Pembatalan Nikah Karena Murtad (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/2010)

PEMBATALAN NIKAH KARENA MURTAD
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/2010)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:
MUHAMAD ALIM MUDIN
NIM. 1111044100030

PROGRAM STUDI AHWAL ASY - SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program studi strata
satu/Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya shalawat serta salam kemuliaan semoga tercurah
limpah bagi kekasih-Nya Rasullah Muhammad SAW, pembimbing bagi siapa yang
mencarinya, pemegang kunci gerbang menuju-Nya.
Adapun judul yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: “PEMBATALAN NIKAH
KARENA MURTAD (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/2010)”.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemukan hambatan dan tantangan
baik bersifat internal maupun eksternal sehingga penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai suatu karya ilmiah. Hal ini
disebabkan oleh faktor keterbatasan penulis sebagai manusia yang masih berada dalam
proses pembelajaran. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan partisipasi aktif dari
semua pihak berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaannya.
Pada kesempatan ini perkenankanlah kiranya penulis menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh stafnya yang
telah memberikan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan segala fasilitas di
Fakultas Syariah dan Hukum;


2. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag. sebagai Ketua Prodi dan Bapak Arip Purkon,
MA. sebagai Sekretaris Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah yang telah memberikan
pelajaran dan pengajaran kepada penulis sehingga dapat mencapai akhir
perjalanan dikampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. H. Supriyadi Ahmad, selaku dosen Penasihat Akademik penulis selama
mengikuti perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Bapak Arip Purkon, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan ikhlas
memberikan dorongan, bimbingan dan motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
5. Bapak dan ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelajaran dan pengajaran
kepada penulis sehingga dapat mencapai akhir perjalanan dikampus Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
6. Ayahanda tercinta Bapak Abdul Qodir dan Ibunda tercinta yaitu Ibunda
Nurnafi‟ah, yang dengan penuh kasih sayang mendidik dan membesarkan penulis
dengan segala pengorbanan yang tak ternilai harganya;
7. Saudara-saudariku, Muhammad Qomaruddin, Muhammad Jailani Rizqi, Siti
Mega Rahayu dan Siti Puspita Sari. Serta seluruh keluarga yang telah
memberikan dukungan serta bantuan moril selama ini. Untuk itu hanya do‟a yang

dapat penulis panjatkan semoga senantiasa mendapat berkah, rahmat dan tetap
dalam lindungan Allah SWT. Amin;

8. Sahabat-sahabatku, Iim Rosadi, Badru Tamam, Muhammad Nazir, Jumili, Fachry
Alfian, Sandika Rizkiyandi, Zulfikar, Ali Ash-Shobuni, Achmad Saidi, Azmi
Hasyim Ali, dan yang lain yang senantiasa memotivasi dan memberi semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, serta teman-teman jurusan
Peradilan Agama 2011 yang telah menemani penulis dalam suka dan duka hingga
akhirnya harus berpisah;
9. Habibati Fenida Nur Apriyani, Mahasiswi Tafsir Hadis sebagai calon pendamping
hidupku untuk cinta, kasih sayang serta dukungan yang mengalir tanpa henti.
10. Saudara saudariku di Kabilah PMII Kramat 2011 FSH, dan Kabilah KBPA 2011
FSH yang tidak bisa kusebutkan namanya satu persatu.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum dan
penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal atas bantuan
dan jasa-jasa semua pihak yang telah berupaya membantu penyusunan skripsi ini. Amin
Ya Rabbal Alamin.
Ciputat,

Penulis


Juli 2015

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................

i

DAFTAR ISI .............................................................................................................

iv

ABSTRAK .................................................................................................................

vi

BAB I

PENDAHULUAN ............................................................. .....................


1

A. Latar Belakang ......................................................................................

1

B. Pembatasan Masalah ............................................................................

4

C. Rumusan Masalah ................................................................................

5

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..........................................

5

E. Review Studi Terdahulu ......................................................................


6

F. Metode Penelitian ................................................................................

7

G. Sistematika Penulisan .........................................................................

9

FASAKH DAN PEMBATALAN NIKAH ..........................................

11

A. Konsep Fasakh dalam Fiqh ..............................................................

13

1. Pengertian Fasakh ........................................................................


13

2. Dasar Hukum Fasakh ...................................................................

15

3. Sebab-sebab Fasakh .....................................................................

15

B. Pembatalan Perkawinan Menurut perundang-undangan ....................

22

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan ............................................

22

2. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan .........................................


24

BAB II.

C. Komparasi Konsep Fasakh menurut Fikih dan Perundang-undangan
di Indonesia ........................................................................................

28

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 51 K/AG/2010 TENTANG

BAB IV.

PEMBATALAN NIKAH KARENA MURTAD.................................

33

A. Duduk Perkara .................................................................................

33


B. Amar Putusan Pengadilan Agama ..................................................

32

C. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Agama .......................................

34

D. Memori Kasasi ................................................................................

41

E. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan ......................................

44

KONSEP PEMBATALAN NIKAH MENURUT FIQIH DAN
PERUNDANG-UNDANGAN ...............................................................


