Sekolah biasa saja: kajian terhadap praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta.

(1)

ix

ABSTRAK

Berangkat dari kebijakan Kemdiknas tahun 2010 tentang pendidikan karakter yang menjadi trend pendidikan etika di sekolah arus utama, penelitian ini mencoba mencari sekaligus mengkaji praktik pendidikan etika yang tidak mengikuti pendekatan pendidikan karakter. Penelitian ini kemudian mengkaji soal praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM), sebuah sekolah yang terletak di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. SALAM mengajukan pendidikan etika berbasis pengalaman sebagai cara mengajarkan etika kepada para anak didiknya. Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah metodologi imajinasi etnografis sebagaimana diperkenalkan oleh Paul Willis. Adapun konsep yang dipakai untuk membantu analisa penelitian ini adalah konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Lewat hasil penelitian dan juga analisa yang telah dilakukan, tesis ini sampai pada kesimpulan bahwa praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM memuat tiga aspek penting sekaligus yaitu kritik, kemungkinan dan juga resiko. SALAM masih membutuhkan kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) baik untuk menjaga komitmen pendidikannya maupun untuk mengembangkan praktik pendidikan etika alternatif yang mereka ajukan.

Kata-kata Kunci: pendidikan karakter, etika postmodern, pendidikan kepedulian, kritik, kemungkinan, resiko


(2)

x

ABSTRACT

Departing from the policy by the Ministry of Education in 2010 on character education in mainstream schools, this research is trying to search and investigate the practice of ethical teaching that does not follow the main character education guidelines. This research investigates the practice of alternative ethical teaching that is being implemented by Sanggar Anak Alam (SALAM), a school located in Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Special District of Yogyakarta. SALAM introduces its ethical teaching to their pupils based upon direct experiences. The methodology that is used in this study is ethnographic imagination as familiarized by Paul Willis. As for the concept used to analyze the research is the concept of postmodern ethics by Zygmunt Bauman and Nel Noddings’ concept of care education. From the overall process of this study, I come to a conclusion that the practice of alternative ethical teaching as introduced by SALAM contains three aspects, namely: criticism, chances, and also risk. SALAM still needs ability to learn as they go either on their commitment to maintain their educational system or on how to develop their alternative ethical teachings.

Key words: character education, postmodern ethics, care education, criticism, chances, risks


(3)

SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK

PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN

OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Master Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh :

Veronica Dwiastuti

126322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

i

SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK

PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN

OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Master Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh :

Veronica Dwiastuti

126322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(5)

NALAUIx

PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS

SEKOLAE BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK

.

PENDIDIKAI\i ETIKA ALTDRNATIT YANG DIAJUIGN

0LEH

SAITGGAR

ANAKALAM (SALAM) YOGYAKARTA

ff.ffi*ff

sffiB

-%*Td

19 Juti 2016

Prof. Dr. Asustinus Sunratiknva

DosenPembimbing


(6)

HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK

PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YAIYG DIAJUKAN

OLEH SANGGAR

ANAKALAM (SALAM) YOGYAKARTA

Oleh:

Veronica Dwiastuti 126322010

Telah dipertahankan di depanDewan Perrguji Tesis Pada tanggal 27 lud.i20l6

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua

Sekretaris/moderator Anggota

111


(7)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul: “Sekolah Biasa Saja: Kajian

terhadap Praktik Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta” merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Pemakaian dan peminjaman karya dari peneliti lain adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 9 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan


(8)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Veronica Dwiastuti

Nomor Mahasiswa : 126322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SEKOLAH BIASA SAJA: KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 9 Agustus 2016 Yang menyatakan


(9)

vi

Karya ini kupersembahkan untuk ibuku tercinta

(RIP, Christina Bonirah)


(10)

vii

KATA PENGANTAR

Bermula dari banyaknya ketertarikan sekaligus kegelisahan akan dunia pendidikan, perjalanan tesis ini dimulai. Tesis ini kemudian selain menjadi tempat bagi saya untuk melakukan praktik kerja budaya juga sekaligus menjadi tempat bagi saya untuk belajar banyak hal. Dan proses penyusunan tesis ini juga tidaklah serta merta berjalan dengan mulus. Ada banyak tantangan dan cobaan yang datang silih berganti. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya ingin berterimakasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dan mendukung saya selama proses penyusunan tesis ini.

Pertama-tama saya ingin menghaturkan terimakasih kepada Pak Pratik selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran dan masukan selama penyusunan tesis ini. Terimakasih banyak Pak Pratik. Dan saya juga ingin menghaturkan terimakasih kepada seluruh dosen IRB yang dengan caranya masing-masing telah berperan besar baik dalam penulisan tesis ini maupun proses belajar saya di IRB. Tak lupa juga terimakasih kepada Mbak Desy selaku sekretariat IRB yang selalu bisa diandalkan dalam segala urusan administrasi, Mbak Dita yang selalu memberikan informasi jadwal bimbingan dan Pak Mul yang selalu bisa diandalkan dalam segala urusan logistik di IRB.

Saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga besar Sanggar Anak Alam (SALAM) yang telah menerima saya dengan tangan terbuka serta telah bersedia menjadi narasumber penelitian tesis ini. Terimakasih kepada Pak Toto, Bu Wahya, para fasilitator, para orangtua murid, dan anak-anak SALAM yang sudah mendukung proses penelitian tesis ini. Terimakasih sekali kepada Mbak Hepi dan Bu Yetti yang tidak hanya bersedia menjadi teman fasilitator tetapi juga teman diskusi selama penyusunan tesis ini.

Tak lupa, saya ingin berterimakasih kepada teman-teman IRB utamanya teman-teman IRB angkatan 2012 (Mbak Nurani, Mas Darwis, Mas Totok, Mas Miko, Mbak Lani, Mbak Ajeng, Mas Krisna, Mas Rendra, Pak Willy, Bang


(11)

viii

Perdinan, Bang Saman, Septian, Mas Felik, Pak Rudi) yang dengan caranya masing-masing selalu memastikan bahwa (tesis) saya masih dalam keadaan hidup. Terimakasih juga kepada teman-teman IRB lintas angkatan yang juga telah banyak memberikan saran dan masukan untuk tesis ini. Terimakasih untuk Mbak Maria Dovita, Mbak Lucia Dianawuri dan Mas Leo yang sudah mau membagikan banyak pengalamannya kepada saya. Lalu, terimakasih juga untuk Emi dan Mbak Har yang sudah mau menjadi teman curhat saya di kos Sekartaji.

Terakhir, saya ingin berterimakasih kepada mereka yang sangat berharga dalam hidup saya, yaitu Ignasius Parjiyo, (RIP) Christina Bonirah, dan Andreas Sugianto. Terimakasih selalu mendukung apapun jalan yang saya pilih walau kadang banyak yang “aneh” di mata mereka. Saya percaya bahwa

terselesaikannya tesis ini selain hasil dari usaha juga karena kekuatan dari doa-doa mereka.

