itu juga

dapat mendorong kehadiran kekuatan alternatif, yaitu
civil society di masyarakat beragama, di mana masyarakat

beragama berperan sebagai aktor kemanusiaan human

agency yang mempunyai kebebasan untuk merumuskan

sekaligus merealisasikan dirinya sebagai agen global civil
society, menjadi agen kekuatan sosial dunia yang
memihak masyarakat sipil. Bukan sebagai aktor sosial

William ). Robinson, A Theory of Global Capitalism: Production, Class,
and State in a Transnational World Baltimotre and London: The Johns
(opkins University Press,
, - .

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang mendukung sistem ekonomi kapitalistik yang
meminggirkan peran masyarakat kecil.

Oleh karena itu transformasi agama sebagai

organisasi

masyarakat

sipil

di

tengah

globalisasi

merupakan keharusan sejarah dan tuntutan ideal untuk

membangun mobilisasi masyarakat akar rumput, di mana
masyarakat dapat lebih efektif untuk melakukan sendiri

dalam mencapai tujuan dan cita-cita sosial mereka sendiri

ketika merespon globalisasi. )ni artinya organisasi

masyarakat sipil yang bersifat top-down yang lahir di
tengah globalisasi, dapat dibentuk oleh sekelompok kecil
orang dalam ruang-ruang lokalitas dengan kegiatan dan
agenda yang sesuai dengan isu-isu yang dikehendaki

sebagaimana isu-isu yang dipersoalkan di tingkat global
dalam wujud keperpihakannya pada masyarakat.

Dalam konteks pertumbuhan agama-agama dunia

sebagai bagian dari agama internasional, globalisasi juga
sebenarnya merupakan
religius

fenomena alamiah

bersifat

yang kemunculannya telah ada sejak proses

persebaran agama-agama itu terjadi di masa lalu, ketika

mereka hendak keluar dari geo-kultral di mana agama-

agama itu pertama kali dilahirkan. Proses persebaran

agama-agama ini membawa misi yang sama atau hampir

sama untuk merekrut pemeluk dan jumlah anggota ke
seluruh dunia, ke berbagai bangsa, etnik dan budaya yang

Abdullahi A. An-Na im, The Politics of Religion....., .
Andi Widjajanto, dkk., Transnasionalisasi Masyarakat Sipil
Yogyakarta: LKiS,
,
.

Respon Globalisasi

berbeda, seperti yang ditunjukkan dari kelahiran agama
(indu dan Buddha dari anak benua )ndia yang menyebar

dan bertransformasi ke kawasan Asia Timur di China,
Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Kekristenan yang
semula

menjadi

bagian

dari

sekte

Yahudi

yang

memerdekakan diri di Yerusalem tumbuh menyebar dan

bertransformasi ke benua Eropa, Amerika dan Australia,

dan )slam yang berasal dari tanah Arab mengalami
perluasan pengaruh ke bagian laut China, Asia Selatan
dan Asia Tenggara. Tentu berbeda dengan situasi dan

kondisi global dewasa ini, di mana globalisasi juga

merupakan kekuatan dunia yang dapat mendorong
semua elemen masyarakat dalam posisi yang sejajar dan
terbuka untuk berinteraksi, dan agama menjadi bagian

utama dari proses interaksi itu dengan wajah sosialnya
yang beragam.

Dalam hal interaksi antara agama dengan ilmu

pengetahuan yang dibawa oleh globalisasi, misalnya juga
melahirkan pertentangan diantara keduanya.

Wajah

agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang hadir
terlebih dahulu sebelum manusia menemukan berbagai
produk

ilmu

pengetahuan

dalam

perkembangan

globalnya. Sementara pertentangan muncul karena

Peter Berger, Religion and Global Society , dalam Mark
Juergensmeyer ed. , Religion in Global Civil Society New York: Oxford
University Press,
, .
Mehrzad Boroujerdi, Subduing Globalization: the Challenge of the
)ndigenization Movement , dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg ed. ,
Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity New
York: Syracuse University Press,
, .

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

perbedaan

pandangan

antara

agama

dan

ilmu

pengetahuan dalam mengklaim hakikat kebenaran. Pada
satu sisi, agama dipercaya sebagai suatu pengetahuan
yang

mempunyai

kebenaran

mutlak,

hakikat

kebenarannya bersifat final dan tidak terbantahkan

karena muatan sakralitas nilai kepercayaannya itu yang

tidak membutuhkan bukti-bukti empirik dan ilmiah.
Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan penemuan
manusia

yang

cenderung

subyektif,

kebenarannya

bersifat relatif dan desakralisasi karena senantiasa

mengalami perubahan dan penemuan-penemuan baru
dalam rangkaian metode berfikir manusia yang bersifat

tesis antitesis dan sintesis. Asumsi ini sebetulnya tidak

selamanya benar dan juga tidak sepenuhnya benar,
karena ilmu pengetahuan juga terikat dengan kode etik

suci dalam mempertanggungjawabkan kebenaran ilmiah
yang ditemukannya dalam mengembangkan peradaban

hidup manusia agar sejalan dengan nilai-nilai luhur
kemanusiaan.

Pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan

agama ini juga timbul di Dunia )slam, di mana )slam
mencoba bereaksi secara radikal melakukan )slamisasi

ilmu pengetahuan untuk merespon perkembangan ilmuilmu sekuler yang dibawa oleh globalisasi, seperti
ditunjukkan dari munculnya istilah islamic economics

sebagai bagian dari ilmu agama. Meskipun demikian,
)bid.,
)bid.,

.
-

.

Respon Globalisasi

agaknya perkembangan ilmu pengetahuan sekuler yang

sedemikian pesat berhadapan dengan ilmu agama yang

sakral itu belum menemukan solusi akademiknya di
Dunia

)slam

menyangkut

sampai

otoritas

kini,

terutama

kebenaran

perdebatan

ontologi

dan

epistemologi ilmu itu sendiri. Perdebatan menjadi lebih
ironis karena tidak lagi dapat melihat sisi kemanfaatan
kehadiran keduanya bagi kehidupan kemanusiaan.

Dalam konteks lokal, yakni komunitas Masjid

Pathok Negoro Plosokuning, globalisasi sebagai kekuatan

dunia juga direspon secara kompleks dan ambivalen.