47

A. Konsep Pembatalan Nikah (fasakh) Karena Murtad Menurut Fikih ..

47

B. Konsep Pembatalan Nikah (fasakh) Menurut Perundang-undangan ..

49

C. Penerapan Konsep Fikih dan Perundang-undangan dalam
mempertimbangan Hukum Pembatalan Nikah ..................................
BAB V.

52

PENUTUP ...............................................................................................

77


A. Kesimpulan ......................................................................................

77

B. Saran ................................................................................................

78

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

81

LAMPIRAN

ABSTRAK
Muhamad Alim Mudin, Peradilan Agama.
Pembatalan Nikah Karena Murtad (Analisisi Putusan MA No. 51 K/AG/2010)
Murtad adalah perbuatan dimana seorang muslim keluar dari agamanya menjadi
non muslim. Murtad merupakan hal yang paling prinsipil dalam kehidupan beragama dan
berumah tangga. Adanya perbuatan murtad dalam suatu hubungan perkawinan banyak
ditemui di Indonesia dan menjadi fenomena yang dijadikan alasan untuk dapat memutus
suatu perkara sebagai alasan perceraian. Perkawinan dapat putus karena alasan murtad,
hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam rumah tangga hingga akhirnya dapat
diputuskan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan.
Bagaimana pertimbangan hukum dan putusan oleh hakim Mahkamah Agung
terhadap perkara nomor 51 K/AG/2010 dalam memutus perkawinan atas alasan murtad
apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
karena kedua masalah tersebut saling berkaitan, untuk itulah kedua masalah tersebut akan
dibahas dalam penelitian ini.
Dalam riview terdahulu, implikasi Pasal 116 huruf H Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan tentang peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. Status hukum pernikahan yang tetap dilakukan jika
salah satu pihak baik suami atau istri telah menjadi murtad, bila melirik pasal tersebut,
keharmonisan dalam rumah tangga tidak akan tercipta. Mekanisme penyelesaian perkara
cerai karena murtad di Pengadilan Agama dengan cara mediasi dan mengetahui
pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yaitu
yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriftif. Adapun metode
pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mencari
dan mengumpulkan, serta meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder yang
berhubungan dengan judul dan pokok permasalahan. Dalam metode analisis data yang
digunakan analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan terdapat dua konsep pembatalan dalam kasus
murtad terhadap pernikahan. Pertama, apabila perilaku murtad terjadi sebelum dukhul,
maka status pernikahannya batal dengan seketika. Apabila ada orang yang
mengetahuinya, maka orang tersebut wajib memisahkan rumah tangga pasangan suami
istri tersebut. Kedua, apabila perilaku murtad terjadi setelah dukhul, maka pernikahan itu
harus dipisah dengan ketentuan istri harus menjalani masa iddah. Apabila telah kembali
memeluk Islam sebelum masa iddah berakhir, maka pernikahannya tetap berlanjut dan
tidak perlu ada akad baru dan berkurangnya satu hak talak yang dimiliki oleh suami.
Apabila belum kembali memeluk Islam sementara masa iddah istri telah selesai, maka
pernikahan mereka putus selamanya sejak masa iddah istri berakhir.

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Murtad (riddah) adalah keluar dari Islam lalu menjadi kafir lagi dan
memutuskan Islam.1 Murtad itu adakalanya dengan ucapan, adakalanya dengan
perbuatan, dan adakalanya dengan keyakinan. Masing-masing dari tiga macam ini
mengandung masalah-masalah yang hampir tidak terbatas jumlahnya.2
Syarat-syarat kemurtadan berdasarkan kesepakatan para ulama bisa dinyatakan
sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu baligh, berakal sehat, inisiatif sendiri tanpa
paksaan (unsur kesengajaan), mengetahui kondisi dan hukum kekafiran. 3
Hukuman orang murtad yaitu:4 pertama, hukuman bunuh dengan ketentuan
orang baligh, berakal, tidak bertobat dari kemurtadannya, dan kemurtadannya itu
tertetapkan dan terbukti dengan pengakuan atau kesaksian. Kedua, harta kekayaan
orang murtad hilang dari kepemilikannya. Ketiga, hukum waris orang murtad
statusnya adalah sebagai harta fai‟ bagi kaum Muslimin dan dimasukkan ke dalam
Baitul Mal.
Pengaruh kemurtadan terhadap perkawinan menurut kalangan ahli fikih
sependapat bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri murtad dan keluar dari

1

Al-Imam Taqiyuddi Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997),
hal. 131.
2
Al-Imam Taqiyuddi Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, hal. 132.
3
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, shahih fikih sunnah, jilid 4, (Pustaka Azzam, 2007), hal.
246.
4
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adilatuhu, jilid 7, hal. 513.

