Strategi Forcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru: studi kasus seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.
STRATEGIFORCING CONFORMITYUNTUK MENGEMBANGKAN ADAPTASI DIRI SANTRI TERHADAP PERATURAN BARU (Studi Kasus: Seorang Santri MTs Kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi
Al-Fithrah Surabaya)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
FEBRI ZULKARNAIN NIM: B53213049
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Febri Zulkarnain (B53213049), Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)? (2) Bagaimana Hasil Konseling dengan Menggunakan StrategiForcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan jenis studi kasus, dan analisa data deskriptif komparatif. Peneliti melakukan wawancara, mengamati dan mempelajari secara terperinci, mendalam dan menyeluruh terhadap permasalahan adaptasi diri seorang santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah surabaya. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses strategi forcing conformity dalam menangani permasalahan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Adapun untuk mengetahui hasil akhir dari pelaksanaan strategi forcing
conformityini peneliti membandingkan antara teori dengan pelaksanaan pemberian
treatment di lapangan, mengamati dan membandingkan kondisi konseli sebelum
dan sesudah pelaksanaan strategiforcing conformity.
Proses pelaksanaan strategi forcing conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, dilaksanakan melalui tahap identifikasi masalah, diagnosis, prognosis,
treatment, dan evaluasi/follow up. adapun pada proses treatment konselor
menggunakan teknik Reframing (reframing content dan reframing context) dan menggunakan teknikReward and punishmentsebagai penguatan agar konseli bisa berkomitmen dan konsisten dengan perubahan perilaku lebih baik yang terjadi. Hasil akhir dari pemberian treatment ini dapat dinyatakan berhasil dengan prosentase 80%, hasil tersebut dapat dilihat dari perubahan yang ada pada diri konseli. konseli sudah tidak pernah membolos sekolah, konseli tidak lagi berpura-pura sakit dan tidur di kamar, konseli tidak lagi berkeliaran diluar kelas saat pembelajaran berlangsung, dan konseli sudah mau untuk menambal kitabnya.
(7)
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Definisi Operasional ... 11
F. Metode Penelitian ... 13
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 13
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian... 14
3. Jenis Sumber Data... 15
4. Tahap-tahap Peneitian ... 17
5. Teknik Pengumpulan Data... 19
6. Teknik Analisis Data... 21
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 22
G. Sistematika Pembahasan... 23
BAB II: FORCING CONFORMITY, ADAPTASI DIRI, PERATURAN DAN TATA TERTIB A. Forcing Conformity... 25
1. PengertianForcing Conformity... 25
2. StrategiForcing Conformity... 28
3. Teknik-teknik dalam StrategiForcing Conformity... 29
a. Reframing... 29
b. Reward and Punishment ... 33
B. Adaptasi Diri... 43
1. Pengertian Adaptasi Diri ... 43
2. Unsur-unsur Adaptasi Diri ... 45
3. Bentuk-bentuk Adaptasi Diri ... 46
4. Jenis-jenis Adaptasi Diri ... 48
5. Macam-macam Adaptasi Diri ... 50
6. Kriteria Adaptasi Diri... 51
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptasi Diri... 52
(8)
x
1. Pengertian Peraturan ... 53
2. Tata Tertib ... 53
a. Pengertian Tata Tertib... 54
b. Tujuan Tata Tertib... 55
c. Tipe-tipe Kepatuhan Siswa terhadap Tata Tertib.... 56
D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan... 57
BAB III: PENYAJIAN DATA PELAKSANAAN STRATEGI FORCING CONFORMITY UNTUK MENGEMBANGKAN ADAPTASI DIRI SANTRI TERHADAP PERATURAN BARU (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya) A. Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru Assalafi Al Fithrah Surabaya ... 59
1. Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 59
a. Sejarah Berdirinya... 59
b. Jaminan Mutu Lulusan ... 60
c. Visi dan Misi ... 61
d. Struktur Organisasi Lembaga... 61
2. Identitas Konseli... 75
a. Kepribadian Konseli... 76
b. Latar belakang Pendidikan... 77
c. Latar Belakang Agama... 78
d. Latar Belakang Ekonomi... 78
e. Kondisi Sosial dan Budaya ... 79
3. Masalah Adaptasi Diri Konseli ... 79
4. Deskripsi Konselor... 82
a. Biodata Konselor... 82
b. Riwayat Pendidikan Konselor... 83
c. Pengalaman dan Kompetensi Konselor ... 83
B. Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 85
1. Proses Penerapan Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 85
a. Identifikasi Masalah ... 86
b. Diagnosis... 86
c. Prognosis ... 87
d. Treatment ... 88
e. Evaluasi/Follow Up... 96
2. Deskripsi Hasil Akhir Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 97
(9)
xi
BAB IV : ANALISIS DATA
A. Analisis Proses Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan
Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya .. 99 B. Analisis Hasil Akhir Strategi Forcing Conformity untuk
Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan
Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya .. 108
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 108 B. Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengakar di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Pondok pesantren sudah ada sejak lama di Indonesia, bahkan sebelum lembaga pendidikin modern ada. Berdirinya pesantren berawal dari masuknya ajaran Islam ke tanah Indonesia yang
dibawa oleh para da’i, mubaligh dan wali dari luar negeri.
Pondok pesantren merupakan wadah pendidikan yang mempunyai kurikulum dan sistem terbaik. Tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu ukhrawi, pesantren juga mengajarkan ilmu-ilmu duniawi.
Secara etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam pesantren Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar sebagai asrama bagi para santri. Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang berarti tempat santri.2
Sejarah pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari peran para Wali Sembilan atau lebih dikenal dengan Walisongo yang menyebarkan Islam di pulau Jawa pada khususnya. Pada masa Walisongo inilah istilah pondok
2 Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), hal. 80.
(11)
2
pesantren mulai dikenal di Indonesia.3 Ketika itu Sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agam. Padepokan Sunan Ampel inilah yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren yang tersebar di Indonesia.4
Seiring berkembangnya zaman, sudah banyak sekali pesantren-pesantren yang telah berkembang di indonesia. Data Kementerian Agama tahun 2012 misalnya, menunjukan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data 1997, yang tercatat baru sebanyak 4.196 buah. Data saat ini menunjukan setidaknya ada 3.004.807 anak yang tercatat sebagai santri mukim (79,93 %). Sisanya, sebanyak 754.391 untuk santri yang tidak menetap.5
Secara umum, pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni pesantrensalaf(tradisional) dan pesantrenkhalaf(modern). Pembedaan ini didasarkan atas dasar materi-materi yang disampaikan dalam pesantren.
Dalam sistem dan kultur pesantren dilakukan perubahan yang cukup drastis:6 ada beberapa perubahan yang bisa kita lihat di beberapa pondok pesantren yang ada sekarang ini diantaranya yaitu: perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang
3Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, (Pati: Staimafa Press, 2013), hal. 10.
4Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 11.
5 http://ditpdpontren.kemenag.go.id/berita/mengapa-harus-pilih-pendidikan-pesantren-ini-jawabannya/, Diakses pada taggal 11 Oktober 2016.
6 gembelite.blogspot.com/2011/10/ (makalah-perkembangan-pendidikan.html?m=1). Diakses pada tanggal 11 Oktober 2016.
(12)
3
kemudian dikenal dengan istilah madrasah (sekolah), pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab, bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga serta kesenian yang Islami, lulusan pondok pesantren diberikan
syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut. Biasanya
ijazah bernilai sama dengan ijazah negeri, dan lembaga pendidikan tipe universitas sudah mulai didirikan di kalangan pesantren. Melihat kondisi ini mencerminkan bahwa pondok pesantren sudah mulai menerima dan mulai bangkit untuk mengikuti perkembangan zaman atau dalam isitilah lain disebut zaman modernisasi.
Modernisasi dalam pendidikan Islam merupakan pembaharuan yang terjadi dalam pondok pesantren. Setidak-tidaknya dapat menghapus image sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pondok pesantren hanyalah sebagai lembaga pendidikan tradisional. Kini pesantren disamping berkeinginan mencetak para ulama juga bercita-cita melahirkan para ilmuwan sejati yang mampu mengayomi umat dan memajukan bangsa dan negara.
Beranjak dari penjelasan sekilas tentang pondok pesantren mulai dari zaman para walisongo hingga sekarang ini, tentunya banyak hal atau inovasi baru demi mengimbangi pergerakan zaman yang semakin canggih. sehingga menuntut para santri untuk tidak hanya pandai dalam membaca kitab, dan mengaji namun juga harus pandai dalam bidang keilmuan umum.
(13)
4
Salah satu pesantren salaf yang sudah mulai memasukan pelajaran umum adalah pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah didirikan pada tahun 1985 bermula dari kediaman Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. dan musholla. Pada saat itu ikut serta beberapa santri dari pondok Darul `Ubudiyah Jatipurwo Surabaya yang didirikan dan diasuh Hadhratusy Syaikh Al-Arif Billah KH. Muhammad Oetsman Al Ishaqy RA. Pada tahun 1990 datanglah beberapa santri dengan kegiatan ‘Ubudiyah dan mengaji secara sorogan & bandongan di Musholla.
