MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195.

(1)

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL

MARAGHI

(TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-I) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

KHOIRO UMMAH (E73213126)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ii

ABSTRAK

Peneliti dengan nama Khoiro Ummah jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, dengan judul Membelanjakan Harta Di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir Dan Ahmad Musthafa Al Maraghi (Telaah Surat al-Baqarah Ayat 195).

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi memahami membelanjakan harta di jalan Allah pada surat al-Baqarah ayat 195? 2) Apa perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi?

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman membelanjakan harta di jalan Allah antara Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.

Penelitian dalam hal ini menggunakan metode komparatif yaitu antara pendapat para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan.

Penelitian ini dilakukan karena masih banyaknya manusia yang tidak memahami akan hal membelanjakan harta di jalan Allah. Dimana orang menganggap bahwa hartanya hanyalah miliknya tanpa mengetahui bahwa sebagian hartanya terdapat harta orang lain. Selanjutnya dilakukan penelitian dengan melihat persamaan dan perbedaan yang dihubungkan dengan pendekatan teori Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.

Hasil penelitian menyimpulkan, dalam penafsiran Ibnu Katsir yang dimaksud membelanjakan harta di jalan Allah adalah nafkah yang mana mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Sedangkan menurut al-Maraghi yang dimaksud membelanjakan harta di jalan Allah adalah mengeluarkan uang untuk belanja, yakni membelanjakan hartanya untuk membeli persenjataan yang digunakan untuk berjihad. Jadi antara kedua Mufassir tersebut mempunyai perbedaan pendapat terkait membelanjakan harta di jalan Allah karena jenis harta yang dimaksudkan dalam Ibnu Katsir merupakan harta yang tidak habis dengan satu kali digunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya (Isti’mal). Sedangkan harta yang dimaksudkan al-Maraghi merupakan sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaannya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan menghabiskannya (Istihlak). Maka jika dikaitkan dengan fenomena sosial menafkahkan harta di jalan Allah layaknya pendapat Ibnu Katsir begitu banyak cara yang bisa digunakan seperti halnya menafkahkan tanah yang hendak digunakan untuk menanam padi sehingga hasil dari panen bisa disadaqahkan. Sedangkan berjihad di jalan Allah selayaknya pendapat al-Maraghi yaitu dengan mengeluarkan harta untuk mencari ilmu, mengeluarkan harta untuk kesehatan dan juga memberikan kesejahteraan sosial.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7


(8)

xi

G. Metodologi Penelitian ... 10

H. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II: MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH A. Membelanjakan dan Harta ... 17

1. Definisi membelanjakan ... 17

2. Definisi harta atau mal ... 18

3. Permasalahan-permasalahan harta ... 19

B. Bentuk-bentuk Membelanjakan Harta di Jalan Allah ... 24

1. Nafkah suami kepada istri ... 25

2. Waris atau Faraid ... 26

3. Zakat ... 29

4. Wakaf ... 30

5. Hadiah atau hibah ... 31

6. Sadaqah ... 32

7. Infak ... 34

8. Jihad ... 36

BAB III: MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL MARAGHI TELAAH SURAT AL BAQARAH AYAT 195 A. Ibnu Katsir ... 40

1. Biografi Ibnu Katsir ... 40

2. Rihlah akademik ... 41

3. Sosio kultural ... 41

4. Karya ilmiah ... 43


(9)

6. Tafsir Ibnu Katsir ... 45

7. Metode dan corak Ibnu Katsir ... 46

B. Ahmad Musthafa al-Maraghi ... 49

1. Biografi al-Maraghi ... 49

2. Rihlah akademik ... 49

3. Sosio kultural ... 50

4. Karya ilmiah ... 54

5. Latar belakang tafsir al-Maraghi ... 55

6. Tafsir al-Maraghi ... 56

7. Metode dan corak al-Maraghi ... 57

C. Membelanjakan Harta di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Surat al-Baqarah Ayat 195 1. Penafsiran Ibnu Katsir ... 58

2. Penafsiran al-Maraghi ... 61

BAB IV: ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PENAFSIRAN IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL MARAGHI TENTANG MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH SURAT AL BAQARAH AYAT 195 A. Analisis Komparatif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi .. 66

B. Perbedaan dan Persamaan Antara Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Membelanjakan Harta di Jalan Allah... 78

BAB V: PENUTUP 1. Simpulan ... 82

2. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian al-Qur`an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup dinamis, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik sampai kontemporer, dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan.1

Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan al-Qur`an sebagai teks yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan sebagai konteks yang tak terbatas, merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir al-Qur`an. Hal ini mengingat betapapun al-Qur`an turun dimasa lalu, dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, tetapi ia mengandung nilai-nilai universal yang s}a>lih li kulli zama>n wa maka>n. Karenanya, di era kontemporer, al-Qur`an perlu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia. Dengan kata lain, sebagai orang yang hidup di era kontemporer, kita tidak perlu menggunakan kacamata orang dulu dalam menafsirkan al-Qur`an, mengingat problem dan tantangan yang kita hadapi berbeda dengan mereka.2

1

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: CV. Idea Sejahtera, 2015), 138

2

Muhammad Syahrur, al-kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tawzi‟, 1992), 33


(11)

2

Perbedaan mengenai suatu masalah merupakan hal yang biasa dan sering terjadi disetiap perkumpulan. Perdebatan seputar duniawi sampai ukhrawi. Mulai dari urusan ekonomi, agama, budaya, sosial politik dan masih banyak lagi. Namun, perdebatan bisa menjadi hal yang serius ketika sampai pada ranah agama, hal-hal yang berhubungan dengan agama kerap menjadi penyebab perseteruan anatar agama, bahkan yang seimanpun terlibat aksi seperti ini.

Masalah dalam penelitian ini secara garis besar adalah tentang ekspresi kebahasaan dalam menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi dalam surat al-Baqarah ayat 195 yang berarti membelanjakan harta di jalan Allah. Sebelum melangkah pada permasalahan dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk melihat ruang definisi terlebih dulu tentang infak secara global. Kata membelanjakan harta di jalan Allah dengan sedekah memiliki korelasi makna yang sama yakni sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.3 Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi (infak) termasuk dalam kategori sedekah karena sama-sama melakukan pemberian/ sumbangan.4 Infak merupakan kata lain dari sadaqah, dimana keduanya sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu pahala atau ihtisab yang artinya tindakan yang disertai kesungguhan karena rid}a-Nya yakni pahala ukhrawi sebagai imbalannya.5 Akan tetapi, infak lebih dikhususkan

3

Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 88 4

Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), 149 5

Muhammad Abdurrahman bin abdurrahim, Tuhfah al-Ahwazi, (Beirut: Dar Fikr, vol: 6, tt), 99-100


(12)

3

maknanya, yaitu dalam hal materi saja dan tanpa ada pembatasan siapa yang diberi.6

Semua definisi di atas, sebagai awal identifikasi masalah dalam penelitian ini. Sejauh pembacaan peneliti terhadap surat al-Baqarah ayat 195 dalam karya tafsir Ibnu Katsir, ia menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi sebagai infak. Sedangkan dalam karya tafsir Ahmad Musthafa al-Maraghi, ia menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi (infak) sebagai jihad. Dari segi bahasa kata jihad merupakan masdar dari kata jahada yang memiliki arti berusaha dengan sungguh-sungguh.7 Sedangkan dalam kamus al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-‘Alam

dijelaskan bahwa jihad adalah memerangi musuh dalam bentuk membela agama.8 Dan al-Raghib al-Asfahani menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan segala daya upaya atau kemampuan untuk menahan serangan musuh.9

Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal Islam hingga masa kontemporer. Banyak ulama dan pemikiran muslim terlibat dalam pembicaraan tentang jihad, baik kaitannya dengan doktrin fiqh maupun dengan konsep politik Islam. Konsep-konsep jihad yang dikemukakan mengalami pergeseran dan perubahan, sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-masing.10

6

Fatihuddin Abul Yasin, Rahasia Keajaiban Shadaqah, (Surabaya: Terbit Terang, 2008), 7

7

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 217

8

Abu Luwis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Darul Masyriq, 1986), 106 9

Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfazi al-Qura’an, (Beirut: Dar Kutub

al-„Ilmiah, 2008), 114

10


(13)

4

Untuk mengungkap perbedaan antara kedua mufassir di atas dalam surat al-Baqarah ayat 195. Penelitian ini peneliti lakukan dengan melihat dua mufassir yang sama-sama masyhur akan tetapi beda zaman, agar bisa melihat poin-poin yang menonjol dalam penafsiran dari kedua mufassir tentunya dengan tujuan mengungkap persamaan dan perbedaan dari keduanya.

