Hubungan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.

(1)

HUBUNGAN PERSEPSI GAYA KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Sebagai Bagian dari Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata (S1)

Psikologi (S.Psi)

Habibul Akmal Fikri B07210074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi pada karyawan di Hotel Andita Syari'ah Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala komitmen organisasi dan skala persepsi gaya kepemimpinan partisipatif. Subyek penelitian ini berjumlah 42 karyawan dengan sistem sampling acak (Simpel Random Sampling) tanpa memperhatikan tingkatan dan jenis kelamin.

Hasil penelitian dianalisis menggunakan teknik Product Moment ditemukan signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 maka hipotesis diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.


(7)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

INTISARI ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. Komitmen Organisasi ... 16

1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 16

2. Dimensi-dimensi Komitmen Organisasi ... 19

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 21

B. Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 29

1. Definisi Kepemimpinan ... 29

2. Fungsi Kepemimpinan ... 31

3. Definisi Gaya Kepemimpinan ... 32

4. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan ... 33

5. Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 36

6. Aspek Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 39

7. Keuntungan-keuntungan potensial dari kepemimpinan partisipatif 42 C. Persepsi ... 44

D. Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 45

E. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif dengan Komitmen Organisasi... 47

F. Landasan Teoritis ... 48


(8)

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 52

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 52

1. Variabel Penelitian ... 52

2. Definisi Operasional ... 53

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 54

C. Teknik Pengumpulan Data ... 55

1. Skala Komitmen Organisasi ... 56

2. Skala Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 57

D. Validitas dan Reliabilitas ... 59

1. Validitas ... 59

2. Reliabilitas ... 63

E. Analisis Data ... 64

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Hasil Penelitian ... 68

1. Deskripsi Subyek ... 68

2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 70

3. Pengujian Hipotesis ... 74

B. Pembahasan ... 75

BAB V : PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Format Skoring Skala Likert ... 56

Tabel 2. Blue Print Skala Komitmen Organisasi ... 57

Tabel 3. Blue Print Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 58

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 61

Tabel 5. Skala Penelitian Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 61

Tabel 6. Sebaran Aitem Skala Komitmen Organisasi ... 62

Tabel 7. Skala Penelitian Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 63

Tabel 8. Nilai Koefisien Korelasi... 67

Tabel 9. Deskripsi Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 10. Deskripsi Subyek Berdasarkan Usia ... 69

Tabel 11. Deskripsi Subyek Berdasarkan Masa Kerja ... 70

Tabel 12. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 71

Tabel 13. Hasil Uji Normalitas ... 72

Tabel 14. Hasil Uji Linieritas ... 73


(10)

DAFTAR BAGAN


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blue Print Skala Penelitian ... 83

A. Blue Print Skala Komitmen Organisasi ... 83

B. Blue Print Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif .... 85

Lampiran 2. Instrumen Penelitian ... 89

Lampiran 3. Data Mentah Skala Penelitian... 93

A. Skala Komitmen Organisasi ... 93

B. Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 97

Lampiran 4. Skoring Aitem Skala Penelitian ... 101

A. Skala Komitmen Organisasi ... 101

B. Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif ... 103

Lampiran 5. Hasil Output SPSS ... 107

A. Deskripsi Data Penelitian ... 107

B. Uji Reliabilitas ... 114

C. Uji Normalitas ... 118

D. Uji Linieritas ... 119

E. Uji Hipotesis dan Analisis Regresi ... 120 Lampiran 7. Kartu Konsultasi Skripsi


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah organisasi dibentuk sebagai wadah atau media bagi sekelompok individu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Berhasil tidaknya organisasi tergantung kepada Sumber daya manusia (SDM) serta kerjasama tim dalam mencapai tujuan bersama. Soeyitno (2013) menjelaskan bahwa usaha kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama tersebut dilaksanakan oleh beberapa orang (dua orang atau lebih), dalam kegiatan yang terarah pada satu tujuan, hal itu lebih mudah dicapai daripada dikerjakan sendiri. Keseluruhan proses kerja sama tersebut diartikan sebagai organisasi.

Priyono dan Marnis (2008) menjelaskan bahwa organisasi memiliki

berbagai macam sumber daya sebagai „input’ untuk diubah menjadi „output’

berupa produk barang atau jasa. Sumber daya tersebut meliputi modal atau uang, teknologi untuk menunjang proses produksi, metode atau strategi yang digunakan untuk beroperasi, manusia dan sebagainya. Di antara berbagai macam sumber daya tersebut, manusia atau sumber daya manusia (SDM) merupakan elemen yang paling penting.

Sumber daya manusia dalam suatu bidang pekerjaan sekaligus banyak ditentukan oleh berbagai hal, diantaranya komitmen, profesionalisme,


(13)

2

dan tingkat kompetensi terhadap bidang yang ditekuninya. Menurut Porter (dalam Bell dan Mjoli, 2014) Karyawan yang hebat dapat memahami nilai-nilai inti dan tujuan dari sebuah organisasi, merupakan level tinggi dari komitmen karyawan. Northcraft dan Neale (dalam Suyasa, 2004) menyebutkan bahwa umumnya karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi akan menunjukkan upaya lebih maksimal dalam melakukan tugas. Armstrong (2003) dalam terjemahan bukunya “How to be an Even better Manager” menyebutkan ciri-ciri sebuah organisasi yang efektif, diantaranya adalah tenaga kerja yang termotivasi dengan baik, memiliki komitmen, berketerampilan dan luwes.

Menurut Boshoff dan Mels (dalam Suyasa, 2004) European Journal of Marketing menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi, dipercaya dapat mendedikasikan waktu, energi, serta talenta karyawan yang lebih besar kepada organisasi, dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki komitmen. Demikian pula diungkapkan dalam Journal of Management mengenai penelitian oleh Watson Wyatt International yang melakukan survei terhadap 7.500 pekerja di Amerika Serikat. Hasil penelitian menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki karyawan dengan komitmen tinggi terhadap organisasi, memperoleh hasil

lebih baik dalam “3 years total return to shareholder (total keuntungan

perusahaan dalam 3 tahun)” yaitu sebesar 112 %, dibandingkan dengan


(14)

3

rendah, yaitu 76 % (Whitener, 2001). Oleh sebab itu, dapat dilihat jika komitmen terhadap organisasi tidak diperhatikan dalam suatu organisasi, maka ada kemungkinan akan menghasilkan dampak yang kurang baik terhadap kemajuan bidang usaha organisasi.

Meyer & Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya, dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Menurut Dani (2016) Komitmen organisasional dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan untuk organisasi atau unit dari suatu organisasi, termasuk pada saat pengelolaan konflik yang membutuhkan komitmen organisasi yang tinggi.

Moyday, Poter, dan Streers (1979) menjelaskan ada dua pendekatan dalam mengartikan komitmen organisasi yaitu pendekatan komitmen sikap berfokus pada proses dimana karyawan berfikir mengenai hubungan karyawan dengan organisasi, seperti kesamaan antara nilai dan tujuan yang karyawan miliki, menunjukkan kepedulian terhadap nilai dan tujuan organisasi, serta keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Kedua pendekatan komitmen perilaku lebih terfokus pada sejauh mana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan kerugian bila ia memutuskan untuk melakukan alternatif


(15)

4

lain diluar pekerjaannya saat ini. Pendekatan ini lebih menekankan pada proses dimana karyawan mengembangkan komitmen tidak pada organisasi, tapi pada perilakunya terhadap organisasi. Pendekatan ini juga menitikberatkan pada investasi karyawan (berupa waktu, pertemanan, dan kenyamanan) yang membuat ia terikat dan loyal terhadap organisasi.

Perusahaan perlu meningkatkan komitmen karyawannya, salah satunya dengan berusaha mencari faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terbentuknya komitmen terhadap organisasi. Menurut Mowday dkk (dalam Bell dan Mjoli, 2014) salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi adalah karakteristik struktural yang meliputi atas karakteristik organisasi beserta seluruh kebijakan yang berlaku termasuk di dalamnya kebijakan pimpinan organisasi. Kebijakan pimpinan organisasi akan mempengaruhi perilaku kerja yang ditampilkan bawahan.

McShane dan Glinow (2008) menjelaskan bahwa pemimpin perusahaan menjadi alasan yang kuat dalam kontribusinya terhadap loyalitas dan komitmen karyawan, karena itu dapat memberikan keuntungan kompetitif yang signifikan. Karyawan dengan tingkat komitmen tinggi, kecil kemungkinan untuk keluar dari pekerjaan karyawan dan absen dari pekerjaan. Sejalan dengan itu, (Starnes dan Truhon, 2006) menjelaskan bahwa organizational commitment is possible influence on organizational efficiency, and actions leaders can take to build highly-committed workforces. Di saat


(16)

5

kinerja organisasi mulai memburuk diperlukan seorang pemimpin yang mampu menyelamatkannya. Dalam kondisi demikian seorang pemimpin harus melakukan langkah nyata demi memperbaiki komitmen dan meningkatkan angka kinerja organisasi.

