Pembatalan nikah karena sakit jiwa: studi komparasi pemikiran Imam Syafii dan kompilasi hukum Islam.

(1)

PEMBATALAN NIKAH KARENA SAKIT JIWA

(STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN IMAM ASY-SYAFII DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA)

SKRIPSI

Oleh: Hadiri NIM. C01212075

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga

Surabaya 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang “Pembatalan Nikah Karena Sakit

Jiwa (Studi Pemikiran Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia)”. penelitian ini

dilakukan untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pembatalan

nikah karena sakit jiwa jika ditinjau dari pemikiran Imam Syafii. 2. Bagaimana

pembatalan nikah karena sakit jiwa jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 3. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pendapat nikah karena sakit jiwa

jika ditinjau dari pemikiran Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

Data penelitian diperoleh melalui hasil pustaka yang berhubungan dengan pembatalan nikah karena sakit jiwa dengan Studi Pemikiran Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Metode Deskriptif Analisis dan kesimpulannya menggunakan logika Induktif berupa kasus yang diteliti dan deduktif berupa dalil-dalil.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Imam Syafii berpendapat bahwa penyakit yang menyebabkan dibolehkannya pasangan suami-isteri memutuskan ikatan perkawinan, yaitu penyakit karena gila, atau sesuatu yang tumbuh pada kelamin wanita yang gatal dan penyakit kelamin bukan alasan untuk memutuskan ikatan perkawinan. Pasal 72 KHI yaitu perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman, status hukumnya sama dengan orang yang dipaksa, dan tidak mempunyai akibat hukum. Sama halnya dengan orang yang salah sangka terhadap diri suami atau istrinya. Status hukumnya sama dengan orang yang khilaf, karena itu tindakan hukum maka tidak berakibat hukum, kecuali bila ada indikasi lain seperti yang diatur dalam ayat 3 pasal 72 di atas.

Sehingga akhir dari penulisan skripsi ini menyarankan kepada penegak hukum di pelosok negeri Indonesia untuk menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya, dan para pembuat undang agar dipikirkan betul ketika sedang membuat undang-undang, dan tegaslah kepada pemilihan undang-undang yang akan ditegaskan untuk dimasyarakatkan.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

MOTTO ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan. ... 20

BAB II PANDANGAN IMAM SYAFI’I TERHADAP PEMBATALAN NIKAH KARENA SAKIT JIWA DAN PERBEDAAN PEMBATALAN NIKAH DENGAN TALAK A. Pandangan Imam Syafii terhadap Pembatalan Nikah ... 22

1. Biografi Imam Syafii ... 22

2. Pengertian pembatalan nikah menurut Imam Syafii ... 24

3. Dasar hukum yang dipakai Imam Syafii ... 33

B. Pembatalan Nikah dan Talak ... 37

1. Pengertian pembatalan nikah menurut hukum Islam ... 37

2. Pengertian talak menurut hukum Islam ... 40


(8)

BAB III PEMBATALAN NIKAH KARENA SAKIT JIWA MENURUT

KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN ATURAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM YANG BERKAITAN DENGAN PEMBATALAN NIKAH.

A. Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa Menurut Kompilasi Hukum

Islam ... 44

1. Pengertian kompilasi hukum Islam ... 46

2. Latar belakang penyusunan kompilasi hukum Islam ... 47

3. Proses penyusunan kompilasi hukum Islam ... 50

4. Landasan dan kedudukan kompilasi hukum Islam ... 53

5. Aturan KHI yang berkaitan dengan pembatalan nikah ... 54

B. Contoh Kasus Pembatalan Nikah Karena Sakit ... 58

1. Kronologi perkara ... 58

2. Putusan mahkamah agung tentang pembatalan nikah karena sakit jiwa ... 59

3. Dasar hukum majelis hakim ... 60

4. Alasan majelis hakim untuk memutuskan ... 65

BAB IV ANALISIS PEMBATALAN NIKAH KARENA SAKIT JIWA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN ATURAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM YANG BERKAITAN DENGAN PEMBATALAN NIKAH. A. Analisis Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa Menurut Menurut Imam Syafii ... 67

B. Analisis Pembatalah Nikah Karena Sakit Jiwa Menurut KHI ... 71

C. Analisis persamaan dan perbedaan Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa Studi Pemikiran Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-saran ... 75


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan

manusia dan perkawinan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan

dalam sosial masyarakat, dengan salah satu tujuan perkawianan agar

pasangan suami istri hidup dalam keluarga yang sakinah, mawadah,

warahmah.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 mendefinisikan bahwa

perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Dinamakan

sebuah keluarga bila minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri lalu

selanjutnya bila bertambah keturunan dengan adanya anak ataupun anak-anak

dan seterusnya, dalam Alquran Surah Arrum ayat 21 yang berbunyi:1

هتايآ

أ

ق خ

كل

كسف أ

اًجا أ

ا ك ستل

ا يلإ

لعج

ك يب

ًةّد

ً حر

ّ إ

يف

كلذ

ايآ

قل

ّكفتي

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Arrum ayat 21).

1 Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahan

nya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2012), 123.


(10)

2

Membentuk keluarga adalah perbuatan yang baik, karena dengannya

panggilan kebutuhan dasar manusia terpenuhi secara wajar, oleh karena itu

dalam setiap perbuatan baik, tidak cukup dengan niat baik saja tetapi juga

harus melalui jalan yang baik. Adapun dalam pandangan Islam, pernikahan

adalah jalan yang sangat baik.

Maka sudah semestinya dalam sebuah keluarga dibutuhkan tata aturan

berupa hak dan kewajiban yang sebagian telah diatur oleh Undang-undang

dan sebagian lagi berupa hukum adat dengan saling pengertiannya sesama

anggota keluarga.

Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syarat rukunnya,

maka menimbulkan akibat hukum, dengan demikian, akad tersebut

menimbulkan juga hak dan kewajiban selaku suami istri dalam keluarga, yang

meliputi; hak suami atas istri, dan hak istri terhadap suami. Termasuk di

dalamnya adab suami terhadap istri seperti yang telah dicontohkan Rasul.2

Suami sebagai peminpin atau kepala keluarga bagi istri dan

anak-anaknya dan istri sebagai pendamping suaminya, sehingga konsep sakinah,

mawaddah dan warrahmah dapat di rasakan dalam keluarga.

Namun, dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis dan tanpa

konflik. Suatu ketika bisa saja suami istri berselisih faham dari persoalan

yang kecil sampai pada masalah yang menimbulkan perceraian. Begitu juga

dalam menjalaninya, seseorang tidak akan luput dari masalah baik masalah

yang datangnya dari diri sendiri, keluarga, lingkungan, bahkan negara. Begitu

2

Thiami Sobari Sahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009), 153.


(11)

3

juga dalam rumah tangga, pasangan suami istri akan mengalaminya. Tidak

sedikit masalah yang terjadi dalam hubungan suami istri yang berakibat pada

perceraian. Dengan berbagai macam bentuk perceraian mulai, dari talak,

khuluk, syikak, lian, fasakh, ilak, maupun dengan bentuk zihar.

Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan salah satu bentuk

pembatalan nikah karena sakit jiwa yang akan melihat pandangan dari Imam

Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Fasakh merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk keluar dari masalah tersebut.

Perjanjian perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang

Perkawinan dan KHI (kompilasi hukum Islam). Hal ini dirasa perlu, agar

perjanjian kawin berjalan dalam koridor hukum dan untuk menjamin hak-hak

pihak yang membuat kesepakatan (suami istri). Di samping itu, perjanjian

tersebut sangat urgen untuk diatur karena ada dalam sebuah lembaga bernama

pernikahan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan

ketentuan dari perjanjian kawin yang dicantumkan dalam Pasal 29 ayat 1

sampai 4 yaitu:

1. Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas


(12)

4

3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk melakukan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.3

Dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam disebutan kedua calon

mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinnan dalam bentuk:

a. Taklik talak

b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan hukum Islam

Ketika perjanjian kawin telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka

masing-masing wajib memenuhinya, sepanjang dalam perjanjian tersebut

tidak ada pihak-pihak lain yang memaksa.4 Tidak ada alasan untuk tidak

menepatinya, karena hal tersebut akan menimbulkan implikasi hukum. Lebih

jauh, pelanggaran atas perjanjian tersebut dapat membuat pernikahan menjadi

goyah dan mengganggu tercapainya tujuan pernikahan.

Pada praktiknya, meski perjanjian kawin telah disepakati bersama, tidak

menjamin akan ditaati selamanya oleh suami istri. Adakalanya pelanggaran

perjanjian kawin terjadi sehingga menimbulkan masalah dikemudian hari.

Untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran atas perjanjian kawin dan

melindungi pihak-pihak yang bersepakat dalam perjanjian tersebut, maka

dalam pasal 51 Kompilasi Hukum Islam mengatur hal tersebut dalam salah

satu Pasal-nya yang berbunyi:

3

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

4


(13)

5

“Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri ntuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannnya sebagai alasan gugatan

perceraian ke Pengadilan Agama.”5

Ketentuan yang menyebutkan pelanggaran atas perjanjian kawin dapat

dijadikan sebagai alasan untuk meminta pembatalan nikah oleh istri ini

menggambarkan pihak istri memiliki kedudukan yang kuat dan sangat

diproteksi oleh ketentuan yang ada dalam KHI tersebut.