Peneliti menggunakan komparasi antara tafsir al-Qur`an al-Az}im yaitu kitab tafsir Ibnu Katsir dengan tafsir al-Maraghi. Kitab tafsir Ibnu katsir sendiri diketahui muncul pada abad ke 8 H,11 jika kitab tafsir ini muncul pada periode pertengahan, seperti yang tertera pada buku Dinamika sejarah Tafsir al-Qur`an secara historis-kronologi. Adapun periode pertengahan terjadi pada periode sekitar abad ke 3 H sampai abad ke 7-8 H.12

Lalu penulis menggunakan tafsir Ahmad Musthafa al-Maraghi, bahwasanya al-Maraghi dalam tafsirnya menggunakan ijmali dan tahlili. Ijmali penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur`an, sehingga pendengar dan pembacanya masih tetap mendengar al-Qur`an padahal yang mereka dengar adalah tafsirnya.13 Sedangkan tahlili penyajiannya sangat terperinci dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan.14

Selain itu peneliti ingin melihat bagaimana warna atau corak dari kedua era penafsiran di atas, yang mana Ibnu Katsir pada masa pertengahan yang kental dengan kepentingan-kepentingan polotik, madzhab atau ideologi keilmuan

11

Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah, (Yogyakarta: TH-Press, 2010), 135 12

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: LSQ ar-Rahmah, 2012), 90

13

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta; Pustaka Plajar, 2012), 13

14


(14)

5

tertentu, seolah penafsir sedah diselimuti “jaket ideologi” tertentu.15

Sedangkan tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi yang hadir pada abad ke 20 an atau pada era kontemporer, cenderung melepaskan diri dari model-model berfikir madzhabi, bahkan sebagian mereka juga memanfaatkan perangkat keilmuan modern, seperti teori sastra modern, hermeneutic, semantik, semoitic, dan teori sains modern.16

Dari kedua tokoh di atas menarik bagi peneliti untuk diteliti, karena kedua mufassir mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda, yang menghasilkan tafsir bercorak klasik dan modern. Dalam menafsirkan al-Qur`an kedua tokoh tersebut juga melakukan ijtihad, ijtihad yang mereka lakukan tentunya akan berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa latar belakang sejarah, sosiologi, wawasan intelektual dan sudut pandang kedua tokoh dalam memahami al-Qur`an sangat berbeda pada hasil penafsiran.17

15

Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an.., 99 16

Ibid.., 150 17


(15)

6

B. Identifikasi Masalah

Penafsiran surat al-Baqarah ayat 195 yang akan menjadi kajian penulisan ini memiliki beberapa masalah yang dapat dikaji, diantaranya:

1. Bagaimana makna membelanjakan?

2. Bagaimana Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi diartikan oleh Ibnu Katsir? 3. Apa pengertian nafkah?

4. Bagaimana Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi diartikan oleh al-Maraghi? 5. Apa pengertian jihad?

6. Bagaimana perbedaan dari kedua mufassir yakni Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi?

C. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat diuraikan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi memahami membelanjakan harta di jalan Allah pada surat al-Baqarah ayat 195?

2. Apa perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat ditarik tujuan pembuatan proposal penelitian ini sebagai berikut:


(16)

7

1. Untuk mendiskripsikan bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam menafsirkan “Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi” pada surat al-Baqarah ayat 195.

2. Untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penleitian tafsir yang terkait dengan penelitian mufassir serta menambah pemahaman tentang metode yang diterapkan kedua mufassir antara Ibnu Katsir dan al-Maraghi sehingga bisa menginterpretasikan penafsiran sesuai pemaknaan yang semestinya terkait dengan membelanjakan harta di jalan Allah.

2. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan yang memberikan informasi yang valid sehingga kualitas mufassir tidak diragukan dan bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan sebagainya. Serta memberikan informasi tentang pemaknaan tafsir konsep membelanjakan harta di jalan Allah.


(17)

8

F. Telaah Pustaka

Dalam proposal penelitian ini, digunakan berbagai buku sebagai rujukan dari pembahasan ini, antara lain:

1. Skripsi yang ditulis oleh M. Abdurrahman Wahid dengan judul “Penafsiran Ayat Jihad [perbandingan KH Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan An Nabhani (1909-1977)]” dalam skripsi tersebut menjelaskan konsep jihad menurut KH Hasyim Asy‟ari yang lebih moderat dan toleran terhadap penjajah. Baginya sepanjang penjajah tidak melakukan kerugian secara langsung terhadap umat Islam maka seharusnya muslim harus tetap bersikap dan berprasangka baik kepada mereka. Sedangkan Taqiyuddin An Nabhani cenderung lebih tegas dan keras, tak mengenal kompromi, khususnya terhadap kolonialisme. Baginya hanya ada satu cara untuk menegakkan Islam di dunia ini, yaitu dengan berjihad. Menurutnya jihad adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang berdiri menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu atau yang tidak. Akan tetapi yang layak diketengahkan sebagai persamaan jihad diantara keduanya ialah jihad merupakan perbuatan mulia, membutuhkan pengorbanan yang besar, dan apabila mati dalam berjihad maka statusnya adalah sya>hid.

2. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Kholiq dengan judul “Hadis Tentang Sadaqah (Kajian Ma‟ani al-Hadis Anjuran Sadaqah)” dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang makna sadaqah bersama zakat dan istilah-istilah lainnya yang semakna, sebagai bentuk ajaran yang peduli terhadap kondisi masyarakat begitu juga ajaran yang ikut serta dalam membangun masyarakat. Sadaqah


(18)

9

selain sebagai ibadah, sadaqah juga memberdayakan etos kerja, mengentaskan kemiskinan dan membangun kehidupan masyarakat, yaitu penguatan ekonomi umat. Setiap manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, sikap ini akan menyebabkan kefatalan baik dalam ibadah dan tentunya berpengaruh dalam usaha. Disinilah, sadaqah sebagai media controlling guna meminimalisir sifat negatif dalam diri manusia.

3. Skripsi yang ditulis oleh Awatif Baqis dengan judul ‚Penafsiran Al-Maraghi

Atas Ayat 26-28 Surat Ar-Rahman Tentang Wajhullah” dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang cara pemikiran kalam al-Mara>ghi> yang bercorak Muktazilah rasional. Karena setelah dikaji lebih dalam lagi ditemukan bahwa ternyata pemikiran kalam al-Mara>ghi> memiliki banyak kesamaan dengan pemikiran yang terdapat di dalam aliran Muktazilah dan Maturidiyah

Samarkand dan sedikit persamaannya dengan pemikiran kalam Asy’ariyah dan

Maturidiyah Bukhara tradisional. Konsep wajhullah menurut al-Mara>ghi dalam ayat 26-28 surat ar-Rahman, menurut al-Maraghi dipalingkan makna harfiyahnya kepada makna majazi yang berarti dzat tanpa menjelaskan apakah sifat tersebut berada di dalam ataupun di luar zat-Nya. Ia cenderung tidak mengakui bahwa Allah memiliki sifat jasmani sehingga berdampak pada panafsiran lafad wajhullah yang ditafsirkan dengan zat Allah.

4. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Hamzah Ainul Yaqin dengan judul “Aurat Dalam Al-Qur`an Prespektif M. Quraish Shihab Dan Ahmad Musthafa Al-Maraghi: Surat Al-Arafayat 26, Al-Nur Ayat 31, Al-Ahzab Ayat 59” dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang penafsiran M. Quraish Shihab dan Ahmad


(19)

10

Musthafa al-Maraghi tentang aurat sebagai salah satu wacana bagi umat Islam terkait dengan berbagai macam penafsiran yang muncul pada zaman dulu sampai dengan sekarang.

G. Metodologi Penelitian

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Bangsa arab menerjemahkannnya dengan thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia kata metode mengandung arti cara yang teratur yang terpikir baik-baik untuk mencapai maksud, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.18

Penelitian adalah terjemah dari bahasa Inggris yaitu research yang berarti usaha untuk mencari kembali yang dilakukan dengan metode tertentu dan dengan hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan sehingga dapat digunalkan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. Jadi metode penelitian adalah carayang akan ditempuh oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian.19 1. Penelitian dalam hal ini menggunakan metode komparatif yaitu

membandingkan antara dua redaksi yang bermirip atau lebih, atau membandingkan antara ayat dengan hadis, atau antara berbagai pendapat para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan.20 Dalam hal ini penulis akan mencoba membandingkan antara pendapat mufassir Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi terkait dengan

18

Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 1.

