PENERAPAN KAIDAH TIKRAR DAN HIKMAHNYA DALAM SURAT AL-SHU'ARA' PRESPEKTIF AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI DAN MUHAMMAD ALI AL-SHABUNI.

(1)

PENERAPAN

KAIDAH

TIKRAR

DAN HIKMAHNYA DALAM

SURAT

AL-SHU'ARA'

PRESPEKTIF AHMAD MUSTHAFA

AL-MARAGHI DAN MUHAMMAD ALI AL-SHABUNI

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

IHSANUDDIN NIM: E03212052

PROGRAMSTUDIILMUAL-QUR'ANDANTAFSIR

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTASUSHULUDDINDANFILSAFAT

UNIVERSITASISLAMNEGERISUNANAMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABTRAKSI

Nama : Ihsanuddin

Judul : Penerapan Kaidah Tikrar dan Hikmahnya dalam Surah Al-Shu’ara’ Prespektif Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al-Shabuni

Terjadinya perbedaaan dalam menafsirkan pengulangan yang ada pada surah

Asy Syu’ara, serta bagaimana Ahmad Musthofa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni Memaknai Kata “Dza>lik” merupakan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.

Skripsi ini dibuat untuk mengetahui penerapan kaidah tikrar dalam menafsirkan ayat ke-8, 67, 103, 121, 139 oleh Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Ash Shabuni dalam menafsirkan surah Asy Syu’ara. Sekaligus untuk mengetahui dan menganalisis terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan pengulangan yang ada pada surah Asy Syu’ara ialah merupakan tujuan dari penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode penelitian library research (penelitan perpustakaan). Kajian kepustakaan berupa data primer berasal dari kitab tafsir al-maraghi karya Ahmad Musthafa Al Maraghi dan tafsir Shofwatut Tafasir karya Muhammad Ali Ash Shabuni dan data Skunder yang berasal dari literature tentang tikrar yang relevan dengan penelitian ini. Untuk teknik pengumpulan data menggunakan kartu data, selanjutnya analisis datanya menggunakan metode diskriptif kualitatif.

Ahmad Musthafa Al-Maraghi juga menafsirkan bahwa pengulangan pada ayat tersebut adalah sebagai salah satu cara Allah membuktikan kepada orang yang berakal atas segala kekuasaan dan ciptaanya didunia, sehingga orang-orang kafir mengerti dan mau beriman, akan tetapi mereka terus-menerus kafir dan melakukan kesesatan, serta tenggelam dalam kezaliman dan kejahilan. Sementara Muhammad Ali Ash-Shabuni mengemukakan bahwa terdapat Istifham terhadap kaum kafir, Istifham yang berupa celaan kepada kaum kafir karena mendustakan berita-berita yang dibawa oleh para rasul-rasul meskipun kabar tersebut adalah sesuatu yang benar, akan tetapi mereka tetap mendustakanya.hal ini menjelaskan bahwa orang kafir pada masa tersebut adalah mereka yang sudah di berkali-kali memperoleh tanda kekuasaan Allah tetapi enggan beriman.

Dengan demikian bahwa Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali As Shabuni dalam mendekatan tikrar melahirkan perbedaan, perbedaan tersebut disebabkan pemahaman dan luasnya pengetahuan kedua tokoh tersebut dalam memahami maksud suatu teks ayat berupa al-Qur’an.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ...x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...7

C. Rumusan Masalah ...8

D. Tujuan Penelitian ...8

E. Kegunaan Penelitian ...9

F. Kajian Pustaka...10

G. Metode Penelitian ...10

H. Metode Analisis Data. ...12

I. Sistematika Pembahasan. ...13

BAB II TEORI TIKRA>R DAN URGENSINYA A. Tikrar ...15


(8)

1. DefinisiTikrar ...15

2. Pembagian Tikrar ...15

a. Tikrar al-Lafdzi. ...15

b. Tikrar Ma’nawi. ...17

3. Kaidah-Kaidah Tikrar. ...18

a. Kaidah Pertama. ...18

b. Kaidah Kedua. ...20

c. Kaidah Ketiga. ...21

d. Kaidah Keempat. ...23

e. Kaidah Kelima. ...24

f. Kaidah Keenam ...25

g. Kaidah Ketujuh ...27

4. Fungsi Tikrar. ...30

BAB III PENAFSIRAN PENGULANGAN KATA ‚DZA>LIK‛ DALAM SURAT AS-SYU’ARA’ AYAT 8, 67, 103, 121, 139 A. Analisis Penafsiran Ahmad Musthofa Al-Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shabuni terhadap pengulangan kalimat “Inna Fi> Dza>lika La A>yah Wa Ma> Ka> na Aktsaruhum Mu‟mini>n” pada ayat 8, 67, 103, 121, 139 Dalam Menafsirkan Surah Asy-Syu‟ara‟...34

1. Penafsiran Pada ayat ke-8 ...35


(9)

3. Penafsiran Pada Ayat ke-103. ...44

4. Penafsiran Pada Ayat ke-121. ...47

5. Penafsiran Pada Ayat ke-139. ...52

B. Hikmah Pengulangan’ Pada ayat 8, 67, 103, 121, 139 dalam

surah Al-Shu’ara’menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni ...55 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ...61

B. Saran ...62


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan landasan hukum Islam paling sentral yang berfungsi sebagai pedoman hidup manusia agar selamat di dunia dan di akhirat. Tidak bisa dipungkiri bahwa Al-Qur‟an memiliki mutu sastra yang tinggi dan gaya bahasa yang indah, sehingga tidak mudah bagi seseorang dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, dibutuhkan penafsiran yang mendalam agar makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an dapat dipahami.1

Al-Qur‟an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan isnpirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis, tapi juga disaat yang sama, Al-Qur‟an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, semua apa yang terdapat dalam Al-Qur‟an selalu menyimpan makna dan hikmah meski kadang pikiran manusia belum sampai pada hal-hal tersebut. Sebagian orang, khususnya orientalis mengklaim bahwa sistematika Al-Qur‟an sangat kacau. Banyak hal yang tak perlu dan sia-sia didalamnya, mereka memberi contoh, ziyadah, naqs dan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam Al-Qur‟an.2

1

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wayu dalam Kehidupan Masyarakat

(Bandung: Mizan, 1994), 03.


(11)

2

Ayat-ayat Al-Qur‟an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainya. Dan tidak mustahil bila orang lain melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat. Inilah sebagaian kata yang diungkapkan oleh Dr.Abdullah Durraz dalam bukunya

al-Naba‟ al-Adzim :

“Apabila anda membaca Al-Qur‟an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi akan andatemukan pula makna-makna lain yang sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat-ayat Al-Qur‟an) bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang memancar dari sudut-sudut yang lain memandangnya, maka ia akan melihat

lebih banyak dari apa yang anda lihat”3

Kata ini menggambarkan tentang i‟jaz Al-Qur‟an yang tidak pernah habis

ditelan zaman. Karena itu, aspek i‟jaz Al-Qur‟an akan terus berevolusi pada tiap generasi, dengan dalih bahwa meskipun Al-Qur‟an telah melewati berabad-abad dari masa penurunanya, Al-Qur‟an masih tetap hangat dikaji, diteliti, dan

diperbincangkan. Usaha-usaha untuk mengetahui rahasia-rahasia yang

terkandung didalamnya masih terus dilakukan. Tidak hanya itu musuh-musuh islam pun masih agresif mengkaji kitab suci ini walaupun tujuanya tidak lain untuk mendapatkan kelemahan-kelemahan didalam dan merekapun tidak mendapatkanya.4

3 M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 16. 4 Ibid.


(12)

3

Adapun Adapun segi i`jaz Al-Qur‟an yang begitu berpengaruh pada awal turunya Al-Qur‟an adalah al-I`ja>z al-Lughawi yaitu i`jaz Al-Qur‟an dari segi bahasa. Sebagaimana telah ma`lum bahwa nabi Muhammad Saw diutus di tengah-tengah kaum yang sangat fasih dalam berbahasa arab baik dari aspek balagah, Syi`ir, khitabah. Maka sebagai Rasul yang membawa risalah kepada ahlu al-fasahah nabi Muhammad Saw dituntut untuk bisa menunjukkan kepada kaumnya bukti kebenaran risalahnya, maka turunlah Al-Qur‟an.