Saya menyadari bahwa dengan terselesaikannya tesis ini tidak berarti bahwa saya telah menyelesaikan kewajiban saya dengan tuntas. Ada banyak hal yang masih bisa ditingkatkan dan dikembangkan dari tesis ini. Namun, saya tetap berharap tesis ini bisa menjadi bahan belajar lengkap dengan segala kekurangannya baik bagi saya pribadi maupun para pembaca sekalian dalam upaya melakukan praktik-praktik kajian budaya selanjutnya.

9 Agustus 2016


(12)

ix

ABSTRAK

Berangkat dari kebijakan Kemdiknas tahun 2010 tentang pendidikan karakter yang menjadi trend pendidikan etika di sekolah arus utama, penelitian ini mencoba mencari sekaligus mengkaji praktik pendidikan etika yang tidak mengikuti pendekatan pendidikan karakter. Penelitian ini kemudian mengkaji soal praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM), sebuah sekolah yang terletak di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. SALAM mengajukan pendidikan etika berbasis pengalaman sebagai cara mengajarkan etika kepada para anak didiknya. Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah metodologi imajinasi etnografis sebagaimana diperkenalkan oleh Paul Willis. Adapun konsep yang dipakai untuk membantu analisa penelitian ini adalah konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Lewat hasil penelitian dan juga analisa yang telah dilakukan, tesis ini sampai pada kesimpulan bahwa praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM memuat tiga aspek penting sekaligus yaitu kritik, kemungkinan dan juga resiko. SALAM masih membutuhkan kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) baik untuk menjaga komitmen pendidikannya maupun untuk mengembangkan praktik pendidikan etika alternatif yang mereka ajukan.

Kata-kata Kunci: pendidikan karakter, etika postmodern, pendidikan kepedulian, kritik, kemungkinan, resiko


(13)

x

ABSTRACT

Departing from the policy by the Ministry of Education in 2010 on character education in mainstream schools, this research is trying to search and investigate the practice of ethical teaching that does not follow the main character education guidelines. This research investigates the practice of alternative ethical teaching that is being implemented by Sanggar Anak Alam (SALAM), a school located in Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Special District of Yogyakarta. SALAM introduces its ethical teaching to their pupils based upon direct experiences. The methodology that is used in this study is ethnographic imagination as familiarized by Paul Willis. As for the concept used to analyze the research is the concept of postmodern ethics by Zygmunt Bauman and Nel Noddings’ concept of care education. From the overall process of this study, I come to a conclusion that the practice of alternative ethical teaching as introduced by SALAM contains three aspects, namely: criticism, chances, and also risk. SALAM still needs ability to learn as they go either on their commitment to maintain their educational system or on how to develop their alternative ethical teachings.

Key words: character education, postmodern ethics, care education, criticism, chances, risks


(14)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

PERNYATAAN PUBLIKASI... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Kajian Pustaka ... 16

F. Kerangka Teori ... 24

G. Metodologi dan Metode Penelitian ... 35

H. Sistematika Penulisan... 39

BAB II : TREND PENDIDIKAN KARAKTER: MENYOAL KONSEP DAN PRAKTIK PENDIDIKAN ETIKA ARUS UTAMA INDONESIA... 41

A. Pengantar ... 41

B. Pendidikan Etika di Beberapa Sekolah Alternatif ... 43


(15)

xii

D. Pola, Konsep, dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia . 52 E. Menyoal Konsep dan Praktik Pendidikan Karakter

di Indonesia ... 63

BAB III: PENDIDIKAN ETIKA BERBASIS PENGALAMAN: PENDIDIKAN ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) ... 67

A. Pengantar ... 67

B. Berkenalan dengan Sanggar Anak Alam (SALAM) ... 68

C. Pendidikan Arus Utama di Mata Para Pendiri SALAM ... 89

D. Konsep Pendidikan Etika yang Diajukan oleh SALAM ... 92

E. Praktik Pendidikan Etika yang Dijalankan oleh SALAM ... 95

F. Hasil dari Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh SALAM ... 117

G. Negosiasi dan Evaluasi yang dilakukan oleh SALAM ... 121

BAB IV : SANGGAR ANAK ALAM (SALAM); SEKOLAH BIASA SAJA DI TENGAH PUSARAN PENDIDIKAN ARUS UTAMA .. ... 131

A. Pengantar ... 131

B. Potensi Pendidikan Berbasis Pengalaman sebagai Ruang Perjumpaan dengan Liyan ... 132

C. Potensi yang tak Terolah Secara Optimal: Menyoal Komponen Pendidikan Etika Alternatif SALAM ... 141

D. Menyoal Tarik Ulur yang Dihadapi SALAM: Resiko yang Mengiringi Pilihan untuk Menyelenggarakan Pendidikan Alternatif... 148

BAB V: PENUTUP ... 153

A. Kesimpulan... 153

B. Refleksi Tesis ... 157

C. Saran-saran ... 158


(16)

xiii

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 3.1 : Susunan Keanggotaan SALAM ... 76

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 : Media pendidikan karakter di SDN 4 Birugo ... 61

Gambar 2.2 : Warung kejujuran sebagai salah satu media pendidikan karakter ... 62

Gambar 3.1 : Sosok Bu Wahya, pendiri SALAM... 71

Gambar 3.2 : Sosok Pak Toto, pendiri SALAM ... 71

Gambar 3.3 : Bangunan sekolah SALAM ... 83

Gambar 3.4 : Daur Belajar SALAM ... 98

Gambar 3.5 : Garis Besar Proses Belajar Mengajar di SALAM ... 100

Gambar 3.6 : Target dasar belajar kelas lima semester 1 tahun ajaran 2014/2015... 102

Gambar 3.7 : Riset ke museum Sonobodoyo oleh anak-anak kelas lima .... 104

Gambar 3.8 : Pasar Legi yang Diselenggarakan oleh SALAM ... 111

Gambar 3.9 : Pasar Sehat dan Kreatif yang diselenggarakan oleh SALAM 112 Gambar 3.10 : Anak-anak SALAM mengantri untuk cuci tangan... 114

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 : Nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa ... 57


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia pendidikan sangat akrab dengan kehidupan kita. Ia tidak hanya menjadi diskusi serius di dalam ruangan, di tengah kalangan para pembuat kebijakan, praktisi dan pemerhati pendidikan tetapi bisa juga berupa obrolan yang nampaknya sangat santai di pasar dan warung, tempat para orangtua saling menceritakan pendidikan anak-anaknya sembari berbelanja. Kita masing-masing pun pasti bisa bercerita dan memberi tanggapan tentang dunia pendidikan berangkat dari pengalaman proses pendidikan yang sudah kita jalani.

Hampir semua orang pasti setuju bahwa pendidikan merupakan sebuah aspek yang sangat penting dalam rangka menyiapkan manusia dan generasi penerus masa depan. Letak penting pendidikan itu yang perlu kita lihat lebih jauh. Arti penting pendidikan berkaitan dengan pertanyaan utama “manusia dan

generasi masa depan seperti apa yang ingin dibentuk oleh sebuah sistem

pendidikan?” Dengan demikian yang dinamakan kualitas atau mutu pendidikan

merupakan sebuah hasil konstruksi sosial.