Islam, maka keduanya harus dipisah. Orang yang murtad dilarang mendekati
pasangannya dalam bentuk khalwat, hubungan intim, atau sejenisnya.5
Kedudukan murtad dalam perkawinan mempunya pengaruh yang besar
terhadap kehidupan seseorang, terutama dalam hubungannya dengan masyarakat
seperti perkawinan, hak waris, dan hak-hak lainnya. Didalam undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat mengenai larangan perkawinan yang
mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan
perkawinan itu dijelaskan diantaranya dalam pasal 8 huruf (f) yaitu perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.6
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.7
Kemudian pada Pasal 44 diterangkan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

5

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, shahih fikih sunnah, hal. 286.
Undang-undang perkawinan, hal. 4
7
Kompilasi Hukum Islam, hal. 8

6

Sedangkan didalam putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/2010 halaman 12, istri selaku Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Cibinong
atas dasar posita sebagai berikut:
1. Tergugat telah kembali ke agama semula yaitu kristen;
2. Tergugat sering berkata-kata kasar, sering mengancam Penggugat; dan
3. Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada kecocokan, sering berbeda
pendapat dalam membina rumah tangga.
Berikutnya pada halaman 6 diktum nomor 2 putusan Mahkamah Agung No. 51
K/AG/2010, pengadilan Agama Cibinong telah mengambil putusan yang berbunyi,
“Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra dari tergugat terhadap Penggugat”.
Kemudian di Pengadilan tingkat Banding atas dasar pertimbangan pada ibarah
Kitab Fiqih Sunnah juz 2 halaman 389, yang pada pokoknya berarti “Apabila salah
satu suami istri murtad, maka putuslah hubungan antara keduanya, karena murtadnya
itu mengharuskan berpisah, dan perpisahan itu masuk dalam kategori fasakh”,
dengan alasan Tergugat telah kembali ke agamanya semula yaitu kristen, maka
Pengadilan tingkat Banding telah mengambil putusan dengan amar yang berbunyi
“memfasakh perkawinan antara Pembanding dengan Terbanding.
Selanjutnya di Pengadilan tingkat Kasasi yaitu Mahkamah Agung berdasarkan
Judex Juris memperkuat amar putusan Pengadilan tingkat Banding bahwa
pertimbangan Pengadilan tingkat Banding sudah tepat, karena bukti akta nikah dari
Kantor Urusan Agama merupakan bukti otentik dan Pengadilan Agama yang
berwenang mengadili. Disamping itu, Mahkamah Agung memperbaiki amar putusan
Pengadilan Tingkat Banding yang membatalkan putusan Pengadilan Agama

Cibinong dengan amar putusan yang berbunyi “menjatuhkan talak satu ba‟in sughra
Tergugat terhadap Penggugat”.
Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana
Penelitian ini yang penulis beri judul “Pembatalan Nikah Karena Murtad
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/2010)”.

B. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah yang muncul berdasarkan

latar belakang

masalah diatas, tidak mungkin dituangkan seluruhnya dalam penelitian ini, maka
penulis membatasi masalah dalam skripsi sebagai berikut:
1.

Pembatalan nikah adalah pembatalan perkawinan antara suami istri yang
dilaksanakan oleh hakim, karena sebab-sebab yang dianggap sah untuk
melaksanakan dan menetapkan adanya Pembatalan nikah itu, berdasarkan
tuntutan dan keberatan-keberatan yang diajukan pihak istri atau suami.
Pembatalan nikah pada pembahasan ini dibatasi pada pembatalan suatu ikatan
perkawinan yang telah terjalin dengan sah yang disebabkan kemurtadan menurut
hukum agama Islam.

2.

Murtad (riddah) ialah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain atau tidak
beragama sama sekali. Orang yang melakukan riddah, secara hukum Islam tidak
ditetapkan sebagai penganut agama baru itu.8 Hal ini penulis membatasi pada
salah satu pasangan yang keluar dari agama Islam untuk beragama lain atau
tidak beragama sama sekali yakni murtad.

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin),
Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, hal. 174.
8

3.

Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/2010 penulis membatasi pula pada
kemurtadan suami telah kembali ke agamanya semula yaitu Kristen.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah pokok yang
menjadi objek kajian dalam skripsi ini:
1) Bagaimana konsep pembatalan nikah (fasakh) menurut fikih?
2) Bagaimana konsep pembatalan nikah (fasakh) menurut perundang-undangan di
Indonesia?
3) Bagaimana

penerapan

konsep

fikih

dan

perundang-undangan

dalam

mempertimbangkan hukum pembatalan nikah?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a.

Untuk mengetahui konsep pembatalan nikah (fasakh) menurut fikih.

b.

Untuk mengetahui konsep pembatalan nikah (fasakh) menurut perundangundangan di Indonesia.

c.

