ching_ching. 1603KB Mar 29 2010 05:00:08 AM
___________________________________________________________________________
Di sebuah hutan kecil dua orang gadis cilik tampak berlari-lari di antara
pepohonan. Keduanya sedang mengejar kupu-kupu. Yang seorang tampak lebih tua
dari yang lain. Itulah Lan Siu Yin, anak dari Lan Man Fung. Umurnya baru tujuh
tahun. Sikapnya lemah lembut, namun agak cengeng seperti kebanyakan bocah
lainnya. Sayang, dalam usianya yang masih muda ia sudah yatim piatu sehingga
kini diasuh saudara seperguruan ayahnya, Lie Chung Yen.
Seorang lagi adalah Lie Mei Ching, sepupu Lan Siu Yin. Selisih umrunya hanya
setahun lebih muda. Berbeda dengan Siu Yin, Ching-ching lincah sifatnya,
periang, dan pemberani. Kuncir rambutnya tak pernah diam, selalu
bergoyang-goyang. Bibirnya yang mungil selalu berceloteh sambil sesekali melirik
piauw-cienya (kakak sepupu perempuan).
“Ching-moay (Adik Ching),” kata Siu Yin beberapa waktu setelah mereka berjalan
mengelilingi hutan, “baiknya kita pulang saja. Aku sudah cape, lagipula sebentar
lagi kita harus belajar. Sian-seng (Guru pelajaran sekolah) tentu sudah menunggu
kita.”
“Ah, Yin Cie-cie (Kakak Yin) selalu begitu. Kecapean setiap kali jalan-jalan.
Kita belum sampai di sungai kecil di sana itu. Aku ingin menangkap ikan,” kata
Ching-ching cemberut merajuk. Gadis manja itu menarik lengan baju sang
piauw-cie. “Ayolah, mumpung kita dikasih izin keluar rumah.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ching-ching berlari mendului. Ia tahu piauw-cienya
akan terpaksa mengikuti. Dan memang itulah yang terjadi. Sambil menghela napas
Siu Yin mengikuti. Ia tak berani pulang sendiri sekalipun rumah mereka tak
seberapa jauh dari sana.
Begitu sampai di sungai kecil, Ching-ching segera melepas sepatu dan menggulung
lengan baju serta ujung celananya. Ia pun segera masuk ke air. Di tepi sungai,
Siu Yin berteriak-teriak mengingatkan,
“Ching-moay, hati-hati. Nanti bajumu basah. Kau bisa sakit. Sudah, kalau mau
ikan, beli saja di pasar.”
“Ah, tidak enak. Lebih enak ikan tangkapan sendiri. Nanti dibakar dan kita makan
berdua,” sahut Ching-ching. “Cie-cie, kau tidak ikut turun? Di sini asyik,
sejuk. Airnya dingin.”
Siu Yin menggeleng. “Tidak, ah, nanti bajuku basah.”
“Alaa, basah sedikit tidak apa-apa,” kata Ching-ching seraya mencipratkan air
Ching Ching
1
sungai pada Siu Yin. Piauw-cienya menjerit dan menjauh, kemudian duduk di bawah
pohon mengawasi piauw-moaynya (adik sepupu perempuan) menangkap ikan.
Ching-ching mencoba menangkap ikan-ikan besar. Tapi betapa sulitnya. Beberapa
kali ia sempat memegang beberapa ikan yang besar, namun selalu terlepas lagi.
“Heran, kenapa sih badan ikan itu licin bukan main? Jadi sulit menangkapnya,”
gumam Ching-ching kesal.
Ching-ching tidak putus asa. Ia masih mencoba menangkap beberapa ekor ikan yang
lewat di dekatnya. Nah, itu ada seekor yang besar sekali! Ching-ching
mengendap-endap mendekati. Lalu dengan sangat cepat, tangannya terulur menangkap
ikan itu! Dapat!
“Cie-cie, lihatlah! Aku dapat! Aku dapat! Besar sekali!”
Siu Yin cepat-cepat mendekati. Ching-ching mengangkat ikan itu tinggi-tinggi,
mencengkeram kuat-kuat dengan kedua tangannya yang kecil. Ikan gemuk yang berat
itu menggelepar-gelepar. Ching-ching kerepotan jadinya. Tapi, anak bandel itu
tak berniat melepaskan lagi.
“Lihat, Cie-cie,” katanya pada Siu Yin. “Cepat cari kayu. Wah, makan besar kita.
Cepat, ambil kayu bakar—“
Tiba-tiba saja Ching-ching terpeleset. Badannya terjengkang ke belakang. Dengan
suara berdebur, ia jatuh ke dalam air.
Byur! Suara ceburan terdengar lagi. Siu Yin nekat mencebur untuk menolong
adiknya. Tapi, alih-alih mau menolong, ia sendiri tergelincir. Siu Yin panik. Ia
tak pernah masuk ke sungai sebelumnya, sekarang malah terseret arus sungai yang
cukup deras. Gelagapan, Siu Yin mencengkeram apa saja yang ada di dekatnya.
Ching-ching berdiri. Air sungai memang tak sampai sepinggangnya. Ia tertawa
gembira. “Cie-cie, kau pun ikut basah jadinya.”
Namun, melihat gerakan-gerakan Siu Yin yang tak terkendali, gadis kecil yang
cerdas itu segera mengerti. Diraihnya lengan Siu Yin dan diseretnya ke tepi.
Berat juga, apalagi pakaian Siu Yin basah kuyup semua.
Ching-ching membaringkan piauw-cienya di tanah. Ia ketakutan melihat Siu Yin
yang pucat dan diam tak bergerak.
“Cie-cie, bangunlah. Cie-cie, ayo bangun, jangan diam saja. Kau belum mati, kan?
Ayolah, jangan kau takuti aku.”
Siu Yin masih diam saja. Ching-ching makin mengguncangkan badannya.
“Cie-cie, ayo bangun. Kita pulang saja. Bukankah Sian-seng menunggu kita?
Ayolah, katanya takut diomeli Thia-thia (Ayah) kalau terlambat.”
Ching-ching semakin ketakutan melihat Siu Yin tak bergerak. Tanpa terasa air
matanya mengalir. Kemudian ia mendapat akal. Dicipratkannya air sungai ke wajah
Siu Yin.
Benar saja. Kelopak mata Siu Yin bergerak. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan air
yang sempat membikin kembung perutnya. Ching-ching cepat-cepat membantunya duduk
dan mengurut-urut punggung piauw-cienya.
Setelah memuntahkan air yang tertelan, Siu Yin merasa lebih enakan. Dibantu
Ching-ching, ia berdiri. “Ching-moay, kita pulang saja sekarang.”
Ching-ching mengangguk. Tanpa sengaja ia melihat tangan kanan Siu Yin yang
mengepal. “Yin Cie-cie, apa yang kau genggam itu?”
Siu Yin membuka genggaman tangannya. Dengan mata terbelalak ia menatap benda di
tangannya.
“Ih!” serunya jijik seraya melemparkan benda yang ternyata seekor ikan kecil
yang mati kehabisan napas. Rupanya ketika kelelep tadi, tanpa sadar ia
mencengkeram ikan kecil yang lewat di dekatnya.
Ching Ching
2
“Yin Cie-cie, kau menangkap ikan ini?” Ching-ching mengambil ikan itu dengan
menjepit ekornya dengan jari telunjuk dan jempol. “Hei, kita bawa pulang saja.
Pasti lucu jadinya kalau ikan ini kita masukkan ke dalam baju Sian-seng.”
Ching-ching tergelak-gelak membayangkan hal itu.
Siu Yin menggeleng-geleng. “Ching-moay, jangan keterlaluan. Kau ingat waktu kau
iseng menggunting kumis Sian-seng kemarin dulu? Siok-siok (Paman) marah sekali.
Dan kau dihukum rotan 12 kali sampai tak dapat duduk berhari-hari lamanya.
Masakan kau belum kapok juga?”
Ching-ching meringis. Walaupun hukulan itu sudah tak berbekas lagi, tapi kalau
ingat, sakitnya masih tak terasa. Tidak, ia tak mau dihukum lagi. Lebih baik
dibuangnya saja ikan itu. “Aku pun tak mau dirotan lagi,” kata anak itu.
“Baiknya kita pulang saja sebelum Thia-thia mencari. Tapi … Cie-cie, jangan
bilang-bilang, kalau aku main air di sungai.”
Siu Yin mengangguk. Tak terpikir olehnya bahwa bajunya yang basah akan
menyatakan kebenaran. Sambil bergandengan tangan, kedua anak itu berjalan
pulang.
Lie Chung Yen sedang berbincang-bincang dengan Meng Sian-seng. Ia ingin tahu,
sampai di mana tingkat pelajaran anaknya.
Meng Sian-seng menghela napas sebelum menjawab. “Lan Sio-cia anak yang baik. Dia
sangat menyukai sastera, lukis, dan sejarah.”
“Bagaimana dengan anakku Ching-ching?”
“Ching-ching sebenarnya amat pandai. Ia anak yang cerdas. Daya ingatnya kuat. Ia
mudah menangkap apa yang diajarkan. Tapi … sering kali konsentrasinya tidak pada
pelajaran. Kelihatannya ia lebih tertarik kepada ilmu silat daripada pelajaran.
Saat belajar, ia lebih sering memperhatikan murid-murid yang berlatih di ruang
belajar daripada apa yang kukatakan.”
“Kalau begitu mulai besok aku akan menyuruh murid-muridku berlatih di kebun
belakang saja.”
“Sebenarnya itu tak perlu,” kata Meng Sian-seng sungkan.
“Tidak apa-apa,” potong Lie Chung Yen. “Ini demi anakku juga, bukan? Ah, ya.
Bukankah ini waktu anak-anak belajar? Kalau begitu aku tak akan mengganggu lagi
Meng Sian-seng.” Lie Chung Yen minta diri. Ia melangkah ke luar dan hampir saja
ia bertubrukan dengan anak dan kemenakannya.
“Thia-thia!” Ching-ching berseru kaget.
“Ching-ching, Siu Yin, dari mana kalian?”
“Dari … dari …,” Siu Yin menjawab terbata.
“Kami habis bermain layangan,” jawab Ching-ching.
Lie Chung Yen menatap Siu Yin yang cepat-cepat menunduk dengan wajah memerah.
Melihat gelagatnya, tentu Ching-ching telah berbohong. Belum lagi rambut Siu Yin
yang basah sekalipun pakaiannya kering. “Siu Yin, dari mana kalian?”
“Dari bermain—“ Ching-ching menjawab lagi.
“Thia-thia tidak tanya kau!” bentak ayahnya.
Ching-ching langsung mengkeret. Siu Yin ngeri juga. Seperti biasa, air matanya
langsung mengalir.
Chung Yen iba melihatnya. Namun ia tak berkata apa-apa. “Kenapa rambutmu basah?”
tanyanya dengan nada lunak.
Siu Yin tidak berani berbohong lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan apa
adanya.
Ching-ching meringis. Keringat dingin mengalir. Ia tahu sebentar lagi pasti ia
dihukum. Thia-thianya pernah bilang, sekalipun tidak berbahaya, ia tak boleh
Ching Ching
3
main ke sungai kecil. Di sana sepi. Kalau ada apa-apa, tentu tak ada yang bisa
menolong.
Lie Chung Yen melirik anaknya. Anak itu mesti diajar adat supaya jadi orang
baik-baik kelak. Sebenarnya Chung Yen tidak tega. Ia sangat sayang pada anaknya.
Dan setiap hukuman yang diterima Ching-ching seolah-olah dia sendiri yang
merasakan.
“Siu Yin, pergilah ke kamarmu,” katanya setelah mendengar penuturan anak itu.
Siu Yin segera berlari, tapi diam-diam ia bersembunyi di balik tembok untuk
mengetahui apa hukuman yang akan diterima moay-moaynya.
Lie Chung Yen mengetahui hal ini, tapi tak apa pun dibuatnya. Ia tak pernah tega
menghukum Siu Yin. Anak itu penurut. Kalau tidak karena Ching-ching, tentu tak
akan berbuat nakal. Sifatnya lembut, dibentak sedikit saja air matanya mengalir
tak terhenti. Melihat anak itu menangis, Chung Yen selalu teringat akan pesan
soe-hengnya (kakak seperguruan laki-laki) yang terakhir untuk menjaga Siu Yin.
Ching-ching memandang kepergian piauw-cienya dengan lega. Rasanya ia tabah
menerima hukuman apa saja asal tak ada Siu Yin di sana. Siu Yin selalu menangis
kalau melihat ia dihukum. Hal ini menyebabkan ia ikut menangis juga. Bukan
karena hukumannya, tapi melihat Siu Yin menangis, siapa pun akan teriris
hatinya.
Lie Chung Yen menggendong anaknya dengan sayang. Ching-ching melingkarkan tangan
ke leher ayahnya. Ia tahu sekalipun sering dihukum, itu adalah karena salahnya
sendiri, bukan karena Thia tidak sayang padanya. Ibunya pernah mengatakan bahwa
justeru karena sayang maka ia dihukum.
“Kenapa Yin Cie-cie tak pernah dihukum?” tanya Ching-ching waktu itu. “Apakah
Thia-thia tak sayang padanya?”
“Yin Cie-cie itu anak penurut. Kalau tidak karena kamu, mana mau ia melanggar
kata-kata thia-thiamu,” jawab ibunya sambil tertawa.
Lie Chung Yen membawa anaknya ke ruang baca. Ada suara langkah kaki-kaki kecil
di belakangnya. Namun, berlagak tidak mendengar, ia berjalan terus.
“Berlutut!” perintah Chung Yen pada anaknya begitu sampai di ruang baca. “Jangan
berdiri sebelum kuijinkan.”
Ching-ching menurut walaupun ia tahu bahwa hukuman berlutut akan berlanjut.
Paling tidak sampai matahari terbenam nanti.
Di luar Siu Yin berlari-lari menjauh. Dengan pandangan kabur karena air mata, ia
mencari siok-bonya (bibi) untuk minta ampunan bagi Ching-ching walaupun biasanya
Lie Chung Yen tetap pada pendiriannya.
“Tahu apa kesalahanmu?” tanya Chung Yen pada anaknya.
Ching-ching mengangguk. “Karena main ke sungai kecil, melanggar larangan
Thia-thia,” jawabnya.
“Tahu kesalahanmu yang lain?”
Ching-ching menggeleng. Ia mengerutkan kening, berpikir.
“Kau nyaris mencelakakan cie-ciemu. Kau tahu?” Chung Yen menghela napas.
“Ching-ching, dalam setiap perbuatanmu, jangan sampai kau mencelakakan orang
lain, mengerti?”
Dalam usianya yang enam tahun, Ching-ching sulit mencerna kata-kata ayahnya.
Tapi dengan pikiran anak-anaknya, ia dapat mengerti inti kalimat itu.
“Oh ya,” kata ayahnya lagi. “Meng Sian-seng bilang kau sulit konsentrasi pada
pelajaranmu. Katanya, kau lebih tertarik pada murid-murid yang sedang berlatih.
Betul begitu?”
Ching-ching mengangguk lagi.
Ching Ching
4
“Kau mau belajar silat?” tanya Chung Yen lagi.
Ching-ching menatap ayahnya tak percaya. Ia membelalak dengan pandangan
bertanya. Ketika ia lihat ayahnya mengangguk dengan wajah sungguh, barulah ia
menjawab. “Tentu mau, Thia-thia,” katanya bersemangat.
“Sebetulnya kau terlalu kecil untuk itu,” gumam ayahnya pelan. “Baiklah. Kau
boleh belajar silat, tetapi dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, Thia?”
“Kau harus bisa membagi antara pelajaran silat dengan apa-apa yang diajarkan
Meng Sian-seng. Kau tak boleh meninggalkan salah satunya. Kau sanggup?”