Definisi anak-anak beserta kehidupannya merupakan hasil konstruksi dari kita para orang dewasa menurut pemahaman kita tentang mereka yang juga tidak lepas dari konstruksi sosial. Seringkali kita mengatakan bahwa kita bicara dari sudut pandang anak-anak. Dalam pendidikan juga ada ungkapan “pendidikan berpusat pada anak”. Ungkapan tersebut terkesan sangat mulia, namun apabila


(18)

problematis. Definisi dan kriteria “anak pintar” dan “anak baik” juga merupakan

hasil dari konstruksi sosial. Orang dewasalah yang mengkonstruk pengetahuan, etika dan keterampilan yang harus dimiliki oleh anak-anak. Konstruksi seputar manusia dan generasi masa depan seperti apa yang ingin dibentuk lewat pendidikan mungkin saja berbeda, sehingga kita bisa menjumpai adanya kritik terhadap kualitas pendidikan yang ditentukan oleh pemerintah dan yang diupayakan oleh instansi pendidikan arus utama.

Pemerintah mengatur dan menentukan penyelenggaran Pendidikan Nasional melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan diantaranya adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan penetapan kurikulum. Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 dijelaskan tentang fungsi dan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan nasional. Fungsi pendidikan nasional

adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Adapun tujuan dari pendidikan nasional adalah “untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari penjelasan

fungsi dan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sisdiknas tersebut dapat kita lihat bahwa pemerintah pun berpandangan bahwa sekolah mempunyai banyak tanggung jawab yang harus diperhatikan, tidak hanya aspek kognitif semata tetapi juga berkaitan dengan pembentukan kepribadian dan keterampilan.


(19)

Berkaitan dengan pembentukan kepribadian, pada tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan karakter. Kebijakan tersebut konon beranjak dari keprihatinan akan berbagai persoalan bangsa Indonesia diantaranya: belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ancaman disintegrasi bangsa serta masih banyak persoalan lainnya. Beranjak dari keprihatinan tersebut, Kemdiknas kemudian mencanangkan penerapan pendekatan pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan. Pendidikan karakter ini digadang-gadang sebagai jalan mewujudkan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.1

Pendidikan karakter kemudian menjadi konsep sekaligus praktik pendidikan etika arus utama di sekolah-sekolah kita saat ini. Semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi diminta untuk menerapkan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kemdiknas tersebut. Pendidikan karakter menjadi trend baru di dunia pendidikan Indonesia.

Berkaitan dengan munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia, belum ada kajian kritis terhadap trend tersebut. Banyak ulasan baik yang berupa artikel maupun buku dan seminar-seminar yang diadakan lebih mengarah pada pemberian dukungan atau sosialisasi kebijakan baru tersebut. Padahal banyak hal yang perlu dikaji lebih jauh mengenai kemunculan kebijakan tersebut. Ide soal

1 Badan Penelitian dan Pengembangan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm. 5.


(20)

pendekatan pendidikan karakter tidak muncul dengan sendirinya di kalangan pembuat kebijakan kita.

Trend pendidikan karakter yang terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari munculnya kembali gerakan pendidikan karakter (character education movement) di Amerika Serikat (AS) sejak tahun 1990an. Di AS sendiri, pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan pendidikan karakter telah menjadi perdebatan hangat di kalangan para praktisi maupun peneliti dan pengamat pendidikan khususnya pendidikan moral. Perdebatan itu tidak hanya soal konsep dan praktik dari pendekatan pendidikan karakter tetapi juga mengkaji lebih jauh seputar kepentingan politik di balik munculnya kembali gerakan pendidikan karakter. Berbeda dengan negara asalnya, trend pendidikan karakter di Indonesia tidak diimbangi dengan perdebatan hangat seputar pendekatan tersebut.

Ide dasar pelaksanaan pendidikan karakter sebenarnya baik. Kita pun pasti setuju bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab untuk pengenalan ilmu pengetahuan semata tetapi juga pendidikan etika para peserta didiknya. Namun terlebih dahulu saya ingin menjelaskan penggunaan istilah pendidikan karakter dan pendidikan etika yang saya pakai secara bergantian dalam tesis ini. Pendidikan karakter dalam tesis ini lebih merujuk pada konsep dan praktik yang dijalankan di sekolah arus utama menurut kebijakan Kemdiknas sedangkan istilah pendidikan etika kemudian sengaja saya pilih untuk bisa lebih banyak membicarakan persoalan moralitas termasuk pendidikan karakter dari Kemdiknas itu sendiri.


(21)

Melanjutkan persoalan tanggung jawab sekolah untuk memberi pendidikan etika dan pembentukan kepribadian, kita pun perlu mengkritisi hal tersebut lebih lanjut. Etika macam apa yang ingin kita tanamkan dan bagaimana etika itu disampaikan kepada anak-anak? Kedua pertanyaan dasar itulah yang menjadi bahan untuk terus mencari orientasi yang tepat bagi pendidikan etika.

Berkaitan dengan pencarian orientasi dan kualitas pendidikan etika, apakah pendidikan karakter yang dicetuskan oleh pemerintah dan menjadi trend di dunia pendidikan sudah berangkat dari realitas sosial bangsa Indonesia saat ini? Aspek waktu dan tempat menjadi dua bahan pertimbangan penting dalam menyusun sistem pendidikan karena keduanya menentukan apakah sistem pendidikan tersebut relevan atau tidak. Dengan demikian pertanyaan di atas memang merupakan sebuah pertanyaan yang sulit. Sebuah tantangan yang tidak mudah untuk mencari orientasi pendidikan etika di tengah zaman yang terus beranjak serta di tengah-tengah perkembangan situasi lokal, nasional dan terlebih pengaruh pasar global dewasa ini.

Kita berada pada masa di mana neoliberalisme telah mempengaruhi segala aspek kehidupan kita. Hubungan sosial masyarakat pun turut dikomodifikasikan dan disamaratakan. Neoliberalisme telah menimbulkan hubungan-hubungan subordinatif baru. Neoliberalisme memanfaatkan kebutuhan manusia sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan dan membuat konsumsi sebagai satu-satunya model relasi sosial serta melingkupi seluruh kehidupan sosial.

Teknologi telah berkembang sedemikian rupa dan turut menjadi alat bagi neoliberalisme dalam membuat hubungan subordinat dalam masyarakat.


