LAPPEN Yuliawati, G. Hartono Rekonstruksi Model Kelembagaan BAB 1

1

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam pengembangan agribisnis hortikultura, permasalahan klasik yang
masih saja muncul adalah pemasaran. Masalah ini timbul karena banyaknya pihak
yang terlibat dalam rantai pemasaran serta struktur pasar yang tidak sempurna.
Pemerintah telah berupaya keras untuk menangani permasalahan tersebut, antara lain
dengan menumbuhkan lembaga-lembaga pemasaran seperti Sub Terminal Agribisnis
(STA) yang bertujuan: (1) meningkatkan nilai tambah, (2) sarana informasi pasar dan
pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah dan pengembangan akses pasar. Jika
tujuan tersebut dapat dicapai, diharapkan tingkat pendapatan petani akan meningkat.
Sampai dengan tahun 2011, sudah ada sekitar 35 STA di Indonesia
Berbagai kajian menunjukkan peran STA belum optimal memperbaiki
pendapatan petani (Musanif, 2004; Cemsed, 2006; Sayaka, et al, 2008). Bahkan di
provinsi Jawa Tengah, dari tujuh STA yang ada (Sewukan, Ngablak, Karangpandan,
Jetis, Kutabawa, Jalabatingkas, Krendetan), STA Karangpandan berada dalam
kondisi “mangkrak” dan mulai tahun 2012 akan dialihfungsikan untuk pusat oleholeh.

Nampaknya,


dorongan

dari

konsep

otonomisasi

dan

desentralisasi

pembangunan serta adanya pencapaian target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
kegiatan

STA

cenderung

lebih


mengemuka,

terutama

dalam

mendorong

pembangunan sarana dan prasarana fisik STA terlebih dahulu dibandingkan dengan
pembentukan sistem dan kinerja dari permasalahan-permasalahan pemasaran yang
akan ditangani lebih lanjut melalui STA tersebut.
Model STA dapat bervariasi berdasarkan karakteristik dan jenis komoditi,
kondisi pelaku agribisnis, pola pengembangan agribisnis, pemilik dan pengelola STA.
Model Stucture Conduct Performance (SCP) didasarkan pada tiga hal yang berkaitan,
yaitu: structure (struktur), conduct (perilaku), dan performance (kinerja) pasar.

2

Model ini digunakan untuk memahami fungsi ketidak-sempurnaan pasar. Suatu

kondisi yang sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

1.2 Permasalahan
Merekonstruksi suatu kelembagaan umumnya bukanlah proses yang
sederhana, namun sebaliknya merupakan proses bertahap, memerlukan waktu dan
bersifat multidisiplin. Oleh karenanya, penelitian ini membatasi dengan penekanan
pada kajian sosial ekonomi terkait kelembagaan pemasaran yang telah ada (existing)
serta konsepsi kelembagaan baru sebagai input dalam proses rekonstruksi
kelembagaan pengelolaan pemasaran sayuran.
Model rekonstruksi (penyusunan kembali) STA berbasis Structure Conduct
Performance (SCP) dapat memberi gambaran menyeluruh tentang keberadaan

struktur pemasaran, perilaku pelaku pemasaran (petani, pedagang) dan kinerja pasar
sehingga STA dapat lebih berfungsi. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab: 1)
faktor-faktor apakah yang mempengaruhi peluang pemanfaatan STA oleh petani
sayuran di Jawa Tengah, 2) siapa saja stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan
dan pemanfaatan STA, 3) bagaimanakah kinerja STA dalam pemasaran sayuran
dikaji dari struktur, perilaku dan kinerja sehingga dapat merumuskan dan
merekonstruksi (menyusun kembali) model pengembangan kelembagaan STA
berbasis SCP, 4) bagaimana arah pengembangan model hasil rekonstruksi serta

implikasi strategis pengembangan kelembagaan dan usaha STA, serta 5)
bagaimanakah implementasi model hasil pengembangan tersebut dapat diuji hasilnya
serta apakah perlu direvisi untuk menjadi model akhir.

1.3 Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Setidaknya ada lima alasan utama yang melandasi arti penting penelitian ini:
1) Kinerja Pemasaran Pertanian
Selama ini, pemasaran merupakan fase yang terabaikan dalam konteks
pembangunan pertanian di Indonesia, dengan bukti produsen pertanian yang