Untuk mengetahui penerapan konsep fikih dan perundang-undangan dalam
mempertimbangkan hukum pembatalan nikah.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi kalangan akademisi, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber
informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam
tentang fasakh akibat murtad.
b. Bagi kalangan praktisi dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
untuk memberikan informasi kepada segenap pihak yang berkompeten untuk
dijadikan bahan evaluasi terhadap pelaksanaan program hukum dan untuk
meningkatkan upaya hukum dalam memutuskan perkara perdata sehingga
dapat mengendalikan penumpukan kasus di Mahkamah Agung.
c. Bagi masyarakat luas semoga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai upaya
pengendalian perilaku dilingkungan Mahkamah Agung.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi
yang membahas tentang pembatalan nikah karena murtad. Berikut skripsi yang
penulis temukan:
Anang Hudalloh (102044124990) Murtad Sebagai Pemicu Perceraian (Telaah
Kritis atas Pasal 116 huruf H INPRES No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam) Ahwal Al-Syakhshiyah tahun 1431 H/2010 M. Skripsi ini menjelaskan
tentang implikasi Pasal 116 huruf “H” KHI terhadap perceraian, dan menjelaskan
status hukum pernikahan yang tetap dilakukan jika salah satu pihak baik suami atau
istri telah menjadi murtad. Bedanya dengan penelitian penulis yakni penulis
memfokuskan pada konsep pembatalan nikah karena murtad menurut fiqih dan

perundang-undangan, dan mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan
perkara No. 51 K/AG/2010.
Sofa Martian (108044200017) Penyelesaian Cerai Gugat Terhadap Suami
Murtad (Studi Putusan Perkara Nomor 1753/Pdt.G/2009/PAJT pada Pengadilan
Agama Jakarta Timur) Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Program Studi
Hukum Keluarga 1433 H/2012 M. Skripsi ini menjelaskan tentang mekanisme
penyelesaian perkara cerai karena murtad di Pengadilan Agama Jakarta Timur, dan
mengetahui pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut. Bedanya
dengan penelitian penulis yakni penulis memfokuskan pada konsep pembatalan
nikah karena murtad menurut fiqih dan perundang-undangan, dan mengetahui
pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara No. 51 K/AG/2010.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini lebih bersifat
deskriptif analitis. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang memaparkan
sesuatu karakteristik tertentu dari suatu fenomena. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui dan memaparkan karakteristik dari beberapa variabel dalam suatu
situasi.9 Tujuannya untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat
memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis

9

Yayan Sopyan, Buku Daras: Pengantar Metode Penelitian, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2010), hal. 23.

sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.10
1. Kriteria dan Sumber Bahan Hukum
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang sumber datanya diambil
dari tulisan-tulisan atau sumber bacaan yang diterbitkan untuk mendapatkan
dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul dengan
menggunakan bahan-bahan:
1) Bahan Hukum Primer
Adalah bahan yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri selama
penelitian berjalan. Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman
dalam penelitian, yaitu berupa putusan MA, undang-undang perkawinan,
KHI, dan data hasil wawancara.
2) Bahan Hukum Sekunder
Data Sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer, terdiri dari: Buku-buku, Artikel Ilmiah, dan Arsiparsip yang mendukung.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka

10

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo,
2001), hal. 26.

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah melalui
Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, pendapat, atau penemuan yang berhubungan erat dengan
pokok permasalahan. Kepustakaaan berupa peraturan perundangan, karya
ilmiah para sarjana, dan laporan lembaga.
b. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang
nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.11
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini akan
penulis sajikan dalam V Bab, di antaranya:
BAB I

Latar Belakang, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode
Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II

Konsep Fasakh dalam Fiqih, Pengertian Fasakh, Dasar Hukum Fasakh,
Sebab-sebab Fasakh. Pembatalan Perkawinan Menurut perundangundangan,

11

Pengertian

Pembatalan

Perkawinan,

Sebab-sebab

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal.13.

Pembatalan Perkawinan. Komparasi Konsep Fasakh menurut Fiqih dan
Perundang-undangan di Indonesia.
BAB III

Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/2010 Tentang Pembatalan
Nikah Karena Murtad.

BAB IV

Konsep Pembatalan Nikah (fasakh) Karena Murtad Menurut Fiqih,
Konsep Pembatalan Nikah (fasakh) Menurut Perundang-undangan,
Penerapan

Konsep

Fikih

dan

Perundang-undangan

Mempertimbangkan Hukum Pembatalan Nikah.
BAB V

Kesimpulan, dan saran.

dalam

BAB II
FASAKH DAN PEMBATALAN NIKAH

A. Konsep Fasakh dalam Fiqih
1. Pengertian Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal. Menurut bahasa kata “fasakh” berasal dari
bahasa arab ‫ فسخا‬- ‫ يفسخ‬- ‫ فسخ‬yang berarti batal atau rusak.12 Sedangkan menurut
Kamus Bahasa Indonesia, Fasakh adalah hukum pembatalan ikatan perkawinan
oleh Pengadilan Agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yang dapat
dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang telah terlanjur
menyalahi hukum perkwinan.13
Sedangkan menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arabi,
menyatakan bahwa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqa).14
Sedang secara istilah fasakh ialah :

‫الرابط لّتي تربط بي الزوجي‬
ّ ‫فسخ العق قضه˓ و ح ّل‬
“faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan
perkawinan suami istri.” Fasakh ialah merusak nikah atau membatalkan
perkawinan antara suami istri yang dilaksanakan oleh hakim, karena sebab-sebab
yang dianggap sah untuk melaksanakan dan menetapkan adanya fasakh itu,