“Sanggup, Thia.”
“Mau berjanji?”
“Tentu.”
“Seorang pendekar selalu menepati janji,” kata Chung Yen. “Kalau pelajaranmu
minggu ini baik, Thia-thia akan mengajarimu silat minggu depan.”
Lie Chung Yen bangkit. Ia melangkah keluar. Ching-ching masih harus menjalani
hukumannya. Namun, anak itu tidak lagi peduli. Yang ada di otaknya hanyalah
silat dan silat. Ia akan menjadi sehebat ayahnya kelak. Mungkin ia akan
mendirikan perguruan sendiri. Atau meneruskan perguruan ayahnya. Ah, hebat
sekali nampaknya.
Lie Chung Yen tersenyum melihat anaknya begitu bersemangat. Namun ia tahu,
Ching-ching cepat sekali bosan akan sesuatu. Mungkin nantinya ia akan menganggap
pelajaran lebih menyenangkan daripada silat sebab berlatih silat, selain teori,
dibutuhkan pula kesabaran dan ketekunan. Apalagi pada tingkat permulaan.
Pelan-pelan Chung Yen meninggalkan kamar itu.
Di luar, Han Mei Lin menghampiri. “Suamiku, apa lagi yang dibuat anak kita hari
ini?” tanyanya.
“Ia main ke sungai kecil dan hampir-hampir mencelakakan Siu Yin.”
“Ooo, pantas barusan Siu Yin berkali-kali menyalahkan dirinya atas hukuman
Ching-ching.”
“Siu Yin bercerita kepadamu?”
“Ya, ia mencariku supaya memintakan ampunan bagi Ching-ching. Tapi ceritanya
terputus-putus, sehingga aku hanya dapat mengira-ngita saja apa yang terjadi.”
“Dia lakukan itu? Padahal aku menyuruhnya tinggal di kamar. Ah, rupanya ia juga
ketularan bandelnya Ching-ching.”
Istrinya tertawa. “Melihat mereka berdua, aku ingat akan kau dan soe-hengmu
selagi muda. Kalian begitu akur. Semua pekerjaan dikerjakan bersama,
susah-senang ditanggung berdua. Padahal sifat kalian berbeda sekali. Sekarang
Ching-ching mewarisi kenakalan ayahnya. Itu bukan salahnya.”
Chung Yen tersenyum. Sewaktu kecil ia memang sebandel anaknya. Lebih malah.
Karena itu ia sering dihukum oleh gurunya. Dan tiap kali ia dihukum,
soe-hengnya, ayah Lan Siu Yin, menemani sekalipun kesalahan jelas-jelas ada
padanya.
Sayang, sekarang Lan Man Fung sudah tiada. Tapi ia menitipkan Siu Yin padanya.
Maka dari itu, ketika mendengar Siu Yin hampir celaka, ia menjadi gusar. Dalam
pikirnya, andaikan Siu Yin tidak tertolong, entah bagaimana ia menghadap
soe-hengnya kelak.
Chung Yen menghela napas. “Lin-moay, aku ada urusan sedikit. Aku harus pergi ke
pertemuan para pendekar. Barangkali baru besok pagi bisa pulang. Ching-ching ada
di dalam. Begitu aku pergi, boleh kau lepaskan dia.”
Han Mei Lin mengantar suaminya keluar. Lalu ia pergi mendapati anaknya yang
Ching Ching
5
masih berlutut di ruang baca. “Ching-ching,” panggilnya.
Ching-ching menoleh. “Nio (Ibu)!”
“Ching-ching, apa yang kau buat hingga Thia-thia menghukummu?”
“Aku mengajak Yin Cie-cie ke sungai kecil untuk menangkap ikan. Waktu dapat ikan
besar, tiba-tiba saja terpeleset. Yin Cie-cie mau menolong, tapi ikut
tergelincir dan tercebur ke sungai.”
“Ching-ching, kalau cuma menangkap ikan, buat apa jauh-jauh. Di kolam belakang
kan ada. Lebih besar dan gemuk pula.”
“Ikan-ikan di kolam itu gemuk dan lamban, Nio. Menangkapnya terlalu mudah. Di
sungai kecil ikannya langsing dan gesit. Biarpun lebih sulit, tapi lebih
menyenangkan.”
“Baiklah, baiklah,” ibunya mengakui. “Sekarang bangkitlah. Ini waktumu belajar,
bukan? Hayo, jangan biarkan Sian-seng menunggu terlalu lama.”
“Tidak, Nio, aku tidak boleh berdiri sampai Thia-thia mengijinkan.”
“Thia-thia sudah mengampunimu. Ia sudah katakan pada Nio untuk melepaskanmu.”
“Tapi … tapi ….”
“Kenapa? Kau tidak percaya pada Nio?”
“Bukan, bukan begitu,” jawab Ching-ching buru-buru. “Tentu saja aku percaya pada
Nio. Tapi orang yang berbuat salah mesti dihukum. Dan hukuman itu harus sesuai
kesalahan. Kalau Thia-thia bilang berlutut, aku akan berlutut sampai Thia-thia
ijinkan Ching-ching berdiri.”
Han Mei Lin menatap dalam-dalam mata anaknya. “Ini bukan akalmu untuk menghindar
dari pelajaran, bukan?” katanya curiga.
“Nio, kalau Nio tidak percaya, biarlah Meng Sian-seng mengajar di kamar baca ini
supaya aku bisa ikut belajar.”
“Ching-ching, kau benar-benar tidak akan berdiri sebelum thia-thiamu pulang?
Mungkin thia-thiamu pulang esok pagi, apakah kau tahan?”
Ching-ching mengangguk tegas. Paling-paling kakinya pegal-pegal nantinya.
Ibunya pun tidak dapat lagi membujuk anaknya. “Kau betul-betul keras kepala
seperti ayahmu,” gumamnya. “Baiklah, biar Nio panggil Meng Sian-seng supaya
mengajar di sini.”
Siang itu Meng Sian-seng boleh bergembira. Lie Mei Ching menjadi anak terbaik
yang pernah dilihatnya. Sekalipun sambil berlutut sekian lama, anak itu dapat
belajar dengan baik. Sekali dengar saja, apa yang dikatakan gurunya dapat
diulangi dengan tepat.
Siu Yin yang belajar bersamanya pun merasa senang. Kalau tiap hari Ching-ching
seperti hari ini, tentu piauw-moaynya itu tak akan lagi dihukum dan mereka dapat
bermain bersama seharian.
Sampai malam menjelang, Ching-ching tak bergeser dari tempatnya. Ia menolak
ketika ibunya datang membujuk untuk tidur di kamarnya. Padahal, saat itu rasa
kantuk sudah menyerang Ching-ching. Tak berapa lama ia pun tertidur dalam
keadaan berlutut hingga tak tahu ketika ibunya datang menyelimuti dan meniup
padam lilin.
Pagi-pagi keesokan harinya Ching-ching merasa seluruh tubuhnya pegal dan kaku,
tapi ia tak merasakan apa-apa pada kakinya. Dan ketika ia membuka mata, ternyata
thia-thianya sedang duduk membaca.
“Thia-thia,” panggilnya, “kapan Thia-thia pulang?”
“Baru saja,” jawab ayahnya tersenyum. Ching-ching, kau tidak turuti kata ibumu
kemarin.”
“Kemarin aku tidak ke mana-mana, Thia. Sungguh. Bahkan belajar dan makan pun,
Ching Ching
6
aku berlutut,” Ching-ching cepat membela diri.
“Thia-thia tahu, tapi bukankah ibumu menyuruhmu berdiri kemarin?”
“Tapi … Thia-thia bilang …. “
“Sudahlah, sekarang kau boleh berdiri.”
Ching-ching mencoba berdiri. Dirasanya kakinya sakit sekali. Bertumpu pada meja
di dekatnya, ia berhasil berdiri. Namun, kakinya seolah tidak menapak tanah. Ia
pun terjatuh.
Sebelum tubuh anaknya menyentuh lantai, Lie Chung Yen sudah melompat dan
menyambar. Sebelum disadari oleh Ching-ching, gadis itu sudah berada dalam
gendongan ayahnya.
“Kakimu sakit sekali, bukan? Tapi tak apa. Besok pagi kau akan pulih kembali.
Anggap saja sebagai latihan permulaan perlajaran silatmu. Dan hari ini kau boleh
beristirahat seharian di kamar.”
“Tidak usah belajar?” tanya Ching-ching.
“Senang, ya, tidak usah belajar?” kata Chung Yen sambil memijit hidung gadis
ciliknya. Ching-ching tertawa dan menyandarkan kepala di pundak ayahnya.
Ching-ching sudah memulai pelajaran silatnya. Kini ia tak pernah bermain ke luar
rumah. Setiap ada kesempatan, ia berlatih silat. Pada permulaannya ia dan Siu
Yin belajar bersama-sama. Tapi Siu Yin yang lembut tidak menyukai
latihan-latihan yang berat. Padahal waktu itu mereka baru mempelajari kuda-kuda.
Tapi Ching-ching bertahan. Ia memang bosan belajar memperko-koh kuda-kuda yang
mengesalkan. Kaki direntang, lutut ditekuk hingga paha lurus. Punggung dan
kepala tegak. Lengan dan siku tegak lurus. Siku menempel di pinggang. Tangan
mengepal. Dan ia harus berdirid dengan sikap demikian berjam-jam.
Bagi gadis cilik yang lincah itu, latihan demikian amatlah berat. Dia yang
biasanya tak pernah diam, kini harus tegak bagai batu dengan konsentrasi penuh.
Kadang-kadang Ching-ching meminta murid ayahnya untuk mengawasi atau melatih,
tapi murid pemula ayahnya yang berumur antara 12-17 tahun malah lebih sering
menggoda. Untunglah dengan kebulatan tekadnya, dengan cepat Ching-ching dapat
menguasai kuda-kuda yang ko-koh.
Bahkan ia sudah dapat menguasai pukulan-pukulan yang berbahaya dalam waktu
singkat. Walaupun pukulan-pukulan itu tidak dibarengi lwee-kang (tenaga dalam),
tetapi sudah cukup terarah.
Bebareng dengan itu kemajuannya dalam pelajaran cukup pesat. Hampir-hampir
melampaui piauw-cienya yang rajin. Hal ini membuat Meng Sian-seng menyayanginya
dan guru itu dengan senang hati menuruti beberapa permintaan Ching-ching.
Misalnya melukis wajah Ching-ching, mengajarnya bermain suling dan memetik khim
(kecapi), dan kadang-kadang membebaskan muridnya dari pelajaran dengan bercerita
tentang pendekar-pendekar masa lampau.
Tetapi kehidupan demikian lama-lama membuat jenuh. Seperti hari ini, kebandelan
Ching-ching nampak kembali.
“Sian-seng, hari ini tak usah belajar sajalah.”
“Baik, kalau begitu aku akan bercerita tentang pendekar—“
“Hari ini aku tak berminat mendengarkan cerita,” potong Ching-ching cepat-cepat.
“Sian-seng, hari ini aku ingin bermain-main di luar. Boleh, ya?”
Meng Sian-seng ragu-ragu. Semalam ia keasyikan membaca buku sampai larut
sehingga hari ini merasa tidak bersemangat. Kalau ia dapat tidur sejenak,
barangkali akan lebih segar ketika bangun nanti.
“Baiklah,” katanya kemudian. “Tapi jangan lama-lama. Setelah bermain nanti,
kalian harus belajar lagi.”
Ching Ching
7
Ching-ching dan Siu Yin berlari keluar.
“Ching-moay,” kata Siu Yin, “akan main apa kita sekarang?”
“Tidak tahu,” jawab Ching-ching. “Aku akan berlatih silat saja, ah.”
Ching-ching menggerakkan tangan dan kaki seperti yang diajarkan ayahnya. Siu Yin
memandangnya dengan kagum.
“Siauw-sio-cia (Nona Kecil), latihanmu sungguh baik,” seseorang tiba-tiba
berkata. Ialah Sie Ling Tan, salah satu murid Pek-eng-pay (Partai Elang Putih)
pimpinan Lie Chung Yen, yang cukup berbakat, berumur 12 tahun.
“Tan Ko-ko (Abang Tan),” sapa Ching-ching. “Tumben kau tidak berlatih, biasanya
paling rajin.”
“Siauw-sio-cia, aku mau menghadiahkan ini pada Toasiocia (Nona Besar),” kata
Ling Tan sambil menyodorkan beberapa kuntum bunga kepada Siu Yin.
“Terima kasih,” kata Siu Yin lirih.
“Untukku mana?” tanya Ching-ching.
“Siauw-sio-cia, aku tak tahu kau suka bunga juga.”
“Memang tidak. Tapi kalau Yin Cie-cie diberi, aku juga mau.”
“Wah, aku tidak membawa. Aku hanya sempat memetik selembar daun ini saja.”
“Daun? Aku tak mau daun,” Ching-ching cemberut, merajuk.
“Tapi daun ini istimewa.”
“Apa istimewanya? Daun di mana-mana juga sama.”
“Yang ini lain. Lihat!” Ling Tan membawa daun kecil itu ke mulutnya. Terdengar
suatu siulan merdu. Ling Tan menyiulkan lagu yang gembira. Siu Yin dan
Ching-ching bertepuk tangan.
“Tan Ko-ko, ajari aku, ajari aku,” pinta Ching-ching.
“Bukankah kau cuma ingin bunga? Biar kucarikan,” kata Ling Tan. Anak laki-laki
itu berbalik.
Ching-ching menarik bajunya. “Tan Ko-ko, jangan begitu. Kau tahu aku tak peduli
pada bunga.”
Ling Tan tersenyum. Sekali lagi suatu siulan terdengar.
“Biar kucoba,” kata Ching-ching. Pfff, pfff. Ia meniup-niup, namun tak berhasil.
“Marilah kuajari.” Ling Tan membeli contoh. “Lihat, jepit ujung-ujung daun ini
dengan telunjuk dan jempol. Lalu pegang di depan bibir, melintang. Tiup begini
….”
Ching-ching mencoba berkali-kali. Setelah beberapa lama, sebuah siulan sumbang
berhasil keluar. “Huh, daunnya sudah jelek,” katanya. “Tan Ko-ko, di mana kau
dapatkan daun ini. Aku ingin juga memetiknya banyak-banyak.”
“Di hutan kecil,” jawab Ling Tan.
“Antar aku ke sana!” kata Ching-ching bersemangat.
“Ching-moay, jangan,” cegah Siu Yin. “Kita tak boleh main lama-lama. Kalau Lie
Siok-siok tahu kita tak belajar, bisa-bisa diomeli.”
“Tidak apa-apa,” Ching-ching bersikeras. “Sudah lama aku tidak diomeli. Kalau
sekarang mesti diomeli, ya tak apa.”
“Tan Ko-ko,” Siu Yin ganti memohon pula pada Ling Tan. “Jangan bawa Ching-moay
main jauh-jauh.”
“Siauw-sio-cia,” kata Ling Tan, “kau tunggulah di sini. Biar kuambilkan beberapa
lembar untukmu.”
“Tidak mau, aku mau ambil sendiri.”
“Kau kan tidak tahu tempatnya.”
“Karena itu Tan Ko-ko harus tunjukkan padaku.”
Ling Tan berdiri dengan bingung di tempatnya.
Ching Ching
8
Melihat itu, Ching-ching jadi kesal. “Kalau begitu biar kucari sendiri.”
“Eh, kau bisa tersesat, Siauw-sio-cia.”
“Makanya kau antar aku.”
Ling Tan terpaksa menuruti kehendak Ching-ching. Siu Yin ragu-ragu sejenak. Tapi
akhirnya ia ikut juga.
Di hutan kecil, Ling Tan menunjukkan tempat daun itu tumbuh. Ia juga memilihkan
bagi Siu Yin dan Ching-ching. Berlatih beberapa kali, Ching-ching sudah dapat
meniup dengan betul. Sementara Siu Yin sedari tadi sudah menyerah.