Pemimpin yang mampu menggerakkan anggotanya untuk mencapai tujuan dapat dikategorikan sebagai kepemimpinan yang efektif. Tetapi, efektivitas kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh pemimpin saja, melainkan hasil bersama antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin tidak dapat berbuat banyak tanpa partisipasi orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, orang-orang yang dipimpin tidak akan efektif dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tanpa pengendalian, pengarahan dan kerja sama dengan pemimpin.

Faktor partisipasi ini sangat menentukan dalam kepemimpinan, semakin aktif orang-orang yang dipimpin, maka semakin dinamis kehidupan organisasi tersebut. Luthans (2005) gaya kepemimpinan partisipatif adalah tipe pemimpin yang mempertimbangkan masukan dari bawahan dalam pengambilan keputusan Partisipasi dalam berpikir memecahkan masalah yang dihadapi oleh suatu organisasi perlu digalakkan agar kepemimpinan berlangsung efektif. Kreativitas dan inisiatif dapat berkembang dalam proses partisipasi tersebut yang menjadikan organisasi menjadi dinamis, karena pemimpin merupakan tokoh sentral yang terbuka pada berbagai pembaruan


(17)

6

dan inovasi yang akan berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan organisasi.

Nawawi dan Haidari (dalam Soeyitno, 2013) usaha mewujudkan partisipasi anggota organisasi tergantung pada kemampuan membina hubungan manusiawi yang efektif. Hubungan tersebut merupakan peluang bagi anggota untuk mengkomunikasikan hasil berpikir dengan para pemimpin atau para anggota. Pemimpin akan memperoleh kesempatan dalam menggali kreativitas dan inisiatif untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan bentuk kepemimpinan dimana atasan harus meminta ide dan saran dari bawahan dan mengundang partisipasi karyawan dalam keputusan yang secara langsung mempengaruhi karyawan.

Di perusahaan bidang pelayanan dan jasa, hotel termasuk perusahaan yang padat karya yang berarti dalam pengelolaannya butuh modal usaha yang besar dengan tenaga kerja yang banyak. Sebuah hotel besar pelayanan dan manajemennya sering beroperasi lebih seperti sebuah perusahaan besar dengan dewan eksekutif dipimpin oleh General Manager dan terdiri dari direktur utama menjabat sebagai kepala departemen hotel individu. Setiap departemen biasanya terdiri dari bawahan line-level manajer dan supervisor yang menangani hari ke hari operasi. Akan tetapi, Sebuah hotel kecil biasanya hanya terdiri dari tim manajemen inti kecil yang terdiri dari General Manager dan Manajer Operasional yang langsung menangani sehari-hari operasi.


(18)

7

Di dalam pengelolaannya, hotel beroperasi 24 jam perhari, sehingga diperlukan adanya komitmen yang besar bagi karyawannya untuk memaksimalkan upaya dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Hal inilah yang menjadi perhatian peneliti sebagai dasar pengambilan variabel komitmen organisasi. Di samping itu, terdapat beberapa faktor yang menjadikan karyawan memiliki komitmen tersebut. Di antara beberapa faktor itu, McShane dan Glinow (2008) mengemukakan bahwa pemimpin perusahaan menjadi faktor utama dalam kontribusinya pada loyalitas dan komitmen karyawan.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti pada hari Senin tanggal 6 Februari 2017, menemukan adanya fenomena antara manajer hotel dengan karyawan. pada saat meeting dilakukan, manajer berencana membuat sebuah keputusan tentang beberapa perbaikan tugas, tata letak ruang kerja dan mendiskusikan beberapa keluhan dari karyawan. Suasana meeting tersebut terlihat karyawan dengan semangat memberikan masukan dan ide dalam strategi penyelesaian pekerjaan tersebut. Menjelang meeting selesai, manajer mengajak seluruh karyawan berkumpul dalam satu lingkaran dan menjulurkan tangan masing-masing di tengah lingkaran tersebut lalu bersorak untuk membangkitkan komitmen dalam bekerja.

Peneliti mengasumsikan satu gaya faktor kepemimpinan partisipatif menurut persepsi karyawan hotel, bahwa kepemimpinan partisipatif dapat dikorelasikan pada komitmen organisasi karyawan. Sutikno (1990) memberi


(19)

8

penjelasan tentang ciri-ciri kepemimpinan partisipatif bahwa setiap keputusan diambil melalui diskusi bersama pihak-pihak yang terkait dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan pendapat sejauh hal itu sejalan dengan tujuan organisasi/manajemen. Hal ini membuat karyawan lebih merasa memiliki perusahaan dan melakukan apapun untuk mendukung dan bekerja sebaik-baiknya demi mencapai kualitas kerja yang diharapkan perusahaan. Akan tetapi bagi peneliti itu hanya sekedar asumsi yang belum dibuktikan, sehingga peneliti berminat untuk mencari jawaban secara langsung dengan melakukan penelitian pada karyawan di Hotel Andita Syari'ah Surabaya yang memperkuat peneliti untuk menganalisis hubungan persepsi karyawan tentang gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

“Apakah terdapat hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi”.


(20)

9

C. Tujuan Penelitian

Dari uraian diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diantaranya adalah: 1. Secara teoritis

a. Untuk memberikan kontribusi pada ilmu psikologi terutama psikologi industri dan organisasi dalam mengaplikasikan teori gaya kepemimpinan partisipatif dan komitmen organisasi.

b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam bidang yang sama.

2. Secara praktis

a. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia berdasarkan gaya kepemimpinan yang dianut terutama gaya kepemimpinan partisipatif.

b. Memberikan sumbangan kajian bagi para pemimpin-pemimpin

perusahaan yang dapat menjadi acuan dan sumbangan ilmu tentang kepemimpinan dan komitmen organisasi bagi karyawan.


(21)

10

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan Bell dan Mjoli (2014) menyatakan efek kepemimpinan partisipasi yang telah diujikan terhadap komitmen organisasi: membandingkan dengan dua kelompok gender dari pegawai bank. Data yang diambil dari sampel 70 pegawai bank di Alice dan King Williams Town, menggunakan kuesioner kepemimpinan partisipatif adaptasi dari Arnold dkk. (2000) dan kuesioner komitmen organisasi adaptasi dari Mowday dkk.(1979). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh kepemimpinan partisipatif terhadap komitmen organisasi ditinjau dua kelompok gender, dan pengaruh positif terhadap komitmen organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Huang, Iun, Liu dan Gong (2010) memberikan deskripsi tentang kepemimpinan partisipatif diasosiasikan dengan perbaikan kinerja melalui proses motivasi ataukah proses exchange-based, membedakan pengaruhnya pada karyawan manajer dan karyawan non-manajer. Data yang dikumpulkan dari sampel 527 karyawan dari 500 perusahaan besar. Gambaran model alat ukur diusulkan Barnard (1938) lebih dari setengah abad yang lalu, yaitu dua model teoritis dasar Motivational Model dan Exchange-Based Model. Hasil Penelitian didapati adanya perbedaan bahwa perilaku kepemimpinan partisipatif oleh manajer senior,

terhadap beban kerja dan Organizational Citizenship Behavior

keorganisasian(OCBO) pada karyawan manajer dimediasi oleh pemberdayaan psikologis (Motivational Mediator),selanjutnya dilakukan pada karyawan


(22)

11

manajer, pengaruh kepemimpinan partisipatif pada beban kerja dan OCBO dimediasi oleh kepercayaan kepada atasannya (Exchange-Based Mediator).

Penelitian Anwar (2015) menganalisa pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi, pengaruh gaya kepemimpinan terhadap komitmen organisasi dan pengaruh budaya organisasi dan gaya kepemimpinan terhadap komitmen organisasi dengan tiga alat ukur, yaitu Komitmen Organisasi, Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan. Metode penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif berjenis penelitian survey. Populasi sampel berjumlah 132 orang Purna Paskibraka Indonesia Kabupaten Kutai Kartanegara. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan skala likert dan menggunakan uji coba terpakai atau try out dan diuji menggunakan uji regresi linier berganda dengan bantuan SPSS 22.0 for windows. Hasil penelitian menunjukkan hipotesis minor pertama terdapat pengaruh yang signifikan budaya organisasi terhadap komitmen organisasi dengan perolehan beta = 0,200, t hitung > t tabel = (2,251 > 1.978) dan p = 0,026 < 0,050, hipotesis minor kedua terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap komitmen organisasi dengan perolehan beta = 0,203, t hitung > t tabel = (2,285 > 1.978) dan p = 0,024< 0,050, hipotesis mayor didapatkan hasil terdapat pengaruh yang sangat signifikan budaya organisasi dan gaya kepemimpinan terhadap komitmen organisasi dengan perolehan F hitung > F tabel = (8,034 > 2,995) R2 = 0,111, dan p = 0,001 < 0,050.


