Syllabus Mata Kuliah Meteorologi Laut

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

Syllabus Mata Kuliah Meteorologi Laut
LINK DOWNLOAD [6.38 MB]
Syllabus Mata Kuliah Meteorologi Laut
1. Pengenalan Meteorologi laut 1 pertemuan
2. Radiation and Energy budget (Komposisi radiasi dan energi bumi) 1 pertemuan
- komposisi dan lapisan atmosfir bumi,
- radiasi surya
- tekanan udara dan angin
3. Atmosphere and Ocean (Hubungan antara laut dan atmosfir) 2 pertemuan
- dari radiasi ke arus laut
- Hadley and Walker cell
- pergerakan ekman
- coupling atmosfir dan laut
- salinitas, curah hujan dan profil temperatur laut
- stabilitas isotherm laut dan atmosfir
- Proses konveksi di laut dan atmosfir
4. Indonesian climate (Iklim Indonesia) 1 pertemuan
- pembagian iklim Indonesia

- diurnal, musim, MJO, interannual
- monsoon, ITCZ dan ENSO
5. Air sea interaction, local and regional phenomena (proses interaksi laut udara) 2 pertemuan
- easterly waves
- tropical cyclones
- SST rainfall relationship
- ENSO and laut Indonesia
- ENSO predictability
6. Coastal Meteorology (meteorologi pesisir atau pulau pulau kecil) 2 pertemuan
- pentingnya pulau pulau kecil
- angin darat dan laut (sea breeze)
- gelombang pasang
- pengelolaan sumber daya air pesisir dan hubungan dengan cuaca
7. Extreme Weather (bentuk bentuk cuaca ekstrim) 1 pertemuan
- Siklon dan tsunami
- Bentuk bentuk cuaca ekstrim di Indonesia
- Weather for fisheries, insurance, shipping and tourism.
- satellite observation
8. Global climate change (perubahan iklim global) 2 pertemuan
- bagaimana proses pemanasan global terjadi

- catatan historis proses pemanasan global dari data lautan
- effek pemanasan global terhadap ekosistim laut
- biogeochemistry dan pengurangan dampak pemanasan global oleh laut
- prospek iklim Indonesia kedepan
Textbook list
1. Coastal Meteorology by S. A. Hsu, Academic Press, 1988
2. Ocean Circulation by Open Univ. and Pergamon Press, 1989
3. Klimatologi Umum by Bayong Tjasjono, Penerbit ITB Bandung 1999
4. Atmosphere ? Ocean Dynamics by Adrian E. Gill, Academic Press, 1982
5. Climate System Modeling by Kevin E. Trenberth, Cambridge Univ Press, 1992
6. Water at the surface of the earth by David H Miller, Academic Press, 1977

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

7. IPCC Report ?Climate Change 2001: The Scientific Basis?, IPCC panel, 2001

References list
Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea
surface temperature, Intl. J. Climatol., 23, 1435-1452
Aldrian, E., L. D. Gates, F. H. Widodo, 2003, Variability of Indonesian Rainfall and the Influence of ENSO and Resolution in
ECHAM4 simulations and in the Reanalyses, MPI Report 346, 30pp [Available from Max Planck-Institut für Meteorologie,
Bundesstr. 55, D-20146, Hamburg, Germany.]
Ffield, A., K. Vranes, A. L. Gordon, R. D. Susanto, 1999, Temperature variability within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 27,
237-240
Gordon, A.L., R. D. Susanto, 2001, Banda sea surface layer divergence., Ocean Dyn., 52, 2-10
Gordon, A.L., R. D. Susanto, A. Ffield, 1999, Throughflow within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 26, 3325-3328
Gordon, A.L., R. D. Susanto, K. Vranes, 2003, Cool Indonesian throughflow as a consequence of restricted surface layer flow.,
Nature, 425, 824-828
Hadi, T. W., T. Horinouchi, T. Tsuda, H. Hashiguchi, S: Fukao, 2002, Sea-breeze circulation over Jakarta, Indonesia: A climatology
based on boundary layer radar observations, Month. Wea. Rev., 130, 2153-2166
Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, T. Sribimawati, 2002, Spatial and temporal variations of
the rainy season over Indonesia and their link to ENSO., J of Meteorol. Soc. Japan, 80, 285-310
Haylock, M., McBride, J.L. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. J. Clim., 14: 3882-3887
Hendon, H. H., 2003, Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air sea interaction, J. Clim., 16, 1775-1790
Renggono, F., H. Hashiguchi, S. Fukao, S Y Ogino, N. Okamoto, F. Murata, B. P. Sitorus, M. Kudsy, M. Kartasasmita, G. Ibrahim,
2001, Precipitating clouds observed by 1.3-GHz boundary layer radars in equatorial Indonesia, Ann. Geophys., 19, 889-897

Susanto, R.D., A. L. Gordon, Q. Zheng, 2001, Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relationto ENSO, Geophys.
Res. Lett., 28 1599-1602
Susanto, R. D:, A. L. Gordon, J. Sprintall, B. Herunadi, 2000, Intraseasonal variability and tides in Makassar Strait., Geophys. Res.
Lett., 27, 1499-1502
Widiyatmi, I., H. Hashiguchi, S. Fukao, M. D. Yamanaka, S. Y. Ogino, K. S. Gage, S. W. B. Harijono, S. Diharto, H. Djojodihardjo,
2001, Examination of 3-6 day disturbances over equatorial Indonesia based on boundary layer radar observations during 1996-1999
at Bukittinggi, Serpong and Biak., J. Of Meteorol. Soc. Japan, 79, 317-331
CRU ? WWF, Climate Change scenario for Indonesia.
BAB I
Pengenalan
Kuliah Meteorologi Laut
Tujuan dari mata kuliah ini adalah memberikan
- pemahaman atas proses meteorologi dan iklim yang mempengaruhi dinamika di laut
- pemahaman atas proses di laut yang mempengaruhi dinamika atmosfir
Kedua tujuan diatas merupakan masalah interaksi laut atmosfir. Permasalahan interaksi laut atmosfir mencakup permasalahan micro
fisis dekat muka laut dimana terjadi perpindahan aerosol dari air laut ke atmosfir dan perubahan fluxes atmosfir dan energi menjadi
dinamika laut. Dalam skala makro peristiwa interaksi laut atmosfir juga terlihat dari terjadinya interaksi iklim Indonesia dengan
peristiwa ENSO, arus lintas Indonesia. Salah satu contoh paling nyata dan penting bagi Indonesia adalah bagaimana peristiwa cuaca
terpengaruh oleh panas tidaknya suhu muka laut disekitar pulau pulau besar nusantara. Dalam skala kepentingan ekonomi praktis
proses interaksi laut atmosfir yang paling diminati adalah yang menyangkut dinamika perikanan terpengaruh iklim dan bagaimana