Posisi perempuan (istri) dalam perjanjian kawin sangat dilindungi oleh

ketentuan tersebut. Hal ini sejalan dengan berkembangnya wacana

penghormatan terhadap eksistensi wanita, gerakan feminisme dan sorotan

banyak negara di dunia yang menganggap perempuan sebagai lambang dan

mewakili identitas nasional serta kemurnian kebudayaan.

Keberpihakan ketentuan Pasal 51 terhadap posisi perempuan (istri)

dengan cara bisa mengajukan permintaan pembatalan nikah bila suami

melanggar perjanjian kawin ternyata juga menimbulkan problema. Bila

ditelisik lebih mendalam, celah untuk meminta pembatalan nikah perlahan

menjadi terbuka. Sebelumnya, pembatalan nikah tidak dapat begitu saja

diajukan. Pembatalan nikah dapat terjadi karena adanya pelanggaran rukun

dan syarat nikah.

Berikut ini beberapa alasan yang diperbolehkan untuk istri menuntut

fasakh atau pembatalan nikah di Pengadilan, yaitu :

1. Suami sakit gila

5


(14)

6

2. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat

sembuh.

3. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan

hubungan kelamin

4. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya.

5. Istri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami

6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga

tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.

Dari beberapa alasan yang disebutkan di atas, pelanggaran perjanjian

kawin tidak disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat menjadikan

alasan untuk meminta pembatalan nikah. Namun pada perkembangan

keilmuan sekarang, banyak ditemukan istilah penyakit gangguan jiwa, antara

lain:

1. Climomania

Orang yang mengalami Climomania ini akan cenderung memiliki

keinginan untuk berlama-lama di atas kasur terlebih kalau sedang musim

dingin. Penderita Climomania ini mempunyai keinginan atau obsesi untuk

selalu ada di atas kasur dalam jangka waktu lama, bahkan bisa sampai

seharian. Climomania berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti

“obsesi tidur”.

2. Demonomania

Demonomania ini sangat erat kaitannya dengan eksistensi makhluk


(15)

7

memiliki perasaan ketakutan yang berlebihan, bahkan ketakutan dirasuki

oleh roh jahat dari alam gaib ke dalam tubuhnya. Orang yang mengalami

Demonomania ini akan semakin parah setelah ia melihat film-film horor,

membaca buku horor atau mendengarakan cerita horor.

3. Trichotillomania

Maniak kategori ini juga cukup aneh dan menggelikan.

Trichotillomania merupakan kelainan gerakan refleks dalam bentuk

penyiksaan diri seperti menarik atau menjambak rambut, bulu mata, alis,

dan lainnya.6

4. Sindrom Couvade

Sindrom ini dialami oleh pria yang pasangannya sedang hamil dan

mendekati masa kelahiran bayinya. Calon ayah yang mengalami sindrom

ini akan merasakan pengalaman kehamilan sang calon ibu. Rasa sakit

melahirkan, diasingkan pasca melahirkan, pembatasan makanan dan

melakukan hubungan intim. Bahkan kasus ekstrimnya adalah ketika

sindrom ini mampu merubah bentuk badan si calon ayah, terlihat seperti

seorang perempuan hamil tujuh bulan.

5. Grisi Siknis (penyakit gila)

Dalam bahasa Inggris disebut dengan “Crazy Sickness”, atau

penyakit gila, merupakan penyakit menular, sebuah sindrom latah yang

mendominasi penduduk Desa Miskito di Amerika tengah bagian timur,

Nicaragua, dan terutama menyerang perempuan muda 15-18 tahun.

6

Jenis-Jenis Gangguan Jiwa Pada Manusia, https://www.deherba.com/jenis-jenis-gangguan-jiwa-pada-manusia.html. Diakses pada tanggal 01 Desember 2016


(16)

8

Selama dalam keadaan sakit gila tersebut, si penderita akan tidak sadarkan

diri, jatuh ke tanah, kemudian melarikan diri. Namun sebelum terjadi

serangan tersebut, si penderita akan mengalami sebuah gejala yang

ditandai oleh, sakit kepala, pusing, gelisah, mual, marah yang tak

beralasan dan atau ketakutan. Dikatakan menular karena biasanya si

penderita akan menyebutkan nama seseorang yang ada di sekitarnya, dan

terinfeksi.7

Namun, dalam Ketentuan Pasal 51 KHI tersebut juga tidak dijelaskan di

dalamnya maupun di peraturan lainnya secara detail dan jelas mengenai

pelanggaran perjanjian kawin yang dapat dijadikan untuk meminta

pembatalan nikah. Disisi lain, apakah penyakit gangguan kejiwaan modern

tersebut dapat menjadi sebab dapat melakukan gugat cerai.

Selain itu, juga perlu ditinjau menurut hukum Islam. Di sini, hukum atau

ketentuan dituntut tegas agar tidak terjadi kesimpangsiuran yang

membingungkan masyarakat. Bila sampai hal ini terjadi tentu tidak menutup

kemungkinan terjadi ketidakpastian dan membuka celah permainan hukum.

Islam membenarkan dan mengizinkan adanya perceraian apabila hal

tersebut dipandang lebih baik dan Islam juga membuka kemungkinan

perceraian baik dengan jalan talak maupun dengan jalan fasakh demi

menjunjung tinggi prinsip kemerdekaan dan kebebasan manusia.8

7

Mengerikan; Gangguan Jiwa Aneh dalam Penyakit Manusia Modern. http://www.nyit-nyit.net/threads/mengerikan-gangguan-jiwa-aneh-penyakit-manusia-modern.135848/. Diakses pada tanggal 01 Desember 2016

8


(17)

9

Untuk itu penyusun berusaha membahas persoalan di atas dengan

mengangkat pandangan Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam mengenai

pembatalan perkawinan dengan alasan suami atau istri mengalami gangguan

kejiwaan. Dengan demikian penulis perlu mengkaji lebih jauh latar belakang

pandangan Imam Syafii mengenai metode Istinbat hukum yang di gunakan,

berikut alasan-alasan dan dasar hukum dari Imam Syafii. Imam Syafii

berpendapat: Apabila suami tidak memperoleh nafkah untuk istrinya, maka

istrinya itu mempunyai hak pilih antara tetap bersama suaminya atau cerai.

Jika dia (suami) lantas bercerailah dia dengan tidak berbentuk talak.9

Menurut Imam Syafii, nafkah itu wajib bagi suami dan merupakan hak

istri, baik nafkah berupa lahir ataupun batin, ia tidak gugur disebabkan suami

menghilang dalam waktu yang lama. Disini Imam Syafii menyamakan suami

yang miskin dengan suami yang pergi tanpa ada kabar tentang keberadannya,

baik menghilangnya dilakukan dengan sadar ataupun tidak. Hal ini disamakan

karena pihak istri sama-sama tidak mendapat nafkah, yang menjadi rujukan

fasakh dalam kaidah ushul fikih adalah “kemadharatan itu harus dihindari”.10

Dalam hal ini jika dalam kehidupan rumah tangga terjadi keadaan atau sikap

yang menimbulkan kemadharatan kepada salah satu pihak, maka pihak yang

mendapat kemadharatan dapat mengajukan untuk putusnya perkawinan atas

dasar pengaduan pihak yang dirugikan. Penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa (Studi Pemikiran Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia).

9

Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1973) IV, 232.


(18)

10

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah

dapat di identifikasi sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 51 KHI pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi

hak kepada isteri untuk meminta pembatalann nikah atau mengajukan

sebagai alasan gugatan perceraian ke pengadilan agama, dalam pasal

tersebut tidak dijelaskan di dalamnya maupun di peraturan lainnya secara

detail dan jelas mengenai pelanggaran perjanjian kawin yang dapat

dijadikan untuk meminta pembatalan nikah.

2. Hukum atau ketentuan dirasa kurang tegas, karena bisa berdampak terjadi

kesimpangsiuran yang membingungkan masyarakat. Bila sampai hal ini

terjadi tentu tidak menutup kemungkinan akan mengalami sebuah

pelanggaran karena tujuan tersebut untuk mencapai sebuah

kemaslahatan.jika dituangkan dalam bentuk ketentuan resmi,ia juga harus

mengandung kejelasan makna dan kepastian hukum

3. Mengkaji lebih lanjut pembatalan perkawinan dikarenakan salah satu dari

pasangaan suami/istri mengalami gangguan kejiwaan.

4. Membahas persoalan tersebut dengan mengangkat pandangan Imam Syafii

dan Kompilasi Hukum Islam

Berdasarkan identifikasi yang telah dikemukakan di atas, agar

penelitian terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka


(19)

11

Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia terhadap pembatalan

nikah akibat gangguan kejiwaan.

C. Rumusan Masalah

Adapun beberapa permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian

ini, yang diantaranya:

1. Bagaimana pembatalan nikah karena sakit jiwa jika ditinjau dari pemikiran

Imam Syafii ?

2. Bagaimana pembatalan nikah karena sakit jiwa jika ditinjau dari

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ?

3. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pendapat nikah karena sakit jiwa jika

ditinjau dari pemikiran Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam

Indonesia ?

D. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap objek yang

sama serta menghindari anggapan plagiasi karya tertentu, maka perlu

pengkajian terhadap karya-karya yang telah ada. Diantara penelitian yang

sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut.