Dalam perkembangannya jumlah anak yang ingin mengaji dan nyantri semakin banyak sehingga pada tahun 1994. Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. Memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren dan mengatur pendidikan secara klasikal.
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah semakin berkembang dan dikenal di masyarakat secara luas, sehingga banyak masyarakat yang memohon kepada Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. Untuk menerima santri putri. Atas dorongan itulah pada tahun 2003 beliau membuka
Pendaftaran santri putri dan terdaftarlah 77 santri putri. Seiring animo masyarakat untuk memondokkan anak usia dini, Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah sebagai wujud tanggung jawab, maka pada hari Senin 3 Dzulqo`dah 1431 Hijriah bertepatan 11 Oktober 2010 membuka Pondok Pesantren khusus usia dini untuk putra dan putri.
(14)
5
Pendidikan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah dilaksanakan pada pagi dan siang hari, sedangkan pendidikan malam hari diperuntukkan bagi santri yang tidak menetap atau masyarakat sekitar pondok yang pada pagi harinya sekolah pendidikan umum diluar pondok.
Selama Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori belum wafat, semua kendali pondok berada di tangan beliau, apapun yang beliau katakan dan perintahkan kepada para santri, pasti santri akan menurutinya dengan tulus. Namun setelah wafatnya beliau, samua kendali pondok ada pada kepala pondok dan pengurus pondok hingga sekarang warga ndalem belum berpartisipasi penuh dalam urusan pondok pesantren.
Melihat perkembangan jumlah santri dari tahun per tahun yang semakin banyak di setiap unitnya tentunya permasalahan-permasalahan yang muncul pun juga semakin beragam. dalam memberikan penanganan setiap kasus atau pelanggaran yang ada, pengurus pondok memberikan sanksi yang berbeda-beda tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan untuk membuat efek jera pada santri. Menurut ustadz Ilyas selaku wakil pimpinan pondok mengatakan bahwa cara penanganan santri yang melanggar aturan yaitu dengan berbagai macam sanksi diantaranya di gundul, di suruh membaca shalawat sambil berdiri di depan gerbang santri putri, bahkan ada yang sampai di pukul dengan rotan terutama untuk jenis pelanggaran yang berat.7
Namun dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia (HAM) dan juga undang-undang yang mengatur tentang
7Lihat Lampiran III, Hasil Wawancara dengan Ust. Ilyas pada Hari Kamis, 16 Februari 2017 di kantor pimpinan.
(15)
6
perlindungan anak, akhir-akhir ini marak peristiwa yang menyangkut beberapa nama oknum guru atau pendidik yang harus mendekam di penjara gara-gara memberi sanksi dengan cara memukul, mencubit dan hukuman berupa kontak fisik lainnya. Seperti yang terjadi pada Nurmayani guru biologi SMPN 1 Banteang Sulawesi Selatan pada Agustus 2015 silam harus mendekam dipenjara hanya gara-gara mencubit salah satu siswi yang melakukan pelanggaran bermain air sisa pel lantai.8 hal yang serupa juga terjadi pada Muhammad Samhudi menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Kamis (14/7/2016). Ia dibawa ke meja hijau setelah dlaporkan karena mencubit muridnya. Oleh Jaksa Penuntut Umum dia dituntut enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Dalam tuntutan yang dibacakan jaksa Andrianis, guru SMP Raden Rahmad, Kecamatan Balongbendo Sidoarjo itu dinilai bersalah dan melanggar pasal 80 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak.9
Melihat realitas yang ada pengurus pondok membuat inovasi baru untuk memberi hukuman kepada santri yaitu melalui sistem poin sebagai pengganti hukuman yang bersifat kekerasan fisik. Dalam sistem poin ini ada banyak kriteria pelanggaran yang masing-masingnya ada poin tersendiri mulai darip poin yang terkecil 5 dan poin terbesar 250 poin, dengan ketentuan apabila poin telah mencapai 100 maka akan ada surat peringatan (SP1), apabila poin mencapai 150 maka akan dikenakan SP2 dan jika mencapai poin 8 Andry Trysandy Mahany, 4%20Kasus%20sepele%20guru%20vs%20murid%20yang %20berakhir%20miris,%20bikin%20geram%20deh!.html. Di Akses pada, Sabtu, 22 Juli 2017.
9Achmad Faizal, Guru%20yang%20Cubit%20Murid%20Dituntut%20Hukuman %206% 20Bulan%20Penjara%20-%20Kompas.com.html. Di Akses pada, Sabtu, 22 Juli 2017.
(16)
7
200 maka akan dikenakan SP3 dan apabila santri telah mencapai poin maksimal dengan jumlah 250 maka santri akan diboyongkan.
Dalam penegakan peraturan baru ini tentunya santri harus beradaptasi untuk bisa menerima peraturan tersebut, karena tidak semua santri bisa menerima peraturan dengan sistem poin tersebut, banyak keluhan yang telah peneliti temukan saat peneliti melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dimana setiap peneliti masuk keruang kelas dan menanyakan bagaimana perasaan saat berada di pondok, dan rata-rata mereka menjawab tidak enak karena segala sesuatunya di kenai poin.
Dalam kondisi seperti ini para santri tentu tidak mudah untuk menerima dengan cepat terhadap peraturan baru yang berlaku, butuh waktu yang lama untuk bisa terbiasa mengikuti peraturan yang ada. Maka dari itu penyesuaian diri sangatlah penting bagi santri meski sulit untuk bisa menerimanya, sehingga terkadang santri harus memaksakan dirinya untuk bisa terbiasa dengan itu semua.
Penyesuaian diri merupakan sebuah proses perubahan pada mental dan perilaku seseorang yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh untuk mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik yang dirasakan pada dirinya karena adanya ketidak harmonisan antara tuntutan dari diri sendir dengan dunia nyata. Seseorang bisa dikatakan berhasil menyesuaikan diri dengan
(17)
8
baik jika berhasil merespon dengan matang, misalnya seseorang dapat merespon dan mengikuti dengan baik terhadap tuntutan zaman.10
Seperti halnya dalam kasus ini, terdapat seorang santri kelas 8D yang memiliki masalah penyesuaian diri terhadap peraturan baru yang diterapkan. Dalam hal ini, ada salah satu santri yang membuat peneliti tertarik untuk mendalami lebih jauh permasalahan konseli yaitu Sandi (nama samaran) yang sekarang duduk di kelas 8 D. Saat peneliti melakukan pertemuan pertama kali dengan konseli, konseli mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan peraturan baru yang di buat oleh para pimpinan dan pengurus pondok pesantren. Menurut konseli bahwa peraturan itulah yang akhirnya membuat konseli malas untuk sekolah dan menurut konseli karena peraturan itu yang malah menjadikannya merasa tidak ikhlas untuk berangkat sekolah melainkan ia hanya takut bahwa nantinya akan dikenakan poin.11
Hal ini terlihat saat peneliti mengikuti kegiatan bimbingan saur manuk yang diadakan setiap malam selasa. Saat itu peneliti menggantikan ustadz yang tidak hadir yang seharusnya memberikan bimbingan di kamar 26 pada saat peneliti hadir ke kamar para santri meminta untuk berpindah tempat ke lapangan. Ketika semua santri sudah berkumpul tampak konseli datang terlambat dan tidak membawa buku. Dan saat proses bimbingan berlangsung peneliti memerhatikan raut wajah yang kesal serta sanggahan-sanggahan konseli yang seakan-akan menolak nasehat yang peneliti berikan untuk bisa
10Nasaruddin Umar,Tuntutan Keluarga Sakinah“Seri Psikologi”, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007), hal 13.
11Proses konseling dengan konseli saat program bimbingan saur manuk pada tanggal, 26 September 2016.
(18)
9
menerima peraturan baru yang telah ditetapkan pimpinan dan pengurus pondok pesantren.12
Tidak hanya itu, untuk mengetahui lebih dalam permasalahan konseli, konselor mencari data dengan menanyakan bagaimana kegiatan sehari-hari konseli baik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstra. Dari data yang konselor peroleh maka diketahui bahwa konseli sering membolos sekolah dengan berbagai macam alasan bahkan konseli terkadang berpura-pura sakit dan tidur di kamar. Konseli juga memiliki minat belajar yang rendah, hal ini terbukti bahwa menurut temannya konseli malas-malasan saat pelajaran berlangsung, seperti ribut sendiri saat ustadz berbicara, tidak menulis pelajaran yang diajarkan dan terkadang konseli malah berjalan-jalan diluar kelas pada saat ustadz sedang mengajar.
Dengan melihat fenomena yang ada, hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).”