(22)

Teknologi yang seharusnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia, justu sekarang kita dibuat untuk terus-menerus merasa butuh berbagai teknologi tersebut. Teknologi yang seharusnya semakin membuat manusia bertanggung jawab justru seringkali dimanfaatkan secara brutal untuk menindas manusia yang lain. Zygmunt Bauman banyak memberikan contoh bagaimana pada masa modern saat ini teknologi justru dimanfaatkan untuk menindas manusia yang lain. Misalnya, penggunaan teknologi dalam situasi perang yang bisa membuat orang terbunuh dalam waktu yang relatif cepat dan jarak yang relatif jauh di mana pembunuhnya tidak perlu melihat para korbannya. Orang kemudian bisa saja terbunuh tanpa adanya kesempatan untuk mempertahankan diri.2

Masih banyak contoh lain tentang bagaimana kemajuan teknologi saat ini justru mengarahkan orang pada militerisme, konsumerisme dan juga privatisasi. Dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh kekuasaan konsumerisme, neoliberalisme dan juga militerisme kemudian menjadi lebih sulit untuk mengambil posisi tanggung jawab moral, sosial dan politis. Kita juga menjadi sulit membayangkan tentang masa depan di mana kita merespon penderitaan Liyan sebagai elemen pusat dari kehidupan demokrasi.

Berhadapan dengan situasi jaman sekarang yang seperti itu, pendidikan kemudian mengemban tanggung jawab penting yakni membentuk masyarakat etis yang peduli akan Liyan. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah konsep dan praktik yang diajukan oleh pendekatan pendidikan karakter bisa mengantar anak untuk bisa mengambil posisi tanggung jawab terhadap Liyan? Seperti yang sudah


(23)

saya singgung bahwa di AS sendiri, konsep dan praktik pendidikan karakter sudah mendapat kritik dari berbagai kalangan. David E. Purpel menyebut gerakan pendidikan karakter lebih bersifat sebagai sebuah gerakan ideologis dan politik daripada sebuah perdebatan tentang materi-materi moral.3 Penentuan standar melalui adanya nilai-nilai utama membuat para guru lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai itu. Tianlong Yu menyatakan bahwa kebanyakan guru pendidikan karakter lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai universal yang telah dipilih dan cenderung menghindari isu-isu perubahan politik yang terjadi.4 Dan Nel Noddings melihat metode yang digunakan oleh pendekatan karakter seperti memasang spanduk-spanduk berisikan nilai yang sedang ingin diajarkan atau pemberian kata-kata motivasi (motto) kepada para murid tidak efektif dalam mengajarkan moral kepada para muridnya.5

Nel Noddings sendiri merupakan tokoh pendidikan kepedulian (care education) yang selain mengkritik pendidikan karakter, ia juga mengajukan pendidikan kepedulian sebagai alternatif dalam pendidikan moral. Pendekatan pendidikan kepedulian sebenarnya setuju dengan tujuan pendekatan pendidikan karakter yang ingin menciptakan orang-orang atau masyarakat yang baik. Namun, cara yang dipakai dalam merealisasikan tujuan tersebut yang berbeda. Pendekatan

3 David E. Purpel,

“The Politics of Character Education” dalamCounterpoints, Vol. 102, Tahun

1999, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42975410 pada hari Kamis, 25 Juni 2015, hlm. 83.

4 Tianlong Yu, In the Name of Morality: Character Education and Political Control, New York, Peter Lang, 2004, hlm. 2.

5 Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, New York, Teachers College Press, 2002, hlm. 7.


(24)

pendidikan kepedulian lebih menekankan pada proses pembentukan relasi yang bisa menjadi lahan bagi tumbuh kembangnya etika anak.

Demikianlah kita sudah melihat peta besar mengenai persoalan pendidikan etika. Di satu sisi, neoliberalisme membuat kita butuh sebuah etika baru, yaitu etika yang berdasar pada tanggung jawab terhadap Liyan yang partikular. Tetapi di sisi lain, pendidikan etika arus utama melalui pendekatan pendidikan karakter belum mampu memenuhi kebutuhan kita tersebut. Jika di AS, ada pendidikan kepedulian yang diajukan sebagai alternatif bagi pendidikan karakter, di Indonesia pendidikan karakter justru sedang menjadi trend di semua jenjang pendidikan arus utama.

Pencarian alternatif bagi trend pendidikan karakter di Indonesia kemudian membawa saya pada institusi pendidikan yang mengusung bendera pendidikan alternatif. Berhadapan dengan pendidikan arus utama, di Indonesia sudah cukup banyak contoh pendidikan alternatif yang berdiri dan dikenal oleh masyarakat luas. Namun istilah “alternatif” ini juga perlu dikaji lebih dalam, yaitu alternatif

dari realitas pendidikan yang mana. Saat ini ada cukup banyak institusi yang mengusung pendidikan alternatif dengan kegelisahan, tujuan maupun ideologi yang beragam. Pendidikan alternatif kemudian tidak hanya dalam pemaknaan akan sebuah pendidikan yang diajukan sebagai hegemoni tandingan terhadap wacana dan praktik pendidikan arus utama tetapi ada juga justru menggunakan istilah pendidikan alternatif sebagai barang jualan.

Sanggar Anak Alam (SALAM) kemudian menjadi pendidikan alternatif yang saya pilih untuk penelitian saya. SALAM terletak di Desa Nitiprayan,


(25)

Kasihan, Bantul, Yogyakarta. SALAM merupakan salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan dengan konsep dan strategi yang berbeda dengan pendidikan pada umumnya.

Proses pendirian SALAM tidak lepas dari sosok Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo yang merupakan rekan dari Y.B Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun. Nama Romo Mangun tentu sudah tidak asing dalam dunia pendidikan Indonesia. Persoalan kemiskinan, kekerasan, ketidakberdayaan, ketidakadilan dan penyeragaman oleh pemerintahan Suharto menjadi perhatian Romo Mangun. Ia dan rekan-rekannya mengupayakan pendidikan yang memerdekakan dengan mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan Sekolah Dasar (SD) Eksperimental Mangunan .

Toto Rahardjo sendiri merupakan sahabat dari Mansour Fakih dan Roem Topatimasang dimana mereka bertiga telah menyunting sebuah buku yang berjudul “Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis”. Dalam buku tersebut, terlihat jejak pemikiran Paulo Freire yaitu seorang tokoh pemikiran pendidikan kritis dari Brazil yang mencetuskan tentang pendidikan yang membebaskan. Ketika saya mengikuti workshop SALAM yang dipandu oleh Toto Rahardjo memang nampak bahwa ia menggeluti pemikiran Paulo Freire.

Bagi pendidikan kritis, pemikiran serta aksi nyata Romo Mangun dan Paulo Freire merupakan contoh-contoh panutan yang ingin untuk dijalankan. Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo sudah bersentuhan dengan pendidikan yang dulu diupayakan oleh Rama Mangun dan juga sudah berkenalan dengan konsep pendidikan Paulo Freire. Lalu hal yang menarik perhatian saya yaitu bagaimana


(26)

ketika konsep-konsep pendidikan kritis itu kemudian coba direalisasikan dalam bentuk SALAM. Bagaimana mereka menerjemahkan konsep-konsep pendidikan pendidikan kritis dan menerapkan dalam proses pembelajaran di SALAM. Berbagai ketertarikan dan pertanyaan yang muncul ketika saya bersentuhan dangan SALAM inilah yang membawa saya memilih SALAM sebagai objek material penelitian saya dengan berfokus pada pendidikan etika.