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, ditemukan skripsi yang

membahas tentang parkir, yaitu skripsi Ahda Bina Afianto dengan judul

“Murtad Sebagai Sebab Putusnya Perkawinan Pada Kompilasi Hukum Islam


(20)

12

murtad sebagai sebab putusnya perkawinan. Dalam literatur kitab-kitab

klasik, apabila salah seorang suami atau istri murtad, terdapat dua macam

putusan. Putusan pertama, perkawinan mereka seketika batal. Secara umum,

putusan ini terdapat dalam kitab-kitab Mazhab Hanafi dan Maliki. Putusan

kedua, suami-istri itu harus diceraikan. Secara umum, putusan ini dimuat

dalam kitab-kitab Mazhab Syafii.dan Hambali. Meskipun kelihatan berbeda,

semua kitab sepakat perkawinan itu telah putus (furqah). Adapaun kitab-kitab

modern hanya mengamini isi dari kitab-kitab klasik.

Dalam Kompilasi Hukum Islam ada dua pasal yang mengatur masalah

murtad dalam perkawinan, yaitu Pasal 75 dan Pasal 116. Secara implisit Pasal

75 menyebutkan bahwa perbuatan murtad membatalkan perkawinan, tapi

Pasal 70 tidak menyebutkan perbuatan murtad sebagai sebab batalnya

perkawinan. Sedangkan Pasal 116 tidak menyebutkan murtad sebagai salah

satu alasan perceraian, kecuali terjadi ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Keadaan ini amat janggal, mengingat Penjelasan atas Kompilasi Hukum

Islam menyebutkan, bahwa salah satu materiil yang dijadikan pedoman dalam

bidang-bidang hukum perkawinan ini bersumber pada 38 buah kitab fiqih,

yang di antaranya adalah 13 buah kitab mazhab Syafii.11 Adapun dibawah ini

merupakan hasil-hasil dari penelitian terdahulu yang telah diringkas dalam

bentuk skripsi, diantaranya:

1) Skripsi Nur Lailatul Farida dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap

Putusan Pembatalan Perkawinan Campuran Dengan Alasan Penipuan

11

Ahda Bina Afianto, “Murtad Sebagai Sebab Putusnya Perkawinan Pada Kompilasi Hukum Dalam Perspektif Kitab Klasik Dan Modern”. (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013)


(21)

13

Status Kewarganegaraan: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar

Nomor:2492/Pdt.G/2014/Pa.Bl”. Skripsi ini membahas tentang bagaimana

dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara nomor

2492/Pdt.G/2014/PA.BL dan bagaimana relevansi putusan Pengadilan

Agama Blitar nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL. dengan hukum Islam. Hasil

penelitian menyimpulkan bahwa majelis hakim mengabulkan permohonan

pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status

kewarganegaraan karena perkawinan campuran tersebut tidak memenuhi

ketentuan pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang tidak

adanya bukti surat keterangan dari pihak Termohon I yang dikeluarkan

oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negaranya

masing-masing. Selain itu, Hakim juga mengedepankan konsep maslahah dalam

memutuskan perkara pembatalan perkawinan campuran ini. Menurut

analisis hukum Islam, putusan pembatalan perkawinan campuran tersebut

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum Islam.12

2) Skripsi yang disusun oleh Wiwin Siti Aminah berjudul “Konsep Fasakh

Nikah Menurut Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam, Relevansinya

dengan Kepentingan Hukum Masyarakat Dewasa Ini”. Dari penelitian ini

tidak dibahas mengenai perjanjian kawin maupun implikasinya, namun

lebih banyak membahas persoalan pembatalan nikah dalam KHI. Secara

lebih gamblang, skripsi tersebut menjelaskan konsep Imam Syafii

mengenai fasakh nikah dan alasan-alasan yang dapat mendorong

12 Nur Lailatul Farida, “Anali

sis Hukum Islam Terhadap Putusan Pembatalan Perkawinan Campuran Dengan Alasan Penipuan Status Kewarganegaraan : Studi Kasus Putusan Pengadilan


(22)

14

terjadinya fasakh. Konsep inilah yang mendominasi pembahasan

mengenai fasakh dalam KHI. Pada kesimpulannya diperlukan reaktualisasi

KHI baik secara formal maupun material agar terus relevan dengan

kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat.13

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana pembatalan nikah karena sakit jiwa jika

ditinjau dari pemikiran Imam Syafii.

2. Untuk mengetahui bagaimana pembatalan nikah karena sakit jiwa jika

ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah

keilmuan hukum Islam bagi masyarakat luas terutama yang berkaitan

dengan pembatalan nikah akibat salah satu dari pasangan suami/istri

mengalami gangguan kejiwaan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan

memberikan kontribusi pemikiran kepada para praktisi hukum dan

pihak-pihak yang berkompeten dengan pelaksanaan hukum Islam.

13

Wiwin Siti Aminah, “Konsep Fasakh Nikah Menurut Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam, Relevansinya dengan Kepentingan Hukum Masyarakat Dewasa Ini”, (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009).


(23)

15

G. Definisi Operasional

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu

sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam

penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan

tujuannya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa

(Studi Komparasi Pemikiran Imam Syafii Dan Kompilasi Hukum Islam

Indonesia)”. Dan agar tidak terjadi kesalah pahaman di dalam memahami

judul skripsi ini, maka perlu kiranya penulis uraiakan tentang pengertian judul

tersebut sebagai berikut:

1. Pembatalan nikah merupakan Pembatalan hubungan suami istri sesudah

dilangsungkan akad nikah. Selain itu pembatalan perkawinan juga

tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang

dilaksanakan tidak sah akibatnya perkawinan itu dianggap tidak pernah

ada.14

2. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

kekacauan pikiran, persepsi, dan tingkah lakun di mana individu tidak

mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan

lingkungan.15

3. Studi Pemikiran Imam Syafii merupakan pendapat hukum yang di

gunakan, berikut alasan-alasan dan dasar hukum dari Imam Syafii.

14

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia), 28.

15


(24)

16

4. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan Sekumpulan materi hukum

Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga

kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum

Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan

(14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk

ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat

panjang dan melelahkan karena penhgaruh perubahan sosial politik terjadi

di negeri ini dari masa ke masa.16

Dari beberapa definisi tersebut di atas, yang menjadi fokus pembahasan

penulis adalah Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa, Studi Pemikiran Imam

Syafii Dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum tujuan

penelitian ada tiga macam, yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian dan

pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu

adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.

Pembuktian berarti data yang diperoleh itu digunakan untuk membuktikan

adanya keragu-raguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu, dan

16

Pengertian Kompilasi Hukum Islam. http://google.com/kompilasi-hukum-islam., diakses pada tanggal 10 Juni 2016.


(25)

17

pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan yang

telah ada.17

1. Data yang dikumpulkan

Adapun data yang perlu dikumpulkan sebagai berikut :

a. Data tentang dasar pemikiran Imam Syafii tentang pembatalan nikah

akibat gangguan kejiwaan.

b. Data tentang Kompilasi Hukum Islam tentang pembatalan nikah akibat

gangguan kejiwaan.

2. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah dari

mana data diperoleh.18 Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,

maka sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung

diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Sumber data sekunder ada

tiga, yaitu:19

a. Sumber data primer

Sumber data primer ini merupakan data yang diperoleh secara

langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan data langsung

pada sunyek sebagai sumber informasi yang akan dicari.20 Dalam

17

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010), 3.

18

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 129.

19

Masruhan, Metode Penelitian Hukum (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 97

20


(26)

18

penelitian ini, maka data yang diperoleh bersumber dari kitab-kitab

Imam Syafii dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari

sumber yang telah ada atau data-data yang sudah tersedia yang

berfungsi sebagai pelengkap data primer.21 Data tersebut diantaranya:

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2) Al-fiqh„ Ala Madhahib al-Arba‟ah karya Abdurrahman Al-Jaziri 3) Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd

4) Fiqih Empat Madhab karya Syaikh al-Alamah Muhammad bin

„Abdurrahman ad-Dimasyqi

5) Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah

6) Fiqh as-Sunnah karya Sayid Sabiq

7) Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghozali

8) Risalah Nikah karya Al-Hamdani

9) Fikih Munakahat karya H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani

10) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir Syarifuddin

11) Fiqh Muamalah karya Rachmat Syafei

12) Ushul Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah,

13) Ushul Fiqh karya Abd. Rahman Dahlan.

3. Teknik pengumpulan data

21


(27)

19

Dalam penelitian normatif ini, pengumpulan data dilakukan penulis

melalui buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah,

peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan

sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik.22 Dalam proses

penelitian, catatan, rekaman.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak

akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.23

4. Teknik analisis data

Teknik Analisis data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah

teknik deskriptif komparatif yaitu:

a. Teknik deskriptif komparatif adalah teknik analisa yang memaparkan

data apa adanya.dalam hal ini pendapat imam syafi’i dan kompilasi hukum islam Indonesia tentang judul kemudian di analisa dari sisi

persamaan dan perbedaan nya ( di bandingkan ) serta kelebihan dan

kekurangannya.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan suatu penjabaran secara deskriptif

tentang hal-hal yang peneliti tulis dalam skripsi ini yang secara garis besar

terdiri dari lima bab.

22

Suharsimi Arikunto, Presedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 194.

23


(28)

20

Bab satu diuraikan pendahuluan yang meliputi latar belakang, identifikasi

dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang pembatalan nikah karena sakit jiwa. Adapun

uraian pada bab ini meliputi: pengertian, dasar hukum, beberapa alasan yang

dapat diajukan dalam biografi, pendapat syafii, perbedaan pembatalan nikah

dengan talak.