Dan Al-Qur‟an pun datang dengan mu`jizat yang tak tertandingi, mereka pun mengakui hal tersebut dan tidak sedikit dari mereka yang beriman hanya dengan mendengarkannya dan merasakan keindahan susunan Al-Qur‟an. Lalu mereka yakin bahwa Al-Qur‟an ini bukan buatan nabi Muhammad Saw, dan juga bukan syi`ir. Namun kesombonganlah yang membuat mereka terus terseret dalam kesesatan.5

Dari salah satu al-i`jaz yang terdapat dalam Al-Qur‟an adalah pengulangan yang terjadi pada ayat-ayatnya atau yang lebih dikenal dalam cabang ilmu Al-Qur‟an al-tikra>r. Begitu juga dengan persoalan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam Al-Qur‟an. Diperoleh banyak fungsi dan hikmah dari bentuk ini, salah satunya adalah penegasan dan pembaharuan dari ayat sebelumnya. Sebagai contoh, pengulangan kisah-kisah dalam Al-Qur‟an mengenai nabi-nabi dan umat terdahulu.


(13)

4

Salah satu metode yang digunakan Al-Quran untuk menyampaikan pesannya adalah metode pengulangan satu kata atau satu kalimat atau satu ayat secara penuh. Pengulangan ini memiliki faedah dan manfaat dan merupakan

metode penggunaan pembicaraan (kalam) secara baik. Kadang-kadang

pengulangan terjadi dalam satu kalimat karena adanya jarak/pemisah ayat-ayat dalam satu surah.6

Imam Qutaibah menjelaskan bahwa Al-Qur‟an diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagaman kabilah yang ada dikomunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada pengulangan ayat, maka bisa jadi hikmah dan ibrah dari berbagai kisah tersebut hanya terbatas pada kaum tertentu saja. Dengan kata lain, tanpa tikra>r dalam Al-Qur‟an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa dikenang.7

Para mufasir dan Sarjana Ulumul Quran terkait dengan hubungan falsafah dan tujuan pengulangan dalam Al-Quran berkata: Pada umumnya pengulangan dimaksudkan untuk penegasan suatu perkara dan untuk menetapkan kalam atau untuk menunjukkan pentingnya permasalahan dan untuk menarik perhatian pendengar terhadap kandungan yang ada dalam surah itu. Dengan kata lain

6 Ja‟fari. Ya‟qub, Seiri dar Ulumul Qurān, hal. 270-272, Tehran, Uswah, Cet. 3, 1382.

7 Abu Muhammad „Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah,Ta‟wil Musykil Al-Qur‟an ( Kairo: Maktabah Dar el-Turats, 2006), 250.


(14)

5

tujuan pengulangan adalah untuk menggiring pendengar supaya mengingatkan kembali maksud yang diinginkan.8

Dalam pada itu skripsi ini akan membahas dan mengkaji pengulangan Al-Qur‟an pada kata “”Dza>lik” dalam surah al-Shu‘ara>‟ untuk mengetahui tentang rahasia-rahasia yang tersembunyi dari pengulanagan-pengulangan dalam Al-Qur‟an melalui penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali Ash Shabuni. Surah ini secara garis besar menjelaskan tentang dakwah para Rasul terdahulu dan juga secara khusus dakwah Nabi Muhammad. Dalam surah ini dijelaskan bahwa para Rasul terdahulu telah mendapat penentangan yang sangat keras dari kaumnya, perlawanan, cemoohan, hinaan, siksaan, dan bahkan konsirasi untuk membunuh Rasul itu.

Dalam surah al-Shu„ara> ini juga dijelaskan bahwa watak umat yang dihadapi Muhammad sebenarnya tak jauh berbeda dengan umat-umat terdahulu dalam menyambut dakwah, yaitu: keras kepala, sok pintar, suka mendebat kebenaran, mengumat, menghina, sombong karena menjadi tokoh masyarakat, sombong karena merasa punya ilmu, sombong karena merasa punya harta, bahkan melakukan kekerasan fisik, penyiksaan dan pembunuhan. Lalu di ujung setia kisah penentangan terhada dakwah para Rasul atau disetiap akhir pokok pembahasan, Allah SWT selalu menutu dengan ayat yang makna dan berbunyi sama yaitu: “inna fi> dha>lika laa>yah wa m>a ka>na aktharuhum mukmini>n, wa inna


(15)

6

Rabbaka lahuwal „azi>zur rahi>m. Dan ternyata ayat seperti ini diulang-ulang sebanyak 8 kali yaitu pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.

Pengulangan dalam ayat ini memiliki makna dan atau maksud tertentu, sebagaimana berikut:

 

 



 



“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman”.9

Adanya pengulangan kalimat dalam ayat di atas, pertama, ialah merupakan sebuah perhatian khusus, sebagaimana kaidah yang berbunyi:

راَرْ ِتلا

دَي

يَلَع

ءاَنِتْع ِِا

10

Pengulagan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.

Yaitu: begitu banyak kekuasaan Allah yang dianugerahkan kepada umat-umat para nabi akan tetapi mereka kebanyakan tidak beriman.

Kedua, Ayat di atas diletakkan setelah peristiwa kisah penentangan terhadap dakwah para Rasul. Dan diulang sebanyak 8 kali sekaligus meneliti terhadap mufassir tentang penerapan kaidah tikra>r dalam ayat tersebut dipakai atau bahkan diabaikan tanpa memperdulikan kaidah tikra>r.

9

Al-Qur‟a>n, 26: 8.

10

Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam‟an wa Dira>sah, (Saudi Arabia: Da>r bin „Affa>n, 1417 H./1997 M), 23.


(16)

7

Dalam kaitanya dengan pemilihan tokoh atau mufasir yang dipilih dalam topik pembahasan ini, ialah Muhammad Ali Ash-Shabuni sebagai mufasir kontemporer yang yang kontroversi di Syiria sekaligus seorang cendekiawan Islam khususnya dalam bidang perundangan Islam (Syari’ah). Sementara Ahmad Musthafa Al-Maraghi adalah ulama’ Kontemporer yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan metode tahlili.

B. Identifikasi Masalah

Untuk menetapkan masalah-masalah yang akan dibahas supaya tidak melebar ke pembahasan diluar topik skripsi ini, maka penulis membatasi pada masalah berikut:

1. Penjelasan terkait kaidah tikra>r yang digunakan oleh Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surah al-Shu‘ara>’ ?

2. Bagaimana penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi terhadap surah al-Shu‘ara>’ pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.?

3. Bagaiman penafsiran Muhammad Ali Ash-Shabuni terhadap surah

al-Shu‘ara>’ pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.?


(17)

8

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalah di atas maka penelitian ini dapat dirumuskan pada beberapa permasalahan untuk menfokuskan pembahasan pada skripsi ini maka dapat dirumaskan permaslahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran Ahmad Musthofa al-Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shabuni terhadap pengulangan kata Dza>lik pada ayat 8, 67, 103, 121 dan 139 dalam surah al-Shu„ara>?

2. Apa hikmah dari pengulangan kata dalam surah al-Shu„ara> pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139 menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni?.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yanyg disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu:

1. Mengetahui penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shabuni terhadap pengulangan kata Dza>lik dalam surah al-Shu‘ara>’ pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.

2. Mengetahui hikmah pengulangan ayat dalam surah al-Shu‘ara>’ pada ayat 8, 67, 103, 121 dan 139 menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni.


(18)

9

E. Kegunaan penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan penelitian ini. Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis, sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dunia pendidikan Islam.

2. Manfaat Praktis a. Bagi penulis

Menambah wawasan penulis mengenai wacana nilai yang terkandung dalam surah al-Shu„ara> pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139, untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan menjalani kehidupan bermasyarakat dan menegakkan Agama Allah.

b. Bagi Lembaga Pendidikan

Sebagai bahan kajian ilmiah di Fakultas, khususnya bagi mahasiswa fakultas Ushuluddin prodi ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang akan mengerjakan suatu karya ilmiah yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan umumnya bagi siapa saja yang mendalami tafsir Al-Qur’an.


(19)

10

c. Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai kontribusi pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik untuk pembahasan ilmiah maupun pengetahuan dalam bidang tafsir dan sebagai bahan referensi peneliti selanjutnya.

F. Kajian Pustaka

Dalam penulisan skripsi ini telaah pustaka sangat diperlukan untuk memberikan pemantapan dan penegasan terkait dengan penulisan dan kekhasan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini belum pernah dibahas sebelumnya, akan tetapi penelitian terkait dengan ilmu tikra>r-nya ialah karya

Misbahul Munir dengan judul skripsinya “Tikra>r al-A>yah fi> Su>rah al-Rahman>:”

karya ini ditulis dalam bahasa arab oleh Mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sastra

Arab dan “Tikra>r al-A>yah fi> Su>rah al-Rahma>n : Nurul Hidayah” Karya ini ditulis oleh mahasiswa Fakultas Adab 2013.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.11 Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library


(20)

11

research (penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur berbahasa indonesia ataupun yang lain yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

2. Sumber data

Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, pilihan akan akurasi literatur sangat mendukung untuk memperoleh validitas dan kualitas data. Karenanya, sumber data yang menjadi objek penelitian ini adalah: a. Sumber data primer

Adapun data primer dalam penelitian ini, yaitu Tafsir almaraghi karya Ahmad Musthafa Al Maraghi dan shofatut tafasir karya Muhammad Ali Al Shabuni.

b. Sumber data sekunder

Sedangkan data sekunder meliputi literatur-literatur seperti artikel dan buku-buku karya yang menunjang penelitian ini, seperti:

1) Al-Tikra>r al-Us}lubi> fi> al-lughah al-„Arabiyyah karya Sayyid Khadar.

2) Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an karya Abd. Rahman Dahlan.

3) Asrar al-Tikra>r fi> al-Qur‟a>n karya Mahmud al-Sayyid Syaikhun.


(21)

12

5) Zubdah Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n karya Muhammad al Maliki

bin Alawi.

6) Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam‟an wa Dira>sah. Karya Khali>d bin Uthma>n.

7) Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wayu dalam Kehidupan Masyarakat. Karau Quraisy Shihab.

H. Metode Analisis Data

Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan muncul di sekitar penelitian ini.

a. Deskriptif

Deskriptif yaitu menggambarkanatau melukiskan keadaan obyek penelitian(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.12

Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya


(22)

13

mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif akualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.13

I. Sistematika Pembahasan

Supaya skripsi ini terlihat sistematis dan mnarik untuk dibaca , maka perlu disusun kerangka dalam menyusun skripsi ini diantaranya yaitu seperti berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pertanggung jawaban metodologis penelitian, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, , telaah pustaka, metodologi penelitian, metodologi analisis data dan sistematika pembahasan.

Bab dua ialah berisi landasan teori yang akan digunakan sebagai batu pijakan dalam penelitian ini, antara lain berisikan tentang segala macam yang dibutuhkan dalam menganalisis bab selanjutnya yaitu: teori kaidah tikra>r, macam-macam tikra>r, rahasia tikra>r dalam Al-Qur’an, perkembangan ilmu tikra>r dalam Al-Qur’an serta urgensi mempelajari tikra>r.

Bab tiga, merupakan pokok terpenting dalam skripsi ini yaitu data dan analisis. Yaitu penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni dalam menafsirkan ayat dan disusul dengan analisis.


(23)

14

Dan yang terakhir merupakan akhir dari skripsi ini yaitu bab empat yang berisikan tentang kesimpulan dan saran yang akan menjadi pemungkas skripsi ini sekaligus permasalahan yang masih belom dibahas akan disampaikan pada saran di bab ini.


(24)

BAB II

TEORI

TIKRA

>

R

DAN URGENSINYA

A. Tikra>r (Pengulangan) 1. Definisi Tikra>r

Kata al-tikra>r ( ا كتلا ) adalah masdar dari kata kerja " ك" yang merupakan rangkaian kata dari huruf - - . Secara etimologi berarti m e n g u l a n g a t a u m e n g e m b a l i k a n s e s u a t u b e r u l a n g k a l i .1

Adapun menurut istilah al-tikra>r berarti "ى ع لا ي تل هف ا م وا ظفللا عا" mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk menetapkan (taqrir) makna. Ada pula yang memaknai kata al-tikra>r dengan "ا ع اصف ام م ايلا اك " menyebutkan sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah makna secara berulang-ulang itu adalah definisi al tikra>r.2

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-tikra>r fi> Al-Qur‟a>n adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam Al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.

2. Pembagian Tikra>r

a. Tikra>r al-lafz}i, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan ayatnya.

1Abu> al-Husain Ahmad , Maqayis al-Lughah, Juz. V (Beirut: Ittih , 2002 ), 126.

2 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‟id al-Tafsi>r, Jam‟an wa Dirasah, (Saudi Arabia: Da>r bin


(25)

16

1) Contoh pengulangan huruf

Pengulangan huruf pada akhir beberapa Q.S. Al-Nazi„at (79): 6-14:                                                      3

“6. (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam, 7. tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. 8. hati manusia pada waktu itu sangat takut, 9. pandangannya tunduk. 10. (orang-orang kafir) berkata: "Apakah Sesungguhnya Kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan semula? 11. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila Kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?" 12. mereka berkata: "Kalau demikian, itu adalah suatu

pengembalian yang merugikan". 13. Sesungguhnya

pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja, 14. Maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi”. Pengulangan huruf akhir seperti contoh ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi susunan kata dan kalimatnya. Hal ini disebabkan karena pengulangan huruf -huruf tersebut, melahirkan keserasian bunyi dan irama dalam ayat-ayatnya yang memiliki dampak pada psikologis bagi pendengarnya.4

2) Contoh pengulangan kata, dapat dilihat pada Q.S. Al-Fajr (89): 21-22:

3 Al-Qur’an, 79:6-14.


(26)

17                 5 “21. jangan (berbuat demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut, 22. dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris”.

3) Contoh pengulangan ayat terdapat pada Q.S. Al-Rahma>n (55): 13:

        6

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu

dustakan?”

Ayat tersebut berulang kurang lebih 30 kali dalam surah tersebut.

b. Tikra>r al-ma’nawi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an yang pengulangannya lebih di titik beratkan kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut.7

contoh Q.S. Al-Baqarah (2): 238:

           “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.

Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”.

Al-s}ala>t al-wust}a> yang disebut dalam ayat diatas adalah pengulangan makna dari kata al-s}alawa>t sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai penekanan

atas perintah memeliharanya. Selain seperti contoh diatas,

5Al-Qur’an, 89:21-22.

6Al-Qur’an, 55:13.

7 Hasan Bisri, “Makalah balagah asrar al tikra>rfi al quran”,

http://mrhasanbisri.blogsot.com/2009/11/makalah-balagah-asrar-al-tikra>r-fi-al.html (Minggu,12 Juni 2016, 20.15).


(27)

18

bentuk tikra>r seperti ini biasanya dapat dilihat ketika Al-Qur’an bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu, menggambarkan azab dan nikmat, janji dan ancaman dan lain sebagainya.8

3. Kaidah-Kaidah al-Tikra>r Fi al-Qur’a>n

Ada beberapa kaidah yang berkaitan al-tikra>r fi> al-Qur‟a>n dengan , sebagai berikut:

a. Kaidah Pertama:

ِقِلَعَ تْما ِدُدَعَ تِل راَرْكِتلا ُدِرَي ْدَق

. 9

“Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya (maksud yang ingin disampaikan)”.

Adanya pengulangan beberapa ayat Al-Qur’an disurah dan tempat yang berbeda menyisakan pertanyaan dibenak para ilmuan sekaligus bahan perdebatan dikalangan mereka. Hal ini bertolak belakang dari realitas metode Al-Qur’an sendiri yang dalam penjelasannya terkesan singkat padat dalam mendeskripsikan sesuatu. Karena itu, Al-Qur’an oleh sementara orang dinilai kacau dalam sistematikanya.10

Namun pertanyaan ini telah dijawab oleh para ilmuan Islam, bahwa bentuk pengulangan dalam Al-Qur’an adalah bukan hal yang sia-sia dan tidak memiliki arti. Bahkan menurut mereka setiap lafal yang berulang tadi memiliki kaitan erat dengan lafal sebelumnya. Sebagai contoh ayat-ayat dalam Q.S. Al-Rahma>n (55): 22-27:

8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jil. I ( Jakarta: Lentera Hati, 2009), 626-627.

9Khali>d ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar fi Qawa> >„id al-tafsi>r, (Saudi Arabia: Da>r ibn Affa>n: 1996), 22.


(28)

19                                                     

“22. dari keduanya keluar mutiara dan marjan. 23. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 24. dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. 25. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 26. semua yang ada di bumi itu akan binasa. 27. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. 11

Dalam surah di atas terdapat ayat yang berulang lebih dari 30 kali yang kesemuanya menuntut adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur manusia atas berbagai nikmat Allah. Jika dilihat, tiap pengulangan ayat ini didahului dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah berikan kepada hambanya . jenis nikmat inipun berbeda-beda, maka setiap pengulangan ayat yang dimaksud, berkaitan erat dengan satu jenis nikmat. Dan ketika ayat tersebut berulang kembali, maka kembalinya kepada nikmat lain yang disebut sebelumnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah, bahwa terkadang pengulangan lafal karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya.12

Contoh lain bisa dilihat dalam Q.S. Al-Mursalat (77): 19, 24:

      13

11Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta; CV. Kathoda, 2005), 774. 12 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r, 702.


(29)

20

“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang

mendustakan”.

