EFEKTIVITAS TEKNIK MODELING DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL FITHRAH SURABAYA.

(1)

EFEKTIVITAS TEKNIK MODELING DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN ASSALAFI

AL-FITHRAH SURABAYA SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

(S.Sos)

Oleh:

MUHAMMAD WILDAN ROMDHONI NIM: B53213058

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

JURUSAN DAKWAH

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 2017


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi ini ditulis oleh:

Nama : Muhammad Wildan Romdhoni

NIM : B53213058

Judul : Efektivitas Teknik Modeling Dalam Meningkatkan Rasa Percaya

Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.

Surabaya, 25 Januari 2017 Dosen Pembimbing,

Dr. H. Abd. Syakur, M.Ag NIP. 196607042003021001


(3)

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi oleh Muhammad Wildan Romdhoni ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi

Surabaya, 8 Februari 2017 Mengesahkan,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Dekan,

Dr. Hj. Rr. Suhartini, M.Si NIP. 196004121994031001

Penguji I,

Dr. H. Abd. Syakur, M.Ag NIP. 196607042003021001

Penguji II,

Dr. Hj. Sri Astutik, M.Si NIP. 195902051986032004

Penguji III,

Yusria Ningsih, S.Ag, M.Kes NIP. 197605182007012022

Penguji IV,

Mohamad Thohir, S.Pd.I, M.Pd.I NIP. 197905172009011007


(4)

PERNYATAAN OTENTISITAS PENULISAN SKRIPSI

Bismillahirrahmanirrahim

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Muhammad Wildan Romdhoni

NIM. : B53213058

Program Studi : Bimbingan dan Konseling Islam

Alamat : Kampung Cisoka, RT/RW 008/002 Desa Cikawung, Kec. Pancatengah, Kab, Tasikmalaya, Jawa Barat

Judul : “Efektivitas Teknik Modeling Dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya”

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa:

1. Skripsi ini tidak pernah dikumpulkan kepada lembaga pendidikan tinggi manapun untuk mendapatkan gelar akademik apapun.

2. Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya secara mandiri dan bukan merupakan hasil plagiasi atas karya orang lain.

3. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini sebagai hasil plagiasi, saya akan bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang berlaku.

Surabaya, 25 Januari 2017 Yang menyatakan,


(5)

(6)

ABSTRAK

Muhammad Wildan Romdhoni (B53213058), Efektivitas Teknik Modeling Dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana efektivitas teknik modeling dalam meningkatkan rasa percaya diri santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan proses

treatment dengan menggunakan tahapan Pendekatan Behavioral. Sementara untuk membuktikan apakah teknik modeling efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum, maka peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan bentuk pretest-posttest control group design yang berfungsi untuk mengungkap hasil dari semua data dan fakta yang telah diperoleh selama penelitian ini berlangsung.

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah, teknik modeling (variabel bebas), dan rasa percaya diri saat berbicara di depan umum (variabel terikat).

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah santri kelas isti’dad ‘ulya A dan B yang terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kontrol dengan jumlah total 60 santri. Sementara metode pengumpulan data yang dipilih oleh peneliti adalah berupa interview, angket dan dokumentasi.

Untuk menguji apakah teknik modeling efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum, maka peneliti menguji hasil

pretest dan posttest dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menggunakan rumus uji independent sample t-test.

Hasil pengujian tes tersebut menunjukan bahwa teknik modeling efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN OTENTISITAS PENULISAN SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 8

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 9

3. Variabel dan Indokator Penelitian ... 11

4. Definisi Operasional ... 13

5. Teknik Pengumpulan Data ... 17

6. Teknik Analisis Data ... 19

G. Sistematika Pembahasan... 20

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Teknik Modeling ... 22

1. Pengertian Teknik Modeling ... 22

2. Teknik Modeling dalam Islam ... 24

3. Tujuan Teknik Modeling ... 26

4. Macam-macam Teknik Modeling ... 27

5. Langkah-langkah dalam Teknik Modeling ... 30

B. Tinjauan Tentang Rasa Percaya Diri ... 35

1. Pengertian Rasa Percaya Diri ... 35

2. Jenis-jenis Rasa Percaya Diri ... 38

3. Karakteristik Rasa Percaya Diri ... 39

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri ... 42

C. Tinjauan Tentang Berbicara di Depan Umum ... 48

1. Pengertian dan Prinsip Berbicara di Depan Umum ... 48

2. Tahapan Berbicara di Depan Umum ... 49

D. Tinjauan Tentang Rasa Percaya Diri Saat Berbicara di Depan Umum ... 51


(8)

E. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 52

F. Hipotesis Penelitian ... 55

BAB III: PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah ... 57

1. Profil Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah ... 57

2. Visi dan Misi Pondok Pesantren ... 58

3. Gambaran Umum Geografis ... 59

4. Data Pendidik ... 59

5. Unit Pendidikan ... 60

6. Jumlah Santri ... 61

7. Kegiatan-kegiatan Pesantren ... 61

8. Kegiatan Ekstrakulikuler ... 63

B. Deskripsi Penilaian, Indikator, dan Responden ... 63

1. Penilaian Angket... 64

2. Aspek dan Indikator Angket ... 64

3. Responden Teknik Modeling dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri Saat Berbicara di depan Umum ... 66

C. Deskripsi Hasil Penelitian ... 68

1. Proses Teknik Modeling dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 69

2. Efektivitas Teknik Modeling dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 77

3. Uji Keabsahan Instrumen ... 80

4. Pengujian Hipotesis ... 83

BAB IV: ANALISIS DATA A. Analisis Tahap Pertama ... 85

1. Analisis Statistik Deskriptif ... 85

2. Uji Normalitas ... 87

3. Uji Hipotesis ... 89

B. Analisis Tahap Kedua ... 91

1. Analisis Statistik Deskriptif ... 92

2. Uji Normalitas ... 94

3. Uji Hipotesis ... 95

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 98

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah saat ini menuntut siswa untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah

dan tentu akan sangat bermanfa’at bagi siswa itu sendiri. Salah satu karakter baik yang diharapkan ada pada setiap pelajar dan siswa di seluruh pelosok negeri adalah karakter percaya diri.

Begitulah adanya, kegiatan belajar mengajar yang ada di setiap sekolah mulai dari sekolah paling dasar hingga paling tinggi, mempunyai tujuan untuk membantu siswa tumbuh dan berkembang serta menemukan jati dirinya di dalam setiap tahap perkembangannya mulai dari anak-anak hingga dewasa. Tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam berbagai aspek kepribadian yang ada, sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang baik pada diri siswa dan menjadikannya pribadi yang mampu berdiri sendiri di dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun di tengah-tengah masyarakat.2

Percaya diri adalah sikap yang dapat ditumbuhkn dari sikap sanggup berdiri sendiri, sanggup untuk menguasai diri sendiri dan bebas dari pengendalian orang lain dan bagaimana seseorang menilai diri sendiri sama

2


(10)

2

seperti orang lain menilai dirinya, sehingga ia akan merasa mampu menghadapi situasi apapun.3

Rasa percaya diri pada seseorang akan menentukan bagaimana dia menilai dan menghargai dirinya. Tingkat kebijaksanaan dalam mengambil keputusan juga akan mempengaruhi apakah seseorang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi atau rendah dalam dirinya.4

Percaya diri menjadi hal yang sangat esensial yang harus ada pada diri sesorang. Bergitu pentingnya rasa percaya diri sampai banyak motivator dan penulis buku terkenal menyatakan bahwa rasa percaya diri merupakan salah satu hal esensial yang diperlukan seseorang untuk meraih kebahagiaan yang dengan kebahagiaan itu seseorang dapat mencapai kesuksesan adalah kepercayaan diri.5

Lembaga pendidikan formal maupun informal merupakan salah satu sarana penting demi berlangsungnya pendidikan karakter yang baik sesuai yang diharapkan pemerintah. Selain lingkungan keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi individu untuk belajar, sekolah adalah tempat pertama dan utama untuk melanjutkan pendidikan yang telah dimulai oleh orang tua dalam lingkungan keluarga.

Masa anak-anak adalah masa yang tepat untuk bersekolah dan belajar berkarakter. Terutama pelajar pada sekolah menengah atas (SMA) yang notabene termasuk dalam kategori remaja yang sangat rentan terhadap

3

Agus Suyatno, Pendidikan yang Efektif yang Dapat Dilakukan Oleh Keluarga, (Surabaya:

Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1987), hal. 41 4

M. Nur Ghufron & Rini Risnawati S, Teori-Teori Psikologi, (Jogjakarta: Ar-Ruz

Media, 2012), hal.34 5


(11)

3

berbagai masalah, menjadi sasaran utama pendidikan karakter yang baik. Menurut Hurlock, “masa remaja dikatakan sebagai masa transisi karena belum mempunyai pegangan, sementara kepribadiannya masih mengalami perkembangan, remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisiknya. Remaja masih labil dan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya”.6 Meski demikian tidak semua remaja, khususnya yang menjadi pelajar di sekolah menengah atas, dapat melawati masa remajanya sesuai dengan aturan dan tugas perkembangan yang di emban, dapat mencapai tujuan yang diharapkan, serta dapat memenuhi harapan banyak orang termasuk keluarga. Ada banyak sekali remaja yang bisa dibilang menemui kegagalan dalam menjalani masa remajanya, tidak bisa memenuhi dan melaksanakan tugas perkembangannya sebagai seorang remaja, dan bahkan menjadi cemoohan orang lain atas pencapaian buruknya.