Pada pembentukan identitas komunitas Masjid Pathok
Negoro Plosokuning dalam sejarah masa lampaunya yang

menghasilkan agama )slam yang ditaklukkan oleh etnik
Jawa, juga menimbulkan responsi yang beragam ketika
berhadapan

dengan

kekuatan globalisasi.

Responsi

terhadap globalisasi dalam komunitas masjid ini dapat
dilihat dari penerimaannya secara bersyarat terhadap
gagasaan-gagasan

multikulturalisme

dan

toleransi

religius yang tumbuh di masyarakat Plosokuning, sikap

kian menguatnya identitas lokal komunitas dalam bentuk
bangkitnya tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan
lokal dari warisan leluhur sebagai sistem nilai, filosofi dan
pengetahuan kebudayaan, penerimaannya secara selektif
terhadap

perkembangan

teknologi

informasi

dan

komunikasi yang menimbulkan persoalan tersendiri bagi
perubahan identitas dan tumbuhnya hal-hal baru, dan
juga responsinya terhadap kecenderungan bergesernya

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

agama menjadi bagian kebudayaan yang semula hidup
dalam bayang-bayang politik monarkhi tradisional yang
membelenggu.

Pertanyaannya

kemudian,

mengapa

responsi

terhadap globalisasi tidak saja menghasilkan penguatan

identitas tetapi juga perubahannya pada komunitas
Masjid Pathok Negoro Plosokuning sehingga kian
majemuk? Perubahan yang bagaimana yang terjadi pada
identitas komunitas masjid tersebut? Kenyataan dan

perspektif globalisasi seperti apa yang direspon oleh
komunitas itu sehingga mempengaruhi identitasnya yang

bersifat lokal? Bukankah globalisasi juga dilihat sebagai

aktor kebudayaan hegemonik yang kehadirannya dapat

melenyapkan identitas lokal komunitas masjid? Dan
apakah hal itu juga terjadi? Pertanyaan-pertanyaan yang

rumit tersebut dicoba diuraikan pada analisis di bawah
ini,

terutama

untuk

melihat

bagaimana

responsi

komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap

globalisasi yang masuk di lingkungannya, yang terfokus

ke dalam empat jenis responsi sebagaimana disinggung di
atas, yaitu responsi multikulturalisme dan toleransi

religius, bangkitnya identitas lokal komunitas, responsi
kehadiran teknologi informasi dan komunikasi, dan
responsi perubahan identitas.

Respon Globalisasi

6. .

Respon

Komunitas

Masjid

Terhadap

Globalisasi
6. . . Respon

Multikulturalisme

dan

Toleransi

Religius
Respon pertama komunitas Masjid Pathok Negoro

Plosokuning terhadap globalisasi dapat diketahui dari
isu-isu multikulturalisme dan wacana toleransi religius
yang masuk ke lingkungan lokalnya, sehingga identitas

komunitas masjid yang semula dibangun oleh kehadiran

agama )slam dari dunia luar yang masuk ke dalam etnik
lokal sehingga membentuk corak kebudyaaan Jawa yang
semula tertutup karena romantisme sejarah, kian

mengalami perubahaan. Perubahan itu ditandai dengan

keterbukaan pandangan dan sikap komunitas masjid

terhadap isu-isu multikulturalisme dan toleransi religius
yang juga menggema sebagai wacana ilmu pengetahuan
yang

berkembang

dalam

Yogyakarta pada umumnya.

kenyataan

masyarakat

Kondisi ini juga dikukuhkan dari penetapan

kedudukan Masjid Pathok Negoro Plosokuning sebagai

cagar kebudayaan nasional oleh negara. Penetapan masjid

sebagai benda cagar kebudayaan telah melahirkan

kesadaran sosial bahwa komunitas Masjid Pathok Negoro
Plosokuning

merupakan

bagian

dari

komunitas

kebudayaan. (anya saja komunitas kebudayaan yang

bagaimana yang mendorong komunitas masjid ini

beresponsi ketika berinteraksi dengan dunia luar? Jika
melihat dari perubahan kesadaran kebudayaan ini

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

menunjukkan

komunitas

Masjid

Pathok

Negoro

Plosokuning merupakan kelompok lokal yang semula
bersikap tertutup dalam pandangan dunianya berubah
menjadi bersifat terbuka. )ni artinya dalam konteks

kebudayaan lokal, era gobalisasi mendorong identitas
lokal pada komunitas itu, seperti yang ditunjukkan dari
ekspresi tradisi-tradisi agama dan budaya Jawa yang
bersifat simbolis itu tetap hidup, namun sekaligus terbuka
menemukan ruang pertemuan bagi munculnya makna

baru, yakni tumbuhnya pandangan mengenai pengakuan
terhadap

multikulturalisme

dan

toleransi

religius,

sehingga menjadi cara pandang dan perilaku sosial
komunitasnya dalam beragama dan berbudaya.

Perubahan identitas lokal komunitas masjid dengan

demikian, tidak terjadi pada bentuk atau simbol dari
identitas komunitas, tetapi pada substansi yang memuat
makna baru yang mengubah pandangan dan perilaku
komunitas di tengah kemajemukan masyarakatnya.
Kecenderungan kemajemukan sosial ini tidak hanya

ditandai dari kesadaran adanya perbedaan komunitas

Plosokuning Jero dan Plosokuning Jobo dalam lingkup
internal masjid, tetapi juga dari sisi perbedaan etnik dan

agama yang tumbuh di lingkungan komunitas, seperti
etnik Jawa, Sumatera dan lain-lain.

Selain itu, perubahan pandangan komunitas masjid

dalam merespon isu multikulturalisme dan toleransi

religius, juga didukung oleh faktor keistimewaan daerah

Yogyakarta sebagai pusat pendidikan sekaligus pusat

Respon Globalisasi

kebudayaan lokal di )ndonesia yang memberi warna

globalisasi sebagai sebuah sistem dunia yang dibangun
oleh

ketergantungannya

pada

kekuatan

lokal.