(23)

12

Penelitian yang dilakukan Rukmana (2016) bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan partisipatif terhadap work engagement pada karyawan di PT. Saba Pratama Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan subjek berjumlah 52 karyawan bagian teknisi. Pengambilan sampling pada penelitian ini adalah random sampling. Teknik pengumpulan data berupa skala work engagement dan skala gaya kepemimpinan partisipatif. Hasil penelitian dianalisis menggunakan teknik Product Moment dengan menggunakan SPSS versi 16.00 for Windows dengan signifikansi sebesar 0,004 < 0,05 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan partisipatif dengan work engagement.

Penelitian yang dilakukan oleh Vries, Pathak dan Paquin (2010), menganalisa hubungan antara kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan partisipatif terhadap hasil kelompok (Team Outcome) dan kebutuhan terhadap kepemimpinan kelompok. Sampel penelitian berjumlah 132 responden yang terdiri dari level top manajer, di CEO Pasifik Selatan yaitu: 62 orang dari Fiji, 22 orang dari Tonga, 23 orang dari Samoa, 7 orang dari Vanuatu, dan 18 orang dari Solomon Island. Setiap CEO perusahaan dihubungi melalui surat formal dan tindak lanjut panggilan telepon untuk berpartisipasi dalam proyek GLOBE. CEO perusahaan diminta 4 nominasi dari delapan manajer tertinggi untuk mengisi kuesioner. Penelitian ini menggunakan standar pengukuran GLOBE dan dua tambahan pengukuran kebutuhan terhadap kepemimpinan


(24)

13

dan kepuasan kerja. Pengukuran kepemimpinan menggunakan Multi-Culture Leader Behavior Questionaire (MCLQ; Hanger & Dickson, 2004), Skala kepemimpinan kharismatik oleh Bass (1985).Pengukuran pada kebutuhan terhadap kepemimpinan menggunakan 17 aitem dari Vries dkk.(2002), pengukuran hasil kelompok (Team Outcome) menggunakan 19 aitem dari Minnesota Satisfaction Questionaire (Weiss, dkk. 1967).Metode tes hipotesis menggunakan multiple regresi dengan hasil sebagai berikut: Kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan partisipatif terdapat hubungan yang signifikan dengan kebutuhan terhadap kepemimpinan. Step kedua kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan partisipatif dimediasi oleh hasil kelompok (kepuasan kerja, komitmen dan efektifitas kelompok) menghasilkan pengaruh interaksi yang signifikan. Kepuasan kerja dan kepemimpinan partisipatif memiliki prediksi hubungan yang signifikan, tetapi tidak pada kepemimpinan kharismatik. Sedangkan komitmen dan efektifitas kelompok memiliki hubungan yang signifikan pada kepemimpinan kharismatik, tetapi tidak pada kepemimpinan partisipatif.

Penelitian Widyastuti, dkk (2014) bertujuan untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi terhadap komitmen organisasi. Subyek penelitian adalah karyawan dan dosen di Universitas Setia Budi Surakarta sebanyak 65 orang. Analisa data menggunakan teknik analisis regresi. Hasil analisis menunjukkan koefisien korelasi (R) sebesar 0.760 dengan F sebesar 42,386 p = 0,000 (p<0,01)yang


(25)

14

berarti ada korelasi yang sangat signifikan antara kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi terhadap komitmen organisasi. Koefisien determinan (R2) sebesar 57,8 % hal ini menunjukkan bahwa variabel kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi mempengaruhi komitmen organisasi sebesar 57,8% dan 42,2% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.

Perbedaan dan persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini adalah:

1. Penelitian Bell dan Mjoli (2014) Perbedaannya adalah pendekatan yang diambil menggunakan komparasi sedangkan penelitian ini menggunakan korelasi dan persamaannya terletak pada variabel kepemimpinan partisipatif.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Huang, Iun, Liu dan Gong (2010), perbedaannya adalah sampel yang diambil berdasarkan klasifikasi antara karyawan manajer dan karyawan non manajer sedangkan persamaannya terletak pada variable kepemimpinan partisipatif.

3. Penelitian Anwar (2015), perbedaannya terletak pada metode

penelitiannya, yaitu dengan penelitian kuantitatif berbentuk survey serta variable pengaruhnya dan persamaannya terletak pada variable komitmen organisasi.


(26)

15

4. Penelitian yang dilakukan Rukmana (2016). Perbedaannya terletak pada salah satu variabel penelitiannya, yaitu work engagement dan persamaannya terletak pada Kepemimpinan partisipatif.

5. Penelitian Vries, Pathak dan Paquin (2010), perbedaannya terletak pada wilayah penelitian, responden dan pengujian hipotesisnya, wilayah penelitian dan sampel penelitian di atas digunakan pada CEO perusahaan dengan responden top level manager dari masing-masing perusahaan, menggunakan pengujian multipel-regresi. Persamaannya terletak pada korelasi variabel kepemimpinan partisipatif.

6. Penelitian Widyastuti, dkk (2014). Perbedaannya terletak pada jumlah variabel x yaitu kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi. Meskipun berbeda dalam gaya kepemimpinannya, persamaannya terletak pada korelasi variabel kepemimpinan dan variabel komitmen organisasi.


(27)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Komitmen Organisasi

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variable terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya.

Meyer & Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya, dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Komitmen organisasi sebagai sebuah konsep yang memiliki tiga dimensi atau komponen, yaitu affective, continuance, dan normative commitment Affective commitment adalah tingkat seberapa jauh keinginan individu untuk terikat secara emosional dengan organisasi, mengidentifikasi serta terlibat di dalam organisasi. Continuance Commitment adalah suatu penilaian terhadap


(28)

17

biaya-biaya yang akan ditanggung apabila tidak bergabung dengan organisasi. Dimensi ini juga didasari oleh tidak adanya alternatif pekerjaan lain. Normative Commitment adalah tingkat seberapa jauh individu secara psikologis terikat untuk menjadi anggota organisasi yang didasarkan pada perasaan seperti kesetiaan, afeksi, kehangatan, pemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan dan lain-lain.

Mowday, Porter & Steers (1979) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai (a) keyakinan (belief) dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilai organisasi, (b) Kemauan (willingness) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan, dan (c) keinginan (desire) yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Mowday, dkk. (1979) melanjutkan, Ada dua pendekatan dalam mengartikan komitmen organisasi yaitu pendekatan komitmen sikap berfokus pada proses dimana karyawan berfikir mengenai hubungan karyawan dengan organisasi, seperti kesamaan antara nilai dan tujuan yang karyawan miliki, menunjukkan kepedulian terhadap nilai dan tujuan organisasi, serta keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Kedua pendekatan komitmen perilaku lebih terfokus pada sejauh mana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan kerugian bila ia memutuskan untuk melakukan alternatif lain diluar pekerjaannya saat ini. Pendekatan ini


(29)

18

lebih menekankan pada proses dimana karyawan mengembangkan komitmen tidak pada organisasi, tapi pada perilakunya terhadap organisasi. Pendekatan ini juga menitikberatkan pada investasi karyawan (berupa waktu, pertemanan, dan kenyamanan) yang membuat terikat dan loyal terhadap organisasi.

Menurut Dani (2016) Komitmen organisasi dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan untuk organisasi atau unit dari suatu organisasi, termasuk pada saat pengelolaan konflik yang membutuhkan komitmen organisasi yang tinggi.

Menurut Djati dan Khusaini (dalam Budianto, 2014), komitmen organisasi bukan hanya kesetiaan pada organisasi, tetapi suatu proses mengekspresikan kepedulian karyawan terhadap organisasi dan prestasi kerja yang tinggi. Komitmen organisasi sebagai suatu sikap karyawan, bagaimanapun juga akan menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap yang dimiliki oleh karyawan dan bertujuan untuk memajukan organisasi tempat kerja, berhubungan dengan kemauan menerima nilai serta tujuan dari organisasi, kesetiaan dan kemauan karyawan berkorban demi pencapaian tujuan organisasi, serta memiliki keinginan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.


(30)

19

2. Dimensi-dimensi Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990) dengan tiga komponen organisasi yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi.

Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen organisasi adalah sebagai berikut.

a. Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada organisasi, serta keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena karyawan memang ingin (want to) melakukan hal tersebut.