Salah satu masalah yang sering dialami remaja adalah kurangnya rasa percaya diri terutama dalam menampilkan diri di depan umum. Hal ini seringkali berdampak negatif terhadap dirinya karena dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan kepribadian remaja tersebut. Ditandai dengan kurang bisa bersosialisasi dan tidak yakin dengan dirinya sendiri, sehingga mengabaikan kehidupan sosialnya. Seringkali tampak murung dan depresi, sikap pasrah pada kegagalan, dan memandang masa depan dengan tatapan yang suram.

6

Elizabeth. B. Hurlock, Pisikologi Perkembangan Sutau Pendekatan Sepanjang Rentang


(12)

4

Sebagai salah satu lembaga pendidikan formal, Pendidikan Diniyah Formal (PDF) Ulya Al-Fithrah Surabaya merupakan sekolah Islam unggulan di daerah Surabaya dan tercatat sebagai bagian dari Yayasan Podok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Dengan jumlah santri yang sangat banyak, PDF Ulya Al-Fithrah sangat memperhatikan perkembangan anak didiknya serta memberikan pendidikan yang cukup dan proporsional. Berbagai bidang ilmu diajarkan semaksimal mungkin, seperti ilmu bahasa, ilmu sosial terutama ilmu-ilmu agama yang menjadi dasar dan pelajaran wajib. Tidak hanya itu, PDF Ulya Al-Fithrah juga mendidik dan menanamkan karakter baik dalam diri anak didiknya, salah satunya adalah rasa percaya diri.

Upaya PDF Ulya Al-Fithrah dalam meningkatkan rasa percaya diri yang menjadi hal esensial yang harus dimiliki santri adalah dengan melatih santri berbicara di depan umum melalui kegiatan ekstrakulikuler bahasa yang terbagi ke dalam dua bagian yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang dinaungi langsung oleh Yayasan Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah. Salah satu skil berbahasa yang dikembangkan pada ekstrakulikuler bahasa ini adalah latihan pidato (public speaking dalam Bahasa Inggris, dan muhadharah dalam Bahasa Arab).

Kegiatan ekstrakulikuler bahasa ini rutin di dilaksanakan setiap minggu pada hari Senin sampai Kamis pada siang sampai sore hari selama 2 x 35 menit per hari. Untuk ekstrakulikuler Bahasa Inggris terbagi menjadi lima kelas yaitu pengembangan skil public speaking tiga kelas (speech, story


(13)

5

telling, dan master of ceremony) dan garammar 2 kelas (elementary dan

intermediate).7

Meski demikian, kegiatan ekstrakulikuler bahasa yang diadakan empat hari setiap minggu ini terbilang kurang efisien mengingat jumlah santri yang begitu banyak sehingga tidak semua santri dapat mengikuti ekstrakulikuler bahasa yang mengakibatkan hanya sedikit dari sekian banyak santri yang dapat melatih skil bahasanya khususnya dalam berbicara. Hal ini dikarenakan minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam berbahasa serta tidak adanya ruanan tetap untuk kegiatan ekstrakulikuler bahasa, sehingga mengakibatkan terbatasnya santri yang diterima untuk mengikuti ekstrakulikuler bahasa.8

Fenomena ini berdampak pada kurangnya rasa percaya diri dan skil berbicara di depan umum santri, seperti yang dirasakan oleh santri kelas

Isti’dad Ulya. Kelas Isti’dad Ulya merupakan kelas persiapan menuju PDF Ulya Al-Fithrah namun tetap di bawah naungan PDF Ulya Al-Fithrah. Dari 80

santri kelas Isti’dad Ulya, hanya empat sampai lima orang santri yang mengikuti ekstrakulikuler bahasa, hal ini dikarenakan kurangnya minat santri serta terbatasnya santri yang dapat diterima ekstrakulikuler bahasa.9

Salah satu penyebab kurangnya rasa percaya diri santri ketika berbicara di depan umum pada santri kelas Isti’dad Ulya A dan B adalah semua santri kelas tersebut masih termasuk santri baru yang masih dalam tahap adaptasi

7

Lihat Lampiran 2, Hasil Wawancara dengan Ust. Syamsul Arifin S.Ud (PJ Ekstrakulikuler Bahasa Inggris), pada tanggal 11 Januari 2017 di Kantor Tata Usaha Ma’had ‘Ali Al-Fithrah

8

Lihat Lampiran 2, Hasil Wawancara dengan Ust. Abdullah S.Ud (PJ Ekstrakulikuler), pada tanggal 11 Januari 2017 di Kantor PDF Ulya Al-Fithrah

9

Lihat Lampiran 2, Hasil Wawancara dengan Ust. Hermansyah S.Ud (PJ Kelas Isti’dad),


(14)

6

dengan lingkungan pesantren serta kurangnya minat dan keberanian mereka untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler terutama ekstrakulikuler Bahasa.

Tidak hanya itu, dalam kesehariannya santri di kelas Isti’dad Ulya memang kurang aktif dalam mengikuti pelajaran, banyak yang masih bermalas-malasan dalam belajar apalagi ketika tidak ada guru mereka pasti tertidur, dan masih sedikitnya respon yang baik ketika ditanya oleh ustadz dalam kegiatan belajar mengajar maupun diminta untuk memprsentasikan pelajarannya.

Dalam hal ini, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa percaya diri santri, salah satunya adalah dengan melakukan sesi konseling dengan berbagai pendekatan dan teknik yang bisa digunakan. Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam sesi konseling adalah teknik modeling.

Teknik modeling adalah teknik konseling dalam pendekatan behavioral yang berakar dari teori Albert Bandura dalam teori belajar sosial, yaitu teknik untuk merubah, menambah maupun mengurangi tingkah laku individu dengan belajar melalui observasi langsung (observational learning) untuk meniru perilaku orang maupun tokoh yang ditiru (model) sehingga individu memperoleh tingkah laku baru yang diinginkan.10

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna membantu pihak PDF Ulya Al-Fithrah untuk meningkatkan rasa percaya diri santri khususnya di kelas Isti’dad Ulya, dengan melakukan

10

Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Prespektif Islam, (Jakarta:


(15)

7

treatment konseling menggunakan teknik modeling. Maka peneliti selanjutnya akan melakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Teknik Modeling dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah teknik modeling efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat keefektivan teknik modeling dalam meningkatkan rasa percaya diri santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritik

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih wawasan, pemikiran, serta masukan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan mengenai teknik modeling dalam meningkatkan rasa percaya diri pada santri atau pelajar.

b. Sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian sejenis yang dilakukan di masa yang mendatang.


(16)

8

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan pertimbangan bagi pendidik, guru, maupun konselor khususnya dalam mendidik dan mengasuh santri-siswinya di sekolah.

b. Menjadi rujukan bagi santri maupun remaja yang mengalami kesulitan dalam meningkatkan rasa percaya dirinya.

c. Bagi Guru BK dan Konselor

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam penyempurnaan konsep maupun implementasi praktik konseling dengan menggunakan teknik modeling sebagai upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri santri atau remaja pada umumnya.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan memakai jenis desain penelitian eksperimen murni (true experimental design). Dalam desain ini peneliti dapat megontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas internal (kualitas pelaksanaan rancangan penelitian) dapat menjadi tinggi.

Bentuk desain eksperimen murni yang dipakai peneliti adalah

pretest-posttest control group design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang anggotanya diambil secara acak. Kelompok pertama disebut kelompok eksperimen yang anggotanya adalah subyek penelitian,


(17)

9

dan yang kedua adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelompok kontrol yang anggotanya diambil secara acak juga namun setara dengan kelompok eksperimen. Kedua kelompok eksperimen dan kontrol diberikan pretest dan posttest namun hanya satu kelompok yang diberikan treatment yaitu kelompok eksperimen.11

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

a. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari subyek/obyek penelitian, wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karasteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti. Populasi menggambarkan berbagai karakteristik subjek penelitian untuk kemudian menentukan pengambilan sampel.12 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka populasi subyek dalam penelitian ini adalah seluruh santri kelas Isti’dad Ulya A dan B Pendidikan Diniyah Formal (PDF) Ulya Al-Fithrah. Jumlah santri kelas Isti’dad Ulya A sebanyak

43 santri dan santri kelas Isti’dad Ulya B sebanyak 37 santri, maka

jumlah total seluruh anggota populasi sebanyak 80 santri. 13

b. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan mampu mewakili populasi dalam penelitian. Apa yang dipelajari dan diteliti

11

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015), hal. 112-113

12

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, hal. 117

13

Lihat Lampiran 3, Absesnsi Santri kelas Isti’dad Ulya A dan B Pendidikan Diniyah Formal Ulya Al-Fithrah tahun ajaran 2016-2017


(18)

10

dari sempel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi yang bersangkutan. Untuk itu sampel yang diambil harus betul-betul representatif.14

Sampel pada penelitian ini berjumlah 60 santri atau 75% dari jumlah populasi yaitu 80 santri dari dua kelas yang berbeda. Alasan peneliti mengambil sampel sebanyak 60 santri, karena teknik sampling

yang dipakai adalah teknik purposive yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu.15 Hal ini dikarenakan tidak semua anggota populasi memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (silahkan lihat penjelasan tentang teknik sampling). Artinya hanya 60 santri yang memenuhi kriteria, sehingga peneliti mengambil sampel hanya 60 santri. Selain menggunakan teknik purposive, pengambilan sampel dilakukan secara proporsional, artinya 30 santri diambil dari kelas

Isti’dad Ulya A dan 30 santri diambil dari kelas Isti’dad Ulya B.

