Sejarah Pemikiran Hukum Islam Imam As Sy

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengalami kemunduran pada abad 6 H/ 13 M sampai 11 H/ 18 M.
Meskipun sementara orang menyebutkan fase ini adalah priode jumud (beku),
namun pada kenyataannya dalam fase ini para fuqoha cukup aktif mendalami,
mengkaji, menganalisa, mengolah, dan mengkritik pendapat-pendapat fuqoha
sebelumnya, walaupun pendapat tersebut dicetuskan oleh imam madzhabnya
sendiri, seperti yang dapat terlihat dalam al-Mustasfa dan Ihya ‘Ulumiddin
karya Ghazali, dsb. Fuqoha sangat giat meneliti dan mengklasifikasikan
permasalahan fiqih, memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah,
mengadakan diskusi-diskusi, sehingga jelas mana diantara pendapat yang
disepakati, dan yang diperselisihkan, lalu mereka bukukan di dalam kitab-kitab
yang bermutu, seperti al-Inshaf karya al-Bathliyusi, Bidayatul Mujtahid karya
Ibnu Ruyd, dan salah satunya al-Muwafaqat karya Imam as-Syatibi.1 Walaupun
Imam as-Syatibi muncul dalam masa kemunduran umat Islam secara
keseluruhan, namun Imam as-Syatibi dapat melahirkan karya monumentalnya.
Akibat dari pengalaman yang mendasar pula, fase tersebut telah dapat
memperkaya khazanah ilmu fiqih dengan berbagai macam bentuk kitab fiqih

yang dapat dijadikan standar bagi berbagai macam bidang disiplin ilmu dalam
fiqih Islam.
Meskipun Imam as-Syatibi menguasai berbagai disiplin keilmuan, namun
ia lebih dikenal sebagai pakar ilmu ushul fiqih yang memiliki analisis dan
ketajaman pandangan. Pada masa sebelumnya, ushul fiqh lebih banyak
menguraikan aspek bahasa dengan kaidahnya dan sedikit sekali membahas
persoalan maqasid al-syari’ah (tujuan pensyariatan). Di tangan Imam asSyatibi, pembahasan ushul fiqh lebih konprehensif, dan tajam mengeni aspek
maqasid al-syariah. Menurut Imam as-Syatibi, secara tegas mengatakan bahwa
tujuan utama Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk
terwujudnya kemaslahatan dalam bidang hukum, baik di dunia maupun di
1 Rachmat Djatnika, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1986, hlm. 45

2

akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan
merealisasikan terwujudkannya tujuan hukum tersebut.2 Imam as-Syatibi
hampir selalu muncul di setiap wacana pembaharuan hukum Islam. Maka
dalam makalah ini akan dibahas mengenai biografi Imam as-Syatibi, metode
ijtihad, hasil ijtihad dan pengaruh dari corak pemikiran Imam as-Syatibi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah hidup tentang Imam as-Syatibi ?
2. Bagaimana metode ijtihad yang digunakan oleh Imam as-Syatibi ?
3. Bagaimana hasil ijtihad Imam as-Syatibi ?
4. Bagaimana pengaruh dari corak pemikiran Imam as-Syatibi dalam
perkembangan ilmu fiqih ?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah tentang Imam as-Syatibi
2. Mengetahui metode ijtihad yang digunakan oleh Imam as-Syatibi
3. Mengetahui hasil ijtihad Imam as-Syatibi
4. Mengetahui pengaruh dari corak pemikiran Imam as-Syatibi dalam
perkembangan ilmu fiqih

