PENERAPAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DI TAMAN ANAK SANGGAR ANAK ALAM (TA SALAM) YOGYAKARTA.
1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, terampil, berteknologi, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, mampu berperan sosial dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003). Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelaslah bahwa pendidikan harus dimulai sejak usia dini.
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar di sepanjang rentang kehidupan pertumbuhan dan perkembangan manusia (Trianto, 2011: 8). Anak usia dini berada pada golden age periode dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan anak perlu distimulasi dengan cara yang tepat, salah satunya melalui Pendidikan Anak Usia Dini.
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal dalam mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah, serta membantu anak dalam mencapai kecakapan hidup (lifeskills) yang dibutuhkan dalam kehidupannya. Pendidikan Anak Usia Dini
(2)
2
menitik beratkan peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosial emosional, bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini (Yuliani Nuraini Sujiono, 2009: 7). Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
Pembelajaran TK harus berorientasi pada perkembangan anak. Menurut Masitoh dkk. (2005: 6), pembelajaran Taman Kanak-kanak perlu memperhatikan prinsip belajar yang berorientasi perkembangan dan bermain yang menyenangkan, didasarkan pada minat dan pengalaman anak, mendorong terjadinya komunikasi baik individual maupun kelompok, dan bersifat fleksibel, sehingga peran guru lebih bersifat sebagai pembimbing, motivator, dan fasilitator. Pembelajaran lebih banyak memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan cara-cara yang tepat, misalnya melalui pengalaman riil, melakukan eksplorasi serta kegiatan lain yang bermakna. Slamet Suyanto (2005: 154) menambahkan bahwa pembelajaran anak usia dini harus berdasarkan konteks kehidupan nyata.
Piaget (dalam Forman & Fleet Hill,1983: 3) menyatakan:
“Meaningful learning is more likely when the child herself invents the alternatives ways of dong something. In fact, if the child is only imitating alternatives modeled by teacher or a parent, we do not call it play; it becomes drill. But if the child herself invents some new way to do something, the chances are that she will also better understand how that new way relates to other ways that she has performed the act in the past.”
(3)
3
Artinya, “pembelajaran bermakna itu seperti ketika anak menemukan sendiri cara alternatif dalam melakukan sesuatu. Pada faktanya, jika anak hanya meniru model altrnatif dari guru atau orangtua, kita tidak bisa menyebutnya bermain, itu menjadi latihan. Tetapi jika anak menemukan sendiri beberapa cara baru untuk melakukan sesuatu, anak akan lebih mengerti bagaimana hubungan antara cara baru dengan cara lain yang ia lakukan pada waktu lampau.”
Pembelajaran anak usia dini akan lebih bermakna apabila anak mengalami langsung dan menemukan sendiri pengetahuannya pada konteks nyata melalui kegiatan yang berorientasi pada bermain sehingga anak dapat mengkonstruksi hubungan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Jadi, pengetahuan bukan sekedar fakta yang perlu diingat saja. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuannya dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Berdasarkan teori pembelajaran, pembelajaran TK seperti yang disebutkan oleh Masithoh, Slamet Suyanto, dan Piaget biasa disebut dengan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning. Menurut Slamet Suyanto (2005: 154), contextual teaching and learning menekankan adanya hubungan antara apa yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Dengan hubungan tersebut diharapkan apa yang dipelajari anak dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di masyarakat.
Hasil pengamatan peneliti di TK saat PKL dan PPL, pembelajaran di TK cenderung dilakukan di dalam kelas dan banyak mengguanakan LKA sebagai media dan sumber belajar. Pembelajaran juga kurang melibatkan anak pada pengalaman langsung/riil dan belum banyak memanfaatkan keadaan lingkungan
(4)
4
sekitar sebagai media dan sumber belajar. Contextual teaching and learning di TK tempat PKL dan PPL, hanya sebatas pada pembelajaran dengan tema tertentu. Hal itu menunjukkan bahwa contextual teaching and learning seperti yang dijabarkan di atas, nyatanya belum sepenuhnya diterapkan di TK PKL dan PPL. Karakteristik anak di TK PKL dan PPL adalah kurang eksploratif dan kurang kritis dalam merespon permasalahan sehari-hari.
Berbeda dengan TK di tempat PKL dan PPL, Taman Anak Sanggar Anak Alam (TA SALAM) menerapkan contextual teaching and learning dalam pembelajarannya. Dalam proses pembelajaran, guru mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata anak. Anak juga mengalami sendiri apa yang akan dipelajarinya, tidak sebatas mengetahui. Dalam pembelajaran, TA SALAM memanfaatkan lingkungan dan peristiwa sebagai media dan sumber belajar. Menurut salah satu fasilitator di TA SALAM, peristiwa yang terjadi di sekitar anak dijadikan sebagai sumber belajar. Guru di TA SALAM meyakini bahwa setiap anak mempunyai masalah. Masalah yang dibawa anak tersebut tidak jarang dijadikan sebagai sumber belajar oleh guru, sehingga anak di TA SALAM belajar sesuai dengan realitas yang ada.
Sebagai contoh, ketika peneliti melakukan observasi pada tanggal 17 Oktober 2014, anak-anak di SALAM sedang mempunyai projek lomba memasak. Anak-anak dari KB, TK, SD, dan SMP digabung menjadi satu dan dibagi menjadi beberapa kelompok. Sehingga setiap kelompok terdiri dari campuran anak KB hingga SMP. Pada hari sebelumnya, anak-anak melakukan pembagian tugas untuk membawa alat dan bahan. Pembagian tugas tersebut dilakukan oleh anak-anak
(5)
5
sendiri, sedangkan guru hanya mengarahkan. Di hari lomba, semua anak berkumpul berdasarkan kelompoknya dan anak-anak mengumpulkan alat dan bahan yang dibawa. Anak-anak siap memasak dengan resep yang telah diberikan guru. Setiap kelompok, didampingi oleh guru yang bertugas mengarahkan. Pembagian tugas memasak di lakukan oleh anak yang ditunjuk sebagai leader. Ketika memasak, anak-anak menemui beberapa masalah, seperti adonan terlalu kental. Seorang anak bertanya “kok kentel banget ya?”, anak lain menjawab, “mungkin kurang telur, lihat aja masak tepungnya banyak telurnya cuma satu”. Guru tidak memberikan instruksi apapun dan membiarkan anak untuk berpikir, menduga-duga dan mencari solusinya. Anak-anak berdiskusi untuk mencari solusi. Anak-anak tidak canggung untuk mengusulkan ide ataupun solusi.
Setiap 3 bulan sekali, SALAM mengadakan pasar dadakan yang penjualnya merupakan anak SALAM sendiri. Kegiatan tersebut bertujuan agar anak memahami struktur pasar, mengembangkan jiwa wirausaha, dan memahami konteks pasar dalam kehidupan nyata. Melalui kegiatan tersebut, anak juga belajar tentang matematika dan sosial emosional secara langsung.
SALAM mempunyai prinsip yang dijadikan sebagai kurikulum “Mendengar, saya lupa; melihat, saya ingat; melakukan, saya paham; menemukan sendiri, saya kuasai”. Oleh karena itu, SALAM menekankan pembelajaran yang tidak memaksa anak. Anak tidak dipaksa untuk mengikuti pembelajaran yang disiapkan pendidik, melainkan anak boleh belajar apa yang ingin ia pelajari dan ia minati. Dengan demikian, anak merasa senang dan aktif dalam belajar.
(6)
6
Anak di TA SALAM di stimulasi untuk menemukan suatu pembelajaran tentang dunia di sekitarnya. Anak dibebaskan untuk berpetualang, mengamati, mencatat peristiwa, dan mengekpresikannya dalam sebuah karya, sehingga guru di SALAM tidak berperan sebagai pemberi materi, namun sebagai fasilitator (http://salamjogja.wordpress.com). Karakteristik anak di TA SALAM adalah aktif, kreatif, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, eksploratif, percaya diri, berani, suka mencoba hal baru dan kritis dalam merespon permasalahan sehari-hari.
Beberapa kelebihan contextual teaching and learning di TA SALAM selama ini belum pernah dideskripsikan dan dievaluasi. Apabila Contextual Teaching and Learning (CTL) di TA SALAM dideskripsikan dan dievaluasi maka akan diketahui apakah contextual teaching and learning di TA SALAM sudah benar-benar mengembangkan pembelajaran sesuai karakteristik dan komponen CTL ataukah belum.
Dengan demikian, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam pembelajaran CTL di TA SALAM. Peneliti mengangkat judul “Penerapan Contextual Teaching and Learning di Taman Anak Sanggar Anak Alam (TA SALAM) Yogyakarta”.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi beberapa masalah, antara lain:
1. Pembelajaran di TA SALAM memanfaatkan lingkungan sebagai media dan sumber belajar dan melibatkan anak pada pengalaman riil, sedangkan
(7)
7
pembelajaran di TK tempat PKL dan PPL kurang melibatkan anak pada pengalaman langsung/riil dan belum banyak memanfaatkan keadaan lingkungan sekitar sebagai media dan sumber belajar.