“Tan Ko-ko, ajari aku lagu yang lucu,” pinta Ching-ching.
Ling Tan mengajarinya sebuah lagu riang. Mendengar sekali saja Ching-ching sudah
dapat mengikuti.
“Lagunya bagus,” kata Siu Yin yang memang menyukai musik. “Siapa yang
mengajari?”
“Kukarang sendiri,” kawab Ling Tan bangga. “Tapi Toa-sio-cia jangan bilang
kawan-kawanku, ya. Bisa-bisa aku ditertawakan.”
Siu Yin tersenyum, memandang kagum. Anak sekecil ini bisa mengarang lagu? Hebat
betul.
“Tan Ko-ko, tolong petikkan beberapa helai daun di dahan yang tinggi itu!” kata
Ching-ching.
Ling Tan bangkit membantu. “Banyak amat, Siauw-sio-cia. Untuk apa?”
“Untuk persediaan. Supaya aku tak perlu bolak-balik kalau mau memainkan daun
ini.
Ling Tan tertawa. “Siauw-sio-cia, asal kau tahu saja, daun yang sudah layu tak
bisa lagi dimainkan.”
“Kenapa?”
“Karena daun yang layu itu lemas. Kalau ditiup, getarannya tidak pas, maka tak
dapat mengeluarkan bunyi.”
“Kalau begitu daun ini kutanam saja di kebun di rumah.”
“Mana bisa daun ditanam?” Siu Yin menyela.
“Habis bagaimana?” Ching-ching balas bertanya.
“Siauw-sio-cia, kalau mau menanam, ambil saja tumbuhan yang masih kecil.” Seraya
berkata demikian, Ling Tan mencabut tanaman yang masih kecil. “Tapi kau harus
menunggu cukup lama untuk mencabuti daunnya.
“Nah, aku sudah puas memetiknya. Ayo kita pulang sekarang.”
“Baiklah.”
Mereka melangkah pulang.
“A-hoa, A-hoa!” Tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga anak kecil itu berhenti mendadak. Dari kejauhan di balik pepohonan tampak
bayangan yang cepat sekali mendekat. Tiba-tiba saja di depan mereka telah
berdiri seorang laki-laki berumur 40-an yang tinggi besar. Rambut orang itu
acak-acakan. Kumis dan jenggotnya lebat. Alisnya tebal dan ia membawa pedang
besar di punggunggnya.
Siu Yin gemetar ketakutan. Ia merapatkan diri pada Ling Tan. Ching-ching
sebaliknya dari takut, malah maju menghampiri orang itu dan memperhatikan dari
dekat.
“A-hoa, ayo pulang,” kata orang itu seraya menarik lengan Ching-ching.
“Aku bukan A-hoa,” kata gadis cilik itu. “Namaku Lie Mei Ching.”
“Kau bukan A-hoa? Tidak, kau pasti A-hoa anakku. A-hoa, pulanglah. Ibumu sudah
lama menanti di rumah.”
Ching-ching mulai ketakutan. Ia menoleh pada Ling Tan. Anak laki-laki itu tak
Ching Ching
9
tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi ketika orang aneh itu menggendong
Ching-ching, ia segera menyerang bertubi-tubi.
Ching-ching juga tak tinggal diam. Ia berontak, memukul, menendang, menggigit,
tapi seolah tak dirasakan orang itu. Sementara Ling Tan sudah dibikin
jungkir-balik beberapa kali. Kemudian dengan satu gebrakan saja anak itu
tergolek pingsan.
Siu Yin yang sedari tadi ketakutan menjadi panik. Sambil menangis ia menghampiri
orang aneh itu. “Lo-peh (Paman Tua), lepaskanlah Ching-moay. Aku mohon padamu,
lepaskanlah piauw-moayku.”
“Huh? Siapa piauw-moaymu? A-hoa bukan piauw-moaymu. A-hoa anakku. Dan akan
kubawa pulang sekarang.” Laki-laki itu melesat pergi.
“Ching-moay!” Siu Yin menjerit memanggil.
“Yin Cie-cie! Yin Cie-cie, tolong aku!” Dalam gendongan orang itu, Ching-ching
pun menangis menjerit-jerit. Tapi ia dibawa pergi cepat, cepat sekali. Sebentar
saja Siu Yin tak dapat melihatnya lagi.
Siu Yin jatuh terduduk di tanah. Ia masih menangis memanggil-manggil nama
piauw-moaynya. Beberapa saat kemudian pandangannya menjadi kabur. Pepohonan di
sekitarnya nampak berputar. Siu Yin ketakutan. Sekali lagi ia memanggil nama
Ching-ching lalu pingsan di samping Ling Tan.
Meng Sian-seng terjaga dari tidurnya. Ia bermimpi seram sekali. Ada siluman
hijau membawa Ching-ching pergi. Dan siluman itu ingin menghisap darah Meng
Sian-seng juga.
Tanpa terasa ia bergidik ngeri. Namun hatinya merasa kuatir. Entah sudah berapa
lama ia tertidur. Ching-ching dan Siu Yin tidak membangunkannya. Ia memandang ke
luar jendela. Hari sudah gelap. Astaga! Rupanya ia tertidur berjam-jam. Pantas
saja mimpinya seram.
Meng Sian-seng melangkah ke luar kamar. Di kebun dilihatnya Lie Hoe-jin (Nyonya
Lie) menatap ke kejauhan.
“Ah, Meng Sian-seng. Hari ini mengajar lama sekali. Apakah tidak lelah?
Bagaimana Ching-ching? Tidak bosankah ia?”
Muka Meng Sian-seng memerah. Ia seolah disindir. Tapi jawabnya, “Ching-ching
baik. Ia belajar rajin.”
“Ah, ya. Sejak ayahnya bersedia mengajari silat, ia menjadi anak yang patuh,
bukan?”
“Ya.”
Kedua orang itu terdiam. Tak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.
“Soe-nio (Istri guru),” tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
Keduanya menoleh dan terkejut. Ling Tan membopong Siu Yin yang masih pingsan.
Siu Yin sendiri tampaknya tidak apa-apa, tapi anak laki-laki itu kelihatan memar
di sekujur tubuhnya.
“Astaga, Ling Tan! Kenapa?” Han Mei Lin menghampiri. “A-hung,” katanya pada
pelayan, “bawa Toa-sio-cia ke kamarnya! Ling Tan, kau ikut aku ke kamar obat.”
Ling Tan mengikuti soe-nionya dari belakang. Di depan kamar obat mereka
berpapasan dengan Lie Chung Yen.
“Ling Tan, kenapa mukamu? Berkelahi dengan saudara seperguruanmu?”
“Suamiku, biarlah luka-lukanya diobati dulu, baru kau tanyakan sebab-sebabnya.
Tadi ia pulang membawa Siu Yin yang pingsan.”
“Bagaimana Siu Yin?” tanya Chung Ten pada istrinya yang mulai mengobati Ling
Tan.
“Tidak apa-apa, cuma pingsan.”
Ching Ching
10
“Ching-ching?”
“Bukankah ada di kamar belajar?”
“Tadi kutengok ke sana, tidak ada siapa pun.”
“Di kamar baca?”
“Aku malah baru dari sana. Tidakkah Ching-ching pulang bersama Siu Yin? Biasanya
kedua anak itu bermain bersama.”
“Soe-hoe (Guru),” Ling Tan berkata sambil menangis. “Siauw-sio-cia ...
Siauw-sio-cia dibawa kabur orang!”
“Dibawa kabur?” Chung Yen dan istrinya membelalak terkejut. “Apa maksudmu?”
Tersendat-sendat Ling Tan menceritakan segala yang terjadi di hutan kecil. Han
Mei Lin hampir-hampir pingsan ketika mendengar semua itu. Untung ia masih dapat
menguasai perasaannya. Sekalipun demikian, sedu-sedan tak dapat ditahannya.
Chung Yen sendiri terpekur beberapa saat. “Aku akan mencari Ching-ching,”
katanya dengan suara bergetar. “Biar kubawa beberapa orang murid. Mudah-mudahan
ia selamat. Mendengar cerita Ling Tan, kelihatannya orang asing itu tidak
bermaksud jahat.” Chung Yen menghela napas. “Lin-jie, kau uruslah Siu Yin dan
Ling Tan aku pergi dulu.”
Lie Chung Yen membawa murid-muridnya mencari Ching-ching. Bukan saja hutan kecil
yang mereka jelajahi, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa di sekitar
tempat itu. Berhari-hari mereka mencari, namun jejaknya saja pun tidak
diketemukan.
Pada hari kedua belas, Lie Chung Yen memutuskan untuk pulang sekalipun dengan
hati remuk. Ia tak mau memikirkan diri sendiri. Masih banyak tugas yang harus ia
lakukan. Pek-eng-pay tak boleh terbengkalai. Apalagi ia masih harus bertanggung
jawab atas Siu Yin. Karena itu ia merelakan Ching-ching walaupun dalam hati ia
menjerit.
Ching-ching dibawa orang aneh itu dengan cepat, melewati hutan dan gunung.
Saking cepatnya, Ching-ching tak dapat melihat apa yang dilewati. Hanya
samar-samar saja sesekali ia mengenali batang-batang pohon yang berjajar.
Kadang-kadang mereka bermalam di tepi sungai. Pada saat-saat demikian,
Ching-ching boleh makan ikan sepuasnya. Bila melewati hutan, orang itu menangkap
ayam liar atau burung untuk dipanggang. Rasanya lezat. Ching-ching belum pernah
makan makanan seperti itu di rumahnya.
Setelah beberapa hari, Ching-ching tidak takut lagi pada orang itu. Ia malah
senang dibawa menjelajahi hutan-hutan sekalipun kadang-kadang menangis bila
teringat orang tua dan piauw-cienya. Namun, orang aneh di sampingnya selalu
menghibur.
Dari percakapannya, Ching-ching mengerti kalau orang itu menganggapnya sebagai
anak. Entah apa sebabnya. Orang itu pun menyuruh Ching-ching memanggil A-thia
kepadanya. Meskipun heran, Ching-ching menurut. Ia tak mempedulikan panggilan.
Yang penting orang itu baik kepadanya, ia tak keberatan disuruh panggil apa
saja.
Malam itu mereka berhenti di sebuah hutan. Hari itu hari kesembilan. Mereka
membakar seekor ayam hutan yang ditangkap sore harinya.
“A-hoa,” kata orang itu. “Ini ayamnya sudah matang. Nih, kau ambillah pahanya
yang berdaging empuk.”
Ching-ching mengambil daging yang disodorkan. Ditiup-tiupnya sebentar, lalu
digigit sedikit-sedikit. Selesai makan, mereka berbaring berdampingan, menatap
bintang yang bertebaran di langit.
“A-thia,” panggil Ching-ching takut-takut.
Ching Ching
11
“Hmmm,” jawab yang dipanggil tanpa berpaling dari bintang yang tergantung jauh
di sana.
“A-thia, sudah berhari-hari kita berjalan. Ke manakah tujuannya?”
“Anak tolol, tentu saja pulang menemui ibumu!”
“Pulang ke mana?”
“Ke puncak Gunung Leng-yi. Kau lupa? Kita dulu hidup bersama-sama di sana. Ah,
tentu saja kau lupa. Kan sudah lama sekali kau tidak pulang ke rumah.”
“A-thia,” kata Ching-ching lagi. “Jauhkah Leng-yi-san dari sini?”
“Tidak, tidak jauh lagi. Dari sini pun kau sudah dapat melihatnya. Tuh, kau
lihat bayangan hitam yang besar di sana? Itulah Leng-yi-san.”
“Berapa hari perjalanankah untuk sampai di sana, A-thia?”
“Paling-paling tiga hari lagi kau sudah dapat bertemu ibumu. Sudahlah, sudah
malam. Kau tidurlah. Jangan bertanya-tanya lagi.”
Tak berapa lama a-thianya sudah mendengkur, Ching-ching masih belum tidur. Ia
memikirkan tentang dirinya. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti.
Sedang apa, ya, Yin Cie-cie sekarang? Pasti sudah meringkuk di bawah selimut.
Nio mungkin sedang menyulam, sementara Thia-thia sedang membaca, pikirnya.
Ching-ching tidak tahu, saat itu thia-thianya sendan mencari ke sana ke mari. Ia
mengira thia-thianya mungkin akan merasa kuatir beberapa hari, tapi tidak selama
itu. Tapi Siu Yin mungkin akan sangat kehilangan dan ibunya akan menghibur
piauw-cienya dengan kasih sayang.
Berpikir hal-hal demikian, Ching-ching merasa rindu akan rumahnya. Tanpa terasa
air matanya mengalir. Ia terisak pelan sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Hari kedua telah lewat. Mereka tiba di sebuah desa di kaki Leng-yi-san.
Ching-ching dibawa ke sebuah rumah makan di desa itu. A-thianya segera memesan
macam-macam makanan dan dua guci arak.
“A-hoa, makanlah kenyang-kenyang. Perjalanan ke rumah nanti cukup panjang dan
A-thia tidak akan berhenti di jalan supaya kita bisa sampai di rumah sebelum
hari menjadi gelap.”
“A-thia, ceritakan padaku, apakah Ibu itu baik orangnya?”
“Tentu saja. Ibumu adalah wanita yang terbaik di dunia. Dulu ibumu adalah
seorang pendekar. Semua orang segan padanya. A-thiamu juga.”
Ching-ching mendengarkan sambil sibuk mengunyah makanan. “Kalau begitu Ibu hebat
sekali, ya.”
“Ya, ia seorang yang baik budi. Banyak orang-orang jahat yang bertobat karena
dia. Karena itu, selain disegani, ibumu juga dihormati dan mempunyai banyak
sahabat yang hebat. Padahal waktu itu ia baru berumur 20 tahun.”
“Bagaimana Ibu bertemu dengan A-thia?”
“Waktu itu a-thiamu berumur 25 tahun dan sedang melewati sebuah hutan. Tiba-tiba
terdengar suara senjata beradu. A-thia cepat-cepat mendekat. Di sana A-thia
lihat seorang gadis sedang bertempur melawan seorang nenek jelek—“
“Dan gadis itu adalah Ibu, betulkah?”
“Anak pintar, aku benar. Dia ibumu.”
“Bagaimana akhirnya, A-thia?” tanya Ching-ching tak sabar seperti biasanya.
“Siapa yang menang? Ibu atau nenek itu?”
“Tentu saja ibumu. Nenek tua jelek itu seudah terdesak. Tapi, dasar nenek licik,
pada saat hampir mati di ujung pedang, ia lemparkan puluhan jarum beracun ke
arah ibumu. Sekalipun ibumu cukup lihay, namun beberapa jarum beracun itu sempat
menancap di tubuhnya. Dan nenek tua itu kabur. A-thia mencoba menolong ibumu.
Namun racun jarum-jarum itu amat kuat. A-thia tidak dapat mengeluarkan semua
Ching Ching
12
racun. Akibatnya kelihayan ibumu lenyap. Dan sampai sekarang racun-racun itu
masih sering dirasanya.”
Ching-ching mengerutkan kening. Setahunya jarum adalah logam tipis yang
digunakan untuk menyulam atau menjahit. Bagaimana bisa berpengaruh begitu hebat?
Ching-ching terkejut ketika A-thia menepuk pundaknya.
“A-hoa, nanti kau harus urus ibumu baik-baik. Jangan bikin sedih hatinya, ya?”
“A-thia jangan kuatir. Aku akan layani Ibu sebaik-baiknya,” kata Ching-ching.
“A-hoa, ini, kau minum juga arak, temani A-thia minum.”
Ching-ching membelalak. Minum arak? Apa boleh? Ibunya bilang, anak kecil tidak
boleh minum arak. Apalagi perempuan. Karenanya Ching-ching diam saja.