19

Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Indeks, 2012), 36. 20

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), 71


(20)

11

membelanjakan harta di jalan Allah. Karena kedua mufassir tersebut ada sedikit perbedaan pendapat terkait dengan hal tersebut. Baik dari segi penafsiran maupun metode yang diterapkan.

Sebenarnya metode riset komparatif tidak jauh beda dengan riset-riset yang lain, hanya saja dalam riset-riset komparatif akan tampak sangat menonjol uraian-uraian perbandingannya. Langkah-langkah metodis dalam melakukan riset komparatif adalah sebagai berikut:21

 Menentukan tema apa yang akan diriset

 Mengidentifikasi aspek-aspek yang hendak diperbandingkan

 Mencari keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi antar konsep  Menunjukkan kekhasan dari masing-masing pemikiran tokoh, madzab

atau kawasan yang dikaji

 Melakukan analisis yang mendalam dan kritis dengan disertai argumentasi data

 Membuat kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab problem risetnya. Selain itu penulis juga menggunakan metode analitis yaitu membicarakan asbab al-Nuzul, munasabah, dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan seperti halnya kosakata, susunan kalimat, dan lain sebagainya.22 Dari pengertian tersbut maka yang paling penting nantinya penulis akan mencari asbab an-Nuzul dari ayat yang berkaitan dengan tema untuk mengetahui asal-usul turunnya ayat tersebut, dan munasabah ayat yang sudah tertera pada topik pembahasan tersebut.

21

Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir.., 137 22


(21)

12

1. Jenis penelitihan

Penelitihan ini menggunakan jenis metode penelitian library research (penelitihan perpustakaan), dengan menggunakan data dan informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur bahasa arab maupun literatur berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian. Dalam hal ini penulis akan mengumpulkan data-data yang terkait dengan membelanjakan harta di jalan Allah baik buku tersebut berbahasa arab maupun bahasa yang lainnya, dengan tujuan untuk menemukan berbagai macam informasi terkait dengan tema tersebut.

Selain itu penelitian ini bersifat kualitatif dimana penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial, yaitu melihat dunia dari apa adanya, bukan dunia yang seharusnya, maka seorang peneliti kualitatif haruslah orang yang memiliki sifat open minded. Dari situ penulis nantinya akan menyelesaikan karya tulis ilmiyah ini dengan berbagai macam cara salah satunya mencari penafsiran dan biografi mufassir Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dengan tujuan mencari kebenaran terkait dengan membelanjakan harta di jalan Allah.

Karenanya melakukan penelitian kualitatif dengan baik dan benar berarti telah memiliki jendela untuk memahami dunia psikologi dan realitas sosial. Dalam penelitian sosial, masalah penelitian, tema, topik, dan judul


(22)

13

penelitian berbeda secara kualitatif maupun material kedua penelitian itu berbeda berdasarkan filosofis dan metodolgis.23

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau cara yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai data yang terkait dengan fokus permasalahan, kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasab dan penyusunan yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3. Pengelolahan Data

Data penelitian merupakan informasi tentang suatu kenyataan atau fenomena empiris yang berupa angka atau pernyataan. Salah satu tahapan penelitian adalah proses pengumpulan data. Data primer adalah data yang terkait langsung dengan masalah penelitian dan dijadikan bahan analisis serta penarikan simpulan dalam penelitian. Data sekunder adalah data yang terkait tidak langsung dengan masalah penelitian dan tidak dijadikan acuan utama dalam analisis dan penarikan kesimpulan.24

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pustaka yaitu dengan mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian kemudian memilah-milahnya dengan mengambil data-data yang berkaitan dengan penelitian.

23

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 4

24

Musfiqon, Panduan lengkap Metodologi Penelitian Pendiddikan (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012), 115.


(23)

14

4. Teknik Analisis Data

Menganalisis semua data yang sudah terkumpul baik dari data sekunder maupun data primer sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Kemudian melakukan telaah yang lebih dalam atas karya-karya yang memuat obyek penelitian dengan menggunakan analisis ini, dimana suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan. Selain itu analisis itu juga mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak penelitian.25

Menurut sumbernya, data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.26 Sedangkan data sekunder adalah data tangan kedua yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh penelitian dari subyek penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud dokumentasi atau data laporan yang tersedia.27

a. Sumber data primer pada penelitian ini meliputi:  Tafsir al-Qur`an al-Adhim: oleh Ibnu Katsir

 Tafsir al-Maraghi: oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi b. Sumber data sekunder yang meliputi:

 Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an  Metodologi Penafsiran Al-Quran

25

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Yogyakarta: Rake Saransi, 1993), 76.

26

Saifuddin, Metode Penelitian, ( Yogyakarta: Kanisius, 1998), 91. 27


(24)

15

 Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah  Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia  Sejarah Dan Ulum Al-Qu‟an

 Metode penelitian al-Qur`an dan Tafsir

 Jihad Dalam al-Qur`an, Telaah Normatif, Historis, Dan Prospektif  Fiqh Muamalah

 Sejarah dan Metodologi Tafsir

H. Sistematika Pembahasan

Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Selain itu pada bab ini juga akan dijelaskan pengertian serta dalam bab ini juga digunakan sebagai pedoman, acuan, dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab kedua berisi tentang landasan teori secara umum terkait dengan membelanjakan harta di jalan Allah. Di mana pada bab ini menjelaskan secara umum tentang membelanjakan harta di jalan Allah.

Bab ketiga membahas tentang biografi tokoh mufassir yaitu Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi disertai dengan karya-karyannya, dan


(25)

16

karakteristik penafsiran dari kedua tokoh mufassir yaitu Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.

Bab keempat berisi tentang analisis komparatif penafsiran Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi, serta perbedaan dan persamaan di antara kedua tokoh tersebut.

Bab kelima membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil akhir dari penelitian ini, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


(26)

17

BAB II

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

A.

MEMBELANJAKAN DAN HARTA

1. Definisi Membelanjakan

Yaitu mengeluarkan uang untuk belanja. Kata dasar membelanjakan adalah belanja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belanja yaitu uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan sehari-hari.1 Membelanjakan atau membiayai berasal dari kata

قف ي

-

قف أ

yang berarti infak yang dikhususkan dengan upaya realita perintah-perintah Allah. Menurut kamus bahasa Indonesia infak adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Sedang menrurut terminology syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.2

Sedangkan lafad

رتشا

menunjukkan arti membeli3 seperti yang telah dijelaskan dalam QS. at-Taubah: 111 yang artinya:

Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang dijalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur‟an.

1Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 164. 2Majalah OASE Desember 2012, 15.

3

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), 299.


(27)

18

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa infak berasal dari kata bahas Arab, namun telah dibahasa Indonesiakan dan berarti: pemberian (sumbangan) harta dan sebagiannya untuk kebaikan. Dalam bahasa Arab

(infak/

اف إ

) akar kata yang berarti sesuatu yang habis. Dalam al-Munjid, dikatakan bahwa Infak boleh juga berarti dua lubang atau berpura-pura.

Sedangkan

رتشا

bermakna membeli, layaknya seseorang membeli barang

dan mengharapkan apa yang telah dibeli, lain halnya dengan infak tanpa mengharap imbalan atau pun hasil.

Seperti yang kita ketahui bahwa infak terambil dari kata bahasa Arab yang menurut penggunaan bahasa berarti: berlalu, hilang, tidak ada lagi. Dengan berbagai sebab: kematian, keputusan, penjualan dan sebagainya. Atas dasar ini, al-Qur`an menggunakan kata infaq dalam berbagai bentuknya, bukan hanya dalam harta benda, tetapi juga selainnya.4

2. Definisi Harta atau mal

Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata

-

ام

ي ب

-

ايم

yang menurut bahasa berarti condong, cenderung, atau miring. Al-mal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat.