kita memanfaatkan pengaruh tersebut. Dinamika laut atmosfir juga membahas interaksi di daerah pesisir yang berhubungan dengan
dinamika sekitar pantai dan juga interaksi di laut dalam. Dinamika laut atmosfir laut dalam berhubungan dengan fenomena skala
besar dimulai dengan pembentukan awan potensial siklon hingga gejala ENSO dan arus lintas samudra (conveyor belt).
Untuk dapat memahami hal hal tersebut diperlukan pengertian dasar dari ilmu meteorologi dan dinamikanya serta bagaimana
aplikasi dinamika tersebut pada media air. Pada dasarnya semua pemahaman dalam ilmu meteorologi atmosfir dapat diaplikasikan
dalam dinamika air laut. Perbedaan utama tampak dari jenis fasa air yang merupakan medium bekerjanya proses fisis tersebut.
Dinamika di laut berhubungan dengan media air pada fase cair, sedangkan dinamika di atmosfir berhubungan dengan air pada fase
gas. Peristiwa angin barotropik dan baroklinik memiliki persamaan dengan arus laut barotropik dan baroklinik. Rumus dasar
timbulnya angin dari perbedaan tekanan juga memiliki persamaan di laut dalam dengan perbedaan tinggi muka laut dan densitas laut

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

berdasarkan tingkat salinitasnya. Dibalik persamaan tersebut antara laut dan atmosfir memiliki perbedaan mendasar seperti kapasitas
memori laut yang besar sehingga perubahan di laut memiliki skala bulanan (di permukaan) hingga ribuan tahun (di dasar laut
dalam). Sedangkan atmosfir memiliki kapasitas memori yang relatif kecil dalam skala perubahan jam ? jaman sehingga perubahan di

atmosfir sangat dinamis dalam skala hariannya. Contoh nyata adalah siklus pertumbuhan dan matinya awan yang terjadi hanya
dalam skala jam.
Yang menjadi pertanyaan dasar sekarang adalah kepentingan ilmu meteorologi laut. Indonesia adalah negara kepulauan tropis
terbesar dimuka bumi dengan garis pantai terpanjang. Rasio wilayah laut terhadap darat di muka bumi rata rata adalah 71.1%
dibanding 28.9% sedangkan untuk wilayah Indonesia adalah sekitar 62% dibanding 38%. Dengan perbandingan sebesar itu diyakini
bahwa iklim Indonesia sangat dipengaruhi laut. Pada kenyataannya iklim di wilayah Jawa dan pulau pulau besar lainnya masih
mewakili iklim maritim. Salah satu aplikasi sifat iklim akibat komposisi permukaan tersebut adalah kuatnya prediksi iklim kita pada
waktu bulanan atau musiman dibandingkan dengan prediksi pada skala harian. Jika kita mengingat faktor besarnya daya memori laut
seperti disebutkan diatas maka hal ini akan mudah dimengerti. Dari alenia ini dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan pengertian dasar
dari sistim iklim Indonesia agar dapat memahami bagaimana proses interaksi laut atmosfir terjadi di Indonesia.
Dari pemahaman iklim Indonesia dapat kita lihat proses interaksi laut atmosfir yang spesifik terjadi di Indonesia. Proses interaksi
laut atmosfir dalam ilmu kebumian merupakan hal terpenting yang sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia terutama di
daerah pesisir. Ilmu meteorologi di Indonesia merupakan ilmu dasar yang kurang diminati, sehingga perkembangannya
dibandingkan ilmu kebumian lainnya seperti geofisika, geologi dan kelautan sangat jauh tertinggal. Pemahaman atas proses fisis
kebumian atmosfir Indonesia masih terbilang jauh tertinggal dibandingkan bidang ilmu kebumian lainnya. Kurangnya minat
mempelajari meteorologi karena sering dihubungkan dengan salah satu pekerjaan meteorologi, untuk meramal cuaca atau iklim.
Padahal pengkajian ilmu meteorologi cukup luas meliputi berbagai aspek. Di negara maju yang berlintang tinggi dengan empat
musim, masalah kebumian lain selalu dihubungkan dengan perubahan fisis meteorologi yang terjadi. Karena pada dasarnya hampir
semua aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh keempat musim tersebut dan variasinya. Variasi iklim utama di Indonesia adalah
faktor musiman yang dikenal dengan istilah monsoon. Faktor musiman ini tanpa disadari sangat mempengaruhi pola kehidupan

masyarakat Indonesia. Perhatikan bagaimana pola bercocok tanam petani dan pola melautnya nelayan Indonesia. Perhatikan juga
bagaimana wabah penyakit yang bersifat musiman dan banyak pekerjaan yang sifatnya berfluktuatif tergantung musim yang sedang
terjadi. Salah satu indikator terpenting dari sifat cuaca dan iklim Indonesia adalah hujan. Di negara lintang tinggi selain hujan,
temperatur juga faktor utama lainnya. Sehingga untuk mengetahui proses interaksi dari dan terhadap cuaca dapat dilakukan dengan
menghubungkannya dengan indikator cuaca tersebut. Salah satu hubungan tersebut dapat dicapai dengan menghubungkan variasi
suhu muka laut dan curah hujan lokal, regional ataupun dengan skala global.
Pentingnya interaksi laut atmosfir di Indonesia dapat dilihat paling tidak diwilayah yang paling berperan ekonomis yaitu disekitar
garis pantai. Diperlukan pemahaman meteorologi pesisir pantai dan peran pulau pulau dalam dinamika proses meteorologi lokal.
Kepulauan Indonesia terdiri dari lebih 17 000 pulau yang tersebar seantero nusantara. Sebagian besar pulau pulau tersebut adalah
pulau pulau kecil yang tidak dihuni dan tempat bermukimnya warga yang berjumlah kecil. Diperlukan pemahaman fungsi
meteorologis dari pulau pulau kecil tersebut terhadap iklim regional Indonesia karena keberadaan pulau pulau tersebut mengatur
arus lintas air laut dan atmosfir disekitarnya. Sebagaimana diulas diatas bahwa daratan memiliki waktu memori yang kecil sehingga
radiasi matahari berpengaruh secara lokal dalam hitungan jam sehingga variasi dan fluktuasinya lebih besar dari laut sekitarnya,
maka pulau pulau kecil tersebut berperan sebagai heat source atau heat engine untuk proses konveksi awan lokal. Proses proses kecil
ini terjadi seantero nusantara dan berperan penting bagi sifat iklim regional.
Keberadaan variasi cuaca dan iklim membawa dampak yang terkadang cukup serius bagi kehidupan manusia karena terlalu
ekstrimnya fluktuasi tersebut. Meskipun demikian karakteristik cuaca regional juga ditentukan selain faktor orografis, juga letak
lintangnya. Beruntung Indonesia berada di daerah khatulistiwa dimana faktor coriolis muka bumi kecil sehingga meski dengan garis
pantai yang panjang, tidak akan dilalui oleh siklon tropis tetapi masih menerima dampaknya. Beberapa gejala cuaca ekstrim lainnya
yang dapat terjadi di wilayah Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap laut dan kehidupan lain seperti turisme dan perikanan