(31)

20

b. Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat Becker yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena karyawan butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain.

c. Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normative yang tinggi merasa bahwa karyawan wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Wiener (dalam Allen & Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku karyawan didasari pada

adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan dengan


(32)

21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

a. Faktor yang menyebabkan Komitmen Afektif

Beberapa faktor yang menyebabkan komitmen afektif, antara lain karakteristik organisasi, karakteristik pribadi, dan pengalaman kerja. Pertama, karakteristik organisasi yang mempengaruhi komitmen afektif adalah cara pengambilan kebijakan perusahaan. Kedua, karakteristik pribadi yang mempengaruhi komitmen afektif, antara lain variabel demografis, seperti gender, usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja, serta variabel seperti kepribadian, dan nilai (value) yang dianut. Secara keseluruhan hubungan antara variabel demografis dan komitmen afektif tidak konsisten dan kurang kuat. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa wanita memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada pria (Meyer & Allen, 1997).

b. Faktor yang menyebabkan komitmen continuance

Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor yang menyebabkan komitmen rasional adalah investasi yang diberikan pada organisasi dan alternatif pekerjaan lain. Komitmen rasional (continuance commitment) berkorelasi negatif dengan jumlah alternatif pekerjaan lain serta menariknya pekerjaan lain tersebut (Meyer dan Allen, 1997). Investasi maupun alternatif pekerjaan ini tidak akan


(33)

22

berdampak apapun terhadap komitmen rasional apabila karyawan tidak menyadari dan tidak mengetahui akibatnya.

c. Faktor yang menyebabkan komitmen normatif

Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor-faktor yang menyebabkan komitmen normatif antara lain proses sosialisasi dan investasi yang diberikan organisasi pada karyawannya. Proses sosialisasi terjadi di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja.

Komitmen pada suatu organisasi tidak begitu saja terjadi, melainkan melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Schultz (dalam Novianti, 2011) mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

a. Faktor personal 1) Usia

Hasil penelitian Schultz (1998) menunjukkan bahwa seorang karyawan atau anggota organisasi yang berusia lebih tua dan karyawan tersebut telah bergabung dengan organisasi lebih dari satu tahun dan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi maka mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Robbins (dalam Novianti, 2011) yang menyatakan bahwa semakin tua usia pegawai, makin tinggi komitmennya terhadap organisasi, hal ini disebabkan karena kesempatan individu untuk mendapatkan pekerjaan lain menjadi


(34)

23

lebih terbatas sejalan dengan meningkatnya usia. Keterbatasan tersebut di pihak lain dapat meningkatkan persepsi yang lebih positif mengenai atasan sehingga dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap organisasi.

2) Masa kerja

Penelitian yang dilakukan O’driscoll (dalam Novianti 2011)

terdapat 119 karyawan Bank di New Guinea menunjukkan bahwa komitmen organisasi berkembang enam bulan setelah karyawan bergabung dengan organisasi. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen anggota terhadap organisasi, karyawan dengan masa kerja yang lebih lama memiliki komitmen terhadap organisasi yang lebih tinggi.

3) Tingkat pendidikan

Pendidikan sering membentuk keterampilan yang kadang-kadang tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya dalam pekerjaan sehingga harapan individu sering tidak terpenuhi dan menimbulkan kekecewaan terhadap organisasi. Dapat dikatakan semakin tinggi tingkat pendidikan individu, semakin banyak pula harapan yang mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak dapat diakomodir oleh organisasi tempat ia bekerja. Karyawan yang tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasnya, baik secara kualitas


(35)

24

maupun kuantitas, akan menurunkan komitmennya terhadap organisasi. Menurut Schultz (1998), karyawan dengan tingkat pendidikan yang tinggi seperti ilmuan, insinyur atau seorang ahli spesialis menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen yang lebih rendah.

4) Jenis kelamin

Hasil penelitian Bell dan Mjoli (2014) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh positif komitmen organisasi ditinjau dua kelompok gender. Karyawan perempuan memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada karyawan pria. Tetapi penelitian yang dilakukan Seniati (Novianti, 2011) pada penelitiannya mengenai komitmen karyawan di Jakarta, meskipun responden pria dan perempuan memiliki skor komitmen yang cukup tinggi, tetapi ditemukan justru karyawan pria memiliki skor secara signifikan lebih tinggi dibandingkan karyawan perempuan. b. Peran karyawan dan karakteristik pekerjaan

Mowday, dkk (1979) mengungkapkan terdapat tiga aspek yang berhubungan dengan peran karyawan dan karakteristik pekerjaan yang mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu:

1) Tantangan dalam pekerjaan

Menurut Lyman (dalam Mowday, 1979) komitmen organisasi dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang karyawannya memiliki


(36)

25

kebebasan untuk melakukan dan menggunakan keterampilannya serta keahliannya dalam menjalankan tugas tanpa dipengaruhi keputusan-keputusan dari atasan. Adanya tantangan dalam bekerja dapat menaikkan komitmen karyawan. Tantangan kerja dapat dibangun dengan memperkaya pekerjaan dan tugas-tugas yang diberikan pada karyawan.

2) Karakteristik peran

Menurut Lyman (dalam Mowday, 1979), karyawan yang berkaitan dengan karakteristik peran, dalam hal ini adalah komitmen terhadap organisasi cenderung dimiliki oleh karyawan yang mempunyai pekerjaan yang bernilai tinggi.

3) Karakteristik unit kerja

Penelitian yang dilakukan Dahesihsari (dalam Novianti, 2011) karakteristik unit kerja yakni kebijakan-kebijakan organisasi dan perilaku atasan kepada bawahan, pekerjaan dengan resiko atau bahaya yang rendah. Kebijakan-kebijakan organisasi menyangkut nilai, tujuan dan tuntutan organisasi kepada karyawan.

c. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi penting yang mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap perusahaan. Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan komitmen organisasi sejauh menyangkut taraf seberapa besar


(37)

26

karyawan percaya bahwa perusahaan memperhatikan minatnya, merasakan adanya kepentingan pribadi dengan perusahaan dan seberapa besar harapan-harapan karyawan dapat terpenuhi dalam pelaksanaan pekerjaannya. Hasil penelitian Widyastuti (2014) yang menemukan pengaruh kepemimpinan transformasional dan iklim organisasi yang merupakan bentuk pengalaman kerja terhadap komitmen organisasi.

Mowday, Steers dan Porter (1979) mengembangkan model anteseden komitmen organisasi yang meliputi: (1) karakteristik personal, (2) karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, dan (3) pengalaman kerja. Beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa:

a. Karakteristik personal yang terdiri dari usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkolerasi dengan komitmen organisasi. (Mathieu & Zajac, 1990; Mowday dkk, 1982).

b. Karakteristik yang berkaitan dengan jabatan atau peran memiliki sumbangan yang bermakna pada komitmen organisasi. Karakteristik ini meliputi tantangan pekerjaan, konflik peran, dan ambiguitas peran.


(38)

27

c. Pengalaman kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap komitmen organisasi. Pengalaman kerja ini meliputi keterandalan organisasi (Buchanan, 1974; Herbeniak, 1974; Steers, 1977), perasaan dipentingkan (Buchanan, 1974; Steers, 1977), realisasi harapan (Grusky, 1966; Steers, 1977), sikap rekan kerja yang positif terhadap organisasi (Buchanan, 1974; Steers, 1977), persepsi terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja keras (Buchanan, 1974).

Allen & Meyer (1990) membagi anteseden komitmen organisasi berdasarkan tiga komponen komitmen organisasi, yaitu:

a. Anteseden komitmen afektif terdiri dari: karakteristik pribadi, karakteristik jabatan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural. Karakteristik structural meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas. Dari keempat anteseden tersebut, anteseden yang paling berpengaruh adalah pengalaman kerja, terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dalam organisasi dan kompeten dalam menjalankan peran kerja.

b. Anteseden komitmen kontinuans terdiri dari besarnya dan/atau jumlah investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas kurangnya alternatif pekerjaan lain. Karyawan yang merasa telah berkorban ataupun mengeluarkan investasi yang besar terhadap


(39)

28

organisasi akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena akan kehilangan apa yang telah diberikan selama ini. Sebaliknya, karyawan yang merasa tidak memiliki pilihan kerja lain yang lebih menarik akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah diperolehnya selama ini.

c. Anteseden komitmen normatif terdiri dari pengalaman individu sebelum masuk ke dalam organisasi (pengalaman dalam keluarga atau sosialisasi budaya) serta pengalaman sosialisasi selama berada dalam organisasi. Komitmen normative karyawan dapat tinggi jika sebelum masuk ke dalam organisasi, orang tua karyawan yang juga bekerja dalam organisasi tersebut menekankan pentingnya kesetiaan pada organisasi. Sementara itu, jika organisasi menanamkan kepercayaan pada karyawan bahwa organisasi mengharapkan loyalitas karyawan maka karyawan juga akan menunjukkan komitmen normatif yang tinggi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anteseden komitmen organisasi terdiri dari karakteristik personal (usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian), karakteristik jabatan (tantangan pekerjaan, konflik peran, dan ambiguitas peran), pengalaman kerja (keterandalan organisasi, perasaan dipentingkan, realisasi harapan, sikap rekan kerja yang positif terhadap


(40)

29

organisasi, persepsi terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja keras dan kepuasan kerja), karakteristik struktural organisasi (besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas), besarnya jumlah investasi individu, persepsi atas kurangnya alternatif pekerjaan lain, pengalaman individu sebelum dan selama berada dalam organisasi.

B. Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan Partisipatif 1. Definisi Kepemimpinan

Sujak (1990) menerangkan bahwa kepemimpinan adalah usaha untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Selaras dengan pendapat Yukl (dalam Rukmana, 2016) bahwa kepemimpinan merupakan suatu aktivitas untuk mempengaruhi dan membuat seluruh karyawan ikut turut serta memberikan kontribusinya kepada perusahaan agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa sikap pemimpin tidak hanya mempengaruhi tetapi ikut serta dalam memajukan perusahaan.

Menurut Gibson (dalam Kumandang 2016), kepemimpinan adalah suatu usaha menggunakan gaya mempengaruhi dan tidak memaksa untuk memotivasi individu dalam mencapai tujuan. Menurut Koontz dan Donnel, kepemimpinan secara umum merupakan pengaruh,


(41)

30

seni atau proses mempengaruhi sekelompok orang, sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompok. Sedangkan kepemimpinan menurut E. Mulyasa dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan untuk pencapaian tujuan bersama atau organisasi.

Luthans (2005) berpendapat, selain sebagai pengaruh,

kepemimpinan juga didefinisikan sebagai sekelompok proses,

kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Sedangkan menurut Haidari & Nawawi (2006) kepemimpinan merupakan proses rangkaian yang saling berhubungan satu dengan yang lain, meskipun tidak mengikuti rangkaian yang sistematis. Rangkaian itu berisi kegiatan menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan serta mengawasi orang lain dengan berbuat sesuatu, baik secara perorangan ataupun bersama-sama. Oleh karena itu, kepemimpinan juga merupakan proses interaksi pemimpin dengan sekelompok orang lain, yang menyebabkan orang-orang atau kelompok berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain dan memotivasi individu-individu supaya bekerjasama di bawah


(42)

31

pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan perusahaan yang diinginkan.

2. Fungsi Kepemimpinan

Fungsi kepemimpinan menurut Hill dan Caroll (1997) yaitu memiliki dua dimensi diantaranya:

a. Dimensi tingkat kemampuan mengarahkan (direction) tindakan atau aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya.

b. Dimensi tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas kelompok atau organisasi, yang dijabarkan melalui keputusan dan kebijaksanaan pemimpin.

Terdapat lima fungsi kepemimpinan, yakni:

a. Pemimpin sebagai penentu arah yang hendak ditempuh oleh

organisasi menuju tujuannya sedemikian rupa sehingga

mengoptimalkan penempatan segala sarana dan prasarana yang tersedia.

b. Pemimpin sebagai wakil atau juru bicara resmi organisasi dalam hubungan dengan berbagai pihak di luar organisasi.

c. Pemimpin sebagai komunikator yang efektif yaitu suatu proses pemeliharaan hubungan yang baik ke dalam maupun keluar oleh seorang pemimpin melalui komunikasi baik lisan maupun tertulis.


(43)

32

d. Pemimpin sebagai moderator yang handal yang berfungsi sebagai mediator dalam menyelesaikan situasi kompleks yang mungkin timbul dalam organisasi, tanpa mengurangi pentingnya situasi konflik dalam hubungan keluar yang dihadapi dan diatasi.

3. Definisi Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Sadili (2006) yaitu merupakan perilaku yang unik dan tidak dapat diwariskan secara otomatis kepada siapapun. Setiap pemimpin memiliki karakteristik yang timbul pada situasi yang berbeda. Sedangkan menurut Suad Husnan (2002) gaya kepemimpinan sendiri dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Menurut Veihzal Rivai & Deddy Mulyadi (dalam Kumandang 2016) Gaya kepemimpinan merupakan sekumpulan ciri yang digunakan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang dikuasai dan sering diterapkan oleh pemimpin.

Adapun definisi gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Thoha (dalam Kumandang 2016), merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang dilihat. Gaya kepemimpinan merupakan suatu pola perilaku seorang pemimpin yang khas pada saat


(44)

33

mempengaruhi bawahannya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota kelompok membentuk kepemimpinannya.

Dari beberapa pengertian tentang definisi gaya kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Pola perilaku yang khas pada saat mempengaruhi bawahannya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota kelompok membentuk kepemimpinan.

4. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan

Kurt Lewin (wikipedia.org/wiki/Kurt_Lewin) menyebutkan tiga gaya kepemimpinan:

a. Otokratik, yaitu gaya kepemimpinan berpusat pada seorang pemimpin sebagai penentu segala keputusan dan anak buah tidak mempunyai hak untuk berpendapat. Anak buah hanya menjalankan instruksi yang diberikan. Pola komunikasi terjadi satu arah dari pemimpin ke anak buah. Dengan pola kepemimpinan ini, semua tugas yang diberikan harus diselesaikan karena pemimpin memastikan semuanya berjalan sesuai yang diperintahkan.

b. Demokratik, yaitu gaya kepemimpinan yang memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada semua anggota tim sesuai dengan tugas


(45)

34

dan fungsi masing-masing. Semua terlibat aktif dalam mengambil keputusan dan boleh memberikan masukan kepada anggota maupun kepada pimpinan. Pemimpin bersikap terbuka kepada usul yang diberikan karena menganggap semua usul baik adanya untuk kemajuan perusahaan. Pemimpin merasa bahwa semua anggota pasti mempunyai kelebihan dan merupakan pribadi yang unik. Gaya kepemimpinan ini menyeimbangkan antara tugas yang diberikan harus terselesaikan dengan baik dan penting menjaga hubungan harmonis antar anggota tim.

c. laissez-faire, yaitu gaya kepemimpinan yang memberikan kebebasan mutlak kepada anak buah untuk berkreasi. Dalam hal ini, pemimpin bersifat pasif dan menunggu semuanya dari anak buah. Pola kepemimpinan yang terjadi adalah satu arah dari anak buah kepada pimpinan. Gaya kepemimpinan ini cocok diterapkan jika mempunyai anak buah dengan inisiatif yang baik. Pemimpin hanya memberikan arahan singkat berupa tujuan umum saja dan selebihnya diberikan kepada anak buah. Pembagian tugas dan kelompok juga diserahkan kepada anak buah.

Adapun jenis kepemimpinan yang lain, yaitu kepemimpinan transformatif, menurut Bass dan Avolio (1996) yang dikutip oleh Kushariyanti (2007), kepemimpinan transformatif merupakan salah satu konsep kepemimpinan yang dapat menjelaskan secara tepat pola perilaku


(46)

35

kepemimpinan atasan yang nyata ada dan mampu memuat pola-pola perilaku dari teori kepemimpinan lain.

Selanjutnya menurut Bass (1996), gaya kepemimpinan transformasional cenderung membangun kesadaran para bawahannya mengenai pentingnya nilai kerja dan tugas mereka. Pemimpin berusaha memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut kea rah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi.

Sedangkan menurut Robert House (1971), terdapat empat macam gaya kepemimpinan.

a. Kepemimpinan Direktif: Pemimpin yang memberikan kesempatan kepada bawahan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, menjadwalkan pekerjaan dan mempertahankan standar kinerja.

b. Kepemimpinan Partisipatif: Pemimpin yang berkonsultasi dengan para karyawan dan secara serius mempertimbangkan gagasan karyawan pada saat pengambilan keputusan.

c. Kepemimpinan Suportif: Pemimpin yang menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan kebutuhan karyawan, bersikap ramah dan dapat didekati serta memperlakukan para pekerja sebagai orang yang setara dengan dirinya.


(47)

36

d. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi: dengan menetapkan tujuan yang menantang untuk mendorong para karyawan berprestasi pada tingkat tertinggi karyawan untuk menghasilkan kesempurnaan yang bisa membangkitkan kepercayaan diri para karyawan akan kemampuan karyawan.

5. Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Sutikno (1990) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan partisipatif artinya pemimpin dan anggota berada dalam satu kesatuan dan bekerjasama menyelesaikan masalah. Yukl (2010) menjelaskan kepemimpinan partisipatif yaitu menyangkut usaha-usaha seorang pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang lain dalam membuat keputusan. Partisipasi memiliki banyak bentuk, dimulai dari melakukan revisi keputusan tentatif setelah menerima protes, meminta saran sebelum membuat keputusan, meminta seseorang atau kelompok untuk bersama-sama membuat suatu keputusan, mengizinkan orang lain untuk membuat suatu keputusan bergantung pada persetujuan akhir pemimpin. Mengikutsertakan orang lain dalam membuat keputusan sering merupakan kebutuhan agar keputusan tersebut diterima dan diimplementasikan.