12 Observasi pada konseli saat program bimbingan saur manuk pada tanggal, 26 September 2016.
(19)
10
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?
2. Bagaimana Hasil Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Memahami Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi
Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
2. Mengetahui Hasil Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa berguna untuk pengembangan khasanah keilmuan bagi pembaca dan khususnya bagi mahasiswa yang berkecimpung di bidang Bimbingan dan Konseling Islam.
(20)
11
2. Manfaat praktis
a. Bagi santri al-fithrah, diharapkan bisa lebih membuka dirinya untuk menerima peraturan yang ada di pondok pesantren dengan lapang dada dan bisa dengan mudah untuk beradaptasi terhadap peraturan baru yang telah diterapkan.
b. Bagi mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam dan guru BK yang berada di lingkungan pesantren, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi untuk menangani permasalahan konseli, dalam hal ini yaitu mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru yang ada di lingkungan pesantren.
E. Definisi Operasional
1. Forcing Conformity
Konformitas (Conformity) menurut Baron dan Byrne adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.13
Forcing Conformity (memaksa penyesuaian) yaitu merupakan
strategi membantu konseli dalam kondisi yang mengharuskan konseli untuk memaksakan dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada, dalam kondisi ini, di satu sisi konseli harus melaksanakan tugas-tugas tertentu dan harus dijalani,
(21)
12
namun pada sisi lainnya ia tidak senang untuk melaksanakannya. Apabila konseli ingin mencapai tujuan hidupnya ia harus lakukan juga.14
Dalam penelitian ini, karena tidak memungkinkan bagi peneliti untuk mengubah lingkungan (peraturan pondok) yang ada, maka yang harus dipaksa untuk berubah adalah diri konseli itu sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memperbaiki pola pikir konseli dengan menggunakan teknik
reframing yaitu membingkai ulang pemikiran negatif atau pemikiran yang
salah yang dimiliki konseli terhadap perturan baru menjadi pemikiran yang lebih positif dan membangun.
Peneliti juga akan memperbaiki tingkah laku klien yang cenderung bermalas-malasan menggunakan teknik reward and punishment dengan memberikan penghargaan setiap tingkah laku positif yang dilakukan konseli dan memberikan hukuman saat konseli melakukan hal yang negatif.
2. Adaptasi Diri
Adaptasi diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungan.15
Penyesuaian diri mengandung banyak arti, antara lain usaha manusia untuk menguasai tekanan akibat dorongan kebutuhan, usaha memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntunan lingkungan, dan usaha menyelaraskan hubungan individu dengan realitas. 14 Mary Nosemove, Konsep Dasar Konseling, (http://marynosemove.blogspot.co.id /2013/01/konsep-dasar-konseling.html), Diakses 10 Oktober 2016.
(22)
13
Ia memberikan batasan penyesuaian diri sebagai proses yang melibatkan respon mental dan perilaku manusia dalam usahanya mengatasi dorongan-dorongan dari dalam diri agar diperoleh kesesuaian antara tuntutan dari dalam diri dan dari lingkungan. Ini berarti penyesuaian diri merupakan suatu proses dan bukan kondisi statis.16
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan adaptasi diri yaitu adaptasi diri konseli terhadap peraturan baru yang ada di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah surabaya.
3. Peraturan
Peraturan adalah suatu tata cara yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menertibkan dan menyelaraskan dengan keperluan suatu pihak tersebut. Peraturan juga berguna bagi perkembangan mental dan psikologis bagi yang menaatinya. Menumbuhkan rasa hormat serta pembentukan pribadi yang baik.17
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peraturan yaitu tata tertib baru yang berlaku sejak awal tahun ajaran 2016-2017 pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang di kutip oleh Tohirin dalam bukunya
16 Nur Ghufran dan Rini Risnawati S, Teori-teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 50.
17 Riecowloper’s Blog, ( https://riecowlopher.wordpress.com/peraturan-sekolah-disiplin-ketertiban-pelanggaran-hukuman/), Diakses pada tanggal 18 Oktober 2016.
(23)
14
“Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling)”, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat di amati18.
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, institusi atau gejala-gejala tertentu.19 Dalam studi kasus, peneliti mencoba untuk mencermati individu atau satu unit secara mendalam.
Tujuan penelitian kasus adalah untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, sosial, masyarakat.20
Alasan peneliti menggunakan penelitian studi kasus, karena subyek dalam penelitian ini adalah suatu kasus yang hanya dialami oleh satu orang anak, sehingga harus dilakukan secara intensif, menyeluruh dan terperinci untuk mengembangkan adaptasi diri konseli.
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sehubungan dengan penelitian yang sifatnya studi kasus, yang hanya melibatkan satu orang, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan sampel atau populasi. Jadi, hanya berdasarkan atas
18 Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 2.
19 Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 20.
20Sumadi Suryabrata,Metodologi Penelitian,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 22.
(24)
15
pengenalan diri konseli dengan cara mempelajari dan mendalami perkembangan konseli secara terperinci dan mendalam. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah:
a. Konseli
Adalah seorang santri kelas VIII D Madrasah Tsanawiyah yang secara pribadi belum bisa menerima peraturan baru yang ditetapkan oleh para ustadz dan pengurus pondok pesantren. dalam penelitian ini, bertujuan untuk meningkatkan adaptasi diri santri dengan menggunakan strategiforcing conformity.
b. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah orang tua konseli, teman sekelas, juga teman satu asrama konseli, dan para ustadz yang bisa membantu untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan diri konseli. Sedangkan lokasi penelitian ini, penulis memilih tempat di pondok pesantren Assalafi al-Fithrah yang beralamatkan di Jalan Kedinding Lor No. 99 Surabaya.
3. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian kasus yang sifatnya adalah terhadap suatu masalah penelitian, maka jenis data yang digunakan adalah data yang bersifat non statistik dimana data yang akan diperoleh nantinya dalam bentuk verbal bukan angka. Jenis data pada penelitian ini adalah:
(25)
16
1) Kata-kata dan Tindakan
Kata-kata dan tindakan orang yang diwawancarai merupakan data utama. dalam penelitian ini peneliti melakukan pencatatan sumber data utama melalui pengamatan, wawancara dengan orang yang berperan dalam penelitian, misalnya konseli, teman sekelas dan teman sekamar, serta para ustadz konseli sebagai informan dalam penelitian ini.
Peneliti menulis semua kata-kata dan tindakan konseli yang dirasa sangat penting dari para informan dari kehidupan sehari-hari yang kemudian di proses sihingga menjadi data yang akurat.
2) Sumber Tertulis
Sumber tertulis merupakan sumber kedua yang tidak dapat diabaikan bila di lihat dari segi sumber data. Bahkan tambahan data dari sumber tertulis bisa dokumentasi tentang konseli yang berupa identitas konseli secara lengkap dan dokumentasi tentang lembaga.
Dalam hal ini sumber tertulis yang peneliti gunakan adalah hasil pertemuan dengan konseli dan hasil wawancara dengan ketua kamar serta teman-teman konseli.
b. Sumber Data
Untuk mendapatkan keterangan sumber tertulis, peneliti mendapatkannya dari sumber data. Adapun sumber data dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
(26)
17
Sumber data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.21
Dalam penelitian ini, sumber data primer yang ada adalah Sandi, seorang santri di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah kelas VIII D.
2) Sumber Data Sekunder
Adalah informasi yang telah dikumpulkan dari pihak lain. Dan yang menjadi sumber data sekundernya yaitu meliputi orang-orang dekat konseli yang dalam hal ini yaitu orang-orang tua, teman, dan ustadz konseli.
4. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga tahapan dalam penelitian, diantaranya: tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisa data.22 Untuk lebih jelasnya peneliti akan menguraikan tiap-tiap tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Pra Lapangan
1) Menyusun Rancangan Penelitian
Untuk menyusun rancangan penelitian, peneliti terlebih dahulu membaca fenomena yang ada di lingkungan yang akan dijadikan objek penelitian dan memilih satu penelitian tentang
21Iqbal Hasan,Analisis Data Penelitian dengan Statistik,(Jakarta: Media Grafika, 2004), hal. 19.
22 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 85
(27)
18
Bimbingan dan Konseling Islam dengan StrategiForcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri.
2) Memilih Lapangan Penelitian
Setelah membaca fenomena yang ada peneliti memilih lapangan penelitian di Pondok Pesantren Assalafi al-Fithrah Kedinding Surabaya.
3) Mengurus Perizinan
Dalam hal ini yang dilakukan peneliti adalah mencari siapa saja orang yang berkuasa dan berwenang memberi izin untuk pelaksanaan penelitian, kemudian peneliti melakukan langkah-langkah persyaratan untuk mendapatkan izin tersebut.
4) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Dalam perlengkapan penelitian, peneliti menyiapkan pedoman wawancara, alat tulis, recorder, kamera dan sebagainya. Itu semua bertujuan untuk mendapatkan deskripsi data dan sebagainya.
b. Tahapan Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian yaitu, peneliti memahami penelitian, mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data yang ada di lapangan. Di sini peneliti menindaklanjutiserta memperdalam pokok permasalahan yang dapat di teliti dengan cara
(28)
19
mengumpulkan data-data hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan.
Informan dalam penelitian ini adalah teman satu kelas konseli, ustadz, dan beberapa teman dekat konseli yang bisa membantu untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan konseling dan juga melibatkan anak yang bermasalah tersebut.
c. Tahap Analisis Data
Pada tahap ini, peneliti menganalisa data yang telah didapatkan dari lapangan yakni dengan menggambarkan atau menguraikan masalah yang ada sesuai dengan kenyataan. Analisis data mencakup menguji, menyeleksi, membandingkan, mengategorikan, mengevaluasi, menyortir, dan merenungkan data yang telah di rekam, juga meninjau kembali data mentah dan terekam.23 Semua ini dilakukan oleh peneliti guna menghasilkan pemahaman terhadap data.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik ini dibutuhkan dalam penelitian untuk dapat memudahkan dalam memperoleh data yang berhubungan dengan masalah penelitian yang ingin selesaikan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara
23 M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshuri, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal. 246.
(29)
20
Wawancara atau interview yaitu cara menghimpun data dengan jalan bercakap-cakap, berhadapan langsung dengan pihak yang akan dimintai pendapat, pendirian atau keterangan.24 Seperti yang telah
dikemukakan oleh Muh. Nazir dalam bukunya “Metode Penelitian”
bahwa yang di maksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil tatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).25
Adapun yang digali dalam wawancara adalah tentang riwayat hidup, latar belakang keluarga, kebiasaan konseli yang terbentuk sbelum di pondok, aktivitas keseharian konseli di pondok, perasaan konseli saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, sikap dan perilaku konseli terhadap peraturan baru yang berlaku, dan bentuk peraturan yang disenangi dan tidak disenangi konseli.
Dalam hal ini peneliti mewawancarai konseli, orangtua konseli, teman-teman konseli, serta ustadz yang mengajar konseli.
b. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang diselidiki. Observasi ini berfungsi untuk memperoleh gambaran, pengetahuan serta pemahaman mengenai data
24Koentjoroningrat,Metode-metode Penelitian,(Jakarta: PT. Gramedia, 1980), hal. 162. 25Muh. Nazir,Metode Penelitian,(Jakarta: Grahalia Indonesia, 1988), hal. 234.
(30)
21
konseli dan untuk menunjang serta melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui wawancara.26
Dalam observasi ini, peneliti mengamati segala perilaku konseli saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, kedisiplinan konseli dalam mengikuti kegiatan pondok, keaktifan konseli dalam mengikuti kegiatan pondok (intra dan ekstra), ketaatan konseli terhadap peraturan baru yang berlaku.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik yang dilakukan dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, catatan harian dan sebagainya.27 Di mana teknik ini akan di pakai dalam mengumpulkan data tentang keadaan lokasi penelitian, keadaan konseli, serta catatan-catatan konselor sewaktu menjalankan konseling.
Dalam hal ini bahan yang peneliti guanakan yaitu dokumen atau catatan mengenai konseli yaitu berupa catatan pelanggaran, catatan wali kelas, absensi kelas (formal dan musyawarah), absensi kegiatan bimbingan setiap malam selasa, untuk mengetahui keaktifan santri. 6. Teknik Analisis Data
Di dalam pelaksanaan penelitian setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis dengan analisa deskriptif, yaitu dapat diartikan sebagai
26 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 153.
27 Suharsimi Ariskunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002), hal. 200.
(31)
22
pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan pada fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya.28
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Agar penelitian dapat menjadi sebuah penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan, maka peneliti perlu untuk mengadakan pemikiran keabsahan data yaitu:
a. Perpanjangan Penelitian
Yaitu lamanya peneliti pada penelitian dalam pengmpulan data serta dalam meningkatkan derajat kepercayaan data yang dilakukan dalam kurun waktu yang lebih panjang.
Lamanya peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Lamanya peneliti tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat,tetapi memerlukan perpanjangan penelitian.
b. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan diharapkan sebagai upaya untuk memahami pokok perilaku, situasi, kondisi, dan proses tertentu sebagai pokok penelitian. Dengan kata lain, jika perpanjangan menyediakan data yang lengkap, maka ketekunan pengamatan menyediakan pendalaman data. Oleh karena itu ketekunan pengamatan merupakan bagian penting dalam pemeriksaan keabsahan data.
c. Triangulasi
28 Hadari Nawawi, Dkk, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hal. 73.
(32)
23
Triangulasi adalah teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan.29
G. Sistematika Pembahasan
Tujuan Sistematika Pembahasan turut serta ditulis dalam proposal ini adalah semata-mata untuk mempermudah pembaca agar lebih cepat mengetahui tentang gambaran penulisan proposal penelitian ini.
Adapun sistematika pembahasan penelitian mendatang adalah sebagai berikut:
Bab I menjelaskan tentang latar belakag, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, sasaran dan lokasi penelitianjenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik pemeriksaan keabsahan data), sistematika pembahasan.
Bab II menjelaskan tentang kajian teoritik, yang meliputi: strategi
Forcing Conformity(pengertian konformitas, pengertianForcing Conformity,
strategiForcing Conformity dalam pendekatan Cognitive Behavior Therapy). Selanjutnya membahas tentang adaptasi diri (pengertian adaptasi diri,
unsur-29 Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 327.
(33)
24
unsur adaptasi diri, bentuk-bentuk adaptasi diri, jenis-jenis adaptasi diri, macam-macam adaptasi diri, kriteria adaptasi diri, faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi diri). Selanjutnya membahas tentang peraturan (pengertian peraturan).
Bab III penyajian data yang menjelaskan tentang deskripsi umum lokasi penelitian yang meliputi (deskripsi lokasi penelitian, deskripsi konselor, deskripsi konseli, deskripsi masalah). Selanjutnya menjelaskan tentang deskripsi hasil penelitian meliputi (deskripsi proses pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru Di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya dan deskripsi hasil akhir Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru Di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya).
Bab VI analisis data menjelaskan tentang analisis proses pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya) dan analisis hasil akhir Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing Conformity Untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
(34)
BAB II
FORCING CONFORMITY,ADAPTASI DIRI,
PERATURAN DAN TATA TERTIB
A. Forcing Conformity
1. PengertianForcing Conformity
Forcing Conformity merupakan gabungan dari dua kata yaitu
Forcing dan Conformity. Arti forcing sendiri yaitu memaksa. Dalam
kamusOxford,kataforcingberasal dari kata dasarforce(n) yang memiliki beberapa makna yaitu strength(kekuatan), power (kekuasaan)or violence (kekerasan)30. Sedangkan kata conformity berasal dari kata conform yaitu
keep to generally accepted rules(Mematuhi peraturan yang berlaku secara
umum).31
Konformitas (Conformity) menurut Baron dan Byrne adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.32 Konformitas tidak hanya bertindak atau bertingkah laku seperti yang orang lain lakukan tetapi juga terpengaruh bagaimana orang lain bertindak. Seorang laki-laki cenderung berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan dari laki-laki lain dan perempuan berperilaku seperti perempuan.
.
30Bull Victoria,Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 173.
31Bull Victoria,Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 89.
(35)
26
Berperilaku seperti laki-laki atau perempuan lebih disebabkan karena identitas diri sebagai laki-laki atau perempuan yang diberikan kepada kita melalui sosialisasi dan internalisasi.
Konformitas merupakan suatu bentuk sikap penyesuaian diri seseorang dalam masyarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada. Adanya konformitas bisa dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh maupun yang dibayangkan saja.33Sarwono menyebutkan bahwa konformitas memiliki 2 jenis yaitu :
a. Menurut (compliance) yaitu konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju;
b. Penerimaan (acceptance) yaitu konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial.34
Konformitas juga memiliki sisi positif dan negatif, dari sisi positif, yaitu masyarakat akan berfungsi lebih baik ketika orang-orang tahu bagaimana berperilaku pada situasi tertentu, dan ketika mereka memiliki kesamaan sikap dan tata cara berperilaku. Sedangkan dari sisi negatif, konformitas bisa menghambat kreatifitas berpikir kritis, pengaruh bahasa
33John W. Santrock,Adolescence: Perkembangan Remaja,(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 221
34 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan,(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 173.
(36)
27
yang asal-asalan, mencuri, mencoret-coret, serta mempermainkan orangtua dan guru.35
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa forcing
conformity adalah kekuatan atau penguasaan diri seseorang dalam
memaksakan dirinya untuk mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan tatanan atau norma sosial yang berlaku dan telah disepakati meski dilakukan dengan terpaksa.