12

Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia – Arab, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1996), cet. Ke-I,

hal. 92.
13
14

Frista Atmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, 2007), hal. 314.
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab Juz III, (Qatar: Dar Al-Fikr, 1994), hal. 45.

berdasarkan tuntutan dan keberatan-keberatan yang diajukan pihak istri atau
suami.15
Sedangkan Abdul Wahab Khalaf memberikan penjelasan bahwa apabila
perkataan fasakh disandarkan kepada nikah, maka ia akan membawa maksud
membatalkan atau membubarkan pernikahan oleh sebab-sebab tertentu yang
menghalangi kekalnya perkawinan tersebut.16
Pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya Al-Ahwal AlSyakhsiyyah menyebutkan “fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau
terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya
pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang
mengiringi aqad, yang menjadikan aqad tersebut tidak sah.”17
Dari definisi-definisi fasakh di atas, penulis memiliki kesimpulan tentang
pengertian fasakh. Yakni bahwa fasakh dalam perkawinan adalah membatalkan
suatu ikatan perkawinan yang telah terjalin dengan sah menurut hukum agama
Islam, dalam penelitian ini dikhususkan sebabnya fasakh ialah dikarenakan
murtadnya suami ataupun istri.
Murtad (Riddah) adalah kembali kejalan asal (status sebelumnya). Disini
yang dimaksud dengan riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam
yang berakal dan dewasa kepada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada
paksaan dari orang lain; baik yang kembali itu laki-laki maupun perempuan.18

15

Dja'far Amir, Fiqh Bagian Nikah, Seluk Beluk Perkawinan Dalam Islam, Ab Sitti Syamsiyah,
Solo, 1983, hal. 7.
16
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah Fii al-Syari’ati al-Islamiyah, (Quwait: Dar
al-Qalam, 1990), hal. 60.
17
Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, 1950, hal. 324.
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), hal. 353.

2. Dasar Hukum Fasakh
Mengenai dasar difasakhnya suatu perkawinan ini, ada dalam Kitab AlMuhadzdzab Juz II halaman 54 :

‫ا ا ارت الزوجا أوأح ه ا فا كا ق ل ال خول وقعت‬
. ‫الفرق وا كا بع ال خول و قعت الفرق على ا قضاء الع‬
"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi
sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi
setelah dukhul maka, perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah."19
Namun kalau dasar tersebut diterapkan pada kondisi masyarakat Indonesia
saat ini tidak akan bisa berjalan, karena dalam peraturan hukum di Indonesia, selain
suatu perkawinan harus sah menurut hukum agama, juga harus sah menurut hukum
negara. Jadi, jika terjadi perceraian (thalaq maupun khulu’) dalam suatu
perkawinan, harus melewati sidang perceraian di Pengadilan, agar perceraian
tersebut sah di mata negara. Begitu juga jika salah seorang suami atau istri murtad,
meskipun menurut agama Islam perkawinan tersebut fasakh atau batal dengan
sendirinya, namun menurut hukum Indonesia, harus juga melewati proses
persidangan di Pengadilan.
3. Sebab-Sebab fasakh
Menurut fiqh, suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah bisa
mengalami fasakh atau rusak tanpa harus adanya keputusan Hakim dengan empat
sebab; pertama, kerusakan aqad, kedua, munculnya kemahraman karena
19

Syaikh Imam Al-Syairozi, Al - Muhadzdzab Juz II, (Mesir: 'Isa al-Babi al-Khalabi), hal. 54.

musoharoh (besan atau mantu), ketiga, karena murtad dan keempat, karena li’an.
Penjelasan lebih rincinya sebagai berikut :
1) Rusaknya Aqad
Rusaknya aqad pernikahan antara suami istri misalnya disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila diketahui bahwa ternyata yang mengaqadkan adalah saudara
perempuan suami.
b. Aqad terjadi ketika perempuan masih berada dalam masa iddah dari suami
pertamanya.
c. Apabila diketahui bahwa aqad tidak dihadiri oleh saksi-saksi.
Maka ketika hal-hal tersebut diatas diketahui, aqad tersebut dinyatakan
fasakh atau rusak seketika itu juga tanpa memerlukan adanya keputusan Hakim.
Dalam hal sebab-sebab rusaknya aqad yang telah penulis sebutkan diatas,
tidak ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’ bahwa perpisahan suami istri
karena hal-hal tersebut diatas disebut fasakh, bukan thalaq, karena thalaq hanya
bisa terjadi pada pernikahan yang aqadnya sah, sedang dalam hal tersebut
diketahui bahwa aqad telah rusak.
2) Munculnya Kemahraman karena Musoharoh
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, munculnya kemahraman karena
musoharoh terjadi jika salah seorang suami atau istri melakukan hubungan
suami isteri (zina) atau hal-hal yang mendahului hubungan tersebut bersama
far‟inya (anak, cucu dan seterusnya) sehingga menimbulkan kemahraman nikah