Bab ketiga mendeskripsikan tentang Kompilasi Hukum Islam pembatalan

nikah karena sakit jwa tentang aturan dalam Kompilasi Hukum Islam yang

berkaitan dengan pembatalan nikah.

Bab keempat berisi tentang analisis komparatif terhadap pendapat hukum

bagaimana kekuatan dan kelemahan yang digunakan Imam Syafii tentang

pembatalan nikah karena penyelaras, pembeda pasangan suami/istri

mengalami gangguan kejiwaan. Selain itu juga bagaimana kekuatan dan

kelemahan perspektif dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Bab lima berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan selanjutnya

memberikan saran yang ditujukan untuk perbaikan perbaikan kondisi


(29)

22

BAB II

PANDANGAN IMAM SYAFII TERHADAP PEMBATALAN NIKAH KARENA SAKIT JIWA DAN PERBEDAAN PEMBATALAN NIKAH DENGAN TALAQ

A. Pandangan Imam Syafii terhadap Pembatalan Nikah

1. Biografi Imam Syafii

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn Al-Abbas bin al- Abbas ibn

Utsman ibn Syafii ibn Saib ibn Ubaid Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Abd

al-Muthalib Ibn Abd Manaf.1

Ia termasuk dalam golongan suku Quraisy. Beliau sebenarnya telah

membuktikan kebenaran ungkapan Rasulullah saw : “Ulama Quraisy akan memenuhi

lapisan bumi dengan ilmu”.2 Hal ini terbukti dari keluasan ilmu yang dimiliki oleh ImamSyafii.Beliau dilahirkan di Ghazza pada tahun 150 H.Ghazza bukanlah tempat

kediaman orang tuanya, ayah beliau Idris pergi ke Ghazza dan meninggal disana.

Dan sesuadah beliau meninggal lahirlah Muhammad, anaknya, dan pada tahun

kemudian beliau dibawa kembali oleh ibunya ke Makkah.3

ImamSyafii dibesarkan dalam kondisi yatim dan fakir, hidup atas bantuan

keluarganya dari kabilah Quraisy, namun bantuan yang ia dapatkan sangat minim,

tidak cukup untuk membayar guru yang bisamengajarkan tahfiz alquran serta

dasar-dasar membaca dan menulis, namun karena sang guru melihat kecerdasan

ImamSyafii serta kecepatan hafalannya, ini menyebabkannya dibebaskan dari biaya.4

ImamSyafii tumbuh di Makkah dan belajar kepada Muslim bin Khalid

az-Zanji, mufti Makkah, hingga diijinkan memberi fatwa saat ImamSyafii berumur 15

1

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000) 101.

2

Mustofa Muhammad Asy-Syakah, Islam Tidak Bermazhab, ( A. M. Basalamah ) Jakarta: Gema Insani, 2004), 349.

3

Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) 89

4


(30)

tahun. Kemudian ImamSyafii pergi ke Madinah dan belajar fikih kepada Imam Malik hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Kemudian ImamSyafii pergi ke Yaman

disana ia belajar Fikih dari Umar bin Abu Salmah. Pada tahun 184 H, ImamSyafii

didatangkan ke Baghdad/ Irak karena dituduh menentang Daulah Abbassiyah, namun

ia terbebas dari tuduhan. Kedatangannya ini menjadi sebab pertemuannya dengan

ulama fikih Irak Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (Pengikut Abu Hanifah) lalu

ImamSyafii belajar masalah-masalah fikih darinya. Kemudian ImamSyafii pindah ke

Makkah dengan membawa kitab-kitab fikih ulama’ Irak, dan tinggal di Makkah

untuk mengajar, berfatwa, dan bertemu dengan banyak ulama’ di musim haji selama

9 tahun.Setelah itu beliau pergi ke Irak untuk kedua kalinya pada tahun 195 H dan

bermukim disana selama 2 tahun, kemudian kembali ke Makkah. Lalu ia kembali ke

Baghdad/Irak pada tahun 198 H dan bermukin disana selama beberapa bulan.

Kemudian beliau pergi ke Mesir pada akhir tahun 199 H, atau dikatakan pada tahun

200 H. Ia menetap disana, mengajar, berfatwa, mengarang, dan mengajarkan

murid-muridnyahingga wafat pada tahun 204 H.5

Tepatnya beliau wafat pada 20 Januari 820 M. (29 Rajab 204 H) dan

dimakamkan di pemakaman Bani Abd.6ImamSyafii mempunyai istri bernama

Hamidah binti Nafi’ bin Unaisah bin Amru bin Ustman bin Affan.7

Dari pernikahan

tersebut ImamSyafii dikaruniai tiga orang anak, mereka bernama: Abu Ustman

Muhammad (ia seorang hakim di kota Halib, Syam/Syiria), Fathimah dan Zainab.8

2. Pengertian Pembatalan Nikah Menurut ImamSyafii

Menurut ImamSyafii dikenal dengan Fasakh, ialah diputuskannya hubungan

perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu

5

Abdul Karim Zaidan, Pengantar Syari‟ah Islam Lebih Dalam, ( M. Misbah,) (Jakarta: Robbani Press, 2008), 212-213.

6

Teguh Pramono, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa (Yogyakarta: Diva press, 2013), 284.

7


(31)

pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang telah ada adalah

sah dengan segala akibatnya,dan dengan difasakhkan ini bubarlah hubungan

perkawinan itu.9 Rusak atau tidak sahnya pernikahan karena tidak memenuhi salah

satu syarat atau salah satu rukunnya atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan

oleh agama. Pembatalan perkawinan Menurut ImamSyafii disebut dengan fasakh.

Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti

membatalkan, bila dihubungkan kata ini dengan perkawinan berarti membatalkan

perkawian atau merusak perkawinan.10 Jika ada kata-kata fasakh bai berarti

pembatalan akad jual beli karena ada suatu sebab/illat/cela. Sedangkan fasakh nikah

adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami isteri. Pendapat

lain mengatakan fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan.11

Sebagaimana dinyatakan dalam buku al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu Jilid 9, bahwa

pernikahan yang batal adalah pernikahan yang tidak sempurna rukunnya. Sedangkan

pernikahan yang fasid (rusak) adalah pernikahan yang tidak sempurna syaratnya dan

terdapat cacat setelah terlaksana. Secara umum ulama mazhab Syafii menilai kedua

hukumnya sama. Maksudnya salah satu dari kedua jenis pernikahan ini tidak

mengakibatkan terlaksananya konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang sah.12

a. Hal–hal yang dapat membatalkan nikah

Dari segi alasan terjadinya, secara garis besar fasakh dapat dibagi menjadi 2

sebab, yaitu:

1) Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad perkawinan.

Maksudnya pernikahan yang sebelumnya telah berlangsung, ternyata

9

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986),

10

Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta Pustaka Hidayah, 242.

11

M. A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat; Kajian Fiqih Nikah Lengkap (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010),196


(32)

kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun, maupun syaratnya, atau pada perkawinan tersebut.Terdapat halangan yang

tidak membenarkan terjadinya perkawinan.13 Seperti, setelah akad nikah

ternyata baru diketahui bahwa isterinya adalah saudara atau memiliki

hubungan nasab, mushaharah atau persusuan, maka pernikahan seperti ini

harus dibatalkan, karena wanita tersebut adalah wanita yang haram untuk

dinikahi. Fasakh dalam bentuk pertama ini tidak dibicarakan secara khusus

dalam kitab fikih. Alasannya ialah perkawinan itu jelas-jelas tidak memenuhi

persyaratan perkawinan atau terdapat padanya halangan (mawani’) nikah.

Dalam ketentuan umum yang disepakati semua pihak ialah bahwa

pernikahan yang tidak memenuhi syarat, rukun atau terdapat padanya

mawani’ tersebut dinyatakan batal.14

2) Fasakh karena hal-hal mendatang setelah akad

Fasakh macam kedua yaitu karena terjadinya hal yang baru dialami

setelah akad nikah dan setelah hubungan perkawinan berlangsung.15

Atau

dapat dikatakan pernikahan yang tidak sempurna syaratnya atau terdapat

cacat yang terdapat pada suami atau istri setelah terlaksananya

perkawinan.misalnya apabila suami istri beragama islam, tiba-tiba setelah

berjalannya waktu suami keluar dari agama islam atau murtad. Maka

Pernikahan yang telah dilakukan tersebut harus dibatalkan karena Allah swt

telah mengharamkan atas orang-orang kafir untuk bercampurdengan

wanita-wanita muslimah dan mengharamkan orang-orang mukmin untuk bercampur

dengan wanita-wanita kafir selain ahli kitab.16

13

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Indonesia,Jakarta,Prenda Media. 243.

14

Ibid. 244.

15

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 1999) 85.