Contoh penerapan forcing conformity juga dijelaskan dalam hadits nabi tentang bagaimana cara mendidik anak kecil untuk membiasakan shalat lima waktu sejak kecil sebagai berikut:
ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ
ُﻞ ﱠﻣَﺆُﻣ
ُﻦ ْﺑ
ﻲ ِﻨْﻌَﻳ
ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ
ْﻦ َﻋ
ُﻦ ْﺑ
ْﻦ َﻋ
ْﺑ
ِﻦ
ٍﺐ ْﻴَﻌُﺷ
ْﻦ َﻋ
ْﻦ َﻋ
ﻰ ﱠﻠَﺻ
ِﻪْﻴَﻠَﻋ
ﱠﺼ ﻟﺎِﺑ
ِﻊْﺒَﺳ
َﲔ ِﻨِﺳ
ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ
ٍﺮْﺸ َﻋ
ْﻢُﻬَﻨْﻴَﺑ
ﻲ ِﻓ
ِﻊ
(ABUDAUD - 418) : Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya."36
35John W. Santrock,Adolescence: Perkembangan Remaja,(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 223.
36Abu Daud,Kitab Shalat BAB Kapan Anak Kecil Diperintahkan Shalat,(Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist), No. 418.
(37)
28
Dari hadits diatas dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitupula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar.
Pada kondisi seperti itu ada kemungkinan sang anak tidak melakukannya dengan senang hati melainkan dengan keterpaksaan dan berat hati karena takut akan pukulan yang nantinya mereka dapatkan saat meninggalkan shalat. Namun sebagai umat muslim yang taat, mereka harus melakukannya demi mencapai tujuan yang baik yaitu kedekatan dan kecintaan kepada Allah sang maha pencipta.
2. StrategiForcing Conformity
Forcing Conformity (memaksa penyesuaian) yaitu merupakan salah
satu strategi untuk membantu konseli saat berada dalam kondisi yang mengharuskan konseli untuk memaksakan dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada. dalam kondisi ini, di satu sisi konseli harus melaksanakan tugas-tugas tertentu dan harus dijalani, namun pada sisi lainnya ia tidak senang untuk
(38)
29
melaksanakannya. Apabila konseli ingin mencapai tujuan hidupnya ia harus lakukan juga.37
3. Teknik-teknik dalam StrategiForcing Conformity
Seperti yang telah kita ketahui dari penjelasan di atas bahwa strategi forcing conformity merupakan salah satu strategi implementasi konseling yang digunakan sebagai pedoman dalam mengimplementasikan pemecahan masalah. Strategi ini mengharuskan individu untuk memaksakan dirinya dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada.
Dalam proses konseling, untuk mengimplementasikan strategi ini kepada konseli tentunya ada beberapa aspek yang harus disentuh sehingga strategi ini efektif untuk membantu konseli dalam menangani masalahnya. Setidaknya ada dua aspek yang perlu konselor sentuh dengan menggunakan teknik yang tepat dalam setiap aspeknya yaitu aspek kognitif dengan menggunakan teknik reframing dan aspek behavior dengan menggunakan teknikreward and punishmentyang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Reframing(Membingkai ulang)
1) Pengertianreframing
Reframing adalah upaya untuk membingkai ulang sebuah
kejadian, dengan mengubah sudut pandang tanpa mengubah kejadiannya itu sendiri. Hampir sama dengan relabeling atau
37 Mary Nosemove, Konsep Dasar Konseling, (http://marynosemove.blogspot.co.id /2013/01/konsep-dasar-konseling.html), Diakses 10 Oktober 2016.
(39)
30
redefining, reframing berhubungan dengan bagaimana, dan bukan
apa.38
Ada dua jenis reframing yaitu reframing content dan
reframing context. Reframing content adalah memberikan makna
baru atas realitas yang ada, sedangkan reframing context yaitu menyampaikan contoh suatu kondisi peristiwa lain dalam konteks yang berbeda atas realitas yang ada. Tujuan utama reframing yaitu untuk mendapatkan sebuah sudut pandang baru agar tidak terjebak hanya pada satu pilihan sudut pandang saja. Dengan adanya sudut pandang baru diharapkan mampu memiliki pilihan pemikiran yang baru.39
2) Tahap-tahap teknikreframing
Cormier menyebutkan ada enam tahapan strategireframing antara lain :40
a) Rasional
Rasional yang digunakan dalam strategi reframing bertujuan untuk menyakinkan konseli bahwa persepsi atau retribusi masalah dapat menyebabkan tekanan emosi. Tujuannya adalah agar konseli mengetahui alasan atau gambaran singkat mengenai strategi reframing dan untuk menyakinkan konseli
38 Wiwoho, Reframing Kunci Hidup Bahagia 24 Jam Sehari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 60.
39 Pramudianto, I’m Coach Strategi Mengembangkan Potensi Diri dengan Coaching, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015), hal. 137.
40 Ahmad Budiarianto, Strategi Konseling (Reframing), (http://ahmadbudiarianto. blogspot.co.id/2014/04/strategi-konseling-reframing.html), Diakses 17 Desember 2016.
(40)
31
bahwa cara pandang terhadap suatu masalah dapat menyebabkan tekanan emosi.
b) Identifikasi persepsi dan perasaan konseli dalam situasi masalah Dalam tahap ini, konselor membantu konseli untuk mengidentifikasi persepsi atau pikiran-pikiran yang muncul dalam situasi yang menimbulkan kecemasan berbicara di depan umum. Selain itu juga bertujuan untuk membantu konseli menjadi waspada pada apa yang mereka hadapi dalam situasi masalah, karena konseli sering tidak memperhatikan detail-detail yang mereka hadapi dan informasi tentang situasi yang mereka pikirkan.
c) Menguraikan peran dari fitur-fitur persepsi terpilih
Setelah konseli menyadari kehadiran otomatis mereka. Mereka diminta untuk memerankan situasi dan sengaja menghadapi fitur-fitur terpilih yang telah mereka proses secara otomatis. Tujuannya adalah agar konseli dapat mengenali pikiran-pikiran dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan, yang dirasakan mengganggu diri konseli dan mengganti pikiran-pikiran tersebut agar tidak menimbulkan kecemasan
d) Identifikasi persepsi alternatif
Pada tahap ini konselor dapat membantu konseli mengubah fokus perhatiannya dengan menyeleksi fitur-fitur lain
(41)
32
dari masalah yang dihadapi. Tujuannya adalah agar konseli mampu menyeleksi gambaran-gambaran lain dari perilaku yang dihadapi
e) Modifikasi dan persepsi dalam situasi masalah
Konselor dapat membimbing konseli dengan mengarahkan konseli pada titik perhatian lain dari situasi masalah. Tujuannya adalah agar konseli dapat menciptakan respon dan pengamatan baru yang didesain untuk memecahkan perumusan model lama dan meletakkan draft untuk perumusan baru yang lebih efektif. Beralih dari pikiran-pikiran konseli dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dirasakan mengganggu konseli ke pikiran yang tidak menimbulkan kecemasan.
f) Pekerjaan rumah dan penyelesaiannya
Konselor dapat menyarankan yang diikuti konseli selama situasi ini format yang sama dengan yang digunakan dalam terapi. Konseli diinstruksi menjadi lebih waspada akan fitur-fitur terkode yang penting atau situasi profokatif dan penuh tekanan, untuk menggabungkan perasaan yang tidak nyaman, untuk melakukan uraian peranan atau kegiatan praktik dan mencoba membuat pergantian perceptual selama situasi-situasi ini ke fitur-fitur lain dari situasi yang dulu diabaikan. Tujuannya adalah agar konseli mengetahui perkembangan dan kemajuan selama strategi ini
(42)
33
berlangsung serta bisa menggunakan pikiran-pikiran dalam situasi yang tidak mengandung tekanan dalam situasi masalah yang nyata.
b. Reward and punishment
1) Reward
Reward dapat diartikan sebagai sebuah penguat
(reinforcement) terhadap perilaku peserta didik. Reinforcement
(penguatan) merupakan penggunaan konsekuensi untuk memperkuat perilaku.41 Artinya, bahwa sebuah perilaku yang dilakukan oleh peserta didik dan dianggap sesuai kemudian diikuti dengan penguatan, maka hal tersebut akan meningkatkan peluang bahwa perilaku tersebut akan dilakukan lagi oleh anak.
Ganjaran dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak didik untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersikap progresif. Di samping juga dapat menjadi pendorong bagi anak-anak didik lainnya dan mengikuti anak yang telah memperoleh pujian dari gurunya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa metode ini juga mempunyai kelemahan diantaranya dapat menimbulkan dampak negatif apabila guru melakukannya tidak secara profesional, sehingga mungkin bisa mengakibatkan murid
41Anita Woolfolk,Educational Psychology Active Learning Edition,terj: Helly Prajitno S dan Sri Mulyatini S, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 309.