3

melibatkan berjuta-juta petani, masih sulit memperbaiki posisi sosial ekonominya
(Kustiah et al, 1988 dalam Rahayu, 2009). Pernyataan ini didukung kajian para pakar,
bahwa telah terjadi peningkatan produksi hasil pertanian melalui berbagai rekayasa
teknologi dan kelembagaan, tetapi tidak meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani (Dillon et al, 1999; Syafaat dan Simatupang, 2003; Simatupang et al, 2004).
Hasil empiris menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang
mengandung risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty) yang cukup tinggi. Kondisi
ini berdampak pada sistem pemasaran dan pasar produk-produk pertanian. Jika dalam

sistem agribisnis dikedepankan sistem budaya, organisasi dan manajemen yang amat
rasional dalam rangkaian memperoleh nilai tambah ( added value) yang dapat disebar
dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fairplay. Namun dalam
kenyataanya petani dan pelaku bisnis pertanian selalu dihadapkan pada pasar output
dan input pertanian yang asimetris, pasar dimana informasi yang diperoleh pelaku
pasar tidak sama yang disebabkan karena adanya eksternalitas dan informasi yang
tidak seimbang (Pyndick dan Rubinfeld, 2001).
Di samping itu kinerja pemasaran pertanian di Indonesia, secara empiris dan
generalisasi menunjukkan rantai pemasaran hasil pertanian terlalu panjang dan
menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan petani serta berdampak pada
terjadinya penyimpangan dalam pembangunan pertanian (Rahayu, 2009). Kondisi
demikian menjadi indikasi bahwa pemasaran pertanian menjadi tidak efisien, padahal
yang menyebabkan tidak efisien bukan panjang pendek rantai pemasaran tetapi
ditentukan oleh tingkat balas jasa yang

adil (fair) sesuai dengan jasa yang

dikeluarkan oleh pelaku pemasaran yang terlibat (Mubyarto,1979; Masyhuri, 2007;
Arifin, 2007).
Selain itu posisi tawar (bargaining power) yang lemah., menempatkan petani

sebagai penerima harga (price taker ), jika musim panen produksi berlimpah (over
supply) sehingga harganya murah dan jika musim paceklik harga tinggi. Menyikapi

kondisi ini, Pakpahan (2004, dalam Rahayu, 2009) mengatakan bahwa pada jaman
penjajahan, jika terjadi over supply dengan mudah dapat diatasi dengan membakar

4

atau menghancurkan tanaman, supaya produksi turun dan harga merangkak naik
kembali, dalam kondisi sekarang cara-cara demikian kurang tepat, maka harus ada
kebijakan untuk mengatur over supply ini.
Upaya pemerintah membangun dan mengembangkan STA, sebenarnya
ditujukan untuk membangun dan meningkatkan kapasitas ( capacity building) petani
dan pelaku usahatani serta aktor penting agribisnis mulai dari petani sebagai
produsen, pedagang, konsumen dan segenap lapisan masyarakat yang terlibat dalam
penyaluran produk pertanian dari produsen sampai ke konsumen. Petani sebagai
pelaku pemasaran merupakan bagian dari agri supply chain, maka petani harus
memiliki keterkaitan dengan pelaku pasar lainnya. Selama petani bergerak secara
individu akan sulit memposisikan dirinya di pasar dan tidak memiliki bargaing
position untuk mampu memperjuangkan hasil outputnya. Oleh karena itu


pembentukan dan pengembangan kelembagaan STA di tingkat produsen (petani)
sangat tepat dalam kontek sistem agri supply chain yang dapat membentuk value
chain ditunjang kompetensi yang kuat dari petani sehingga memberikan kontribusi

pada kesejahteraan petani.

2) Peran Hortikultura dalam Perekonomian Nasional
Kontribusi subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional dapat dilihat
dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Rata-rata peningkatan PDB hortikultura
sebesar 9,24 persen. Untuk kelompok sayuran memberikan kontribusi PDB terbesar
yang terjadi pada tahun 2007-2008 sebesar 10,23 persen. Selain sumbangan terhadap
PDB, di tingkat rumah tangga petani, hortikultura merupakan sumber pendapatan
rumah tangga yang penting. Perkembangan PDB untuk masing-masing kelompok
komoditas hortikultura atas dasar harga berlaku di Indonesia, tahun 2005-2009
disajikan pada Gambar 1.

5

50.000


milyar Rp

40.000
Sayuran

30.000

Buah-buahan
20.000

Tanaman Hias
Tanaman Biofarmaka

10.000
2005

Gambar 1.

2006


2007
Tahun

2008

2009

Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di
Indonesia, Tahun 2005-2009 (Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura,
2010)

3) Peran Sub Terminal Agribisnis sebagai Kelembagaan Pemasaran di Tingkat
Petani
Sifat komoditas hortikultura yang mudah rusak, dan mengalami susut yang
besar merupakan permasalahan yang dapat menimbulkan risiko produksi dan harga
bagi pelaku agribisnis hortikultura. Kehadiran STA sebagai pasar di tingkat petani,
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan pemasaran di sentra
produksi dan dilengkapi tidak hanya dengan sarana pemasaran melainkan juga
dengan sarana/prasarana penanganan pasca panen, penanganan mutu serta sistem

informasi dan distribusi.
Pengelolaan STA yang profesional akan memperlancar distribusi produk
hortikultura sehingga permasalahan dalam pemasaran dapat diatasi dan petani
produsen dapat termotivasi untuk mengembangkan skala usahanya. Mengingat dalam
era globalisasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat dan
persaingan pasar yang semakin ketat menuntut efisiensi di semua unit usaha dalam
sistem agribisnis, termasuk di dalamnya efisiensi dalam pemasaran produk
hortikultura baik dalam bentuk segar maupun olahan.

