Salman al-Farisi, Ahli Pikir yang Zuhud.doc 46KB Jun 13 2011 06:28:20 AM

Salman al-Farisi, Ahli Pikir yang Zuhud
Oleh: AHMAD SANGIDU
Nama Salma al-Farisi mulai membumbung tinggi di saat menjelang peristiwa Perang
Ahzab, tahun ke lima hijrah. Di saat itu umat Islam sibuk memikirkan cara
pertahanannya setelah mendengar kabar pasukan Sekutu (Ahzab) yang jumlahnya
pulahan ribu tentara pilihan akan dikirim menghancurkan lumat terhadap umat Islam
yang belum terlalu lama berdiri itu. Umat Islam di Madinah yang jumlahnya kurang dari
empat ribu orang (sudah dihitung orang tua dan anak-anak) akan terlalu sulit menghadapi
pasukan besar dengan pengalaman dan logistik memadai. Untuk itu mereka berpikir
keras tentang cara menghadapi pasukan musuh itu dengan efektif. Untunglah Salman alFarisi, seorang Persi pertama yang masuk Islam memiliki ide cemerlang dalam hal ini.
Menurut pendapatnya, pasukan musuh yang terlalu besar itu sulit ditangkis pasukan
Islam jika hanya mengandalkan cara-cara tradisional, berperang secara terbuka dan
berhadap-hadapan. Cara ini akan mempercepat kekalahan pasukan Islam yang dari
berbagai segi lebih lemah.
Saat itulah, Salman al-Farisi mempunyai ide brilyan. Meskipun strategi yang digagas itu
membutuhkan banyak pengorbanan waktu dan tenaga yang relatif lama dan melelahkan,
namun ia ekpresikan gagasannya itu pada Rasulullah saw. Menurutnya cara yang lebih
menjamin melindungi umat Islam dalam berhadapan dengan Kaum Quraisy dan sekutusekutunya itu haruslah ditempuh dengan pola pendekatan geografis. Yakni dengan
memanfaatkan banyaknya gunung dan melindungi kota Madinah dengan
mengelilinginya dengan parit. Dari sinilah perang ini juga disebut perang Khandaq atau
perang parit. Strategi ini mengandung maksud, medan-medan yang tertutup terlindungi

gunung-gunung; sementara medan-medan yang terbuka akan terlindungi dengan
pengaman parit itu. Sementara itu untuk menutup lajunya pasukan musuh bergerak di
belakang parit itu ditempatkan ahli-ahli perang handal dan pemanah-pemanah jitu untuk
membendung arus tentara musuh yang nekat menyeberangi parit.
Setelah ide dasar itu disetujui, selama waktu berminggu-minggu kaum muslimin sibuk
membuat parit. Tidak ada waktu istirahat. Selama dua puluh empat jam penuh mereka
terus menerus bekerja secara bergantian. Jika satu fihak istirahat fihak yang lain
menggantikannya. Memang amat menguras tenaga, tetapi itulah cara yang
diperhitungkan dapat menangkis musuh dengan efektif.
Salman pencetus ide cemerlang itu -- saat itu belum lama memeluk Islam. Sebelumnya
selama bertahun-tahun ia sibuk mencari agama yang benar, yang sesuai dengan hati
nuraninya. Beberapa agama telah dimasukinya, tetapi tidak pernah memberikan
kepuasan batin. Semula menjadi penganut agama Majusi, seperti keluarganya, namun
agama itu tidak memberikan apa-apa baginya. Kemudian masuk agama Nasrani, agama
ini pun tidak memberikan nuansa berarti dalam hidupnya. Setelah berkenalan dengan
agama Islam, merasalah hatinya cocok, sesuai dengan hati nuraninya yang suci. Lagipula
agama ini pun memberikan ruang yang lapang bagi pengembangan akal-pikirannya yang
cerdas.
Kemenangan umat Islam menghadapi pasukan Sekutu yang dipelopori Kaum Quraisy,
Suku Bani Ghatfan dan Yahudi Bani Quraidhoh mengangkat tinggi namanya. Sehingga

antara Kaum Muhajirin dan Anshor saling berebut untuk menjadikannya sebagai anggota
kaumnya. Mereka saling mengaku bahwa Salman adalah merupakan bagian dari