Menurut bahasa umum, arti mal ialah uang atau harta. Adapun menurut istilah, ialah segala benda yang berharga dan bersifat materi serta

4Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih.( Bandung : Gema Risalah Press, 1998), 143


(28)

19

beredar di antara manusia.5 Menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Nasrun Haroen, al-mal adalah Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan.6 Sedangkan pendapat jumhur ulama fiqih selain Hanafiyah yaitu segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya. Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat dirabah seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih umum digunakan oleh kebanyakan manusia.7

3. Permasalahan-permasalahan Harta a. Fungsi Harta

Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara‟ dan ketetapan yang disepakati oleh manusia. Fungsi harta yang sesuai dengan syara‟, antara lain untuk:

5Wahbab al-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 4 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 8.

6Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al

-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), 15.

7Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan UMUM, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 22


(29)

20

 Kesempurnaan ibadah mahdah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.

 Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebab kefakiran mendekatkan kekufuran

 Menyelaraskan anatara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah bersabda:

سيل

ِ

ريخب

ِ

مك

ِم

ِ

رت

ِ

اي دلا

ِ

ترخآ

ِ

رخآو

ِ

اي دل

ِ

ىتح

ِ

ابيصي

ِ

ا ي ج

ِ

إف

ِ

دلا

ِ

اب

ِ

ىلا

ِ

رخآا

ِ(

اور

ِ

راخبلا

)

Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meniggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.

 Bekal mencari dan mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit.

 Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.

 Untuk menumbuhkan silaturrahmi.8 b. Macam-macam Harta

Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim. Harta Mutaqawwim adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara‟. Atau semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Harta


(30)

21

Ghair Mutaqawwim adalah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaanya.

 Mal Mitsli dan Mal Qimi. Harta Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Harta Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.

 Harta Istihlak dan harta Isti’mal. Harta Istihlak adalah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu: Istihlak Haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Istihlak Buquqi adalah suatu harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan tetapi zatnya masih tetap ada. Harta Isti‟mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulanag kali dan materinya tetap terpelihara. Harta Isti’mal tidaklah habis dengan satu kali menggunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya.

 Harta Manqul dan Harta Ghair Manaqula. Harta Manqul adalah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lainya baik tetap ataupun berubah kepada bentuk yang lainnya seperti uang, hewan, benda-benda yang ditimbang atau diukur. Harta Ghair Manaqul


(31)

22

adalah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain.9

c. Memperoleh harta dan pemanfaatannya  Memperoleh harta

Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian yang lalu bahwa harta merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Usaha mencari harta dan memilikinya itu hanya dengan cara yang halal.

Adapun bentuk usaha dalam meperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki manusia bagi menunjang kehidupannya, secara garis besarnya ada dua bentuk:10

- Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik siapapun adalah menghidupkan (menggarap) tanah mati yang belum dimiliki yang disebut ihya’ al-mawat.

- Memperoleh harta yang telah dimiliki seseorang melalui transaksi. Bentuk ini dipisahkan dari dua cara: pertama, peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau yang disebut ijbary yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti warisan. Kedua, peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya, dalam arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiary, baik melalui

9

Ibid


(32)

23

kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli. Kedua cara memperoleh harta ini harus selalu dilakukan dengan perinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan diridhai Allah swt.

 Pemanfaatan harta11

- Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Sebagaimana Allah berfirman:

ا لك

ِ وٱ

ا ب رْش

ـي

ِ ٔ

ا ٔ

ا ب

ِْمت ك

ِ ل ْ ت

٣٤

Artinya:

(Katakan kepada mereka), "Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan."

Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud disini adalah sebuah kebutuhan hidup, seperti pakaian dan papan (perumahan). Hal ini berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup di dunia. Namun dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa hal yang dilakukan oleh setiap Muslim; pertama, israf yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan hidup sendiri. Kedua, Tabdhir (boros), dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

11Ibid.., 184


(33)

24

- Digunakan untuk memenuhi kewajiban terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam: pertama, kewajiban materi yang berkenan dalam kewajiban agama yang merupakan hutang kepada Allah, seperti untuk keperluan membayar zakat atau nadzar atau kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk manusia. Kedua, kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga yaitu istri, anak dan kerabat.

- Dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang. Ada yang mendapat banyak sehingga melebihi keperluan kehidupannya sekeluarga, tetapi ada pula yang mendapat sedikit dan kurang dari keperluan hidupnya. Yang mendapat rezeki yang sedikit ini memerlukan bantuan dari saudaranya yang mendapat rezeki yang berlebih dalam bentuk infak.

B.

BENTUK-BENTUK MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kabakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan. Bentuk-bentuk membelanjakan harta di jalan Allah, di antaranya:


(34)

25

1. Nafkah suami kepada istri

Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya. Dalam kaitan ini QS. Al Baqarah : 233 mengajarkan bahwa ayah (suami yang telah menjadi ayah) berkewajiban memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu) dengan makruf. Nafkah dalam hal ini mempunyai arti tanggung jawab utama seorang suami dan hak utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada, tanpa sedikitpun unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga.12

Disebutkan dalam HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwasanya nafkah kepada istri yaitu, memberinya makan bila kalian makan, dan memberinya pakaian bila kalian berpakaian. Janganlah kalian memukul wajah, menjelek-jelekkan, dan janganlah mengasingkannya kecuali di rumah.13 Yang dimaksud jangan mengasingkannya kecuali di rumah yakni apabila suami hendak menghukumnya, cukuplah dengan memisahkan tempat tidurnya, bukannya mengusir atau menyakitinya dengan kata-kata kasar.14 Dan jika suami ba>khil, yaitu tidak memberikan nafkah secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Hakim boleh memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh

12

Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri (Solo: Era Intermedia, 2006), 71

13

Kahar Masyhur, Bulughul Maram (Jakarta:Rineka Cipta, 1992), 142 14


(35)

26

istri serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh istri ternyata benar.15

2. Waris atau Faraidh

Lafazh al-Faraidh, sebagai jamak dari lafazh faridhah, oleh para ulama Faradhiyun diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Diartikan demikian karena saham-saham yang telah dipastikan kadarnya tersebut dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan kadarnya. Faraidh dalam istilah mawaris dikhusukan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟.16

Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah

pembagian harta waris. Kata

ئ فلا

(al-fara>’idh atau diindonesiakan menjadi faraidh-pen) dalah bentuk jamak dari

ة ي فلا

(al-fari@dhah) yang bermakna

ة و ف لا

(al-mafru>dhah) atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.17

Menurut bahasa, lafal fari@dhah diambil dari kata

فلا

(al-fardh) atau kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata al-fardh memiliki banyak arti, diantaranya sebagaimana berikut:

15

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 164

16Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: ALMAARIF, 1994), 31

17Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul Mawa>ris Fil Fiqhil

Islam, ter. Addys Aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2004), 11.


(36)

27

a. Al-Qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian. b. At-Taqdir yang berarti suatu ketentuan.

c. Al-Inzal yang berarti menurunkan. d. At-Tabyin yang berarti penjelasan. e. Al-Ihlal yang berarti menghalalkan. f. Al-‘At}a’ yang berate pemberian.

Keenam arti di atas dapat di gunakan seluruhnya karena ilmu faraidh meliputi beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara tetap dan pasti. Di samping itu, penjelasan Allah SWT. tentang setiap ahli waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada sebutan atau penamaan ilmu faraidh.18

sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa definisi, yakni sebagai berikut:

a. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara‟ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima waris-pen) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul (pembagian harta waris, di mana jumlah bagian para ahli waris lebih besar dari pada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).

b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.

18Ibid.., 12.


(37)

28

c. Disebut juga fiqh al-mawaris yang berarti fiqih tentang warisan dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

d. Kaidah-kaidah fiqh dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan.

e. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.19

Pengertian waris menurut bahasa tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta saja, melainkan mencakup harta benda dan non harta benda.20 Kata و adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur`an.21 Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diteria dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.22

3. Zakat

Zakat ialah pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari sekumpulan harta tertentu, menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian,

19Ibid.., 13

20Muhammad Ali ash-Sabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyah ‘Ala Dhau’ Al-Kitab

Wa Sunnah. Ter. A.M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 33

21Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 355


(38)

29

keberkahan, pensucian. Menurut syara‟ zakat, menurut sifat-sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya.23 Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah: 110

او ي أو

ٱ

ول ل

ٰ

ة

اوتاءو

ٱ

وك ل

ٰ

ة

امو

اومدقت

مكسف ِ

ْ م

ْيخ

ودجت

د ع

ٱ

ّ

إ

ٱ

ّ

ا ب

ول ْعت

ي ب

Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Pengertian zakat yang berkembang dalam masyarakat adalah shadaqah wajib, sedangkan pengertian shadaqah sendiri adalah shadaqah sunnah.