2 Imam Mustofa, Ijtihad Kolektif-Integratif, Ekspos Karya Ilmiah, Metro, 2013, hlm. 31

3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Hidup Imam as-Syatibi
Imam as-Syatibi memiliki nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa
bin Muhammad al-Lakhami al-Gharnathi yang lebih dikenal dengan Imam asSyatibi. Al-Gharnathi adalah penisbatan pada tempat kelahirannya, yakni
Granada, Spanyol. Nama Imam as-Syatibi adalah penisbatan pada tempat
kelahiran Ayahnya di Sativa, Spanyol Timur. Imam as-Syatibi dilahirkan pada
tahun 730 H dalam kondisi keluarga yang sederhana dalam masa transisi
Cordova menuju tahap kehancuran.3 Ia dijuluki sebagai al-Imam allamah (yang
sangat dalam ilmu pengetahuannya), al-muhaqqiq (yang memiliki kemampuan
untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberikan
solusi), al-hafidz (yang telah menjaga dan menghafal ribuan hadits), alqudwah (yang pantas diikuti), dan al-mujtahid (yang mampu mendaya gunakan
kemampuan untuk menghasilkan hukum).4
Sejak kecil ia adalah seseorang yang tekun belajar. Ia menekuni berbagai
ilmu pengetahuan, baik ulumul wasail wa ulumul maqoshid (metode maupun
esensi dan hakikat). Ia mulai menimba ilmu dengan belajar dan mendalami
bahasa Arab. Pelajaran bahasa Arab ia terima dari Abu Abdillah Muhammad
Ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad Ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu
Ja’far Ahmad al-Saqwari. Ulama terakhir ini mengajarkan kepada Imam asSyatibi kitab Sibawaih dan Alfiah Ibn Malik di Granada.5
Pelajaran tentang hadits ia terima dari Abu al-Qasim Ibn Bina dan
Syamsudin al-Tilimsani. Melalui al-Tilimsani, ia mempelajari al-Jami’ alSahih al-Bukhari dan al-Muwattha’. Sedangkan ilmu kalam dan falsafah

diperolehnya dari Abu Ali Mansur al-Zawawi dan ilmu ushul fiqih
diperolehnya dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Miqarri dan dari
imam ternama madzhab Maliki di Spanyol, yakni Abu Abdillah Muhammad
3 Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Purna Siwa Aliyyah,
Kediri, 2004, hlm. 424
4 As-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi, Al-I’tisham, Salahudin
Sabki, Azzam, Jakarta, 2006, hlm. xvii
5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqoshid Syari’ah, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hlm. 23

4

ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani. Disamping itu, ia mendalami pula bidang
filsafat dan kalam yang diperolehnya dari Abu Ali al-Mansur al-Masyzali.
Dibidang teologi dan kalam diperolehnya dari Abu al-Abbas al-Qabab dan Abu
Abdullah al-Hifar. Selain itu juga, ia pelajar bidang falak, mantiq, debat dan
sastra. Pengetahuan sastra diperolehnya dari Abi Bakar al-Qarsyi al-Hasymi. 6
Imam as-Syatibi merupakan seorang ulama Malikiyah yang populer
dengan rumusan lengkap maqashid al-syari’ah yang tertuang dalam karya
monumentalnuya Al-Muwafaqot. Bahkan sejumlah ulama mengukuhkannya
dengan sebutan Bapak Maqosid As-Syari’ah.

Imam as-Syatibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting.
Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan
politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang sangat berpengaruh terhadap
pola pikir dan produk pemikiran hukum Imam as-Syatibi. Dari aspek politik,
perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa
kekacauan pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur
Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian
Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam
menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama,
keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah kerajaan
Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara, dengan
cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam
istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu
memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan. Stabilitas politik ini
menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia
keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk
melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya
karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu
Khaldun menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah mengkaji ilmu
politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji meresistematisir teologi Sunni, dan di

Spanyol, Imam as-Syatibi memproduksi sebuah karya bersama dua Imam (AlQabab dan Ibnu Arafah) dalam ilmu tasawuf serta karya di bidang lainnya.
6 Loc.Cit