16


(33)

Contoh lain ialah pembatalan pernikahan karena cacat, yang dimaksud dengan cacat disini ialah cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik

cacat jasmani atau cacat rohani. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum

perkawinan, namun tidak diketahui oleh salah satu pihak sehingga pihak lain

merasa tertipu. Dikalangan 4 madzab-mazhab fikih terdapat rincian-rincian

dan jumlah cacat yang menyebabkan terjadinya fasakh perkawinan,

diantaranya:

A ) Impotensi

Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang

menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya. Dalam

keadaan seperti itu, menurut pendapat seluruh imam madzhab (Hanafi,

Maliki,Syafii, Hambali) istri dapat membatalkan perkawinan.17 Dikatakan

disini adalah dapat, yang bermakna tidak harus, atau dapat dikatakan istri

memiliki hak khiyar maksudnya memilih antara meneruskan pernikahan atau

membatalkannya.Namun dalam pembatalannya harus menunggu selama satu

tahun terlebih dahulu, hal itu berdasarkan riwayat dibawah ini:

ي

يعس

ب

بيس

ً ي

يض

ل

ع

ع

ف

ي ع

ع

ف

ي ع

ً س

)

ج

ث

(

“Dari sanad Sa’id bin Musayyab juga (yaitu yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Masshur dari Sa’id bin Musayyab itu), beliau mengatakan: “Umar telah memutuskan tentang lelaki yang lemah syahwat (impoten) supaya

dia diberi waktu setahun”.(Dan para perawinya, orang-orang yang

terpecaya)18

17

Muhammad Jawad Mughniyah,Alfiqhu Madzahibil al-Khamasah,( Afif Muhamad 1,Basrir Press,Jakarta,1994) 351.


(34)

Diberi waktu setahun ini, dimaksudkan agar mengetahui dengan jelas bahwa suami itu apakah benar-benar impoten atau tidak, atau mungkin saja

dalam jangka waktu satu tahun penyakit tersebut bisa sembuh. Namun

apabila dalam waktu tenggang tersebut suami tetap tidak menyentuh istri,

maka istri boleh memilih berpisah dengan suaminya

B ) al-Jubb dan al-Khansha’

Al-Jubb adalah terpotongnya zakar, sedangkan Al-Khansa’ adalah

kehilangan atau pecahnya buah zakar.19

Menurut kesepakatan ke-empat Imam

mazhab, cacat tersebut menyebabkan istri boleh memilih antara meneruskan

perkawinan atau membatalkannya. Dan istri memiliki hak membatalkan

perkawinan tanpa harus menunggu, bila cacat itu terjadi sebelum hubungan

seksual.

C ) Gila

Gila ada dua macam: pertama, gila sejati. Bila istri menderita gila jenis

ini, maka suami berhak membatalkan pernikahan baik parah ataupun ringan.

Kedua, gila akibat sedikit gangguan pada akal, bukan karena kecelakaan atau

penyakit. Bila istri menderita gila seperti ini, maka suami berhak pula

membatalkan pernikahan.20 Imam Syafii berpendapat bahwa suami boleh

memfasakh akad perkawinan karena penyakit gila yang diderita istrinya,

demikian pula sebaliknya.21

19

Muhammad Jawad Mughniyah,Alfiqhu Ala Madzhibil al-Khamasah ( AfifMuhammad , Basrie Press,Jakarta,1994) 355.

20

Imam Syafii Abu Abdullah Muhammad bin Idris, 508.

21


(35)

D) Sopak dan Kusta

Jika diantara suami-istri menemukan aib atau cacat pada pasangannya

yang baru diketahui setelah akad nikah, cacat dalam hal ini terdapat penyakit

sopak dan kusta, maka kedua belah pihak berhak memilih pasangannya,

berhak memilih disini maksudnya adalah hak untuk melanjutkan perkawinan

atau memfasakh perkawinan dengan pasangannya tersebut.

Sebagaimana pendapat ImamSyafii, bahwa kedua penyakit tersebut (sopak

dan kusta) merupakan cacat bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan.

Kedua belah pihak boleh melakukan fasakh manakala menemukan penyakit

tersebut ada pada pasangannya. Bagi Syafii hukumnya sama dengan

orang-orang gila.22

E ) Al-Ritq, al-Qarn, al-Afaldan al-Ifdha

Al-Ritq adalah tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan

terjadinya kesulitan bersenggama. Al-Qarn adalah benjolan yang tumbuh pada

kelamin wanita yang mirip tanduk domba, dan al-Afal adalah daging yang

tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan, sedangkan

al-ifdha‟ adalah menyatunya kedua saluran pembuangan.23 Jika seorang suami menemukan aib pada diri istrinya yang mengakibatkan ia tidak bisa

bersetubuh dengan istrinya tersebut, seperti wanita tersebut

mempunyaikemaluan yang rapat, yang bukan lubang kencing (ritqun), yang

cacat tersebut tidak mungkin untuk dihilangkan, maka laki-laki tersebut

berhak membatalkan nikahnya.24

22

Jawad, Muhammad Mughniyah,Alfiqhu Ala Madzhibil al-Khamasah ( AfifMuhammad , Basrie Press,Jakarta,1994) 356

23

Ibid., hlm. 357

24


(36)

Sebagaimana halnya Imam Syafii mengatakan bahwa yang menyebabkan

fasakh adalah rataq dan alqarn saja. Sedangkan ifdha dan afal tidak

berpengaruh terhadap akad.25

Dua macam-macam Pernikahan yang batal menurut fikih, Pernikahan

yang batal jumlahnya banyak sekali, penulis akan menjelaskan beberapa

macam pernikahan selain yang telah di paparkan sebelumnya, diantaranya

ialah:

a. Nikah syighar

Adalah pernikahan dengan cara seorang lelaki menikahkan perempuan yang

ada dalam tanggungannya; putri atau saudari dengan seseorang, dengan syarat

orang tersebut menikahkannya dengan perempuan yang ada dalam

tanggungannya juga, diantara keduanya tidak ada mahar, kecuali pertukaran

kedua perempuan tersebut.26 Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:

ع

عف

ع

ب

ع

يض

ل

ع

،

س

ل

ص

ل

ي ع

س

ع

غش

ج زي

ج

ب

ع

ج زي

خآ

ب

سي

يب

ص

)

ي ع

(

Dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra. Beliau berkata: Rasulullah saw. melarang

kawin syighar. Kawin syighar itu ialah seseorang mengawinkan anak perempuannya dengan syarat orang itu mengawinkan anak perempuannya

kepada dia dan tidak ada mahar antara keduanya. Muttafaqalai27

Jumhur ulama’ mengatakan, bahwa pernikahan syighar hukumnya tidak sah dan

jika pernikahan ini terjadi maka harus dibatalkan baik sebelum maupun sesudah

berhubungan intim.28

b. Nikah Mutah

25

Muhammad Jawad Mughniyah, Alfiqhu Madzahibil al-Khamasah,( Afif Muhamad 1,Basrir Press,Jakarta,1994) . 357

26

Wahbah Az-Zuhaili, Alfikih al islami 9, 112

27


(37)

Nikah Mutah dalam istilah hukum biasa disebut dengan “perkawinan untuk masa tertentu” dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu datang, perkawinan terputus dengan

sendirinya tanpa melalui proses perceraian.29

Imam madzhab empat sepakat bahwa nikah mutah adalah batal, nikah

mut‟ah selain tidak sah, juga telah dihapus hukumnya oleh ijma para ulama

dahulu dan kemudian. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

ثي ح

ي ع

ب

ب

ب

يض

ل

ع

،

س

ل

ص

ل

ي ع

، س

ع

ع

ء س

ي

، بيخ

ع

ك

ل

يس

Ali bin Ali Thalin r.a. berkata: Rasulullah saw. telah melarang nikah mutah (kawin untuk sementara waktu) pada waktu perang Khaibar,

dan juga melarang makan daging himar peliharaan.30

Dalam riwayat Muslim dari Saburah AlJuhaini ra.berkata: Nabi saw. bersabda : "Dahulusayaizinkankamukawinmutah, dankini Allah telahmengharamkannya

hingga hari kiamat, maka siapa yang masih memiliki wanita itu harus

melepaskannya, dan jangan meminta kembali apa yang telah kamu berikann

kepadanya.31Olehkarenaitumayoritas ulama "

Berpendapat bahwa nikah mutah telah dinyatakan batal dan tidak sah, tidak

ada perbedaan pendapat tersebut kecuali Syiah Imamiyah yang masih

memperbolehkannya. Menurut ImamSyafii jika seorang lelaki menikah dengan

syarat adanya khiyar (pilihan) maka akadnya tidak sah, karena akad tersebut

dapat batal oleh adanya waktu kesepakatan waktu.32

c. Nikah muhallil

29

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Indonesia,Jakarta,Prenda Media,100

30

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al- Lu‟lu‟ Wal Marjan Jilid 1 :Himpunan Hadits Shahih yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim. trj. H. Salim Bahreisy. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996). 479

31


(38)

Yaitu seorang laki laki menikahi perempuan dengan syarat ketika telah menggaulinya maka ia akan menceraikannya, atau tidak ada lagi ikatan

pernikahan antara keduanya, atau hal itu diniatkan oleh sang suami, atau mereka

berdua telah menyepakati hal itu, maka pernikahan tersebut tidak sah dan

perempuan tersebut tidak halal bagi bekas suaminya.33Sabda rasulullah saw:

ع

ب

عس

ض

ل

ع

:

ع

س

ل

ص

ل

ي ع

س

)

ح

س

(

Dari Ibnu Mas‟ud r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. mengutuk orang yang

mengahalalkan dan orang yang yang dihalalkan. (diriwayatkan oleh

Ahmad, Nasa’i , dan At-Tirmidzi)34

Hadits tersebutmenjadidalil pengharamantahlil (menghalalkan yang haram),

maksudnya menjadi perantara suami dan istri yang sudah talak tiga, agar halal

lagi dengan bekas suaminya yang mentalaqnya dengan talak tiga itu. Kata

kutukandidalam haditsdiatasmengarah kepadaperbuatan yang diharamkan, dan

setiap yang diharamkan itu pasti dilarang, sedangkan larangan itu menetapkan

rusaknya akad (batalnya akad nikah).

d. Nikah orang yang sedang berihram

Penikahan dianggap batal ketika salah satu dari pelaku akad atau kedua-duanya

sedang dalam keadaan menunaikan ibadah ihram, baik dalam haji atau umrah,

sebelum melakukan tahallul. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

نَع َناَم ثع َى ِضَر هَّ ه نَع ىَ َق و س َر َِّ ىَ َص َّ ِهي ع ََ َس َو حِك نَيَا ِر ح ملِا ا َو حِك نَي ( هور سم )

Artinya: Dari Ustman r.a beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: orang yang memakai ihram itu tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan.