2. Karakteristik anak di TK PKL dan PPL adalah kurang eksploratif dan kurang kritis dalam merespon permasalahan sehari-hari, sedangkan karakteristik anak di TA SALAM adalah aktif, kretif, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, eksploratif, percaya diri, berani, suka mencoba hal baru dan kritis dalam merespon permasalahan sehari-hari.
3. Kelebihan contextual teaching and learning di TA SALAM selama ini belum pernah dideskripsikan dan dievaluasi.
C.Batasan Masalah
Mengingat luasnya ruang bagi kajian pembelajaran, maka peneliti membatasi masalah agar mendapatkan fokus penelitian. Pembatasan masalah tersebut adalah kelebihan contextual teaching and learning di TA SALAM selama ini belum pernah dideskripsikan.
D.Rumusan Masalah
Merujuk dari penjabaran latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut, bagaimana penerapan contextual teaching and learning di Taman Anak Sanggar Anak Alam (TA SALAM) Yogyakarta?
E.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti mempunyai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Tujuan tersebut adalah untuk mendeskripsikan dan
(8)
8
mengkaji lebih dalam tentang cara penerapan contextual teaching and learning di Taman Anak Sanggar Anak Alam (TA SALAM) Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah follow up penggunaan informasi dari hasil penelitian. Setiap penelitian yang dilakukan pasti memberi manfaat baik bagi objek, peneliti pada khususnya dan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya. Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Segi Teoritis
a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang pembelajaran terutama yang berorientasi pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
b. Untuk menjabarkan dan mengkaji lebih dalam penerapan contextual teaching and learning di TK.
2. Segi Praktis
a. Bagi pendidik, dengan adanya penerapan contextual teaching and learning di Taman Anak Sanggar Anak Alam (TA SALAM) Yogyakarta dapat menjadi contoh atau model melaksanakan pembelajaran untuk TK yang lainnya.
b. Bagi sekolah lain, dapat menambah metode alternatif dalam proses pembelajaran.
c. Bagi peneliti, kegiatan penelitian dapat menambah wawasan keilmuan PAUD dalam bidang pembelajaran.
(9)
9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A.Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun (Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003). Menurut National Assosiation Education for Young Children (NAEYC) (dalam Slamet Suyanto, 2005: 6), anak usia dini adalah sekelompok individu yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun. Pada masa ini merupakan masa emas atau golden age, karena anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai penelitian di bidang neurologi, terbukti bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun waktu 4 tahun pertama. Setelah anak berusia 8 tahun perkembangan otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100%.
Anak usia dini memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa, karena anak usia dini tumbuh dan berkembang dengan banyak cara dan berbeda. Sofia Hartati (2005: 8-9) menjelaskan bahwa karakteristik anak usia dini sebagai berikut: 1) memiliki rasa ingin tahu yang besar, 2) merupakan pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap egosentris, 6) memiliki rentan daya konsentrasi yang pendek, 7) merupakan bagian dari mahluk sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak usia 0-8 tahun yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, serta memiliki karakteristik unik, egosentris, imajinatif, memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan daya konsentrasi pendek.
(10)
10 B.Pendidikan Anak Usia Dini
1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian stimulus pendidikan agar membantu perkembangan dan pertumbuhan baik jasmani maupun rohani sehingga anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut (Martinis Yamin & Jamilah, 2012: 1).
Trianto (2011: 25) menjabarkan tujuan PAUD secara khusus, yaitu (1) membangun landasan bagi berkembangnya potensi anak agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, (2) Mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial anak pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan untuk anak usia 0-6 tahun yang dilakukan melalui memberikan stimulus untuk mengembangkan potensi anak baik jasmani maupun rohani berdasarkan tahap perkembangannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, Pendidikan Anak Usia Dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan Anak Usia Dini jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Anak Usia Dini jalur nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga
(11)
11
atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS).
2. Taman Kanak-kanak
Taman Kanak-kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan Anak Usia Dini yang memiliki peranan sangat penting untuk mengembangkan kepribadian anak serta mempersiapkan mereka memasuki jenjang pendidikan selanjutnya Masitoh dkk. (2005: 1). Berbeda dengan pendapat Masitoh dkk., Moeslichatoen (2004: 3) menjelaskan bahwa tujuan program belajar TK adalah untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
Taman Kanak-kanak merupakan bentuk Pendidikan Anak Usia Dini yang berada pada jalur pendidikan formal sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Naisonal pasal 28 ayat 3, “Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), bentuk lain yang sederajat”.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti lebih sependapat dengan Moeslichatoen, bahwa Taman Kanak-kanak (TK) sebagai salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bukan merupakan syarat untuk memasuki jenjang pendidikan dasar, akan tetapi dalam upaya pengembangan sumber daya manusia.
(12)
12 3. Pembelajaran Taman Kanak-kanak
Pendidikan tidak terlepas dari istilah belajar dan pembelajaran. Belajar didefinisikan sebagai proses perubahan manusia ke arah tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun oranglain (Baharuddin & Esa, 2010: 15). Sedangkan pembelajaran adalah membelajarkan anak menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan (Syaiful Sagala, 2006: 61). Menurut Martinis Yamin & Jamilah (2012: 18), pembelajaran adalah suatu proses membangun situasi serta kondisi belajar melalui penataan pelaksanaan komponen tujuan pembelajaran, materi, metode, kondisi, media, waktu, dan evaluasi yang tujuannya adalah pencapaian hasil belajar anak.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan sumber belajar pada suatu lingkungan. Pengertian pembelajaran yang lain juga disampaikan Nasution (dalam Sugihartono dkk., 2007: 80), pembelajaran merupakan suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses interaksi yang membantu peserta didik memiliki pengalaman belajar dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar melalui penataan lingkungan dan komponen pembelajaran.
(13)
13
Tianto (2011:25) memaparkan bahwa pembelajaran Taman Kanak-kanak hendaknya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Berorientasi pada kebutuhan anak. Anak usia dini membutuhkan upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi seluruh aspek perkembangannya. b. Belajar melalui bermain. Bermain dapat dijadikan sarana belajar anak usia dini.
Melalui bermain, anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya.
c. Lingkungan yang kondusif. Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik, menyenangkan, aman, dan nyaman sehingga mendukung kegiatan belajar anak.
d. Menggunakan pembelajaran terpadu. Pembelajaran anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang digunakan harus menarik dan dapat membangkitkan minat anak dan bersifat kontekstual.
e. Mengembangkan berbagai kecakapan hidup. Mengembangkan keterampilan hidup seperti menolong diri sendiri, mandiri, dan bertanggung jawab, serta memiliki disiplin diri.
f. Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar. Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekita atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh guru.
g. Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang. Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak.
(14)
14
h. Aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan dapat dilakukan oleh anak yang disipakan oleh guru melalui kegiatan-kegiatan yang menarik dan menyenangkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu, berpikir kritis, dan menemukan hal-hal baru. Pengelolaan pembelajaran hendaknya dilakukan secara demokratis, mengingat anak merupakan subjek dalam proses pembelajaran.
i. Pemanfaatan teknologi informasi. Pelaksanaan stimulasi pada anak usia dini dapat memanfaatkan teknologi untuk kelancaran kegiatan, misalnya tape, radio, televisi, komputer.
Menurut Masitoh dkk., (2005: 6), pembelajaran anak usia dini perlu memperhatikan prinsip belajar yang berorientasi perkembangan dan bermain yang menyenangkan, didasarkan pada minat dan pengalaman anak, mendorong terjadinya komunikasi baik individual maupun kelompok, dan bersifat fleksibel, sehingga peran guru lebih bersifat sebagai pembimbing, motivator, dan fasilitator
Lebih lanjut, Masitoh dkk. (2005:13) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran yang berorientasi perkembangan, guru harus memberikan dorongan kepada anak untuk dapat melalui setiap tahap perkembangannya secara bermakna, optimal, dan belajar dalam situasi yang menyenangkan, atraktif, serta relevan dengan pengalaman anak. Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan lebih banyak memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan cara-cara yang tepat, misalnya melalui pengalaman riil, melakukan eksplorasi serta kegiatan lain yang bermakna.
(15)
15
Secara implisit, Pemendiknas Nomor 58 Tahun 2009 menjelaskan tahapan pembelajaran Taman Kanak-kanak, antara lain perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi (penilaian) pembelajaran. Tahapan tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Perencanaan pembelajaran
Perencanaan pembelajaran sebagai proses persiapan proses kegiatan meliputi Perencanaan Semester, Rencana Kegiatan Mingguan (RKM), dan Rencana Kegiatan Harian (RKH). Perencanaan Semester dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Satuan Tingkat Perkembangan Anak serta pedoman pelaksanaan. RKM dan RKH merupakan jabaran dari Perencanaan Semester. Setiap guru TK berkewajiban menyusun RKM atau RKH secara lengkap dan sistematis agar kegiatan pembelajaran seraya bermain berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi perserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
b. Pelaksanaan pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran pada anak usia dini meliputi pembukaan, inti, dan penutup. Pembukaan merupakan kegiatan awal pembelajaran yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian dan membangkitkan motivasi anak. Inti merupakan proses untuk mencapai indikator yang dilakukan secara interaktif, menyenangkan, menantang, dan partisipatif. Kegiatan inti dilakukan melalui proses eksplorasi, eksperimen, elaborasi, dan konfirmasi. Sedangkan kegiatan penutup adalah
(16)
16
kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran. Bentuk kegiatan penutup berupa menyimpulkan, umpan balik, dan tindak lanjut.