Menurut Sujak (1990) pemimpin yang memiliki gaya partisipatif mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahannya. Dalam setiap persoalannya, selalu mengandalkan untuk mendapatkan ide-ide


(48)

37

dan pendapat-pendapat lainnya dari bawahan, dan mempunyai niat untuk

mempergunakan pendapat bawahan serta konstruktif. Gaya

kepemimpinan partisipatif memiliki kekuatan untuk memotivasi bawahannya, dengan meningkatnya motivasi kerja tersebut dan pemimpin melaksanakannya dengan persuasif maka akan terciptanya kerjasama yang serasi antara pemimpin dan bawahannya, menumbuhkan loyalitas bawahan, dan yang terpenting mampu menumbuhkan partisipasi bawahan.

Menurut Hasibuan (dalam Kumandang 2016), kepemimpinan partisipatif yaitu jika seorang pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya dilakukan secara persuasif, menciptakan kerjasama yang serasi, menumbuhkan loyalitas dan partisipasi bawahan. Pemimpin memotivasi para bawahan agar mereka serasa ikut memiliki perusahaan. Falsafah pemimpin, pemimpin adalah untuk bawahan, dan bawahan diminta untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dengan memberikan informasi, saran-saran dan pertimbangan. Pemimpin menerapkan sistem manajemen terbuka (open management). Informasi dan kaderisasi mendapatkan perhatian yang serius.

Manfaat dari kepemimpinan partisipatif itu sendiri adalah untuk menghasilkan kualitas keputusan yang lebih baik dan penerimaan keputusan lebih besar oleh orang yang akan menerapkannya. Kepemimpinan partisipatif berarti bahwa berbagai bentuk partisipasi


(49)

38

efektif pada situasi tertentu, tetapi tidak pada waktu lainnya. Yang perlu diingat adalah bahwa partisipasi tidak mungkin efektif jika partisipan potensial tidak memiliki sasaran yang sama dari pemimpin tersebut, jika karyawan tidak ingin menerima tanggung jawab untuk membantu dalam pengambilan keputusan serta tidak mempercayai pemimpin tersebut.

Yukl (2010) menambahkan bahwa kepemimpinan partisipatif mengandung beberapa hal positif:

a. Dalam hal kualitas keputusan, melibatkan orang lain dalam proses pembuatan keputusan akan berdampak positif terhadap kualitas keputusan. mengingat para partisipan bisa jadi memiliki informasi dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pemimpin sehingga kerja sama banyak pihak akan menemukan solusi yang baik atas masalah yang dihadapi.

b. Dalam hal tingkat penerimaan terhadap suatu keputusan, proses yang partisipatif akan memperoleh kepuasan terhadap proses keputusan karena pihak yang terkait dengan keputusan tersebut memandang bahwa karyawan diperlakukan dengan bermartabat dan rasa hormat dengan adanya kesempatan untuk terlibat dalam proses kebijakan yang akan berdampak terhadap karyawan.

c. Dalam hal pengembangan keterampilan partisipan melalui


(50)

39

sehingga karyawan bisa belajar lebih banyak daripada hanya berpartisipasi dalam beberapa aspek proses saja.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya

kepemimpinan partisipatif adalah gaya kepemimpinan yang

menyeimbangkan keterlibatan pemimpin dengan bawahannya yaitu memberikan informasi, saran-saran dan pertimbangan, serta menerima tanggung jawab untuk membantu dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan.

6. Aspek Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Sutikno (1990) memberi penjelasan tentang ciri-ciri

kepemimpinan partisipatif, yaitu:

a. Setiap keputusan diambil melalui diskusi bersama pihak-pihak yang terkait.

b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas, karyawan diberi wewenang, hak, dan tanggung jawab secukupnya untuk menerapkan caranya sendiri yang dianggap efisien.

c. Menilai bawahan secara rasional, dengan melihat data dan fakta.

d. Memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan

pendapat sejauh hal itu sejalan dengan tujuan organisasi/manajemen.

e. Tidak kaku dalam mengawasi pekerjaan bawahan karena

membangun sinergi melalui interaksi yang selaras dengan falsafah Tiga Pilar Interaksi.


(51)

40

Sedangkan menurut Nawawi (2006) kepemimpinan partisipatif sama pemahamannya dengan kepemimpinan kompromi (compromiser) yang menunjukkan karakteristik, sebagai berikut:

a. Seorang pemimpin dalam gaya ini untuk mempertahankan

kekuasaannya tidak berorientasi pada anggota organisasi, tetapi pada pimpinan atasannya yang berpengaruh dan menentukan jabatan kepemimpinannya.

b. Mengikutsertakan bawahan dalam mengambil keputusan, bukan untuk kesempatan menyampaikan gagasan, kreativitas dan lain-lain. c. Dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, pemimpin

selalu memperhitungkan untung rugi bagi dirinya bukan bagi bawahan atau organisasinya.

d. Tidak tertarik pada pengembangan pekerjaan dan organisasi melainkan untuk menjalankan tugas guna mempertahankan kepemimpinannya.

e. Mampu bekerja sama dengan bawahan dalam melaksanakan

pekerjaan.

f. Memberikan dorongan (motivasi) secara selektif pada anggota organisasi atau bawahan.


(52)

41

Adapun dimensi dan indikator dari kepemimpinan partisipatif menurut Vroom dan Yetto (1973), House dan Mitchell (1974) yaitu: a. Proses pengambilan keputusan

1) Konsultasi

Dengan indikator: pemecahan masalah yang relevan dengan bawahan secara individual dan kelompok, kesesuaian saran atau ide atasan dengan bawahan secara individual dan kelompok. 2) Partisipatif

Dalam partisipatif, pemimpin dalam memecahkan masalah bersama yang relevan dengan bawahan secara kelompok, tingkat keserasian antara atasan dan bawahan dalam menciptakan dan mengevaluasi dalam memecahkan masalah, peran atasan terhadap bawahannya.

b. Variabel situasi

1) Karakteristik tugas

Pemimpin memberikan tugas yang tidak terstruktur kepada bawahannya, memberikan peran yang jelas kepada bawahannya. 2) Lingkungan karakteristik bawahan

Bawahan merasa senang dalam bekerja, bawahan puas dengan pekerjaannya, bawahan mempunyai keinginan untuk berhasil yang tinggi dalam bekerja, pekerja diberi kebebasan yang tinggi.


(53)

42

c. Penerimaan keputusan

1) Komitmen

Bawahan berkomitmen untuk melaksanakan suatu keputusan.

2) Keputusan

Bawahan memiliki kepuasan terhadap keputusan yang diambil. d. Peraturan keputusan

1) Waktu

Adanya tekanan waktu pekerjaan terhadap bawahan. 2) Motivasi

Pemimpin mempunyai keinginan untuk mengembangkan bawahannya.

7. Keuntungan-keuntungan potensial dari kepemimpinan partisipatif

Kepemimpinan partisipatif menawarkan sejumlah keuntungan yang potensial. Pemimpin kemungkinan akan meningkatkan kualitas bila para karyawan mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai pemimpin tersebut dan bersedia untuk kerja sama dalam mencari suatu pemecahan yang baik untuk suatu masalah keputusan. Di samping itu, peluang untuk memperoleh suatu pengaruh terhadap hak tersebut, jika semakin banyak pengaruh yang dipunyai seseorang terhadap sebuah keputusan, maka semakin besar pula kemungkinan akan komitmen.


(54)

43

Konsultasi kepada bawahan dapat digunakan untuk:

a. Meningkatkan kualitas keputusan-keputusan dengan menarik

pengetahuan dan keahlian para bawahan dalam pemecahan masalah. b. Meningkatkan penerimaan bawahan terhadap keputusan-keputusan

dengan memberikan bawahan rasa turut memiliki.

c. Mengembangkan keterampilan dalam keputusan para bawahan

dengan memberikan pengalaman kepada bawahan dalam membantu

menganalisis masalah-masalah keputusan dan mengevaluasi

pemecahan-pemecahannya.

d. Membatasi keputusan-keputusan yang dibutuhkan sehingga waktu tidak dibuang-buang dalam pertemuan yang tidak perlu.

Konsultasi kepada atasan dapat digunakan untuk:

a. Memungkinkan bawahan untuk dapat menarik keahlian pemimpin b. Pemimpin agar mengetahui masalah yang dihadapi bawahan dan

dapat bereaksi terhadap usulan bawahan tersebut.

c. Mengurangi rasa percaya diri dari kemungkinan terlalu tergantung pada pemimpin dalam membuat keputusan.

Konsultasi dengan pihak luar digunakan untuk:

a. Membantu memastikan bahwa keputusan-keputusan yang

mempengaruhi mereka dipahami dan diterima oleh para langganan dan pemasok.


(55)

44

c. Memperkuat jaringan kerja eksternal d. Memperbaiki koordinasi

e. Memecahkan masalah bersama yang berhubungan dengan pekerjaan.

C. Persepsi

Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (2011) adalah proses penerimaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, atau peraba), sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.

Menurut Irwanto (2002) persepsi merupakan proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Karena persepsi bukan sekedar penginderaan, maka persepsi disebut juga sebagai the interpretation of experience (penafsiran pengalaman). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Gibson (dalam kumandang, 2016) bahwa persepsi mencakup kognisi (pengetahuan). Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus, dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap.