Dalam Surah di atas lafal اك لل اذممي ايو berulang sampai sepuluh kali. Hal itu dikarenakan Allah swt. menyebutkan kisah yang berbeda pula. Setiap kisah diikuti oleh lafal tersebut yang menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang berkaitan dengan kisah sebelumnya.14

b. Kaidah Kedua:

نيروجتم نبراركت ها باتك عقي م

.

15

„Tidak terjadi pengulangan antara dua hal yang berdekatan dalam kitabullah”.

Maksud dari kata “mutajawirayn” dalam kaidah ini adalah pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa fashil diantara keduanya. Sebagai contoh lafal “basmalah” dengan

QS. Al-Fatih}ah (1): 3:



 

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

Ibn Jarir mengatakan bahwa kaidah ini justru nerupakan hujjah terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa basmallah merupakan bagian dari surah Al-Fatih}ah, karena jika demikian, maka dalam

Al-Qur’an terjadi pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama

14 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r , 702. 15Ibid., 701.


(30)

21

tanpa adanya pemisah yang maknanya dengan makna kedua ayat yang berulang tersebut.16

Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa ayat 2 dari surah Al-Fatih}ah adalah fas}l (pemisah) diantara kedua ayat tersebut, maka hal ini dibantah

oleh para ahli ta’wil dengan alasan bahwa ayat “arrah}ma>nirrah}i>m

adalah ayat yang diakhirkan lafalnya tapi ditaqdimkan maknanya. Makna secara utuhnya adalah :

ها دم ا

لا بر ميحرلا نمرلا

.نيدلا موي كلم نم اع

17

c. Kaidah Ketiga :

ْلَْْا َْنَ ب ُفِلاََُُا

ْ

ما ِف ََِتْخِِِ ااِإ ِظاَف

ِناَع

18

“Tidak ada perbedaan lafal kecuali adanya perbedaan makna”.

Contoh sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Ka>firu>n (109): 1-6:                                                       

‚1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak

16 Ibid., 703.

17 Ibid., 704. 18 Ibid.


(31)

22

pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6.

untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." 19

Lafal ا و ْعا ام ْعاأ اَ sekilas tidak berdeda dengan ْم ا اع م ٌ اع ا اأ اَاو,

akan tetapi pada hakikatnya memiliki perbedaan makna

yangamendalam.dLafald ا و ْعا ام ْعاأ اَdyangdmenggunakandbetuk mud}

a>ri‘ mengandung arti bahwa Nabi Muhammad saw. tidak menyembah

berhala pada waktu tersebut dan akan datang. Adapun lafal ٌ اع ا اأ اَاو

ْم ا اع م dengan s}igah ma>d}i mengandung penegasan fi’il pada waktu lampau. Seperti telah diketahui, bahwa sebelum kedatangan Islam, kaum musyrikin menganut paham politheisme atau menyembah banyak tuhan. Oleh karena itu, lafal ini menegaskan Nabi Muhammad Saw tidak menyembah berhala termasuk berhala yang telah lebih

dulu mereka sembah.20

Itulah yang dimaksud oleh kaidah ini, tidak ada perbedaan lafal kecuali terdapat perbedaan makna didalamnya. Kedua lafal ini mempertegas unsur kemustahilan dulu, selalu dan selamanya

Muhammad tidak akan menyembah tuhan kaum Quraiys

(berhala). Penyebutan salah satu lafal saja tidak bisa mencakup semua makna tersebut.Disisi lain, ungkapan dengan bentuk ا ه ع ف مه م lebih tinggi maknanya jika dibandingkan dengan ungkapan هلعفي م, Karena

ungkapan yang pertama betul-betul menegasikan adanya

19 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002), 604.


(32)

23

kemungkinan terjadinya fi’il atau perbuatan, berbeda dengan ungkapan yang kedua.21

d. Kaidah Keempat:

ُءياشلا َرارَكَت ُبَرَعلا

ُهَل ًاداَعْ بِتْسِإ ِماَهْفِتْس ِِا

22

“Kaum Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil terjadinya hal tersebut”. Sudah menjadi kebiasaan dikalangan bangsa arab dalam menyampaikan suatu hal yang mustahil atau kemungkinan kecil akan terjadi pada diri seseorang. Maka bangsa arab mempergunakan bentuk ( افتاسإ) pertanyaan tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung. Maka dipergunakanlah pengulangan guna menolak dan menjauhkan terjadinya hal itu. Contohnya jika si-A kecil kemungkinan atau mustahil untuk pergi berperang, maka dikatakan kepadanya( اه ج ت أ

اه ج تا أأ). Pengulangan kalimat dalam bentuk istifham pada contoh tersebut untuk menunjukkan mustahil terjadinya fi‘il dari fa>‘il, Hal ini seperti apa yang telah dicontohkan dalam firman Allah:

َنوُجَرُُْ ْمُكانَأ اًماَظِعَو اًباَرُ ت ْمُتْنُكَو ْمُتِم اَذِإ ْمُكانَأ ْمُكُدِعَيَأ

“Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu Sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?”23

Kalimat "مااااك ا مك ااااعيا" kemudian diikuti oleh kalimat ` مااااك ا"

" ماج م mengandung arti mustahilnya kebangkitan setelah kematian.

21 Ibid.,707 22 Ibid.


(33)

24

Ayat ini merupakan jawaban dari pengingkaran orang-orang kafir terhadap adanya hari akhir.24

e. Kaidah Kelima.

ءاَنِتْع ِِا يَلَع ُلُدَي ُراَرْكِتلا

25

“Pengulangan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.

Sudah menjadi hal yang maklum, bahwa sesuatu yang penting sering disebut-sebut bahkan ditegaskan berulangkali. Ini berarti setiap hal yang mengalami pengulangan berarti memiliki nilai tambah hingga membuatnya diperhatikan dan terus disebut-sebut. Sifat-sifat Allah SWT yang kerap berulang kali dalam Al-Qur’an pada setiap surah menegaskan pentingnya untuk mengetahui dan kewajiban mengimaninya. Begitu juga dengan berbagai kisah umat terdahulu sebagai contoh yang sarat pesan dan hikmah.26 Sebagai contoh dari aplikasi kaedah ini Q.S. Al-Naba>‟ (78): 1-5:

                               

“1. tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya? 2. tentang

berita yang besar, 3. yang mereka perselisihkan tentang ini. 4. sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, 5. kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui”.27

Surah diatas bercerita tentang hari kiamat yang waktu terjadinya diperdebatkan banyak orang. Dalam surah tersebut lafal ااااك

24 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‟id al-Tafsi>r, Jam‟an, 709. 25 Ibid., 710.

26 Ibid.


(34)

25

م لع اس diulang dua kali menunjukkan bahwa hal yang diperdebatkan tersebut benar-benar tidak akan pernah bisa diketahui tepatnya.

f. Kaedah Keenam:

ِةَفِرْعَمْلا ِف ََِِِ ,ُدُدَعا تلا يَلَع ْتالَد ْتَرارَكَت اَذِإ ُةَرِكانلا

28

“Jika hal yang berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan maka ia menunjukkan berbilang, berbeda dengan hal yang bentuknya ma„rifah(khusus/diketahui)”.

Dalam kaedah bahasa arab apabila isim (kata benda) disebut dua kali atau berulang , maka dalam hal ini ada empat kemungkinan,

yaitu: (1) keduanya adalah isim nakirah, (2) keduanya isim

al-ma’rifah, (3) pertama isim al-nakirah dan kedua isim al-ma‘rifah,

serta (4) pertama isim al-ma‘rifah dan kedua isim al-nakirah.29

Pertama, (kedua-duanya isim al-nakirah) maka isim kedua bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya menunjukkan

pada hal yang berbeda.30 Sebagaimana contoh ayat berikut:

ٍةاوُ ق ِدْعَ ب ْنِم َلَع َ اُُ ًةاوُ ق ٍفْعَض ِدْعَ ب ْنِم َلَعَج اُُ ٍفْعَض ْنِم ْمُكَقَلَخ يِذالا ُهاللا

اًفْعَض

ُريِدَقْلا ُميِلَعْلا َوَُو ُءاَشَي اَم ُقُلَُْ ًةَبْيَشَو

‛Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha

Kuasa‛.31

28 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam‟an, 711.

29 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub, 2011), 65.