“Ayo minum. A-thiamu jago minum. Anaknya pun harus begitu juga.”
Ragu-ragu Ching-ching mengambil cawan araknya yang penuh terisi.
“Jangan ragu,” kata a-thianya. “Lihatlah a-thiamu.” Sekali teguk, cawan araknya
sudah licin.
Ching-ching tak ragu lagi. Sambil memejamkan mata, ia menghabiskan isi cawannya.
“Bagaimana? Enak bukan?”
Ching-ching bersiap untuk mengangguk. Tetapi tiba-tiba saja lehernya terasa
panas. “Aduh, aduh, panas,” keluhnya.
“Anak bodoh, masa sebegitu saja kepanasan? Nih, minum lagi.”
Ching-ching tak berani menolak walaupun setiap menghabiskan satu cawan,
kepalanya terasa semakin berat. Akhirnya ia tak tahan lagi. Belum habis setengah
guci, kepalanya sudah terkulai lemas. Tak didengar a-thianya berkata,
“A-hoa, bukan maksud A-thia memaksamu minum arak. Tapi perjalanan ke puncak
Leng-yi-san masih jauh dan dingin hawanya. Arak itu akan membuatmu pulas dan
tubuhmu akan terasa hangat. Dengan demikian A-thia akan lebih leluasa
membawamu.”
Dan orang itu memondong Ching-ching di pundaknya. Setelah membayar, ia melesat
pergi dengan sangat cepat diiringi pandangan kagum orang-orang di kedai itu.
Ching-ching membuka mata. Ia mendapati dirinya tidur di sebuah kamar yang
sederhana. Kamar itu dikelilingi tembok batu yang disusun rapi berjajar. Di sana
terdapat sebuah ranjang dari batu yang sedang ia tiduri. Ada juga sebuah meja
dan empat kursi. Semuanya dari batu.
Ching-ching mencoba untuk duduk. Uh, kepalanya masih puyeng. Ia bersandar ke
dinding. Ih, dingin betul dinding itu. Tapi kok ranjangnya hangat?
Dilongoknya kolong tempat tidur. Oh, pantas. Di bawah tempat tidur itu terdapat
pendiangan dan apinya dinyalakan.
Ia melompat turun dari tempat tidur. Barangkali di luar A-thia menunggunya. Tapi
begitu turun dari tempat tidur dirasanya dingin yang luar biasa. Merasuk sampai
ke tulang. Bibirnya gemetar. Badannya menggigil dan giginya saling beradu
menimbulkan suara bergemerutuk.
Ia cepat-cepat kembali ke ranjang dan duduk di sana. Nah, sekarang sudah
mendingan! Tapi Ching-ching tidak berani turun lagi, takut kalau-kalau ia beku
kedinginan. Karenanya ia duduk saja termenung di tempat tidur.
Tapi tak berapa lama, ia kedinginan juga. Sekalipun tempat tidurnya hangat, tapi
tak dapat mengusir dinginnya hawa di kamar itu. Ching-ching meringkuk di sudut.
Beberapa kali ia bersin-bersin. Hidungnya mampat dan matanya berair.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang. Seorang wanita melangkah masuk sambil
membawa dua buah baki. Baki yang satu berisi mangkuk, di atas baki yang lain
terdapat sesuatu yang kelihatannya seperti kulit binatang berbulu tebal.
Ching-ching memandang wanita itu dengan mata terbelalak. Cantik sekali wanita
Ching Ching
13
ini! Jauh lebih cantik daripada ibunya sendiri yang selama ini diketahuinya
sebagai wanita tercantik yang pernah ia lihat. Sekarang, di hadapannya tiba-tiba
ada yang lebih jelita. Ching-ching menjadi kagum. Ia bahkan tak berkedip karena
takut. Kalau-kalau wanita itu hanya bayangan dan akan menghilang begitu matanya
dikedipkan.
Melihat Ching-ching yang terbengong-bengong, wanita itu merasa geli dan
tersenyum. “Kenapa? Adakah sesuatu yang menakutkanmu pada diriku?”
Ching-ching memandang wanita itu dari ubun-ubun sampai ke kaki. Wajahnya bulat
telur, hidungnya mancung, alisnya terbentuk indah, matanya bening, bibirnya
mungil, merah sekalipun tanpa gincu, kulitnya putih halus bagai pualam. Ada
sesuatu yang membuat Ching-ching merasa aneh. Sesuatu yang membedakan dari
wanita-wanita lainnya. Tapi tidak ada sesuatu yang menakutkan. Karenanya
Ching-ching menggeleng. “Tidak, rasanya tidak ada yang perlu kutakuti.”
“Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?”
Ching-ching segera menjawab, “Karena aku belum pernah melihat orang lain yang
secantik ... secantik ....” Sejenak Ching-ching bingung hendak menyebut apa dia
pada wanita itu. Menilik umurnya, paling-paling yak beda jauh dengan ibunya. Mau
panggil nyonya, bagaimana kalau ternyata belum menikah. Mau panggil nona,
rasanya tidak pantas.
“Secantik apa?” tanya wanita itu tersenyum.
“Secantik Kouw-kouw (Bibi),” kata Ching-ching.
“Ah, gadis cilik, rupanya kau pandai mengambil hati pada orang lain.”
“Sungguh, aku tidak bohong,” sanggah Ching-ching.
“Sudahlah. Ini kubawakan sop dan baju untukmu. Kau kedinginan, bukan?”
Saat itu Ching-ching merasakan lagi hawa dingin di kamarnya. Padahal waktu
bercakap-cakap sebentar tadi hawa dingin itu tidak terasa.
“Ini, pakai dulu,” kata wanita itu seraya menyodorkan pakaian di atas baki.
Ching-ching mengambilnya dan meraba-raba baju dari kulit binatang itu dengan
heran. Setahunya pakaian biasa dibuat dari kain, bukan dari bulu.
“Ayo pakai!” desak wanita itu lagi. “Nanti kau beku karena kedinginan.” Dan ia
membantu Ching-ching mengenakannya sebagai baju luar. “Nah, sekarang makanlah
sop ini supaya badanmu hangat terus.”
Ching-ching menurut. Dihirupnya sop hangat itu. Lezat sekali dan dari sop yang
mengalir lewat tenggorokan itu sirasanya sesuatu yang menghangatkan. Dari leher,
ke dada, lalu ke perut. Akhirnya seluruh tubuh. Dan ia tidak kedinginan lagi.
“Hmm, enak sekali,” katanya memuji. “Kouw-kouwkah yang memasaknya?”
Wanita itu mengangguk.
“Kouw-kouw harus mengajarkan aku caranya. Nanti kalau sudah besar, aku juga
ingin membuat sop selezat ini,” kata Ching-ching lagi sambil menyodorkan mangkuk
yang telah licin.
“Ya, ya, kau boleh belajar nanti,” kata wanita itu seraya tertawa dan berjalan
ke pintu.”
“Kouw-kouw,” panggil Ching-ching, teringat sesuatu. “Adakah melihat a-thiaku?”
Wanita itu mengerutkan kening. Lalu tiba-tiba tersenyum. “Ia ada di luar. Kau
mau menemuinya?”
Ching-ching melompat dari tempat tidur. “Kouw-kouw mau antarkan aku?”
“Baiklah. Tapi aku harus membawa dulu mangkok ini ke dapur.”
Wanita itu menuntun Ching-ching. Bersama mereka pergi keluar kamar. Ching-ching
diajaak melewati beberapa lorong yang pendek namun berbelok-belok. Mereka tiba
di dapur yang tidak terlalu besar, namun rapi dan bersih. Ching-ching menunggu
Ching Ching
14
wanita itu sambil memperhatikan keadaan di luar.
Gumpalan-gumpalan salju mulai turun membuat Ching-ching keheranan. Ini baru
bulan tujuh, bagaimana mungkin turun salju? Untuk memastikannya, Ching-ching
menadahkan tangan menampung gumpalan putih yang berjatuhan itu.
Benar! Salju. Salju di bulan ketujuh! Ching-ching tak habis pikir. Ia termenung
memperhatikan salju yang mulai bertumpuk di tanak.
Tiba-tiba natanya menangkap suatu gerakan. Ada benda putih yang bergoyang-goyang
di sela-sela pagar. Ching-ching mendekat menghampiri. Dan ia mengenali benda
itu. Kelinci. Seekor kelinci putih dengan mata yang merah lucu.
Diulurkannya tangan untuk menangkap. Kelinci itu lari. Ching-ching mengejar.
Sebentar saja ia sudah tertinggal jauh. Kelinci itu berhenti. Seolah menunggu.
Tapi begitu jarak di antara mereka mengecil, ia mulai lari lagi dengan gerakan
yang lincah luar biasa.
Ching-ching mulai cape, tetapi ia tak putus asa. Kelinci itu terus dikejarnya,
sekalipun beberapa kali ia sempat terjerembab di atas salju yang lunak.
Lama-lama ia tak tahan lagi. Tanpa peduli akan sekitarnya, ia duduk di atas
tanah berlapis salju itu.
“Kelinci putih, aku tak sanggup lagi, Napasku habis,” katanya tersengal-sengal.
Kelinci yang dikejarnya berhenti berlari juga. Ia memandang nona kecil yang
kelelahan itu kemudian maju beberapa tindak, berhenti lagi. Telinganya
bergerak-gerak seolah menanyakan kenapa mereka berhenti bermain.
Ching-ching menjadi gemas. Ia bangkit dan menubruk kelinci itu. Sekali lagi ia
jatuh terjerembab, namun hanya salju yang berhasil ia pegang. Ching-ching
mengejar lagi.
“Aku akan menangkapmu, kelinci kecil,” katanya penuh tekad.
Tiba-tiba ia berhenti berlari. Seseorang bertubuh tinggi-besar telah terlebih
dulu menghadang dan menangkap kelinci itu.
“A-thia,” panggil Ching-ching girang.
“A-hoa, kau takkan bisa mengejar kelinci ini. Larinya jauh lebih cepat darimu,”
kata ayahnya.
“Aku tahu,” kata anak itu, “tapi aku tak mau menyerah. Aku yakin suatu saat aku
bisa menangkapnya.”
“Ya, suatu saat, tapi tidak sekarang. Kau harus mempelajari gin-kang (ilmu
mengentengkan badan) dulu, baru dapat menangkap kelinci kumala ini.”
“A-thia, ajari aku gin-kang itu.”
“A-thia akan ajari mulai besok,” kata a-thianya tertawa sambil memberikan
kelinci itu dan menggendong Ching-ching sekalian.
“A-thia, kenapa kelinci ini disebut kelinci kumala?”
“Karena warnanya putih, bulunya tebal dan halus, larinya sangat cepat. Sulit
bagi orang yang ilmunya tidak tinggi untuk menangkap. Kau tahu, A-hoa, ketika
bermain denganmu barusan, dia sudah berlari sangat-sangat pelan? Oh ya, kau
bertemu ibumu?”
Ching-ching menggeleng. “Belum.”
“Kalau begitu dari mana kau dapatkan baju ini?”
“Kouw-kouw yang memberikannya padaku.”
“Kouw-kouw?”
“Iya, Kouw-kouw yang cantik sekali. Itu orangnya.” Ching-ching menunjuk wanita
cantik yang bergegas menghampiri. “Kouw-kouw!” serunya. “Lihat, aku punya
kelinci putih yang lucu.”
“A-hoa, itu bukan kouw-kouw, itu ibumu.”
Ching Ching
15
“Ibu?”
“Dia boleh memanggil apa saja padaku,” kata wanita itu, yang sudah datang
mendekat.
“Tidak bisa. Ia anakmu, maka ia harus memanggil ibu padamu.”
Wanita itu terdiam. Ia memandang suaminya dengan sedih.
“A-hoa, ayo panggil ibumu!”
“Ibu,” kata Ching-ching tanpa ragu lagi.
“Ha-ha-ha, anak baik, anak baik,” a-thianya memuji.
“Sudahlah,” kata wanita itu. “Hari mulai gelap, mari kita pulang.”
“Baik,” jawab suaminya.
Ching-ching telah tidur di kamar batunya. Ia tak tahu ketika ibunya masuk dan
duduk di tepi ranjang, memperhatikan.
“Kau memang mirip A-hoa,” gumamnya, teringat akan anaknya. Akan hari-hari yang
pernah mereka lewati bertiga suaminya.
A-hoa memang serupa anak yang dibawa suaminya itu. Tak heran kalau laki-laki itu
salah mengenali orang. Tetapi berbeda dari anak ini, A-hoa adalah seorang
pemalu. Anak itu lemah lembut dan sangat mereka sayangi. Umurnya pun ada selisih
tiga tahun. Hanya saja, ketika tiga tahun lalu anaknya meninggal karena sakit,
umurnya memang sebaya anak ini.
Sejak itu, suaminya jadi seorang yang ada terganggu pikirannya. Suatu waktu ia
tampak normal, tapi di lain saat tiba-tiba berlari turun gunung dan mengatakan
ia akan mencari anaknya yang hilang. Beberapa kali ia pergi dan mengatakan
berjumpa anaknya di jalan. Tapi belum pernah ia culik anak orang lain dan
membawanya pulang.
Wanita itu menghela napas. Tak disangka, Chow Han Wei suaminya bisa jadi seorang
yang demikian. Seandainya saja ilmunya tidak hilang, mungkin mereka masih dapat
hidup seperti orang-orang lain. Tak perlu takut akan balas dendam orang lain
sampai harus menyingkir ke gunung.
Ia mengingat kehidupannya sendiri. Mengingat ketika pertama kali pergi dari
negerinya dan melancong ke Tiong-goan dan jatuh cinta pada negeri yang begitu
besar. Dan bagaimana dengan kemahirannya bersilat, ia malang-melintang di dunia
Kang-ouw (dunia persilatan). Dikenal sebagai Sat-kauw-sian-lie (Bidadari
Penjagal Anjing) dikarenakan ia tak tahan melihat kezaliman merajalela.
Sampai akhirnya ia dibokong seorang nenek kejam dengan jarum beracunnya yang
jahat. Kalau tidak ada suaminya yang menolong dan merawat dia, barangkali takkan
sempat ia menikmati dunia lebih lama lagi. Namun, sekalipun nyawanya tak jadi
melayang, ia harus kehilangan ilmunya. Memang ia masih dapat melakukan
gerakan-gerakan silat. Namun, tanpa dibarengi tenaga dalam, silat itu adalah
seperti tarian indah, tidak berbahaya.
“Lung Yin, sungguk jelek nasibmu,” katanya pada diri sendiri. Ia menghela napas
kemudian meniup lilin di kamar itu hingga padam.
Ching-ching termenung di depan kamarnya sambil mengelus-elus kelinci kemala.
Sekarang ke mana pun dan secepat apa pun kelinci itu lari, Ching-ching akan
dapat mengejar dan menangkapnya. Ia juga tak pernah kedinginan lagi sejak
ayahnya mengajarkan cara mengatur hawa dalam tubuhnya supaya tetap merasa
hangat. Apalagi A-thia juga mengalirkan tenaga dalam padanya.
“A-hoa.”
“Ibu,” Ching-ching menoleh.
“Kenapa? Kau ingat akan keluargamu di kota?”
Ching-ching mengangguk.
Ching Ching
16
“Kau rindu pada mereka?”
“Sedikit.”
Lung Yin menghela napas. “Kau salahkan A-thia karena membawamu ke sini?”
Buru-buru Ching-ching menggeleng. “Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja aku
merasa kesepian. Teman mainku hanya seekor kelinci. Lagi di sini tiap hari yang
kulakukan itu-itu melulu. Makan, tidur, main. Untung A-thia mengajari ilmu
ringan tubuh. Kalau tidak, uuuh, bosan.”
“Sebenarnya di sini pun banyak yang bisa kau lakukan. Belajar menjahit, memasak,
menyulam.”