Robertson menjelaskan bahwa kekuatan lokal yang

disebut glokalisasi itu yang memberikan pengaruh pada
kekuatan global sehingga globalisasi juga ditegakkan

diantara unsur-unsur lokalitas yang hidup di berbagai

belahan negara, etnik dan bangsa, yang kemudian disebut
juga globalisasi lokal. Oleh karena itu keistimewaan

daerah Yogyakarta dengan kebudayaan lokalnya dan

kemajemukan masyarakatnya yang hidup kemudian
tumbuh

menjadi

bagian

dari

dunia

global

yang

terintegrasi dalam karakteristik glokalisasi dunia yang
heterogen.

)ni artinya sebagai bagian dari wilayah Yogyakarta,

Dusun

Plosokuning

tidak

terlepas

dari

pengaruh

masyarakat urban yang memutuskan untuk menetap di

wilayah Dusun Plosokuning. (al itu terjadi karena Dusun
Plosokuning secara geografis berada di wilayah jantung
kota Yogyakarta seiring dengan perluasan wilayah kota,

yang tidak jauh dari pusat-pusat pendidikan utama,
seperti UGM, Sekolah Tinggi Santo Paulus dan U)). Selain

itu, akses masyarakat Dusun Plosokuning ke arah tempat-

tempat keramaian kota juga tidak begitu jauh untuk
ditempuh, kurang lebih sekitar

,

kilometer dari pusat

kota Yogyakarta, memungkinkan terjadinya banyak

Lihat globalisasi sebagai sistem, Roland Robertson, Globalization
Social Theory and Global Culture London: Sage Publications,
, - .

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

perubahan

dalam

kehidupan

sosial

dan

corak

masyarakatnya. Masyarakat Plosokuning yang semula

bersifat homogen, baik dalam agama, suku maupun
pekerjaannya di masa lalu di awal mula masjid ini berdiri

kemudian seiring dengan perjalanan waktu mengalami
diferensiasi dan keragaman sosial. Keragaman sosial dan
diferensiasi

pekerjaan

ini

timbul

karena

wilayah

Plosokuning juga menjadi sasaran penting dari urbanisasi

masyarakat )ndonesia dari berbagai daerah yang menetap

di dusun ini, sehingga melahirkan kemajemukan dalam

agama, suku, budaya dan bahkan dalam pekerjaan yang
digeluti.

Sebagai sebuah bangsa besar, )ndonesia mempunyai

komposisi penduduk yang sangat beragam, setidaknya

berbagai macam suku yang tersebar di seluruh wilayah
)ndonesia

yang

menunjukkan

negeri

ini

bersifat

multikultural. Etnis terbesar yang menempati wilayah
)ndonesia adalah etnis Jawa dengan jumlah

,

juta

, % , urutan kedua yaitu etnis Sunda dengan

prosentasi
Madura,

juta

Batak,

, % , etnis-etnis lain seperti

Minahasa,

Papua,

Ambon,

Timor,

Minangkabau, Betawi, Bugis, Melayu dan Banten masingmasing berkisar antara

-

juta atau setara

- , %.

Sedangkan, etnis terkecil adalah Tionghoa dengan
penduduk .

.

jiwa

,

%.

Supardi,
Pendidikan Sejarah Lokal: Dalam Kontekss
Multikulturalisme , Jurnal Cakrawala Pendidikan UNY Yogyakarta, Februari
, Th. XXV, Nomor ,
.

Respon Globalisasi

Demikian pula Yogyakarta sebagai daerah yang

dijuluki sebagai miniatur )ndonesia modern, dengan

analogi bahwa raja adalah bentuk perwakilan dari
presiden, walikota dan bupati sebagai gubernur dan
seterusnya. Analogi tersebut mengantarkan pemahaman
bahwa komposisi masyarakat Yogyakarta tidak berbeda

jauh dengan realitas keberagaman masyarakat )ndonesia

yang berbineka. (anya saja ia berada dalam lingkup yang
lebih kecil, yakni setingkat provinsi. Selain itu, daerah
Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota pendidikan

terebesar di negeri ini, menunjukkan banyak pemuda dan
pemudi,

baik

itu

dari

golongan

pelajar

maupun

mahasiswa dari berbagai daerah di )ndonesia datang
untuk menuntut ilmu, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, lebih dari

institusi pendidikan tinggi

tumbuh, baik itu institusi pendidikan yang dimiliki oleh
kelembagaan swasta, lembaga pendidikan yang dimiliki
oleh pemerintah maupun lembaga kedinasan.

Dampak dari kedudukan Yogyakarta sebagai basis

pendidikan terbesar ini memperlihatkan bahwa para
pemuda dan pemudi dari daerah lain, bahkan dari negara

lain yang tinggal di daerah ini mempunyai latar belakang

budaya, tradisi, agama dan gaya hidup life style yang

berbeda. Dalam konteks ini, Yogyakarta dapat disebut
sebagai

ciri

masyarakat

multikultural

yang

khas

keindonesiaan yang bersuku-suku. Tentu masyarakat
www.pendidikan-diy.go.id. Diunduh pada tanggal

Februari

.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

multikultural yang menjadi ciri khasnya ini tidak tumbuh
secara statis dalam arti hanya melihat kenyataan dengan
membiarkan adanya perbedaan, melainkan masyarakat
multikultural

yang

menjunjung

tinggi

nilai-nilai

persamaan, kemanusiaan dan keterbukaan terhadap
perbedaan

sebagaimana

spirit

dan

karakteristik

konseptual dari multikulturalisme itu sendiri yang lahir

dari kesadaran akan adanya perbedaan dari kelompokkelompok sosial. Pertanyaannya kemudian, apakah

kesadaran multikulturalisme yang tumbuh itu juga dapat
hidup berdampingan dengan kebudayaan lokal Jawa yang

mendominasi alam kebudayaan masyarakat Yogyakarta,
sehingga tidak melahirkan konflik dan pertentangan
budaya?