juga menjadi topik penting dalam pembahasan ini. Juga perlu dibahas bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam mitigasi bencana
tersebut terutama dengan teknologi sensor jarak jauh (remote sensing).
Perubahan akibat variasi ekstrim bersifat sesaat, sedangkan ada lagi faktor perubahan laten lainnya yang terjadi pada iklim global
yang sedang dialami bumi ini. Akibat faktor natural dan antropogenis (hasil perbuatan manusia) cuaca dan iklim berubah secara
perlahan dari kestabilan normal tertentu menuju kestabilan baru yang lebih mendekati kondisi ekstrim pada masa lampau. Artinya
apabila dahulu kondisi yang sama berada pada bagian kondisi ekstrim, maka kejadian tersebut akan lebih sering terjadi sehingga
merubah rata rata statistik cuaca pada umumnya. Kondisi ini terjadi secara global meskipun tanda tandanya sangat sukar dideteksi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

karena perubahan yang terjadi berlangsung dalam rentang waktu yang sangat lambat dan lama. Perubahan ini dikenal dengan istilah
perubahan iklim global atau global change. Tentu saja dampak dari perubahan iklim global ini akan terjadi pada interaksi laut
atmosfir di wilayah Indonesia tetapi bagaimana dampak sebenarnya perlu dikaji lebih lanjut lagi. Yang terpenting diketahui adalah
bagaimana mekanisma proses itu dapat terjadi dan proyeksi kedepan akibat perubahan tersebut. Proyeksi kedepan akan dapat
menentukan strategi sosio-ekonomis masa depan. Pemahaman fisis dan biologis atas perubahan global terhadap iklim regional laut

atmosfir Indonesia masih sangat rendah dan merupakan peluang kajian yang sangat menarik.
Kemajuan pesat ilmu pengetahuan dibidang teori, pengamatan dan komputasi membawa dampak semakin matangnya kemampuan
umat manusia memahami proses alam dengan membuat model alam tersebut. Model iklim saat ini telah dapat dimasukkan dalam
sebuah komputer pribadi dan dijalankan untuk menghitung secara komprehensif kondisi alam yang terjadi. Dengan model iklim, kita
dapat mengisi kekosongan titik titik pengamatan dengan cukup baik meskipun dengan tingkat asumsi teori yang lumayan besar.
Hasil dari model iklim seperti ini seringkali berhasil memberikan gambaran skala luas fenomena yang terjadi meski tidak pada skala
yang terlalu detail. Meskipun dengan berbagai pendekatan, tingkat keberhasilan manusia dalam komputasi iklim masih jauh dari
memuaskan, namun demikian peningkatan pemahaman kita terhadap proses dinamika alam sangat jauh meningkat dari hasil
menjalankan model iklim tersebut. Hal ini karena model iklim menyediakan hasil komprehensif yang diluar imaginasi manusia
sebelumnya dan tidak terbayangkan oleh teori liniar dan observasi pada titik titik tertentu dimuka bumi. Ambisi manusia dalam
pengembangan model iklim saat ini tidak terbatas pada hanya proses fisis tetapi juga proses biologi, kimia dan geologis. Model
iklim telah menjadi suatu tren dimana meteorologi menjadi pusatnya. Model iklim telah menjadikan ilmu meteorologi suatu ilmu
dan fenomena favorit dari yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bagaimanakah aplikasi dan hasil model iklim terhadap kondisi
regional Indonesia dan apa permasalahan serta prospeknya?
Gambar 1. Sistim iklim muka bumi
Gambar 2. Energi budget dari atmosfir bumi
BAB II
Komposisi radiasi dan energi bumi
Radiasi matahari
Tidak dapat dibayangkan kehidupan didunia tanpa matahari. Bagi mahluk hidup, selain air, maka matahari adalah sumber kehidupan

utama dimuka bumi. Matahari adalah sumber energi utama pergerakan di atmosfir dan di lautan. Untuk pergerakan di lautan, sebagai
tambahan perputaran bumi juga membantu timbulnya aliran arus air laut. Matahari mengatur pergerakan di laut dengan membuat
dinamika di atmosfir dalam membentuk angin. Energi juga ditransfer dari angin ke lapisan teratas dari laut melalui gaya gesek antara
lautan dan atmosfir di permukaan laut. Matahari juga mengatur pergerakan di laut dengan membuat variasi suhu dan salinitas di
lautan yang pada akhirnya membedakan densitas masa jenis air laut. Perubahan pada suhu air laut disebabkan oleh aliran energi
panas di batas laut atmosfir sedangkan perubahan tingkat salinitas diakibatkan oleh perpindahan air tawar melalui proses hujan atau
penguapan. Sedangkan di daerah kutub ditambah lagi dengan proses mengkristalnya air laut menjadi es. Keseluruhan proses tersebut
berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas radiasi matahari. Jika permukaan air laut menjadi lebih padat
berat jenisnya daripada lapisan air dibawahnya, kondisi menjadi tidak stabil dan air dengan berat jenis besar akan tenggelam.
Pergerakan vertikal, sirkulasi akibat beda berat jenis akibat proses pendinginan atau perubahan tingkat salinitas dikenal dengan
sirkulasi thermohaline atau proses gabungan berat jenis dan perubahan energi panas. Pergerakan air laut akibat perputaran bumi akan
dibahas pada bab kemudian.
Secara umum jenis energi yang diterima lautan terdiri dari sumber primer yaitu radiasi dari matahari, radiasi gelombang panjang,
pertukaran fase air ke gas dan sebaliknya (perpindahan energi sensibel), penguapan dan proses adveksi. Selain sumber primer, laut
juga menerima transfer energi dari sumber sekunder yaitu dari proses biochemistry di lautan, aktivitas hidrothermal, proses dari
friksi arus laut dan dari proses radioaktivitas.
Radiasi matahari terdiri dari gelombang pendek yang tersebar pada spektrum energi elektromagnetis. Diantara besaran spektrumnya
adalah termasuk sinar gamma, sinar X-ray, sinar ultraviolet, sinar tampak, sinar infra merah, sinar microwave untuk radar dan radio
sonde, sinar gelombang radio pendek, sinar gelombang radio AM dan sinar gelombang radio panjang. Semua gelombang
elektromagnetis tersebut berjalan pada kecepatan yang sama yaitu kecepatan cahaya. Saat ini hampir seluruh aspek kehidupan

manusia tidak terlepas dari pemanfaatan panjang gelombang energi yang disebut diatas. Tidak semua energi matahari mencakup
keseluruhan spektrum energi diatas, tetapi terbatas pada panjang gelombang sinar, bukan gelombang radio. Besarnya radiasi
matahari yang terpancarkan berhubungan dengan nilai panjang gelombang pangkat 4. hasilnya adalah kurva penyebaran energi dari
radiasi pada suhu sekitar 6000 K yaitu suhu dipermukaan matahari. Radiasi yang diterima bumi pada sumbu normal adalah sebesar
2.00 cal cm-2 min-1. sedangkan berdasarkan distribusinya radiasi di khatulistiwa diterima sekitar 1100 cal cm-2 day-1 dan di daerah