Pelaksanaan pembelajaran anak usia dini harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: (1) menciptakan suasana yang nyaman, aman, bersih, dan menarik; (2) berpusat pada anak; (3) sesuai dengan tahap perkembangan dan kebutuhan anak; (4) memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan anak; (5) mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, stimulasi psikososial, dan memperhatikan latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya anak; (6) pembelajaran dilaksanakan melalui bermain, memilih metode dan alat bermain yang tepat dan bervariasi, serta memanfaatkan berbagai sumber belajar yang ada di lingkungan; (7) pembelajaran dilakukan secara bertahap, berkesinambungan, dan bersifat pembiasaan; (8) pemilihan teknik dan alat penilaian sesuai dengan kegiatan ang dilaksanakan; serta (9) kegiatan yang diberikan sesuai dengan karakteristik dan perkembangan anak.
Metode yang cocok untuk pembelajaran PAUD menurut Trianto (2011: 94) adalah metode bercerita, metode bercakap-cakap, metode tanya jawab, metode karya wisata, metode demonstrasi, metode sosiodrama atau bermain peran, dan metode eksperimen.
c. Evaluasi pembelajaran (penilaian)
Penilaian atau evaluasi perkembangan anak usia dini dapat dilakukan melalui pengamatan, penugasan, unjuk kerja, pencatatan annecdot, percakapan/dialog, laporan orangtua, dan dokumentasi hasil karya (portofolio anak), serta deskripsi hasil karya. Penilaian harus mencakup seluruh tingkat
(17)
17
percapaian perkembangan peserta didik dan mencakup data tentang status kesehatan, pengasuhan, dan pendidikan.
Penilaian anak usia dini harus dilakukan secara (1) berkala, intensif, bermakna, menyeluruh, dan berkelanjutan; (2) pengamatan dilakukan saat anak beraktifitas; (3) mengakaji ulang catatan perkembangan anak; (4) melakukan komunikasi dengan orangtua tentang perkembangan anak; (5) dilakukan secara sistematis, terpercaya, dan konsisten; (6) memonitor semua aspek perkembangan; (7) mengutamakan proses, dampak, hasil; serta (8) pembelajaran melalui bermain dengan benda konkrit.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran anak usia dini meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi/penilaian pembelajaran. Pembelajaran anak usia dini harus memperhatikan prisnsi-prinsip belajar anak usia dini, berorientasi pada perkembangan, dan dilakukan melalui bermain.
C.Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching and Learning (CTL) berkembang dari paham konstruktivisme. CTL menekankan adanya keterkaitan antara kegiatan pembelajaran dengan konteks keseharian anak. Teori belajar bermakna (meaningful learning) dari David Ausubel menyarankan anak belajar dari persoalan kesehariannya agar lebih bermanfaat bagi kehidupannya (Slamet Suyanto, 2005:151). Ausubel (dalam Ratna Wilis, 2006:95) juga menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
(18)
18
Sejalan dengan pendapat Ausubel, John Dewey (dalam Sugihartono., dkk, 2007: 108) mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat anak sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, terlibat langsung, berpusat pada anak, dan dalam konteks pengalaman sosial.
Pendapat di atas menggambarkan bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila pembelajaran melibatkan anak secara langsung dan di kaitkan dengan pengalaman sehari-hari. Pembelajaran juga harus terintegrasi atau pembelajaran mempunyai kaitan satu sama lain, sehingga anak dapat lebih mudah mengaitkan pengetahuan/pengalaman yang dimiliki dengan pengetahuan dan pengalaman baru.
Jean Piaget (dalam Sugihartono dkk., 2007:109) menyatakan bahwa “pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam menuntun proses berpikir anak, berbeda dengan perbuatan melihat yang hanya melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada anak”. Oleh karena itu, dalam belajar diupayakan agar anak harus mengalami sendiri dan terlibat langsung secara realistik obyek yang dipelajarinya.
Piaget dalam buku “Psikologi Pendidikan” (Sugihartono dkk., 2007: 109), menyatakan bahwa pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema. Dengan menggunakan skema itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skema baru, yaitu melalui proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrium. Proses asimilasi adalah suatu proses dimana anak
(19)
19
menyatukan pengetahuan yang baru diterima ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak anak. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru, sedangkan equilibrium adalah proses penyesuaian antara asimilasi dan akomodasi. Implikasi pandangan piaget dalam praktek pembelajaran adalah guru hendaknya menyesuaikan proses pembelajaran dengan tahapan-tahapan kognitif yang dimiliki anak. Untuk anak TK, sebaiknya pembelajaran bersifat konkrit dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Lev Vygotsky dengan teori konstruktivistik sosialnya menjelaskan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan dalam belajar akan lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial seseorang (Sugihartono dkk., 2007:113). Pada intinya, proses belajar akan lebih bermakna apabila didasarkan pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial anak. 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching and Learning (CTL) menurut Nurhadi (dalam Sugiyanto, 2010: 14) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang dajarkan dengan situasi dunia nyata, dan juga mendorong anak membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri. Pengetahuan dan keterampilan anak diperoleh dari usaha anak mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar.
Contextual teaching and learning merupakan proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi anak untuk memahami makna meteri pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan
(20)
20
mereka sehari-hari (konteks spribadi, sosial, dan kultural) sehingga anak memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari suatu konteks ke konteks lainnya (Trianto, 2011:90).
Johnson (2008:67) mendeskripsikan contextual teaching and learning sebagai proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya.
Senada dengan pendapat Johnson, Slamet Suyanto (2005:151) mendefinisikan contextual teaching and learning sebagai suatu pembelajaran yang memandang pentingnya hubungan antara materi pembelajaran dengan dunia nyata. Contextual teaching and learning melihat pentingnya dorongan dan keterlibatan anak untuk mampu menghubungkan konsep yang dipelajari dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pengertian-pengertian dan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan hubungan antara materi pembelajaran dengan dunia nyata. Anak belajar dengan mengkonstruksi pengetahuan yang ia miliki atau disebut skema dengan pengetahuan baru dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran akan lebih berarti apabila anak terlibat langsung dalam pembelajaran agar anak aktif membangun pengetahuannya. Dengan konsep contextual teaching and learning, diharapkan pembelajaran lebih bermakna bagi anak. Tidak hanya bermakna secara fungsional akan tetapi akan tertanam dalam
(21)
21
memori anak. Karena dalam pembelajaran contextual teaching and learning, anak mengalami/terlibat, tidak sekedar mentrasfer pengetahuan dari guru ke anak. 2. Karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata anak dan mendorong anak membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiki anak dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses belajar berlangsung secara alamiah, bukan transfer ilmu dari guru ke anak.
Contextual teaching and learning juga didesain agar anak dapat memecahkan persoalan melalui kegiatan yang merefleksikan kejadian sebenarnya dalam kehidupan. Selebihnya, Clifford dan Wilson (dalam Slamet Suyanto, 2005: 151-152) mendeskripsikan karakteristik Contextual Teaching And Learning (CTL) sebagai berikut:
Pertama, menekankan adanya pemecahan masalah (problem solving). Dalam pembelajaran hendaknya persoalan bersifat riil, menarik, menantang, dan bermakna bagi anak. Tiap kelompok dapat mencari solusi pemecahan dengan cara masing-masing sehingga hasilnya akan lebih variataif (tidak menuju pada satu jawaban benar).
Kedua, pembelajaran terjadi dalam berbagai konteks. Pembelajaran tidak monoton di kelas. Pembelajaran dapat terjadi dimana saja, seperti di sawah, di ladang, di bengkel, dan di bengkel industri. Pengajar pun tidak selalu guru, tetapi dapat petani, pedagang, pembuat roti, peternak, dokter, atau orangtua anak yang memiliki keahlian khusus.
(22)
22
Ketiga, membimbing anak untuk memonitor hasil belajarnya sehingga ia mampu belajar secara mandiri. Anak dibimbing cara belajar yang baik agar kelak dapat belajar secara mandiri.
Keempat, pembelajaran menggunakan berbagai ragam kehidupan sebagai titik pijak. Anak berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Pengetahuan awal, budaya, cita-cita, dan tipologi masyarakatnya menjadi modal belajar.