Berdasarkan realitas masyarakat yang tinggal di

Yogyakarta yang bersifat majemuk, konflik antar suku

dan kelompok pun beberapa kali terjadi. Konflik antar

kelompok muncul karena alasan perbedaan nilai atas
suatu sikap kebudayaan tertentu yang tidak selamanya
diterima oleh kelompok dari satu wilayah tertentu

sehingga melahirkan sikap eksklusivitas. Ketegangan ini

Konflik yang terjadi di beberapa daerah di )ndonesia kerapkali
diakibatkan oleh hubungan sosial lintas agama yang relatif eksklusif.
Kerusuhan yang terjadi di masa lalu, seperti di Maumere NTT dan Timur
Timor
, Surabaya, Situbondo,Tasikmalaya
, Rengasdengklok
, Jakarta, Solo, Kupang
, Ambon dan Sambas Kalimantan
dan lain-lain merupakan bagian dari keberlanjutan konflik yang diakibatkan
oleh pola hubungan lintas agama yang tertutup. Beberapa fasilitas
keagamaan, seperti masjid, gereja dan lembaga pendidikan yang dimiliki
oleh kelompok agama tertentu menjadi korban dari eksklusivitas dari pola
hubungan sosial yang tidak menjamin keharmonisan diantara kelompok yang

Respon Globalisasi

dapat

menjadi

sebuah

pertentangan

pemahaman

sehingga melahirkan kericuhan sosial dan anomali, di
mana masing-masing pihak mengedepankan kebenaran

dirinya secara eksklusif, tanpa ada yang mau mengalah

diantara masing-masing pihak yang bersitegang itu. Tidak
adanya sikap mau mengalah di sini dapat diartikan tidak
munculnya sikap saling menghormati karena pemahaman

nilai kebenarannya sendiri yang ditonjolkan di tengah
perbedaan

yang

menuntut

saling

pengertian.

Sebagaimana juga artikel yang ditulis oleh Christian
Joppke, bahwa konflik masyarakat migrasi

urban

society , yaitu konflik yang timbul karena perbedaan
budaya, agama, ras, suku dan minoritas akibat urbanisasi

sosial yang tidak terbendung perlu dijembatani dengan
pemahaman multikulturalisme sebagai sebuah kesadaran
sosial bersama akan kemajemukan.

)stilah multikulturalisme itu sendiri dimaknai

sebagai ekspresi pengakuan atas eksistensi keragamaan
budaya,

baik

keragaman

tradisional

sebagaimana

berbeda itu. Meskipun faktor utama pemicu konflik itu hakikatnya tidak
semata dilatarbelakangi oleh masalah perbedaan agama, melainkan juga
masalah lain, seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu
kecenderungan konflik dari kanyataan heterogenitas ini akan terus
berpeluang melahirkan konflik jika pola hubungan sosial lintas agama yang
dipratekkan masyarakat masih bersifat tertutup dan eksklusif. Marwan
Salahuddin, Mengenal Kearifan Lokal di Klepu Ponorogo; Praktek (ubungan
Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik , dalam )rwan
Abdullah ed. , Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
, .
Christian Joppke. The Retreat of Multiculturalisme in the Liberal
State: Theory and Policy , The British Journal of Sociology,
, Vol.
,
)ssue ,
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

keragaman suku, ras, budaya dan agama serta keragaman
berbagai macam bentuk kehidupan

subkultur

yang

senantiasa mengalami perkembangan dalam proses
kehidupan

sosial.

multikulturalisme

yang

)ni

tumbuh

artinya

dapat

wawasan

mendorong

bagaimana masyarakat mesti bersikap ketika menghadapi

keragaman. Keragaman dalam masyarakat multikultur
kadangkala menghadirkan dua wajah ambivalensi yang
saling terkait.

Pada satu sisi, terdapat masyarakat yang memahami

wawasan multikulturalisme akan mendorong sebuah

harmonisasi sosial dalam wujud tumbuhnya nilai-nilai
toleransi yang bersifat universal. Namun di sisi lain,
arogansi ekspresi yang menunjukkan eksistensi diri
maupun

identitas kelompok di masyarakat

dapat

berujung pada sikap intoleransi, baik dalam skala fikiran

maupun tindakan sosial. Sikap intoleransi terjadi bermula
dari diri masing-masing pihak yang secara arogan
menganggap

pendapat

dan

pemahaman

yang

diekspresikannya, misalnya mengenai ajaran agama yang

paling benar, sementara yang lain salah yang berdampak
melahirkan konflik dan sikap intoleran.

Pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning,

respon intoleransi religius seperti itu justru tidak muncul

Ana )rhandayaningsih, Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme
di )ndonesia , ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika. Diunduh pada
tanggal
Maret
.
John (ick, Problem of Religious Pluralism London: Macmillan Press,
, .

Respon Globalisasi

ke permukaan sebagaimana pandangan FGD yang

direpresentasikan oleh statemen Bapak Raden Ngabehi
Suprobo mengenai kerukunan beragama yang menjadi

bagian dari wacana multikulturalisme di lingkungan
mereka :

Terkait dengan kerukunan narasumber bilang
kalau daerah tersebut masyarakatnya rukun
meski akhir-akhir ini ada banyak pendatang
yang membawa keyakinan yang berbeda
dengan apa yang diyakini oleh orang Jero
tersebut. Karena orang Jero menganut paham
agama yang dekat dengan NU, maka di saat
Sholat Taraweh diwajibkan
rokaat,
sedangkan orang Jobo menjalankannya dengan
rokaat, seperti orang Muhammadiyah. Dan
ini tidak masalah karena sudah masalah
keyakinan masing-masing orang asalkan orang
tersebut tidak mengganggu atau menghasut
orang lain, dan selama ini tidak ada konflik
masalah keyakinan tersebut.

Pandangan yang dikutip dari hasil FGD di atas,

terutama mengenai kerukunan dalam perbedaan tersebut
dimaknai dalam konteks kebudayaan Jawa sebagai sikap

tenggang rasa, yakni perasaan orang Jawa dalam
menghormati perbedaan, tanpa harus mengganggu
eksistensi

keyakinan

lain

dengan

mengakui

keberadaannya yang berbeda dengan dirinya sebagai satu

(asil FGD pandangan Bapak R. Ng. Suprobo, Komunitas
Plosokuning Jero, pada tanggal Desember
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

kesatuan dalam satu tempat, tetapi berbeda eksistensi.
Cara pandang harmonisasi sosial, yakni satu kesatuan ini

juga didukung oleh pemikiran Bapak Raden Muhammad
Agung sebagaimana hasil FGD di bawah ini yang
memaknai toleransi tidak saja membiarkan tetapi saling

mendukung keberadaan masing-masing pihak untuk
eksis dan saling menyapa:

Terkait dengan kerukunan beragama sangat
diharuskan dan harus ada toleransi. Karena ini
masalah keyakinan tutur dari narasumber.
Kalau zaman dulu di sini mayoritasnya
penganut paham NU dan hampir tidak ada
paham yang lain, akan tetapi sejak
berkembangnya zaman ada paham lain yang
ada di daerah sekitar masjid. Misalkan saja
sekarang sudah ada orang Muhammadiyah di
daerah sekitar masjid, yang menjadikan
perbedaannya saat sholat taraweh dan sholat
subuh, kalau taraweh mereka hanya
rokaat
dan saat sholat subuh mereka tidak
menggunakan do a qunut. Akan tetapi terkait
dengan tradisi yang sudah ada di sini sejak
dulu, mereka masih mau mengikuti meski
tidak sepenuhnya sama, misalkan saat ada
kerabat yang meninggal dari orang yang
menganut paham Muhammadiyah itu ditahlili
selama hari. Sedangkan untuk
hari,
hari,
tahun dan
harinya tidak
dilaksanakan karena sudah dijadikan satu saat
hari itu.