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 4/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

kutub sebesar 800 - 900 cal cm-2 day-1. variasi dari energi yang diterima bumi sangat rendah hanya sekitar 3.34 % dan variasi
tersebut dapat diprediksi dengan baik dan menggambarkan perubahan iklim dalam satuan waktu geologis. Sedangkan bentuk
gelombang radiasi matahari yang diterima bumi telah mengalami banyak degradasi akibat penyerapan radiasi matahari pada panjang
gelombang tertentu. Energi matahari akan terserap pada panjang gelombang dimana radiasi tersebut bertemu partikel yang
dimaksud. Sebagai contoh uap air di atmosfir akan menyerap energi matahari pada panjang gelombang sekitar 3?m. sehingga bentuk
kurva energi pada panjang gelombang itu akan mengalami degradasi. Pemanfaatan dari sifat degradasi ini adalah untuk teknologi
penginderaan jauh. Sebagai contoh, untuk satelit yang memantau awan dan nilai kandungan uap airnya bekerja dengan sensor yang
sensitif pada panjang gelombang 3?m tersebut. Metoda yang sama dipakai untuk melihat berbagai kandungan polutan di atmosfir
termasuk gas ozon dari sifat degradasi diatas.
Gambar 2.1. Spektral energi radiasi matahari yang dipancarkan (black body radiation) dan yang diterima di muka bumi
Distribusi penyebaran energi radiasi matahari di muka bumi beragam menurut posisi lintang. Nilai rata-rata radiasi yang ditangkap
muka bumi menurun dari khatulistiwa ke kutub karena daerah lintang rendah menerima energi dalam jumlah besar sepanjang tahun,
hal ini dikarenakan sinar matahari menuju daerah ini dengan tegak lurus, sehingga nilai yang terpendar atau terefleksi kecil.
Sementara sepanjang garis lintang menuju kutub, nilai sudut inklinasi sinar matahari akan semakin besar dan nilai radiasi yang
terpendar atau terefleksi akan semakin besar, akibatnya nilai radiasi matahari yang sampai ke permukaan akan semakin kecil. Selain
itu distribusi menurut energi yang diterima juga beragam, 16% darinya diserap oleh atmosfir seperti digambarkan diatas, 24 %
dipantulkan oleh awan, 7 % diradiasikan kembali ke luar angkasa dari atmosfir, sedangkan 4% dipantulkan oleh permukaan bumi
terutama laut dan es di kutub. Secara total sekitar 35 % kembali ke luar angkasa. Tidak semua radiasi matahari dapat menembus
badan air di laut. sekitar 73 % mencapai kedalaman 1 cm, 44.5 % kedalaman 1 m, 22.2 % kedalaman 10 m, 0.53 m kedalaman 100
m dan 0.0062% kedalaman 200 m. Energi minimum yang dibutuhkan untuk mensuplai dan menjaga perkembangan pitoplankton
untuk proses fotosintesis adalah sekitar 0.003 cal cm-2 min-1. dengan kalkulasi sesuai kedalaman diatas, hal ini dapat tercapai
hingga kedalaman 220 m.
Bumi tidak hanya menerima energi gelombang pendek matahari tetapi juga menghasilkan balik energi yang diterimanya dalam
bentuk radiasi gelombang panjang. Sebagian kecil dari gelombang radiasi panjang akan dipancarkan kembali ke luar angkasa.
Biasanya gelombang panjang ini dipancarkan di bagian paling atas atmosfir dan dikenal dengan istilah Outgoing Long wave
radiation. Karena dipancarkan di bagian paling atas atmosfir dari lapisan awan terluar, maka parameter ini sering dipakai untuk
melihat potensi cuaca setempat, sebab semakin tinggi tempat berpancarnya maka awan yang memancarkannya akan semakin tinggi
dan semakin berpotensi memberikan curah hujan maksimum. Berbeda dengan panjang gelombang pendek, maka radiasi keluar
panjang gelombang panjang tidak memiliki variasi sebagaimana halnya radiasi gelombang datang dengan panjang gelombang
pendek. Laut sendiri juga memancarkan energi dengan panjang gelombang panjang, karena suhu muka laut berkisar 283 K, maka
panjang gelombang yang dipancarkan, berdasarkan hukum Wien adalah 10 mikrometer atau panjang gelombang infra merah.
Walhasil dari perbandingan energi masuk (gelombang pendek) dan energi keluar (gelombang panjang) terjadi surplus energi masuk
di dekat khatulistiwa dan surplus energi keluar di dekat kutub. Meskipun adanya nilai masuk positif di dekat khatulistiwa dan negatif
di kutub, tidak pernah ada petunjuk bahwa daerah dekat khatulistiwa terus menerus memanas dan daerah kutub terus menerus
mendingin, sehingga pastilah ada transfer energi radiasi antara daerah lintang rendah dan tinggi. Kejadian itu dilakukan oleh angin di
atmosfir dan sirkulasi air di lautan. Ada berbagai perdebatan tentang siapa dari keduanya yang lebih penting terhadap pergerakan ke
arah kutub dari energi panas diatas, tetapi dipercaya kalau lautan lebih berkontribusi di daerah tropis dan atmosfir lebih di daerah
lintang tinggi. Nilai maksimum dari kehilangan energi panas akibat evaporasi terjadi di daerah subtropis akibat proses adveksi di
atmosfir pada daerah kering, sedangkan kehilangan energi panas minimum di daerah tropis akibat dari kandungan uap air di udara
tropis yang cukup jenuh. Sedangkan penghilangan akibat energi panas sensibel kurang lebih sama antara daerah tropis dan subtropis.
Arus laut berfungsi membawa panas dari daerah tropis ke daerah kutub.
Gambar 2.2. Besarnya variasi energi yang dibawa dari daerah tropis menuju daerah
subtropis dan daerah kutub pada beberapa samudra di dunia.
Tekanan Udara dan Angin
Angin menghantarkan kandungan panas terutama dengan proses adveksi masa air hangat ke daerah dingin dan sebaliknya. Sebagian
lagi transfer energi panas melalui panas laten yang diambil ketika air laut menguap ke atmosfir dan berkondensasi pada lingkungan
yang lebih dingin. Angin dihasilkan dari perbedaan tekanan dan suhu di atmosfir akibat distribusi energi radiasi matahari, tutupan
awan serta dinamika sekitarnya.Pergerakan horisontal angin dinamai adveksi sedangkan yang vertikal lebih disebut konveksi. Proses
konveksi biasanya bersifat sangat lokal, sehingga untuk perhitungan bugdet energi biasanya diabaikan. Proses konveksi sendiri dapat
terjadi untuk skala kecil hingga besar dalam bentuk siklon atau badai tropis. Siklon atau badai tropis dipercaya sebagai media