Kelima, mendorong anak untuk saling belajar dengan temannya. Belajar adalah proses individual, tetapi cara anak belajar dapat dilakukan melalui kegiatan kelompok agar dapat saling bertukar pikiran, ide, dan rasa antar anak.
Keenam, menerapkan autentik asesmen. Evaluasi tidak bertujuan memberi nilai dan label pada setiap anak. Asesmen bertujuan untuk mengetahui sejauh mana anak belajar dan bagaimana cara belajar yang paling baik. Dengan demikian guru dapat memberi bantuan kepada anak untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Dialog antar guru dengan anak yang berhubungan dengan kemajuan belajarnya perlu dilakukan agar anak mengevaluasi diri sendiri. Portofolio hasil presentasi, hasil lomba, dan hasil karya anak disusun bersama antara anak dan guru.
Secara singkat, Trianto (2011:92) juga mengemukakan karakteristik contextual teaching and learning, yaitu sebagai berikut:
a. Kerja sama b. Saling menunjang
c. Menyenangkan, tidak membosankan d. Belajar dengan begairah
e. Pembelajaran terintegrasi f. Menggunakan berbagai sumber
(23)
23 g. Anak aktif
h. Sharing dengan teman i. Anak kritis guru kreatif
j. Dinding dan lorong- lorong penuh dengan hasil kerja anak, peta- peta, gambar, artikel, humor, dan lain- lain.
k. Laporan kepada orangtua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya anak, laporan hasil praktikum, karangan anak.
Johnson (2008:68) mengklaim bahwa dalam Contextual Teaching and Learning (CTL) minimal ada tiga prinsip utama yang sering digunakan, yaitu kesalingbergantungan (interdepence), diferensiasi (differentiation), dan pengorganisasian diri (self organization).
CTL mencerminkan prinsip kesalingbergantungan. Dalam kehidupan di sekolah, anak berhubungan dengan guru, kepala sekolah, tata usaha, orangtua anak, dan nara sumber. Dalam pembelajaran, anak berhubungan dengan bahan ajar, sumber belajar, media pembelajaran, sarana dan prasarana sekolah, iklim sekolah, dan lingkungan. Pembelajaran bergantung dengan aspek yang mendukung pembelajaran dan juga bergantung pada aspek yang mendukung dalam pendidikan. Contoh konkret dari prinsip kesalingbergantungan yaitu ketika para anak bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika guru mengadakan pertemuan dengan rekan sejawat.
CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang para anak untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.
(24)
24
CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Setiap individu memiliki potensi yang melekat pada dirinya. Tugas guru adalah mendorong anak untuk memahami dan merealisasikan semua potensi yang dimikinya seoptimal mungkin. Pengorganisasian diri terlihat ketika para anak mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada anak.
Dari beberapa karakterisitik CTL di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik CTL adalah sebagai berikut: (1) pembelajaran menggunakan berbagai sumber belajar, (2) pembelajaran terjadi dalam berbagai konteks, menekankan adanya pemecahan masalah, (3) mendorong anak untuk bekerja sama dan belajar bersama, (4) menerapkan autentik asesmen, (5) pembelajaran menyenangkan, (6) pembelajaran terintegrasi, (7) anak aktif dan kritis, (8) guru kreatif, (9) guru berperan sebagai fasilitator, dan (10) mempunyai prinsip kesaling bergantungan, diferensiasi, dan pengorganisasian diri.
3. Penerapan Contextual Teaching and Learning
Contextual teaching and learning memiliki 7 asas/ komponen. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran CTL. Ketujuh komponen tersebut menurut Sugiyanto (2010:17-20) adalah sebagai berikut.
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme yaitu proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif anak berdasarkan pengalaman, karena pengetahuan
(25)
25
hanya akan fungsional ketika dibangun oleh individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Oleh karena itu, anak perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya. Menurut Masnur Muslich (2007: 44) ada beberapa praktik yang harus dilaksanakan guru berdasarkan prinsip konstruktivisme, yaitu:
a. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran
b. Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata anak lebih penting daripada informasi verbalitas
c. Anak mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri
d. Anak diberikan kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam belajar
e. Pengetahuan anak tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri f. Pemahaman anak akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat
apabila diuji dengan pengalaman baru
g. Pengalaman anak bisa dibangun secara asimilasi maupun akomodasi Menurut Trianto (2009: 113), pembelajaran lebih diwarnai dengan student centered, bukan teacher centered. Inquiry-based learning dan problem-based learning merupakan strategi CTL yang menekankan student centered dan aktifitas anak.
2. Inkuiri (menemukan)
Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Menurut Trianto (2009: 114), guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan sesuai dengan siklus dan langkah-langkah inkuiri, apapun materi yang diajarkannya. Siklus inkuiri adalah observasi, bertanya,
(26)
26
mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Sedangkan langkah-langkah kegitan inkuiri antara lain: (a) merumuskan masalah, (b) mengamati atau melakukan observasi, (c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, hasil karya, dll., (d) mengkomunikasikan hasilnya pada pihak lain (teman sekelas atau guru).
3. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam proses pembelajaran, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar anak dapat menemukan sendiri.
4. Masyarakat belajar (Learner Community)
Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
Berikut prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan guru ketika menerapkan CTL pada komponen masyarakat belajar (Masnur Muslich, 2007: 47):
a. Pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau sharing dengan teman.
b. Sharing terjadiapabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi.
c. Sharing terjadi apabila ada komunikasi multiarah.
d. Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa pegetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.
e. Yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.
(27)
27 5. Pemodelan (Modeling)
Modelling yaitu proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh anak. Misalnya, dalam pembelajaran olahraga, guru memberikan contoh melempar bola. Melalui modelling anak dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. Trianto (2009: 117) menambahkan bahwa dalam pembelajaran kontekstul, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan anak. Seseorang dapat ditunjuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Model juga dapat didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya, misalnya mendatangkan petani untuk memodelkan cara menanam padi.
Prinsip-prinsip komponen modelling yang bisa diperhatikan guru ketika melaksanakan pembelajaran (Masnur Muslich, 2007: 46) adalah sebagai berikut.
a. Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan mantap apabila ada model atau contoh yang bisa ditiru.
b. Model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten datau dari ahlinya.
c. Model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil karya, atau model penampilan.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif anak yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
(28)
28
Trianto (2009: 118) menambahkan cara merealisasikan refleksi dalam pembelajaran, yaitu berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan atau jurnal di buku anak, kesan dan saran mengenai pembelajaran hari ini, diskusi, dan hasil karya.
7. Penilaian Nyata (Authentic Assesment)
Penilaian nyata atau penilaian autentik adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan anak. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman anak. penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika menerapkan komponen penilaian autentik dalam pembelajaran (Masnur Muslich, 2007: 47) adalah sebagai berikut.
a. Penilaian autentik bukan menghakimi anak, tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman anak.
b. Penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil.
c. Guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluation) yang dapat merefleksikan bagaimana anak belajar, bagaimana anak menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana pekembangan belajar anak dalam berbagai konteks belajar.
d. Penilaian autentik memberikan kesempatan anak untuk dapat mengembangkan penilaian diri (self assesment) dan penilaian sesama (peer assesment).
Untuk memahami secara lebih dalam konsep pembelajaran kontekstual (CTL), COR (Center for Occupational Reserch) (dalam Masnur Muslich, 2007:41-42) di Amerika menjabarkannya menjadi 5 konsep yaitu sebagai berikut:
(29)
29
1. Relating: bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata atau pengelaman nyata.
2. Experiencing: belajar dengan konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Ini berarti bahwa pengetahuan yang diperoleh anak melalui pembelajaran yang mengedepankan proses berpikir kritis lewat siklus inquiry.
3. Applying: belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, anak menerapkan konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan.
4. Cooperating: belajar dalam bentuk berbagai informasi dan pengalaman, saling merespons, dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu anak belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan yang nyata anak akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain.
5. Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru.
Pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru untuk dipahami atau dengan problema untuk dipecahkan. Pembelajaran sebaiknya melibatkan anak untuk menemukan sendiri pengetahuannya agar anak dapat menghubungkan pengetahuan yang anak dapat dengan pengetahuan yang sudah ia miliki, sehingga pengetahuan tersebut dapat di praktekkan pada kehidupan nyata. Selanjutnya, pengetahuan/pengalaman yang baru anak peroleh dapat dijadikan sebagai modal anak dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru.
Masnur Muslich (2007: 48) mengemukakan beberapa pengingat dalam melaksanakan CTL, diantaranya:
1. Belajar pada hakikatnya adalah real-word learning, yaitu belajar dari kenyataan yang bisa diamati, dipraktikkan, dirasakan, dan diuji coba. 2. Belajar adalah mengutamakan pengalaman nyata, bukan pengalaman
yang hanya di angan-angankan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris.
(30)
30
3. Belajar adalah berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis yang mengedepankan siklus inquiry mulai dari mengamati, bertanya, mengajukan dugaan, sementara (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data, sampai merumuskan kesimpulan (teori).