Selanjutnya 30 santri dari setiap kelas tersebut dibagi kembali kedalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan control, sehingga masing-masing kelompok memiliki anggota 30 santri.

c. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dalan penelitian ini dilakukan secara proporsional, artinya sampel yang di ambil sama rata dari setiap kelas yang menjadi subyek penelitian. Kemudian teknik sampling yang dipakai peneliti dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini

14

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, hal. 118

15


(19)

11

menggunakan teknik sampling purposive yang termasuk dalam kelompok nonprobability sampling. Nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Nonprobability sampling dibagi menjadi beberapa teknik, salah satunya adalah sampling purposive yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu.16

Pertimbangan pengambilan sampel tersebut adalah sesuai dengan hasil pengisian angket untuk melihat tingkat rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum. Maka setiap anggota sampel pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki tingkat rasa percaya diri saat berbicara di depan umum yang sama dengan kriteria kelancaran dalam berbicara, penyampaian isi sesuai dengan materi yang disiapkan, tegas dan jelas dalam menyampaikan materi, serta pandangan selalu mengarah kepada auidiensi. Adapun usia dari anggota sampel kedua kelompok relatif sama yatu pada kisaran 15-17 tahun, maka sampel dapat dikatakan homogen.

3. Variabel dan Indikator Penelitian

a. Variabel Penelitian

Menurut Prof. Dr. Sugiono, variabel penelitian adalah suatu atribut atau atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

16

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, hal. 120


(20)

12

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.17 Variabel dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu variabel bebas (x) dan variuabel terikat (y). Dengan demikian, kedua variable dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Variabel bebas (x): teknik modeling

2) Variabel terikat (y): rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum

b. Indikator Penelitian

Dalam hal ini, indikator penelitian ditentukan sesuai dengan sub variabel atau aspek dari variabel terikat. Selanjutnya, peneliti menentukan sub variabel dari percaya diri saat berbicara di depan umum berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik percaya diri yang dikemukakan oleh Fatimah (2006), yaitu (a) percaya pada kompetensi diri, (b) tidak konformis, (c) berani menjadi diri sendiri, (d) memiliki emosi yang stabil, (e) memiliki internal locus of control (otonomi) yang baik, (f) cara pandang positif, dan (g) memiliki harapan yang realistik. Selanjutnya peneliti menentukan indikator penelitian sesuai dengan sub variabel dari percaya diri18, sebagai berikut:

Tabel 1.1 Indikator Penelitian

No Sub Variabel/Aspek Indikator Penelitian

1 Percaya pada kompetensi diri sendiri

Percaya pada kemampuan sendiri

Percaya pada

17

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, hal. 61

18

Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik, (Bandung:


(21)

13

keunggulan/kelebihan sendiri Percaya diri dalam menjalin hubungan sosial

2 Tidak menunjukan sikap

konformis

Teguh pendirian

Dapat diterima oleh orang lain

3 Berani menerima dan

menghadapi penolakan orang lain

Berani menjadi diri sendiri

Tidak mudah terpenaruh

orang lain

4 Memiliki integritas yang

tinggi

Memiliki emosi yang stabil

Memiliki keseimbangan

dalam berfikir 5 Memiliki internal locus of

control (otonomi) yang baik

Mengandalkan usaha sendiri Memiliki pengendalian diri yang baik

6 Memiliki konsep diri yang baik

Memahami lingkungan sosial dengan baik

Memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri dan orang lain

7 Memliki harapan yang

realistik

Memiliki motivasi diri Memiliki cita-cita

Tidak memaksakan kehendak sendiri

4. Definisi Operasional

Definisi operasional perlu dicantumkan untuk menghindari kesalahfahaman dalam penafsiran maksud dan tujuan penelitian serta permasalahan yang dibahas, adapun dalam penelitian ini terdapat dua variabel sesuai judul yang ditentukan pada penelitian ini, maka definisi operasional pada masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

a. Teknik Modeling

Teknik modeling adalah salah satu teknik konseling dalam pendekatan behavioral yang berakar dari teori Albert Bandura dalam


(22)

14

teori belajar sosial19, yaitu teknik untuk merubah, menambah maupun mengurangi tingkah laku individu dengan belajar melalui observasi langsung untuk meniru perilaku orang maupun tokoh yang ditiru (model) sehingga individu memperoleh tingkah laku baru yang diinginkan.20

Menurut Corey, teknik modeling terdiri dari tiga macam yakni

live model, symbolic model, dan multiple model. Adapun teknik modeling yang dipakai dalam penelitian ini adalah symbolic model -atau model simbolis. Dalam model simbolis, model -atau tokoh yang dijadikan model disajikan untuk dilihat, dibaca, didengar dan diperhatikan oleh konseli dalam bentuk tulisan, audio, video, dan film atau slide.21

Dalam penggunaannya pada penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa teknik modeling yang dimaksud peneliti adalah teknik untuk mengubah serta menambah perilaku individu (santri) melalui pengamatan lansung (mempelajari) slide presentasi, penjelasan peneliti, serta video sebagai model simbolis dengan harapan individu dapat memperoleh perilaku baru.

b. Percaya Diri

Percaya diri yaitu keyakinan individu terhadap segala aspek kelebihan dan kompetensi yang dimiliki dan keyakinan tersebut

19

Gantina Komalarasi, Eka Wahyuni, Karsih, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: Indeks,

2011), hal. 176 20

Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Prespektif Islam, hal. 223

21


(23)

15

membuatnya merasa mampu untuk mencapai semua tujuan dalam hidupnya.22

Enung Fatimah mengartikan kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, tetapi rasa percaya diri hanya merujuk pada adanya perasaan yakin mampu, memiliki kompetensi dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.23

Dalam penggunaannya pada penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa percaya diri yang dimaksud peneliti adalah sikap positif individu (santri) yang dengan sikap tersebut membuat dirinya yakin terhadap segala aspek kelebihan dan kompetensi yang dimiliki sehingga mampu mencapai semua tujuan hidupnya.

c. Berbicara di Depan Umum

Berbicara di depan umum didefinisikan sebagai berbicara di depan audiensi yang cukup banyak, biasanya ada 15 orang atau lebih. Sebagai contoh berbicara di depan umu adalah pidato, presentasi, membaca pengumuman atau berita, dan orasi. Ada tiga tujuan pokok

22

Thursam Hakim, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, (Jakarta: Puspa Suara, 2002), hal.

6 23

Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), (Bandung: CV.


(24)

16

dalam berbicara di depan umum, yaitu menyampaikan informasi, mempersuasi atau bersifat mengajak, dan menghibur. 24

Dalam penggunaannya pada penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa berbicara di depan umum yang dimaksud peneliti adalah berbicara di depan audiensi yang cukup banyak dengan tujuan

menyampaikan informasi, mengajak dalam kebaikan, serta

mempresentasikan hasil belajar, seperti pidao dan presentasi. d. Percaya Diri saat Berbicara di Depan Umum

Dalam penggunaannya pada penelitian ini, serta dengan memperhatikan dua pengertian di atas mengenai percaya diri dan berbicara di depan umum, maka dapat diambil kesimpulan bahwa percaya diri saat berbicara di depan umum yang dimaksud peneliti adalah sikap positif seorang individu (santri) sebagai seorang pembicara yang mampu untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun audiensinya, yang ditandai dengan percaya akan kemampuan diri sendiri untuk berbicara dihapadan publik sehingga mampu untuk mencapai tujuan dari pembicaraannya.

Secara umum ciri-ciri dan karakteristik percaya diri yang dikemukakan oleh Fatimah, yaitu (a) percaya pada kompetensi diri, (b) tidak konformis, (c) berani menjadi diri sendiri, (d) memiliki emosi

24

Randy Fujishin, Smart Public Speaker; Seni Berbicara di Muka Umum, (Yogyakarta:


(25)

17

yang stabil, (e) memiliki internal locus of control (otonomi) yang baik, (f) cara pandang positif, dan (g) memiliki harapan yang realistik.25

Akan tetapi sebagaimana temuan data di lapangan, santri yang memiliki kepercayaan diri saat berbicara di depan umum (pidato dan presentasi) ditandai dengan kelancaran dalam berbicara, penyampaian isi sesuai dengan materi yang disiapkan, tegas dan jelas dalam menyampaikan materi, serta pandangan selalu mengarah kepada auidiensi.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian, teknik pengumpulan data merupakan faktor penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang digunakan.

Ada berbagai macam teknik pengumpulan data yang bisa dipakai dalam suatu penelitian pendekatan kuantitatif maupun kualitatif. Ada perbedaan yang signifian antara teknik yang dipakai dalam penelitian pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Khusus untuk penelitian dengan pendekatan kuantitatif, teknik yang dipakai dan menghasilkan instrumen penelitian harus sudah ditentukan di awal sebelum melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, dokumentasi, dan kuesioner (angket).