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 5/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

transpor jumlah energi panas dalam jumlah besar menjauh dari lautan khatulistiwa dalam bentuk energi panas laten yang terbawa ke
daerah lintang tinggi. Proses pergerakan arus laut juga sangat dipengaruhi oleh angin di atmosfir terutama pada kedalaman hingga
sekitar 200 m. Pada lapisan atas yang sangat terpengaruh oleh angin, terdapat lapisan turbulensi, dibawahnya terdapat lapisan
thermokline dan lebih ke bawah lagi yang disebut lapisan laut dalam. Lapisan thermokline adalah lapisan dimana terjadi penurunan
suhu air yang sangat drastis dan mencapai kedalaman hingga 200m. Sedangkan lapisan turbulensi tidaklah dalam, tergantung pada
besarnya gelombang laut di permukaan.
Dilaut juga terjadi proses pergerakan vertikal atau konveksi dan peristiwa upwelling dan downwelling. Kedua peristiwa terakhir
biasanya terjadi karena adanya dorongan angin di permukaan. Tergantung pada posisinya, kedua proses tersebut dapat terjadi pada
musim yang berbeda. Kedua peristiwa upwelling dan downwelling akan dibahas kemudian.
BAB III
Hubungan antara laut dan atmosfir
Coupling atmosfir dan laut
Interaksi laut dan atmosfir membertuk proses kopling yang terjadi di pergantian energi dan masa di permukaan laut. Terjadinya
perpindahan energi dan masa dalam proses neraca energi dalam hal energi radiasi termasuk energi panas dan momentum dalam hal
friksi permukaan. Pergantian energi dalam hal neraca masa terjadi dalam hal penguapan dan hujan, perpindahan mineral dan gas.
Gas gas yang ada di permukaan mengabsorbsi energi radiasi karena gas gas tersebut menyerap energi matahari pada panjang
gelombang khusus. Hasilnya adalah peningkatan dari suhu atmosfir dan mengakibatkan juga peningkatan suhu laut. Salah satu gas
penting yaitu CO2 juga banyak terdapat di atmosfir yang kemudian dapat diendapkan di dalam lautan. Kepentingan pengendapan
CO2 sangat membantu mengurangi pengaruh pemanasan global. Dalam hal kopling atau interaksi laut atmosfir, perlu ditekankan
hubungan antara lautan dan atmosfir dalam hal sebagai pensuplai uap air terbesar bagi atmosfir. Penguapan terjadi akibat tidak
jenuhnya atmosfir oleh uap dan akibat cukup hangatnya suhu muka laut. Sebaliknya atmosfir mensuplai energi dan masa dalam
bentuk curah hujan dan endapan yang juga melibatkan transfer energi.
Ketika lautan mendingin, maka laut akan merespon dengan menghasilkan gerak konveksi vertikal yang akan mensuplai panas ke
permukaan. Hal ini terjadi karena persamaan kontinuitas masa membutuhkan air dingin mengendap ke kedalaman dari permukaan
tergantikan oleh masa air dibawahnya yang notabene lebih hangat. Air hangat tersebut akan menyembul ke permukaan. Proses
perubahan suhu di lautan terjadi jauh lebih lambat daripada di atmosfir. Sebagai akibat maka lautan terus panas meskipun equinok
atau titik nadir matahari telah menjauhi garis khatulistiwa.
Dari angin ke arus laut
Sewaktu angin bertiup di muka laut, energi di transofrmasikan dari angin ke permukaan laut. Beberapa dari energi tersebut menjadi
gelombang gravitasi permukaan yang mengikuti pergerakan arus permukaan akibat pergerakan angin. Hal yang terkahir ini yang
menyebabkan terjadinya arus laut. Proses transfer energi sebenarnya yang terjadi di permukaan laut sangat kompleks. Seberapa
besar energi yang terpakai untuk proses penghasilan turbulensi dan seberapa besar yang dikonversi menjadi arus. Akan tetapi aturan
umum adalah semakin kuat angin bertiup, semakin besar friksi permukaan yang mendorong arus di bawahnya. Pekerjaan angin yang
mendorong arus laut disebut dengan wind stress.
Peristiwa dorongan angin terhadap arus laut lebih banyak terjadi pada skala kecil melalui proses turbulensi. Peningkatan kecepatan
arus laut dan sebaliknya lebih banyak disebabkan oleh proses turbulensi permukaan. Turbulensi akan mendistribusikan dan
menghilangkan energi gerak (kinetic) dan merubahnya menjadi energi panas melalui viskositas molekular. Hal terakhir inilah yang
memberikan kontribusi terhadap suhu muka laut. Selebihnya arus laut diatur oleh kondisi salinitas densitas, suhu dan topography
dasar laut.
Pergerakan Ekman
Salah satu proses pergerakan arus laut oleh angin adalah pergerakan ekman yang seringkali mendorong adanya upwelling dan
downwelling di tepi pantai. Proses ekman spiral akibat dorongan angin permukaan atau transfer dari momentum gerak angin ke arus
laut dan diamati oleh Fridjof Nansen yang melihat bahwa bongkahan es di laut bergerak 20 ? 40 derajat ke kanan dari arah angin.
Dia memberikan hasil observasinya kepada Wilfrid Ekman. Akibat pengaruh gaya coriolis, arus permukaan bergerak 45 derajat dari
arah angin dan energy dinamik di salurkan ke lapisan laut yang lebih dalam. Energi diserap oleh gesekan pada kedalaman dimana
kecepatan menurun menurut kedalaman dan akhirnya kecepatan masa air adalah 0 pada kedalaman ekman. Gaya coriolis
menyebabkan penyimpangan berturut turut ke kedalaman sementara juga menyalurkan energi ke lapisan lebih dalam lagi (ekman
spiral). Gerak masa air secara umum mengarah 90 derajat dari arah angin. Asumsi utama dari pergerakan Ekman adalah luas wilayah
yang sangat luas dan sangat dalam (tidak ada friksi dengan dasar laut atau pantai). Kedalaman proses ini dapat terjadi hingga 150 m
dibawah muka laut.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 6/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