30 Ibid., 65.


(35)

26

Maksud daripada kelemahan yang pertama adalah air mani, yang

kedua adalah masa kanak-kanak, dan yang ketiga adalah masa tua.32

Kedua, jika keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka umumnya

yang kedua adalah yang pertama, sebab merujuk pada alif dan lam

atau id}afah yang menunjukkan pada makna yang diketahui. Seperti

firman Allah dalam surah Al-Fatih}ah (1): 6-7:

 

 

 









   

‚6. Tunjukilah Kami jalan yang lurus, 7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang

sesat.33

Lafal s}ira>t yang terdapat pada ayat di atas terulang dua kali, pertama dalam bentuk ism al-ma’rifah yang ditandai dengan memberi

kata sandang alif lam طا صلا dan kedua dalam bentuk ma’rifah juga,

yang ditandai dengan susunan id}a>fah ي لا طا ص

.

maka isim yang

disebut kedua sama dengan yang pertama.34

Ketiga, (isim al-nakirah pertama dan al-ma’rifah kedua) dalam

hal ini keduanya memiliki arti yang sama.35 Sebagai contoh firman

Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 15-16:

32 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 65. 33 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 01. 34 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 65.


(36)

27                         

“15. Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun. 16. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat”. 36

Quraish Shihab menjelaskan dalam ayat ini Allah

memberitahukan kepada kaum Quraish bahwa ia telah mengutus Muhammad untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Allah

mengutus kepada Fir’aun seorang rasul yaitu nabi Musa as. Kemudian

mereka ingkar dan mendurhakai nabi Musa as. dan menjadikan patung sapi menjadi sembahannya. Berdasarkan kaedah yang ketiga ini, maka yang dimaksud dengan rasul pada penyebutan kedua adalah sama dengan yang pertama, yaitu nabi musa. Jadi makna nabi pada ayat 15

yang diutus kepada Fir’aun adalah juga nabi yang diingkarinya pada

ayat setelahnya.37

Keempat, (pertama isim ma‟rifah dan kedua isim al-nakirah) maka kaidah yang berlaku tergantung kepada indikatornya (qarinah). Oleh karena itu ia terbagi ke dalam dua:

Adakalanya indikator menunjukkan bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam surah al-Ru>m (30): 55:

36 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 575.

37 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur`an, Vol XIV, (Tangerang: Lentera Hati, 2007), 529.


(37)

28                   

“55. dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". seperti Demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)”. 38

Lafal ( ع سلا) pada ayat diatas terulang sebanyak dua kali, yang pertama menunjukkan isim ma„rifahsedang kedua menunjukkan isim al-nakirah.39

Dalam kasus ini lafal yang disebutkan kedua pada hakikatnya bukanlah yang pertama. Pengertian ini dapat diketahui dari siya>q

al-kala>m dimana yang pertama berarti سحلا مي (hari kiamat) sedangkan yang kedua lebih terkait dengan waktu.40

Di sisi lain ada indikator yang menyatakan bahwa keduanya adalah sama, contohnya firman Allah dalam Q.S. Al-Zumar (39): 27-28:                            

“27. Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini Setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. 28. (ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa”. 41

38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 411. 39 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 65. 40 Ibid.


(38)

29

Lafalh ( آ لا) pada ayat di atas juga terulang sebanyak dua kali, yaitu pertama dalam bentuk isim ma‘rifah dan yang kedua dalam bentuk isim al-nakirah.42

Dalam kasus ini yang dimaksud dengan Al-Qur’an yang disebut kedua, hakikatnya sama dengan “Al-Qur’an” yang disebutkan pertama.

g. Kaedah Ketujuh:

ِا َذ

ِا ا

َاّ

َد

َا ْل

اش

ْر َط

َو

َْ ا َ

ز َءا

َل ْف

ًاظ

َد

ال

َع َل

َا ى

ْل َف

َخ

َما ِة

.

43

“Apabila ketetapan dan jawaban bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan keagungan (besarnya) hal tersebut”. Dalam kaidah ini apabila terjadi pengulangan dengan lafaz yang sama, maka penyebutan yang pertama sebagai satu ketetapan sedang penyebutan yang kedua sebagai jawaban (keterangan) dari ketetapan tersebut, maka itu menunjukkan besarnya hal yang dimaksud. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut seperti dalam Q.S. Al-H{a>qqah (69): 1-2:        44 “1. hari kiamat, 2. Apakah hari kiamat itu?”

atau surah. Al-Wa>qi‟ah (56): 27:

         

42 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 66. 43 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam‟an, 715. 44 Al-Qur’an, 69: 1-2.


(39)

30

“Dan golongan kanan, Alangkah bahagianya golongan kanan itu”. 45

Dalam dua contoh diatas, lafal yang menjadi ketetapan (mubtada‟) dan keterangan (khabar) adalah lafal yang sama. Kata ق حلا diulang dan bukan menggunakan lafal ه م , pengulangan lafal mubtada‟ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini, menurut Ibn al-Dausy bermaksud sebagai pengagungan dan menggambarkan besarnya hal tersebut.

4. Fungsi Tikra>r

Fungsi dari adanya tikra>r dalam Al-Qur’an, al-Shuyuthi memberikan penjelasan dalam kitabnya Al-Itqa>n fi> „Ulu>m Al-Qur‟a>n. Diantara ialah sebagai berikut :

a. Sebagai taqri>r (penetapan)

Dikatakan ucapan jika terulang berfungsi menetapkan. Diketahui bahwa Allah SWT telah memperingatkan manusia dengan mengulang-ulang kisah nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji dan ancaman. Maka pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.Ini sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikra>r bahwa setiap perkataan yang terulang merupakan tikra>r (ketetapan) atas hal tersebut. sebagai contoh Allah berfirman Q.S. Al-An„a>m (6) : 19:


(40)

31                                                             

“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”. 46

Pengulangan jawaban dalam ayat tersebut merupakan penetapan kebenaran tidak adanya Tuhan (sekutu) selain Allah.47

b. Sebagai Ta‟ki>d (penegasan) dan menuntut perhatian lebih

Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan atau penekanan, bahkan menurut imam al-Suyuthi penekanan dengan menggunakan pola tikra>r setingkat lebih kuat dibanding dengan bentuk ta‟ki>d. Hal ini karena tikra>r terkadang mengulang lafal yang sama, sehingga makna yang dimaksud lebih mengena.

Selain itu, Agar pembicaraan seseorang dapat diperhatikan secara maksimal maka dipakailah pengulangan tikra>r agar si obyek yang ditemani berbicara memberikan perhatian lebih atas pembicaraan tadi. Contohnya, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Mu‟min (40 ): 38-39:

46 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 131.

47 Jala>l ad-Di>n ‘Abd ar-Rahman al-Shuyuthy, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Vol. III (Kairo: Da>r al-Hadits, 2004), 170.


(41)

32                                 

“38. orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah Aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. 39. Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal”. 48

Pengulangan kata “ya> qawmi” pada kedua ayat diatas yang

maknanya saling berkaitan, berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.

Pembaruan terhadap penyampaian yang telah lalu. Jika ditakutkan poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau dilupakan akibat terlalu panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu maka, diulangilah untuk kedua kalinya guna menyegarkan kembali ingatan para pendengar.

c. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 89:

                                   

“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang

membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada


(42)

33

mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. 49

Pengulangan kataمهم ج لف pada ayat diatas untuk mengingatkan atau mengembalikan bahasan pada inti pembicaraan yang sebelumnya terpisah oleh penjelasan lain.

d. Sebagai ta„z}i>m (menggambarkan agung dan besarnya satu perkara) Mengenai hal ini, telah dipaparkan dalam kaidah bahwa salah satu fungsi dari tikra>r atau pengulangan adalah untuk menggambarkan besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat dalam QS. Al-Qa>ri‘ah (101) : 1-3:

 



 

  



 50

“1. hari kiamat, 2. Apakah hari kiamat itu? 3. tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?”

49 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 15. 50Al-Qur’an, 101:1-3.


(43)

34

BAB III

PENAFSIRAN PENGULANGAN KATA “DZA>LIK” DALAM SURAH AL-SHU’ARA’ AYAT 8, 67, 103, 121, 139

A. Analisis Penafsiran Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni Terhadap pengulangan kalimat “Inna Fi> Dza>lika La A>yah Wa Ma> Ka> na Aktsaruhum Mu’mini>n” pada ayat 8, 67, 103, 121, 139 Dalam Surah Al-Shu’ara’

Surah al-Shu’ara’ adala surah Makkiyah, diturunkan setelah surah Al

-Waqi’ah, kecuali ayat 197 dan dari ayat 224 sampai akhir, surat adalah

Madaniyyah, seluruhnya berjumlah 227 ayat. pendahuluan tentang penawar kesedihan hati Rasulullah saw, atas berpalingnya kaumnya dari agama, dan penjelasan kaumnya bukan umat pertama yang melakukan hal demikian.

Hubungan dengan surat sebelumnya terlihat pada beberapa segi:

a. Dalam surah ini terdapat penjabaran dan uraian tentang beberapa topik yang terdapat dalam surah terdahulu.

b. Kedua surah ini dimulai dengan memuji Al-Kitab (Al-Qur’an). c. Keduanya ditutup dengan mengancam para pendusta.