(diriwayatkan oleh Muslim).35

33

Ibid., hlm. 117

34


(39)

Menurut Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya Fikih Wanita mengatakan bahwa larangan ini bersifat haram. Dengan pengertian lain, apabila

dilakukan maka pernikahannya tersebut tida ksah.36

e. Nikah dengan wanita yang sedang menjalani masa idah

Tidak seorang pun boleh melamar wanita muslimah yang sedang menjalani

masa idah, baik karena perceraian mapun karena kematian suaminya. Jika

menikahinya sebelum masa iddahnya selesai maka nikahnya dianggap batal, baik

sudah berhubungan badan maupun belum atau sudah berjalan lama maupun

belum. Disamping itu, tidak ada waris diantara keduanya dan tidak ada kewajiban

memberi nafkah serta mahar bagi wanita tersebut darinya.37

3. Dasar hukum yang dipakai ImamSyafii Dalam Pembatalan Nikah Karena Sakit Jiwa

Imam Syafii dapat mengumpulkn antara tarikat ahlur rayi dengan tarikat ahlu

hadis. Oleh karena itu mazhab nya tidak terlalu condong kepada ahlul hadis.

Mengenai dasar-dasar hukum ImamSyafii dalam pendapatnya yang tertulis dalam

kitabnya ar-Risalah sebagai berikut :

1. Alquran beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika di

dapati alasan yang menunjukan bukan arti yang lahir itu yang harus

dipakai atau dituruti.

2. Sunah, beliau mengambil Sunah tidaklah mewajibkan yang mutawatir

(ragu-ragu) saja, tetapi yang dipergunakan pula untuk menjadi dalil,

asal telah mencukupi syarat-syarat nya, yakni selama perawi hadist

itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersmabung langsung sampai

Nabi Muhammad saw.

36

Syaikh Kamil Muhammad. Uwaidah, Fiqih Wanita trj. M. Abdul Ghoffar E.M., (Jakarta: Putaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 386


(40)

3. Ijma dalam arti, bahwa para sahabat semua telah menyepakatinya bahwa kemungkinan ijma dan persesuaian paham bagi segenap ulama

itu, tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan sukar

berkomunikasi, ImamSyafii mendahulukan hadist ahad dari pada ijma

yang bersendikan ijtihad, kecuali kalau ada keterangan bahwa ijma itu

diriwayatkan dari orang ramai hingga sampai kepada Rasulullah.

4. kias : ImamSyafii memakai kias apabila dalam ketiga dasar hukum

diatas tidak tercantum, juga dalam dalam keadaan memaksa hukum

kias yang terpaksa diadakan itu hanya mengenai keduniaan dan

muamalah, karena segala sesuatu yang berurusan ibadat telah cukup

sempurna dari alquran dan sunah Rasulullah.

5. Istidlal ( minta petunjuk ), maulana Muhamammad Ali dalam

bukunya islamologi mengatakan bahwa makna aslinya menarik

kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua sumber utama yang

diakui untuk ditaraik kesimpulanya ialah adat kebiasaan dan

undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui, bahwa adat

kebiasaan yang lazim di tanah arab pada waktu datang Islam yang

tidak dihapus oleh islam, mempunyai kekuasaan hukum oleh karena

itu imamSyafii memakai jalan istidlal dengan alasan kaidah-kaidah

agama ahli kitab yang terang-terangan dihapus oleh al-Qur’an.

ImamSyafii berpendapat mengenai ihtihsan sebagai berikut : barang

siapa menetapkan hukum dengan ihtihsan berarti ia membuat syariat

sendiri.38

38


(41)

Ketika ia kembali ke Irak untuk kedua kalinya pada tahun 195 H. ia telah memiliki madzhab yang mandiri dengan dasar-dasar dan kaidah-kaidahnya.

Kemudian ia mengajarkan di Irak dan melengkapinya selama tinggal disana.

Di irak inilah beliau mengeluarkan kaul kadim-nya. Kemudian beliau hijrah

ke Mesir, dan di Mesir beliau merefisi pemikirannya yang disebut kaul jadid.

Ajaran ImamSyafii tersebar di Afrika Utara,Mesir, Saudi Arabia, Yaman,

Libanon, Palestina, Irak, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Pattani

(Thailand), dan Srilanka.39

Dari segi urutan masa ImamSyafii merupakan imam ketiga dari empat orang

imam yang masyhur, tetapi keluasan dan jauhnya jangkauan pemikirannya dalam

menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan hukum fikih

menempatkannya menjadi pemersatu semua imam. Ia sempurnakan

permasalahannya dan ditempatkan pada posisi yang tepat dan

sesuai, sehingga menampakkan dengan jelas pribadi yang ilmiah.40 Ia tidak

saja menelaah data hukum yang ada tetapi juga menyelidiki prinsip dan metode

fikih. Sehingga beliau dinobatkan sebagai ulama pencetus Ushul Fikih.41

ImamSyafii berpegang pada Al-Qur’an dan Sunah, dan menjadikan Sunah

sebagai penjelas dari nash-nashnya, perinci (mufasshil) globalnya (mujmal),

pembatas (muqayyid) kemutlakannya (mutlaq), pengkhusus (mukhashish)

keumumannya (amm), meskipun berupa khabarahad. Ia berpegang pada

khabarahad se lama perawinya sikah (terpercaya) dan adil. Ia tidak mensyaratkan

kemasyhuran pada khabar yang menyangkut hal-hal yang menjadikan kebutuhan

publik, sebagaimana yang dikatakan Imam Abu Hanifah, juga tidak harus sesuai

39

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010). 123.

40

Mustofa Muhammad Asy-Syakah,Islam Tidak Bermazhab ( Gema Insani Press Surabaya )349

41


(42)

dengan perbuatan penduduk Madinah seperti yang dikatakan ImamSyafii hanya

mensyaratkan keshahihan sanad.42

Setelah Alquran dan Sunah, ImamSyafii berhujjah dengan ijma, kemudian

dengan pendapat sahabat dengan memilih yang terdekat maknanya kepada

alquran dan Sunah. Jika ia tidak melihat adanya kedekatan ini, maka ia berpegang

pada ucapan khulafaur rasyidin dan men-tarjih-nya (mengunggulkannya) atas

pendapat sahabat lain. Kemudian setelah itu ia berhujjah dengan kiyas.43

Inilah dasar hukum yang dipakai ImamSyafii, beliau mengkritik istihsan

sebagai salah satu dalil yang tidak disepakati, sebagaimana dinyatakannya

dalam kitab karya beliau Ibthalul Istihsan.metode ini adalah metode yang biasa

digunakan Abu Hanifah. ImamSyafii selalu tampil dengan penolakan yang

sangat tegas terhadap istihsan sebagai dalil hukum, dan menilainya sebagai

penetapan syariat dengan hawa nafsu, sebagaimana ia mengingkari mashlahah

mursalah yang dijadikan dalil dasar hukum oleh Imam Malik.

ImamSyafii menegaskan bahwa tidak seorangpun boleh berbicara halal dan

haram kecuali berdasarkan ilmu (min jihah al-ilm) yaitu berupa kabar dari

Kitab, Sunah, Ijma, atau kiyas. Dari penegasan ini diketahui bahwa hanya empat

dalil inilah yang benar-benar sebagai landasan hukum.44

Dari hasil pemikiran ImamSyafii, beliau banyak menyusun dan mengarang

kitab-kitab, diantara karya-karya beliau ialah:

1. Ar-risalah Al-qadimah (Kitab Al Hujjah)

2. Ar-Risalah Al-Jadidah ( Kitab risalah terbaru )

3. Ikhtilaf Al-Hadis

42

Karim ,Abdul Zaidan,Mengenal Syariah Lebih Dalam ( M.Misbah ) JakartaRabbani Press,2008. 214

43

Ibid., hlm. 215.

44

Lahmuddin Nasution,Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafii ( Bandung ,Remaja Rosdakarya 2001).63.


(43)

4. Ibtal Al-Istihsan

5. Ahkam Alquran

6. Bayadh Al-Fardh

7. Sifat Al-Amr wa Nahyi

8. Ikhtilaf Al-Malik waSyafii

9. Ikhtilaf Al-Iraqiyin

10.Ikhtilaf Muhammad bin Husain

11.Fadhail Al-Quraisy

12.Kitab Al- Umm

13.Kitab Al-Sunan.45

ImamSyafii berpendapat bahwa pembatalan nikah karena sakit jiwa termasuk

salah satu batalnya suatu perkawinan,. Dalam buku karya Muhammad Jawad

Mughniyah, yang berjudul Fikih Lima Madzhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki,Syafii,

Hambali, dijelaskan bahwa .Dalam suatu perkawinan yang sah, seorang suami

diharamkan menikahi seorang yang sakit kejiwaanya baik sudah bercampur ataupun

belum, bahkan apabila telah terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati seorang

tersebut tetap haram untuk dinikahi selama masih terganggu kejiwannya.