(asil FGD, pandangan Bapak Raden Muhammad Agung, Komunitas
Plosokunng Jero, pada tangal Dsember
.

Respon Globalisasi

Menariknya

komunitas

masjid

keunikan
ini

toleransi

justru

religus

membiarkan

dari

dengan

menghargai perbedaan tata peribadatan dalam satu

komunitas, khususnya dalam shalat tarawih pada bulan
puasa

Ramadhan.

Komunitas

Plosokuning

Jero

menjalankan tata peribadatan shalat tarawih sebanyak
rakaat,

sedangkan

menjalankannya hanya
tahlilan yang berbeda.

komunitas

Plosokuning

Jobo

rakaat. Begitu juga dalam acara

Sikap toleransi dalam internal agama seperti ini

terjadi tidak hanya masing-masing pihak dituntut oleh
kondisi sosial untuk membiarkan perbedaan, tetapi juga

merupakan hasil dari munculnya kesadaran baru untuk
merayakan perbedaan sebagai bagian dari kekayaan

kebudayaan dan interpretasi ajaran agama. Bahkan dalam
tata

peribadatan

sekalipun,

seiring

dengan

arus

urbanisasi sosial yang masuk di lingkungan masjid
dengan

kehadiran

para

pendatang

yang

berbeda

keyakinan. Sikap toleransi religius atas perbedaan

keyakinan ini juga ditunjukkan tidak hanya di lingkungan
internal agama )slam, akan tetapi antara agama )slam

Shalat tarawih secara harafiah berarti shalat istirahat, istilah lain
dari shalat tarawih adalah Qiyam al-Lail, yang artinya shalat malam hari.
Shalat tarawih adalah ibadah shalat yang tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan
pada malam bulan puasa yang dilakukan secara berkelompok. (anya masingmasing kelompok umat dalam menunaikan ibadah shalat ini berbeda, satu
pihak ada yang menunaikan
rakaat gerakan , sementara pihak yang lain
dua puluh tiga rakaat.
Tahlil adalah ritual tradisi yang dilakukan secara berkelompok
dalam rangka mendoakan arwah leluhur, yakni mendoakan salah satu
anggota keluarga, kerabat atau tetangga yang sudah meninggal agar
mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dengan Kekristenan yang diperlihatkan dengan kehadiran
gereja dan komunitasnya di wilayah

ini sebagai

kenyataan sejarah keindonesiaan yang disadarinya.

Meskipun pada awalnya kehadiran mereka diwaspadai,

namun akhirnya diterima dengan alasan-alasan yang

rasionalistik; yang dapat diterima oleh akal sehat publik,
selain juga karena nilai-nilai agama dan budaya yang

dipercayai yang menjunjung tinggi nilai harmonitas
budaya; keselarasan hidup, nilai kesatuan antara diri dan

lingkungannya, sebagaimana dituturkan oleh Bapak
Saelan di bawah ini :

Dan pada saat itu daerah Plosokuning itu
semua masyarakatnya beragama )slam, baru
akhir-akhir ini ada agama lain yang masuk.
Contohnya
di
Perumnas
Minomartani
sekarang sudah ada gereja. Kalau masalah
tahunnya sudah lupa tetapi berdirinya gereja
tersebut pada saat pemerintahan Orde Baru
yang dipimpin oleh Soeharto. Jadi semenjak
berdirinya gereja itu. Jemaat yang mau
melakukan pembaktian banyak pendatang
baru yang beragama Kristen yang tinggal di
Minomartani, mereka masuk dengan cara
membeli tanah orang Minomartani.

Kata toleransi itu sendiri semula merupakan istilah

asing yang terderivasi dari bahasa Latin yang mengalami
pengindonesiaan,

yakni

tolerantia

yang

artinya

(asil FGD pandangan Bapak Saelan, Komunitas Plosokuning Jobo,
pada tanggal Desember
.

Respon Globalisasi

kelembutan hati, kelonggaran, kesabaran dan keinginan.
)a juga dapat diartikan tolerar yang bermakna dasar
sebagai sikap yang saling menghargai, membiarkan dan
membolehkan.

Pengertian

keindonesiaaan

ini

mengantarkan pemahaman untuk bersikap longgar dan
sabar yang memberikan hak sepenuhnya kepada orang

lain, meskipun berbeda pandangan, sehingga dapat

melahirkan sikap terbuka dan jiwa yang lapang dada
terhadap perbedaan.

)ni artinya dalam

konsepsi dan

pergumulan

sejarahnya, toleransi juga menjadi menguat dalam agama

)slam sering dengan isu-isu kerukunan beragama,
menjadi

bagian

dari

keniscayaan

sejarah

dan

perkembangan kesadaran teologis, yakni karena tujuan
dari toleransi itu sendiri untuk membangun kedamaian

dan kenyamanan di tengah keberagaman, sebagaimana
pesan dasar agama ketika lahir ke dunia sebagai

pembawa rahmat kepada manusia dan dunia kosmosnya,
meskipun pesan itu tidak diaktualiasasikan dengan utuh

di negeri-negeri Timur Tengah saat ini. Terlebih lagi
pesan dasar teologis ini sangat dibutuhkan

oleh

komunitas masjid di tengah keberagaman kelompok
dengan latar belakang sejarah, kebudayaan serta identitas

Lucia (erma, dkk., Toleransi dalam )nterdiskursus Teks Sastra dan
Teks Non-Sastra , Jurnal MAKARA, Sosial (umaniora, Vol. , No. , Desember
, .
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: )nklusivisme, Pluralisme
dan Multikulturalisme Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah,
, .