6

Fenomena kurang optimalnya kinerja STA dapat dilihat dari keberadaannya
yang justru lebih dimanfaatkan sebagai tempat bertransaksi antar pedagang, bukan
antara petani dengan pedagang seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi di STA
Jalabritangkas, Brebes, berupa kurangnya animo petani bawang merah dalam
pemanfaatan STA disebabkan petani sudah memiliki jalur dan ikatan dagang
langsung dengan para pedagang, baik pedagang pengepul desa, pedagang pengepul
kecamatan, bahkan secara langsung berhubungan dengan para pedagang besar. Selain
itu, para pedagang besar juga telah memiliki akses langsung ke pedagang desa untuk
memperoleh komoditas yang diperlukan.

Pemetaan keragaman penerapan STA di Jawa Tengah diharapkan mampu
menemukan permasalahan dan merumuskan solusi pemecahan permasalahan,
sehingga kinerja STA dapat ditingkatkan dan dapat memberi manfaat ekonomi yang
optimal bagi para pelaku pasar yang terlibat, terutama petani.
4) Ketidaksempurnaan Pasar dan Model Kelembagaan SCP
Pemasaran hasil-hasil pertanian di Indonesia, secara umum bekerja dalam
bentuk pasar yang tidak sempurna (imperfect markets). Ketidaksempurnaan tersebut
diindikasikan oleh lemahnya kelembagaan pasar (poor market institutions) secara
struktural dan kultural, biaya transaksi yang tinggi (high search costs) sehingga
menjadi tidak efisien, dan struktur informasi yang tidak sempurna dan seimbang
(imperfect and asymmetric information).

Penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh
pendekatan ekonomi kelembagaan yaitu Struktur – Perilaku - Kinerja (Structure –
Conduct - Performance).

Dengan menggunakan pendekatan tersebut berbagai

penyebab ketidak-sempurnaan pasar dapat dipetakan. Hubungan Struktur – Perilaku –
Kinerja dirumuskan sebagai berikut: struktur dianggap akan menentukan perilaku,
dan perilaku akan mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan
mempengaruhi kondisi struktur kelembagaan ekonomi yang bersangkutan (Cook,
1995; Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998; Charles D. Delorme Jr, et al, 2002).

7

Berdasarkan temuan tersebut, dilakukan rekonstruksi model kelembagaan STA
berbasis SCP.
5) Rekonstruksi dan Implementasi Model Kelembagaan STA Berbasis SCP
Rekonstruksi model kelembagaan STA berbasis SCP dikembangkan dengan
mengacu pada teori ekonomi kelembagaan dan sejumlah hasil penelitian yang
relevan, dengan harapan dapat menjadi salah satu bentuk solusi permasalahan dalam
mengoptimalkan fungsi STA sebagai kelembagaan pemasaran di tingkat petani.
Tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani dan pelaku pasar, mendidik
petani dalam memperbaiki kualitas produknya dan mengubah pola pikir ke arah
agribisnis serta menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) di samping
untuk mengembangkan akses pasar.
Keragaman perkembangan STA di tiap lokasi memerlukan acuan/panduan
standar operasional prosedur bekerja. Sampai saat ini, Pemerintah Pusat (Kementrian
Pertanian) belum membuat standar mengenai STA, baik yang menyangkut bangunan
fisik, prasarana penunjang maupun sumberdaya manusia yang mengelolanya. STA
akan dianggap memadai bila memenuhi beberapa faktor penggerak pembangunan,
dan memiliki: (1) Infrastruktur fisik berupa bangunan utama untuk kegiatan transaksi
jual beli, (2) Tempat penanganan pasca panen (pencucian, sortasi, grading, dan
pengepakan) serta gudang sebagai tempat penyimpanan, (3) Sarana seperti keranjang,
timbangan, dan meja, (4) Kantor pengelola, (5) Tempat bongkar muat dan jasa
angkut, serta (6) Prasarana jalan termasuk tempat parkir. STA yang ada saat ini
terkesan seperti gudang penyimpanan produk pertanian dengan pengelolaan yang
kurang profesional.
Implementasi strategi pendekatan kelembagaan STA berbasis SCP akan
melibatkan

seluruh

stakeholder

kelembagaan

petani,

lembaga

struktural

pemerintahan, dan lembaga-lembaga terkait. Masyarakat petani sebagai stakeholder
utama, bersama dengan peneliti, lembaga penyuluhan, lembaga perancang
pembangunan daerah, dan elemen-elemen pembangunan lain melalui kegiatan Focus
Group Discussion (FGD) sehingga bisa ditemu-kenali permasalahan-permasalahan

dari implementasi model, untuk dilakukan revisi.