“Men
Di sebuah hutan kecil dua orang gadis cilik tampak berlari-lari di antara
pepohonan. Keduanya sedang mengejar kupu-kupu. Yang seorang tampak lebih tua
dari yang lain. Itulah Lan Siu Yin, anak dari Lan Man Fung. Umurnya baru tujuh
tahun. Sikapnya lemah lembut, namun agak cengeng seperti kebanyakan bocah
lainnya. Sayang, dalam usianya yang masih muda ia sudah yatim piatu sehingga
kini diasuh saudara seperguruan ayahnya, Lie Chung Yen.
Seorang lagi adalah Lie Mei Ching, sepupu Lan Siu Yin. Selisih umrunya hanya
setahun lebih muda. Berbeda dengan Siu Yin, Ching-ching lincah sifatnya,
periang, dan pemberani. Kuncir rambutnya tak pernah diam, selalu
bergoyang-goyang. Bibirnya yang mungil selalu berceloteh sambil sesekali melirik
piauw-cienya (kakak sepupu perempuan).
“Ching-moay (Adik Ching),” kata Siu Yin beberapa waktu setelah mereka berjalan
mengelilingi hutan, “baiknya kita pulang saja. Aku sudah cape, lagipula sebentar
lagi kita harus belajar. Sian-seng (Guru pelajaran sekolah) tentu sudah menunggu
kita.”
“Ah, Yin Cie-cie (Kakak Yin) selalu begitu. Kecapean setiap kali jalan-jalan.
Kita belum sampai di sungai kecil di sana itu. Aku ingin menangkap ikan,” kata
Ching-ching cemberut merajuk. Gadis manja itu menarik lengan baju sang
piauw-cie. “Ayolah, mumpung kita dikasih izin keluar rumah.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ching-ching berlari mendului. Ia tahu piauw-cienya
akan terpaksa mengikuti. Dan memang itulah yang terjadi. Sambil menghela napas
Siu Yin mengikuti. Ia tak berani pulang sendiri sekalipun rumah mereka tak
seberapa jauh dari sana.
Begitu sampai di sungai kecil, Ching-ching segera melepas sepatu dan menggulung
lengan baju serta ujung celananya. Ia pun segera masuk ke air. Di tepi sungai,
Siu Yin berteriak-teriak mengingatkan,
“Ching-moay, hati-hati. Nanti bajumu basah. Kau bisa sakit. Sudah, kalau mau
ikan, beli saja di pasar.”
“Ah, tidak enak. Lebih enak ikan tangkapan sendiri. Nanti dibakar dan kita makan
berdua,” sahut Ching-ching. “Cie-cie, kau tidak ikut turun? Di sini asyik,
sejuk. Airnya dingin.”
Siu Yin menggeleng. “Tidak, ah, nanti bajuku basah.”
“Alaa, basah sedikit tidak apa-apa,” kata Ching-ching seraya mencipratkan air
Ching Ching
1
sungai pada Siu Yin. Piauw-cienya menjerit dan menjauh, kemudian duduk di bawah
pohon mengawasi piauw-moaynya (adik sepupu perempuan) menangkap ikan.
Ching-ching mencoba menangkap ikan-ikan besar. Tapi betapa sulitnya. Beberapa
kali ia sempat memegang beberapa ikan yang besar, namun selalu terlepas lagi.
“Heran, kenapa sih badan ikan itu licin bukan main? Jadi sulit menangkapnya,”
gumam Ching-ching kesal.
Ching-ching tidak putus asa. Ia masih mencoba menangkap beberapa ekor ikan yang
lewat di dekatnya. Nah, itu ada seekor yang besar sekali! Ching-ching
mengendap-endap mendekati. Lalu dengan sangat cepat, tangannya terulur menangkap
ikan itu! Dapat!
“Cie-cie, lihatlah! Aku dapat! Aku dapat! Besar sekali!”
Siu Yin cepat-cepat mendekati. Ching-ching mengangkat ikan itu tinggi-tinggi,
mencengkeram kuat-kuat dengan kedua tangannya yang kecil. Ikan gemuk yang berat
itu menggelepar-gelepar. Ching-ching kerepotan jadinya. Tapi, anak bandel itu
tak berniat melepaskan lagi.
“Lihat, Cie-cie,” katanya pada Siu Yin. “Cepat cari kayu. Wah, makan besar kita.
Cepat, ambil kayu bakar—“
Tiba-tiba saja Ching-ching terpeleset. Badannya terjengkang ke belakang. Dengan
suara berdebur, ia jatuh ke dalam air.
Byur! Suara ceburan terdengar lagi. Siu Yin nekat mencebur untuk menolong
adiknya. Tapi, alih-alih mau menolong, ia sendiri tergelincir. Siu Yin panik. Ia
tak pernah masuk ke sungai sebelumnya, sekarang malah terseret arus sungai yang
cukup deras. Gelagapan, Siu Yin mencengkeram apa saja yang ada di dekatnya.
Ching-ching berdiri. Air sungai memang tak sampai sepinggangnya. Ia tertawa
gembira. “Cie-cie, kau pun ikut basah jadinya.”
Namun, melihat gerakan-gerakan Siu Yin yang tak terkendali, gadis kecil yang
cerdas itu segera mengerti. Diraihnya lengan Siu Yin dan diseretnya ke tepi.
Berat juga, apalagi pakaian Siu Yin basah kuyup semua.
Ching-ching membaringkan piauw-cienya di tanah. Ia ketakutan melihat Siu Yin
yang pucat dan diam tak bergerak.
“Cie-cie, bangunlah. Cie-cie, ayo bangun, jangan diam saja. Kau belum mati, kan?
Ayolah, jangan kau takuti aku.”
Siu Yin masih diam saja. Ching-ching makin mengguncangkan badannya.
“Cie-cie, ayo bangun. Kita pulang saja. Bukankah Sian-seng menunggu kita?
Ayolah, katanya takut diomeli Thia-thia (Ayah) kalau terlambat.”
Ching-ching semakin ketakutan melihat Siu Yin tak bergerak. Tanpa terasa air
matanya mengalir. Kemudian ia mendapat akal. Dicipratkannya air sungai ke wajah
Siu Yin.
Benar saja. Kelopak mata Siu Yin bergerak. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan air
yang sempat membikin kembung perutnya. Ching-ching cepat-cepat membantunya duduk
dan mengurut-urut punggung piauw-cienya.
Setelah memuntahkan air yang tertelan, Siu Yin merasa lebih enakan. Dibantu
Ching-ching, ia berdiri. “Ching-moay, kita pulang saja sekarang.”
Ching-ching mengangguk. Tanpa sengaja ia melihat tangan kanan Siu Yin yang
mengepal. “Yin Cie-cie, apa yang kau genggam itu?”
Siu Yin membuka genggaman tangannya. Dengan mata terbelalak ia menatap benda di
tangannya.
“Ih!” serunya jijik seraya melemparkan benda yang ternyata seekor ikan kecil
yang mati kehabisan napas. Rupanya ketika kelelep tadi, tanpa sadar ia
mencengkeram ikan kecil yang lewat di dekatnya.
Ching Ching
2
“Yin Cie-cie, kau menangkap ikan ini?” Ching-ching mengambil ikan itu dengan
menjepit ekornya dengan jari telunjuk dan jempol. “Hei, kita bawa pulang saja.
Pasti lucu jadinya kalau ikan ini kita masukkan ke dalam baju Sian-seng.”
Ching-ching tergelak-gelak membayangkan hal itu.
Siu Yin menggeleng-geleng. “Ching-moay, jangan keterlaluan. Kau ingat waktu kau
iseng menggunting kumis Sian-seng kemarin dulu? Siok-siok (Paman) marah sekali.
Dan kau dihukum rotan 12 kali sampai tak dapat duduk berhari-hari lamanya.
Masakan kau belum kapok juga?”
Ching-ching meringis. Walaupun hukulan itu sudah tak berbekas lagi, tapi kalau
ingat, sakitnya masih tak terasa. Tidak, ia tak mau dihukum lagi. Lebih baik
dibuangnya saja ikan itu. “Aku pun tak mau dirotan lagi,” kata anak itu.
“Baiknya kita pulang saja sebelum Thia-thia mencari. Tapi … Cie-cie, jangan
bilang-bilang, kalau aku main air di sungai.”
Siu Yin mengangguk. Tak terpikir olehnya bahwa bajunya yang basah akan
menyatakan kebenaran. Sambil bergandengan tangan, kedua anak itu berjalan
pulang.
Lie Chung Yen sedang berbincang-bincang dengan Meng Sian-seng. Ia ingin tahu,
sampai di mana tingkat pelajaran anaknya.
Meng Sian-seng menghela napas sebelum menjawab. “Lan Sio-cia anak yang baik. Dia
sangat menyukai sastera, lukis, dan sejarah.”
“Bagaimana dengan anakku Ching-ching?”
“Ching-ching sebenarnya amat pandai. Ia anak yang cerdas. Daya ingatnya kuat. Ia
mudah menangkap apa yang diajarkan. Tapi … sering kali konsentrasinya tidak pada
pelajaran. Kelihatannya ia lebih tertarik kepada ilmu silat daripada pelajaran.
Saat belajar, ia lebih sering memperhatikan murid-murid yang berlatih di ruang
belajar daripada apa yang kukatakan.”
“Kalau begitu mulai besok aku akan menyuruh murid-muridku berlatih di kebun
belakang saja.”
“Sebenarnya itu tak perlu,” kata Meng Sian-seng sungkan.
“Tidak apa-apa,” potong Lie Chung Yen. “Ini demi anakku juga, bukan? Ah, ya.
Bukankah ini waktu anak-anak belajar? Kalau begitu aku tak akan mengganggu lagi
Meng Sian-seng.” Lie Chung Yen minta diri. Ia melangkah ke luar dan hampir saja
ia bertubrukan dengan anak dan kemenakannya.
“Thia-thia!” Ching-ching berseru kaget.
“Ching-ching, Siu Yin, dari mana kalian?”
“Dari … dari …,” Siu Yin menjawab terbata.
“Kami habis bermain layangan,” jawab Ching-ching.
Lie Chung Yen menatap Siu Yin yang cepat-cepat menunduk dengan wajah memerah.
Melihat gelagatnya, tentu Ching-ching telah berbohong. Belum lagi rambut Siu Yin
yang basah sekalipun pakaiannya kering. “Siu Yin, dari mana kalian?”
“Dari bermain—“ Ching-ching menjawab lagi.
“Thia-thia tidak tanya kau!” bentak ayahnya.
Ching-ching langsung mengkeret. Siu Yin ngeri juga. Seperti biasa, air matanya
langsung mengalir.
Chung Yen iba melihatnya. Namun ia tak berkata apa-apa. “Kenapa rambutmu basah?”
tanyanya dengan nada lunak.
Siu Yin tidak berani berbohong lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan apa
adanya.
Ching-ching meringis. Keringat dingin mengalir. Ia tahu sebentar lagi pasti ia
dihukum. Thia-thianya pernah bilang, sekalipun tidak berbahaya, ia tak boleh
Ching Ching
3
main ke sungai kecil. Di sana sepi. Kalau ada apa-apa, tentu tak ada yang bisa
menolong.
Lie Chung Yen melirik anaknya. Anak itu mesti diajar adat supaya jadi orang
baik-baik kelak. Sebenarnya Chung Yen tidak tega. Ia sangat sayang pada anaknya.
Dan setiap hukuman yang diterima Ching-ching seolah-olah dia sendiri yang
merasakan.
“Siu Yin, pergilah ke kamarmu,” katanya setelah mendengar penuturan anak itu.
Siu Yin segera berlari, tapi diam-diam ia bersembunyi di balik tembok untuk
mengetahui apa hukuman yang akan diterima moay-moaynya.
Lie Chung Yen mengetahui hal ini, tapi tak apa pun dibuatnya. Ia tak pernah tega
menghukum Siu Yin. Anak itu penurut. Kalau tidak karena Ching-ching, tentu tak
akan berbuat nakal. Sifatnya lembut, dibentak sedikit saja air matanya mengalir
tak terhenti. Melihat anak itu menangis, Chung Yen selalu teringat akan pesan
soe-hengnya (kakak seperguruan laki-laki) yang terakhir untuk menjaga Siu Yin.
Ching-ching memandang kepergian piauw-cienya dengan lega. Rasanya ia tabah
menerima hukuman apa saja asal tak ada Siu Yin di sana. Siu Yin selalu menangis
kalau melihat ia dihukum. Hal ini menyebabkan ia ikut menangis juga. Bukan
karena hukumannya, tapi melihat Siu Yin menangis, siapa pun akan teriris
hatinya.
Lie Chung Yen menggendong anaknya dengan sayang. Ching-ching melingkarkan tangan
ke leher ayahnya. Ia tahu sekalipun sering dihukum, itu adalah karena salahnya
sendiri, bukan karena Thia tidak sayang padanya. Ibunya pernah mengatakan bahwa
justeru karena sayang maka ia dihukum.
“Kenapa Yin Cie-cie tak pernah dihukum?” tanya Ching-ching waktu itu. “Apakah
Thia-thia tak sayang padanya?”
“Yin Cie-cie itu anak penurut. Kalau tidak karena kamu, mana mau ia melanggar
kata-kata thia-thiamu,” jawab ibunya sambil tertawa.
Lie Chung Yen membawa anaknya ke ruang baca. Ada suara langkah kaki-kaki kecil
di belakangnya. Namun, berlagak tidak mendengar, ia berjalan terus.
“Berlutut!” perintah Chung Yen pada anaknya begitu sampai di ruang baca. “Jangan
berdiri sebelum kuijinkan.”
Ching-ching menurut walaupun ia tahu bahwa hukuman berlutut akan berlanjut.
Paling tidak sampai matahari terbenam nanti.
Di luar Siu Yin berlari-lari menjauh. Dengan pandangan kabur karena air mata, ia
mencari siok-bonya (bibi) untuk minta ampunan bagi Ching-ching walaupun biasanya
Lie Chung Yen tetap pada pendiriannya.
“Tahu apa kesalahanmu?” tanya Chung Yen pada anaknya.
Ching-ching mengangguk. “Karena main ke sungai kecil, melanggar larangan
Thia-thia,” jawabnya.
“Tahu kesalahanmu yang lain?”
Ching-ching menggeleng. Ia mengerutkan kening, berpikir.
“Kau nyaris mencelakakan cie-ciemu. Kau tahu?” Chung Yen menghela napas.
“Ching-ching, dalam setiap perbuatanmu, jangan sampai kau mencelakakan orang
lain, mengerti?”
Dalam usianya yang enam tahun, Ching-ching sulit mencerna kata-kata ayahnya.
Tapi dengan pikiran anak-anaknya, ia dapat mengerti inti kalimat itu.
“Oh ya,” kata ayahnya lagi. “Meng Sian-seng bilang kau sulit konsentrasi pada
pelajaranmu. Katanya, kau lebih tertarik pada murid-murid yang sedang berlatih.
Betul begitu?”
Ching-ching mengangguk lagi.
Ching Ching
4
“Kau mau belajar silat?” tanya Chung Yen lagi.
Ching-ching menatap ayahnya tak percaya. Ia membelalak dengan pandangan
bertanya. Ketika ia lihat ayahnya mengangguk dengan wajah sungguh, barulah ia
menjawab. “Tentu mau, Thia-thia,” katanya bersemangat.
“Sebetulnya kau terlalu kecil untuk itu,” gumam ayahnya pelan. “Baiklah. Kau
boleh belajar silat, tetapi dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, Thia?”
“Kau harus bisa membagi antara pelajaran silat dengan apa-apa yang diajarkan
Meng Sian-seng. Kau tak boleh meninggalkan salah satunya. Kau sanggup?”
“Sanggup, Thia.”
“Mau berjanji?”