5

Imam as-Syatibi wafat pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790 H/
1388 M. Maka, dengan bserakhirnya era Imam as-Syatibi tersebut, studi
tentang ushul fiqih mengalami kemerosotan yang sangat memprihatinkan pada
aspek substansi dan metodologi. Pada waktu yang sangat lama, tradisi
ekplorasi pemikiran spekulatif dalam bidang studi hukum Islam tidak muncul.7
B. Metode Ijtihad Imam as-Syatibi
Seluruh kaum muslimin, dari madzhab apapun, mengakui bahwa AlQur’an adalah pokok asasi syari’at Islam dan sumber hukumnya, yang darinya
diambil segala pokok syari’at dan cabang-cabangnya. Darinya juga dalil-dalil
syar’i bersumber. Imam as-Syatibi mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
himpunan syari’at tiang agama, sumber hikmah, mu’jizat kerasulan, dan
cahaya bagi mata kepala dan mata hati setiap muslim.8
Sebagaimana para ahli hukum yang lain, Imam as-Syatibi mengusulkan
kepastian (qat’iy) sebagai dasar epistimologi sumber-sumber hukum.
sebaliknya, sumber-sumber tersebut tidak mengandung kemungkinankemungkinan karena apabila sumber-sumber hukum tersebut diwarnai oleh
sesuatu yang mengurangi kepastiannya, maka seluruh bangunan hukum yang

dibentuknya menjadi dapat dipertanyakan, dan bahkan diragukan. Imam asSyatibi mengusulkan bahwa semua premis fundamental dalam teori hukum
haruslah sesuatu yang jelas kenyataannya. Premis-premis tersebut dapat berupa
wahyu, rasional dan konvensional. Imam as-Syatibi memiliki ide yang sama
dengan para ahli hukum yang lain. Dasar-dasar epistimologi dari teori
dikemukakannya kemudian didasarkan bukan lagi pada hadits mutawatir atau
naskh Al-Qur’an, melainkan pada penelitian yang komperhensif kepada
seluruh dalil, baik dalam bentuk teks ataupun yang lainnya. Sumber hukum
yang dijadikan rujukan oleh Imam as-Syatibi ialah Al-Qur’an, Sunnah, hingga
ijma’, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual (qara’in al-ahwal). Ketika sejumlah
dalil digabungkan untuk mengklarifikasi sebuah persoalan atau prinsip,
pengetahuan akan persoalan atau prinsip tersebut akan menyatu dalam pikiran
7 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, hlm. 234
8 Ahmad Azhar Basyir, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 127

6

manusia dan menjadikannya sebuah keyakinan. Imam as-Syatibi secara jujur
mengakui dan hal ini penting bahwa cara mempertahankan dalil tersebut
merupakan dasar dari metodenya dalam membangun teori argumentasi yang

dikemukakann dalam al-Muwafaqat.9
Sebagai pendahuluan bagi penjelasan tentang doktrin maqosid-nya,
Imam as-Syatibi menyatakan bahwa ajaran ini berdasarkan premis yang
umumnya disepakati, yang berasal dari teologis. Premis ini menyatakan bahwa
Tuhan melembagakan syari’at (hukum-hukum) demi mashalih (kemanfaatan,
kebaikan) manusia, baik yang bersifat segera maupun untuk masa yang akan
datang. Doktrin Imam as-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah adalah upaya
untuk menegakkan maslahah sebagai unsur pokok tujuan hukum. tujuan
pokok Sang Pembuat Hukum adalah maslahah manusia. Kewajiban-kewajiban
dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada
gilirannya bertujuan melindungi mashalih manusia.10
Secara bahasa, maqashid al-syari’ah berarti maksud dan tujuan
disyari’atkannya hukum Islam.11 Kaidah yang disyari’atkan oleh Allah dengan
mensyaratkan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin yakni agama yang
memberi rahmat bagi dunia dan akhirat yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan dan kemaslahatan manusia. Imam as-Syatibi membagi maqasid
atau mashalih menjadi 3 yakni yang bersifat dharuri (mesti), hajiy
(diperlukan), dan tahsini. Tujuan dari masing-masing kategori tersebut adalah
untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaum muslimin baik di dunia maupun
di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik karena Tuhan membuat syari’ah