Peneliti melakukan wawancara dengan subyek penelitian, serta pihak

lain yang terkait seperti guru kelas Ist’dad Ulya, Guru PJ Ekstrakulikuler

25

Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik, (Bandung:


(26)

18

dan lain-lain. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data secara langsung dari sumber-sumber terkait agar mendapat data yang valid

Dokumentasi diperoleh dari dari pihak-pihak sekolah terkait, seperti kepala sekolah untuk memperoleh data tentang sejarah dan perkembangan sekolah, dan tata usaha untuk memperoleh data-data sarana dan prasarana sekolah, keadaan santri dan guru serta masalah-masalah yang berhubungan dengan administrasi sekolah yaitu berupa arsip dan tabel-tabel yang didapat dari kantor PDF Ulya Al-Fithrah.

Selanjutnya kuesioner (angket) adalah teknik pengumpulan data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis yang akan dijawab oleh subyek penelitian.26 Dalam penelitian ini, angket yang digunakan dalam bentuk skala psikologi untuk mengukur variabel terikat (dependen) yaitu skala angket percaya diri karena percaya diri menjadi variabel terikat dalam penelitian ini.

Skala angket percaya diri disusun berdasarkan alternatif jawaban dengan metode skala psikologi yaitu metode yang digunakan untuk mengukur perilaku dengan menyatakan sikap, pendapat, dan persepsi seseorangatau kelompok orang tentang suatu objek sosial.27 Skala angket ini terdiri dari empat alternatif jawaban subyek penelitian, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS.

26

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, hal. 199

27

Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.


(27)

19

Angket disebarkan kepada semua anggota kelompok eksperimen dan kontrol dua kali penyebaran, yaitu saat pretest dan posttest.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan atau data-data yang diperoleh agar dapat dipahami. Data yang diperoleh dari hasil angket, selanjutnya diolah dengan menggunakan rumus statistik deskriptif seperti menghitung mean

(nilai rata-rata), median, modus, mencari deviasi standar (simpangan baku), dan lain-lain.28

Setelah data diolah dengan rumus statistik deskriptif, selanjutnya data diolah dengan rumus statistik inferensi untuk menguji hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini melalui perbandingan dari hasil dua kali analisis. Analisis pertama adalah menguji perbedaan rasa percaya diri awal antara kelompok eksperiment dan kelompok kontrol yaitu dari hasil pretest dengan menggunakan rumus t-test untuk sampel terpisah (independent samples t-test). Rumusnya adalah sebagai berikut:29

t = M − M

√ ∑ xn + n − 2 + ∑ x2 n + n

Keterangan:

Ma dan Mb = mean kelompok a dan b

xa dan xb = deviasi kelompok a dan b

28

Singgih Santoso, Menguasai Statisktik Parametrik Konsep dan Aplikasi dengan SPSS,

(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), hal. 2 29


(28)

20

na dan na = jumlah subyek kelompok a dan b

Analisis kedua adalah untuk menguji hipotesis yang diajukan. Teknik analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut memakai rumus yang sama seperti rumus diatas.

F. Sistematika Pembahasan

Secara substansial isi dari skripsi ini saling memiliki relevansi mulai dari bab pertama sampai dengan bab terakhir. Tujuan adanya penulisan sistematika pembahasan adalah untuk memberikan gambaran alur pembahasan agar pembaca dapat dengan mudah mengetahui dan memahami isi skripsi ini.

Adapun sistematika pembahasan penelitian Efektivitas Teknik Modeling dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN: Bab ini berisi latar belakang mengapa penelitian ini diangkat, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian (meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, populasi, sampel dan teknik sampling, variabel dan indikator penelitian, definisi operasional, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data). Dalam bab ini juga berisi tentang sistematika pembahasan seperti yang anda baca saat ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA: Bab ini berisi kerangka teoritik, yaitu: Tinjauan tentang teknik modeling (meliputi: pengertian teknik modeling, teknik modeling dalam Islam, tujuan teknik modeling, macam-macam teknik modeling, dan langkah-langkah teknik modeling); Tinjauan tentang rasa


(29)

21

percaya diri (meliputi: pengertian rasa percaya diri, jenis-jenis rasa percaya diri, karakteristik rasa percaya diri, dan faktor-faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri); Tinjauan tentang berbicara di depan umum (meliputi: pengertian dan prinsip berbicara di depan umum, tahapan berbicara di depan umum); dan tinjauan tentang rasa percaya diri saat berbicara di depan umum. Bab ini juga berisi tentang hasil penelitian terdahulu yang relevan serta hipotesis penelitian ini.

BAB III PENYAJIAN DATA: Dalam bab ini dibahas mengenai deskripsi umum objek penelitian, deskripsi penilaian, indikator dan responden, serta deskripsi hasil penelitian yang didalamnya membahas tentang deskripsi proses pelaksanaan serta efektivitas teknik modeling dalam meningkatkan rasa percaya diri santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, kemudian membahas tentang uji keabsahan instrumen dan diakhiri dengan pengujian hipotesis.

BAB IV ANALISIS DATA: Bab ini membahas tentang dua tahap analisis data yang masing-masing berisi tentang analisis statistik deskriptif, uji normalitas, dan uji hipotesis.

BAB V PENUTUP: Bab ini berisi kesimpulan yang menyajikan kesimpulan dari rangkaian proses serta efektivitas penelitian sekaligus menjawab rumusan masalah dan saran yang berisi pemberian saran dan rekomendasi dari peneliti kepada instansi, guru dan staf pengajar lainnya, serta santri terkait di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah guna pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian yang lebih maksimal.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Teknik Modeling 1. Pengertian Teknik Modeling

Modeling berakar dari teori Albert Bandura dengan teori belajar sosial. Istilah lain dari modeling adalah observational learning yang dapat diartikan dengan belajar melalui pengamatan. Observational learning

adalah teknik untuk merubah, menambah maupun mengurangi tingkah laku individu dengan belajar melalui observasi langsung untuk meniru perilaku orang maupun tokoh yang ditiru (model) sehingga individu memperoleh tingkah laku baru yang diinginkan.30

Selain itu, teori belajar sosial menjelaskan bahwa orang dapat belajar dengan hanya mengobservasi prilaku orang lain. Orang yang diamati disebut model dan proses pengamatan ini atau proses belajar observasional ini disebut dengan modeling (penokohan).31 Kemampuan kognitif seseorang memungkinkan orang tersebut untuk belajar perilaku kompleks hanya dengan mengamati model yang melakukan perilaku tersebut.

Atas dasar hal tersebut, menurut Bandura belajar bisa diperoleh melalui pengalaman langsung, bisa pula diperoleh secara tidak langsung

30

Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Prespektif Islam, hal. 223

31

Lawrence A. Pervin, Daniel Carvone, Oliver P. Jhon, Psikologi Kepribadian Teori dan


(31)

23

dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensinya.32 Jadi, kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku orang lain yang dijadikan sebagai model. Karena pada dasarnya perilaku manusia merupakan hasil dari proses pembelajaran terhadap objek-objek luar. Pembentukan perilaku merupakan akibat interaksi antara individu dan lingkungan. Stimulus-stimulus yang ada di dalam lingkungan selanjutnya dipelajari melalui proses imitasi. 33 Bandura juga menambahkan bahwa penokohan melibatkan proses-proses kognitif, jadi tidak hanya meniru, lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan tindakan orang lain karena sudah melibatkan perepresentasian informasi secara simbolis dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan.34

Alwisol mengatakan bahwa teknik modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan seorang model (orang lain), tetapi modeling juga melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggenalisir berbagai pengamatan sekaligus, dan melibatkan proses kognitif.35

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknik modeling adalah teknik untuk merubah, menambah maupun mengurangi tingkah laku individu dengan belajar melalui pengamatan secara kognitif terhadap perilaku orang lain (model) sehingga perilaku yang diamati tidak

32

Edi Puwanta, Modifikasi Perilaku Alternative Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 129 33

Herri Zan Pieter, Namora Lumongga Lubis, Pengantar Psikologi untuk Kebidanan,

(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 50 34

Jess Feist, Gregory J. Feist, Teori Kepribadian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hal.

409 35


(32)

24

hanya dapat ditiru tapi juga dapat di analisis dan dapat memilih perilaku mana yang lebih penting untuk dilakukan sekarang maupun disimpan untuk digunakan di masa depan.