Gambar 3.1. Proses Ekman spiral akibat tiupan angin permukaan.
Secara lokal pergerakan Ekman dapat terjadi pada garis pantai karena hembusan angin darat dan laut, tergantung pada musim saat
angin bertiup.
Salinitas, curah hujan dan profil temperatur laut
Lautan merupakan badan air terbesar di dunia. Sekitar 96.5 % adalah air dan hampir 3.5% nya adalah garam yang terlarut. Distribusi
salinitas atau tingkat kegaraman dan suhu adalah aspek penting bagi pergerakan arus laut. Sebagian besar perbedaan distribusi suhu
dan salinitas terdapat di permukaan laut atau sekitar kedalaman 200 m. sedangkan sisa bagian laut terisi oleh air dengan suhu dan
tingkat salinitas yang seragam. Sekitar 75% air laut memiliki tingkat salinitas antara 3.4 dan 3.5 % dan suhu antara 0 hingga 4 C
dengan suhu rata rata 3.8C. Di khatulistiwa, rata rata suhu air laut hanya 4.9C. Lapisan dimana suhu berubah dengan cepat terhadap
kedalaman ditemukan antara suhu 8 ? 15C dan disebut lapisan thermocline yang kedalamannya antara 150 ? 400 m di khatulistiwa
dan antara 400 hingga 1000m di daerah subtropis.
Gambar 3.2 Distribusi penyebaran salinitas dan suhu dalam persentase untuk air laut.
Jika suhu permukaan sangat rendah proses konveksi dari pendinginan air laut dapat mencapai daerah yang dalam. Pada umumnya di
samudra samudra besar di dunia, mulai kedalaman 1000 m, suhu dan salinitas laut sudah seragam. Penurunan suhu mengakibatkan
peningkatan berat jenis sehingga stratifikasi suhu akan menghasilkan stratifikasi berat jenis yang teratur. Penurunan salinitas
menghasilkan penurunan berat jenis. Sehingga stratifikasi salinitas justru akan menimbulkan stratifikasi yang tidak stabil. Pada
umumnya di lautan, efek dari penurunan suhu lebih kuat dari efek penurunan salinitas sehingga laut terstratifikasi lebih stabil.
Gambar 3.3. nilai rata rata stratifikasi suhu dan salinitas di kepulauan Indonesia pada bulan Januari hasil keluaran model laut dan
dirata rata antara tahun 1979 ? 1993.
Tingkat salinitas dan suhu sangat dipengaruhi oleh aktivitas di permukaan laut dimana curah hujan dan penguapan memegang
peranan paling besar. Sekitar 51% dari energi yang diserap lautan akan diambil oleh proses penguapan. Selain itu, penguapan juga
memberikan kontribusi terbesar dari neraca masa air di lautan dimana terjadipengurangan besar besaran akibat penguapan. Proses
penguapan terjadi saat udara menjadi tidak jenuh dengan uap. Semakin hangat suhu udara, semakin kuat penguapan yang terjadi.
Dalam kondisi normal transfer panas langsung adalah dari laut ke udara dengan asumsi panas dialirkan dari lapisan paling bawah.
Pada situasi normal tersebut udara menjadi jenuh dengan kelembaban dan penguapan yang terjadi. Selanjutnya udara hangat akan
terkondensasi apabila bertemu dengan lapisan udara tinggi yang dingin atau bertemu badan air yang dingin. Pada kasus pertama
akan turun sebagai hujan, sedangkan pada kasus kedua akan terbentuk kabut. Pada kedua kasus tersebut, energi yang dihasilkan dari
proses kondensasi akan lebih terserap di atmosfir, sehingga kontribusi kondensasi terhadap neraca energi panas di laut sangat kecil.
Pada kondisi global seperti disampaikan pada bab terdahulu, energi di lautan lebih banyak dipakai di daerah sub tropis untuk
pergerakan arus menjauh khatulistiwa. Energi panas yang diterima menurun dekat khatulistiwa akibat pantulan dari awan awan yang
banyak terdapat di daerah tersebut. Proses evaporasi terjadi maksimum di daerah sub tropis karena adveksi udara dingin yang salah
satunya disebabkan oleh Hadley cell. Evaporasi di daerah tropis sangat minimum karena sudah jenuhnya udara di daerah tersebut
yang salah satu dikarenakan tutupan awan yang sangat tinggi. Sedangkan curah hujan tinggi didaerah dekat khatulistiwa di sebelah
utara akibat bentuk rupa bumi dan distribusi darat dan lautan serta di daerah dekat kutub pada lintang 50. Distribusi perpaduan
evaporasi dikurangi hujan akan menyerupai distribusi melintang tingkat salinitas laut. Secara umum jumlah evaporasi di dunia
mencapat 440 x 103 km3 per tahun, curah hujan mencapai 411 x 103 km3 per tahun dan volume aliran permukaan di sungai danau
dll mencapai 29 x 103 km3 per tahun.
Gambar 3.4. distribusi melintang curah hujan, evaporasi dan tingkat salinitas.
Stabilitas isotherm laut dan atmosfir
Stratifikasi di laut dan atmosfir terjadi akibat perbedaan suhu dan tekanan. Perbedaan tekanan dikonversikan dalam hal salinitas atau
kerapatan masa jenis di laut.
- Proses konveksi di laut dan atmosfir
- coupling atmosfir dan laut
Hadley and Walker cell
BAB IV
Iklim Indonesia
Sifat iklim daerah tropis
Iklim daerah tropis ditandai dengan tingginya curah hujan dan evaporasi. Akibat dari kedua proses tersebut, daerah tropis memiliki
tutupan awan yang tinggi yang mengakibatkan rendahnya jumlah radiasi dipermukaan. Sebenarnya jumlah radiasi dalam bentuk
energi gelombang pendek terbanyak diterima didaerah tropis. Akan tetapi tutupan awan menghalangi radiasi masuk. Selain itu awan