demi kebaikan hamba-Nya.12
Dharuriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak) dikatakan
mesti/harus karena mutlak diperlukan dalam memelihara mashalih din (agama
dan akhirat) dan dunia, dalam pengertian bahwa jika mashalih tersebut rusak,
maka stabilitas mashalih dunia pun rusak. Kerusakan mashalih mengakibatkan
terputusnya kehidupan dunia dan di akhirat yang mengakibatkan hilangnya
9 Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories, Kusnadiningrat, dan Abdul Haris bin
Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 243-245
10 Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, Pustaka, Bandung, 1996, hlm. 239-241
11 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 123
12 Hallaq, Wael B, Ibid, hlm. 248

7

keselamatan dan rahmat. Kategori mashlahah dharury terdiri dari lima bidang,
yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.13 Kelima prinsip tersebut telah
diterima secara universal sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam asSyatibi. Contohnya ibadah, bertujuan untuk mempertahankan agama dan
hukum sesuai dengan keimanan dan aspek-aspek ritualnya, seperti shalat,
puasa, haji, dsb.
Hajiyyat (secara bahasa kebutuhan) adalah aspek-aspek hukum yang

dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat sehingga hukum
dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Hajiyyat dapat dikatakan
sebagai kebutuhan skunder yang mana apabila tidak terpenuhi tidak sampai
mengancam keselamatan. Adapun mashalih hajiyyat dinamakan demikian
karena dibutuhkan untuk memperluas tujuan maqashid dan menghilangkan
keketatan makna harfiah yang menerapkannya membawa kepada rintangan dan
kesulitan dan akhirnya kerusakan maqashid. Jadi, jika hajiyyat tidak
dipertimbangkan bersama dengan dharurat, maka manusia secara keseluruhan
akan mendapati kesulitan. Akan tetapi, rusaknya hajiyyat tidaklah merusak
mashalih sebagaimana halnya dharury. Contoh dalam mashalih hajiyat seperti
dalam keringanan shalat dan puasa dalam keadaan sakit maupun dalam
perjalanan.
Tahsiniyyat (secara bahas berarti hal-hal penyempurna) merujuk pada
aspek-aspek hukum seperti anjuran untuk memerdekakan budak, bersedekah
kepada orang miskin, dsb. Selain itu, dapat pula berarti mengambil apa yang
sesuai dengan kebiasaan (adat) yang paling baik dan menghindari cara-cara
yang tidak disukai atau dapat diartikan sebagai tingkat kebutuhan tersier yang
apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam
eksistensi dari lima pokok kategori daruriyyat dan tiadk menimbulkan
kesulitan. Mashalih jenis ini meliputi kebiasaan-kebiasaan yang baik (etika,

moral). Contoh jenis ini seperti dalam hal ibadah, kesucian (thaharah), atau
kesopanan dalam menutup aurat, adab makan dan minum.14
Imam as-Syatibi memandang pembagian mashalih tersebut sebagai
struktur yang terdiri dari tiga tingkatan yang saling berkaitan. Ia
13 Ibid, hlm. 245
14 Ibid, hlm. 245-246