(44)

35

1. Penafsiran Pada Ayat ke-8

   

    

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu

tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman.”1

Sesungguhnya, pada penumbuhan dengan cara yang indah ini benar-benar terdapat bukti bagi orang-orang berakal atas kekuasaan Penciptanya, untuk membangkitkan dan mengumpulkan makhluk pada hari akhir. Sebab, Tuhan yang kuasa menumbuhkan tanah yang mati dan menumbuhkan padanya kebun-kebun yang rindang dan pepohonan yang semerbak tidak lemah untuk membangkitkan makhluk dari kuburnya dan mengembalikan mereka, kepada keadaannya, semula. Akan tetapi, kebanyakan manusia lengah terhadap hal ini, sehingga mereka mengingkarinya, mendustakan Allah, para Rasul dan Kitab-kitab-Nya, mengingkari segala perintah-Nya dan berani mendurhakai-Nya. Kata-kata mutiara mengatakan :2

رظناودرولا ضاير لمأت

۞

كيلما عنصامراثآ ىإ

ع

تاصخاش ن نم نوي

۞

كيبس ب ذاهاد أ ىلع

لع

ٰ

تاد اشدجربزلا بضق ى

۞

كيرش هل سيل ها ناب

“Perhatikantah taman-taman mawar; lihatlah bekas-bekas ciptaan

Penguasa. Mata-mata perak terbelalak; pada kelopaknya berkilau

1

Al-Qur’an, 26:227.

2


(45)

36

leburan emas. Pada kepingan-kepingan zabarjad terdapat bukti, Allah

tidak punya sekutu”.

Pada hal, ini dan lain-lain yang serupa dengannya benar-benar terdapat tanda yang besar dan pelajaran yang agung, yang membuktikan apa yang wajib diimani. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak beriman, padahal telah banyak bukti-bukti yang menuntut mereka untuk berjalan, namun terus-menerus kafir dan melakukan kesesatan, serta tenggelam dalam kezhaliman dan kejahilan.3

   

    

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah,” pada penumbuhan tersebut terdapat tanda yang jelas

atas keesaan dan kekuasaan Allah. “Dan kebanyakan mereka tidak beriman,”

mayoritas dari mereka tidak beriman menurut ilmu Allah. Karena itu, meskipun dalilnya jelas, mereka tetap kafir4

Sebelumnya, ayat terdahulu adalah ayat yang menceritakan kegelisahan Nabi Muhammad SAW lantaran beliau merasa didustakan oleh kaumnya sendiri. Mereka tidak beriman meskipun sudah telah datang mukjizat berkali-kali, mereka selalu berpaling daripadanya.

3

Ibid.,82.

4


(46)

37

Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam mengartikan kata “Dza>lik‛ beliau

memperinci mengenai maksud dari kata “Dza>lik‛ tersebut, yaitu sebagai

berikut:

 Bukti bagi mereka yang berakal.

Yakni : setiap manusia tentunya dianugerahi oleh Allah akal yang mana, dengan akal tersebut manusia dapat membedakan mana yang baik dan buruk dan juga dapat mengidentifikasi mana yang salah dan yang benar. Setiap apa yang telah Allah ciptakan, adalah merupakan salah satu dari sekian banyak kekuasaan-Nya. Dengan menyebut-nyebut apa yang

diciptakan-Nya seperti menumbuhkan tanah yang mati dan menumbuhkan

padanya kebun-kebun yang rindang dan pepohonan yang semerbak

 Bahwa kaum musyrikin berpaling dari berfikir.

Yakni: pengingkaran mereka terhadap ajakan para Rasul untuk mengimani ajaran Allah. Mereka mengetahui mukjizat-mukjizat para rasul, akan tetapi mereka menolak untuk beriman. Seandainya mereka mau berpikir bagaimana datangnya mukjizat-mukjizat para rasul niscaya mereka adalah golongan yang beriman, akan tetapi mereka malah mendustakan dan


(47)

38

memperolok-olok berita yang disampaikanpara utusan Allah SWT.

Sementara Muhammad Ali Al Shabuni menjelaskan makna kata ‚Dza>lik‛ adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Beliau memberikan penjelasan lebih singkat dari pada penjelasan menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi.

2. Penafsiran Pada Ayat ke-67

   

Sesungguhnya pada peristiwa yang terjadi tentang laut benar-benar terdapat suatu ibarat atau pelajaran yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT dan kenabian serta kebenaran Musa AS. Karena yang demikian itu adalah mukjizat untuk bagi beliau. Dan juga merupakan suatu peringatan bagi setiap orang agar tidak berani menentang pada perintah Allah dan Rasul-Nya5

. Kemudian dijelaskan bahwa mereka tidak menemukan tanda-tanda dan peringatan apapun. Semua mukjizat itu sama sekali tidak berguna bagi mereka.6

    

5

Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir, 117

6


(48)

39

Sesungguhnya kebanyakan mereka tidak beriman, sekalipun mereka telah melihat berbagai bukti yang besar dan mukjizat yang nyata.7

Disini terdapat penawar hati bagi Rasulullah saw. Yang berduka cita karena menerima kedukaan, perdustaan dari kaumnya. Maka, Allah mengingatkanya akan peristiwa ini, bahwa beliau mempunyai teladan pada Musa as. Berbagai mukjizat yang tampak padanya, yang membingungkan akal itu tidak dapat menghalangi kebanyakan orang Qibthi untuk mendustakanya dan kafir kepadanya, sekalipun telah menyiksakan mukjizat itu dilaut dan tempat-tempat lainya. Demikian pula tidak dapat mengalangi Bani Israil untuk mendustakanya, yang setelah mendapat keselamatan lalu menyembah anak sapi lalu berkata, “Kami sekali-kali tidak akan beriman

kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan nyata”8

Sesungguhnya kami benar-benar pasti terkejar lalu binasa ditangan mereka, sehingga tidak akan ada seorangpun diantara kami yang tersisa, karena kita telah mencapai tepi laut, sedangkan Fir’aun dan tentaranya dapat menyusul kita.

   

7

Ibid.,117 8


(49)

40

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu

tanda kekuasaan Allah. “

Yakni, bahwa dalam tenggelamnya firaun dan kaumnya merupakan suatu peristiwa yang agung atas penyelamatan Allah terhadap wali-walinya, dan perusakannya terhadap musuhnya. 9

    

“dan kebanyakan mereka tidak beriman.”10

Yakni, dengan melihat tanda yang besar ini, masih saja kebanyakan manusia tidak mempercayai. Di dalam ayat ini juga mengandung suatu hiburan Allah kepada Nabi SAW dan ancaman untuk orang yang memaksiatinya.

Sebelum melihat makna kata “Dza>lik” pada ayat ini, ayat sebelumnya adalah ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa as yang diutus Allah pergi ke bukit Thur untuk pergi kepada kaum yang menganiaya dirinya sendiri dengan melakukan kekufuran dan kemaksiatan, serta menganiaya Bani Israil

dengan memperbudak dan membunuh anak-anak mereka, yaitu kaum Fir’aun

yang sombong, sewenang-wenang, melampaui batas dan pembohong besar.

99

Muhammad Ali Ash-Sabuni, Shafwatut Tafasir, 607

10


(50)

41

Nabi musa berdakwah pada kaum ini namun beliau takut sebelum tersampaikanya risalah beliau akan dibunuh, sehingga beliau meminta dua pertolongan kepada Allah yaitu:

1. Menolak kejahatan atas dirinya

2. Mengutus Nabi Harun bersamanya

Kemudian mereka berdua berangkat menuju Fir’aun, tetapi baru

setahun kemudian mereka diberi izin untuk menghada kepadanya

pertama-tamaFir’aun menyebut-nyebut kebaikanya kepada Nabi Musa as, yaitu memelihara dan membesarkanya hingga dewasa, kemudian mencelanya karena telah membunuh tukang roti yang termasuk orang-orang

terdekat Fir’aun. Dengan demikian Nabi Musa as telah mengingkari nikmat

dan kebaikan yang diberikan oleh Fir’aun.

Nabi Musa as tidak menjawab perkara pemeliharaan Fir’aun terhadapnya, karena hal itu sudah maklum dan tidak mempunyai andil sedikitpun dalam mengarahkan risalah. Nabi Musa as hanya menjawab : embunuhan yang kamu celakan kepadaku itu bukan maksudku, karena sesungguhnya aku meninjunya dengan maksud mendidiknya semata. Karena itu, tidak ada alasan bagiku untuk menerima penakut-nakutan yang membuatku lari. Jika kalian berbuat jahat kepadaku maka sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku. Kebaikan itu tidak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan apa yang telah kamu perbuat terhadap Bangsa itu secara keseluruhan.