Hikmah zakat diantaranya:24

 Menyucikan harta dari kemungkinan masuk harta orang lain ke dalam harta yang dimiliki.

 Menyucikan jiwa si pemberi zakat dari sifat kikir (bakhi@l) dan dosa secara umum

 Membersihkan jiwa si pemberi zakat dari sifat dengki  Membangun masyarakat yang lemah menjadi kuat.

23Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid I, (Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995), 213 24M. Ali Hasan, Zakat dan Infak, (Jakarta: Kencana, 2006), 18


(39)

30

4. Wakaf

Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).25 Secara istilah berikut pendapat para ulama:

 Muhammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tas}arruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas mushrif (pengelolah) yang dibolehkannya.

 Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni berpendapat bahwa wakaf ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah swt.26

 Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah.27

 Idris Ahmad berpendapat wakaf adalah menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat („ain)-nya dan

25Muhammad al-Syarbini al-Khatib, al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, t.t), 319

26Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Bandung: PT al-Ma’arif, t.t), 119


(40)

31

menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara‟, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.28

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebenaran.

Wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus mengalir selama masih dapat digunakan. Bukan hanya itu, wakaf sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan. Lihatlah negeri Islam di zaman dahulu, karena wakaf, umat Islam dapat maju, bahkan sampai sekarang telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf itu masih kekal. Kita masih merasakan manisnya hasil wakaf mereka dahulu sampai sekarang. Jadi hikmah wakaf dapat kita simpulkan yaitu untuk memfasilitasi secara kekal semua jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam.29

5. Hibah atau hadiah

Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-hibah yang berarti pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil dari kata Hubu>bur ri@h artinya muru>ruha (perjalanan angin). Kemudian, dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta ataupun bukan. Secara terminologi (syara‟) jumhur ulama mendefinisikan hibah ialah akad yang mengakibatkan pemilik harta tanpa ganti rugi yang

28Idris Ahmad, Fiqih al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), 156

29Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, cet. 3 (Jakarta: Prenada Media, 2015), 182


(41)

32

dilakukan oleh seseorang dalam keadaan hidup kepada seseorang secara sukarela.30

Dari definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan untuk mendekatkan diri kepada Allah di mana orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut. Benda yang diberikan statusnya belum menjadi milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak semata-mata akad.

Allah dan Rasul-Nya memrintahkan kepada sesama manusia untuk saling memberi. Biasanya orang yang suka memberi maka dia juga akan diberi. Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pemberian.

 Menghilangkan penyakit dengki yang dapat merusak keimanan

 Mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai dan menyayangi, serta menghilangkan sifat egois dan bakhil

 Menghilangkan rasa dendam.31 6. Shadaqah

Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab s}adaqah yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan Islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunnahkan. Tetapi setelah kewajiban zakat disyariatkan yang dalam al-Qur`an sering disebutkan dengan kata s{adaqah sunah/ tat{awwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Secara syara‟ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara

30Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 82 31Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah.., 158


(42)

33

ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.

Sedekah dapat diberikan kapan dan di mana saja tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu di bulan Ramadhan. Sedekah juga sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau bepergian, berada di kota Makkah atau Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari di bulan Zulhijjah, dan hari raya.32

Pada dasarnya, sedekah dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada famili yang paling memusuhi, famili yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan famili. karena selain sedekah, pemberian itu akan mempererat hubungan silaturrahmi.

Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik. Berikut bentuk-bentuk sedekah:33

a. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain b. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan

c. Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa d. Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan e. Membantu mengangkat barang

f. Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan

32Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar.., 455 33Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah.., 155


(43)

34

g. Melangkahkan kaki ke jalan Allah h. Mengucapkan dzikir kepada Allah

i. Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran j. Membimbing orang buta

k. Memberikan senyuman kepada orang lain.

Sedekah memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia bukan hanya mendapat pahala tetapi juga memiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat dipetik diantaranya:34

 Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya  Mempererat hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir

miskin, menghilangkan sifat bakhil dan egois, dan dapat membersihkan harta serta dapat meredam murka Tuhan

 Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat 7. Infak

Infak berasal dari kata

ِ ق ف أ

yang berarti mengeluarkan sesuatu untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.35 Ada pula pendapat yang mengatakan, secara bahasa Infak bermakna : keterputusan dan kelenyapan, dari sisi leksikal infak bermakna : mengorbankan harta dan semacamnya

34Ibid.., 157

35Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 101-102


(44)

35

dalam hal kebaikan. Dengan demikian, kalau kedua makna ini di gabungkan maka dapat dipahami bahwa harta yang dikorbankan atau didermakan pada kebaikan itulah yang mengalami keterputusan atau lenyap dari kepemilikan orang yang mengorbankannya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka setiap pengorbanan (pembelanjaan) harta dan semacamnya pada kebaikan disebut al-infak. Dalam infak tidak di tetapkan bentuk dan waktunya, demikian pula dengan besar atau kecil jumlahnya. Tetapi infak biasanya identik dengan harta atau sesuatu yang memiliki nilai barang yang di korbankan. Infak adalah jenis kebaikan yang bersifat umum, berbeda dengan zakat. Jika seseorang ber-infak, maka kebaikan akan kembali pada dirinya, tetapi jika ia tidak melakukan hal itu, maka tidak akan jatuh kepada dosa, sebagaimana orang yang telah memenuhi syarat untuk berzakat, tetapi ia tidak melaksanakannya.

Allah berfirman dalam Q.S Ali Imron: 134

ٱ

ي ل

وقف ي

ىف

ٱ

ا سل

ٰ

ء

وٱ

ا ل

ٰ

ء

وٱ

كْل

ٰ

ي ظ

ٱ

ظْيغْل

وٱ

يفاعْل

ع

ٱ

ا ل

وٱ

ّ

بحي

ٱ

ي سْح ْل

٣١

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,

Berdasarkan firman Allah di atas, bahwa infak tidak mengenal nisab seperti zakat. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia disaat lapang atau sempit. Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu maka infak boleh diberikan kepada siapapun juga.


(45)

36

8. Jihad

Jihad adalah bentuk mashdar. Berasal dari kata jahada-yujahidu-jihad-mujahadah. Artinya secara bahasa menunjukkan pada sebuah usaha mengerahkan kemampuan, potensi dan kekuatan, atau memikul sesuatu yang berat. kata ini dalam ragam bentuk turunannya termaktub dalam al-Qur`an s‟banyak 34 kali.36

Sedangkan menurut istilah jihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan untuk berperang di jalan Allah dengan mempertaruhkan nyawa, atau dengan memberikan bentuan harta atau materi, atau sekedar pendapat, atau dengan ucapan, atau dengan memberikan bekal berperang dan yang lainnya.37

Adapun menurut Ibnu Taimiyah, perintah Jihad bisa dilakukan dengan hati: seperti berkeinginan untuk berjihad, berdakwah, dan mengajarkan syariat-syariatnya; berhujjah dengan cara mendatangkan hujjah di hadapan orang-orang yang membutuhkannya; memberikan penjelasan tentang kebenaran, dan menghilangkan syubhat, serta memberikan pendapat dan sumbangsih pemikiran yang bisa memberikan manfaat bagi kaum Muslimin; serta jihad badan dengan cara berperang.

Tingkatan jihad madani (membangun masyarakat sipil) berikut pembagiannya:38

a. Jihad bidang ilmu

36Yusuf al-Qardhawi, Ringkasan Fikih Jihad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), 29 37Ibid.., 39


(46)

37

Al-Qur`an mengisyaratkan bahwasanya berusaha dalam mencari ilmu agama dikategorikan sebagai bentuk jihad. Karena itu al-Qur`an menyebutkannya surat at-Taubah ayat 22 tersebut. Penggunaan kata nafara (pergi) yang bisa dipakai dalam jihad menunjukkan bahwa pergi mencari ilmu dan memperdalam ilmu agama termasuk salah satu bentuk jihad. Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyebutkan: “Barangsiapa yang pergi dalam rangka menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali”.

b. Jihad bidang sosial

Jihad bidang sosial adalah memberikan perlindungan kepada keluarga yang terdiri dari orang tua, anak dan saudara. At-Thabarani dan lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku ingin sekali berjihad namun aku tidak mampu.” Rasulullah bertanya: “Apakah orang tua mu masih hidup?” laki-laki itu menjawab, “ibu saya masih hidup.” Rasulullah bersabda: “Berbaktilah kepadanya. Apabila kamu melakukannya, maka kamu layaknya orang yang melakukan ibadah haji, umrah dan jihad”.