Sebagaimana fiman Allah dalam Surah an-Nisa ayat 23

ح

ي ع

أ

ب

خأ

ع

خ

ب

ٱ

ل

ب

ٱ

ل

خ

أ

ٱ

ي

أ

عض

خأ

ٱ

ض

ع

أ

س

ئ

ب

ب

ٱ

ي

يف

ك

ح

س

ئ

ٱ

ي

خ

ب

ف

خ

ب

لف

ج

ي ع

ح

بأ

ئ

ٱ

ي

صأ

ب

أ

ع

يب

ٱ

ل

خ

ي

لإ

ف س

إ

ٱ

ّ

ك

غ

يح

٣٢

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu; anak-anak kamu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara kamu yang laki-laki; anak-anak-anak-anak perempuan dari saudara-saudara kamu yang perempuan; ibu-ibu kamu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kamu (mertua); anak-anak isteri kamu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri

45


(44)

yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan) , maka tidak berdosa kamu menikahinya;(dan diharamkan bagi kamu)isteri-isteri anakkandung kamu (menantu) ; dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23

ImamSyafii berkata: apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu

wanita itu meninggal dunia atau diceraikan sebelum laki-laki itu sempat dukhul,

maka saya berpendapat tidak boleh baginya menikahi ibu wanita itu.46 Selanjutnya

juga disebutkan dalam buku al-Umm karya ImamSyafii bahwa wanita mana saja

yang dinikahi oleh seorang laki-laki, maka ia diharamkan atas bapak laki-laki yang

menikahinya, baik si laki-laki telah dukhul atau belum.47ImamSyafii tidak

memasukkkan persetubuhan sebagai hal yang menyebabkan hubungan mushaharah

terhadap mertua dan menantu, tetapi persetubuhan hanya dimasukkan terhadap anak

istri/ anak tiri.

Gila, para ulama fikih sepakat bahwa suami boleh memfasakh akad karena gila

yang diderita isterinya, demikian pula sebaliknya kegilaan itu terjadi baik sebelum

akad atau sesudah akad.48

ْ ع

ْ

ْ ع

ْ

ايض

ْ

ْل

ْ

ْ ع

ْ

ْلاق

ا يا

ْ

ْ لج

ْ

ْج زت

ْ

ْ تأ ما

ْ

ا ب

ْ

ْ ج

ْ

ْ ا ج ا

ْ

ْ ب ا

ْ

ا س ف

ْ

ا ف

ْ

ا قا ص

ْ

ْ لماك

ْ

ْكل

ْ

ا ج زل

ْ

ْ غ

ْ

ى ع

ْ

ا يل

(ْ.

ا

ْ

كلام

ْ

ىعفا لا

(

Dari Umar r.a. berkata, “Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan , lalu dari perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, atau kusta, atau balak, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak baginya menikahinya dengan sempurna. Dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya.” (H.R. Malik dan As-Syafii)

46

Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris,Ringkasan Kitab Al Umm jilid 2, Mohammad Yasir Abd Mutholib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2015), 450.

47

Ibid., hlm. 451.

48Abu A’la Al


(45)

Dengan demikian itu adalah suatu kerugian bagi si suami da

walinya.49ImamSyafii berpendapat ada empat macam penyakit yang menyebabkan

dibolehkannya pasangan suami isteri memutuskan ikatan perkawinan, yaitu penyakit

karena gila, lepra, kusta, sakit sopak dan penyakit kelamin, atau sesuatu yang

tumbuh pada kelamin wanita yang gatal dan penyakit kelamin bukan alasan untuk

memutuskan ikatan perkawinan.50

B. Pembatalan Nikah Dan Talak

1. Pengertian pembatalan nikah menurut hukum Islam

Ulama’ Fikih mengemukakan beberapa perbedaan mendasar antara perceraian

(talak) dan fasakh, diantaranya:

a. Dari segi hakikat

Fasakh mengandung pengertian pembatalan akad nikah serta

menghilangkan seluruh akibat perkawinan sekaligus. Adapun talak adalah upaya

mengakhiri suatu perkawinan dan seluruh akibat perkawinan serta baru habis

apabila talak yang jatuh itu adalah talak yang ketiga kalinya (talak bain kubra).51

b. Dari segi penyebabnya

Fasakh ada kalanya disebabkan adanya cacat pada akad nikah atau ada

hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan itu tidak bisa dilanjutkan. Adapun

talak merupakan hak suami yang dipergunakan atas kehendaknya sendiri,

sementara akad nikah itu sendiri tidak ada cacatnya.52 Hal-hal tertentu diatas

merupakan pernikahan yang tidak sempurna syaratnya atau terdapat cacat yang

terdapat pada suami atau istri setelah terlaksananya perkawinan.

49

Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid., alih bahasa M.A. Abdurrahman dan Haris Abdullah (Semarang, Asy-Syifa, 1990), Juz 2, 454

50Abu A’la Al

-Maududi., Pedoman Perkawinan dalam Islam., alih bahasa Alawiyah (Jakarta, Darul Ulum Press, 1999),97

51


(46)

c. Dari segi akibat

Pisahnya suami-istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika

suami mentalak istrinya dengan talak raj’i( talak satu dan dua ), kemudian

mereka rujuk pada masa idah, atau melakukan akad lagi pada waktu idahnya telah

habis dengan akad yang baru, maka talak tersebut dihitung dengan satu kali talak,

dan ia masih ada kesempatan melakukan talak dua kali lagi Sedangkan pisahnya

suami-istri karena fasakh ini tidak mengurangi bilangan talak.53

d. Dari segi pembagiannya

Talak adakalanya talak raj’i ( talak satu dan dua ), yaitu talak satu atau dua dengan arti suami berhak rujuk kepada istrinya selama istri tersebut masuk

dalam masa iddahnya, dan ada kalanya talak ba’in yaitu talak yang ketiga kalinya

(disebut talak ba’in kubra), talak satu atau dua yang telah habis masa iddahnya

dan perceraian yang terjadi akibat khuluk ( dua bentuk terakhir disebut talak bai’n

sugra) dalam talak ba’in kubra suami tidak boleh rujuk kepada istrinya dan

mereka boleh menikah kembali apabila istrinya itu telah kawin sengan laki-laki

lain kemudian cerai. Dalam talak ba’insugra suami boleh kembali kepada istrinya

dengan melangsungkan akad nikah dan dengan mahar yang baru, sekalipun istri

tersebut tidak harus kawin dahulu dengan lelaki lain. Adapun dalam fasakh

pembagian sepertidiatas tidak ada. Suami tidak boleh rujuk kepada istrinya,

bahkan dalam kasus mengawini saudara sendiri, pihak laki-laki selamanya tidak

boleh kawin kembali dengan wanita yang ternyata saudara perempuannya.54

Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan

rukun perkawinan, perlu diperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum

perkawinan islam. Apabila di kemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat

53

Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunah,dari buku Dasar –Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan Pengadilan Agama( CV Diponegoro Bandung 2005 ) 58

54


(47)

sahnya perkawinan makaperkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikanikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa

perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami istri yang

perkawinannya dibatalkan di anggap tidak pernah kawin sebagai suami istri.

Di dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas:

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

untuk melangsungkan perkawinan.

Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikanbisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan agamanyamasing-masing tidak menentukan

lain. Perkawinan dapat dibatalkanberarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu

dibatalkan karena adanyapelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.55 Ada kesan

pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidakberfungsinya pengawasan baik dari pihak

keluarga atau pejabat yangberwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana

kendati setelah ituditemukan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan atau

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinanadalah para

keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami danistri dan orang-orang yang

memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut hukum munakahat. Jika ini

terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas

permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Pengertian talak menurut hukum islam

Dalam hukum Islam pembatalan perkawinan dapat terjadi karenadua hal, yaitu :

a. Terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilaksanakan Hal yang

membatalkan perkawinan dalam alquran diatur dalam surat Anisa ayat 22, 23,dan

24 yaitu larangan menikah dengan yang masih mahram, misalnya suami istri

55


(48)

yang telah melangsungkan perkawinan tiba-tiba diketahui bahwa antara mereka terdapat hubungan saudara sesusuan. Sejak diketahui hal itu maka perkawinan

menjadi batal, meskipun telah mempunyai keturunan, yang pandang sebagai anak

sah suami istri yang bersangkutan. Perkawinan tersebut dibatalkan karena tidak

memenuhi syarat sahnya akad, yaitu adanya hubungan mahram antara laki-laki

dan perempuan. Misalnya lagi, perkawinan antara laki-laki dan perempuan

ternyata akhirnya diketahui bahwaperempuan tersebut masih mempunyai

hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau dalam masa idah talak laki-laki

lain.Sejak diketahuinya hal itu, perkawinan mereka dibatalkan sebab tidak

memenuhi syarat sahnya akad nikah.Hal lain yang membatalkan perkawinan

adalah perkawinan orang islam laki-laki dengan istri yang kelima.

b. Terdapat hal baru yang dialami sesudah akad nikah terjadi dan berlangsungnya

akad nikah beragama Islam tetapi setelah berumahdapat dilakukan pembatalan.