Menurut Robbins (1998) persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra agar memberi makna pada lingkungan. Persepsi seseorang terhadap suatu realitas akan mendasari perilaku seseorang. Menurut Moskowitz dan Orgel (dalam Walgito, 1994)


(56)

45

mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari individu seperti pengalaman, emosi, kemampuan berpikir serta aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam proses tersebut. Proses yang terintegrasi tersebut menyebabkan stimulus yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda pula.

Menurut Moskowitz dan Orgel (dalam Kushariyanti, 2007) bahwa persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya sehingga seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti pengalaman, emosi, kemampuan berfikir serta aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam proses tersebut. Proses yang terintegrasi tersebut menyebabkan stimulus yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda pula.

Jadi, persepsi merupakan proses mengorganisasikan, menafsirkan dan memandang kesan indera agar memberi makna pada lingkungan atau peristiwa berdasarkan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.

D. Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa persepsi merupakan pemaknaan terhadap peristiwa, objek ataupun manusia berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan gaya kepemimpinan partisipatif yaitu kepemimpinan yang menyeimbangkan keterlibatan manajer dan bawahannya


(57)

46

untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan.

Menurut Soeyitno (2013), persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan partisipatif atasan yaitu merupakan suatu proses pemaknaan (yang terdiri dari memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan) mengenai gaya kepemimpinan partisipatif yang diterapkan oleh atasan, dimana atasan harus meminta ide dan saran dari bawahan serta mengundang partisipasi karyawan dalam keputusan yang secara langsung mempengaruhi karyawan.

Siagian (dalam Kumandang, 2016) mengungkapkan gaya

kepemimpinan partisipatif juga merupakan suatu cara yang dimiliki oleh seseorang dalam mempengaruhi sekelompok orang atau bawahan untuk bekerja sama dan berupaya dengan penuh semangat, motivasi dan keyakinan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dapat dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut terutama dalam membentuk suatu komitmen pada pegawainya.

Dapat disimpulkan mengenai persepsi terhadap gaya kepemimpinan partisipatif yaitu suatu proses pemaknaan karyawan berdasarkan pengamatan mengenai kepemimpinan atasan yang melibatkan partisipasi pemimpin dan karyawan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan termasuk mencari ide dan mengambil keputusan.


(58)

47

Penelitian yang dilakukan Bell dan Mjoli (2014) menyatakan efek kepemimpinan partisipasi yang telah diujikan terhadap komitmen organisasi. Membandingkan dengan dua kelompok gender dari pegawai bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh kepemimpinan partisipatif terhadap komitmen organisasi ditinjau dua kelompok gender dan terdapat pengaruh yang positif terhadap komitmen organisasi.

E. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif dengan Komitmen Organisasi

Persepsi gaya kepemimpinan partisipatif merupakan penilaian karyawan tentang kepemimpinan yang melibatkan karyawan dalam aktifitasnya di perusahaan, termasuk mencari ide atau solusi untuk pemecahan masalah dan memerlukan pertimbangan atau saran dari karyawan

untuk mengambil keputusan. Kepemimpinan partisipatif tersebut

menunjukkan bahwa hubungan antara pemimpin dan bawahan terjalin dengan baik dan saling mempercayai. Kepercayaan yang diberikan kepada karyawan tersebut bukan didasari oleh pertimbangan ekonomis saja, tetapi juga didasari oleh pentingnya peranan bawahan dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.

Dengan persepsi karyawan yang positif terhadap gaya kepemimpinan partisipatif seseorang, maka dapat membuat karyawan menjadi bagian dari perusahaan. Hal ini membuat karyawan lebih merasa memiliki perusahaan


(59)

48

dan melakukan apapun untuk mendukung dan bekerja sebaik-baiknya demi mencapai kualitas kerja yang diharapkan perusahaan. Maka komitmen terhadap organisasi pun akan terbentuk pada diri karyawan. Komitmen organisasi ini yang diperlukan untuk menunjang proses berjalannya suatu organisasi, sehingga tumbuh persepsi dalam diri karyawan bahwa gaya kepemimpinan yang partisipatif sebagai pemimpin tersebut dapat membangun komitmen organisasi yang lebih tinggi bagi karyawan.

F. Landasan Teoritis

Mowday, Porter & Steers (1979) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai (a) keyakinan (belief) dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilai organisasi, (b) Kemauan (willingness) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan, dan (c) keinginan (desire) yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Komitmen organisasi dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990) dengan tiga komponen organisasi yaitu: komitmen afektif yaitu keterikatan emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan pada organisasi, komitmen kontinuans, yaitu pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi dan komitmen normative yaitu perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi.


(60)

49

Perusahaan perlu meningkatkan komitmen karyawannya, salah satunya dengan berusaha mencari faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terbentuknya komitmen terhadap organisasi. Menurut Mowday dkk (dalam Bell dan Mjoli, 2014) salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi adalah karakteristik struktural yang meliputi atas karakteristik organisasi beserta seluruh kebijakan yang berlaku termasuk di dalamnya kebijakan pimpinan organisasi. Kebijakan pimpinan organisasi akan mempengaruhi perilaku kerja yang ditampilkan bawahan.

Menurut Iverson (dalam Pramadani, 2012) komitmen organisasi adalah prediktor terbaik dalam perubahan dibandingkan dengan kepuasan kerja, karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan mengerahkan usaha lebih dalam proyek perubahan guna membangun sikap positif terhadap perubahan. Lanjutnya Becker (1996) menyatakan komitmen organisasi adalah variabel kriterion dalam mengukur impact perubahan organisasi dikarenakan adanya hubungan yang kuat antara karyawan dengan organisasi.

McShane dan Glinow (2008) menjelaskan bahwa pemimpin perusahaan menjadi alasan yang kuat dalam kontribusinya terhadap loyalitas dan komitmen karyawan, karena itu dapat memberikan keuntungan kompetitif yang signifikan. Karyawan dengan tingkat komitmen tinggi, kecil kemungkinan untuk keluar dari pekerjaan karyawan dan absen dari pekerjaan.


(61)

50

Dari paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya Komitmen organisasi merupakan keyakinan kuat pada organisasi, keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu organisasi dalam mencapai tujuan. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah gaya kepemimpinan, sesuai dengan teori dan hasil penelitian yang sudah ada.

Bagan 1: Kerangka teori hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi:

Komitmen Organisasi Karyawan

1. Komitmen Afektif Keinginan secara emosional untuk terikat dengan organisasi.

2. Komitmen Continuance

Kesadaran akan biaya atau keuntungan jika tidak bergabung dengan organisasi

3. Komitmen Normatif

Perasaan wajib untuk tetap tinggal di organisasi karena perasaan hutang budi.

Persepsi tentang Gaya Kepemimpinan

Partisipatif

1. Pengambilan keputusan oleh pemimpin dan bawahan.

2. Variabel Situasi, peran pemimpin kepada bawahan

3. Penerimaan Peraturan, kepuasan terhadap keputusan

4. Peraturan keputusan untuk mengembangkan bawahan


(62)

51

G. Hipotesis

Berdasarkan penjabaran di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi.


(63)

52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011).

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) tentang perilaku yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010).

Variabel merupakan pengelompokan secara logis dari dua atau lebih atribut dari objek yang diteliti. Sebelum mengumpulkan data, perlu menentukan variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Berdasarkan uraian masalah yang telah dibahas sebelumnya, dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yang diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah persepsi gaya kepemimpinan partisipatif.


(64)

53

2. Definisi Operasional

Definisi operasional kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Komitmen organisasi

Komitmen organisasi adalah tingkat sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja, keyakinan kuat pada organisasi, keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu organisasi dalam mencapai tujuan. Tingkat ini diukur menggunakan skala komitmen organisasi dengan aspek-aspek

Affective commitment, yang berkaitan dengan keterikatan emosional, nilai- nilai bersama dan keterlibatan pribadi. Continuance commitment, yang berkaitan dengan investasi karyawan kepada organisasi dan persepsi karyawan tentang kerugian akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Normative commitment, yang berkaitan dengan internalisasi norma organisasi, loyalitas, manfaat dan kewajiban terhadap organisasi.

b. Persepsi gaya kepemimpinan partisipatif

Persepsi gaya kepemimpinan partisipatif merupakan penilaian karyawan tentang tingkat perilaku individu untuk mempengaruhi karyawan, kemampuan membuat keputusan dengan melibatkan karyawan, mendelegasikan tugas dan membuat karyawan ikut serta dalam memajukan perusahaan. Kepemimpinan partisipatif diukur dengan skala persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan aspek


(65)

54

(1) proses pengambilan keputusan, meliputi konsultasi dan partisipasi, (2) Variabel situasi, meliputi karakteristik tugas dan lingkungan karakteristik bawahan (3) Penerimaan keputusan, meliputi komitmen dan kepuasan keputusan, (4) Peraturan keputusan, meliputi waktu dan motivasi.