2. Teknik Modeling dalam Islam

Metode pembelajaran yang dipakai seseorang khususnya dalam mepelajari agama Islam maupun segala yang terkandung didalamnya sangat beragam. Salah satunya metode tradisi, yang termasuk di dalamnya adalah modeling atau mencontoh perilaku seorang model yang dalam Islam lebih dikenal dengan sebutan meneladani atau dalam bahasa arab diartikan dengan kata amma-yaummu-ummatan yang memiliki arti lain menuju dan menumpu. 36

Al-Qur’an menganalogikan peniruan atau pencontohan perilaku yan dilakukan oleh manusia pada kisah Qabil, yaitu setelah membunuh saudaranya Habil, ia tidak tathu cara mengurus mayatnya, maka Allah SWT mengirim seekor burung gagak untuk memberinya contoh cara mngubur mayat dan Qabil pun mengikutinya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah: 31, yang berbunyi:

ًباَرُغ ُهَٱ َثَعَ بَ ف

ُثَحۡبَ ي

ِف

َيُُِِل ِضۡرَ

ۡۡٱ

ُتۡزَجَعَأ َٰٓتَلۡ يَوَٰي َلاَق ِۚهيِخَأ َةَءۡوَس يِرَٰوُ ي َفۡيَك ۥُه

َنِمِدٰهنلٱ َنِم َحَبۡصَأَف ۖيِخَأ َةَءۡوَس َيِرَٰوُأَف ِباَرُغ

لٱ اَذَٰ َل

ۡ

ۡثِم َنوُكَأ ۡنَأ

١

Artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak

menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat

36

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat,


(33)

25

seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal (QS. Al-Ma’idah: 31).37

Jika seseorang memiliki kecenderungan untuk banyak mempelajari perilaku baik dari kedua orang tuanya maupun orang lain, maka teladan yang baik memiliki peran besar dalam pembelajaran. Seperti yang ada pada diri baginda Rasulullah SAW yang merupakan teladan yang baik bagi umat Islam, terutama bagi para sahabatnya yang secara langsung memperhatikan cara Rasulullah berwudhu, shalat, dan melaksanakan ibadah haji lalu kemudian mempraktekkannya. Tidak hanya cara beribadah beliau, tetapi juga akhlak, perilaku, serta etika yang ada pada diri Rasulullah yang semuanya patut untuk diteladani. 38 Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab: 21, yang berbunyi:

ٌةَنَسَح ٌةَوۡسُأ ِهَٱ ِلوُسَر ِف ۡمُكَل َناَك

ۡدَقهل

نَمِ ل

َناَك

اوُجۡرَ ي

َهَٱ َرَكَذَو َرِخٓ

ۡۡٱ َمۡوَ يۡلٱَو َهَٱ

ًُِثَك

ا

١

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).39

Tidak hanya Rasulullah SAW yang harus diteladani umat Islam, namun juga berbagai pelajaran dan kisah lainnya yang ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah pun harus diteladani bahkan duturuti dengan siakap tunduk

37 Al-Qur’an dan Terjemahnya Mushaf Syahmalnour, (Jakarta: Pustaka al-Mubin, 2013),

hal. 112 38

Muhammad Utsman Najati, Ilmu Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005),

hal. 158


(34)

26

dan patuh, baik ajaran yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, akhlak

maupun mu’amalah.40

Kisah dalam Al-Qur’an (qashash al-Qur’an) maksudnya adalah berita-berita Al-Qur’an mengenai orang-orang terdahulu, baik umat-umat maupun para nabi yang telah lampau. Demikian juga, berita mengenai peristiwa-peristiwa nyata di zaman dahulu, yang memuat pelajaran dan dapat diambil hikmahnya bagi generasi yang datang setelahnya.41

3. Tujuan Teknik Modeling

Menurut Sofyan S. Willis, tujuan dari teknik modeling yang dipakai dalam proses konseling ada dua, yaitu menghilangkan perilaku tertentu, membentuk perilaku baru.42

Namun secara umum, teknik modeling yang digunakan dalam proses konseling memiliki tujuan sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh tingkah laku sosial yang lebih adaptif.

b. Agar Klien bisa belajar sendiri menunjukkan perbuatan yang dikehendaki tanpa harus belajar lewat trial and error.

c. Membantu Klien untuk merespon hal- hal yang baru.

d. Melaksanakan tekun respon- respon yang semula terhambat/ terhalang. e. Mengurangi respon- respon yang tidak layak.

40

Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hal. 17

41 M.H. Ma’rifat,

Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, (Jakarta: Citra,

2013) , hal. 28 42

Sofyan S.Willis, Konseling Individual: Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabeta, 2004), hal. 78


(35)

27

f. Mengatasi gangguan-gangguan keterampilan sosial, gangguan reaksi emosional dan pengendalian diri.

g. Memperoleh tingkah laku yang lebih efektif.

h. Dapat memperoleh keterampilan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.43

Selain itu, Moch. Nursalim juga berpendapat bahwa ada manfa’at

yang diperoleh dari teknik modeling,44 yaitu sebagai berikut:

a. Memperoleh perilaku baru melalui model hidup maupun model simbolik.

b. Menampilkan perilaku yang sudah diperoleh dengan cara yang tepat atau pada saat diharapkan.

c. Mengurangi rasa takut dan cemas. d. Memperoleh keterampilan sosial.

e. Mengubah perilaku verbal dan mengobati kecanduan narkoba.

4. Macam-macam Teknik Modeling

Menurut Gerald Corey, teknik modeling terbagi menjadi 3 macam45, yaitu sebagai berikut:

a. Live Model (model langsung / nyata)

Model langsung adalah prosedur yang digunakan untuk mengajarkan tingkah laku yang dikehendaki atau yang hendak dimiliki

43

Lutfi Fauzan, Teknik Modeling dalam Konseling, 2009,

(https://lutfifauzan.wordpress.com/2009/12/23/teknik-modeling/, diakses pada tanggal 14

November 2015) 44

Moch. Nursalim dkk, Strategi Konseling, (Surabaya: Unesa University Press, 2005), hal.

63 45


(36)

28

oleh konseli melalui contoh langsung dari konselor sendiri, guru, atau teman sebayanya. Dalam hal ini pemberian contoh pada umumnya ditampilkan dalam dua cara, yaitu: pertama konselor sendiri dapat bertindak sebagai model atau kedua teman sebaya atau sahabat konseli dijadikan sebagai model. Dalam hal ini model hendaknya ditampilkan secara terstruktur dengan memperlihatkan perilaku model baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya.

b. Symbolic Model (model simbolis)

Dalam model simbolis, modelnya disajikan dalam bentuk tulisan, audio, video, dan film atau slide. Model-model simbolis dapat dikembangkan untuk konseling perorangan atau kelompok. Modeling simbolis dapat mengajarkan konseli tingkah laku yang sesuai,

mempengaruhi sikap-sikap dan nilai-nilai dan mengajarkan

keterampilan-keterampilan sosial melalui symbol atau gambar dari benda aslinya dan dipertunjukan kepada klien melalui alat perekam seperti tersebut diatas.

Bandura (1965) membuktikan bahwa model-model simbolis telah digunakan dan berhasil dalam berbagai situasi. Salah satunya adalah eksperimen Bandura yang dinamakan Studi Boneka Bobo Klasik. Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan untuk menonton tiga film yang dalam film tersebut terdapat seseorang


(37)

29

(model) sedang memukuli boneka pelastik seukuran boneka seukuran orang dewasa yang dinamakan Boneka Bobo.46

c. Multiple Model (model ganda)

Modeling ganda biasanya dilaksanakan dalam proses konseling kelompok. Seorang anggota dari suatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari suatu sikap atau perilaku yang baru setelah mengamati dan mempelajari bagaimana anggota lain bersikap.47

Modeling ganda dalam konseling kelompok dapat terjadi suatu interaksi timbal balik antara pemimpin kelompok yaitu guru BK atau konselor dan fasilitator dari anggota kelompok atau siswa. Fasilitator (model dalam konseling kelompok) memberikan pengalaman-pengalaman dan emberikan informasi mengenai keterampilannya, perilakunya dan lain sebagainya, sehingga anggota kelompok dapat

memanfa’atkan semua informasi, tanggapan, dan berbagai reaksi dari

siswa lainnya untuk pengembangan diri.48 d. Modeling Kondisioning

Alwisol dalam bukunya yang berjudul Psikologi Perkembangan menambahkan satu jenis modeling yaitu modeling kondisioning. Menurutnya, modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling semacam ini banyak dipakai untuk

46

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 286

47

Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2000) hal. 222

48Inayatul Khafidhoh dkk, “Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Dengan Teknik

Modeling Untuk Meningkatkan Self-Regulated Learning Pada Siswa SMPN 13 Semarang”, Jurnal


(38)

30

mempelajari respon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkah laku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon emosional yang sama di dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya (kondisioning klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek yang menjadi sasaran emosional model yang diamati. Contohnya seperti emosi seksual yang timbul akibat menonton film dewasa dilampiaskan ke obyek yang ada didekatnya saat itu (misalnya misalnya menjadi kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan).49

5. Langkah-langkah dalam Teknik Modeling

Sebelum membahas langkah-langkah yang dipakai dalam penerapan teknik modeling dalam proses konseling, ada suatu catatan dari Albert Bandura yang menyebutkan bahwa ada empat proses yang dapat mempengaruhi belajar observasional (modeling),50 yang penjelasannya adalah sebagai berikut.

a. Proses Atensional

Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan. Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunjukan bahwa hanya yang diamati dan diperhatikan sajalah yang dapat dipelajari.

Pada dasarnya proses atensional adalah proses memperhatikan model dengan seksama. Ada beberapa hal yang membuat sesuatu dapat

49

Alwisol, Psikologi Kepribadian Edisi Revisi, (Malang: UMM Press, 2014), hal. 293

50

B.R. Hergenhahn, Matthew H. Olson, Theories of Learning, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 363


(39)

31

diperhatikan dengan baik, pertama adalah kapasitas sensoris seseorang karena stimuli modeling yang digunakan untuk mengajari orang tunanetra atau tunarungu akan berbeda dengan yang digunakan untuk mengajari orang yang normal penglihatan dan pendengarannya.