(51)

42

Selanjutnya Nabi Musa memperkenalkan Tuhanya dihadapan Fir’aun,

ketika itu Fir’aun merasa kagum dengan perkataan Nabi Musa, lalu berpaling

terhadap pembesar yang ada disekililingnya , mendorong mereka agar heran terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Musa, namun setelah tidak mampu

membantah apa yang dikemukakan oleh Nabi Musa , maka Fir’aum berusaha

membuat kaumnya ragu terhadap kemampuan Musa dan menuduh Nabi Musa adalah orang gila dan seterusnya sampai pada akhirnya karena keras

kepalanya Fir’aun dan para pengikutnya sehingga dilimpahkan balasan atas

perbuaanya tersebut yaitu ditenggelamkanya di Laut yang terbelah karena Mukjizat Nabi Musa yaitu dengan memukulkan tongkatnya ke permukaan laut, dengan seketika laut terbelah menjadi jalan keselamatan bagi Nabi Musa dan para pengikutnya.11

Kata “Dza>lik” pada ayat ke 67 ini menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi merujuk pada peristiwa yang terjadi pada Nabi Musa as, yakni

tenggelamnya Fir’aun beserta tentaranya ketika mengejar nabi musa di laut

merah, akan tetapi Ahmad Musthafa Al Maraghi mengatakan beberapa kata penting dalam menafsirkan makna kata “Dza>lik”yaitu:

 Peristiwa tentang laut

Salah satu kejadian yang aneh yaitu terbelahnya lautan hanya dengan dipukulkanya tongkat Nabi Musa ke permukaan laut

11


(52)

43

dan merupakan mukjizat nabi musa adalah ketika beliau dikejar oleh pasukan tentara Fir’aun

 Hiburan bagi Nabi Muhammad SAW

Yang dimaksud hiburan adalah Rasulullah SAW yang berduka karena menerima pendustaan kaumnya, disajikan kisah tauladan Nabi terdahulu

Sedangkan Muhammad Ali Al Shabuni dalam mengartikan kata

Dza>lik” lebih menekankan kepada:

 tenggelamnya Fir’aun dilautan bukan pada terbelahnya laut

 bukan hanya hiburan bagi Nabi Muhammad SAW tetai juga ancaman bagi kaum kafir

Kata “Dza>lik” pada ayat 67 dalam surah Al-Shu’ara’,kedua

Ulama’ (Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali

AlShabuni) terlihat sedikit perbedaan dalam mengartikan maksud kata tersebut namun keduanya memiliki persamaan yaitu menegaskan bahwa hal tersebut adalah salah satu kekuasaan Allah sekaligus pelajaran bagi umat selanjutnya.


(53)

44

3. Penafsiran Pada Ayat ke-103

   

    

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu

tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman.”12

Sesunnguhnya pada perdebatan antara Ibrahim as dengan kaumnya, dan pada penegakkan Hujjah Tauhid itu benar-benar terdapat suatu tanda atau bukti yang jelas dan terang bahwa Allah SWT tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada yang patut disembah selain Dia. Meskipun demikian, tetap saja mereka (kaum kafir) kebanyakan tidak mempercayai.13

Dalam hal ini juga ada suatu hiburan untuk Nabi Muhammad SAW atas pendustaan yang beliau terima dari kaumnya, sekalipun telah nampak kejelasan tanda-tanda dan agungnya mukjizat.14

   

Yaitu, sesungguhnya apa yang telah disebutkan mengenai berita Ibrahim dan kaumnya itu merupakan suatu ibarat atau cerminan, yang hanya orang-orang yang memiliki penglihatan saja yang dapat mengibaratkan. 15

12

Al-Qur’an, 26:227. 13

Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir, 136

14

Ibid., 136 15


(54)

45

    

Yaitu, kebanyakan orang musyrik itu tidak percaya atas ajakan untuk memeluk agama Islam. ( كهع زك زيهع اكوه كّبر ّنإ و) yakni, yang tetap berdiri dari musuh-musuhnya dan yang lemah lembut kepada wali-walinya.

Balaghah: ayat-ayat itu mengandung beberapa bab dalam balaghah dan badi`, yang kita ringkas di bawah ini:

1. Majaz dengan hadzf (membuang kata) yakni dalam ayat (قلفن ككف) maksudnya adalah (قلفن ككف كك رهع ا ككضف) musa memukul laut dan lautnya terbelah

2. Tasybih mursal mujmal. Yakni dalam ayat ( ككميهع ااده ككك) yakni, seperti gunung dalam kokoh dan tegaknya. Di dalamnya disebutkan adat tasybih tetapi tidak menyebutkan wajah syibhnya.16

Kata “Dza>lik” pada ayat 103 sebelumnya turun ayat tentang kisah Nabi Ibrahim. Sejak kecil beliau telah di beri jalan yang lurus dan ketika menginjak masa remaja beliau mengingkari kaumnya atas penyembahan

terhadap berhala, beliau bertanya kepada Bapak dan kaumnya, “Aa yang

kalian sembah?” sebenarnya beliau mengetahui dan menyaksikan apa yang

mereka sembah, namun beliau ingin memberitahukan kepada mereka bahwa apa yang mereka sembah itu tidak berhak untuk disembah, baik menurut

16


(55)

46

syara’ maupun menurut akal.sehingga terjadi perdebatan antara Nabi Ibrahim

dan kaumnya. Ketika itu, hujjah Nabi Ibrahim dapat memojokkan mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan suatu perkataan pun untuk diucapkan, seakan mulut mereka disumbat dengan batu. Maka mereka berpaling dari perdebatan lalu kembali ke masa silam dan bertaqlid kepada para bapak dan nenek moyang. Itulah hujjah orang yang kalah, yang sudah gelap melihat kebenaran, sehingga tidak dapat melihat hujjah dan dalil.

Permohonan Nabi Ibrahim kepada Allah adalah sebagai berikut:

 Minta diberikan pengetahuan tentang Dzat dan Sifat-sifat Allah, serta yang haq untuk dikerjakan.

 Diberikan petunjuk dalam beramal.

 Diabadikan keharuman namanya di dunia serta menjadi teladan bagi orang sesudahnya.

 Menjadi golongan ahli surga.

 Mengampuni dosa-dosa baaknya.

 Minta supaya tidak dihinakan dengan dicela atas kelalaian yang dilakukanya.

Pengulangan kata “Dza>lik” pada ayat yang ke-103 menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi adalah sebagai berikut:

 perdebatan Nabi Ibrahim as dengan kaumnya


(56)

47

 Tiada Tuhan selain Allah SWT

Sementara Muhammad Ali Al Shabuni mengartikan kata “Dza>lik” adalah sebagai berikut:

 kabar atau berita tentanag Nabi Ibrahim dan kaumnya, bukan masalah perdebatan Nabi Ibrahim dan kaumnya.

 Tidak menjelaskan tentang ketauhidan

Dari data diatas bisa dikatakan bahwa Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam menafsirkan kata “Dza>lik” pada ayat 103 ini lebih mendetail dari pada Muhammad Ali Al Shabuni yang menafsirkan dengan singkat saja.Al Maraghi menjelaskan kata “Dza>lik” merujuk pada perdebatan yang terjadi antara Ibrahim dan kaumnya, perdebatan membuktikan keesaan Allah SWT kepada orang-orang musyrik Namun aspek balaghah dan keindahan makna kata lebih banyak didapat dalam penafsiran Muhammad Ali Al Shabuni.

4. Penafsiran Pada Ayat ke-121

   

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu

tanda kekuasaan Allah.

Sesungguhnya pada penyelamatan kaum mukminin dan penurunan siksa kami terhadap orang kafir, benar-benar merupakan suatu ibarat, pelajaran dan suatu peringatan bagi kaummu baik mereka yang membenarkan (percaya)


(57)

48

atau mereka yang mengingkari (mendustakan) hal ini sesuai dengan. sunnah kami untuk menyelamatkan para Rasul dan para pengikutnya jika kami menurunkan siksaan terhadap mereka (orang-orang yang berdusta diantara

kaumnya. Demikian juga sunnah-Ku terhadapmu dan kaummu.17

    

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu

tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman.”18

Sekalipun Nabi Nuh as telah menyampaikan segala peringatan kepada mereka, namun sedikit sekali di antara mereka yang beriman kepadanya. Di sini terdapat isyarat bahwa sekiranya kebanyakan mereka adalah orang-orang yang beriman, maka Allah tidak akan melimahkan siksaan kepada mereka.19

Kaum nuh telah mendustakan para Rasul ketika saudara mereka, Nuh, Nuh berkata kepada mereka: mengapa kalian tidak bertaqwa kepada Allah SWT, lalu kalian takut terhadap siksa-Nya atas kekufuran kalian kepada-Nya, dan pendustaan kalian terhadap Rasul-Nya.

pendustaan terhadap Nuh dijadikan pendustaan terhadap seluruh Rasul, karena pendustaan terhadapnya berimplikasi pendustaan terhadap para rasul

17

Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir, 144

18

Al-Qur’an, 26:227.