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang sebenarnya saling bertolak belakang antara satu
dengan yang lain.

Jika mengacu pada pada analisis di atas, sikap

toleransi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning

sejalan dengan sikap Pemerintah Yogyakarta, yang
mengambil

makna

toleransi

dengan

merayakan

perbedaan, seperti yang tampak dari beragam perayaan
baik yang bersifat religi, budaya maupun sekedar

perayaan festival yang digelar secara terbuka bagi

masyarakat umum. )ni artinya, tidak ada diskriminasi

minoritas atau mayoritas bagi masyarakat untuk turut
mengakses berbagai acara tersebut. Seperti halnya
dengan

mengadakan

acara-acara

yang

bercorak

keislaman yang berkonteks kebudayaan Jawa, seperti
perayaan Sekaten di alun alun utara Keraton yang
disaksikan oleh beragam masyarakat dari ragam suku dan

agama. Acara lain yang mewujudkan penghormatan dan

toleransi pada agama lain yang kemudian diikuti oleh
masyarakat umum, adalah perayaan Tahun Baru )mlek

yang dilihat sebagai peristiwa kebudayaan Tionghoa, dan
juga perayaan (ari Raya Nyepi yang digelar secara

kolosal oleh masyarakat (indu di kompleks candi
Prambanan setiap tahun.

Berbagai jenis perayaan kebudayaan etnik dan

agama

tersebut

tidak

membatasi

siapapun

untuk

berpartisipasi. (al ini juga sejalan dengan status daerah
Zuhairi Misrawi, )bid.,

.

Respon Globalisasi

Yogyakarta sebagai pusat pendidikan di )ndonesia dan
daerah

destinasi

pariwisata

penetapannya sebagai

dunia,

city of tolerance

toleransi yang dicetuskan pada tanggal

selain

juga

atau kota

Maret

,

oleh mantan walikota Yogyakarta (enry Zudianto

bersama Aliansi Jogja Untuk )ndonesia Damai Aliansi di
kompleks Balai Kota.
toleransi

ini

juga

Masalahnya kemudian makna

diselubungi

oleh

kepentingan-

kepentingan industri pariwisata yang tumbuh di daerah

ini sebagai bagian dari komoditi ekonomi yang menarik
bagi para pelaku ekonomi dunia untuk melibatkan diri.

Dengan demikian globalisasi yang memberikan

pandangan baru dalam bentuk kesadaran bersama

tentang nilai multikulturalisme dan toleransi religius juga
menguat di daerah Yogyakarta, bahkan juga di komunitas

Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Globalisasi yang terus
mendorong dunia menjadi satu global village secara

universal yang dilahirkan dari keragaman, di mana

tradisi-tradisi agama dan kebudayaan lokal yang hidup di
seluruh dunia yang berjauhan tempat itu turut mewarnai
globalisasi, sehingga tidak lagi bersifat monolitik dalam
dominasi kebudayaan besar.

6. . . Respon Bangkitnya Lokalitas
Respon kedua dari komunitas Masjid Pathok

Negoro

Plosokuning

terhadap

globalisasi

http://news.okezone.com. Diunduh pada tangal Maret

adalah
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

bangkitnya
sosialnya

unsur-unsur

sebagai

bagian

lokalitas
dari

dalam

identitas

tuntutannya

untuk

menyuarakan nilai-nilai dan tatanan dunia yang adil di
tengah gempuran globlisasi yang mendominasi semua

sendi kehidupan masyarakat untuk diseragamkan, seperti

yang terjadi di lingkungan mereka. Sebagai sistem dunia
yang tunggal yang terlahir dari proses modernisasi dan

kapitalisme global, globalisasi mau tidak mau juga dilihat
sebagai kekuatan kebudayaan besar yang mengancam
terhadap eksistensi jatidiri lokal suatu komunitas.

Sebagaimana gambaran arti globalisasi yang luas

sebagai suatu tatanan dunia dalam perekonomian, politik,

interaksi sosial yang didukung oleh jejaring teknologi
informasi dan komunikasi yang berkembang pesat. Tentu

saja hal itu mengundang respon komunitas lokal terhadap

eksistensi jatidiri kebudayaannya. Kebudayaan yang

selama ini dipandang sebagai nilai kearifan yang mapan,
ketika dihadapkan pada globalisasi, ia menghadapi
gempuran nilai-nilai baru yang kadang tidak sejalan
dengan

tradisi

yang

telah

berlaku,

dan

bahkan

meminggirkanya. Setidaknya ada tiga responsi yang
menjadi opsi pada setiap komunitas lokal dalam

menghadapi globalisasi, yaitu responsi berdiri sendirisendiri, sintesis dan sinkretis.

Kemungkinan lain dari

Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa
Yogyakarta: LESF),
, .

Respon Globalisasi

respon

globalisasi

kebudayaan etnik.

adalah

berubahnya

tampilan

Responsi berdiri sendiri menghasilkan komunitas

lokal itu mengisolasi diri dari dunia global sehingga
berada

dalam

stagnasi

budaya.

Responsi

sintesis

mendorong komunitas lokal berdialog dengan dunia
global sehinga menghasilkan perpaduan kebudayaan
yang

kadangkala

kontras,

dan

reponsi

sinkretis

menghasilkan komunitas lokal itu melebur secara inheren
dalam dunia global sehingga kehilangan jatidiri aslinya,
serta respon perubahan tampilan kebudayaan berarti
globalisasi

telah

melenyapkan

kebudayaan

lokal

komunitas itu dengan mengganti dalam tampilan
kebudayaan yang sama sekali baru.
Namun

Robertson

mengungkapkan

bahwa

globalisasi dapat menjadi pemicu bangkitnya identitas
lokal pada ruang-ruang publik yang disebut glocalization,

seperti yang disinggung diatas. Gejala dari menguatnya
identitas lokal yang dipicu oleh globalisasi merupakan
bagian dari dari pengobat rasa rindu dengan lingkungan
rumah yang dahulu pernah dilalui.