(43)
34
merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari teman-temannya (sombong).42
Penguatan (reinforcement) dibagi menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.
a) Penguatan positif
(1) Pengertian penguatan positif
Setiap kali sebuah stimulus khusus dihadirkan setelah sebuah perilaku dan perilaku tersebut meningkat sebagai hasilnya, maka penguatan positif telah terjadi. Jangan terkecoh dengan kata positif, di sini kata tersebut tidak memiliki hubungan dengan daya tarik yang menyenangkan atau yang membuat orang suka pada stimulus yang dihadirkan. Penguatan positif dapat terjadi kalaupun stimulus yang dihadirkan mungkin dianggap tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Kata positif disini hanya berarti menambahkan sesuatu pada situasi yang bersangkutan. Misalnya, beberapa siswa akan membuat sebuah respon untuk memperoleh pujian dari guru, tetapi yang lainnya mungkin berperilaku dengan cara memancing omelan orang lain.
Berikut merupakan contoh-contoh bentuk penguatan positif:
42Armai Arief,Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hal. 134.
(44)
35
(a) Penguat konkret, adalah sebuah benda nyata yaitu sesuatu yang dapat disentuh. Misalnya, makanan ringan, mainan, stiker, dll.
(b) Penguat sosial, adalah sebuah gerak isyarat atau tanda (misalnya, senyum, perhatian, pujian atau ucapan terima kasih) yang diberikan seseorang kepada orang lain, seringkali untuk mengomunikasikan sesuatu yang positif. (c) Penguat aktivitas, adalah kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas yang disukai. Siswa sering melakukan suatu kegiatan, bahkan sesuatu yang tidak mereka sukai, jika kegiatan itu memudahkan mereka melakukan sesuatu yang mereka sukai.
(d) Terkadang pesan sederhana bahwa sebuah jawaban itu benar atau suatu tugas telah diselesaikan dengan baik umpan balik positif dapat menjadi penguat. Umpan balik positif paling efektif dilakukan ketika umpan balik itu memberitahu siswa dengan istilah yang eksplisit dalam hal-hal apa saja mereka bekerja dengan baik dan apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong performa mereka menjadi lebih bagus lagi.43
(2) Prinsip-prinsip penerapan penguatan positif
43 Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang,(Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 435.
(45)
36
Dalam menggunakan penguatan positif, konselor perlu memperhatikan prinsip-prinsip penguatan
(reinforcement) agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Prinsip-prinsip penguatan antara lain:
(a) Penguatan positif tergantung pada penampilan tingkah laku yang diinginkan
(b) Tingkah laku yang diinginkan diberi penguatan segera setelah tingkah laku tersebut ditampilkan
(c) Pada tahap awal, proses perubahan tingkah laku yang diinginkan diberi penguatan setiap kali tingkah laku tersebut ditampilkan
(d) Ketika tingkah laku yang diinginkan sudah dapat dilakukan dengan baik, penguatan diberikan secara berkala dan pada akhirnya dihentikan.
(e) Pada tahap awal, penguatan sosial selalu diikuti dengan penguatan yang berbentuk benda.44
(3) Penerapan penguatan positif yang efektif
Untuk menerapkan penguatan positif yang efektif, konselor perlu mempertimbangkan beberapa syarat, diantaranya adalah:
(a) Memberikan penguatann dengan segera
44 Gantika Komalasari dan Eka Wahyuni, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT Indeks, 2011), hal. 163.
(46)
37
(b) Penguatan akan memiliki efek yang lebih bermakna bila diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan dilakukan oleh konseli. Alasan pemberian penguatan dengan segera adalah untuk menghindari terdapat tingkah laku lain yang menyela tingkah laku yang diharapkan. Dengan demikian tujuan pemberian penguatan terfokus pada tingkah laku yang diharapkan. (c) Memilih penguatan yang tepat
(d) Mengatur kondisi situasional (e) Menentukan kuantitas penguatan (f) Memberikan sampel penguatan
(g) Memilih kualitas dan kebaruan penguatan (h) Menangani persaingan asosiasi
(i) Mengatur jadwal penguatan
(j) Mempertimbangkan efek penguatan pada kelompok (k) Menangani efek kontrol kontra.45
(4) Langkah-langkah pemberian penguatan (reinforcement) Adapun langkah-langkah penerapan penguatan positif adalah sebagai berikut:
(a) Mengumpulkan informasi tentang permasalahan melalui analisis ABC
(i) Antecedent(pencetus perilaku)
(47)
38
(ii) Behavior(perilaku yang dipermasalahkan; frekuensi,
intensitas, dan durasi)
(iii)Concequence (akibat yang diperoleh dari perilaku tersebut)
(b) Memilih perilaku target yang ingin ditingkatkan (c) Menetapkan data awal perilaku awal
(d) Menentukan penguatan yang bermakna (e) Menetapkan jadwal pemberian penguatan (f) Penerapan penguatan positif.46
b) Penguatan negatif
Perbedaan mendasar antara penguatan positif dan penguatan negatif ini terletak pada sifat penguatnya. Penguat pada penguatan negatif haruslah tetap berupa hal-hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dengan cara mengurangi hal-hal tertentu yang selama ini dirasakan sebagai hukuman atau sesuatu yang tidak menyenangkan, atau sesuatu yang selama ini menjadi beban dan memberatkan bagi si pelaku.
Contoh penguatan negatif adalah: Intan bangun tengah malam dan menangis, ia ingin tidur bersama orangtuanya. Agar Intan berhenti menangis dan tidur, orangtuanya memperbolehkan Intan untuk tidur bersama mereka. Dengan diperbolehkannya
(48)
39
Intan tidur ditempat tidur orangtuanya meningkatkan perilaku menangis dan tidur bersama orangtuanya.47
2) Punishment
a) Pengertian hukuman (punishment)
Hukuman atau punishment merupakan intervensi operant
conditioning yang digunakan konselor untuk mengurangi tingkah
laku yang tidak diinginkan. Hukuman terdiri dari stimulus yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari tingkah laku. Skinner berkeyakinan bahwa hukuman kerap kali digunakan bukan untuk menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan tetapi hanya mengurangi kecenderungan tingkah laku. Ketika hukuman dihilangkan maka tingkah laku tersebut akan muncul kembali.
Akan tetapi, hukuman memiliki efek emosional yang negatif seperti kemarahan dan depresi. Bila hukuman digunakan harus diiringi dengan penguatan positif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Skinner menunjukkan bahwa penguatan positif memberikan efek yang lebih efektif dibanding aversif dan hukuman.48
Ahmad Ali Budaiwi menjelaskan bahwa ada beberapa aspek fundamental yang selayaknya dipertimbangkan oleh orang yang hendak menjadikan hukuman (punishment) sebagai teknik 47Prayitno,Dasar Teori dan Praksis Pendidikan,(Padang: Grasindo, 2009), hal. 141. 48 Gantika Komalasari dan Eka Wahyuni, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT Indeks, 2011), hal. 187.
(49)
40
pendidikan untuk mengontrol siswa di dalam kelas, aspek tersebut adalah sebagai berikut:49
(1) Hukuman itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi hukuman merupakan sarana untuk memperbaiki perilaku siswa yang salah dan untuk meluruskan respons murid yang tidak sempurna.
(2) Penting sekali anak yang dikenai hukuman memahami tujuan dibalik hukuman itu, yaitu keinginan guru kuat untuk memperbaiki muridnya dan membimbingnya pada jalan pembelajaran. Perbaikan itu dilakukan melalui pemberian hukuman dan melalui kondisi psikologis guru. Namun hendaknya guru waspada agar murid tidak merasa diintimidasi atau ingin balas dendam.
(3) Hukuman harus disesuaikan dengan besaran pelanggaran yang dilakukan oleh murid; tidak boleh kurang atau lebih. Hal itu karena apabila siswa merasakan hukuma yang melebihi kesalahannya, timbullah dalam hatinya perasaan diintimidasi dak dikhianati. Jika menurut penilaiannya hukuman itu tidak selaras dengan besarnya kesalahan yang telah dilakukannya dan murid mengetahui keteledoran ini, maka dia akan mengulangi kesalahannya, dan barangkali hal itu akan menyebabkan dia jatuh ke dalam penyimpangan diri.
49 Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal. 59-61.
(50)
41
(4) Para guru hendaknya memahami bahwa siswa mereka itu bervariasi dan berbeda-beda. Murid yang tidak menjadi baik kecuali dengan pukulan, berbeda dengan murid yang cukup diperbaiki dengan pandangan marah; bahwa hukuman yang cocok untuk kesalahan tertentu belum tentu cocok untuk kesalahan lainnya; dan bahwa cara sebagian guru dalam menggunakan hukuman berbeda dengan cara guru lainnya. (5) Hukuman dihentikan dengan terhentinya sikap yang
menimbulkan hukuman itu. Tidak diperbolehkan mempermalukan murid karena perbuatannya atau menceritakan kesalahan murid. Guru harus sadar betul bahwa sebagian murid suka mempermalukan teman-temannya yang menerima hukuman. Hal ini tentu menyakiti perjalanan murid di jalan yang benar.