karena musoharoh.20 Misalnya suami berzina dengan anak istrinya atau berzina
dengan ibu dari istrinya, atau istri berzina dengan anak suaminya atau berzina
dengan bapak dari suaminya, maka seketika itu juga, perpisahan antara suami
istri itu terjadi tanpa memerlukan keputusan dari Hakim. “Selain itu, menurut
pendapat madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad juga
menyebutkan bahwa menyentuh dengan syahwat dan melihat alat kelamin
dengan syahwat itu disamakan juga dengan zina”.21
Tetapi terjadi perbedaan antara pendapat diatas dengan pendapat dari
Madzhab Syafi‟i dan Maliki, yang berpendapat bahwa zina dan pendahuluanpendahuluannya itu tidak berimplikasi pada kemahraman antara suami istri
tersebut. Pendapat ini juga dikatakan oleh Saib bin al-Musayab, Zuhri, Abu
Zaur, Ibnul Mu‟adzir dan Syi‟ah Zaidiyah.22
3) Murtad
Murtad (riddah) ialah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain atau
tidak beragama sama sekali.23 Orang yang melakukan riddah, secara hukum
Islam tidak ditetapkan sebagai penganut agama baru itu.24
4) Li‟an
Li’an menurut arti secara bahasa berarti “saling melaknat”. Sedang
menurut arti istilah adalah kesaksian-kesaksian yang diperkuat dengan sumpah,
Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin),
Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, hal. 174.
21
Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.
174.
22
Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.
175.
23
Azhar Basyir, M.A. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Bagian Penerbit Fakultas Hukum
UII, 1990), hal. 78.
24
Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.
176.
20

yang secara timbal balik dilakukan oleh suami istri jika sang suami menuduh
istrinya berzina atau mengingkari bahwa anak yang dilahirkan si istri adalah
anak keturunan atau darah dagingnya, disertai dengan ucapan yang melaknat
dari pihak suami kepada istri dan do‟a mohon kemurkaan Allah dari istri pada
suaminya.25
Secara sederhana, modus atau cara li’an dapat penulis gambarkan sebagai
berikut. Jika suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anaknya atau
kedua-duanya, maka istri atau tertuduh memohon kepada Hakim untuk
menjatuhkan hukuman menuduh zina, yakni dicambuk 80 kali kepada suaminya.
Sebaliknya, suami mohon diterapkan hukuman zina atas istrinya, tapi tidak ada
bukti atau saksi yang membenarkan tuduhan suami, lalu Hakim dapat menyuruh
suami untuk melaknat istrinya dengan mengatakan sambil berdiri :“Saya
bersaksi, Demi Allah, saya termasuk orang yang benar dalam tuduhanku, atas
fulanah (menyebut nama istrinya sambil menunjuknya) ini, yang melakukan
zina (atau mengingkari anak atau keduanya)”.26
4. Ikhtilaf Fuqaha‟ Tentang Murtad Sebagai Penyebab Fasakhnya Suatu
Perkawinan
Menurut Imam Abu Zahroh dalam kitabnya Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
menyebutkan bahwa fasakh yang tidak dianggap membatalkan aqad dibagi
menjadi dua.

25

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

26

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

176.
176.

Pertama, fasakh yang melarang hubungan pernikahan selamanya, yakni
fasakh yang disebabkan terjadinya sebab yang mengharamkan pernikahan lakilaki dan perempuan tersebut selamanya, Seperti misalnya ternyata si laki-laki
adalah bapak dari si perempuan.
Kedua, fasakh yang melarang perkawinan sementara. Fasakh ini
disebabkan misalnya oleh murtadnya salah satu pasangan.”27
a. Murtadnya Suami
Menurut pendapat syaikhaini atau dua syaikh besar, jika suami murtad,
maka perkawinannya menjadi fasakh seketika itu juga.28 Kondisi ini terjadi
baik si istri beragama Islam maupun seorang Ahli Kitab.
Madzhab Hanafi juga berpendapat demikian, bahwa murtadnya suami
dianggap sebagai thalaq ba’in karena kemurtadannya dilakukan tanpa
paksaan, sehingga tidak mungkin perkawinan itu langgeng.29 Contoh dari
kasus tersebut adalah penolakan suami untuk masuk Islam setelah ditawarkan
kepadanya, padahal si istri sudah masuk Islam. Akan tetapi, masih menurut
Madzhab Hanafi, jika akhirnya sang suami kembali masuk Islam, maka
dibolehkan baginya untuk kembali kepada istrinya, dengan syarat
memperbaharui nikah (melakukan aqad yang baru), baik dilakukan pada

27
28

Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, 1950, hal. 326.
Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

29

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

175.
175.