)dentitas lokal

menggeliat kuat di tengah luasnya peran media informasi

Menurut Damami, perubahan masyarakat Jawa yang berpenampilan
tidak Jawa atau lebih menghayati kultur lain merupakan dampak dari
globalisasi. Secara pribadi, hal ini sah-sah saja, hanya saja orang tersebut
telah tercerabut dari akar etnisnya. )bid., .
Richard Giulianotti and Roland Robertson, Glocalization,
Globalization and Migration: The Case of Scottish Football Supporters in
North America , )nternational Sociology, March
, Vol.
London: Sage
Publications,
,
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dan kontestasi dengan budaya-budaya baru. Dampaknya,

adanya upaya melakukan peneguhan identitas lokal

sebagai responsi kebudayaan alternatif, seperti yang
ditunjukkan dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan

lokal yang diekspresikan secara unik oleh komunitas
Masjid

Pathok

Negoro

Plosokuning

di

berbagai

kesempataan dan peristiwa khusus. Ekspresi identitas itu
merupakan bagian dari sumber nilai, pengetahuan dan

pengalaman lokal yang mengandung kearifan hidup
dalam jatidirinya yang diwariskan dari para leluluhur.

)ni berarti penguatan identitas lokal dalam era

globalisasi terekspresi karena adanya kekuatiran akan

kehilangan situasi di masa lalu, dalam wujud tradisitradisi keagamaan dan kebudayaan lokalnya yang

menyejarah dalam komunitas. Reaksi kekuatiran ini
timbul akibat adanya unsur-unsur melankolis dan
romantisme historis yang termemori dalam diri individu

maupun kelompok, sehingga untuk menghilangkan
kekuatiran

itu

muncul

sikap

ekspresif

dalam

membangkitkan identitasnya di masa lalu untuk tetap

eksis dalam pilihan berbudaya. Ruang ekspresi itu
menjadi semakin ditunjukkan, terutama bagi masyarakat

urban di tengah perubahan sosial akibat globalisasi yang

merasa tercerabut dari akar budaya asal-usulnya. Namun
tidak hanya itu, ekspresi terhadap identitas yang menguat

juga dilatari oleh kehendak untuk mempromosikan
kebudayaan lokal maupun tradisi-tradisi yang telah

membudaya di masyarakat, yang kemudian juga ter–

Respon Globalisasi

upload di jejaring dunia maya, sebagaimana disampaikan

oleh Arjun Appadurai dengan memanfaatkan teknologi
baru digital yang dibawa oleh globalisasi sebagai lanskap

global yang mendorong suatu komunitas dapat hidup
eksis dan berekpresi dalam dunia maya.

Lanskap globalisasi yang terkoneksi secara sosial

tidak pelak, ia seperti buntalan benang yang kompleks;
sulit untuk diuraikan kembali dalam lanskap yang
tunggal. Fenomena tersebut berpengaruh signifikan pada

kehidupan sosial, sehingga hubungan inter-koneksi, dapat

pula mendorong terbentuknya ekspresi atas identitas,
tradisi dan keaslian local wisdom dalam masyarakat.

Kenyataan ini terlihat karena globalisasi berdampak
melahirkan rasa kekuatiran terhadap eksistensi tradisi
dan

kebudayaan

Kekuatiran

lokal

tersebut

dari

ancaman

diaktualisasikan

kepunahan.
dengan

memperkuat identitas lokal dalam merespon isu-isu dan
dinamika globalisasi sebagai arus kebudaayaan besar,
seperti yang diperlihatkan pada komunitas Masjid Pathok
Negoro

Plosokuning.

digarisbawahi

dari

Pokok

tantangan

fikiran

yang

globalisasi

hendak

sebagai

kebudayaan besar, adalah kekuatiran akan kehilangan
identitas lokal di tengah maraknya kebudayaan baru

Lih., Arjun Appadurai, Disjuncture and Difference in the Global
Cultural Economy , dalam G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and
Cultural Studies: KeyWorks, USA, Blackwell,
.
Roland Robertson, Globalization Theori and Civilizational
Analysis , Comparative Civilizations Review,
,
, Downloaded on journals.lib.byu.edu. Diunduh pada tanggal
November
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang dianggap lebih modern atau sejalan dengan tuntutan

zaman. Kebudayaan besar itu hadir dengan orientasi

nilai-nilai yang lebih materialistik dan kekinian, sehingga
identitas lokal yang bersifat kekunoan itu menjadi

alternatif yang ditunjukkan sebagai jatidiri komunitas
yang luhur karena memang berasal dari warisan leluhur .

Oleh karena itu, Robertson juga menganalisis bahwa

globalisasi merupakan sebuah tatanan satu tempat atau a
single place,31 yaitu tata masyarakat dunia yang semakin

luas tanpa dinding pembatas antara satu tempat dengan
tempat lain. Dalam satu waktu masyarakat dari berbagai
belahan

dunia

dapat

saling

berinteraksi

secara

bersamaan melalui produk-produk modernitas yang

disebut dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam analisisnya mengenai a single place tersebut atau

tempat

yang

tunggal,

dapat

ditambahkan

bahwa

globalisasi memberikan pengertian munculnya tata
hubungan antara kondisi lokal dan situasi global Localglobal nexus dan atau kondisi global dan situasi lokal

global-local nexus yang saling berkelindan dalam satu

tempat.

(al )ni membuktikan ruang-ruang lokalitas menjadi

bagian dari ruang globalitas. Sebaliknya, ruang globalitas

John Tomlinson, Globalization and Culture Paper was presented
at University of Nottingham Ningbo China UNNC , Research Seminar Series
Publication on )APS website , . Diunduh pada tanggal
Januari
.
Roland Robertson, Mapping the Global Condition: Globalization as
the Global Concept: Theory, Culture and Society, Vol.
London: SAGE
Publications,
, .

Respon Globalisasi

juga menjadi bagian dari ruang lokalitas dalam suatu
hubungan kebudayaan yang saling mempengaruhi secara
cangkokan ,

hibrida

sebagaimana

yang

juga

diekspresikan oleh komunitas Masjid Pathok Negoro

Plosokuning, baik dalam menerima teknologi global yang

membangkitkan kesadaran identitasnya maupun yang
mengubah identitas lokalnya dengan memanfaatkan
jejaring teknologi tersebut.