Secara tampak mata, SALAM berbeda dengan sekolah pada umumnya. Dari penampakan luar, anak-anak yang belajar di SALAM tidak mengenakan seragam seperti anak-anak yang belajar di sekolah formal pada umumnya. Mereka bebas untuk memakai baju apa saja. Bangunan sekolah mereka berada di tengah-tengah sawah dan ada yang terbuat dari bambu.

Dari sisi proses pembelajarannya, terutama pendidikan etika, SALAM tidak menggunakan mata pelajaran seperti Pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) seperti di sekolah pada umumnya. Tentu kita kemudian menjadi bertanya, lalu bagaimana cara mereka membentuk kepribadian anaknya? Para pengurus SALAM ingin menumbuhkan tanggung jawab anak-anaknya baik kepada dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitarnya. SALAM merangkum tujuannya itu dalam semboyan “jaga diri, jaga teman dan

jaga lingkungan”.

Cara yang dipakai oleh SALAM untuk memperkenalkan ketiga bentuk tanggung jawab itu ialah melalui pendidikan etika berbasis pengalaman. Berangkat dari kegelisahan para pengurus SALAM akan realitas pembelajaran etika di sekolah arus utama yang lebih mengarah pada pemberian ajaran,


(27)

wejangan dan nasehat yang jauh dari bayangan anak-anak, SALAM kemudian menyusun keseluruhan dinamika pendidikannya untuk menjadi sarana anak-anak melihat realitas sekelilingnya dan kemudian belajar mengambil posisi tanggung jawab di tengah realitas tersebut. Keseluruhan dinamika SALAM mulai dari kegiatan belajar mengajar, kesepakatan kelas, pasar tradisional, bank sampah dan berbagai kegiatan lainnya diarahkan sebagai praktik pendidikan etika anak-anak muridnya. Pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM inilah yang akan saya kaji melalui penelitian saya.

Saya menyusun judul untuk penulisan tesis saya ini adalah “Sekolah Biasa

Saja: Kajian terhadap Praktik Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta”. Judul ini terinspirasi dari judul buku

yang ditulis oleh Toto Rahardjo, yaitu “Sekolah Biasa Saja (Catatan Pengalaman Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di Sanggar Anak Alam)”. Kalimat “Sekolah Biasa Saja” menarik keingintahuan saya akan apa sebenarnya yang ingin mereka sampaikan berkaitan dengan keberadaan SALAM. Kalimat tersebut bagi saya bisa

mengarahkan pada dua kemungkinan. Pertama, kalimat “Sekolah Biasa Saja”

bernada rendah hati atau negasi dimana makna yang sebenarnya ingin diungkapkan yaitu bahwa SALAM bukan sekolah biasa seperti sekolah lain pada umumnya. Kalimat tersebut bisa dimaknai bahwa SALAM adalah sekolah yang bagus sebagai alternatif dari kecenderungan pendidikan arus utama. Kemungkinan yang kedua dari kalimat tersebut bahwa pada kenyataannya SALAM memang hanya sekolah biasa saja sama seperti dengan sekolah lain termasuk pendidikan arus utama yang ia lawan. Dua kemungkinan tersebut akan saya simpulkan


(28)

melalui hasil penelitian saya, kemungkinan mana yang tepat berkaitan dengan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian saya berangkat dari pertanyaan utama yaitu “Praktik pendidikan etika alternatif seperti apa yang

diajukan oleh Sangar Anak Alam (SALAM) dalam kaitannya dengan realitas

pendidikan etika di jaman sekarang?” Pertanyaan utama tersebut, saya uraikan

menjadi tiga rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana munculnya SALAM dalam kaitannya dengan realitas praktik pendidikan etika di jaman sekarang?

Permasalahan pertama ini untuk mengkaji momen lahirnya konsep dan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Pendidikan etika menjadi salah satu bagian dari keprihatinan yang mereka rasakan ketika berhadapan dengan realitas pendidikan Indonesia saat ini. Oleh sebab itu, pertama-tama saya ingin tahu bagaimana para pendiri SALAM memandang realitas pendidikan etika di jaman sekarang.

2. Praktik pendidikan etika alternatif seperti apa yang kemudian diajukan oleh SALAM?

Pada permasalahan kedua ini, saya ingin memahami konsep dan praktik pendidikan etika yang dijalankan oleh SALAM. Saya ingin mengkaji tentang etika seperti apa yang ingin diperkenalkan oleh SALAM dan bagaimana etika itu diperkenalkan kepada para peserta didiknya. Permasalahan ini berkaitan


(29)

dengan persoalan etika yang lebih sering diterjemahkan menjadi pendidikan sopan-santun, taat pada perintah, larangan dan aturan tanpa melangkah lebih jauh pada tanggung jawab sosial. Oleh sebab itu, pertanyaan selanjutnya yaitu, apakah konsep dan praktik pendidikan etika yang diajukan SALAM memberi ruang pada anak-anak yang masih kecil usia Sekolah Dasar untuk bisa mulai belajar mengaitkan etika sampai pada kesadaran dan tanggung jawab sosial.

3. Bagaimana SALAM melakukan negosiasi dengan realitas pendidikan etika arus utama dan juga evaluasi terhadap pendidikan etika alternatif yang diajukannya?

Pendidikan kritis berkaitan dengan aspek waktu dan juga tempat. Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan yang harus direspon oleh pendidikan pun turut berubah. Oleh sebab itu, permasalahan ketiga ini bertujuan untuk mengkaji negosiasi dan evaluasi yang dilakukan SALAM. Bagaimana SALAM menjaga integritas dan komitmennya akan pendidikan etika alternatif yang diajukan. Kemudian bagaimana SALAM melakukan evaluasi terhadap kesinambungan konsep dan praktik pendidikan yang dijalankan. Permasalahan-permasalahan ini dapat digunakan untuk membaca masa depan pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM.

C. Tujuan Penelitian


(30)

1. Menganalisis kemunculan pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM.

2. Menganalisis pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kesadaran aktif dan politis yang dihasilkan dari pendidikan etika yang diterapkan oleh SALAM.

3. Menganalisis negosiasi dan evaluasi yang dilakukan oleh SALAM. Penelitian ini bertujuan untuk menangkap sisi kreatif SALAM dalam menghadapi wacana dan praktik pendidikan etika arus utama serta membaca masa depan pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM.

D. Manfaat Penelitian

Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini dimaksudkan untuk mengajukan sebuah alternatif dalam penelitian-penelitian yang mengangkat tema tentang pendidikan, terutama tentang pendidikan etika. Seiring munculnya kebijakan pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Kemdiknas, banyak tulisan yang mengangkat seputar pendidikan karakter tersebut. Ada banyak sekali tulisan tentang bagaimana seharusnya pendidikan karakter diselenggarakan. Topik yang disampaikan pada umumnya adalah soal karakter apa saja yang harus diajarkan dan kemudian desain pelaksanaannya. Penelitian seputar praktik pendidikan etika selain belum terlalu banyak, juga terkesan kurang mendalam karena berpaku pada pendidikan karakter sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Ada pula tulisan dan penelitian lain yang mengulas soal pendidikan moral tapi kebanyakan


(31)

berkaitan dengan moral agama. Oleh sebab itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengajukan sebuah alternatif dalam penelitian-penelitian seputar pendidikan etika.