(6) Hukuman harus diberikan untuk memperbaiki perilaku individu demi kebaikan kelompok. Tatkala guru memberikan hukuman karena suatu kesalahan maka guru itu merupakan bagian dari kelompok besar yang memiliki rasa tanggungjawab sosial. Oleh karenanya hukuman itu tidak boleh sesuai dengan selera pribadinya atau demi keuntungan yang diharapkannya.
(7) Jika hukuman atas kesalahan itu dilaksanakan di depan umum supaya kesalahannya itu tidak menyebar ke anggota
(51)
42
kelompok lain, imbalan pun harus diberikan di depan banyak orang dan di depan kelompok yang sama, sehingga memungkinkan terjadinya penguatan perilaku positif.
(8) Penting bagi guru dan murid untuk memahami makna kependidikan yang ada di balim hukuman, yaitu dengan menjelaskan sikap guru dan unsur-unsurnya secara lengkap setelah dia memberikan hukuman, agar guru tidak kehilangan ikatan kasih sayang dengan murid-muridnya.
Diantara jenis hukuman yang digunakan di kelas ialah hukuman fisik. Hukuman ini merupakan hukuman yang paling buruk, bukan karena ada jejaknya pada tubuh, melainkan karena ada jejak psikologisnya menimbulkan perasaan hina dan rendah diri pada anak, dan barangkali menyebabkan pembangkangan dan pelaksanaan kesalahan secara terus-menerus.
Sebagian guru menggunakan hukuman psikologis, misalnya dengan memberikan teguran dan celaan, tetapi bukan dengan kata-kata kotor dan keji. Guru harus sangat waspada agar tidak kehilangan nilai hukuman.
b) Hal-hal yang harus diperhatikan saat memberikan hukuman Dalam pemberian hukuman terdapat beberapa prinsip
punishmentyang harus diperhatikan yaitu:
(1) Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak diinginkan muncul pada satu situasi, agar individu sedikit
(52)
43
memiliki keinginan untuk mengulang kembali perilaku tersebut bila berada pada situasi yang sama
(2) Penerapanpunishmentdalam pengubahan tingkah laku, lebih kepada fungsi konsekuensi yang memberi efek penurunan perilaku
(3) Pemberian hukuman bisa dilakukan sebagai tambahan atas konsekuensi tingkah laku (tambahan tugas) atau penghilangan sesuatu yang menyenangkan bagi siswa (mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diganti dengan tugas tambahan).50
B. Adaptasi Diri
1. Pengertian Adaptasi diri
Adaptasi diri atau penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.51
Menurut Schneiders penyesuaian diri merupakan sebuah proses perubahan pada mental dan perilaku seseorang yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh untuk mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik yang dirasakan pada dirinya karena adanya ketidak harmonisan antara tuntutan dari diri sendir dengan dunia nyata. Seseorang bisa dikatakan berhasil menyesuaikan diri dengan baik jika berhasil merespon dengan matang,
50 Gantika Komalasari dan Eka Wahyuni, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT Indeks, 2011), hal. 188.
(53)
44
misalnya seseorang dapat merespon dan mengikuti dengan baik terhadap tuntutan zaman.52
Menurut Mustofa Fahmi bahwa penyesuaian diri adalah proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah diri agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri dengan lingkungannya sehingga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan yaitu lingkungan alam, sosial dan manusia.53
Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa menjelaskan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses mental dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan kemauan yang berasal dari diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya.54
Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses seseorang dalam memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntutan yang harus dijalankan dalam lingkungan, sehingga merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.
Pentingnya adaptasi diri juga diterangkan dalam Al Quran Surat Al
Isra’ ayat 15
ِﻦ ﱠﻣ
ْﻫ
ﺎَﻤﱠﻧِﺈَﻓ
ْﻬَﻳ
ْﻔَﻨِﻟ
ِﻪِﺴ
ﱠﻞ َﺿ
ﺎَﻤﱠﻧِﺈَﻓ
ﱡﻞ ِﻀ َﻳ
ْﻴَﻠَﻋ
ﺎَﻬ
ﺎَﻣ
ﺎﱠﻨُﻛ
َﲔ ِﺑﱢﺬَﻌُﻣ
ْﺒَﻧ
َﺚ َﻌ
ﺎ
١ ٥
52Nasaruddin Umar,Tuntutan Keluarga Sakinah“Seri Psikologi”, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007), hal 13.
53 Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.25.
54Singgih D. Gunarsa dan Ny, Singgih D. Gunarsa,Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,(Jakarta:PT. Gunung Mulia, 1983), hal. 93.
(54)
45
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka
sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian)itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus
seorang rasul.44
Dari ayat dapat disimpulkan bahwa manusia yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah dan Rosulnya, itu berarti dia telah berbuat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia tersebut akan mendapatkan rasa bahagia pada dirinya karena mampu memenuhi beberapa keinginan dan kebutuhan serta mampu menjalankan kehidupannya dengan puas dan bisa bertanggung jawab dengan melaksanakan norma-norma agama dan masyarakat secara baik sehingga bisa diterima oleh publik.
2. Unsur-unsur Adaptasi Diri
a. Adaptation
Adaptation artinya penyesuaian diri dipandang sebagai
kemampuan beradaptasi. Orang penyesuaian dirinya baik berarti ia mempunyai hubungan yang memuaskan dengan lingkungan. Penyesuaian diri dalam hal ini diartikan dalam kondisi fisik, misalnya untuk menghindari ketidaknyamanan akibat cuaca yang tidak diharapkan, maka orang membuat sesuatu untuk bernaung.
b. Conformity
Conformity artinya seseorang dikatakan memiliki penyesuaian
diri yang baik bila memenuhi kriteria sosial dan hati nuraninya. Kriteria sosial diartikan sebagai pengaruh sosial ketika individu mengubah sikap dan tingah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
(55)
46
c. Mastery
Masteryartinya orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik
adalah yang memiliki kemapuan untuk membuat rencana dan mengorganisasikan suatu respon diri sehingga dapat menyusun dan menanggapi segala masalah dengan efisien.
d. Individual variation
Individual variation artinya ada perbedaan individual pada
perilaku dan responnya dalam menanggapi masalah. Setiap individu memiliki pola penyesuaian diri yang khas terhadap setiap situasi dan kondisi serta lingkungan yang dihadapinya. Bagaimana individu menyesuaikan diri di lingkungan rumah dan keluarganya, disekolahnya, bagaimana individu dapat menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri.55 3. Bentuk-bentuk Adaptasi Diri
a. Adaptasi diri personal
Penyesuaian diri personal adalah ppenyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Adaptasi diri personal meliputi
1) Adaptasi diri fisik dan emosi, penyesuaian diri ini melibatkan respon-respon fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik merupakan pokok untuk pencapaian penyesuaian diri yang sehat.
55 Nur Ghufran dan Rini Risnawita S, Teori-teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal.50-51.
(56)
47
2) Adaptasi diri seksual, merupakan kapasitas bereaksi terhadap realitas seksual (impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustrasi, perasaan salah, dan perbedaan seks).
3) Adaptasi diri moral dan religius, dikatakan moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan bermanfaat dan memberikan kontribusi ke dalam kehidupan yang baik dari individu.
b. Adaptasi diri sosial
Dalam hal ini rumah, sekolah, dan masyarakat merupakan aspek khusus dari kelompok sosial dan melibatkan pola-pola hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral diantara ketiganya. Penyesuaian diri ini meliputi:
1) Adaptasi diri terhadap rumah tangga, penyesuaian diri ini menekankan hubungan yang sehat antar anggota keluarga, otoritas orangtua, kapasitas tanggungjawab berupa pembatasan dan larangan. 2) Adaptasi diri terhadap sekolah, berupa perhatian dan penerimaan
siswa atau antar siswa beserta partisipasinya terhadap fungsi dan aktifitas sekolah, manfaat hubungan dengan teman sekolah, guru, konselor, penerimaan keterbatasan dan tanggungjawab, dan membantu sekolah untuk merealisasikan tujuan intrinsik dan ekstrinsik. Hal-hal tersebut merupakan cara penyesuaian diri terhadap kehidupan sekolah.
(57)
48
3) Adaptasi diri terhadap masyarakat, kehidupan di masyarakat menandakan kapasitas untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap realitas.
c. Adaptasi diri marital atau perkawinan
Penyesuaian diri ini pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggungjawab. Hubungan dan harapan yang terdapat dalam kerangka perkawinan.
d. Adaptasi diri jabatan dan vokasional
Adaptasi diri ini berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis. Kesuksesan dalam penyesuaian diri akademik akan membawa keberhasilan seseorang dalam penyesuaian diri karir atau jabatan.56
Berdasarkan teori di atas ada empat bentuk adaptasi diri yaitu adaptasi diri personal, adaptasi diri sosial, adaptasi diri vokasional, adaptasi diri perkawinan. Namun secara garis besar ada dua bentuk adaptasi diri yang dapat dilakukan siswa yaitu adaptasi diri personal dan adaptasi diri sosial.