“Tentu.”
“Seorang pendekar selalu menepati janji,” kata Chung Yen. “Kalau pelajaranmu
minggu ini baik, Thia-thia akan mengajarimu silat minggu depan.”
Lie Chung Yen bangkit. Ia melangkah keluar. Ching-ching masih harus menjalani
hukumannya. Namun, anak itu tidak lagi peduli. Yang ada di otaknya hanyalah
silat dan silat. Ia akan menjadi sehebat ayahnya kelak. Mungkin ia akan
mendirikan perguruan sendiri. Atau meneruskan perguruan ayahnya. Ah, hebat
sekali nampaknya.
Lie Chung Yen tersenyum melihat anaknya begitu bersemangat. Namun ia tahu,
Ching-ching cepat sekali bosan akan sesuatu. Mungkin nantinya ia akan menganggap
pelajaran lebih menyenangkan daripada silat sebab berlatih silat, selain teori,
dibutuhkan pula kesabaran dan ketekunan. Apalagi pada tingkat permulaan.
Pelan-pelan Chung Yen meninggalkan kamar itu.
Di luar, Han Mei Lin menghampiri. “Suamiku, apa lagi yang dibuat anak kita hari
ini?” tanyanya.
“Ia main ke sungai kecil dan hampir-hampir mencelakakan Siu Yin.”
“Ooo, pantas barusan Siu Yin berkali-kali menyalahkan dirinya atas hukuman
Ching-ching.”
“Siu Yin bercerita kepadamu?”
“Ya, ia mencariku supaya memintakan ampunan bagi Ching-ching. Tapi ceritanya
terputus-putus, sehingga aku hanya dapat mengira-ngita saja apa yang terjadi.”
“Dia lakukan itu? Padahal aku menyuruhnya tinggal di kamar. Ah, rupanya ia juga
ketularan bandelnya Ching-ching.”
Istrinya tertawa. “Melihat mereka berdua, aku ingat akan kau dan soe-hengmu
selagi muda. Kalian begitu akur. Semua pekerjaan dikerjakan bersama,
susah-senang ditanggung berdua. Padahal sifat kalian berbeda sekali. Sekarang
Ching-ching mewarisi kenakalan ayahnya. Itu bukan salahnya.”
Chung Yen tersenyum. Sewaktu kecil ia memang sebandel anaknya. Lebih malah.
Karena itu ia sering dihukum oleh gurunya. Dan tiap kali ia dihukum,
soe-hengnya, ayah Lan Siu Yin, menemani sekalipun kesalahan jelas-jelas ada
padanya.
Sayang, sekarang Lan Man Fung sudah tiada. Tapi ia menitipkan Siu Yin padanya.
Maka dari itu, ketika mendengar Siu Yin hampir celaka, ia menjadi gusar. Dalam
pikirnya, andaikan Siu Yin tidak tertolong, entah bagaimana ia menghadap
soe-hengnya kelak.
Chung Yen menghela napas. “Lin-moay, aku ada urusan sedikit. Aku harus pergi ke
pertemuan para pendekar. Barangkali baru besok pagi bisa pulang. Ching-ching ada
di dalam. Begitu aku pergi, boleh kau lepaskan dia.”
Han Mei Lin mengantar suaminya keluar. Lalu ia pergi mendapati anaknya yang
Ching Ching
5
masih berlutut di ruang baca. “Ching-ching,” panggilnya.
Ching-ching menoleh. “Nio (Ibu)!”
“Ching-ching, apa yang kau buat hingga Thia-thia menghukummu?”
“Aku mengajak Yin Cie-cie ke sungai kecil untuk menangkap ikan. Waktu dapat ikan
besar, tiba-tiba saja terpeleset. Yin Cie-cie mau menolong, tapi ikut
tergelincir dan tercebur ke sungai.”
“Ching-ching, kalau cuma menangkap ikan, buat apa jauh-jauh. Di kolam belakang
kan ada. Lebih besar dan gemuk pula.”
“Ikan-ikan di kolam itu gemuk dan lamban, Nio. Menangkapnya terlalu mudah. Di
sungai kecil ikannya langsing dan gesit. Biarpun lebih sulit, tapi lebih
menyenangkan.”
“Baiklah, baiklah,” ibunya mengakui. “Sekarang bangkitlah. Ini waktumu belajar,
bukan? Hayo, jangan biarkan Sian-seng menunggu terlalu lama.”
“Tidak, Nio, aku tidak boleh berdiri sampai Thia-thia mengijinkan.”
“Thia-thia sudah mengampunimu. Ia sudah katakan pada Nio untuk melepaskanmu.”
“Tapi … tapi ….”
“Kenapa? Kau tidak percaya pada Nio?”
“Bukan, bukan begitu,” jawab Ching-ching buru-buru. “Tentu saja aku percaya pada
Nio. Tapi orang yang berbuat salah mesti dihukum. Dan hukuman itu harus sesuai
kesalahan. Kalau Thia-thia bilang berlutut, aku akan berlutut sampai Thia-thia
ijinkan Ching-ching berdiri.”
Han Mei Lin menatap dalam-dalam mata anaknya. “Ini bukan akalmu untuk menghindar
dari pelajaran, bukan?” katanya curiga.
“Nio, kalau Nio tidak percaya, biarlah Meng Sian-seng mengajar di kamar baca ini
supaya aku bisa ikut belajar.”
“Ching-ching, kau benar-benar tidak akan berdiri sebelum thia-thiamu pulang?
Mungkin thia-thiamu pulang esok pagi, apakah kau tahan?”
Ching-ching mengangguk tegas. Paling-paling kakinya pegal-pegal nantinya.
Ibunya pun tidak dapat lagi membujuk anaknya. “Kau betul-betul keras kepala
seperti ayahmu,” gumamnya. “Baiklah, biar Nio panggil Meng Sian-seng supaya
mengajar di sini.”
Siang itu Meng Sian-seng boleh bergembira. Lie Mei Ching menjadi anak terbaik
yang pernah dilihatnya. Sekalipun sambil berlutut sekian lama, anak itu dapat
belajar dengan baik. Sekali dengar saja, apa yang dikatakan gurunya dapat
diulangi dengan tepat.
Siu Yin yang belajar bersamanya pun merasa senang. Kalau tiap hari Ching-ching
seperti hari ini, tentu piauw-moaynya itu tak akan lagi dihukum dan mereka dapat
bermain bersama seharian.
Sampai malam menjelang, Ching-ching tak bergeser dari tempatnya. Ia menolak
ketika ibunya datang membujuk untuk tidur di kamarnya. Padahal, saat itu rasa
kantuk sudah menyerang Ching-ching. Tak berapa lama ia pun tertidur dalam
keadaan berlutut hingga tak tahu ketika ibunya datang menyelimuti dan meniup
padam lilin.
Pagi-pagi keesokan harinya Ching-ching merasa seluruh tubuhnya pegal dan kaku,
tapi ia tak merasakan apa-apa pada kakinya. Dan ketika ia membuka mata, ternyata
thia-thianya sedang duduk membaca.
“Thia-thia,” panggilnya, “kapan Thia-thia pulang?”
“Baru saja,” jawab ayahnya tersenyum. Ching-ching, kau tidak turuti kata ibumu
kemarin.”
“Kemarin aku tidak ke mana-mana, Thia. Sungguh. Bahkan belajar dan makan pun,
Ching Ching
6
aku berlutut,” Ching-ching cepat membela diri.
“Thia-thia tahu, tapi bukankah ibumu menyuruhmu berdiri kemarin?”
“Tapi … Thia-thia bilang …. “
“Sudahlah, sekarang kau boleh berdiri.”
Ching-ching mencoba berdiri. Dirasanya kakinya sakit sekali. Bertumpu pada meja
di dekatnya, ia berhasil berdiri. Namun, kakinya seolah tidak menapak tanah. Ia
pun terjatuh.
Sebelum tubuh anaknya menyentuh lantai, Lie Chung Yen sudah melompat dan
menyambar. Sebelum disadari oleh Ching-ching, gadis itu sudah berada dalam
gendongan ayahnya.
“Kakimu sakit sekali, bukan? Tapi tak apa. Besok pagi kau akan pulih kembali.
Anggap saja sebagai latihan permulaan perlajaran silatmu. Dan hari ini kau boleh
beristirahat seharian di kamar.”
“Tidak usah belajar?” tanya Ching-ching.
“Senang, ya, tidak usah belajar?” kata Chung Yen sambil memijit hidung gadis
ciliknya. Ching-ching tertawa dan menyandarkan kepala di pundak ayahnya.
Ching-ching sudah memulai pelajaran silatnya. Kini ia tak pernah bermain ke luar
rumah. Setiap ada kesempatan, ia berlatih silat. Pada permulaannya ia dan Siu
Yin belajar bersama-sama. Tapi Siu Yin yang lembut tidak menyukai
latihan-latihan yang berat. Padahal waktu itu mereka baru mempelajari kuda-kuda.
Tapi Ching-ching bertahan. Ia memang bosan belajar memperko-koh kuda-kuda yang
mengesalkan. Kaki direntang, lutut ditekuk hingga paha lurus. Punggung dan
kepala tegak. Lengan dan siku tegak lurus. Siku menempel di pinggang. Tangan
mengepal. Dan ia harus berdirid dengan sikap demikian berjam-jam.
Bagi gadis cilik yang lincah itu, latihan demikian amatlah berat. Dia yang
biasanya tak pernah diam, kini harus tegak bagai batu dengan konsentrasi penuh.
Kadang-kadang Ching-ching meminta murid ayahnya untuk mengawasi atau melatih,
tapi murid pemula ayahnya yang berumur antara 12-17 tahun malah lebih sering
menggoda. Untunglah dengan kebulatan tekadnya, dengan cepat Ching-ching dapat
menguasai kuda-kuda yang ko-koh.
Bahkan ia sudah dapat menguasai pukulan-pukulan yang berbahaya dalam waktu
singkat. Walaupun pukulan-pukulan itu tidak dibarengi lwee-kang (tenaga dalam),
tetapi sudah cukup terarah.
Bebareng dengan itu kemajuannya dalam pelajaran cukup pesat. Hampir-hampir
melampaui piauw-cienya yang rajin. Hal ini membuat Meng Sian-seng menyayanginya
dan guru itu dengan senang hati menuruti beberapa permintaan Ching-ching.
Misalnya melukis wajah Ching-ching, mengajarnya bermain suling dan memetik khim
(kecapi), dan kadang-kadang membebaskan muridnya dari pelajaran dengan bercerita
tentang pendekar-pendekar masa lampau.
Tetapi kehidupan demikian lama-lama membuat jenuh. Seperti hari ini, kebandelan
Ching-ching nampak kembali.
“Sian-seng, hari ini tak usah belajar sajalah.”
“Baik, kalau begitu aku akan bercerita tentang pendekar—“
“Hari ini aku tak berminat mendengarkan cerita,” potong Ching-ching cepat-cepat.
“Sian-seng, hari ini aku ingin bermain-main di luar. Boleh, ya?”
Meng Sian-seng ragu-ragu. Semalam ia keasyikan membaca buku sampai larut
sehingga hari ini merasa tidak bersemangat. Kalau ia dapat tidur sejenak,
barangkali akan lebih segar ketika bangun nanti.
“Baiklah,” katanya kemudian. “Tapi jangan lama-lama. Setelah bermain nanti,
kalian harus belajar lagi.”
Ching Ching
7
Ching-ching dan Siu Yin berlari keluar.
“Ching-moay,” kata Siu Yin, “akan main apa kita sekarang?”
“Tidak tahu,” jawab Ching-ching. “Aku akan berlatih silat saja, ah.”
Ching-ching menggerakkan tangan dan kaki seperti yang diajarkan ayahnya. Siu Yin
memandangnya dengan kagum.
“Siauw-sio-cia (Nona Kecil), latihanmu sungguh baik,” seseorang tiba-tiba
berkata. Ialah Sie Ling Tan, salah satu murid Pek-eng-pay (Partai Elang Putih)
pimpinan Lie Chung Yen, yang cukup berbakat, berumur 12 tahun.
“Tan Ko-ko (Abang Tan),” sapa Ching-ching. “Tumben kau tidak berlatih, biasanya
paling rajin.”
“Siauw-sio-cia, aku mau menghadiahkan ini pada Toasiocia (Nona Besar),” kata
Ling Tan sambil menyodorkan beberapa kuntum bunga kepada Siu Yin.
“Terima kasih,” kata Siu Yin lirih.
“Untukku mana?” tanya Ching-ching.
“Siauw-sio-cia, aku tak tahu kau suka bunga juga.”
“Memang tidak. Tapi kalau Yin Cie-cie diberi, aku juga mau.”
“Wah, aku tidak membawa. Aku hanya sempat memetik selembar daun ini saja.”
“Daun? Aku tak mau daun,” Ching-ching cemberut, merajuk.
“Tapi daun ini istimewa.”
“Apa istimewanya? Daun di mana-mana juga sama.”
“Yang ini lain. Lihat!” Ling Tan membawa daun kecil itu ke mulutnya. Terdengar
suatu siulan merdu. Ling Tan menyiulkan lagu yang gembira. Siu Yin dan
Ching-ching bertepuk tangan.
“Tan Ko-ko, ajari aku, ajari aku,” pinta Ching-ching.
“Bukankah kau cuma ingin bunga? Biar kucarikan,” kata Ling Tan. Anak laki-laki
itu berbalik.
Ching-ching menarik bajunya. “Tan Ko-ko, jangan begitu. Kau tahu aku tak peduli
pada bunga.”
Ling Tan tersenyum. Sekali lagi suatu siulan terdengar.
“Biar kucoba,” kata Ching-ching. Pfff, pfff. Ia meniup-niup, namun tak berhasil.
“Marilah kuajari.” Ling Tan membeli contoh. “Lihat, jepit ujung-ujung daun ini
dengan telunjuk dan jempol. Lalu pegang di depan bibir, melintang. Tiup begini
….”
Ching-ching mencoba berkali-kali. Setelah beberapa lama, sebuah siulan sumbang
berhasil keluar. “Huh, daunnya sudah jelek,” katanya. “Tan Ko-ko, di mana kau
dapatkan daun ini. Aku ingin juga memetiknya banyak-banyak.”
“Di hutan kecil,” jawab Ling Tan.
“Antar aku ke sana!” kata Ching-ching bersemangat.
“Ching-moay, jangan,” cegah Siu Yin. “Kita tak boleh main lama-lama. Kalau Lie
Siok-siok tahu kita tak belajar, bisa-bisa diomeli.”
“Tidak apa-apa,” Ching-ching bersikeras. “Sudah lama aku tidak diomeli. Kalau
sekarang mesti diomeli, ya tak apa.”
“Tan Ko-ko,” Siu Yin ganti memohon pula pada Ling Tan. “Jangan bawa Ching-moay
main jauh-jauh.”
“Siauw-sio-cia,” kata Ling Tan, “kau tunggulah di sini. Biar kuambilkan beberapa
lembar untukmu.”
“Tidak mau, aku mau ambil sendiri.”
“Kau kan tidak tahu tempatnya.”
“Karena itu Tan Ko-ko harus tunjukkan padaku.”
Ling Tan berdiri dengan bingung di tempatnya.
Ching Ching
8
Melihat itu, Ching-ching jadi kesal. “Kalau begitu biar kucari sendiri.”
“Eh, kau bisa tersesat, Siauw-sio-cia.”
“Makanya kau antar aku.”
Ling Tan terpaksa menuruti kehendak Ching-ching. Siu Yin ragu-ragu sejenak. Tapi
akhirnya ia ikut juga.
Di hutan kecil, Ling Tan menunjukkan tempat daun itu tumbuh. Ia juga memilihkan
bagi Siu Yin dan Ching-ching. Berlatih beberapa kali, Ching-ching sudah dapat
meniup dengan betul. Sementara Siu Yin sedari tadi sudah menyerah.