Bagi saya pribadi, penelitian ini berangkat dari kegelisahan saya sebagai warga dari pendidikan arus utama. Ada banyak kegelisahan yang saya jumpai, baik ketika saya menjadi peserta didik dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi dan juga ketika saya menjadi pengajar walau hanya dalam waktu yang relatif singkat. Saya tidak tahu sebenarnya kegelisahan apa yang rasakan kala itu. Saya pernah berada di titik di mana saya histeris dan juga sinis. Tetapi saya kemudian berkenalan teori-teori kajian budaya yang ternyata juga dipakai oleh para tokoh pendidikan kritis. Pemikiran-pemikiran pendidikan kritis telah menunjukkan kritiknya terhadap pendidikan arus utama. Saya kemudian bisa melihat siapa sumber dari kegelisahan-kegelisahan yang selama ini saya rasakan. Namun, tidak berhenti pada kritik semata, pendidikan kritis juga memberi bahasa kemungkinan, bahwa masih ada yang bisa kita lakukan di tengah pusaran pendidikan arus utama. Oleh sebab itu, penelitian ini bagi saya merupakan sebuah pendalaman sekaligus sebagai praktik kerja budaya (the act of doing) tentang pendidikan kritis dengan berfokus pada persoalan etika. Bagaimana pendidikan bisa mendewasakan kepribadian manusia dan menjadikan Liyan sebagai sumber tanggung jawab moralnya.


(32)

E. Kajian Pustaka

Beberapa tulisan yang terkait dengan tema tesis ini saya pilah dalam beberapa sub pokok bahasan, yaitu:

1. Pendidikan etika

Tulisan mengenai evaluasi atau tinjauan kritis terhadap pendidikan etika sangat sulit saya temukan. Kebanyakan tulisan lebih mengarah pada handbook tentang bagaimana pendidikan etika itu seharusnya dilaksanakan. Memang ada yang membuat evaluasi tentang belum efektifnya pendidikan etika melalui berbagai mata pelajaran seperti Budi Pekerti, Pendidikan Agama dan PKn namun evaluasi tersebut hanya diuraikan secara sekilas dan itu pun dalam rangka menawarkan pendidikan karakter sebagai jawaban akan masalah tersebut.

Satu artikel yang ditulis cukup jauh sebelum munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia dan memotret pengaruh keseluruhan sistem pendidikan dalam menciptakan karakter siswa adalah artikel Paul Suparno yang dimuat dalam majalah BASIS No. 05-06, tahun 2000. Dalam artikelnya yang berjudul “Apakah Pendidikan Menghasilkan Ketulusan?”, Paul Suparno

berangkat dari pertanyaan besar, apakah praktik pendidikan sampai sekarang ini membantu siswa menjadi pribadi yang tulus dan jujur, atau sebaliknya?.6

Paul Suparno melihat keseluruhan sistem pendidikan Indonesia dan praktiknya di lapangan justru membuat para muridnya menjadi penurut, tidak jujur dan juga tidak tulus. Kepentingan penguasa membuat sekolah berfungsi

6

Paul Suparno, “Apakah Pendidikan Menghasilkan Ketulusan?” dalam BASIS, Nomor 05-06,


(33)

sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Model indoktrinasi yang sering dipakai kemudian menciptakan manusia pembebek. Selain itu, pendidikan di sekolah juga lebih mengarah pada penyeragaman dan non-multinilai dengan alasan demi kebersamaan. Bahan pelajaran, metode pembelajaran dan teladan yang diberikan guru pun justru banyak yang membuat para murid belajar untuk tidak jujur dan tidak tulus.7

Paul Suparno juga mengkritisi pelajaran agama di sekolah. Pelajaran agama yang dilakukan di sekolah negeri dengan memisahkan murid menurut agama mereka masing-masing, di satu pihak memang ada baiknya yaitu mereka bisa mendapatkan pendalaman pengetahuan agama mereka, namun di lain pihak, mereka tidak saling mengerti ajaran dan nilai baik dari agama teman-temannya yang lain. Akibatnya, mereka sulit untuk menghormati agama teman yang lain. Pendidikan yang dikelola institusi agama pun memiliki persoalan tersendiri dengan berbagai kemungkinan negatif dari adanya penekanan terhadap nilai baik agama masing-masing.8

Dari ulasan Paul Suparno tersebut, kita sudah mendapatkan beberapa tinjuan mengenai realita praktik pendidikan etika arus utama di Indonesia. Di tengah realita konsep dan praktik pendidikan etika arus utama yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, Gunilla Dahlberg dkk mengajak kita untuk mencari sebuah etika alternatif. Buku “Beyond Quality in Early Childhood

Education and Care: Language of Evaluation” (karya Gunilla Dahlberg, Peter Moss dan Alan Pence) dan buku “Ethics and Politics in Early Childhood

7 Ibid, hlm. 60-61. 8 Ibid, hlm. 61-62.


(34)

Education” (karya Gunilla Dahlberg dan Peter Moss) sama-sama ingin menawarkan etika alternatif dalam pendidikan kanak-kanak di tengah-tengah pengaruh neoliberalisme, negara maupun kelompok dominan lainnya.

Pada buku “Beyond Quality in Early Childhood Education and Care: Languages of Evaluation”, Gunilla Dahlberg dkk mengangkat etika postmodern menurut Zygmunt Bauman dan pada buku “Ethics and Politics in

Early Childhood Education”, Gunilla Dahlberg dan Peter Moss kembali

mengangkat etika postmodern Bauman disertai dengan pandangan etika kepedulian dari para feminis dan etika sebagai sebuah perjumpaan dari Emmanuel Levinas. Baik menurut Levinas, Bauman maupun para tokoh etika kepedulian, etika merupakan sebuah bentuk tanggung jawab terhadap Liyan (responsibility for the Other). Dalam usaha berdialog dengan Liyan, sebenarnya kita sedang mendengarkan mereka dari posisi dan pengalaman mereka.