Dengan pengarahan Nabi ini, beliau mengajarkan kepada kepada para sahabat beliau agar supaya membuka mata terhadap berbagai macam medan dan bidang garapan. Pada medan tersebut mereka dapat berjihad tanpa pedang, panah, dan persenjataan perang lainnya.


(47)

38

Sesungguhnya yang difokuskan oleh Rasulullah adalah niat dan tujuan di balik jerih payah tersebut. Selama orang yang berusaha tersebut bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang dianjurkan untuk masyarakat atau keluarga dan bahkan diri sendiri, maka ia berada di jalan Allah, yakni berada pada jihad yang diterima dan dipuji. Namun jika tujuannya itu adalah kesombongan dan menumpuk harta, maka ia telah keluar dari lingkup jihad di jalan Allah, yakni melintasi jalan lain yaitu jalan setan.

d. Jihad bidang pendidikan (tarbawi)

Yaitu jihad yang dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan kepada mereka sesuatu yang bisa menjaga identitas dan melestarikan hubungan mereka serta menanamkan pada hati dan pikiran mereka rasa cinta terhadap agama, umat dan negara sehingga mereka tidak bertindak secara berlebihan pada semua hal tersebut. Disamping itu juga memberikan kesempatan kepada mereka yang cerdas agar dapat menaiki tingkat belajar yang tinggi. Jihad tarbawi ini sangat penting untuk mencetak kader umat yang mampu memikul risalahnya yang begitu istimewa untuk dirinya dan juga alam semesta. Sesuatu yang mengakibatkan hal wajib menjadi tidak sempurna, maka hukumannya adalah wajib.


(48)

39

Yaitu jihad yang dilakukan dengan membangun rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan yang memberikan pengobatan kepada semua orang yang sakit dan bekerja untuk menaikkan tingkat kesehatan di masyarakat serta menyebarkan kesadaran terhadap kesehatan dan upaya pencegahan terhadap penyakit. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh orang bijak, “setitik pencegahan lebih baik dari segudang pengobatan.” Seperti yang dikatakan mereka pula, “akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.” f. Jihad bidang lingkungan

Yaitu jihad yang dilakukan dengan menjaga dan melindungi keselamatan lingkungan dari semua bentuk pencemaran atau bahaya yang menimpanya. Karena menjaga dan melindungi lingkungan dari bahaya pencemaran adalah bagian dari ajaran Islam.


(49)

BAB III

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL

MARAGHI TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195

A. Ibnu Katsir

1. Biografi Ibnu Katsir

Nama lengkap Ibnu Katsir adalah Ismail bin „Amr al-Quraisyi bin Katsir al-Basri ad-Imasyqi „Imadudin Abu Fida al-Hafidz al-Muhaddis asy-Syafi‟i.1 Beliau dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 700 H / 1300 M. atau lebih sedikit. Ada yang mejelaskan bahwa di penghujung usianya Ibnu Katsir mengalami kebutaan dan ia wafat pada bulan Sya‟ban tahun 774 H / 1373 M. beliau di kebumikan di kuburan as-Suffiyyah di dekat makam gurunya (Ibnu Taimiyah).

2. Rihlah Akademik

Dalam usia 7 tahun ayahnya meninggal, kemudian beliau mengikuti kakaknya pergi ke Damaskus. Di sanalah ia mulai belajar. Gurunya yang paling utama adalah Burhan al-Din al-Farizi seorang pemuka madzhab Syaf‟i. Disamping itu juga beliau belajar kepada ulama sesamanya. Diantaranya Baha‟ al-Din al-Qasimy bin Asakir (w.727 H), Ishaq bin Yahya

1

Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`An, ter. Drs. Mudzakir AS., cet. VI (Jakarta: pustaka Litera Antarnusa, 2001), 527.


(50)

41

al-Amidy (w. 728 H), Taqy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dari beberapa gurunya ini Ibnu Katsir sangat terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang menganut madzhab Hanbali dengan pemikiran Radikalisnya.2

3. Sosio Kultural

Damaskus atau dalam bahasa Arab disebut (Dimasyq/( قشمد adalah kota peradaban umat Islam yang menyimpan sejarah kegemilangan. Letaknya berada di sebelah barat daya Suriah. Damaskus termasuk kota tua yang tercatat dalam sejarah dengan kekuasaan yang silih berganti, yaitu antara bangsa Mongol, Romawi, dan Arab. Kota ini bagai magnet yang menarik pesona siapa saja ingin yang bermukim di dalamnya. Ada yang mengatakan, sebutan Damaskus berasal dari seorang bernama Dimasyq bin Kan‟an. Sejarawan mencatat bahwa kota yang kaya akan peninggalan sejarah ini dibangun pada 3000 tahun sebelum Masehi.3 Ulama Tafsir seperti Imam Ibnu Katsir mengartikan “tanah yang tinggi” yang disebutkan oleh Al-Qur`an sebagai kota Damaskus.Untuk menggambarkan secara detail kota peradaban Islam itu, Ibnu Asakir bahkan menulis buku berjudul “Tarikh Dimasyq” (Sejarah Damaskus), yang menggambarkan tentang kota ini dan wilayah-wilayah sekitarnya, serta para ulama yang hidup di wilayah-wilayah tersebut. Buku ini menjadi rujukan bagi para sejarawan dan mereka yang ingin mengetahui seluk beluk tentang Damaskus. Pada masa kejayaannya, buku-buku bagaikan lautan ilmu yang membentang di perpustakaan-perpustakaan megah di kota

2

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ter. Bahrun Abu Bakar LC., juz 1, cet. II (Bandung: Sinar Baru ALgesindo, 2002), vii.

3

Artaaz Zamword, https://artaazzamwordpresscom.wordpress.com/2015/10/12/damaskus-kota-bersejarah-di-negeri-syam (Rabu, 18 Januari 2017, 19:46)


(51)

42

ini. Sekolah-sekolah diniyah bertebaran di seantero kota. Tak heran jika pada masa lalu, Damaskus menjadi salah satu kiblat ilmu dan peradaban yang banyak melahirkan para ulama, dan menjadi tempat bagi mereka yang ingin bermukim dan menuntut ilmu. Ketika umat Islam di Andalusia mengalami pengusiran besar-besaran, pembunuhan dan lain sebagainya pada abad ke-12 Masehi oleh kaum Nasrani, mereka berbondong-bondong datang ke Damaskus. Begitupun pada masa ketika kaum Muslimin di Irak mengalami penindasan yang dilakukan oleh pasukan Tartar dari bangsa Mongol, mereka datang berlindung ke kota Damaskus. Bahkan pada abad ke-16, Damaskus tak hanya menjadi tempat berlindung bagi umat Islam dari Andalusia, bahkan juga menjadi tempat mencari suaka orang-orang Yahudi yang berdiaspora dari Andalusia.

Popularitas Ibnu Katsir dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukum terhadap seorang zindik yang didakwah menganut paham hulul (inkarnasi). Penelitian itu diprakarsai oleh Gubernur Suriah Altunbuga an-Nasiri di akhir tahun 741 H/1341 M. Pada bulan Muharram beliau diangkat sebagai khatib masjid kota Mizza yang didirikan oleh Amir Baha‟ al-Din al-Marjani. Pada bulan Zulkaidah tahun 748 H / Febuari 1348 M, ia mengajarkan hadis menggantikan gurunya al-Zahabi yang meninggal.4

Ibnu Katsir dikabarkan pernah menjabat sebagai pemimpin Dar al-Hadist al-Asyrafiyyah setelah Taqy al-Din al-Subki meninggal pada tahun 756 H. pada tahun 752 H/1351 M, setelah menggagalkan pemberontakan

4


(52)

43

Amir Bibughah Urus, beliau diterima oleh khalifah al-Mu‟tadid untuk mengajar di Madrasah Dammaghiyah di Damaskus. Ia juga ikut dalam satu dewan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang Syi‟ah yang dituduh menghina khalifah Mu‟awiyah dan Yazid.5

Pada tahun 767 H/1365 M Ibnu Katsir membela mati-matian Qadhi Qudhah Taj al-Din yang dituduh melakukan beberapa penyelewengan. Sehingga Gubernur Mankali Bughah membentuk sebuah komisi yudisial penyelidik. Sehingga Ibnu Katsir dianugrahi Imam dan Guru Besar Tafsi di Masjid Negara pada bulan Syawal 768 H/1366 M.6

Ibnu Katsir dikenal sebagai ulama fiqih serta mufassir ahli hadis yang di akui kepopuleranya dalam dinia Islam. Banyak karyanya hingga kini mendapat perhatian dari kalangan umat Muslim dunia dalam mencari rujukan hadis sahih.7 Disamping itu pula, Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan mempunyai wawasan ilmiyah yang cukup luas.8

4. Karya Ilmiah

Berkat kegigihan Ibnu Katsir, akhirnya beliau menjadi ahli Tafsir ternama, ahli Hadith, sejarawan serta ahli fiqh besar pada abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang Tafsir yaitu Tafsi>r al-Qur`an al-‘Az}i>m menjadikitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir at-Tahabari. Berikut ini adalah sebagian karya-karya Ibn Katsir:

a. Al-Bida>yah wa al-Niha>yah Fi> al-Tarikh, dalam bidang sejarah.