4. Kegiatan pembelajaran berpusat pada anak, yaitu pembelajaran yang memberikan kondisi yang memungkinkan anak melakukan serangkaian kegiatan secara maksimal.
5. Kegiatan pembelajaran memberikan kesempatan pada anak untuk aktif, kritis, dan kreatif.
6. Kegiatan pembelajaran menghasilkan pengetahuan yang bermakna dalam kehidupan anak.
7. Kegiatan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan nyata.
8. Kegiatan pembelajaran harus bisa menunjukkan perubahan perilaku anak sesuai yang diinginkan
9. Kegiatan pembelajaran diarahkan pada anak praktik, bukan menghafal 10. Pembelajaran bisa menciptakan anak belajar (learning), bukan guru
mengajar (teaching)
11. Sasaran pembelajaran adalah pendidikan (education), bukan pengajaran (instruction).
12. Pembelajaran diarahkan pada pembentukan perilaku “manusia” yang berbudaya
13. Pembelajaran diarahkan pada pemecahan masalah sehingga anak lebih berpikir kritis
14. Situasi pembelajaran dikondisikan agar anak lebih banyak betindak (acting), sedangkan guru hanya mengarahkan.
15. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan dengan tes.
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk guru, akan tetapi dari proses menemukan dan mengkonstruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang anak sebagai subjek belajar dengan segala potensi dan keunikannya. Jika guru memberikan informasi kepada anak, guru harus memberikan kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
Banyak cara efektif untuk mengaitkan pembelajaran dengan konteks situasi sehari-hari anak. Johnson (2008: 99) mengungkapkan 6 metode yang dapat
(31)
31
digunakan untuk menyatukan isi akademik dan konteks pengalaman pribadi, antara lain:
1. Ruang kelas tradisional yang mengaitkan materi dan konteks anak 2. Memasukkan materi dari bidang lain dalam kelas
3. Mata pelajaran yang tetap terpisah, tetapi mencakup topik-topik yang saling berhubungan
4. Mata pelajaran gabungan yang menyatukan dua atau lebih disiplin (mata pelajaran terpadu)
5. Menggabungkan sekolah dan pekerjaan, misalnya pembelajaran berbasis pekerjaan, jalur karier, dan pengalaman kerja berbasis sekolah 6. Model kuliah kerja nyata.
Dari 6 metode di atas, tidak semua dapat diterapkan dalam Pembelajaran di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hanya beberapa yang dapat diterapkan, misalnya mata pelajaran terpadu, dan menggabungkan sekolah dengan pekerjaan. Pada Pendidikan Anak Usia Dini, pembelajarannya dilakukan secara terpadu dan tematik, sehingga metode pelajaran terpadu dapat diterapkan di PAUD. Dalam pembelajaran terpadu, anak dapat menemukan bahwa pengetahuan saling melengkapi dan terjalin. Mata pelajaran terpadu menyatukan mata pelajaran yang berbeda ke dalam kesatuan makna dan mengaitkannya dengan kehidupan anak. Dalam metode menggabungkan sekolah dan pekerjaan, penerapannya dalam PAUD dapat dilakukan dalam kegiatan career day, market day, atau pembelajaran lain dengan mengaitkan profesi/pekerjaan yang ada dalam lingkungan nyata anak. Dengan mengaitkan pekerjaan dengan sekolah, akan memberikan alasan praktis para anak untuk belajar berbagai hal. Tidak hanya memberi dorongan anak dari dunia nyata untuk menguasai mata pelajaran akademik, tetapi juga kesempatan untuk mengembangkan diri sendiri.
(32)
32
Contextual teaching and learning menggunakan multikonteks, artinya menggunakan berbagai setting, baik tempat, persoalan, maupun kecakapannya. Konteks dalam hal ini sangat variatif, meliputi berbagai aspek antara lain: Perkebunan, perkotaan, pasar, supermarket, hotel, bandara, bengkel, kepolisian, pabrik, warung, warnet, wartel, sekolah, keluarga, masyarakat, kantor, pertanian, perikanan, pantai, sungai, puskesmas, rumah sakit, kebun binatang, pegunungan, upacara bendera, upacara 17 agustus, Hari Kartini, Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, tahun baru, panen padi, dll(Slamet Suyanto, 2005: 153).
Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan contextual teaching and learning, guru harus memahami bahwa setiap anak itu berbeda-beda, mulai dari perbedaan latar belakang, bakat, minat, kemampuan, kelemahan, serta bekal pengetahuan yang dimiliki. Hal itu bertujuan agar guru dapat menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan anak dan pembelajaran menjadi efektif dan menyenangkan. Guru juga harus mengetahui dan memahami cara belajar anak agar pembelajaran dapat diterima oleh anak dengan cara yang mereka sukai. Dalam pembelajaran, guru harus mengetahui bekal pengetahuan yang sudah dimiliki anak. Misalnya pada pembelajaran TK, guru dapat menggali pengetahuan yang dimiliki anak melalui apersepsi. Dengan apersepsi, masing-masing anak akan mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Perbedaan pengalaman tersebut dapat dijadikan sebagai revisi dari konsep yang dimiliki anak.
Pembelajaran sebaiknya dihubungkan dengan situasi sehari-hari. Anak melakukan/mempraktikan langsung apa yang dipelajari. Setiap anak memiliki
(33)
33
kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan. Oleh karena itulah belajar bagi anak adalah mencoba memecahkan setiap persoalan yang menantang. Guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting oleh untuk dipelajari oleh anak.
Pembelajaran hendaknya melibatkan anak untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Dengan penemuan langsung anak dapat menghubungkan pengetahuan yang sudah ia miliki dengan pengetahuan yang baru ia dapat. Kemudian, pengetahuan yang anak peroleh dapat digunakan sebagai modal untuk pembelajaran berikutnya. Di akhir pembelajaran, guru dapat melakukan refleksi atau umpan balik. Melalui refleksi anak akan dapat memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah khazanah pengetahuannya. Dalam pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi materi. Sehingga guru bertugas untuk membimbing, mengarahan, dan memotivasi anak.
Dalam pembelajaran CTL, keanekaragaman harus mampu diciptakan guru dalam proses belajar mengajar, baik dalam pemilihan materi, penggunaan metode maupun setting pembelajaran. Pembelajaran CTL menekankan student centre atau pembelajaran yang berpusat pada anak. Pembelajaran disesuaikan dengan minat anak, sehingga guru harus berupaya untuk memfasilitasi seluruh aspek perkembangan anak secara optimal dengan penekanan pada aspek-aspek pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan dan individualisasi pengalaman belajar melalui kegiatan yang direncanakan. .
Abdurrahman (2007: 93-95) menambahkan bahwa beberapa gambaran strategi pembelajaran yang dapat dikembangkan melalui CTL yaitu problem
(34)
34
based learning, environmental based learning, dan independent learning. Problem based learning yaitu pembelajaran berbasis masalah pembelajaran yang menekankan pada permasalahan/peristiwa yang terjadi di sekitar anak. Dalam pembelajaran, anak diminta untuk mengobservasi suatu peristiwa terlebih dahulu. Anak diajarkan untuk mengamati secara cermat hal-hal yang dijumpai disekitarnya. Dalam hal ini guru berperan untuk merangsang anak untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ditemui. Environmental based learing atau pembelajaran berbasis lingkungan yatu memperhatikan lingkungan anak menjadi media belajar. Dalam pembelajaran, guru dapat melibatkan lingkungan anak untuk media belajar, serta mengajak anak belajar dengan konteks lingkungan mereka. Independent learning atau belajar mandiri bertujuan agar anak dapat mandiri dalam memecahkan suatu permasalahan dengan pengetahuan yang mereka peroleh.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus pada penerapan contextual teching and learning berdasarkan 7 komponen CTL menurut Sugiyanto (2010:17-20) yang meliputi konstruktivisme, inkuiri, bertanya, modelling, masyarakat belajar, refleksi, dan penilaian autentik. Sedangkan teori pelaksanaan CTL yang lain digunakan sebagai teori pendukung.
4. Penelitian yang Relevan
Beradasarkan pengamatan dan pencarian peneliti selama ini, belum ditemukan penelitian yang relevan dengan penerapan contextual teaching and learning di TK.
(35)
35 5. Pertanyaan Penelitian
Dari penjabaran kajian teori di atas, peneliti merumuskan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pembelajaran dengan contextual teaching and learning di TA SALAM?
2. Bagaimana pelaksanaanpembelajaran dengan contextual teaching and learning di TA SALAM ?
3. Bagaimana evaluasi pembelajaran dengan contextual teaching and learning di TA SALAM?
4. Apa faktor penghambat penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM?
5. Apa faktor pendukung pelaksanaan contextual teaching and learning di TA SALAM?
(36)
36 BAB III
METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan fokus masalah dan tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Menurut Nana Syaodih (2005: 60), “penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”. Nana Syaodih (2005: 18) juga menjelaskan penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif atas dasar pertimbangan bahwa dalam penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM melibatkan aspek yang harus di deskripsikan lebih dalam dan komprehensif. Peneliti berharap dapat mengungkapkan fakta-fakta secara komprehensif tentang penerapan contextual teaching learning di TA SALAM.