19


(58)

49

lainya, lantaran jalan mereka tidak berbeda, yaitu disetiap tempat dan masa, para Rasul selalu berdakwa kepada Tauhid dan dasar-dasar Syari’at.

   

yakni, suatu ibarat atau adanya pelajaran yang agung untuk orang yang mau berfikir dan berangan-angan.

    

yakni, kebanyakan manusia tidak mempercayainya.20

Ayat sebelum kata “Dza>lik” pada ayat yang ke-121 dalam surah

al-Shu’ara adalah menceritakan tentang kisah Nabi Nuh as yang didustakan oleh

kaumnya sendiri. Allah menceritakan bahwa Nabi Nuh pertama-tama menakut-nakuti mereka dengan perkataan “Mengapa kalian tidak bertaqwa?” karena kaumnya adalah kaum yang menerima ajaran Agama secara taqlid

sehingga apabila ditakut-takuti maka akan takut, dan apabila belum merasa takut, maka akan berikir dan mencari dalil. Kemudian setelah Nabi Nuh menegakkan dalil atas kebenaran risalah dan keagungan nasihatserta amanatnya kepada mereka, maka mereka berusah untuk tetap tidak mengikuti dakwahnya dengan mengemukakan hujjah yang merupakan “akal laba-laba” saja.21

20

Muhammad Ali Ash-Sabuni, Shafwatut Tafasir, 742 21


(59)

50

Ini adalah bukti dari kekacauan yang tidak patut ditanggapi oleh seorang yang berakal, karena Nabi Nuh as. Diutus ke seluruh manusia, tidak ada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin, antara rakyat dengan pemimpin, tidak pula antara orang ningrat dengan rakyat jelata yang hina. Kewajibanya adalah memandang apa yang bersifat lahir tanpa mencari-cari dan menyelidiki hal-hal batin. Barang siapa memperlihatkan keburukan, maka aku berburuk sangka kepadanya. Aku tidak dibebani untuk mengetahui segala perbuatan mereka, tetapi hanya dibebani untuk menyeru mereka supaya beriman serta memandang manusia dari keimananya, bukan dari penghidupan, perindustrian, kemiskinan dan kekayaan. Seakan mereka mengatakan bahwa keimanan para pengikut Nabi Nuh itu tidak didasarkan oleh pandangan yang benar tetapi karena mengharapkan harta dan ketinggian derajat.

Kemudian Nabi Nuh menjelaskan bahwa pembalasan dn penghisapan adalah urusan Tuhan, bukan urusanya. Karena itu beliau tidak berkepentingan untuk menyelidiki keadaan mereka lebih jauh. Setelah sekian masa hidup ditengah-tengah mereka, menyeru mereka kepada Allah SWT siang dan malam, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dan setiap kali mengulangi dakwanya, mereka menutup telinga, terus menerus mendustakan-nya dan tenggelam dalam kesombonganya, maka Nabi Nuh memohon pertolongan kepada Tuhan agar mengambil keputusan antara beliau

dan mereka sebagaimana telah membinasakan orang-orang yang


(1)

59

sifatnya teori apalagi yang sifatnya praktek. Para pelajar secara periodik diberikan ulangan agar mereka termotivasi untuk mengulang pelajarannya sehingga penguasaanya semakin baik.Sungguh tidaklah ada kesia siaan sedikitpun dalam pengulangan.29

        

Maka (teruslah) beri peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang orang beriman30.

5. Kelima sebagai Taqrir (penetapan)

Dikatakan ucapan jika terulang berfungsi menetapkan. Diketahui bahwa Allah SWT telah memperingatkan manusia dengan mengulang-ulang kisah nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji dan ancaman. Maka pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.Ini sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikra>r bahwa setiap perkataan yang terulang merupakan tikra>r (ketetapan) atas hal tersebut.

pengulangan juga merupakan manifestasi dari sebuah rasa kagum, sehingga ayat yang diulang-ulang semakin meresap kukuh di jiwa.Dengan diulanginya suatu ayat, merupakan cara untuk mengingatkan

29 Ibid., 30


(2)

60

kembali suatu perkara yang terselingi oleh panjangnya pembicaraan pada perkara yang lain.

Dengan pengulangan, kata akan semakin indah terasa, ia dapat membangkit jiwa-jiwa yang sedang lelap tertidur serta dalam pengulangan juga terdapat unsur pengagungan.31

31


(3)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam menafsirkan pengulangan kata

‚Dza>lik‛ di surah Al Shu’ara’ lebih memperjelas dan merinci makna kata tersebut sementara Muhammad Ali Al Shabuni dalam menafsirkan Kata

‚Dza>lik‛ tidak serinci seperti Al Maraghi, Seperti Kata ‚Dza>lik‛ pada

ayat 67 dalam surah Al-Shu’ara’,kedua Ulama’ (Ahmad Musthafa Al

Maraghi dan Muhammad Ali AlShabuni) terlihat sedikit perbedaan dalam mengartikan maksud kata tersebut. Ahmad Musthafa Al Maraghi mengartikan Terbelahnya Lautan, Sementara Ahmad Musthafa Al

Maraghi Mengartikan Tenggelamnya Fir’aun.

Namun keduanya memiliki persamaan yaitu menegaskan bahwa hal tersebut adalah salah satu kekuasaan Allah sekaligus pelajaran bagi umat selanjutnya.

Sesuai dengan kaidah tikra>r

دَعَ تِل راَرْكِتلا ُدِرَي ْدَق

ِقِلَعَ تْملا ِد

Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya (maksud yang ingin disampaikan).


(4)

62

2. Hikmah pengulangan Ayat dalam surah Al Shu’ara Antara lain:

Mendorong manusia agar senantiasa mentadaburi Al-Qur’an lalu

kemudian mengambil ibrah dari pengulangan tersebut. Seperti pada ayat-ayat tentang kekuasaan Allah dalam penciptaan alam raya ini, dari langit, bumi, angkasa dan yang lainnya. Sebagai Ta’dzim atas agung dan dahsyatnya perkara tersebut, sebagai teladan menjalani kehidupan, juga sebagai ancaman bagi mereka yang mendustakan-Nya dan kabar gembira bagi mereka yang mengimani-Nya

B. Saran

Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu diharapkan pada para pembaca atau peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih dalam


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu> al-Husain. Maqayis al-Lughah. Juz. V. Beirut: Ittih , 2002.

Cevilla, Convelo G. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Islam, 1993.

Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: CV. Kathoda,

2005.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pena Pundi Aksara,

2002.

Khadar, Sayyid. al-Tikra>r Al-Us{lubi> fi Al-Lughah Al-Arabiyyah. t.k.: Darel-Wafa, 2003.

Maliki (al), Muhammad bin Alawi. Zubdah Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Kutub, 2011.

Maraghi (al), Ahmad Musthofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 19. Semarang:

Toha putra, t.th.

Moleing, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Qutaibah, Abu Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn. Ta’wil Musykil al-Qur’an.

Kairo: Maktabah Dar el-Turats, 2006.

Sabt (al), Khali>d ibn Uthma>n. Mukhtas}ar fi> Qawa>‘id al-tafsi>r. Saudi Arabia: Da>r ibn Affa>n: 1996.

Sabt (al), Khali>d bin Uthma>n. Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam’an wa Dira>sah. Saudi Arabia: Da>r bin ‘Affa>n, 1417 H./1997 M.

Sabuni (ash), Muhammad Ali. S}afwatut Tafasi>r Jilid 3. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wayu dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.


(6)

64

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jil. I. Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur`an. Vol XIV. Tangerang: Lentera Hati, 2007.

Shuyuthi (al), Jala>l ad-Di>n ‘Abd ar-Rahman. Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Vol. III. Kairo: Da>r al-Hadits, 2004.

Hasan Bisri,

http://mrhasanbisri.blogsot.com/2009/11/makalah-balagah-asrar-al-tikrar-fi-al.html Makalah balagah asrar al tikrar fi al quran” (Minggu,12 Juni 2016).

Muhammad Bachtiar,

http://fikrilislami.blogspot.co.id/2014/04/al-tikrar-dalam-alquran.html?m=1”Al-Tikrar Dalam Al-Qur’an”, (Kamis,25 Agustus 2016, 22:36)