5

Ibid

6

Ibid

7

Ibid

8


(53)

44

b. Al-Kawakibu al-Durari, dalam bidang sejarah, cuplikan pilihan dari

al-Bida>yah wa al-Niha>yah.

c. Tafsir al-Quran; al-Ijtihad fi Talbi al-Jihad.

d. Jami>’ al-Masanid; al-Sunnah al-Hadi li Aqwani Sunan;

e. Al-Wadihu al-Nafis fi Manaqibi al-Imam Muhammad Ibnu Idris.9

f. Tafsi@r al-Qur`an al-‘Az}i@m

g. Al-Madkhal Ila> Kitab al-Sunnah

h. Ringkasan Ulu>m al-Hadith li> Ibn al-S}alah

i. Al-Ta’mil fi> Ma’rifat al-Thi>qat wa al-Dlu’afa> wa al-Maja>hil.10

j. Al-Kutub As-Sittah (kitab-kitab hadist yang enam), suatu karya hadis. k. Al-Mukhtar (Ringkasan), yang merupakan ringkasan dari muqqadimah

Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M); dan dikatakan bahwa ia juga menulis buku yang berisi tafsiran terhadap hadis-hadis dari Sahih al-Bukhari dan karya hadis yang lainnya.

l. At-Takmilah fi Marifat as-Sigat (Pelengkap Dalam Mengetahui Rawi-Rawi yang Siqat/dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal), yang berisa riwayat rawi-rawi hadist sebanyak lima jilid.

m. Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadist (Buku tentang ilmu hadist) yang lebih dikenal dengan nama al-Bai’ts al-Hadist.11

9Manna‟ Khalil al

-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, ter. Drs. Mudzakir AS., cet. VI (Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 2001), 527-528.

10Manna‟ Khali>l al

-Qatt}an, Ulu>m al-Qur’an, ter. Mudzakkir, Cet. 13 (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), 527

11

Dewan Ensikopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol. II (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 2003), 156.


(54)

45

5. Latar Belakang Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir mempunyai rasa tanggung jawab yang besar sebagai seorang ulama‟ karena para ulama harus menggali dan mengungkap arti firman Allah dan mempelajari hikmat yang terkandung di dalamnya, kemudian mengajarkan dan menyebarkannya.

Sebagai landasannya Ibnu Katsir menggunakan Q.S Ali Imron yang menyatakan bahwa Allah telah mencela ahli kitab semata-mata mengejar kekayaan dan keuntungan dunia. Karena itulah umat Islam menjauhkan diri dari apa yang telah dicela oleh Allah, dan benar-benar menurut apa yang diperintahkan oleh Allah, yaitu mempelajari kitab Allah yang telah diturunkan, kemudian mengajarkannya, serta menghayati sedalam-dalamnya.12

6. Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir al-Quran al-Azhim karya Ibnu Katsir ini, atau yang terkenal dengannama Tafsir Ibnu Katsir, merupakan kitab tafsir terkenal yang menggunakan metode al-Ma‟tsur,13 yaitu tafsir al-Quran dengan al-Quran, penafsiran al-Quran dengan as-Sunnah atau penafsiran al-Quran menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.14 Dalam karya tulisnya ini, Ibnu Katsir menitik beratkan kepada riwayat yang bersumber dari tafsir ulama salaf. Untuk itu beliau menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan hadis-hadis dan atsar-atsar yang disandarkan kepada para pelakunya, disertai

12

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ter. Jilid 1 (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1988), xvi 13

Ibnu Katsir, juz I, ix. 14

M. Aly Ash Shabuny, Pengantar Studi Al-qur`an (At-Tibyan), ter. Moch Chudlori Umar, Moh. Matsna, cet. IV (Bandung: Al-Ma`arif, 1996), 205.


(55)

46

penilaian yang diperlukan menyangkut predikat daif dan sahih perawinya. Pada garis besarnya Tafsir Ibnu Katsir ini merupakan kitap tafsir bil al-Ma‟tsur yang terbaik.15

Metode yang ditempuh oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat mempunyai ciri khas tersendiri. Pada mulanya beliau mengetengahkan ayat-ayat yang relevan untuk dibandingkan. Kemudian menafsirkannya dengan ungkapan yang jelas dan ringkas. Setelah selesai dari tafsir ayat dengan ayat beliau mengemukakan hadis–hadis yang berpredikat marfu‟ yang ada hubungnya dengan makna ayat, lalu mengkompromikan dengan berbagai pendapat para sahabat tabi‟in dan ulama salaf.16

Beberapa keistimewaan dari tafsir Ibnu Katsir ini merupakan karya yang paling bagus setelah tafsir al-Thabary.17 Bahkan dari segi penelitian sanad, tafsir Ibnu Katsir ini mengalahkan tafsir al-Thabary. Disamping itu juga beliau memperingatkan akan adanya kisah-kisah isra‟iliyat yang munkar di dalam tafsirnya tersebut. Beliaupun memperingatkan kepada pembacanya agar bersikap waspada terhadap kisah seperti itu secara global.

7. Metode dan Corak Tafsir Ibnu Katsir

Hal yang paling istimewa dari tafsir Ibn Katsir adalah bahwa Ibn Katsir telah tuntas atau telah menyelesaikan penulisan tafsirnya hingga keseluruhan ayat yang ada dalam al-Qur`an, dibanding mufasir lain seperti Sayyid Rasyid Ridla (1282-1354 H) yang tidak sempat menyelasaikan tafsirnya.

15

Ibid.., xiii 16

Ibid.., ix-ix 17

Hasan Mu`arif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, jilid II (Jakarta: Icthtiar Baru Van Hoeve, 1996), 202.


(56)

47

Pada muqaddimah, Ibn Katsir telah menjelaskan tentang cara penafsiran yang paling baik atau prinsip-prinsip penafsiran secara umum yang disertai dengan alasan jelas yang ditempuh dalam penulisan tafsirnya. Apa yang disampaikan Ibn Katsir dalam muqadimahnya sangat prinsipil dan lugas dalam kaitannya dengan Tafsi@r al-Ma’thu>r dan penafsiran secara umum.

Adapun sistematika yang ditempuh Ibn Katsir dalm tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan susunannya dalam al- Qur‟an, ayat demi ayat, surah demi surah, dimulaidari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Na>s. Dengan demikian, secara sistematika tafsir ini menempuh tafsir mushafi.

Dalam penafsirannya, Ibn Katsir menyajikan sekelompok ayat yang berurutan dan dianggap berkaitan serta berhubungan dalam tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya Munasabah ayat dalam setiap kelompok ayat. Oleh karena itu, Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat al-Qur`an lebih mengedepankan pemahaman yang lebih utuh dalam memahami adanya munasabah antar al-Qur`an (Tafs>ir al-Qur`an bi al-Qur`an).

Dalam menafsirkan ayat al-Quran, maka metode penafsiran Ibn tafsir dapat dikategorikan kepada metode Tahlily, yaitu suatu metodetafsir yang menjelaskan kandungan al-Qur`an dari seluruh aspeknya. Dalam metode ini, mufassir mengikuti susunan ayat sesuai dengan tartib mushafi, dengan mengemukakan kosa kata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah, dan membahas Saba>b al-Nuzu>l, disertai dengan sunnah rasul


(57)

48

Saw, pendapat sahabat, tabi‟in dan pendapat para mufasir itu sendiri. Hal ini diwarnai dengan latar belakang pendidikan dan sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu dalam memaknai makna dari ayat al-Qur`an.