B.Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah semua orang yang terlibat dalam pembelajaran di TA SALAM yang meliputi, anak, fasilitator, kepala sekolah, dan orangtua. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran contextual teaching and learning di TA SALAM.
(37)
37 C.Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Taman Anak Sanggar Anak Alam (TA SALAM) yang terletak di Nitiprayan, Jogomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Penetapan lokasi penelitian sangat penting dalam rangka mempertanggung jawabkan data yang diperoleh.
D.Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Spradley (dalam Sugiyono, 2005: 49) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen, yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Oleh karena itu, sumber data pada penelitian ini adalah guru kelas, kepala sekolah, orangtua anak TA SALAM, kegiatan pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas, dan sumber data tertulis yang berupa referensi yang digunakan oleh peneliti dalam bentuk buku, catatan lapangan, serta foto. Sumber data digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya dianalisis secara induktif.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data digunakan untuk menganalisis data Pengumpulan data dilakukan secara alamiah pada sumber data.
(38)
38
Berikut penjabaran teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Wawancara
Wawancara seperti yang ditegaskan oleh Lexy J. Moleong (2007:186) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dillakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewise) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Wawancara bertujuan untuk mengetahui hal-hal dari responden atau sumber data secara lebih mendalam. Dalam penelitia ini, wawancara ditujukan kepada sumber data yang berperan dalam penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM. Sumber data dalam teknik wawancara adalah guru (fasilitator), orangtua, dan kepala sekolah.
Wawancara dapat berupa wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Menurut Lexy J. Moleong (2007: 190), wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, sedangkan wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang tidak disusun terlebih dahulu pertanyaannya dan disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dari responden.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara terstruktur dimana peneliti telah menyiapkan panduan wawancara yang berupa kisi-kisi pertanyaan. Data yang dicari meggunakan teknik wawancara antara lain meliputi sejarah lembaga, identitas lembaga, pengembangan kurikulum, pelaksanaan komponen
(39)
39
CTL, faktor pendukung pelaksanaan CTL, dan faktor penghambat pelaksanaan CTL. Data hasil wawancara tersebut dicatat dalam bentuk catatan wawancara (CW).
2. Observasi
Metode observasi bertujuan untuk mengetahui pembelajaran TK di TA SALAM. Observasi dilakukan di dalam maupun di luar ruangan sesuai pembelajaran di TA SALAM.
Menurut Spradley (Sugiyono, 2013: 229), observasi terdiri atas tigakomponen yaitu :
a. Place (tempat) berlangsungnya interaksi sosial di dalam kelas. b. Actor (pelaku) yaitu orang-orang yang sedang memainkan
peranantertentu, dalam hal ini adalah guru dan anak.
c. Activity (kegiatan) yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial,dalam hal ini adalah kegiatan pembelajaran.
Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan mengenai bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Dengan observasi, peneliti dapat memperoleh pengalaman secara langsung sehingga memungkinkan peneliti untuk menggunakan konsep induktif.Peneliti melakukan observasi berdasarkan pedoman observasi dan setiap informasi dicatat dalam bentuk catatan lapangan (CL). Catatan lapangan berfungsi sebagai bukti konkret untuk menganalisis data. Sedangkan objek/subyek yang diteliti menggunakan teknik observasi antara lain anak, guru (fasilitator), dan orangtua.
Pada penelitin ini, aspek yang diteliti menggunakan teknik observasi yaitu kerjasama lembaga dengan orangtua maupun masyarakat dan proses pembelajaran.
(40)
40 3. Dokumentasi
Metode dokumentasi dapat dijadikan sebagai sumber data karena dapat digunakan sebagai bukti konkret dalam menganalisis data. Dokumentasi yang digunakan peneliti berupa kurikulum, silabus, RKM (Rencana Kegiatan Mingguan), RKH (Rencana Kegiatan Harian), serta penilaian/evaluasi, kemudian datanya dicatat dalam bentuk catatan dokumentasi (CD).
E.Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan data (Sugiyono, 2013: 222). Peneliti menginterpretasikan data dengan dibimbing oleh pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman dokumentasi. Agar penelitian ini terarah, peneliti terlebih dahulu menyusun kisi-kisi instrumen penelitian yang selanjutnya dijadikan acuan untuk membuat pedoman wawancara, observasi, dan dokumentasi.
F. Teknik Analisis Data
Sugiyono (2005: 89) mendeskripsikan analisis data adalah:
“Proses mencari dan menyusun secara sistematis data data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain”.
Analisis data dalam penelitian kualitatif di TA SALAM dimulai sejak sebelum terjun kelapangan, observasi, selama penelitian dilapangan, dan setelah selesai penelitian dilapangan. Miles dan Huberman (2014: 20) menggambarkan model interaktif dalam analisis data sebagai berikut.
(41)
41
Gambar 1. Komponen dalam analisis data model interaktif Miles & Huberman (2014: 20)
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Reduksi data
Data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi direduksi dengan cara dirangkum, dipilih, serta dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan tujuan penelitian.
2. Display data (penyajian data)
Setelah direduksi, data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi disajikan dalam bentuk catatan wawancara (CW), catatan lapangan (CL), dan catatan dokumentasi (CD). Data yang sudah disajikan dalam bentuk catatan wawancara, catatan lapangan, dan catatan dokumentasi diberi kode data untuk mengorganisasi data.
3. Kesimpulan dan verifikasi
Berdasarkan data yang telah disajikan, peneliti melakukan penyimpulan dengan bukti yang kuat. Verifikasi dilakukan dengan jalan membandingkan kesesuaian pernyataan dari subyek penelitian dengan makna yang terkandung dengan konsep-konsep dasar dalam penelitian tersebut. Verifikasi dimaksudkan
(42)
42
agar penilaian tentang kesesuaian data dengan maksud yang terkandung dalam konsep-konsep dasar dalam penelitian tersebut lebih tepat dan obyektif.
G.Keabsahan Data
Keabsahan suatu data dapat dilakukan dengan teknik pemeriksaan yang didasarkan atas kriteria tertentu. Menurut Lexy J. Moleong (2009: 327), ada empat kriteria dalam teknik pemeriksaan data, yaitu: 1) kredibilitas (derajat kepercayaan), 2) keteralihan, 3) kebergantungan, 4) kepastian. Untuk mengecek keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan kredibilitas. Kriteria ini dipergunakan untuk membuktikan bahwa data atau informasi yang diperoleh benar-benar mengandung nilai kebenaran (truthvalue). Adapun teknik yang dilakukan antara lain:
1. Ketekunan pengamatan
Pengamatan secara seksama dilakukan secara terus menerus untukmemperoleh gambaran yang nyata tentang penerapan contextual teaching learning di TA SALAM.
2. Triangulasi
Triangulasi merupakan suatu teknik pemeriksaan data denganmembandingkan data yang diperoleh dari satu sumber ke sumber lainnyapada saat yang berbeda atau membandingkan data yang memperoleh darisumber ke sumber lainnya dengan pendekatan yang berbeda. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber data, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu pengumpulan data. Hal ini dilakukan untuk mengecek atau
(43)
43
membandingkan data penelitian yang dilakukan sehingga informasi yang didapatkan memperoleh kebenaran.
3. Mengadakan membercheck
Membercheck dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh dengan yang diberikan oleh pemberi data (Sugiyono, 2013: 276). Sehingga informasi yang diperoleh dan akan di digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data. Membercheck dilakukan setiap akhir kegiatan wawancara. Dalam hal ini, peneliti berusaha menggulang kembali garis besar hasil wawancara berdasarkan catatan yang dilakukan peneliti agar informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh sumber data.
(44)
44 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian
1. Deskripsi Lembaga
Untuk memperoleh gambaran umum sekolah yang menjadi tempat penelitian, berikut ini deskripsi singkat Sekolah Taman Anak Sanggar Anak Alam dari hasil wawancara, observasi , dan dokumentasi yang meliputi sejarah lembaga, visi misi, dan sarana prasarana.
a. Sejarah Lembaga
Sanggar Anak Alam (SALAM) berdiri pada tanggal 17 Oktober 1988di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pendiri Salam adalah Ibu Wahyaningsih. Pada awalnya, SALAM prihatin terhadap kondisi anak-anak SD yang tidak dapat membaca dengan lancar dan memahami kata atau kalimat dengan baik, meskipun mereka sudah hampir lulus. Masalah yang lain yang terkait dengan pendidikan adalah tingginya jumlah pernikahan dini yang menyebabkan masalah kesehatan seperti tingginya angka keguguran dan kematian ibu melahirkan. Di tingkat masyarakat desa, SALAM memprakarsai terbentuknya kelompok tani untuk menyediakan tenaga kerja murah dan melawan lintah darat serta pengijon. Selain itu, bekerjasama dengan Puskesmas setempat, SALAM memulai pelatihan dukun bayi dan tenaga kesehatan. Saat ini, aktivitas tersebut sudah dilakukan oleh komunitas masyarakat setempat (CD.16).