8

mengungkapkan bahwa terdapat dua aspek yang saling berhubungan satu sama
lain. Pertama, setiap tingkatan secara terpisah menuntut kaitan unsur-unsur
tertentu dalam menambah dan melengkapi tingkatan tersebut. Kedua, setiap
tingkatan dikaitkan dengan yang lain.
Imam as-Syatibi kelihatan sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural
dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Disinilah letak kelebihannya dari
para ahli ushul lainnya sehingga adaungkapan bahwa jika Al-Syafi’i telah
meletakkan dasar yang kukuh bagi ushul fiqih, maka Imam as-Syatibi adalah
pengembangnya.15
C. Hasil Ijtihad Imam as-Syatibi
Pendekatan maqosid al-syari’ah kajian lebih menitik beratkan pada
melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif
(pembenaran hukum) yang diturunkan Allah. Pengetahuan tentang tujuantujuan hukum, sangat sentral dalam pemikiran Imam as-Syatibi. Pandangan
Imam as-Syatibi terhadap maslahah mursalah dan maqosid al-syari’ah dapat
dijumpai pada dua karya besarnya yakni al-Muwafaqot, dan al-’I’tisham. Imam
as-Syatibi banyak membahas mengenai berbagai pandangangannya dalam
bidang-bidang seperti ekonomi, perkawinan, dan sebagainya. Pada bidang
ekonomi, diantaranya
1. Objek kepimilikan
Pada dasarnya, Imam as-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia
menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat
menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah
objek kepemilikan dan penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun.
2. Pajak
Imam as-Syatibi membolehkan pemungutan pajak terhadap orang-orang
ketika keadaan sedang lemah dan ada keputusan yang mendesak terhadap
hal tersebut. Yaitu, jika baitul mal sudah tidak sanggup memenuhi keperluan
umum. Landasan yang dipakai ialah maslahah mursalah dan berdasarkan
kemaslahatan masyarakat. Jika tidak dilaksanakan maka kebaikan yang
15 Abdul Azis Dahlan, dkk, Loc.Cit., hlm. 1700

9

terkandung dan yang dituju akan hilang.16 Para pendahulunya, seperti AlGazali dan Ibn Al-Farra’, menyatkan bahwa pemiliharaan kepentingan
umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Pada kondisi
ketidakmampuan melaksanakan tanggung jawab ini masyarakat bisa
mengalihkannya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Landasan diperbolehkannya
pemungutan pajak untuk penduduk di sebagian daerah Andalusia tersebut
ialah maslahah mursalah dan berdasarkan pada kemaslahatan masyarakat.
Contoh lain pada hukuman potong tangan bagi pencuri, tetapi
pemotongan tangan tersebut bertujuan untuk mewujudkan keamanan, keadilan,
dan ketentraman dalam masyarakat.
Pada kitab al-Muwafaqot dibahas mengenai nikah tanpa wali, hukum
menikahi perempuan dengan bibinya dalam satu waktu, menjelaskan arti iddah
dalam perceraian, besar kecilnya nafkah yang wajib diberikan kepada istri oleh
suami, dan sebagainya. Masih banyak lagi hasil metode ijtihad Imam as-Syatibi
yang dapat dilihat di berbagai referensi dan dari berbagai karya-karyanya.
Dari pemaparan konsep maqhasid al-syari’ah di atas, terlihat jelas bahwa
syari’ah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka.
Imam as-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan
syari’ah. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari
kemaslahatan aktifitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang
menyertakan kemaslahatan seperti di definisikan syari’ah harus diikuti sebagai
kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat.
Imam as-Syatibi telah banyak menulis berbagai macam kaya-karya yang
berharga baik hanya mencakup teori maupun koreksian terhadap kitab-kitab
penting dan bermanfaan. Karya-karya Imam as-Syatibi diantaranya sebagai
berikut:
1. Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah
2. Al-I’tisham, yaitu kitab yang mengemukakan uraian secara mendalam
tentang bid’ah