“Tan Ko-ko, ajari aku lagu yang lucu,” pinta Ching-ching.
Ling Tan mengajarinya sebuah lagu riang. Mendengar sekali saja Ching-ching sudah
dapat mengikuti.
“Lagunya bagus,” kata Siu Yin yang memang menyukai musik. “Siapa yang
mengajari?”
“Kukarang sendiri,” kawab Ling Tan bangga. “Tapi Toa-sio-cia jangan bilang
kawan-kawanku, ya. Bisa-bisa aku ditertawakan.”
Siu Yin tersenyum, memandang kagum. Anak sekecil ini bisa mengarang lagu? Hebat
betul.
“Tan Ko-ko, tolong petikkan beberapa helai daun di dahan yang tinggi itu!” kata
Ching-ching.
Ling Tan bangkit membantu. “Banyak amat, Siauw-sio-cia. Untuk apa?”
“Untuk persediaan. Supaya aku tak perlu bolak-balik kalau mau memainkan daun
ini.
Ling Tan tertawa. “Siauw-sio-cia, asal kau tahu saja, daun yang sudah layu tak
bisa lagi dimainkan.”
“Kenapa?”
“Karena daun yang layu itu lemas. Kalau ditiup, getarannya tidak pas, maka tak
dapat mengeluarkan bunyi.”
“Kalau begitu daun ini kutanam saja di kebun di rumah.”
“Mana bisa daun ditanam?” Siu Yin menyela.
“Habis bagaimana?” Ching-ching balas bertanya.
“Siauw-sio-cia, kalau mau menanam, ambil saja tumbuhan yang masih kecil.” Seraya
berkata demikian, Ling Tan mencabut tanaman yang masih kecil. “Tapi kau harus
menunggu cukup lama untuk mencabuti daunnya.
“Nah, aku sudah puas memetiknya. Ayo kita pulang sekarang.”
“Baiklah.”
Mereka melangkah pulang.
“A-hoa, A-hoa!” Tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga anak kecil itu berhenti mendadak. Dari kejauhan di balik pepohonan tampak
bayangan yang cepat sekali mendekat. Tiba-tiba saja di depan mereka telah
berdiri seorang laki-laki berumur 40-an yang tinggi besar. Rambut orang itu
acak-acakan. Kumis dan jenggotnya lebat. Alisnya tebal dan ia membawa pedang
besar di punggunggnya.
Siu Yin gemetar ketakutan. Ia merapatkan diri pada Ling Tan. Ching-ching
sebaliknya dari takut, malah maju menghampiri orang itu dan memperhatikan dari
dekat.
“A-hoa, ayo pulang,” kata orang itu seraya menarik lengan Ching-ching.
“Aku bukan A-hoa,” kata gadis cilik itu. “Namaku Lie Mei Ching.”
“Kau bukan A-hoa? Tidak, kau pasti A-hoa anakku. A-hoa, pulanglah. Ibumu sudah
lama menanti di rumah.”
Ching-ching mulai ketakutan. Ia menoleh pada Ling Tan. Anak laki-laki itu tak
Ching Ching
9
tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi ketika orang aneh itu menggendong
Ching-ching, ia segera menyerang bertubi-tubi.
Ching-ching juga tak tinggal diam. Ia berontak, memukul, menendang, menggigit,
tapi seolah tak dirasakan orang itu. Sementara Ling Tan sudah dibikin
jungkir-balik beberapa kali. Kemudian dengan satu gebrakan saja anak itu
tergolek pingsan.
Siu Yin yang sedari tadi ketakutan menjadi panik. Sambil menangis ia menghampiri
orang aneh itu. “Lo-peh (Paman Tua), lepaskanlah Ching-moay. Aku mohon padamu,
lepaskanlah piauw-moayku.”
“Huh? Siapa piauw-moaymu? A-hoa bukan piauw-moaymu. A-hoa anakku. Dan akan
kubawa pulang sekarang.” Laki-laki itu melesat pergi.
“Ching-moay!” Siu Yin menjerit memanggil.
“Yin Cie-cie! Yin Cie-cie, tolong aku!” Dalam gendongan orang itu, Ching-ching
pun menangis menjerit-jerit. Tapi ia dibawa pergi cepat, cepat sekali. Sebentar
saja Siu Yin tak dapat melihatnya lagi.
Siu Yin jatuh terduduk di tanah. Ia masih menangis memanggil-manggil nama
piauw-moaynya. Beberapa saat kemudian pandangannya menjadi kabur. Pepohonan di
sekitarnya nampak berputar. Siu Yin ketakutan. Sekali lagi ia memanggil nama
Ching-ching lalu pingsan di samping Ling Tan.
Meng Sian-seng terjaga dari tidurnya. Ia bermimpi seram sekali. Ada siluman
hijau membawa Ching-ching pergi. Dan siluman itu ingin menghisap darah Meng
Sian-seng juga.
Tanpa terasa ia bergidik ngeri. Namun hatinya merasa kuatir. Entah sudah berapa
lama ia tertidur. Ching-ching dan Siu Yin tidak membangunkannya. Ia memandang ke
luar jendela. Hari sudah gelap. Astaga! Rupanya ia tertidur berjam-jam. Pantas
saja mimpinya seram.
Meng Sian-seng melangkah ke luar kamar. Di kebun dilihatnya Lie Hoe-jin (Nyonya
Lie) menatap ke kejauhan.
“Ah, Meng Sian-seng. Hari ini mengajar lama sekali. Apakah tidak lelah?
Bagaimana Ching-ching? Tidak bosankah ia?”
Muka Meng Sian-seng memerah. Ia seolah disindir. Tapi jawabnya, “Ching-ching
baik. Ia belajar rajin.”
“Ah, ya. Sejak ayahnya bersedia mengajari silat, ia menjadi anak yang patuh,
bukan?”
“Ya.”
Kedua orang itu terdiam. Tak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.
“Soe-nio (Istri guru),” tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
Keduanya menoleh dan terkejut. Ling Tan membopong Siu Yin yang masih pingsan.
Siu Yin sendiri tampaknya tidak apa-apa, tapi anak laki-laki itu kelihatan memar
di sekujur tubuhnya.
“Astaga, Ling Tan! Kenapa?” Han Mei Lin menghampiri. “A-hung,” katanya pada
pelayan, “bawa Toa-sio-cia ke kamarnya! Ling Tan, kau ikut aku ke kamar obat.”
Ling Tan mengikuti soe-nionya dari belakang. Di depan kamar obat mereka
berpapasan dengan Lie Chung Yen.
“Ling Tan, kenapa mukamu? Berkelahi dengan saudara seperguruanmu?”
“Suamiku, biarlah luka-lukanya diobati dulu, baru kau tanyakan sebab-sebabnya.
Tadi ia pulang membawa Siu Yin yang pingsan.”
“Bagaimana Siu Yin?” tanya Chung Ten pada istrinya yang mulai mengobati Ling
Tan.
“Tidak apa-apa, cuma pingsan.”
Ching Ching
10
“Ching-ching?”
“Bukankah ada di kamar belajar?”
“Tadi kutengok ke sana, tidak ada siapa pun.”
“Di kamar baca?”
“Aku malah baru dari sana. Tidakkah Ching-ching pulang bersama Siu Yin? Biasanya
kedua anak itu bermain bersama.”
“Soe-hoe (Guru),” Ling Tan berkata sambil menangis. “Siauw-sio-cia ...
Siauw-sio-cia dibawa kabur orang!”
“Dibawa kabur?” Chung Yen dan istrinya membelalak terkejut. “Apa maksudmu?”
Tersendat-sendat Ling Tan menceritakan segala yang terjadi di hutan kecil. Han
Mei Lin hampir-hampir pingsan ketika mendengar semua itu. Untung ia masih dapat
menguasai perasaannya. Sekalipun demikian, sedu-sedan tak dapat ditahannya.
Chung Yen sendiri terpekur beberapa saat. “Aku akan mencari Ching-ching,”
katanya dengan suara bergetar. “Biar kubawa beberapa orang murid. Mudah-mudahan
ia selamat. Mendengar cerita Ling Tan, kelihatannya orang asing itu tidak
bermaksud jahat.” Chung Yen menghela napas. “Lin-jie, kau uruslah Siu Yin dan
Ling Tan aku pergi dulu.”
Lie Chung Yen membawa murid-muridnya mencari Ching-ching. Bukan saja hutan kecil
yang mereka jelajahi, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa di sekitar
tempat itu. Berhari-hari mereka mencari, namun jejaknya saja pun tidak
diketemukan.
Pada hari kedua belas, Lie Chung Yen memutuskan untuk pulang sekalipun dengan
hati remuk. Ia tak mau memikirkan diri sendiri. Masih banyak tugas yang harus ia
lakukan. Pek-eng-pay tak boleh terbengkalai. Apalagi ia masih harus bertanggung
jawab atas Siu Yin. Karena itu ia merelakan Ching-ching walaupun dalam hati ia
menjerit.
Ching-ching dibawa orang aneh itu dengan cepat, melewati hutan dan gunung.
Saking cepatnya, Ching-ching tak dapat melihat apa yang dilewati. Hanya
samar-samar saja sesekali ia mengenali batang-batang pohon yang berjajar.
Kadang-kadang mereka bermalam di tepi sungai. Pada saat-saat demikian,
Ching-ching boleh makan ikan sepuasnya. Bila melewati hutan, orang itu menangkap
ayam liar atau burung untuk dipanggang. Rasanya lezat. Ching-ching belum pernah
makan makanan seperti itu di rumahnya.
Setelah beberapa hari, Ching-ching tidak takut lagi pada orang itu. Ia malah
senang dibawa menjelajahi hutan-hutan sekalipun kadang-kadang menangis bila
teringat orang tua dan piauw-cienya. Namun, orang aneh di sampingnya selalu
menghibur.
Dari percakapannya, Ching-ching mengerti kalau orang itu menganggapnya sebagai
anak. Entah apa sebabnya. Orang itu pun menyuruh Ching-ching memanggil A-thia
kepadanya. Meskipun heran, Ching-ching menurut. Ia tak mempedulikan panggilan.
Yang penting orang itu baik kepadanya, ia tak keberatan disuruh panggil apa
saja.
Malam itu mereka berhenti di sebuah hutan. Hari itu hari kesembilan. Mereka
membakar seekor ayam hutan yang ditangkap sore harinya.
“A-hoa,” kata orang itu. “Ini ayamnya sudah matang. Nih, kau ambillah pahanya
yang berdaging empuk.”
Ching-ching mengambil daging yang disodorkan. Ditiup-tiupnya sebentar, lalu
digigit sedikit-sedikit. Selesai makan, mereka berbaring berdampingan, menatap
bintang yang bertebaran di langit.
“A-thia,” panggil Ching-ching takut-takut.
Ching Ching
11
“Hmmm,” jawab yang dipanggil tanpa berpaling dari bintang yang tergantung jauh
di sana.
“A-thia, sudah berhari-hari kita berjalan. Ke manakah tujuannya?”
“Anak tolol, tentu saja pulang menemui ibumu!”
“Pulang ke mana?”
“Ke puncak Gunung Leng-yi. Kau lupa? Kita dulu hidup bersama-sama di sana. Ah,
tentu saja kau lupa. Kan sudah lama sekali kau tidak pulang ke rumah.”
“A-thia,” kata Ching-ching lagi. “Jauhkah Leng-yi-san dari sini?”
“Tidak, tidak jauh lagi. Dari sini pun kau sudah dapat melihatnya. Tuh, kau
lihat bayangan hitam yang besar di sana? Itulah Leng-yi-san.”
“Berapa hari perjalanankah untuk sampai di sana, A-thia?”
“Paling-paling tiga hari lagi kau sudah dapat bertemu ibumu. Sudahlah, sudah
malam. Kau tidurlah. Jangan bertanya-tanya lagi.”
Tak berapa lama a-thianya sudah mendengkur, Ching-ching masih belum tidur. Ia
memikirkan tentang dirinya. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti.
Sedang apa, ya, Yin Cie-cie sekarang? Pasti sudah meringkuk di bawah selimut.
Nio mungkin sedang menyulam, sementara Thia-thia sedang membaca, pikirnya.
Ching-ching tidak tahu, saat itu thia-thianya sendan mencari ke sana ke mari. Ia
mengira thia-thianya mungkin akan merasa kuatir beberapa hari, tapi tidak selama
itu. Tapi Siu Yin mungkin akan sangat kehilangan dan ibunya akan menghibur
piauw-cienya dengan kasih sayang.
Berpikir hal-hal demikian, Ching-ching merasa rindu akan rumahnya. Tanpa terasa
air matanya mengalir. Ia terisak pelan sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Hari kedua telah lewat. Mereka tiba di sebuah desa di kaki Leng-yi-san.
Ching-ching dibawa ke sebuah rumah makan di desa itu. A-thianya segera memesan
macam-macam makanan dan dua guci arak.
“A-hoa, makanlah kenyang-kenyang. Perjalanan ke rumah nanti cukup panjang dan
A-thia tidak akan berhenti di jalan supaya kita bisa sampai di rumah sebelum
hari menjadi gelap.”
“A-thia, ceritakan padaku, apakah Ibu itu baik orangnya?”
“Tentu saja. Ibumu adalah wanita yang terbaik di dunia. Dulu ibumu adalah
seorang pendekar. Semua orang segan padanya. A-thiamu juga.”
Ching-ching mendengarkan sambil sibuk mengunyah makanan. “Kalau begitu Ibu hebat
sekali, ya.”
“Ya, ia seorang yang baik budi. Banyak orang-orang jahat yang bertobat karena
dia. Karena itu, selain disegani, ibumu juga dihormati dan mempunyai banyak
sahabat yang hebat. Padahal waktu itu ia baru berumur 20 tahun.”
“Bagaimana Ibu bertemu dengan A-thia?”
“Waktu itu a-thiamu berumur 25 tahun dan sedang melewati sebuah hutan. Tiba-tiba
terdengar suara senjata beradu. A-thia cepat-cepat mendekat. Di sana A-thia
lihat seorang gadis sedang bertempur melawan seorang nenek jelek—“
“Dan gadis itu adalah Ibu, betulkah?”
“Anak pintar, aku benar. Dia ibumu.”
“Bagaimana akhirnya, A-thia?” tanya Ching-ching tak sabar seperti biasanya.
“Siapa yang menang? Ibu atau nenek itu?”
“Tentu saja ibumu. Nenek tua jelek itu seudah terdesak. Tapi, dasar nenek licik,
pada saat hampir mati di ujung pedang, ia lemparkan puluhan jarum beracun ke
arah ibumu. Sekalipun ibumu cukup lihay, namun beberapa jarum beracun itu sempat
menancap di tubuhnya. Dan nenek tua itu kabur. A-thia mencoba menolong ibumu.
Namun racun jarum-jarum itu amat kuat. A-thia tidak dapat mengeluarkan semua
Ching Ching
12
racun. Akibatnya kelihayan ibumu lenyap. Dan sampai sekarang racun-racun itu
masih sering dirasanya.”
Ching-ching mengerutkan kening. Setahunya jarum adalah logam tipis yang
digunakan untuk menyulam atau menjahit. Bagaimana bisa berpengaruh begitu hebat?
Ching-ching terkejut ketika A-thia menepuk pundaknya.
“A-hoa, nanti kau harus urus ibumu baik-baik. Jangan bikin sedih hatinya, ya?”
“A-thia jangan kuatir. Aku akan layani Ibu sebaik-baiknya,” kata Ching-ching.
“A-hoa, ini, kau minum juga arak, temani A-thia minum.”
Ching-ching membelalak. Minum arak? Apa boleh? Ibunya bilang, anak kecil tidak
boleh minum arak. Apalagi perempuan. Karenanya Ching-ching diam saja.