kaumnya. Mendengar keributan itu Rasulullah bersabda, "Salman adalah termasuk dari
ahli-baitku." Kalimat beliau itu menunjukkan penghargaan yang amat tinggi. Sementara
orang-orang lain yang dari segi darah dan keturunan lebih dekat dengan Rasulullah – tak
seorang pun yang dimasukkan ke dalam kelompok "ahli bait", Salman yang merupakan
orang asing, dimasukkan Rasulullah kedalam golongan ahli-bait.
Dalam pangkuan Islam, Salman tumbuh sebagai seorang yang zuhud. Meskipun
sebenarnya dia berasal dari kaum ningrat, lagi hartawan, namun yang lebih
diperhatikannya bukanlah asal keturunan dan harta-benda. Yang dinilai dalam hidup ini
adalah essensi atau "makna hakiki" dari kehidupan itu sendiri. Pikirannya yang tajam
ditambah lagi dengan hati-nuraninya yang suci merasa tereduksi, jika hidup ini
disederhanakan hanya sebagai kehidupan materi semata. Hidup yang demikian
menurutnya bukanlah kehidupan yang sejati; kehidupan yang sejati adalah kehidupan
yang bermakna yang menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kebajikan. Pola hidupnya
yang demikian itulah yang mendorong bersama dengan Abu Hurairah, Abu Darda’, Abu
Dzar dan teman-temannya yang lain masuk kedalam golongan "ahlu suffah" yang
disediakan tempat khusus di pojok ruang dari Masjid Nabawi. Mereka inilah kaum
pejuang yang selalu sibuk mencari ilmu dan mengajarkannya serta mengamalkannya

secara maksimal. Mereka adalah ahli zuhud dan wara’ dan sangat mendahulukan kepada
kesucian batin dan ketaqwaan (tasawuf).
Meskipun demikian, dalam mengamalkan ajaran Islam karena kecerdasannya Salman
tidak terjebak pada “ghuluw” (berlebih-lebihan dalam beramal). la tetap berpegang
pada prinsip "tawasut" (sikap pertengahan). Salah satu bukti dari sikapnya ini tergambar
dalam suatu kisahnya ketika ia bertamu kerumah teman dekatnya Abu Darda'.
Dikisahkan, suatu hari Salman berkunjung ke rumah Abu Darda' untuk suatu keperluan,
la terkejut ketika disambut oleh isteri Abu Darda’ (Ummu Darda') yang dingin dengan
pakaian tak terurus memancarkan rasa apatis penuh kemurungan. Melihat gelagat tak
beres itu, Salman bertanya pada Ummu Darda', katanya, "Kenapa engkau kelihatan
sedih begitu?” Jawab Ummu Darda', "Ketahuilah, saudara anda itu (maksudnya Abu
Darda') sekarang tidak membutuhkan lagi kehidupan duniawi. Dia selalu sibuk dalam
urusan ibadah semata, yakni selalu menjauhkan diri dari dunia. Di malam hari ia
tenggelam dalam qiyamul-lail (tahajud) sementara di siang hari ia tenggelam dalam
puasa sunat terus-menerus. "
Mendengar jawaban itu, Salman hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menarik
nafas dalam-dalam tanda tak setuju. Maka ketika Abu Darda' muncul, langsung saja
Salman menyambutnya dengan menyodorkan makanan seraya, bersilakan, "Hai Abu
Darda’ makanlah."
Tapi apa jawab Abu Darda', "Maaf, saya sedang puasa" Tetapi Salman terus

mendesaknya, “Saya telah bersumpah untuk makan bersama anda. Dan saya tidak akan
mau makan kecuali bersama anda.” Merasa terdesak oleh sahabat karibnya, akhirnya
Abu Darda’ berbuka (makan) makanan yang disodorkan itu.
Malamnya, Salman menginap di rumah itu, ingin mengetahui kehidupan teman
karibnya seperti diberitakan oleh Ummu Darda'. Di tengah malam, Abu Darda' bangun
hendak bersiap-siap mengerjakan tahajud. Melihat itu Salman cepat-pepat menahannya.
Sambil menahan ia berkata, "Wahai Abu Darda', tidurlah dulu. Nanti di akhir malam
kita bangun. Ketahuilah! Sesungguhnya Allah SwT mempunyai hak atas diri anda.
Tetapi, keluarga anda juga punya hak atas tubuh anda. 0leh sebab itu, berikanlah hak itu

kepada masing-masing yang ber-hak menerimanya. Silahkan anda berpuasa, tetapi
hendaklah anda pun berbuka; lakukan qiyamul-lail, tapi juga tidurlah (istirahatkan
tubuh anda); dan jangan lupa pergaulilah isteri anda dengan baik. Dengan demikian kita
bersikap adil."
Menjelang subuh keduanya bangun shalat malam kemudian pergi ke Masjid untuk
mengerjakan shalat subuh. Abu Darda' merasa "ada ganjalan" dengan nasihat dari
kawannya Salman. la ingin menanyakan langsung kepada Rasulullah agar diberikan
fatwa yang benar.
Seusai shalat, Abu Darda‘ menghadap Rasulullah saw. mempertanyakan nasihat
Salman. Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah bersabda, "Benar apa yang dikatakan

Salman. Setiap orang mempunyai hak-hak atas orang lain. Masing-masing haruslah
dipenuhi. Hak kepada Allah, kepada keluarga, kepada isteri dan kepada masyarakat.
Semuanya itu hendaknya ditunaikan dengan sebaik-baiknya.”
Salman mengalami masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Pada masa Khalifah
Usman beliau wafat.
Sumber: SM-19-2002