massa iddah ataupun setelahnya, selama mantan istrinya tersebut belum
menjadi mahramnya karena sesuatu sebab.30
b. Murtadnya Istri
Menurut fatwa para ulama‟ Bukhara, jika istri murtad, maka
pernikahannya juga fasakh.31 Namun, meski demikian, jika suatu ketika si istri
tadi dipaksa lagi untuk masuk Islam, kemudian keduanya memperbaharui
aqadnya, dengan tambahan mahar yang ringan, maka suami istri yang tadinya
sudah fasakh tersebut, dapat kembali bersama lagi. Hal ini dilakukan dengan
tujuan menutup peluang bagi para istri untuk lari dari para suaminya, dengan
pura-pura melakukan riddah/murtad.
Sedang menurut pendapat Imam Malik, jika si istri murtad karena ingin
fasakh, maka murtadnya tidak berimplikasi pada thalaq atau fasakh, akan
tetapi lain halnya jika murtad tersebut dilakukan dengan sebenarnya, maka
karena kemurtadanya tersebut, harus tejadi thalaq atau fasakh. Seorang istri
juga dianggap murtad, jika berpindah dari agama samawi ke agama non
samawi.32

c. Murtadnya Suami Istri Secara Bersamaan.
Jika suami dan istri murtad secara bersamaan atau beriringan, akan
tetapi tidak diketahui siapakah yang lebih dahulu murtad, kemudian diketahui

30

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

31

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

32

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin), hal.

175.
175.
176.

keduanya telah masuk Islam lagi, maka tidak ada hukum bagi perkawinan
suami istri tersebut, dalam artian perkawinan mereka tetap utuh dan berlanjut,
tidak terkena hukum thalaq maupun fasakh. Namun jika salah satu telah
masuk Islam lebih dahulu dan hal tersebut diketahui, maka perkawinan
mereka itu mengalami fasakh.
Lebih ringkasnya, penulis mencoba untuk merinci mengenai ikhtilaf
fuqaha‟ tentang murtad sebagai penyebab fasakhnya suatu perkawinan, yakni
ada empat hal sebagai berikut :
1) Perpisahan yang terjadi karena salah satu suami atau istri maupun keduaduanya murtad, itu tidak memerlukan keputusan Hakim.
2) Murtadnya si suami, menurut kaidah hukum Islam jelas menyebabkan
furqoh, dan hal ini sudah menjadi kesepakatan bulat para ulama‟ tanpa
adanya perbedaan pendapat.
3) Perbedaan itu baru muncul, ketika terjadi salah satu suami atau istri
itumurtad, maka hukum apa yang akan dikenakan pada perkawinan suami
istri tersebut, yakni apakah dihukumi fasakh ataukah thalaq ba’in.
4) Sedangkan mengenai murtadnya si istri, hal ini masih menjadi perselisihan
pendapat di kalangan para ulama‟, yakni mengenai murtadnya si istri
tersebut apakah akan menyebabkan furqoh perkawinan mereka atau tidak.
Tetapi ulama‟-ulama‟ yang berpendapat bahwa murtadnya seorang istri itu
menyebabkan furqohnya suatu perkawinan, semuanya sepakat berpendapat
bahwa furqoh itu adalah fasakh bukan thalaq.
B. Pembatalan Perkawinan Menurut Perundang-undangan

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Menurut Muhammad Yahya Harahap, secara teoritis dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu
perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai ada ikut
campur tangan pengadilan.33 Hal ini berdasarkan dalam BAB VI Pasal 37 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
disebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan”.34
Penulis tidak menemukan definisi pembatalan perkawinan dari Peraturan
Pemerintah ini, namun dari pasal tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena
sebab-sebab tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke Pengadilan dan harus
melalui keputusan sah Pengadilan.
Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang istilah fasakh,
melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.35 Pengertian kata
“dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, yakni tergantung
apakah dengan sebab-sebab yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya
masing-masing itu tidak menentukan lain. Sebagai contoh dalam agama Islam salah

33

Yahya Harahap.Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tanun 1975 (Mesan:CV.Zahir Trading Co.1975) Cet 1, hal.4
34
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta, 2002, hal. 97.
35
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, hal. 18.

satu rukun perkawinan adalah adanya wali nikah, tertuang dalam Kompilasi Hukum
Islam bab IV tentang “Rukun dan Syarat Perkawinan” pasal 14 (c). kemudian
dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ini mengenai
syarat wali nikah, yaitu pada ayat (1) “yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan
baligh.” Ayat (2) berbunyi “wali nikah terdiri dari : (a.) wali nasab, (b.) wali hakim.
Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, syarat
tersebut diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut
dapat dibatalkan.”36
Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan UU
Perkawinan, di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan sama
sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI ini
juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan
perkawinan, akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang penulis baca pada BAB
XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan
perkawinan adalah batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru
diketahui atau baru terjadi setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum
agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia.
2. Sebab-Sebab Pembatalan Perkawinan
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tidak dijelaskan secara rinci mengenai bab
“Pembatalan Perkawinan”, akan tetapi disebutkan dengan jelas di dalam PP ini
bahwa antara gugatan perceraian dengan pembatalan perkawinan itu hampir sama,
36

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta,
2000, hal. 20-21.

yakni tercantum dalam ayat (2) dan (3) pasal 38 PP ini, yang lebih lengkapnya
berbunyi:
2) “Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan cara pengajuan gugatan perceraian”.
3) “Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan pemeriksaan pembatalan
perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut
dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah ini”.37
Dalam salah satu bab V Peraturan Pemerintah ini, tepatnya pada pasal 19
sudah disebutkan mengenai alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan
gugatan perceraian, sehingga dari bunyi dua ayat diatas sangat sesuai dengan isi
dari bab V Peraturan Pemerintah ini, dapat penulis sebutkan bahwa sebab-sebab di
batalkannya suatu perkawinan pun juga sama dengan sebab-sebab permohonan
gugatan perceraian, yakni tercantum dalam pasal 19 sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat dapat
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.38
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 26 dijelaskan tentang
sebab-sebab dibatalkannya suatu perkawinan sebagai berikut :
1) “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri

37

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, hal. 97.
38
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, hal. 93.

oleh 2 (dua) orang saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga
garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri”.
Dan pasal 27 menyebutkan:
1) “Seorang suami istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.
2) “Seorang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri”.39
Akan tetapi dalam dua pasal ini disebutkan pula pengecualian mengenai
pembatalan perkawinan ini, yakni disebutkan dalam ayat berikutnya yang bunyinya
sebagai berikut:
Pasal 26
2) “Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan pada alasan dalam
ayat (1) pasal (26) ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami
istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan itu harus diperbaharui
supaya sah”.
Pasal 27
3) “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap
hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”.40
Di dalam BAB XI pasal 70 KHI tentang Batalnya Perkawinan, disebutkan
bahwa perkawinan batal apabila :
a. “Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan aqad nikah
karena sudah mempunyai 4 (empat) orang istri sekalipun salah satu dari keempat
istrinya dalam iddah talak raj‟i;

39

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta, 2002, hal. 1819.
40
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta, 2002, hal. 1819.

b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di Li‟annya;
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain
kemudian bercerai lagi ba‟da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah;
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut pasal 8 UU No 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau
istri-istrinya”.41
3. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan
Dalam Peraturan Pemerintah, sebagaimana yang kita ketahui, karena memang
mengenai masalah Pembatalan Perkawinan ini tidak terlalu banyak disinggung,
sehingga penulis hanya menemukan mengenai sebab-sebab serta tata cara

41

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta,
2000, hal. 39.

pengajuan

pembatalan

perkawinan,

sedang

mengenai

akibat

pembatalan

perkawinan dalam Peraturan Pemerintah ini tidak disebutkan sama sekali.
Akibat dari pembatalan perkawinan dapat kita temui dalam UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 pasal 28 sebagai berikut:
1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i‟tikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan i‟tikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai hukum tetap”.42
Dalam pasal 76 KHI disebutkan bahwa “batalnya suatu perkawinan tidak akan
memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya”. Selain itu
juga disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut kepada :
a) “Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
b) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

42

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama
RI, hal. 19.

c) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri‟tikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap”.43
C. Komparasi Konsep Fasakh Menurut Fiqih Dan Perundang-Undangan Di
Indonesia
Prinsip yang dipakai di dalam hukum Islam adalah mempersulit terjadinya
perceraian dan untuk memungkinkan terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan
tertentu yang benar-benar bisa menjadi dasar utama pasangan suami isteri melakukan
perceraian, karena memang Allah SWT telah menghalalkan thalaq, namun Allah
SWT juga sangat membenci perbuatan thalaq tersebut.
Didalam fiqih, perceraian banyak sekali jenisnya, namun dalam hal ini penulis
membahas tentang putusnya atau batalnya suatu perkawinan yang disebabkan salah
seorang suami atau isteri murtad, yang dalam istilah fiqh disebut fasakh.
Menurut fiqih, murtadnya seorang suami itu jelas menyebabkan fasakhnya
suatu perkawinan, dan perkawinan tersebut fasakh seketika itu juga, tanpa
memerlukan keputusan dari hakim. Menurut madzhab Hanafi, bahwa murtadnya
suami dianggap sebagai thalaq ba’in karena kemurtadannya dilakukan tanpa
paksaan, sehingga tidak mungkin perkawinan itu langgeng.44
Sedangkan mengenai murtadnya isteri, di dalam fiqh ada dua macam pendapat,
yakni ada yang mengatakan murtadnya isteri jika dilakukan hanya karena ingin
berpisah dari suaminya, maka dianggap tidak sah, akan tetapi jika murtadnya si isteri
43

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta, 2002, hal. 42.
44
Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yata’allaqu biha min iddatin wa nasabin),
Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, hal. 175.

tersebut dilakukan dengan sebenar-benarnya, perkawinan tersebut tetap harus di
fasakh atau dibatalkan, namun masih terdapat keringanan, yakni apabila si isteri
tersebut mau dipaksa untuk masuk Islam lagi, kemudian keduanya memperbaharui
nikah, dengan tambahan mahar yang ringan, maka suami isteri yang telah di fasakh
tersebut dapat berkumpul kembali.
Lain halnya jika sepasang suami isteri murtad, namun kemurtadan mereka
tidak diketahui, kemudian mereka kembali kepada agama Islam, maka tidak berlaku
hukum bagi perkawinan mereka tersebut. Akan tetapi jika setelah murtad, salah satu
telah kembali memeluk Islam dan satunya belum, maka perkawinan mereka tetap
harus di fasakh.
Prinsip yang dipakai didalam perundang-undangan di Indonesia pun j

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012)

14 81 121