4. Jenis-jenis Adaptasi Diri
a. Adaptasi diri di dalam keluarga
Adaptasi diri dalam keluarga yang terpenting ialah adaptasi diri terhadap orangtua. Seperti orangtua yang keras, artinya orangtua merasa berkuasa di rumah tangga, sehingga segala tindakannya terlihat keras,
(58)
49
kurang mendengarkan keluhan atau usul anak-anaknya. Orangtua yang bersikap terlalu lunak atau tidak berdaya, artinya orang tua yang terlalu sayang terhadap anak-anak mereka atau mungkin juga karena kurangnya pendidikan. sikap orangtua yang demokratis artinya orangtua memberikan kesempatan kepada setiap anaknya menyatakan pendapat keluhan.
b. Adaptasi diri di sekolah
Adaptasi diri di sekolah ialah penyesuaian diri terhadap sikap guru dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang banyak memahami tentang perbedaan individual siswa akan lebih mudah mengadakan pendekatan terhadap berbagai masalah yang dihadapi muridnya. Penyesuaian diri terhadap mata pelajaran, dalam hal ini kurikulum hendaknya disesuaikan dengan umur, tingkat kecerdasan, dan kebutuhan. Penyesuaian diri terhadap teman sebaya, penyesuaian diri terhadap lingkungan fisik dan sosial sekolah. Dalam hal ini adalah gedung, alat-alat sekolah dan fasilitas belajar dan lingkungan sosial lainnya.
c. Adaptasi diri di masyarakat
Masyarakat juga amat menentukan bagi penyesuaian diri anak. Karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskannya di rumah, dan rumah mereka berada di dalam lingkungan masyarakat. Banyak hal-hal
(1)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat peneliti simpulkan sebagai berikut:
1. Proses pelaksanaan strategi forcing conformity untuk menumbuhkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya berjalan dengan baik dan lancar meskipun dalam proses pengumpulan data maupun proses konseling terdapat beberapa hal yang bisa dikatakan tidak sesuai rencana seperti jadwal konseling yang tertunda, sempitnya waktu bertemu dan waktu konseling yang kadang sudah larut malam karena beberapa pertemuan memang dilaksanakan pada malam hari, namun itu semua sudah menjadi konsekuensi peneliti yang harus mengikuti jadwal kosong konseli.
2. Hasil akhir dari penerapan strategi forcing conformity untuk
menumbuhkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di Pondon Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ada beberapa hal yang berubah sangat baik namun ada juga hal yang terkadang masih terlihat pada diri konseli.
Dari lima garis besar permasalahan konseli ada empat hal yang sudah bisa konseli atasi diantaranya yaitu konseli sudah tidak membolos sekolah, konseli tidak lagi berpura-pura sakit, konseli tidak lagi
(2)
112
berkeliaran diluar kelas saat pembelajaran berlangsung, dan konseli sudah mau untuk menambal kitabnya yang kosong akibat lalainya konseli saat di dalam kelas untuk mencatat pelajaran maupun memaknai kitab, dan ada satu hal yang kadang-kadang masih terlihat dilakukan oleh konseli yaitu saat berdzikir seusai shalat berjamaah konseli masih terlihat ngobrol dengan temannya. Namun dari keseluruhan setidaknya konseli sudah berhasil untuk menyelesaikan masalahnya sendiri meski harus dengan keadaan terpaksa.
B. Saran
Dalam penelitian ini peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu peneliti mengharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk bisa lebih menyempurnakan hasil dari penelitian ini.
1. Bagi peneliti selanjutnya agar lebih memperdalam dan mengkaji lebih dalam lagi dalam menggunakan teknik yang tepat untuk mengaplikasikan strategiforcing conformity.
2. Bagi walikelas agar memberikan perhatian dan selalu membimbing konseli agar tidak melakukan hal-hal yang kurang bertanggungjawab dan merugikan diri konseli sendiri.
3. Bagi konselor dan guru BK harus tetap memantau perkembangan dan menjalin silaturrahim dengan konseli untuk membantu mencapai tujuannya meskipun pelaksanaan konseling telah selesai, dan konselor harus terus belajar memperdalam keilmuan konseling dan melatih diri
(3)
113
untuk membantu orang-orang disekitarnya dalam menemukan solusi atas masalah yang di hadapi.
4. Bagi konseli harus semangat dan rajin dalam kegiatan madrasah dan
kewadhifahan, bisa menaati semua peraturan yang berlaku di pondok pesantren dan lebih meningkatkan minat belajarnya.
5. Bagi mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam dan guru BK yang berada di lingkungan pesantren, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi untuk menangani permasalahan konseli, dalam hal ini yaitu mengembangkan penyesuaian diri santri terhadap peraturan baru.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,Jakarta: Ciputat Pres, 2002.
Arikunto, Suharismi, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990.
,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002.
Baron, Robert A. dan Donn Byrne,Psikologi Sosial,(Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 53.
Budaiwi, Ahmad Ali,Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak,
Jakarta: Gema Insani, 2002.
Budiarianto, Ahmad, Strategi Konseling (Reframing), (http://ahmadbudiarianto. blogspot.co.id/2014/04/strategi-konseling-reframing.html), Diakses 17 Desember 2016.
Daud, Abu, Kitab Shalat BAB Kapan Anak Kecil Diperintahkan Shalat, (Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist), No. 418.
Fahmi, Mustafa,Kesehatan Jiwa dalam Keluarga,Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Fajri, EM Zul dan Ratu Aprillia Senja,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,Jakarta:
Difa Publisher.
Ghony, M. Djunaidi dan Fauzan Almanshuri, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
Ghufran, Nur dan Rini Risnawati S, Teori-teori Psikologi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Gunarsa, Singgih D. dan Ny, Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,Jakarta:PT. Gunung Mulia, 1983.
gembelite.blogspot.com/2011/10/(makalah-perkembangan-pendidikan.html ?m=1) Diakses pada tanggal 11 Oktober 2016.
Hartinah, Siti,Pengembangan Peserta Didik,Bandung: PT. Refika Aditama, 2008. Hasan, Iqbal, Analisis Data Penelitian dengan Statistik, Jakarta: Media Grafika,
(5)
http://ditpdpontren.kemenag.go.id/berita/mengapa-harus-pilih-pendidikan-pesantren-ini-jawabannya/, Diakses pada taggal 11 Oktober 2016. Koentjoroningrat,Metode-metode Penelitian,Jakarta: PT. Gramedia, 1980.
Komalasari, Gantika dan Eka Wahyuni, Teori dan Teknik Konseling,Jakarta: PT Indeks, 2011.
Mahdi, Adnan, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Pati: Staimafa Press, 2013.
Mary, Nosemove, Konsep Dasar Konseling, (http://marynosemove.blogspot.co.id /2013/01/konsep-dasar-konseling.html), Diakses 10 Oktober 2016.
Moeloeng, Lexy J.,Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi),Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 85
Nasir, Ridlwan,Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005.
Nawawi, Hadari, Dkk, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Nazir, Muh.,Metode Penelitian,Jakarta: Grahalia Indonesia, 1988.
Nosemove, Mary, Konsep Dasar Konseling, (http://marynosemove.blogspot.co.id /2013/01/konsep-dasar-konseling.html), Diakses 10 Oktober 2016.
Ormrod, Jeanne Ellis, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang,Jakarta: Erlangga, 2009.
Pramudianto,I’m Coach Strategi Mengembangkan Potensi Diri dengan Coaching,
Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015.
Riecowloper’s Blog, ( https://riecowlopher.wordpress.com/peraturan-sekolah-disiplin-ketertiban-pelanggaran-hukuman/), Diakses pada tanggal 18 Oktober 2016.
Rifa’I, Muhammad,Sosiologi Pendidikan,Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2011. Santrock, John W.,Adolescence: Perkembangan Remaja,Jakarta: Erlangga, 2003. Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi
(6)
Sukardi, Dewa Ketut,Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000
Sundari, Sri Rumini,Perkembangan Anak dan Remaja,Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Umar, Nasaruddin, Tuntutan Keluarga Sakinah “Seri Psikologi”, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007.
Victoria, Bull, Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition, New York: Oxford University Press, 2008.
Willis, Sofyan S.,Remaja dan Masalahnya,Bandung: Alfabeta, 2008.
Wiwoho,Reframing Kunci Hidup Bahagia 24 Jam Sehari, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Woolfolk, Anita, Educational Psychology Active Learning Edition, terj: Helly Prajitno S dan Mulyatini S., Sri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.