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 7/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

berfungsi sebagai cermin dimana nilai albedo yang sangat kecil sehingga jumlah radiasi yang dipantulkan oleh awan sangat tinggi
dan hanya lebih kecil daripada tutupan es didaerah kutub. Karena pesatnya proses curah hujan dan evaporasi, maka daerah tropis
merupakan daerah yang paling lembab di muka bumi, terutama daerah tropis yang berada diatas pulau. Hal ini karena pulau-pulau
berfungsi sebagai pusat aktivitas konveksi atau pusat pertumbuhan awan terutama didaerah pesisir. Untuk lautan, kuatnya proses
hujan dan evaporasi mengakibatkan daerah tropis memiliki nilai salinitas yang rendah terutama pada waktu musim hujan dimana
terdapat kontribusi besar aliran sungai didaratan. Perbedaan salinitas antara puncak musim hujan dan puncak musim kering tidak
terlalu drastis jika dibandingkan oleh perbedaan suhu muka laut. Meskipun demikian perbedaan suhu muka laut didaerah tropis tidak
sedemikian besar dibandingkan dengan daerah non tropis. Perbedaan terbesar dari normal untuk suhu muka laut lebih disebabkan
oleh faktor luar seperti Cold Surge di laut Cina Selatan pada bulan januari hingga maret, ENSO atau Indian Dipole. Meskipun
perbedaan suhu muka laut maksimum dan minimum tidak terlalu besar, tetapi pengaruh terhadap jumlah curah hujan sangat besar.
Peningkatan suhu muka laut sedikit dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air yang mendorong tingginya curah hujan. Dapat
dikatakan, daerah tropis berada diambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum dan minimum. Karena
faktor luar sangat tidak dominan, seperti siklon tropis, maka pengaruh perubahan suhu muka laut terhadap curah hujan lebih
dominan. Sebagai hasilnya kemanapun perubahan atau peramalan cuaca dan iklim didaerah tropis jauh lebih baik untuk skala
bulanan hingga semi tahunan dibandingkan untuk skala harian hingga bulanan.
Selain tingginya nilai curah hujan dan evaporasi, daerah tropis ditandai dengan lemahnya angin permukaan dan tingginya tekanan
udara permukaan. Perubahan tekanan udara juga relatif kecil dibandingkan skala perubahan waktu sehingga sulit terjadi
pembentukan angin kencang. Hal yang terakhir ini juga didukung oleh lemahnya gaya coriolis bumi di daerah tropis yang
menyebabkan tidak mungkinnya didaerah tropis terbentuk atau menjadi lintasan siklon tropis. Daerah yang bebas siklon tropis
biasanya antara 10 LU dan 10 LS. Meskipun tidak menjadi tempat tumbuh dan lintasannya, daerah tropis mendapat imbas dari
siklon tropis yang lewat pada ekornya. Biasanya menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi didaerah ekor siklon.
Sedangkan daerah yang jauh dapat mengalami kekurangan awan karena tertarik kedaerah siklon.
Angin permukaan untuk daerah tropis umumnya rendah yang mana berlawanan dengan angin pada level atas yang umumnya relatif
kencang. Salah satu penyebab lemahnya angin permukaan adalah karena kecilnya perbedaan tekanan udara permukaan di daerah
tropis. Pada musim hujan, akibat kuatnya suplai udara basah dan konveksi udara, sirlasi angin kencang pada level atas terganggu
sehingga angin pada level tersebut lebih lemah dari pada musim kemarau. Lemahnya angin permukaan didaerah tropis membawa
konsekuensi lemahnya sirkulasi arus laut di daerah tropis jika dibandingkan dengan daerah non tropis. Pengaruh faktor luar dapat
merubah ini. Seperti contohnya Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang konsisten selalu mengalir dari Samudera Pasifik ke
Samudera India melewati benua maritim Indonesia. Arus ini mengalir lebih bukan karena pengaruh angin permukaan tetapi karena
tekanan massa air permukaan di daerah kolam hangat (warm pool) disebelah utara pulau Irian. Meskipun angin permukaan lemah,
tetapi pola tahunannya berubah-ubah mengikuti pola monsoon, sehingga pola sirkulasi arus laut Indonesia secara umum dapat
diprediksi.
Pembagian iklim Indonesia
Pola iklim di Indonesia didominasi sifat monsoonal karena pergerakan titik kulminasi matahari dari bumi belahan utara ke selatan
dan sebaliknya dalam skala setengah tahunan. Hal ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim hujan dan
puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang telah dikembangkan oleh BMG, jika hujan diatas 150 mm, maka dikategorikan bulan
basah, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan disebut bulan kering. Meskipun dipengaruhi monsoon, tidak
semua daerah Indonesia memiliki pola iklim tahunan yang serupa. Untuk daerah selatan Indonesia, memiliki satu puncak hujan dan
satu puncak kemarau. Sedangkan untuk daerah sebelah utaranya dapat memiliki dua puncak hujan dan dua puncak bawah. Pada
daerah tengah dan utara Indonesia, terkadang disebut daerah iklim ekuatorial dimana tidak jelas nampak perbedaan puncak musim
kemarau dan hujan pada pola tahunannya. Kedua puncak atas terjadi pada saat titik kulminasi matahari melewati daerah tersebut.
Dan kedua puncak bawah terjadi pada saat titik kulminasi meninggalkan daerah tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada saat
pergantian tahun dan puncak musim kemarau terjadi pada pertengahan tahun. Wilayah Indonesia bagian selatan hanya memiliki satu
puncak atas dan satu puncak bawah karena pergerakan monsoon berhenti didaerah tersebut. Hal ini karena di Samudera Indonesia
sebelah selatan kepulauan Indonesia tidak terdapat pulau-pulau lagi yang menjadi pusat konveksi.
Selain variasi utara-selatan, terdapat variasi barat-timur pola iklim di wilayah Indonesia. Untuk wilayah bagian selatan, semakin ke
timur maka musim kemarau akan semakin panjang. Hal ini dikarenakan lebih cepatnya pusat konveksi meninggalkan daerah
tersebut mengikuti pola kulminasi matahari. Selain bergerak utara-selatan, pergerakan suhu laut di wilayah maritim Indonesia
sebenarnya juga bergerak dari arah barat laut-tenggara. Sehingga daerah ini lebih banyak mengalami musim kemarau.
Perkecualian pola iklim diatas terjadi di wilayah Maluku Utara dimana pola iklimnya berbalik belakang dari pola iklim monsunal

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 8/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