Pada tahun 2000, SALAM memulai aktivitasnya di Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul. Sebagian besar anak di kampung Nitiprayan adalah anak petani
(45)
45
dan buruh. Anak-anak tersebut mendapat pendidikan formal di sekolah. SALAM melakukan desain ulang untuk menyesuaikan kondisi di Kampung Nitiprayan, terutama tingkat kesadaran orangtua terhadap pendidikan anak cukup rendah. Selain itu, perhatian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini juga sangat kurang. Dibantu oleh beberapa relawan, SALAM mengadakan pendampingan belajar bagi anak usia sekolah, berupa kegiatan tambahan di sore hari yang dilakukan untuk mengenalkan nilai-nilai lokal melalui pembelajaran langsung dari lingkungan sekitaryang kemudian dikembangkan menjadi beberapa aktivitas lain yaitu:
1. Kegiatan seni dan budaya berupa kegiatan teater, musik dan tari.
2. Pelatihan pertanian dengan system pertanian berkelanjutan, pelatihan Pendidikan Anak Usia Dini dan pendidikan lingkungan.
3. Program lingkungan hidup: kompos, beternak, daur ulang kertas, dan briket arang.
4. Perpustakaan anak & jurnalistik anak, melalui Koran Ngestiharjo.
Pada tahun 2004, berdasarkan hasil musyawarah orangtua murid dan kebutuhan masyarakat sekitar, SALAM mendirikan Kelompok Bermain untuk usia anak 2-4 tahun. Kelompok bermain diselenggarakan pagi hari layaknya sekolah umum. Failitator Kelompok Bermain berasal dari orangtua murid dan beberapa relawan. Kemudian pada tahun 2006,orangtua yang anaknya telah selesai berkegiatan di kelompok bermain berinisiatif mengadakan kegiatan Taman Anak (TK ). Pada tahun 2006 juga, SALAM fokus di kegiatan sekolah pagi hari karena sudah tidak ada lagi anak-anak yang mengikuti kegiatan SALAM di sore hari (CW.08).
(46)
46
Pada tahun 2008, SALAM mulai membuka jenjang SD, yang muridnya adalah lulusan Taman Anak SALAM, ditambah beberapa anak dari luar SALAM. Dan pada tahun 2012, SALAM membuka angkatan pertama SMP. Sekolah Sanggar Anak Alam telah terdaftar di Dinas Pendidikan Non Formal sebagai PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) pada tahun 2010 (CD.16).
Taman Anak SALAM terdiri dari anak usia 4-6 tahun dan tidak ada pembagian Kelompok A dan Kelompok B. Penggabungan usia atau kelompok A dengan B bertujuan agar anak yang lebih tua/besar dapat menolong yang kecil. Sehingga ketika anak membutuhkan atau memerlukan sesuatu tidak langsung kepada guru, namun bisa meminta bantuan kepada anak yang lebih besar. Karena belajar akan lebih bermakna ketika anak belajar dari teman sebaya. Selain itu, tujuan penggabungan kelompok A dan B yaitu agar anak dapat memposisikan dirinya dalam berperilaku, bagaimana sebaiknya berperilaku sebagai seprang kakak dan bagaiman berperilaku sebagi seorang adik (CW.02). Istilah Taman Anak digunakan di SALAM karena SALAM beranggapan bahwa Kanak-kanak itu sebagai suatu sifat, sedangkan SALAM menganggap anak itu sebagai subyek. Sehingga disebut Taman Anak (CW.04).
Taman Anak Sanggar Anak Alam adalah model pendidikan anak yang berbasis peristiwa dan berpusat pada siswa. Selain itu, SALAM mempunyai perspektif yang dikembangkan, yaitu lingkungan, budaya, kesehatan dan pangan lokal. Dan juga prinsip yag diyaikini yaitu “mendengar saya lupa, melhat saya ingat, melakukan saya paham, menemukan sendiri saya kuasai”. Perspektif dan
(47)
47
prinsip SALAM tersebut yang dijadikan sebagai konsep kurikulum pendidikan di SALAM (CD.16).
Dalam kesehariannya, anak-anak di SALAM tidak mengenakan seragam, karena sedini mungkin Salam ingin mengenalkan bahwa pada kenyataannya orang tidak berseragam. Selain itu SALAM juga ingin memberikan keleluasaan pada anak untuk mengekspresikan dirinya melalui pakaian dan mendorong percaya diri, serta memunculkan keunikan pada dirinya (CW.04).
Dalam proses pendidikan, SALAM tidak hanya didukung oleh guru dan orangtua. SALAM mempunyai komunitas yang dinamai ForSALAM dan Kerabat SALAM.ForSALAM merupakan forum orangtua yang anaknya sekolah di SALAM. Sedangkan Kerabat SALAM merupakan forum yang diinisiasi oleh SALAM untuk mewadahi khalayak yang consern terhadap SALAM, bagi mereka yang ingin menjadi relawan di proses belajar dan mengajar, yang ingin menjadi donatur untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, mereka yang berniat untuk mensupport para guru/guru SALAM, ataupun mereka yang tertarik menyumbang untuk fasilitas/sarana belajar mengajar, atau orang-orang yang ingin mengembangkan usaha dalam rangka membangun logistik SALAM (CD.16).
Sekolah Sanggar Anak Alam beralamat di Nitiprayan RT 04, Jomegatan, Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul 55182, dengan telp +62274-417964. Informasi tentang sekolah dapat diakses melalui www.salamjogja.wordpress.com dan e-mail [email protected].
(48)
48 b. Visi dan Misi Sanggar Anak Alam
Berdasarkan hasil wawancara kepada koordinator PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) SALAM, visi dan misi untuk SALAM yaitu membentuk komunitas belajar yang terdiri dari orangtua, anak, guru, penyelenggara, dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Untuk Kelompok Bermain dan Taman Anak difokuskan pada eksplorasi dan sosialisasi (CW.07).
c. Tujuan Sanggar Anak Alam
Tujuan dari Sekolah Sanggar Anak Alam yang diperoleh dari data dokumentasi adalah sebagai berikut:
1) Anak didik mampu membaca, menulis dan menghitung yang terkait dengan kehidupan, lingkungan sehari-hari.
2) Mengembangkan budi pekerti, dalam pengertian proses membangun watak yang selaras dengan tanggungjawab sehari-hari (misalnya; menyapa, pamit, mengatur waktu, tukar menukar makanan yg dibawa dari rumah).
3) Mengembangkan kemampuan pergaulan di masyarakat (seluruh kegiatan Sekolah selalu melibatkan anak, orangtua, guru dan lingkungan).
4) Mengenalkan ketrampilan yang bersifat pengolahan yang terkait dengan penalaran, kepekaan, empati terhadap kehidupan disekitarnya.
5) Upaya-upaya menciptakan tata belajar yang mengarah pada tanggungjawab mengurus diri sendiri (misalnya, sejak gosok gigi, berpakaian, kebersihan, selalu mengembalikan barang-barang pada tempatnya) (CD.16).
(49)
49 d. Sarana dan Prasarana
1) Sarana dan prasarana umum
Sarana dan prasarana umum di Sanggar Anak Alam dapat digunakan oleh anak, guru, orangtua, maupun volunteer. Sarana dan parasarana umum di Sanggar Anak Alam meliputi kelas, kantor, perpustakaan, kamar mandi, halaman, APE indoor, APE outdoor, tempat parkir, tempat cuci tangan, tempat sampah, dan papan pengumuman.
Tabel 1. Fasilitas Umum (CD.12)
No Objek Keterangan
Ada Tidak
1. Kelas √ -
2. Kantor √ -
3. Kamar mandi √
4. Perpustakaan √
5. Halaman √
6. APE indoor √
7. APE outdoor √
8. UKS √
9. Dapur √
10. Tempat parkir √
11. Tempat cuci tangan √
12. Tempat sampah √
13. Papan pengumuman √
2) Sarana dan prasarana kelas
Sarana dan parasana kelas adalah seluruh fasilitas yag berada di ruang kelas. Sarana dan parasana kelas digunakan untuk menunjang proses pembelajaran. Sarana dan prasana kelas Taman Anak yaitu meja, kursi, rak,
(50)
50
tempat tas, lemari, rak sepatu, karpet, LCD, tape, jam dinding, APE, alat tulis, dan media.
Tabel 2. Sarana dan Prasarana Umum (CD.11)
No Objek Keterangan
Ada Tidak
1. Meja √
2. Kursi √
3. Rak √
4. Tempat tas √
5. Loker √
6. Lemari √
7. Rak sepatu √
8. Karpet √
9. Papan tulis √
10. LCD √
11. Tape √
12. Jam dinding
13. APE √
14. Alat tulis √
15. Media √
e. Struktur Organisasi
Berdasarkan data dokumentasi, diperoleh data struktur organisasi Sanggar Anak Alam sebagai berikut.