16 As-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi, Op.Cit, hlm. xxii

10

3. Al-Ifadat wa al-Irsyadat, yaitu kitab yang berisi tentang catatan Imam asSyatibi dalam berbagai masalah termasuk yang dihimpun dari guru-guru dan
teman-teman dari kalangan ulama Spanyol dan kumpulan syair-syair dengan
berbagai kandungan
4. Syarh Jalil ‘ala al-Khulasah fi al-Nahw
5. Khiyar al-Majalis
6. Syarh Rajz Ibn Malik fi al-Nahw
7. Inwam al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq
8. Ushul al-Nahw 17
Terdapat beberapa kitab yang telah dimusnahkan sendiri oleh Imam as-Syatibi,
diantaranya Syarh Jalil ‘ala al-Khulasah fi al-Nahw dan Syarah empat
madzhab. Selain itu, ada beberapa referensi menyebutkan bahwa
D. Pengaruh Corak Pemikiran Imam as-Syatibi dalam Perkembangan Ilmu
Fiqih
Pada masa Imam as-Syatibi, teori hukum telah mencapai pada tingkat
kematangan yang sedemikian tinggi sehingga telah tersusun secara utuh,
sementara pada saat yang bersamaan ia mempertahankan fungsi tradisionalnya
dalam menggali hukum dan mengatur proses pembentukan secara terusmenerus dan dalam batas-batas tertentu dalam mengfungsikannya. Disamping
menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap suatu realitas sosial yang umum,
teori Imam as-Syatibi juga memiliki pengaruh yang penting dalam
pembentukan hukum modern.18 Imam as-Syatibi dianggap mewakili semangat
kebebasan Islam, yaitu dengan menjadikan teori maqashid as-syar’ah sebagai
dasar utama dan teori tersebut dapat dikatakan sebagai aliran pembaharu
modern.19
Pada dunia keilmuan, Imam as-Syatibi lebih dikenal sebagai pakar ushul
fiqih yang memiliki ketajaman pandangan tersendiri. Ciri khas dari ushul
fiqihnya terletak pada ketajaman menganalisis setiap persoalan hukum. Jika
ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dengan
17 Asfari Jaya Bakri, Op.Cit, hlm. 25
18 Wael B. Hallaq, Op.Cit, hlm. 239-240
19 Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas dan
kemaslahatan sosial, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 116

11

kaidah-kaidahnya dan sedikit sekali membahas maqosid as-syari’ah (tujuan
yang hendak dicapai dalam mensyari’atkan hukum), maka Imam as-Syatibi
muncul dengan pembahasan yang lebih luas, komperhensif, dan tajam
mengenai aspek maqosid as-syari’ah tersebut.20
Pendekatan maqosid as-syari’ah Imam as-Syatibi mengalami
kematangan ketika intelektualisme muslim berada dalam kemunduran.
Walaupun teori tersebut memiliki potensi besar untuk melakukan sistematisasi
aturan-aturan syari’ah, tidak dikembangkan oleh atau diimplementasikan oleh
sarjana-sarjana muslim setelahnya, bahkan diabaikan hingga ditemukan oleh
Muhammad Abduh dan Muhammad ibn Asrus lebih dari satu abad kemudian.
Melalui Imam as-Syatibi para pemikir muslim modern menemukan momen
kontinuitas yang penuh harapan terhadap eksistensi ushul fiqih.21
‘ilm al-maqasid merupakan penyempurna dari berbagai model ushul fiqh
dan sekaligus menjadi model final ilmu ushul fiqh. Ia muncul dari kebutuhan
model ushul fiqih klasik yang dilakukan aliran-aliran fiqih yang memfokuskan
energinya pada qiyas dalam penerapan-penerapan hukum syari’ah. Hal ini bisa
dikatakan bahwa ilmu tersebut adalah model pencerahan yang merupakan
bentuk revolusi atas model-model klasik. Model ini mengakibatkan ledakan
kuantitas produktivitas fiqih Islam yang selanjutnya berubah menjadi landasan
epistimologi kokoh dalam perkembangan, kemajuan, dan interaksi syari’ah
dengan realitas-realitas baru.22
Muwafaqat karya Imam as-Syatibi mencerminkan sebuah contoh teori
hukum yang dibawa untuk berhadapan dengan sebuah kultur tertentu dan
persoalan-persoalan hukum tertentu. Metode induksi logis jelas telah
mengalami kemajuan sebelum masa Imam as-Syatibi. Namun teori induksi
yang dipakai oleh Imam as-Syatibi, yang menggunakan berbagai sumber
syari’ah, dan bergantung pada penyempurnaan tujuan dan semangat hukum
tanpa membatasi dirinya terhadap nash-nash tertentu membuatnya menarik
perhatian para pemikir modern yang tugas utamanya ialah untuk membebaskan