umum wilayah lain Indonesia. Puncak dari musim hujan bukannya terjadi pada akhir tahun tetapi pada pertengahan tahun. Apabila
diteliti lebih lanjut, ternyata anomali iklim ini lebih disebabkan oleh aliran arus laut di daerah tersebut. Pada pertengahan tahun, arus
laut hangat mengalir dari daerah kolam hangat di utara pulau Irian masuk ke laut utara Maluku. Akibatnya daerah ini mengalami
puncak musim hujan. Pada pertengahan tahun yang lain, arus laut dingin mengalir ke daerah ini dan menghambat pertumbuhan
daerah konvektif di wilayah ini. Akibatnya pola iklim tahunan lebih diatur oleh pola arus laut permukaan dan menunjukkan pola
kebalikan dan pola monsoon umumnya. Pengaruh arus laut terhadap pola iklim tahunan juga terjadi pada wilayah lainnya. Pada
bulan Januari hingga Maret, di wilayah laut Cina Selatan terjadi peristiwa cold surge dimana arus laut dingin mengalir dari sebelah
utara dan membawa akibat penurunan curah hujan secara drastis di wilayah ini. Apabila cold surge tidak terjadi, daerah ini akan
mengalami pola ekuatorial seperti daerah lainnya. Dengan adanya cold surge ini, wilayah sekitar laut Cina Selatan tersebut akan
mengalami perbedaan pola curah hujan yang mencolok pada bulan sekitar kejadian cold surge. Cold surge terjadi karena di Siberia
pada puncak musim dingin (winter) memiliki tekanan udara yang tinggi. Tekanan udara tinggi ini mendorong aliran angin
permukaan ke selatan yang mendorong aliran arus ke selatan. Aliran arus laut permukaan ini bersifat dingin karena di bumi belahan
utara sedang mengalami puncak musim dingin. Dari uraian diatas, kita melihat peranan laut dalam membentuk pola iklim di wilayah
Indonesia dan berfungsi sebagai interaksi laut atmosfer.
Monsoon, ITCZ dan Enso
Monsoon adalah fenomena iklim global dimana terjadi perubahan iklim di atmosfer dan laut. Penyebab utama dari fenomena ini
adalah pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara selatan. Fenomena monsoon selain mengikuti fungsi
kulminasi matahari juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat konveksi. Sehingga pergerakan daerah
fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara selatan.
Pergerakan titik pusat konveksi membawa akibat daerah pumpunan awan konvektif lintas benua yang dikenal dengan istilah Inter
Tropical Convergence Zone (Daerah Konvergensi Lintas Tropis). Daerah ini memiliki ciri, tempat kumpulan awan, tempat
bertemunya angin pasat timur laut dan tenggara dan daerah dengan suhu muka laut maksimum. Pergerakan arus laut yang
diakibatkan oleh pola monsoonal ini menyebabkan perubahan distribusi ikan pada kedua musim tersebut. Perubahan di laut juga
terjadi karena penurunan suhu laut permukaan pada musim kemarau yang mengakibatkan beberapa jenis ikan dalam naik ke level
kedalaman laut yang lebih tinggi.
Fenomena monsoon adalah gejala alam umum yang terjadi pada skala waktu tahunan di Indonesia. Variasi pola umum ini berubah
akibat proses pemanasan global atau karena fluktuasi gejala ENSO. ENSO adalah fenomena global yang membawa implikasi laut
Indonesia lebih dingin pada kejadian El Nino dan lebih hangat pada kejadian La Nina. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah hujan
pada tahun La Nina dan penurunannya pada tahun El Nino. Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsoonal yang mengatur pola
sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Nini dan La Nina ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim
inilah arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia dengan implikasi perubahan akibat kedua fenomena global
tersebut. Sedangkan pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena global tersebut dihambat oleh tidak didukungnya pola arus
laut, dimana pola arus permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas, maka pengaruh El Nino akan lebih
memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim kemarau, sedangkan La Nina lebih
bukan merupakan bencana karena terjadi juga di musim kemarau yang tidak terlalu kering.
Diurnal, MJO, Interannual
Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non tahunan seperti pada frekuensi yang
lebih tinggi seperti harian intra seasonal dan frekuensi rendah seperti faktor inter tahunan. Wilayah tropis memiliki ciri faktor harian
yang kuat karena tidak adanya perbedaan suhu permukaan dan tekanan yang besar antar selang waktu berbeda. Konsekuensinya
adalah sirkulasi angin permukaan yang lemah didaerah ini. Kekurangan dari faktor angin permukaan yang lemah akan menyebabkan
kuatnya pengaruh angin lokal seperti angin darat dan laut, angin lembah dan gunung dan angin danau. Angin-angin ini ditambah
dengan besarnya perbedaan radiasi matahari menyebabkan dominannya faktor harian diurnal. Faktor diurnal merupakan perbedaan
antara siang dan malam akibat kondisi lokal diatas.
Untuk skala intra seasonal atau antara 30 ? 90 hari, terdapat dominasi pengaruh pergerakan daerah konveksi dari Samudera India ke
arah timur. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya.
Variabilitas atau osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian Oscillation (MJO) sesuai nama pencetusnya.
Pergerakan MJO lebih mengikuti keberadaan ITCZ, yaitu ke daerah selatan pada waktu puncak musim hujan dan kearah utara pada
waktu puncak musim kemarau.
Pengaruh dari osilasi inter-tahunan lebih terjadi pada skala panjang seperti 2 tahunan akibat perubahan atmosfir atas, 11 tahunan
akibat perubahan aktivitas matahari dan lebih panjang lagi akibat perubahan iklim global karena proses pemanasan di muka bumi.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 9/22 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:37:16 2017 / +0000 GMT

BAB V
Proses Interaksi Laut Udara Lokal dan Regional
Easterly waves - MJO di Indonesia
Easterly waves atau terjemahannya gelombang ke timur terjadi di berbagai belahan dunia. Penjalaran gelombang di timur yang
dikenal dengan easterly waves terjadi sebenarnya di samudra atlantik dari benua amerika selatan menuju pantai afrika. Penjalaran
gelombang ditandai dengan timbulnya siklon tropis yang menjalar ke arah timur. Peristiwa easterly wave yang digambarkan disini
biasanya terjadi di permukaan laut yang merupakan gejala interaksi laut atmosfir dimana selain tekanan udara juga terjadi perubahan
suhu permukaan laut yang pada akhirnya menghasilkan siklon tropis. Untnk daerah lain seperli di daerah dekat kutub (diatas lintang
60 derajat) dikenal juga gelombang menjalar ke timur yang disebut dengan rossby wave. Penjalaran gelombang ini ditandai dengan
perubahan tekanan udara naik dan turun dalam perioda sekitar 10 harian ditandai dengan kenaikan dan turunnya tekanan permukaan.
Dengan kenaikan maka udara menjadi cerah dan sebaliknya akan menyebabkan udara dalam kondisi hujan. Pcnyebab udara cerah
karena pada pusat tekanan tinggi masa udara akan menjauh dan uap air juga sehingga tidak ada suplai udara basah yang mendukung
turunnya hujan.
Untuk daerah benua maritim Indonesia penjalaran gelombang ke timur juga terjadi yang dikenal dengan istilah Madden Julian
Oscillation yang merupakan istilah dari kedua nama penemu gelombang ini. Serupa dengan yang terjadi di samudra Atlantik, gejala
ini juga terjadi di samudra India dan peristiwa yang dimulai di laut akan berakibat pada daerah hujan yang mana daerah hujan ini
akan bergerak ke arah timur masuk di kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur. Apabila
peristivva tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur ITCZ yang sedang
berada di bumi belahan selatan. Apabila penjalaran terjadi pada saat musim kemarau