Dengan demikian, pendidikan perlu untuk memperkenalkan berbagai bentuk relasi kepada anak-anak, baik relasi antara anak-anak sendiri maupun relasi dan guru, orang tua, orang dewasa lain dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam masyarakat. Hal ini berarti pertanyaan seputar apakah

“baik” atau “buruk” praktik pedagogi dalam sebuah institusi pendidikan

hanya dapat dijawab dalam sebuah konteks komunikasi, perjumpaan dan dialog dengan Liyan.9

9 Gunilla Dahlberg. dkk., Beyond Quality in Early Childhood Educatin and Care: Languages of


(35)

2. Pendidikan alternatif

Bicara soal SALAM tidak bisa dilepaskan dari realita pendidikan alternatif di Indonesia. Anita Lie berpendapat bahwa munculnya pendidikan-pendidikan alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat merupakan kemajuan yang menggembirakan. Hal ini memperlihatkan sudah ada kesadaran dan keinginan untuk berperan serta dalam mengupayakan pendidikan yang tidak bisa diakomodasi secara optimal oleh pendidikan formal. Namun peran serta masyarakat ini masih bersifat sporadis dan belum cukup memadai dibandingkan banyaknya permasalahan di seputar dunia pendidikan. Pendidikan-pendidikan alternatif masih harus diuji komitmennya oleh waktu.10

Pendidikan alternatif juga memiliki banyak tantangan yang cukup berat. Permasalahan dana merupakan permasalahan pelik bagi organisasi-organisasi yang menangani pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Berkaitan dengan masalah pendanaan, ada kesulitan untuk menggalang dana dari masyarakat. Selain karena masih kurangnya kepedulian, masyarakat sendiri juga berada dalam situasi tidak berdaya. Maka, sumber dana biasanya berasal dari pemerintah dan luar negeri dengan jumlah bantuan yang menggiurkan namun juga meminta imbalan yang sepadan. Integritas dan komitmen penyelenggara pendidikan alternatif dipertaruhkan ketika berhadapan dengan penyumbang dana.11

10

Anita Lie, “Pendidikan Kritis dan Transformasi Masyarakat Kewargaan”, dalam I. Praptomo

Baryadi. et.al (Ed.), Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2008, hlm. 7-8.


(36)

Tantangan lain dalam menjalankan pendidikan alternatif adalah ketidaksinambungan antara teori dan praktiknya. Ada kecenderungan untuk berkutat pada teori pendidikan yang ingin diterapkan namun kesulitan untuk merealisasikannya dalam praktik nyata untuk membawa perubahan bagi masyarakat. Pendidikan alternatif yang tidak berangkat dari kerangka teoritis yang jelas dan mengalami ketidaksinambungan antara teori dan praktik hanya akan membuatnya menjadi gerakan-gerakan sosial yang sangat mudah terjerembab atau mudah kehilangan arah dan fokus.12 Dari tulisan Anita Lie ini, kita sedikit mendapat gambaran tentang adanya tantangan-tantangan yang bisa kita jumpai ketika berhadapan dengan pendidikan alternatif.

3. Sanggar Anak Alam (SALAM)

Berkaitan dengan pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM, sudah ada beberapa skripsi hasil penelitian terhadap pendidikan SALAM. Muhammad Ikhsan Ghofur, mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti tentang materi, metode dan partisipasi orang tua dalam proses pembelajaran di SALAM. Dalam skripsinya yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Berbasis Mayarakat di

Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam Nitiprayan Bantul (Studi Materi, Strategi/Metode dan Partisipasi Orang Tua dalam Proses Pembelajaran)”,

Muhammad Ikhsan Ghofur mengambil kesimpulan bahwa materi yang diajarkan di SALAM berkaitan dengan berbagai bentuk hubungan atau relasi baik hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan diri


(37)

sendiri, hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan dengan makluk lain dan lingkungan. Strategi yang digunakan di SALAM adalah strategi pembelajaran interaktif dan berdasar pada pengalaman. Orang tua murid SALAM berpartisipasi aktif dalam dinamika pembelajaran SALAM, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan muapun evaluasi.

Ani Musfiroh yang juga merupakan mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti tentang konsep dan implementasi pendidikan di SALAM. Dalam skripsinya yang berjudul “Konsep dan Implementasi Sekolah Kehidupan di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan Kasihan Bantul Yogyakarta dalam

Perspektif Islam”, Ani Musfiroh menyimpulkan bahwa SALAM

menggunakan konsep sekolah kehidupan yang belajar berdasarkan pengalaman. Metode pembelajaran yang dipakai menyesuaikan tema yang telah disepakati.

Mia Hera Puspita, mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta meneliti soal tingkat kepercayaan diri anak-anak SALAM. Dalam

Skripsinya yang berjudul “Studi Deskriptif: Tingkat Kepercayaan Diri Siswa-Siswi SD Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Mia Hera Puspita menyimpulkan bahwa secara umum tingkat kepercayaan diri anak-anak SALAM termasuk tinggi. Mia melihat bahwa diskusi yang dilakukan antara fasilitator dan anak-anak membuat anak menjadi berpikir positif dalam melihat peristiwa. Anak-anak bukan berpikir salah benar, tetapi memandang suatu peristiwa dari sisi positif.


(38)

Berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, penelitian yang saya lakukan tidak hanya berkutat pada masalah kepercayaan diri anak-anak SALAM, implementasi pendekatan pembelajaran, metode dan media pembelajaran ataupun menganalisis pendidikan SALAM dalam perspektif agama tertentu. Saya akan mengkaji pendidikan etika alternatif SALAM dengan berpedoman pada konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Namun, dari hasil penelitian-penelitian terdahulu tentang SALAM yang telah saya tuliskan di atas, kita bisa mendapat beberapa gambaran awal tentang proses pendidikan di SALAM. SALAM menggunakan pengalaman sebagai basis dari proses pembelajarannya.

4. Pendidikan berbasis pengalaman

Berkaitan dengan proses pendidikan yang berbasis pada pengalaman, Stefanus Soejanto Sandjaja menulis sebuah artikel yang berjudul “Pendidikan Karakter yang Berbasis Eksperiensial”. Dalam artikel tersebut, ia menguraikan tentang pendidikan karakter yang menghadirkan pengalaman langsung kepada para murid dan seberapa efektifnya strategi tersebut. Ia mengawali tulisannya dengan berbagai kritik yang ditujukan terhadap pelaksanaan pendidikan karakter melalui berbagai pelajaran di Indonesia. Dari hasil penelitian yang ia peroleh, ia menemukan bahwa metode ceramah


(39)

masih sering digunakan secara berlebihan serta model duduk, dengar, catat dan hapal masih mendominasi pendidikan karakter di Indonesia.13

Stefanus Soejanto Sandjaja juga sedikit menyinggung gagasan Romo Mangun bahwa pendidikan karakter yang efektif adalah dimulai dari pengalaman anak sehari-hari dan dalam suasana dialogis. Lebih lanjut, Stefanus Soejanto Sandjaja menguraikan tentang pembelajaran eksperiensial. Yang dimaksud tentang pembelajaran eksperiensial adalah pemberian pengalaman langsung kepada murid-murid atau menghadirkan kehidupan sehari-hari murid dalam bentuk aktivitas. Ia mengutip pendapat Ortigas mengenai lima tahap penting dari pembelajaran eksperiensial, yaitu: tahap pencair suasana, memberikan pengalaman, refleksi, kesimpulan dan aplikasi.14 Namun penjelasan Stefanus Soejanto Sandjaja tentang kelima tahap tersebut lebih mengarah pada serangkaian metode belajar yang menyenangkan para murid. Efektivitas pembelajaran untuk pendidikan karakter pun dilihat dari peningkatan daya serap para murid, antusias para murid dalam mengerjakan tugas dan suasana pembelajaran moral yang menyenangkan dari penerapan pembelajaran eksperiensial. Pengukuran efektivitas atau baiknya pembelajaran karakter tidak cukup berhenti dengan kriteria-kriteria tersebut tetapi perlu sampai pada memperkenalkan anak-anak akan tanggung jawab terhadap Liyan di sekelilingnya.