Sejalan dengan itu, Yogyakarta sebagai salah satu

daerah yang menjadi pewaris kebudayaan lokal di
)ndonesia juga menghadapi globalisasi sebagai sebuah
tantangan yang direspon secara positif dan kreatif.
Langkah

ini

dilakukan

dengan

usaha

penguatan

kebudayaan Jawa dalam kehidupan sosial masyarakatnya,

termasuk pada komunitas di Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, tanpa harus tertinggal dari apa yang disebut
dengan

makna

peradaban

modern.

Artinya

ada

keseimbangan antara nilai kebudayaan lokal warisan

leluhur dan semangat perkembangan zaman, terutama
dalam memberi kontribusi bagi makna baru wajah
globalisasi yang dipandang bias itu.

Dalam meresponsi tantangan globalisasi dalam

sektor ekonomi, pariwisata dan jatidiri kebudayaan,
Pemerintah Yogyakarta telah melakukan rebranding

logo

Jogja

)stimewa

pertengahan bulan Maret

yang

diluncurkan

pada

ini. Usaha melakukan

Rubrik KR., Yogyakarta Butuh Rebranding Luar-Dalam , Koran
Kedaulatan Rakjat, Maret
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

rebranding

dilakukan

untuk

tetap

mengikuti

perkembangan zaman tanpa harus melupakan identitas
lokal atas makna keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah

)ndonesia, sebagai penentu kebijakan tingkat pusat juga
mengeluarkan produk undang-undang keistimewaan bagi

daerah Yogyakarta sebagai wujud dukungannya, agar
dapat menjaga kekayaan kebudayaan bangsa atas

keistimewaan Yogyakarta sebagai kota budaya yang unik.
Setidaknya sikap ini menjadikan pemerintah daerah dan
Keraton Yogyakarta mempunyai posisi yang sama dalam

mendorong dan menentukan ke mana keistimewaan
Yogyakarta akan dibawa di masa depan.

Tantangan dari budaya asing yang masuk melalui

globalisasi sebenarnya jauh hari
Sultan

(amengkubuwono

)X.

telah disadari oleh

(al

itu

ditunjukkan

sebagaimana pengakuan Raja Jawa itu dalam kutipan
berikut:

Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas
yang ada di pundak saya adalah sulit dan
berat, terlebih-lebih ini karena ini
menyangkut mempertemukan jiwa Barat
dan Timur agar dapat bekerjasama dalam
suasana harmonis, tanpa yang Timur
kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya
telah mengenyam pendidikan Barat yang

Rakjat,

W. Riawan Tjandra, UU Perda
Maret
.

dan D)Y , Koran Kedaulatan

Respon Globalisasi

sebenarnya, namun pertama-tama saya
adalah dan tetap adalah orang Jawa .

Sikap raja itu menunjukkan globalisasi yang

datang dari kebudayaan Barat, tidak harus menjadi
ancaman, justru diberi tempat dan dipertemukan hibrid
sebagai

bentuk

harmonisasi

sosial

dalam

filosofi

kehidupan bangsa Timur. (armonisasi sosial adalah nilai
estetika keselarasan hidup tanpa kehilangan identitas
dasar yang lahir dari asal-usulnya sebagai sebuah etnik di

mana ia dilahirkan dan tumbuh dalam kebudayaan etnik
itu. Dalam pada itu putra penerusnya, yaitu Sri Sultan

(emengkubuwono X juga menandaskan di tengah
gencarnya kritik publik, bahwa

penggunaan pakaian

tradisional busana Jawa bagi para pegawai negeri dalam

peringatan (adeging Nagari Ngayogyakarta ulang tahun

berdirinya negeri Yogyakarta

tidak sekedar untuk

melestarikan budaya, tetapi juga dapat membentengi diri
dari kebudayaan asing .

(al itu memperlihatkan bahwa

dalam diri raja sebagai pewaris nilai dan tradisi Keraton
sekaligus mewakili pemerintah setempat, menyadari
akan kuatnya tantangan zaman yang ditimbulkan dari
arus globalisasi sebagai bagian dari ekspansi kebudayaan

dunia. Bahwa jika tidak disikapi dengan bijak, globalisasi

Laksmi Kusuma Wardani, Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural
Sultan (amengkubuwono )X terhadap Eksistensi Keraton Yogyakarta . Jurnal
Masyarakat dan Kebudayaan Politik, Universitas Kristen Petra Surabaya, Vol.
, No. ,
, .
Rubrik KR., Penggunaan Pakaian Jawa sesuai Pakem: Bentengi Diri
dari Budaya Asing , Koran Kedaulatan Rakjat,
Maret
.

)dentitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang bersifat ekspansif itu menggerus nilai-nilai tradisi
dan identitas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat

setempat. Oleh karena itu diperlukan adanya sikap kreatif
yang

dilakukan

oleh

masyarakat

setempat

untuk

mendorong kesadaran penguatan identitas lokal, dan

percontohan bagi masyarakat secara luas untuk dipelajari

di tengah globalisasi yang dapat menimbulkan hal-hal
baru yang menggantikan secara frontal hal-hal yang lama.

Pada praktek-praktek kehidupan sosial, komunitas

Masjid Pathok Negoro Plosokuning sebagai kelompok
lokal setingkat dusun ternyata mempunyai sikap kearifan

tersendiri, di mana hal-hal baru yang datang dari

kebudayaan atau masyarakat luar sekalipun, cenderung
diterima dengan kesadaran kritis. Sikap ini sejalan

dengan konsep filsosofi kehidupan orang Jawa yang lahir

dari fenomena kehidupan orang desa, yakni prinsip
mandi atau berenang di arus sungai yang mengalir begitu
deras, yaitu anglaras ilining banyu, angeli ananging ora
keli, yang artinya secara filosofis adalah kesadaran

manusia untuk berkontestasi menghanyutkan diri dalam

arus air tetapi tetap sadar dan tidak hanyut ke dalam
arusnya atau kehilangan identitasnya. Filosofi lokal ini

mengandung nilai bahwa komunitas Masjid Pathok
Negoro Plosokuning memiliki kesadaran pandangan

dunianya yang terbuka terhadap hal-hal baru di tengah
perbedaan dengan hal-h

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB I

0 1 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB II

0 0 84

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III

0 1 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB IV

0 14 82

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB V

0 0 79

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB VII

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 15