Kedua adalah perhatian selektif seseorang bisa dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu. Misalnya, jika perilaku yang lalu yang dipelajari dari hasil observasi terbukti berguna untuk mendapatkan suatu penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan pada situasi modeling berikutnya. Dengan kata lain, penguatan sebelumnya yang dialami pengamat dapat menciptakan tata-situasi perseptual dalam dirinya yang akan mempengaruhi observasi selanjutnya.

Ketiga adalah berbagai karakteristik orang yang dijadikan model juga akan mempengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Riset telah menunjukan bahwa model akan lebih sering diperhatikan jika memiliki kesamaan dengan pengamat seperti kesamaan dalam jenis kelamin, usia, kesenangan, minat, keyakinan, karakter, sikap, selain itu juga orang yang dihormati atau memiliki status tinggi, memiliki kemampuan lebih, dianggap kuat, dan atraktif.

b. Proses Retensional

Proses selanjutnya adalah proses retensional yaitu informasi yang sudah diperoleh dari observasi diingat dan disimpan secara simbolis agar informasi tersbut bisa berguna. Informasi tersebut dapat diingat


(40)

32

dan disimpan dengan melalui dua cara, yang pertama secara imajinal (imajinatif) dan yang kedua secara verbal.

Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi, dan diperkuat beberapa waktu sesudah belaja

observasional terjadi. Simbol-simbol yang disimpan ini

memungkinkan terjadinya delayed modeling atau modeling yang tertunda yaitu kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.

c. Proses Pembentukan Prilaku

Proses yang menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan dan dipraktekkan ke dalam tindakan atau performa, proses ini adalah proses behavioral production process

(proses pembentukan perilaku). Agar seseorang dapat menerjamahkan informasi yang didapatkannya menjadi tindakan atau perilaku maka keadaan orang tersebut harus mendukung misalnya otot yang kuat untuk memanjat tebing karena model yang diamati adalah pemanjat tebing.

Bandura berpendapat bahwa jika seseorang sudah diperlengkapi untuk dapat memberikan respon yang tepat terhadap informasi yang didapatkan dari hasil belajar observasionalnya, dibutuhkan suatu periode rehearsal (latihan repetisi) kgnitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku model. Selama latihan ini individu mengamati perilaku mereka sendiri untuk kemudian membandingkannya dengan


(41)

33

perilaku model, jika masih terdapat perbedaan maka individu dapat mengoreksi perilakunya sendiri sampai ada kesesuaian yang memuaskan antara perilaku pengamat dan model.

d. Proses Motivasional

Proses terkhir yang dapat mempengaruhi proses belajar observasional adalah proses motivasional, yaitu menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang telah dipelajari. Proses ini bisa disebut juga dengan proses penguatan yang bertindak sebagai dorongan.

Menurut Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang diamatinya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif atau motif untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa apa yang sudah dipelajari melalui observasi akan tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alasan untuk menggunakan informasi tersebut.

Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa belajar observasional melibatkan atensi (perhatian), retensi (pengingatan/penyimpanan), kemampuan behavioral dan insentif (motif/alasan). Maka dari itu, jika belajar observasional tidak dapat terjadi pada seseorang, hal itu bisa diakibatkan dari pengamat tidak mengamati aktivitas model yang relevan, tidak


(42)

34

mengingatnya, serta tidak dapat melakukannya, atau karena tidak memiliki insentif yang pas untuk melakukannya.

Selanjutnya, ada beberapa langkah yang harus dilalui ketika teknik modeling digunakan dalam proses konseling agar teknik tersebut dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan harapan,51 yaitu sebagai beriku: a. Menetapkan bentuk modeling yang akan dipakai (live model, symbolic

model, dll).

b. Untuk live model, piliha teman yang merupakan sahabat dekat atau teman sebaya konseli yang memiliki kesamaan seperti usia, status ekonomi, dan penampilan fisik. Hal ini sangat penting terutama bagi anak-anak.

c. Bila mungkin, akan lebih baik untuk menggunakan lebih dari satu model.

d. Kompleksitas perilaku yang di jadikan model harus sesuai dengan tingkat perilaku konseli.

e. Kombinasikan modeling dengan aturan, instruksi, behavioral rehearsal, dan penguatan.

f. Pada saat konseli memperhatikan penampilan tokoh, berikan penguatan alamiah kepada konseli.

g. Bila mungkin, buat desain pelatihan untuk konseli menirukan model secara tepat, sehingga akan mengarahkan konseli pada penguatan

51


(43)

35

alamiah. Bila tidak maka buat perencanaan pemberian penguatan untuk setiap peniruan tingkah laku yang tepat.

h. Bila perilaku bersifat kompleks, maka episode modeling dilakukan mulai dari yang paling mudah ke yang lebih sukar.

i. Skenario modeling harus dibuat realistik.

j. Melakukan pemodelan dimana tokoh menunjukan perilaku yang menimbulkan rasa takut bagi konseli (dengan sikap manis, perhatian, bahasa yang lembut, dan perilaku yang menyenangkan konseli).

B. Tinjauan Tentang Rasa Percaya Diri 1. Pengertian Rasa Percaya Diri

Konsep percaya diri pada dasarnya merupakan suatu keyakinan untuk menjalani kehidupan, mempertimbangkan pilihan dan membuat keputusan sendiri pada diri sendiri bahwa ia mampu untuk melakukan sesuatu.52 Artinya keyakinan dan percaya diri hanya timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu yang memang mampu dilakukanya. Pada dasarnya seseorang merasa puas pada dirinya sendiri hanya pada saat melakukan suatu kegiatan, pekerjaan atau menyalurkan kemampuanya. Banyak hal yang dapat dilakukan dan banyak juga kemampuan yang dapat dikuasai seseorang dalam hidupnya. Tetapi jika hanya percaya diri pada hal-hal tersebut maka seseorang tidak akan pernah menjadi orang yang betul-betul percaya diri. Hal ini karena orang tersebut hanya akan percaya diri terhadap hal-hal yang

52 Kadek Suhardita, “Efektivitas Penggunaan Teknik Permainan Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa”, Edisi Khusus, No 1 (Agustus, 2011), hal. 130


(44)

36

berkaitan dengan apa yang dilakukan dan beberapa keterampilan tertentu saja yang dikuasai.

Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup dan berhubungan dengan kemampuan melakukan sesuatu dengan baik. Dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada dalam dirinya.

Percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa ketika seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang akan dilakukan. Artinya keputusan untuk melakukan sesuatu dan sesuatu yang dilakukan itu bermakna bagi kehidupannya. Jika seseorang memiliki percaya diri di dalam arena sosial, maka akan menjadi tidak gelisah dan lebih nyaman dengan dirinya sendiri serta mampu mengembangkan prilaku dalam situasi social.53

Selain itu, menurut Al Uqshari (2005) percaya diri adalah salah satu kunci kesuksesan hidup individu. Karena tanpa adanya rasa percaya diri, individu tidak akan sukses dalam berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, tanpa adanya rasa percaya diri, individu niscaya tidak akan bisa mencapai keinginan yang diidam – idamkan. Karena pada prinsipnya rasa percaya diri secara alami bisa memberikan individu efektifitas kerja, kesehatan lahir batin, kecerdasan, keberanian, daya kreatifitas, jiwa petualang, kemampuan mengambil keputusan yang tepat, kontrol diri,

53

Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil), (Padang: Ghalia Indonesia, 1995), hal. 1


(45)

37

kematangan etika, rendah hati, toleran, rasa puas dalam diri maupun jiwa, serta ketenangan jiwa.54

Enung Fatimah mengartikan kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, tetapi rasa percaya diri hanya merujuk pada adanya perasaan yakin mampu, memiliki kompetensi dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.55

Menurut Barbara De Angelis (1997), percaya diri adalah sesuatu yang harus mampu menyalurkan segala yang kita ketahui dan segala yang kita kerjakan. Percaya diri atau keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri.56

Thursam Hakim mengartikan percaya diri sebagai keyakinan individu terhadap segala aspek kelebihan dan kompetensi yang dimiliki

54

Yusuf Al-Uqshari, Percaya Diri, Pasti, (Jakarta: Gema insani Press, 2005), hal. 6 55

Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), (Bandung: CV.

Pustaka Setia, 2006), hal. 149 56

Barbara De Angelis, Confidence, Percaya Diri Sumber Sukses dan Kemandirian,


(46)

38

dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk mencapai semua tujuan dalam hidupnya.57

Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa rasa percaya diri adalah sikap positif seorang individu yang mampu untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, yang ditandai dengan percaya akan kemampuan diri sendiri dan berani menjadi diri sendiri sehingga membuatnya merasa mampu untuk mencapai semua tujuan dalam hidupnya.

2. Jenis-Jenis Rasa Percaya Diri

Barbara De Angelis (2003) menyebutkan bahwa ada tiga jenis kepercayaan diri yang perlu dikembangkan pada individu, yaitu berkenaan dengan tingkah laku, emosi, dan spiritualitas. Pertama kepercayaan diri tingkah laku, yaitu kepercayaan diri untuk mampu bertindak dan mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan maupun tugas sederhana lainnya seperti mengembalikan barang yang dipinjam tepat waktu, hingga melakukan sesuatu untuk meraih cita-cita.