Dalam Tafsi@r al-Qur`an al-Az{i@m, Imam Ibn Katsir menjelaskan arti kosa kata tidak selalu dijelaskan. Karena, kosa kata dijelaskannya ketika dianggap perlu ketika dalam menafsirkan suatu ayat. Dalam menafsirkan suatu ayat juga ditemukan kosa kata dari suatu lafad, sedangkan pada lafad yang lain dijelaskan arti globalnya, karena mengandung suatu istilah dan bahkan dijelaskan secara lugas dengan memperhatikan kalimat seperti dalam menafsirkan kata Huda li al-Muttaqin dalam surah al-Baqarah ayat 2.

Menurut Ibn Katsir, “Huda” adalah sifat diri dari al-Qur`an itu sendiri yang dikhususkan bagi “Muttaqin” dan “Mu’min” yang berbuat baik. Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasannya tersebut yaitu surah al-Fus}ilat ayat 44, al-Isra>’ ayat 82 dan Yunus ayat 57.18

Di samping itu, dalam tafsir Ibn Katsir terdapat beberapa corak tafsir. Hal ini dipengaruhi dari beberapa bidang kedisiplinan ilmu yang dimilikinya. Adapun corak-corak tafsir yang ditemukan dalam tafsir Ibn Katsir yaitu (1) corak Fiqih, (2) corak Ra’yi, (3) corak Qira’at.19

18

Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qur‟an al-Azhi}>m, Jilid 1, 39 19

Ali Hasan Ridha, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ter. Ahmad Akrom, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), 59.


(1)

83

jalan Allah sedangkan al-Maraghi membelanjakan hartanya untuk membeli persenjataan yang akan digunakan dalam berjihad di jalan Allah. Kedua mufassir mempunyai cara tersendiri dalam menafsirkan wa anfiqu> fi@ sabi@lillah dengan tujuan yang sama yakni agar tidak terjerumus kedalam kebinasaan.

B. Saran

Setelah mengemukakan simpulan dari penelitian ini, saran yang diusulkan penulis yaitu sebagai berikut:

1. Bermacam-macam metode penafsiran al-Qur`an yang di sajikan para mufassir pada dasarnya merupakan upaya mereka masing-masing untuk dapat memahami kandungan al-Qur`an dengan benar. Oleh sebab itu, hendaknya para generasi Islam selanjutnya lebih bersikap fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal yang baru, jauh dari Islam salafi begitu juga terhindar dari liberalisme pemikiran. Penelitian yang jauh dari unsur kefanatikan dangat diperlukan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini sehingga nilai-nilai obyektifitas terpenuhi.

2. Keterbatasan pada analisis mengenai masalah tersebut kiranya kurang begitu

terwakili. Maka dari itu, diharapkan ada orang lain yang bersedia untuk melanjutkan penelitian ini sehingga bisa dijadikan teori oleh banyak orang.

3. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan agar bisa mengembangkan

pemikiran dan mengaplikasikannya di masa sekarang. Sehingga bentuk-bentuk dalam nafkah tidak hanya dalam hal suami istri. Begitu juga berjihad


(2)

84

tidak hanya berbentuk peperangan saja melainkan masih banyak yang lainnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Muhammad Abdurrahman bin. Tuhfah al-Ahwazi. vol: 6.Beirut: Dar Fikr, t.t.

Ahmad, Idris. Fiqih al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah, 1986.

Al-Asfahani, Al-Raghib. Mu’jam Mufradat alfazi al-Qura’an. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 2008.

Ambary, Hasan Mu`arif. Suplemen Ensiklopedi Islam. jilid II. Jakarta: Icthtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Artaaz Zamword,

https://artaazzamwordpresscom.wordpress.com/2015/10/12/damaskus-kota-bersejarah-di-negeri-syam/ “Damaskus Kota Bersejarah di Negeri Syam” (Rabu, 18 Januari 2017)

ash-Sabuni, Muhammad Ali. Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyah ‘Ala Dhau’ Al

-Kitab Wa Sunnah. Ter. A.M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut

Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Atmojo, Kemala. Majalah OASE. PT Halimun Media Citra. Desember. Ciputat, 15, 2012.

Az Zaibari, Amir Sa‟id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Bandung: Gema Risalah Press, 1998.

Azra, Azyumard. Sejarah Dan Ulum Al-Qu’an. Jakarta: Pustaka firdaus, 2001. Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset, 2002.

Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Baidowi, Ahmad. Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah. Yogyakarta: TH-Press, 2010.

Basyir,Ahmad Azhar. Wakaf; Izarah dan Syirkah. Bandung: PT al-Ma‟arif, 1987. Chirzin, Muhammad. Jihad Dalam al-Qur’an, Telaah Normatif, Historis, Dan

Prospektif. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.


(4)

Dewan Ensikopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Vol. II. Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 2003.

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Eweis, M. Yehia. Egypt Between Two Revolution. Cairo: Imprimerie Misr S.A.E, 1955.

Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Muamalah: Bunga Rampai. Jakarta: Prenadamedia, 2015.

Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah. Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Harun, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Hasan, M. Ali. Zakat dan Infak. Jakarta: Kencana, 2006.

Hitti, Philip K. Sejarah Ringkas Dunia Arab. Yogyakarta: Iqra‟ Pustaka, 2001. al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad. Kifayat al-Akhyar.

Bandung: PT al-Ma‟arif, t.t.

al-Iyazy, Muhammad Ali. Al-Mufassiru>na Haya>tuhum wa Manha>juhum Fi> al-Tafsi>r. Teheran: Waziqaf al-Irsyad al-Islamiyah, 1414.

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 1. ter. Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1988.

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Juz 2. ter. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002.

al-Khatib, Muhammad al-Syarbini. al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, t.t.

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir. Ahkamul Mawa>ris Fil

Fiqhil Islam. ter. Addys Aldizar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan

Abdi Publishing, 2004.

Luwis, Abu. al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Darul Masyriq, 1986. al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Kairo: Musthafa al-Halabi,

1950.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. ter. Bahrun Abubakar. Semarang: Toha Putra, 1984.


(5)

Mahmud, Mani‟ Abd Halim. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode

Para Ahli Tafsir. ter. Bandung: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Mansfield, Peter. Nasser’s Egypt. Harmondsworth: Penguin Books, 1969.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Saransi, 1993.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Musfiqon. Panduan lengkap Metodologi Penelitian Pendiddikan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: LSQ ar-Rahmah, 2012.

Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: CV. Idea Sejahtera, 2015.

Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: Almaarif, 1994.

Ridha, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. ter. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali Press, 1994.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. cet. 4. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

al-Qardhawi, Yusuf. Ringkasan Fikih Jihad. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011. al-Qatt}an, Manna’ Khali>l. Ulu>m al-Qur’an. ter. Mudzakkir. Bogor: Pustaka Litera

Antar Nusa, 2009.

al-Qattan, Manna` Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`An. ter. Drs. Mudzakir AS. Jakarta: pustaka Litera Antarnusa, 2001.

Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Indeks, 2012.

Shabuny, M. Aly Ash. Pengantar Studi Al-qur`an (At-Tibyan). ter. Moch Chudlori Umar, Moh. Matsna. Bandung: Al-Ma`arif, 1996.


(6)

Shalih, Qamaruddin. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat

Al-Qur’an: Bunga Rampai. Bandung: CV. Diponegoro, 1990.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. ciputat: lentera hati, 2000.

Soeratman, Darsiti. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak, 2012.

Sugono, Dendy. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Syafe‟i, Rachmat. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan UMUM. Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Syahrur, Muhammad. al-kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah. Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tawzi‟, 1992.

Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqih. Bogor: Kencana, 2003.

Tamburaka, Apriadi. Revolusi Timur Tengah. Kejatuhan Para Penguasa Otoriter

di Negara-Negara Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi, 2002.

Thahar, M. Shahib. Al-Kitabul Akbar. al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Akbarmedia, 2012.

Yasin, Fatihuddin Abul. Rahasia Keajaiban Shadaqah. Surabaya: Terbit Terang, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu. Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al

-Islamiyah. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1962.

Zaini, Hasan. Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi. vol. 1. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997.

al-Zuhaily, Wahbab. Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh. juz 4. Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.