Dalam alquran surat albaqarah ayat 221, almumtahanah ayat 10 mengenai

larangan orang islam dengan penipuan, yakni suami yang semula beragama

hubungan perkawinan berlangsung yaitu dalam hal perkawinan islam (secara

formalitas) dan setelah pernikahan terjadi suami kembali pada agamanya semula,

maka perkawinan yang demikianmasih menolak, maka hubungan perkawinan

diputuskan sebab menikahi orang non islam, misalnya suami istri pada waktu non

islam kemudian masuk hanya untuk menikahi wanita perempuan muslimah

dengan laki-laki non muslim.tangga tiba-tiba suami murtad, keluar dari agama

Islam. Apabila telah diusahakan agar suami kembali lagi beragama Islam tetapi

terdapat penghalang perkawinan, yakni larangan kawin antara perempuan

muslimah dengan laki-laki non muslim.


(49)

Cerai berarti pisah ,putus hubungan sebagai suami istri ,talak.56 Cerai atau lebih

dikenal dalam islam talak dari kata “ ithlaq yang berarti meninggalkan atau

melepaskan,dalam istilah islam talaq adalah melepaskan perkawinan atau putusnya

ikatan perkawinan.57 Sebuah hubungan perkawinan sejatinya menjadi utuh,langgeng

bagi sebuah pasangan itulah tujuan perkawinan.Dan keduanya diharapkan dapat

menjadi fungsi dari keluarga itu sendiri yaitu :

1. Funsi Biologis

2. Fungsi Pendidikan Sosial Bagi Anak

3. Fungsi Afeksi

4. Fungsi Edukatif

5. Fungsi Religius

6. Fungsi Protektif

7. Fungsi Kreatif

8. Fungsi Ekonomis

9. Fungsi Penentuan Status58

Walaupun pekerjaan halal yang sangat dibenci adalah Talak,dan sangat tidak

dianjurkan untuk talak,seperti sabda nabi muhammad saw ,dalam sebuah hadis yang

berbunyi:

ع

ب

ع

ع

ب

ي

ص

ل

ع

ي

س

:

ب

غ

ض

ل

ل

ج زع

لط

Dari Ibnu Umar ,Bahwasannya Rasulullah SAW Pernah berkata” Perbuatan

halal yang di benci ALLAH ialah Talak ( Hr, Abu Daut Hakim dan disah kan

olehnya )59

56

Departemen Pendidikan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia ,163

57

Sayyid Sabiq,Fiqih sunnah ( Bandung Almaarif,1980),Jilid 8,1

58

H,A.Sutarmadi dan Mesrani ,Administrasi Pernikahan dan Menejemen Keluarga( Jakarta Fakultas Syariah Dan Hukum ,2006) 11-12


(50)

Tetapi terdapat darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan tingkah laku istrinya yang sudah tidak bersih lagi atau sudah tidak mencintai

nya.Tetapi jika terdapat alasan apapun,maka bercerai yang demikian termasuk kufur

terhadap nikamat Allah SWT. Talak juga mempunyai hukum wajib yaitu

wajib,sunnah,haram.Talak wajib yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak pengadilan

sebagai penengah,karena perpecahan antara suami istri sanagat berat dan sangat sulit

untuk disatukan kecuali dengan berpisah.

Talak haram yaitu Talak tanpa alasan yang dapat merugikan bagi kedua belah

pihak,tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan Talak.

Talak sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibannya terhadap Allah

seperti shalat dan sebagainya.

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum talak ada lima yang

menjadi wajib jika perseteruan yang tidak ada kunjung pemecahannya,dan kedua

belah pihak tidak dapat lagi bersatu,dua wakil dari kedua belah pihak tidak dapat

mendamaikannya dengan tujuan menyelamatkan rumah tangganya,pihak hakim

berpendapat bahwa talak adalah jalan yang lebih baik,tidak jadi penceraian maka

berdosalah suami.Menjadi haram jika menceraikan istrinya dalam keadaan Haids atau


(1)

78

mengatakan lafal fasakh yang berbunyi “aku fasakh kan nikah mu dari suami mu yang bernama fulan bin ma’un pada hari ini’’9

9


(2)

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Imam Syafii berpendapat bahwasa ada empat macam penyakit yang

menyebabkan dibolehkannya pasangan suami istri memutuskan ikatan perkawinan, yaitu penyakit karena gila, lepra, kusta, sakit sopak dan penyakit kelamin, atau sesuatu yang tumbuh pada kelamin wanita yang gatal dan penyakit kelamin bukan alasan untuk memutuskan ikatan

perkawinan.1

2. Pasal 72 KHI diatas adalah perkawinan yang dilangsungkan dibawah

ancaman, status hukumnya sama dengan orang yang dipaksa, dan tidak mempunyai akibat hukum. Sama halnya dengan orang yang salah sangka terhadap diri suami atau istrinya. Status hukumnya sama dengan orang yang khilaf, karena itu tindakan hukum maka tidak berakibat hukum, kecuali bila ada indikasi lain seperti yang diatur dalam ayat 3 pasal 72 diatas.

3. Perbedaan dan persamaan pembatalan nikah menurut Imam Syafii ataupun

KHI ,menurut Imam Syafii bila mana seorang laki-laki menikahi perempuan,lalu dari perpempuan tersebut terdapat tanda gila,kusta,balak ,lalu disetubuhi perpempuan itu maka perkawinannya sempurna,dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya. Dalam KHI Pasal 71

1 Abu A’la Al-Maududi.,


(3)

76

sudah diatur mengenai perkara apa saja yang dapat membatalkan perkawinan, Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain

yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain;

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan

dalampasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

Sedangkan persamaannya Sedangkan persamaan pendapat Imam Syafii dengan Kompilasi Hukum Islam dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara, tentnag laki-laki yang telah jauh dari istri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap mereka agar mereka mengirimkan nafkah atau menceraikan istrinya, apabila mereka telah menceraikan istrinya, hendaklah mereka kirim semua nafkah yang telah mereka tahan. Menurut pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya jangan sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan, suami atau istri yang bertindak dengan beriktikad baik terhadap harta bersama bila perkawinan didasarkan atas perkawinan lain.

Karena pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang


(4)

seketika juga dan talak raj’i ialah tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, kalau memang mau memfasakh kan cukup mengatakan lafal fasakh yang berbunyi “aku fasakh kan nikah mu dari suami mu yang

bernama fulan bin ma’un pada hari ini

B. Saran

pasal 72 KHI diatas adalah perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman, status hukumnya sama dengan orang yang dipaksa, dan tidak mempunyai akibat hukum. Sama halnya dengan orang yang salah sangka terhadap diri suami atau istrinya. Status hukumnya sama dengan orang yang khilaf, karena itu tindakan hukum maka tidak berakibat hukum, kecuali bila ada indikasi lain seperti yang diatur dalam ayat 3 pasal 72 diatas.

pasal 72 KHI diatas adalah perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman, status hukumnya sama dengan orang yang dipaksa, dan tidak mempunyai akibat hukum. Sama halnya dengan orang yang salah sangka terhadap diri suami atau istrinya. Status hukumnya sama dengan orang yang khilaf, karena itu tindakan hukum maka tidak berakibat hukum, kecuali bila ada indikasi lain seperti yang diatur dalam ayat 3 pasal 72 diatas.

Penulis sangat mengharapkan kepada penegak hukum di pelosok negeri Indonesia untuk menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya, dan para pembuat undang-undang agar dipikirkan betul ketika sedang membuat undang-undang, dan tegaslah kepada pemilihan undang-undang yang akan ditegaskan untuk dimasyarakatkan.

Kepada para tokoh ulama dan pemimpin umat agar selalu mendampingi masyarakatnya, memberikan penjelasan, dan perhatian kepada khalayak umat agar tidak menyimpang dari syariat agama dalam hal pernikahan khususnya dan hal lain umumnya,


(5)

78

dengan harapan umat islam agar senantiasa menjaga rumah tangga dan pernikahan dengan mentaati dan menjalankan semua aturan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT agarkita mendapat rahmatnya, Amin.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Afianto, Ahda Bina. Murtad Sebagai Sebab Putusnya Perkawinan Pada

Kompilasi Hukum Islam Dalam Perspektif Kitab Klasik Dan Modern. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2013

Aminah, Wiwin Siti. Konsep Fasakh Nikah Menurut Imām asy-Syāfi’i dan

Kompilasi Hukum Islam, Relevansinya dengan Kepentingan Hukum Masyarakat Dewasa Ini. Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2009.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.

Rineka Cipta. 2002

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahan nya. Jakarta: Departemen

Agama RI. 2012.

Farida, Nur Lailatul. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pembatalan

Perkawinan Campuran Dengan Alasan Penipuan Status

Kewarganegaraan: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/Pa.Bl. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2015.

Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia cet. ke-2. Jakarta: Ghalia

Indonesia. 2010.

Masruhan. Metode Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka. 2013.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia cet. Ke-6\. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. 2003.

Sahrani, Thiami Sobari. Fiqih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:

PT Raja Grapindo Persada. 2009.

Saifuddin Azwar, Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV, 2003), 91.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta: UI-PRESS, 2002), 132.

Stuart, Sundeen. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC. Sunarto.

1998.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit

Alfabeta. 2010.

Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.Pengertian Kompilasi Hukum Islam. http://google.com/kompilasi-hukum-islam. diakses pada tanggal 10 Juni 2016.