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

Menurut Sugiyono (2011) Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi yang dipilih sebagai sasaran penelitian yaitu seluruh karyawan Hotel Andita Syari'ah Surabaya yang berjumlah 42 karyawan dengan teknik sistem acak (Random Sampling) tanpa memperhatikan tingkatan dan jenis kelamin. Populasi diambil sampel seluruhnya, karena jumlah populasi berjumlah kurang dari 100. Berikut karakteristik populasi yang diambil:

a. Seluruh karyawan hotel Andita Syariah Surabaya.

b. Karyawan yang masih aktif dalam perusahaan tersebut, setidaknya tidak dalam masa cuti atau apapun.

c. Karyawan tetap dan kontrak. d. Masa kerja minimal 1 tahun


(1)

77

termasuk dalam kepemimpinan otokratik atau positif. Gaya kepemimpinan partisipatif menurut persepsi karyawan merupakan gaya kepemimpinan yang mempertimbangkan masukan dari bawahan dalam pengambilan keputusan,

berpartisipasi dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh suatu

organisasi secara efektif dapat meningkatkan komitmen organisasi pada


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang hubungan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi, menunjukkan adanya hubungan yang positif antara persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dengan komitmen organisasi. Artinya, persepsi karyawan tentang gaya kepemimpinan yang partisipatif semakin baik, maka komitmen organisasi karyawan juga akan semakin baik, sebaliknya jika persepsi karyawan tentang gaya kepemimpinan partisipatif buruk, maka komitmen organisasi karyawan akan rendah.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang perlu dipertimbangkan oleh beberapa pihak berkaitan dengan persepsi gaya kepemimpinan partisipatif dan komitmen organisasi. 1. Saran untuk perusahaan

Pimpinan perlu lebih meningkatkan kualitas keputusan-keputusan dengan menarik pengetahuan dan keahlian para bawahan dalam pemecahan masalah bila para karyawan mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai pimpinan tersebut dan bersedia untuk kerja sama dalam mencari suatu pemecahan yang baik untuk suatu masalah keputusan.


(3)

79

2. Saran untuk peneliti selanjutnya:

Untuk peneliti selanjutnya, uji coba (try out) skala sebaiknya dilaksanakan sebelum dijadikan alat ukur sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan alat ukur yang diberikan lebih dapat diandalkan kevalidan dan reliabilitasnya. Untuk itu, disarankan mencari populasi yang cukup untuk uji coba dan pengukuran sebenarnya. Responden selalu didampingi saat pengisian skala, baik ketika uji coba maupun pengukuran sebenarnya. Sehingga responden dapat lebih mudah memahami instruksi atau pertanyaan yang dimaksud dalam form data demografis dan skala.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Allen, N.J., & Meyer, J.P. (1990). “The Measurement and Antecedents of

Affective, Continuance and Normative Commitment to the

Organization”, Journal of Occupational Psychology, Vol. 63, pp. 1-18

Arikunto, S. (2005). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta Penerbit Rineka Cipta.

Arishanti, K. I. (2007). Budaya Organisasi, Komitmen Organisasional, dan Kepuasan Kerja Karyawan. Jurnal Psikologi Volume 1. No. 1 hlm. 25-32 Armstrong, M. (2003). How to be An Even Better Manager. Batam: Binarupa

Aksara

Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bell, C., & Mjoli, T., (2014). The Effects of Participative Leadership on

Organizational Commitment: Comparing Its Effects on Two Gender Groups Among Bank Clerks. Academic Journals – African Journal of Business Management. Vol. 8 No. 12 Hlm. 451-459.

Bell., C., Chan, M., & Nel, P., (2014). The Impact of Participative and Directive Leadership on Organizational Culture: An Organizational Development Perspective. Mediterranean Journal of Social Science Vol. 5 No. 23, Hlm. 1970-1985

Budiyanto, M.A., (2014). Perbedaan Komitmen Organisasi antara Karyawan Tetap dengan Karyawan Kontrak. Skripsi.

Dani, A.K., (2016). Hubungan Komunikasi Organisasi dan Komitmen Organisasi dengan Manajemen Konflik pada Guru di Sekolah Islam Bunga Bangsa Samarinda. eJournal Psikologi Vol. 4 No. 2Hlm. 189-199

Hill, T & Carol SJ. 1997. Organizational Theory and Management: A Macro Approach, John Wiley and Sons Inc, New York.

House, R.J. (1971). A Path Goal Theory of Leader Eectiveness. Journal of Administrative Science Quarterly, 16, hlm. 321-338.

Huang, S., Iun, J., Liu, A., & Gong, Y., (2010). Does Participative Leadership Enhance Work Performance by Including Empowerment or Trust? The Differential Effects on Managerial and Non-Managerial Subordinates.

Journal of Organizational Behavior 31, Hlm. 122-143.

Irwanto, Drs., (2002) Psikologi Umum: Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: PT. Prenhallindo.


(5)

81

Jaros, S. (2007). Meyer and Allen Model of Organizational Commitment: Measurement Issues. The ICFAI Journal of Organizational Behavior,

Vol. VI, No. 4, 2007. Hlm. 7-25

Kumandang, M.E.S., (2016). Hubungan Antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Partisipatif dengan Kinerja Karyawan di PT. Tirta Madu. Skripsi.

Kushariyanti, A. (2007). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah dengan Komiten Afektif Terhadap Organisasi Pada Guru SMU Negeri di Semarang. Skripsi.

Luthan, F. (2006). Organizational Behavior 10th Ed. Edisi Bahasa Indonesia Yogyakarta: ANDI

McShane S.L., & Glinow, M.A., (2005). Organizational Behavior. 3rd Ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Meyer, J., and Allen, N., (1997), “Commitment in the Workplace: Theory,

Research, and Application”, Sage Publications, Inc.

Mowday, R.T., Steers, M., & Porter, L.W. (1979). The Measurement of Organizational Commitment. Journal of Vocational Behavior 14. Hlm. 224-247

Nawawi, H., (2006). Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Cet.II Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Novianti, Puri. 2011. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Kayawan Yayasan X. Skripsi.

Pegg, M. & Suyoko, A., (1994). Kepemimpinan Positif. Terjemahan. Cet. I Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo

Pramadani, A.B. 2012. Hubungan antara Komitmen Organisasi dengan Kesiapan Kerja untuk Berubah pada Karyawan Devisi Enterprise Service (DES Telkom Ketintang Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 1 No. 03, Desember 2012. Hlm. 112-119.

Priatna, A. & Nasution, H.M. 2015. Hubungan Gaya Kepemimpinan Partisipatif dengan Kinerja Karyawan pada PT. Tiratama Elpindo. Jurnal JIMFE

Vol. 1 No. 2 Tahun 2015, Hlm. 68-78.

Priyono & Marnis, (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Sidoarjo: Zifatama Publisher

Robbins, S. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Rukmana, S.H., (2016). Hubungan Gaya Kepemimpinan Partisipatif Terhadap Work Engagement Pada Karyawan. Skripsi.


(6)

82

Sarwono, S.W. (2011). Teori-teori Psikologi Sosial. Ed. Revisi, Cet. 15. Jakarta: Rajawali Pers.

Soeyitno, A.H. (2013). Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Gaya Kepemimpinan Partisipatif Atasan Dengan Kinerja Karyawan di RS MUI Rahayu Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi. Vol.2 No.2 Hlm. 111-117.

Starnes, B.J., & Truhon, S. (2016). A Primer on Organizational Commitment. Milwaukee, WI: Human Development and Leadership Division, (ASQ) American Society for Quality

Suad, H. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi

Sujak, A., (1990). Kepemimpinan Manajer. Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: CV. Rajawali Sutikno, R.B., (2007). The Power of Empathy in Leadership. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama

Suyasa, P., Coawanta J.A., (2004). Sikap Terhadap Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi. Jurnal Psikologi Vol.2 No.1, Juni 2004

Vries, R.E., Pathak, R.D., & Paquin A.R., (2010). The Paradox of Power Sharing: Participative Charismatic Leaders Have Subordinates with More Instead

of Less Need for Leadership. European Journal of Work and

Organizational Psychology, Vol. 1, No. 1, Hlm. 1-26

Vroom & Jago. 2007. The Role of the Situation in Leadership, American Psychology Association, Vol. 62, No. 1, 17-24

Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta

Widyastuti, E., Manara M.U., Dhiu L., Melinda S.P. & Sari R.K. (2014). Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi Terhadap Komitmen Organisasi. Jurnal Psikologi Tabularasa Vol. 9 No. 1, April 2014. Hlm. 66-76

Yukl, Gary A. (2010). Kepemimpinan dalam Organisasi, Edisi Indonesia. Jakarta: PT. Indeks.