(1)
97
guru mempertanyakan sikap anak atau mengajak anak diskusi; (3) Refleksi, dilakukan setelah petualangan.
Guru membiarkan anak bermain sendiri sesuai minatnya selaras dengan pendapat Abdurrahman (2007: 93-95) bahwa salah satu strategi pembelajaran yang dapat dikembangkan melalui CTL yaitu independent learning. “Independent learning atau belajar mandiri bertujuan agar anak dapat mandiri dalam memecahkan suatu permasalahan dengan pengetahuan yang mereka peroleh”.
Pelaksanaan komponen inkuiri pada kegiatan snack time dilakukan dilakukan dengan cara guru mendorong anak untuk menemukan pengetahuan lewat bermain. Penerapan komponen inkuiri pada kegiatan snack time sesuai dengan pendapat Sugiyanto (2010: 17-20) bahwa proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.
Komponen bertanya pada kegiatan snack time yaitu pada saat anak bermain. Biasanya guru mempertanyakan sikap anak atau mengajak anak diskusi. Pelaksanaan komponen bertanya pada kegiatn snack time sesuai dengan pendapat Masnur Muslich (2007: 45) yaitu penerapan komponen bertanya dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif digunakan lewat diskusi (baik kelompok maupun kelas).
Komponen refleksi muncul saat guru dan anak baru petualangan. Gurumengajak anak mereview kegiatan petualangan yang baru dilakukan. Hal itu sesuai dengan pendapat Sugiyanto (2010:17-20), yang menyatakan bahwa “proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.”
(2)
98
4) Closing (Kegiatan Penutup)
Berdasarkan hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara, diperoleh data bahwa kegiatan closing di TA SALAM dilaksanakan dengan (1) berkumpul, (2) mereview kegiatan yang sudah dilakukan, (3) merencanakan kegiatan untuk esok, (4) bernyanyi, dan (5) berdoa pulang. Komponen CTL yang muncul pada kegiatan closing adalah (1) bertanya, dilakukan pada saat mereview kegiatan ataupun melakukan perencanaan, (2) refleksi, dilakukan dengan mengajak anak untuk recalling kegiatan yang telah dilakukan pada hari itu.
Guru melaksanakan komponen bertanya pada saat mengajak anak untuk mereview kegiatan ataupun melakukan perencanaan. Pelaksanaan komponen bertanya pada kegiatan closing sesuai dengan pendapat Masnur Muslich (2007:45) yaitu penggalian informasi dan konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui lebih efektif apabila dilakukan melalui bertany dan melalui tanya jawab.
Komponen refleksi dilakukan guru dengan mengajak anak untuk recalling kegiatan yang telah dilakukan pada hari itu. Hal itu sesuai dengan pendapat Trianto (2009: 118) yang menyatakan bahwa cara merealisasikan refleksi dalam pembelajaran, yaitu berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu.
c. Evaluasi Pembelajaran dan Laporan hasil evaluasi
Berdasarkan hasil penelitian, evaluasi pembelajaran di TA SALAM dilakukan oleh guru dan orangtua. Evaluasi yang dilakukan guru berupa catatan perkembangan anak yang muncul secara alamiah, foto-foto, dan portofolio anak. Sedangkan evaluasi yang dilakukan oleh orangtua berupa angket berisi
(3)
99
perkembangan anak selama di rumah. Laporan perkembangan anak disajikan berupa rapor yang berisi catatan deskripsi perkembangan anak yang meliputi kognisi, motorik kasar, motorik halus, efeksi, dan minat, dan portofolio hasil karya anak.
Penilaian yang dilakukan guru sesuai konsep penilaian autentik yang dijelaskan Sugiyanto (2010:17), bahwa penilaian autentik proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan anak.Selain itu, penggunaan portofolio, foto, dan catatan perkembangan sesuai dengan teknik evaluasi/penilaian pembelajaran anak usia dini menurut Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009.
Laporan kepada orangtua sesuai dengan pendapat Trianto (2011:92) yang menyatakan bahwa “laporan kepada orangtua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya anak, laporan hasil praktikum, karangan anak”. Adanya komponen minat dalam rapor anak mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Guru menyadari bahwa setiap anak mempunyai kecenderungan bakat dan minat yang berbeda. Guru mengamati kecenderungan minat anak dan mendorong anak untuk mengembangkan minatnya. Hal itu sesuai dengan pendapat Johnson (2008:68) yang menyatakan bahwa berdasar prinsip pengorganisasian diri, tugas guru adalah mendorong anak untuk memahami dan merealisasikan semua potensi yang dimikinya seoptimal mungkin dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada anak.
Penilaian atau evaluasi yang dilakukan guru berupa catatan perkembangan, bukan berupa indikator keberhasilan, karena setiap anak mempunyai
(4)
100
kecenderungan tersendiri yang tidak dapat di generalisir. Indikator keberhasilan bukan merupakan sesuatu yang harus dicapai oleh anak, sehingga guru mencatat perkembangan anak sesuai apa yang ditemukan atau dilihat. Hal itu sesuai dengan pendapat Masnur Muslich (2007: 47), yang menyatakan bahwa “penilaian autentik bukan menghakimi anak, tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman anak”.
Guru tidak menggunakan TPP indikator keberhasilan anak mencerminkan prinsip diferensiasi. Guru menyadari bahwa setiap anak mempunyai minat, gaya belajar, dan keunikan masing-masing. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (2008:68) yang mengemukakan bahwa “diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang para anak untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif untuk bekerja sama...” d. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pelaksanaan Contextual
Teaching And Learning di TA SALAM 1) Faktor pendukung
Berdasarkan hasil penelitian, faktor pendukung dalam penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM adalah anak, orangtua, lingkungan, administrasi, dan kurikulum.
2) Faktor Penghambat
Berdasarkan hasil penelitian, faktor penghambat penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM adalah dinamika setiap anak yang berbeda-beda. Sehingga terkadang tidak semua anak bisa terfasilitasi minatnya.
(5)
101 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan
Perencanaan pembelajaran contextual teaching and learning di TA SALAM dilakukan dengan cara menerapkan karakteristik CTL prinsip kesalingbergantungan dan pembelajaran terintegrasi, yaitu dilakukan dengan cara menyusun pembelajaran yang terintegrasi tema dan subtema, serta melibatkan anak, orangtua, guru TA, dan guru KB dalam merencanakan kegiatan.
Pelaksanaan pembelajaran di TA SALAM terdiri opening, kegiatan inti, snack time, dan closing. (1) Komponen CTL yang muncul pada kegiatan opening antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya, modelling, masyarakat belajar, dan refleksi, sedangkan karakteristik CTL yang muncul adalah menekankan adanya pemecahan masalah dan mendorong anak untuk belajar dengan temannya, (2) dan komponen CTL yang muncul pada kegiatan inti adalah konstruktivisme, inkuiri, bertanya, modelling, masyarakat belajar, dan refleksi. Karakteristik CTL yang muncul pada kegiatan inti adalah pembelajaran terjadi dalam berbagai konteks, menggunakan berbagai sumber belajar anak aktif, dan mendorong anak untuk belajar dengan temannya. (3) Komponen CTL yang muncul pada kegiatan closing adalah komponen bertanya dan refleksi.
Evaluasi pembelajaran di TA SALAM dilakukan dengan cara menerapkan komponen CTL penilaian autentik. Karakteristik CTL yang muncul pada evaluasi dan pelaporan hasil evaluasi adalah prinsip diferensiasi dan prinsip pengorganisasian diri. Faktor pendukung dalam penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM adalah anak, orangtua, lingkungan, administrasi, dan
(6)
102
kurikulum. Sedangkan faktor penghambat penerapan contextual teaching and learning di TA SALAM adalah dinamika setiap anak yang berbeda-beda, sehingga terkadang tidak semua anak bisa terfasilitasi minatnya.
B.Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan penelitian, sebagai bentuk rekomendasi maka peneliti menyarankan pada pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran Taman Kanak-kanak, sebagai berikut:
1) Bagi pengambil kebijakan, sebaiknya memberikan keleluasaan pada praktisi pendidikan dalam mengembangkan kurikulum, administrasi dan jenis kegiatan dalam proses pembelajaran.
2) Bagi praktisi pendidik, sebaiknya tidak berpatok pada kurikulum dan lebih mengembangkan kurikulum, serta tidak mengejar tercapainya indikator keberhasilan dalam pembelajaran namun lebih mempertimbangkan kebutuhan dan tahap perkembangan anak.
3) Bagi TK lain, pembelajaran di Taman Anak Sanggar Anak Alam dapat menjadi model dalam melaksanakan pembelajaran yang konstruktivistik, kontekstual, dan berpusat pada anak, serta melibatkan orangtua dalam proses pendidikan. 4) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi terkait pelaksanaan
contextual teaching and learning dan dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.