Kedua kepercayaan diri emosional, yaitu kepercayaan diri untuk mampu menguasai segenap sisi emosi individu, untuk memahami segala yang dirasakan, menggunakan emosi untuk memilih secara tepat, melindungi diri dari sakit hati, atau mengetahui cara bergaul dengan orang lain secara sehat dan langgeng.

57

Thursam Hakim, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, (Jakarta: Puspa Suara, 2002), hal.


(47)

39

Terkahir kepercayaan diri spiritual yang menurut Angelis adalah kepercayaan diri terpenting dari ketiganya. Kepercayaan diri spiritual mencakup keyakinan kepada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta alam semesta, keyakinan terhadap adanya takdir, keyakinan bahwa hidup ini memiliki tujuan yang positif, dan keyakinan bahwa keberadaan seseorang mempunyai mempunyai maka.58

3. Karakteristik Rasa Percaya Diri

Menurut Lauster orang yang memiliki rasa percaya diri yang positif memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Keyakinan akan kemampuan diri, yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa dia mengerti sungguh sungguh akan apa yang dilakukannya.

b. Optimis, yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik

dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan

kemampuannya.

c. Obyektif, yaitu memandang permasalahan atau segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.

d. Bertanggung jawab, yaitu kesediaan seseorang untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.

58

Barbara De Angelis, Confidence, Percaya Diri Sumber Sukses dan Kemandirian, hal.


(48)

40

e. Rasional dan realistis, yaitu analisa terhadap suatu masalah, suatu hal, maupun sesuatu kejadian dengan mengunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.59

Sedangkan menurut M. Scott Peck kepercayaan diri diartikan dalam dua bentuk, pertama adalah komponen batin, yang termasuk komponen batin adalah cinta diri, pemahaman diri, tujuan yang jelas, dan pemikiran yang positif. Kedua adalah komponen lahir, yang termasuk ke dalamnya adalah komunikasi, ketegasan, penampilan diri dan pengendalian perasaan.60

Berbeda dari dua pendapat di atas, Enung Fatimah mengemukakan beberapa ciri-ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional adalah sebagai berikut:

a. Percaya akan kemampuan atau kompetensi diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan ataupun hormat dari orang lain.

b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok.

c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri.

d. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil). e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau

kegagalan, bergantung pada usaha sendiri dan tidak mudah menyerah

59

Peter Lauster, Tes Kepribadian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 12- 13

60


(49)

41

pada nasib atau keadaan serta tidak bergantung atau mengharapkan bantuan orang lain).

f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya.

g. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.61

Sejalan dengan itu menurut Misiak dan Sexton, ciri-ciri individu yang mempunyai rasa percaya diri adalah:

a. Merasa optimis, yaitu selalu memandang masa depan dengan harapan yang baik.

b. Bertanggung jawab, yaitu berani mengambil resiko atas keputusan atau tindakan yang menurutnya benar.

c. Bersikap tenang, yaitu yakin akan kemampuan dirinya, tidak cemas atau gugup dalam menghadapi situasi tertentu.

d. Mandiri, tidak suka meminta bantuan atau dukungan kepada pihak lain dalam melakukan sesuatu kegiatan dan tidak tergantung kepada orang lain.

Berbeda dari empat pendapat diatas tentang karakteristik individu yang memiliki rasa percaya diri, sebaliknya Surya menyampaikan ada beberapa gejala seseorang yang tidak atau kurang memiliki rasa percaya diri, yaitu diantaranya cemas, khawatir, tak yakin, tubuh gemetar ketika

61


(50)

42

hendak memulai melakukan sesuatu. Wajah menunjukkan roman tak berdaya dan ketakutan, padahal individu tersebut belum melakukan apa-apa. Jika individu tersebut melakukan sesuatu, sering berhenti di tengah jalan karena rasa tak berdaya yang sedemikian besar sehingga ia mengurungkan niatnya melakukan sesuatu.62

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri

Percaya diri adalah sesuatu yang tidak ternilai. Dengan memiliki percaya diri, seseorang dapat melakukan apa pun dengan keyakinan bahwa itu akan berhasil, apabila ternyata gagal, seseorang tidak lantas putus asa, tetapi tetap masih mempunyai semangat, tetap bersikap realistis, dan kemudian dengan mantap mencoba lagi.63

Namun perlu diketahui bahwa kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas mental, artinya: kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan. Kepercayaan diri dapat dilatih atau dibiasakan. Faktor lingkungan, terutama orang tua dan guru berperan sangat besar dalam membangun kepercayaan diri pada anak.64

Secara umum faktor yang dapat mempengaruhi rasa percaya diri seseorang terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

62

Hendra Surya, Percaya Diri Itu Penting, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007), hal. 1

63

Widarso, Menumbuhkan Percaya Diri Pada Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 2005), hal. 44

64 Inge Pudjiastuti Adywibowo, “Memperkuat Kepercayaan Diri Anak Melalui Percakapan


(51)

43

a. Faktor Internal

1) Konsep diri. Terbentuknya keperayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.

2) Harga diri. Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan. 3) Kondisi fisik. Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada

kepercayaan diri. Penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Lauster (2007:2)

juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat

menyebabkan rasa rendah diri yang jelas. 65

65


(52)

44

4) Pengalaman hidup. Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah yang paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Lebih lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian.

b. Faktor Eksternal

1) Lingkungan Keluarga

Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap manusia, lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan awal rasa percaya diri pada seseorang. Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Berdasarkan pengertian di atas, rasa percaya diri baru bisa tumbuh dan berkembang baik sejak kecil, jika seseorang berada di dalam lingkungan keluarga yang baik, namun sebaliknya jika lingkungan tidak memadai menjadikan individu tersebut untuk percaya diri maka individu tersebut akan kehilangan proses pembelajaran untuk percaya pada dirinya sendiri. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang sangat menentukan baik buruknya kepribadian seseorang.


(53)

45

2) Pendidikan Formal

Sekolah bisa dikatan sebagai lingkungan kedua bagi anak, dimana sekolah merupakan lingkungan yang paling berperan bagi anak setelah lingkungan keluarga di rumah. Sekolah memberikan ruang pada anak untuk mengekpresikan rasa percaya dirinya terhadap teman-teman sebayanya.

Hakim menjelaskan bahwa rasa percaya diri siswa di sekolah bisa dibangunn melalui berbagai macam bentuk kegiatan sebagai berikut:

1) Memupuk keberanian untuk bertanya,

2) Peran guru/pendidik yang aktif bertanya pada siswa, 3) Melatih berdiskusi dan berdebat,

4) Mengerjakan soal di depan kelas,

5) Bersaing dalam mencapai prestasi belajar, 6) Aktif dalam kegiatan pertandingan olah raga, 7) Belajar berpidato,

8) Mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, 9) Penerapan disiplin yang konsisten,

10)Memperluas pergaulan yang sehat dan lain-lain. 3) Pendidikan Non Formal

Salah satu modal utama untuk bisa menjadi seseorang dengan kepribadian yang penuh rasa percaya diri adalah memiliki kelebihan tertentu yang berarti bagi diri sendiri dan orang lain.


(54)

46

Rasa percaya diri akan menjadi lebih mantap jika seseorang memiliki suatu kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum. Kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertnetu bisa didapatkan melalui pendidikan non formal misalnya: mengikuti kursus bahasa asing, jurnalistik, bermain alat musik, seni vokal, keterampilan memasuki dunia kerja (BLK), pendidikan keagamaan dan lain sebagainya. Sebagai penunjang timbulanya rasa percaya diri pada diri individu yang bersangkutan.66

Selanjutnya Angelis juga menyampaikan bahwa ada faktor lain yang dapat mempengaruhi rasa percaya diri seseorang, yaitu sebagai berikut: a. Kemampuan pribadi. Rasa percaya diri hanya timbul pada saat

seseorang mengerjakan sesuatu yang memang mampu dilakukan. b. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan seseorang ketika mendapatkan

apa yang selama ini diharapkan dan cita-citakan akan menperkuat timbulnya rasa percaya diri.

c. Keinginan. Ketika seseorang menghendaki sesuatu maka orang tersebut akan belajar dari kesalahan yang telah diperbuat untuk mendapatkannya.

d. Tekat yang kuat. Rasa percaya diri yang datang ketika seseorang memiliki tekat yang kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.67

Selain itu, Hakim juga menyampaikan bahwa ada proses tertentu di dalam diri seseorang sehingga terjadilah pembentukan kepercayaan diri.