20 Abdul Azis Dahlan, dkk, Loc.Cit., hlm. 1700
21 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, hlm. 233-234
22 Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Op.Cit, hlm. 72

12

pikiran umat Islam dari pengekangan yang berbentuk pemahaman sesat, atau
mungkin membelenggu terhadap nash-nash Al-Qur’an.23
Imam as-Syatibi merupakan tokoh yang mampu mengangkat suatu teori
yang dahulu tidak menjadi fokus dalam pembahasan fiqih dan ushul fiqih. Ia
salah satu dari sekian banyak ulama’ yang teorinya menjadi alasan dalam
perkembangan produktivitas fiqih. Revolusi yang diunggah kepermukaan
membantu mempermudah dalam menangani persoalan-persoalan yang terjadi
di zaman modern. Upayanya dalam mencari ilmu tidak pernah ia batasi pada
satu cabang ilmu dengan mengabaikan ilmu yang lain serta tidak
memisahkannya sesuai dengan tuntutan masa dan tempat, telah menjadikannya
sebagai ulama’ yang ikut andil dalam pembentukan hukum modern. Sehingga,
ia mampu membuat karyanya dapat diakui.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Imam as-Syatibi dilahirkan pada tahun 730 H di Granada, Spanyol. Selama
hdupnya, Ia telah menekuni berbagai ilmu pengetahuan. Ia belajar dari
23 Hallaq, Wael B, Op.Cit, hlm. 306

13

berbagai macam guru, baik dari berbagai macam disiplin ilmu maupun
tempat. Imam as-Syatibi wafat pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun
790 H/ 1388 M.
2. Sumber hukum yang dijadikan rujukan oleh Imam as-Syatibi ialah AlQur’an, Sunnah, hingga ijma’, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual (qara’in
al-ahwal). Teori Imam as-Syatibi memiliki maqashid al-syari’ah sebagai
ajaran dasarnya
3. Karya-karaya Imam as-Syatibi diantaranya Al-Muwafaqat fi Ushul alSyari’ah, Al-I’tisham, Al-Ifadat wa al-Irsyadat, Syarh Jalil ‘ala alKhulasah fi al-Nahw, Khiyar al-Majalis, Syarh Rajz Ibn Malik fi al-Nahw,
Inwam al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan Ushul al-Nahw, dsb
4. Teori Imam as-Syatibi memiliki pengaruh yang penting dalam
pembentukan hukum modern. Ilmu tersebut adalah model pencerahan yang
merupakan bentuk revolusi atas model-model klasik.
B. Saran
Makalah ini ditujukan kepada mahasiswa/i Pasca Sarjana kosentrasi Hukum
Keluarga khususnya dan masyarakat pada umunya. Memahami mengenai
bidang berbagai macam hal tentang ilmu fiqih yang sangat luas dari berbagai
pemikiran ulama’ terdahulu, sehingga diharapkan agar dapat menambah
wawasan dan mempermudah dalam memandang suatu masalah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas
dan kemaslahatan sosial, Erlangga, Jakarta, 2002.
Ahmad Azhar Basyir, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung, 1992.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqoshid Syari’ah, Rajawali Press, Jakarta, 1996.

14

As-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi, Al-I’tisham,
Salahudin Sabki, Azzam, Jakarta, 2006.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories, Kusnadiningrat, dan Abdul
Haris bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000.
Imam Mustofa, Ijtihad Kolektif-Integratif, Ekspos Karya Ilmiah, Metro, 2013.
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, Pustaka, Bandung, 1996.
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013.
Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Purna Siwa Aliyyah,
Kediri, 2004.
Rachmat Djatnika, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,
Jakarta, 1986.