“Ayo minum. A-thiamu jago minum. Anaknya pun harus begitu juga.”
Ragu-ragu Ching-ching mengambil cawan araknya yang penuh terisi.
“Jangan ragu,” kata a-thianya. “Lihatlah a-thiamu.” Sekali teguk, cawan araknya
sudah licin.
Ching-ching tak ragu lagi. Sambil memejamkan mata, ia menghabiskan isi cawannya.
“Bagaimana? Enak bukan?”
Ching-ching bersiap untuk mengangguk. Tetapi tiba-tiba saja lehernya terasa
panas. “Aduh, aduh, panas,” keluhnya.
“Anak bodoh, masa sebegitu saja kepanasan? Nih, minum lagi.”
Ching-ching tak berani menolak walaupun setiap menghabiskan satu cawan,
kepalanya terasa semakin berat. Akhirnya ia tak tahan lagi. Belum habis setengah
guci, kepalanya sudah terkulai lemas. Tak didengar a-thianya berkata,
“A-hoa, bukan maksud A-thia memaksamu minum arak. Tapi perjalanan ke puncak
Leng-yi-san masih jauh dan dingin hawanya. Arak itu akan membuatmu pulas dan
tubuhmu akan terasa hangat. Dengan demikian A-thia akan lebih leluasa
membawamu.”
Dan orang itu memondong Ching-ching di pundaknya. Setelah membayar, ia melesat
pergi dengan sangat cepat diiringi pandangan kagum orang-orang di kedai itu.
Ching-ching membuka mata. Ia mendapati dirinya tidur di sebuah kamar yang
sederhana. Kamar itu dikelilingi tembok batu yang disusun rapi berjajar. Di sana
terdapat sebuah ranjang dari batu yang sedang ia tiduri. Ada juga sebuah meja
dan empat kursi. Semuanya dari batu.
Ching-ching mencoba untuk duduk. Uh, kepalanya masih puyeng. Ia bersandar ke
dinding. Ih, dingin betul dinding itu. Tapi kok ranjangnya hangat?
Dilongoknya kolong tempat tidur. Oh, pantas. Di bawah tempat tidur itu terdapat
pendiangan dan apinya dinyalakan.
Ia melompat turun dari tempat tidur. Barangkali di luar A-thia menunggunya. Tapi
begitu turun dari tempat tidur dirasanya dingin yang luar biasa. Merasuk sampai
ke tulang. Bibirnya gemetar. Badannya menggigil dan giginya saling beradu
menimbulkan suara bergemerutuk.
Ia cepat-cepat kembali ke ranjang dan duduk di sana. Nah, sekarang sudah
mendingan! Tapi Ching-ching tidak berani turun lagi, takut kalau-kalau ia beku
kedinginan. Karenanya ia duduk saja termenung di tempat tidur.
Tapi tak berapa lama, ia kedinginan juga. Sekalipun tempat tidurnya hangat, tapi
tak dapat mengusir dinginnya hawa di kamar itu. Ching-ching meringkuk di sudut.
Beberapa kali ia bersin-bersin. Hidungnya mampat dan matanya berair.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang. Seorang wanita melangkah masuk sambil
membawa dua buah baki. Baki yang satu berisi mangkuk, di atas baki yang lain
terdapat sesuatu yang kelihatannya seperti kulit binatang berbulu tebal.
Ching-ching memandang wanita itu dengan mata terbelalak. Cantik sekali wanita
Ching Ching
13
ini! Jauh lebih cantik daripada ibunya sendiri yang selama ini diketahuinya
sebagai wanita tercantik yang pernah ia lihat. Sekarang, di hadapannya tiba-tiba
ada yang lebih jelita. Ching-ching menjadi kagum. Ia bahkan tak berkedip karena
takut. Kalau-kalau wanita itu hanya bayangan dan akan menghilang begitu matanya
dikedipkan.
Melihat Ching-ching yang terbengong-bengong, wanita itu merasa geli dan
tersenyum. “Kenapa? Adakah sesuatu yang menakutkanmu pada diriku?”
Ching-ching memandang wanita itu dari ubun-ubun sampai ke kaki. Wajahnya bulat
telur, hidungnya mancung, alisnya terbentuk indah, matanya bening, bibirnya
mungil, merah sekalipun tanpa gincu, kulitnya putih halus bagai pualam. Ada
sesuatu yang membuat Ching-ching merasa aneh. Sesuatu yang membedakan dari
wanita-wanita lainnya. Tapi tidak ada sesuatu yang menakutkan. Karenanya
Ching-ching menggeleng. “Tidak, rasanya tidak ada yang perlu kutakuti.”
“Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?”
Ching-ching segera menjawab, “Karena aku belum pernah melihat orang lain yang
secantik ... secantik ....” Sejenak Ching-ching bingung hendak menyebut apa dia
pada wanita itu. Menilik umurnya, paling-paling yak beda jauh dengan ibunya. Mau
panggil nyonya, bagaimana kalau ternyata belum menikah. Mau panggil nona,
rasanya tidak pantas.
“Secantik apa?” tanya wanita itu tersenyum.
“Secantik Kouw-kouw (Bibi),” kata Ching-ching.
“Ah, gadis cilik, rupanya kau pandai mengambil hati pada orang lain.”
“Sungguh, aku tidak bohong,” sanggah Ching-ching.
“Sudahlah. Ini kubawakan sop dan baju untukmu. Kau kedinginan, bukan?”
Saat itu Ching-ching merasakan lagi hawa dingin di kamarnya. Padahal waktu
bercakap-cakap sebentar tadi hawa dingin itu tidak terasa.
“Ini, pakai dulu,” kata wanita itu seraya menyodorkan pakaian di atas baki.
Ching-ching mengambilnya dan meraba-raba baju dari kulit binatang itu dengan
heran. Setahunya pakaian biasa dibuat dari kain, bukan dari bulu.
“Ayo pakai!” desak wanita itu lagi. “Nanti kau beku karena kedinginan.” Dan ia
membantu Ching-ching mengenakannya sebagai baju luar. “Nah, sekarang makanlah
sop ini supaya badanmu hangat terus.”
Ching-ching menurut. Dihirupnya sop hangat itu. Lezat sekali dan dari sop yang
mengalir lewat tenggorokan itu sirasanya sesuatu yang menghangatkan. Dari leher,
ke dada, lalu ke perut. Akhirnya seluruh tubuh. Dan ia tidak kedinginan lagi.
“Hmm, enak sekali,” katanya memuji. “Kouw-kouwkah yang memasaknya?”
Wanita itu mengangguk.
“Kouw-kouw harus mengajarkan aku caranya. Nanti kalau sudah besar, aku juga
ingin membuat sop selezat ini,” kata Ching-ching lagi sambil menyodorkan mangkuk
yang telah licin.
“Ya, ya, kau boleh belajar nanti,” kata wanita itu seraya tertawa dan berjalan
ke pintu.”
“Kouw-kouw,” panggil Ching-ching, teringat sesuatu. “Adakah melihat a-thiaku?”
Wanita itu mengerutkan kening. Lalu tiba-tiba tersenyum. “Ia ada di luar. Kau
mau menemuinya?”
Ching-ching melompat dari tempat tidur. “Kouw-kouw mau antarkan aku?”
“Baiklah. Tapi aku harus membawa dulu mangkok ini ke dapur.”
Wanita itu menuntun Ching-ching. Bersama mereka pergi keluar kamar. Ching-ching
diajaak melewati beberapa lorong yang pendek namun berbelok-belok. Mereka tiba
di dapur yang tidak terlalu besar, namun rapi dan bersih. Ching-ching menunggu
Ching Ching
14
wanita itu sambil memperhatikan keadaan di luar.
Gumpalan-gumpalan salju mulai turun membuat Ching-ching keheranan. Ini baru
bulan tujuh, bagaimana mungkin turun salju? Untuk memastikannya, Ching-ching
menadahkan tangan menampung gumpalan putih yang berjatuhan itu.
Benar! Salju. Salju di bulan ketujuh! Ching-ching tak habis pikir. Ia termenung
memperhatikan salju yang mulai bertumpuk di tanak.
Tiba-tiba natanya menangkap suatu gerakan. Ada benda putih yang bergoyang-goyang
di sela-sela pagar. Ching-ching mendekat menghampiri. Dan ia mengenali benda
itu. Kelinci. Seekor kelinci putih dengan mata yang merah lucu.
Diulurkannya tangan untuk menangkap. Kelinci itu lari. Ching-ching mengejar.
Sebentar saja ia sudah tertinggal jauh. Kelinci itu berhenti. Seolah menunggu.
Tapi begitu jarak di antara mereka mengecil, ia mulai lari lagi dengan gerakan
yang lincah luar biasa.
Ching-ching mulai cape, tetapi ia tak putus asa. Kelinci itu terus dikejarnya,
sekalipun beberapa kali ia sempat terjerembab di atas salju yang lunak.
Lama-lama ia tak tahan lagi. Tanpa peduli akan sekitarnya, ia duduk di atas
tanah berlapis salju itu.
“Kelinci putih, aku tak sanggup lagi, Napasku habis,” katanya tersengal-sengal.
Kelinci yang dikejarnya berhenti berlari juga. Ia memandang nona kecil yang
kelelahan itu kemudian maju beberapa tindak, berhenti lagi. Telinganya
bergerak-gerak seolah menanyakan kenapa mereka berhenti bermain.
Ching-ching menjadi gemas. Ia bangkit dan menubruk kelinci itu. Sekali lagi ia
jatuh terjerembab, namun hanya salju yang berhasil ia pegang. Ching-ching
mengejar lagi.
“Aku akan menangkapmu, kelinci kecil,” katanya penuh tekad.
Tiba-tiba ia berhenti berlari. Seseorang bertubuh tinggi-besar telah terlebih
dulu menghadang dan menangkap kelinci itu.
“A-thia,” panggil Ching-ching girang.
“A-hoa, kau takkan bisa mengejar kelinci ini. Larinya jauh lebih cepat darimu,”
kata ayahnya.
“Aku tahu,” kata anak itu, “tapi aku tak mau menyerah. Aku yakin suatu saat aku
bisa menangkapnya.”
“Ya, suatu saat, tapi tidak sekarang. Kau harus mempelajari gin-kang (ilmu
mengentengkan badan) dulu, baru dapat menangkap kelinci kumala ini.”
“A-thia, ajari aku gin-kang itu.”
“A-thia akan ajari mulai besok,” kata a-thianya tertawa sambil memberikan
kelinci itu dan menggendong Ching-ching sekalian.
“A-thia, kenapa kelinci ini disebut kelinci kumala?”
“Karena warnanya putih, bulunya tebal dan halus, larinya sangat cepat. Sulit
bagi orang yang ilmunya tidak tinggi untuk menangkap. Kau tahu, A-hoa, ketika
bermain denganmu barusan, dia sudah berlari sangat-sangat pelan? Oh ya, kau
bertemu ibumu?”
Ching-ching menggeleng. “Belum.”
“Kalau begitu dari mana kau dapatkan baju ini?”
“Kouw-kouw yang memberikannya padaku.”
“Kouw-kouw?”
“Iya, Kouw-kouw yang cantik sekali. Itu orangnya.” Ching-ching menunjuk wanita
cantik yang bergegas menghampiri. “Kouw-kouw!” serunya. “Lihat, aku punya
kelinci putih yang lucu.”
“A-hoa, itu bukan kouw-kouw, itu ibumu.”
Ching Ching
15
“Ibu?”
“Dia boleh memanggil apa saja padaku,” kata wanita itu, yang sudah datang
mendekat.
“Tidak bisa. Ia anakmu, maka ia harus memanggil ibu padamu.”
Wanita itu terdiam. Ia memandang suaminya dengan sedih.
“A-hoa, ayo panggil ibumu!”
“Ibu,” kata Ching-ching tanpa ragu lagi.
“Ha-ha-ha, anak baik, anak baik,” a-thianya memuji.
“Sudahlah,” kata wanita itu. “Hari mulai gelap, mari kita pulang.”
“Baik,” jawab suaminya.
Ching-ching telah tidur di kamar batunya. Ia tak tahu ketika ibunya masuk dan
duduk di tepi ranjang, memperhatikan.
“Kau memang mirip A-hoa,” gumamnya, teringat akan anaknya. Akan hari-hari yang
pernah mereka lewati bertiga suaminya.
A-hoa memang serupa anak yang dibawa suaminya itu. Tak heran kalau laki-laki itu
salah mengenali orang. Tetapi berbeda dari anak ini, A-hoa adalah seorang
pemalu. Anak itu lemah lembut dan sangat mereka sayangi. Umurnya pun ada selisih
tiga tahun. Hanya saja, ketika tiga tahun lalu anaknya meninggal karena sakit,
umurnya memang sebaya anak ini.
Sejak itu, suaminya jadi seorang yang ada terganggu pikirannya. Suatu waktu ia
tampak normal, tapi di lain saat tiba-tiba berlari turun gunung dan mengatakan
ia akan mencari anaknya yang hilang. Beberapa kali ia pergi dan mengatakan
berjumpa anaknya di jalan. Tapi belum pernah ia culik anak orang lain dan
membawanya pulang.
Wanita itu menghela napas. Tak disangka, Chow Han Wei suaminya bisa jadi seorang
yang demikian. Seandainya saja ilmunya tidak hilang, mungkin mereka masih dapat
hidup seperti orang-orang lain. Tak perlu takut akan balas dendam orang lain
sampai harus menyingkir ke gunung.
Ia mengingat kehidupannya sendiri. Mengingat ketika pertama kali pergi dari
negerinya dan melancong ke Tiong-goan dan jatuh cinta pada negeri yang begitu
besar. Dan bagaimana dengan kemahirannya bersilat, ia malang-melintang di dunia
Kang-ouw (dunia persilatan). Dikenal sebagai Sat-kauw-sian-lie (Bidadari
Penjagal Anjing) dikarenakan ia tak tahan melihat kezaliman merajalela.
Sampai akhirnya ia dibokong seorang nenek kejam dengan jarum beracunnya yang
jahat. Kalau tidak ada suaminya yang menolong dan merawat dia, barangkali takkan
sempat ia menikmati dunia lebih lama lagi. Namun, sekalipun nyawanya tak jadi
melayang, ia harus kehilangan ilmunya. Memang ia masih dapat melakukan
gerakan-gerakan silat. Namun, tanpa dibarengi tenaga dalam, silat itu adalah
seperti tarian indah, tidak berbahaya.
“Lung Yin, sungguk jelek nasibmu,” katanya pada diri sendiri. Ia menghela napas
kemudian meniup lilin di kamar itu hingga padam.
Ching-ching termenung di depan kamarnya sambil mengelus-elus kelinci kemala.
Sekarang ke mana pun dan secepat apa pun kelinci itu lari, Ching-ching akan
dapat mengejar dan menangkapnya. Ia juga tak pernah kedinginan lagi sejak
ayahnya mengajarkan cara mengatur hawa dalam tubuhnya supaya tetap merasa
hangat. Apalagi A-thia juga mengalirkan tenaga dalam padanya.
“A-hoa.”
“Ibu,” Ching-ching menoleh.
“Kenapa? Kau ingat akan keluargamu di kota?”
Ching-ching mengangguk.
Ching Ching
16
“Kau rindu pada mereka?”
“Sedikit.”
Lung Yin menghela napas. “Kau salahkan A-thia karena membawamu ke sini?”
Buru-buru Ching-ching menggeleng. “Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja aku
merasa kesepian. Teman mainku hanya seekor kelinci. Lagi di sini tiap hari yang
kulakukan itu-itu melulu. Makan, tidur, main. Untung A-thia mengajari ilmu
ringan tubuh. Kalau tidak, uuuh, bosan.”
“Sebenarnya di sini pun banyak yang bisa kau lakukan. Belajar menjahit, memasak,
menyulam.”
“Men