66

Thursam Hakim, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, hal. 121-122

67

Angelis, Strategi Memupuk Rasa Percaya Diri pada Anak Usia Dini, (Jakarta: Jurnal Pendidikan Indonesia, 2007), hal. 4


(1)

98

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada penelitian efektivitas teknik modeling dalam meningkatkan rasa percaya diri santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ini, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan teknik modeling efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum pada

santri kelas Isti’dad Ulya Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Hal ini dibuktikan dengan pengambilan keputusan hipotesis Ha yaitu

teknik modeling efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Pengambilan keputusan ini diberikan atas dasar nilai ttabel pada taraf signifikansi 5% atau 0.05 yaitu 2.002

lebih kecil dari pada nilai thitung yang didapatkan dari hasil penghitungan uji

independent sample t-test pada nilai posttest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu sebesar 3.584. Hal ini menandakan bahwa ada perbedaan rata-rata data hasil posttest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa pemberian treatment berupa teknik modeling cukup memberikan dampak positif bagi santri yaitu meningkatnya rasa percaya diri santri saat berbicara di depan umum yang sebelumnya masih terbilang kurang. Keputusan ini tidak hanya berdasar pada angka yang diperoleh dari penghitungan independent sample t-test namun juga


(2)

99

berdasar pada keberanian dan kemauan santri untuk pidato di akhir pertemuan kedua meskipun memang masih terdapat banyak kekurangan.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian yang cukup panjang ini, ada beberapa hal yang harus disampaikan oleh peneliti dalam bentuk saran kepada beberapa pihak agar penelitian ini menjadi lebih baik dan hasil dari penelitian ini dapat lebih berkontribusi dan bermanfaat bagi semua kalangan yang membutuhkan.

Adapun saran yang perlu disampaikan oleh peneliti sesuai dengan penelitian dan hasil dari penelitian ini antara lain:

1. Bagi para guru, asatidz, dan staf pengajar lainnya di PDF ‘Ulya Al -Fithrah, Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah agar tetap memperhatikan dan memantau perkembangan santri, memberikan kebutuhan santri dalam mengembangkan karakter yang baik seperti rasa percaya diri khususnya saat berbicara di depan umum, dan membantu santri yang belum bisa membangun karakternya. Sebab sekolah terutama pesantren adalah salah satu lembaga yang diharapkan mampu melahirkan individu yang berkarakter serta berbudipekerti luhur.

2. Bagi para santri agar senantiasa melatih diri untuk membangun karakter percaya diri terutama ketika berbicara di depan umum. Hal ini tentu sangat penting mengingat kewajiban setiap umat manusia dalam berdakwah dengan cara berkomunikasi langsung. Di samping itu, peneliti juga menyarankan agar santri melakukan teknik modeling secara mandiri untuk mempelajari dan membangun karakter penting lainnya.


(3)

100

3. Bagi para mahasiswa dan umum agar dapat mengadakan penelitian lanjutan mengenai penerapan teknik modeling maupun teknik-teknik konseling lainnya guna mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu Bimbingan dan Konseling Islam. Selain itu juga dapat mengembangkan penerapan teknik modeling maupun teknik-teknik konseling lainnya dalam membangun tidak hanya karakter percaya diri namun karakter-karakter dan akhlak yang baik lainnya, hal ini tentu sangat penting guna dapat menanamkan karakter baik pada anak-anak kita, siswa-siswi kita, dan remaja untuk bekal mereka dalam menjalani kehidupan.


(4)

101

DAFTAR PUSTAKA

Adywibowo, Inge Pudjiastuti, “Memperkuat Kepercayaan Diri Anak Melalui

Percakapan Referensial”, Jurnal Pendidikan Penabur, No 15 (Desember, 2010)

Al-Uqshari, Yusuf, Percaya Diri, Pasti, Jakarta: Gema insani Press, 2005 Alwisol, Psikologi Kepribadian Edisi Revisi, Malang: UMM Press, 2009 , Psikologi Kepribadian Edisi Revisi, Malang: UMM Press, 2014

Angelis, Barbara De, Confidence, Percaya Diri Sumber Sukses dan Kemandirian, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003

Angelis, Strategi Memupuk Rasa Percaya Diri pada Anak Usia Dini, Jakarta: Jurnal Pendidikan Indonesia, 2007

Azwar, Saifuddin, Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Fatimah, Enung, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Pustaka Setia, 2006

Fauzan, Lutfi, Teknik Modeling dalam Konseling, 2009,

(https://lutfifauzan.wordpress.com/2009/12/23/teknik-modeling/)

Feist, Jess, Gregory J. Feist, Teori Kepribadian, Jakarta: Salemba Humanika, 2011

Fujishin, Randy, Smart Public Speaker; Seni Berbicara di Muka Umum, Yogyakarta: Bookmarks, 2009

Ghufron, M. Nur & Rini Risnawati S, Teori-Teori Psikologi, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012

Gunarsa, Singgih D., Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia, 2000 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research Jilid 4, Yogyakarta: Andi Offset, 1990 Hakim, Thursam, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, Jakarta: Puspa Suara, 2002 Hergenhahn, B.R., Matthew H. Olson, Theories of Learning, Jakarta: Kencana,

2012

Hidayat, Anwar, Pengertian Dan Rumus Uji Saphiro Wilk – Cara Hitung, 2013 (http://www.statistikian.com/2013/01/saphiro-wilk.html)


(5)

102

Hurlock, Elizabeth. B., Pisikologi Perkembangan Sutau Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1980

Khafidhoh, Inayatul, dkk, “Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self-Regulated Learning Pada Siswa

SMPN 13 Semarang”, Jurnal Bimbingan Konseling, Vol 4 No 2 (November, 2015)

Komalarasi, Gantina, Eka Wahyuni, Karsih, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: Indeks, 2011

Lauster, Peter Tes Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara, 2006 , Peter, Tes Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara, 2007

Lindenfield, Gael, Mendidik Anak Agar Percaya Diri, Jakarta: Arcan, 1997

Ma’rifat, M.H., Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, Jakarta: Citra, 2013

Mulyadi, Diagnosis Kesulitan Belajar, Yogyakarta: Nuha Litera, 2010

Najati, Muhammad Utsman, Ilmu Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005

Nursalim, Moch. dkk, Strategi Konseling, Surabaya: Unesa University Press, 2005

Osborne, John W., Kiat Berbicara di Depan Umum Untuk Eksekutif, Jakarta: Bumi Aksara, 1993

Pervin, Lawrence A., Daniel Carvone, Oliver P. Jhon, Psikologi Kepribadian Teori dan Penelitian, Jakarta: Kencana, 2012

Pieter, Herri Zan, Namora Lumongga Lubis, Pengantar Psikologi untuk

Kebidanan, Jakarta: Kencana, 2013

Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil), Padang: Ghalia Indonesia, 1995

Priyanto, Duwi, Mandiri Belajar SPSS, Yogyakarta: MediaKom, 2008

Puwanta, Edi, Modifikasi Perilaku Alternative Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012

Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Jakarta: Rabbani Press, 1997

S.Willis, Sofyan, Konseling Individual: Teori dan Praktek, Bandung: Alfabeta, 2004


(6)

103

Santoso, Singgih, Menguasai Statisktik Parametrik Konsep dan Aplikasi dengan

SPSS, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015

Santrock, John W., Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008

Shaleh, Abdul Rahman, Psikologi Suatu Pengantar dalam Prespektif Islam, Jakarta: Kencana, 2004

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2000

Subini, Nini, You Can Do It, Yogyakarta: Flash Books, 2014

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2015

, Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2012

Suhardita, Kadek, “Efektivitas Penggunaan Teknik Permainan Dalam Bimbingan

Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa”, Edisi Khusus, No 1 (Agustus, 2011)

Surya, Hendra, Percaya Diri Itu Penting, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007

Suyatno, Agus, Pendidikan yang Efektif yang Dapat Dilakukan Oleh Keluarga, Surabaya: Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1987

Syahmalnour, Al-Qur’an dan Terjemahnya Mushaf, Jakarta: Pustaka al-Mubin, 2013

Wesfix, Tim, Percaya Diri itu “Dipraktekin”, Jakarta: PT. Grasindo, 2016 Widarso, Menumbuhkan Percaya Diri Pada Anak, Jakarta: CV. Rajawali, 2005


Dokumen yang terkait

Efektivitas cognitive behaviour therapy dalam meningkatkan self-regulated learning santri kelas isti’dad ulya B (kelas persiapan) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.

1 1 145

Konstruksi pemikiran KH. Achmad Asrori al Ishaqy dalam mengembangkan pendidikan di Pondok Pesantren Assalafi al Fithrah Surabaya.

3 16 143

Majlis Lima Pilar dan eksistensi pondok pesabtren: studi kasus di Pondok Pesantren Assalafi al Fithrah.

0 13 124

EFEKTIVITAS BIMBINGAN KONSELING ISLAM DENGAN KONSEP BUILDING LEARNING POWER DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SANTRI KELAS XB MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL-FITRAH SURABAYA.

0 3 110

BIMBINGAN KONSELING ISLAM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SANTRI PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL FITHRAH SURABAYA.

1 4 114

Strategi Forcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru: studi kasus seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.

0 2 125

IMPLEMENTASI WAZIFAH SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN SIKAP SPIRITUAL SANTRI: STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL FITHRAH SURABAYA.

0 0 103

EFEKTIVITAS TEKNIK MODELING DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL-FITHRAH SURABAYA

0 0 14

SKRIPSI HUBUNGAN SANITASI PONDOK PESANTREN DENGAN KEJADIAN ISPA DI PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL-FITHRAH SURABAYA

0 1 14

KEGIATAN BIMBINGAN KHITHABAH DALAM MEMBENTUK RASA PERCAYA DIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN WALI SONGO KOTABUMI - Raden Intan Repository

0 0 95