13 Stefanus Soejanto Sandjaja,

“Pendidikan Karakter Berbasis Pembelajaran Eksperiensial” dalam

Metamorfosis, Vol. 5, diakses dari

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=199799&val=6579&title=Pendidikan%20 Karakter%20Berbasis%20Pembelajaran%20Eksperiensial pada hari Kamis, 25 juni 2015, hlm. 21.


(40)

F. Kerangka Teori

Untuk menjawab persoalan-persoalan yang sudah saya jabarkan dalam rumusan masalah, saya menggunakan konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian (care education) Nel Noddings. Konsep etika Bauman akan digunakan sebagai titik terang seputar etika macam apa yang kita butuhkan di tengah himpitan neoliberalisme saat ini. Dan konsep pendidikan kepedulian dari Nel Noddings akan digunakan sebagai titik terang seputar bagaimana etika itu sebaiknya diajarkan. Kiranya kedua konsep tersebut dapat saling melengkapi dan dapat digunakan sebagai pisau bedah yang cukup tajam untuk mengkaji praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM.

1. Etika postmodern menurut Zygmunt Bauman

Bicara soal etika di jaman yang semuanya telah disamaratakan oleh neoliberalisme merupakan sebuah hal yang sangat rumit. Privatisasi dan individualisme sebenarnya berada sangat nyata di tengah-tengah masyarakat kita. Do it yourself (DIY) menjadi sebuah bentuk tanggung jawab moral baru di kalangan para individu modern.15

Etika menurut konstruksi modernisme turut menjadi persoalan yang dipertanyakan oleh kaum postmodern. Etika modern tidak bisa dilepaskan dari konsep etika menurut Immanuel Kant. Kant melihat penilaian etika dengan hukum universal yang abstrak. Menurut Kant, subjek moral modern

15 Zygmunt Bauman and Leonidas Donskis, Moral Blindness: The Loss of Sensitivity in Liquid


(41)

adalah bebas dari tuntunan tradisi, agama maupun sifat alamiah manusia melainkan diatur oleh hukum universal.16

Zygmunt Bauman banyak memberikan sumbangan dalam mengkaji etika modern. Ia sudah mulai menyusun pandangannya tentang etika modern dalam bukunya yang berjudul “Legislator and Interpreters” tahun 1988 dan kemudian ia melanjutkan analisisnya dalam buku “Postmodern Ethics” tahun 1993. Dalam “Postmodern Ethics”, Bauman ingin memotret masalah etika dengan menggunakan pandangan postmodern terhadap realitas-realitas yang dihasilkan oleh modernisme. Ia masih menulis banyak buku setelah itu seiring semakin rumitnya realitas di jaman yang ia sebut dengan jaman serba cair (liquid times).

Bauman melihat para legislator dan pemikir modern memandang

moralitas bukanlah sebuah “sikap alamiah” (natural trait) manusia melainkan sebagai sesuatu yang harus diajarkan atau dicangkokkan kepada manusia. Berangkat dari cara pandang seperti itulah mereka kemudian mencoba menyusun suatu etika komprehensif dengan seperangkat aturan moral. Aturan moral itu kemudian diajarkan ke masyarakat dan menjadi sebuah kewajiban untuk ditaati.17Bauman melihat bahwa modernitas mengukur tanggung jawab masyarakat dengan menggunakan kode etik, peraturan atau hukum yang disusun secara rasional. Melalui kode etik tersebut, orang-orang modern seakan mempunyai kepercayaan diri akan keputusan yang akan diambil dan yang telah diambil.

16 Michael Hviid Jacobsen dan Paul Poder, The Sociology of Zygmunt Bauman: Challenges and

Critique, England, Ashgate, 2008, hlm. 62.


(42)

Bauman menolak etika modern yang selama ini menjadi patokan universal dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa pandangan yang diungkapkan Bauman berkaitan dengan etika modern. Pertama, menurut Bauman pada hakikatnya moralitas masyarakat adalah ambivalen, oleh sebab itu tidak ada aturan moral yang tepat dengan kondisi tersebut seperti yang diungkapkannya berikut ini:18

In fact, humans are morally ambivalent: ambivalence resides at the heart of the ‘primary scene’ of human face-to-face. [...]No logically

coherent ethical code can ‘fit’ the essentially ambivalent condition

of morality.

Kedua, fenomena moral secara inheren adalah non-rasional. Fenomena moral itu tidak teratur, tidak berulang, tidak monoton dan tidak dapat diprediksi sehingga juga tidak dapat dipandu oleh sebuah rumusan aturan moral. Tidak ada kode atau aturan yang dapat menyelesaikan masalah etika secara mendalam, lengkap dan memuaskan untuk semuanya.19

Ketiga, moralitas mengandung kontradiksi yang tidak dapat dipecahkan (aporia).20Modernitas berusaha mengatasi aporia tersebut dengan menggunakan universalitas (universality) dan dasar-dasar etika (foundation). Modernitas mencari kode etik yang paten dan dasar-dasar etika yang tidak tergoyahkan untuk semua persoalan etika. Namun menurut Bauman, modernitas tidak akan pernah menemukan kode etik dan dasar-dasar etika semacam itu, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:21

18

Ibid, hlm. 10.

19 Ibid, hlm. 11. 20 Ibid.


(43)

The foolproof – universal and unshakably founded – ethical code never be found; having singed our fingers once too often, we know now what did not know then, when we embarked on this journey of exploration; that a non-aporetic, non-ambivalent morality, an ethics that is universal and “objectively founded”, is a practical

impossibility; perhaps also an oxymoron, a contradiction in terms. Berangkat dari penolakannya terhadap cara-cara modernitas memandang dan menghadapi masalah moral, Bauman kemudian mengajukan etika sebagai bentuk tanggung jawab kepada Liyan (Other). Pendapat Bauman ini sangat dipengaruhi oleh Emmanuel Levinas. Menurut Levinas, patokan moral adalah Liyan. Relasi kita dengan orang lain menekankan penderitaan mereka sebagai pusat perhatian kita.

Menurut Bauman, etika itu berasal dari dalam diri individu (inter-human togetherness) bukan dari paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa “being for the Other” mendahului “being with the Other”. “Being for the Other” bukanlah sebuah produk dari konstruksi masyarakat melainkan realitas pertama yang ada dalam diri manusia itu sendiri.22

Etika kemudian dilihat sebagai tanggung jawab terhadap Liyan (responsibility for the Other), nasib Liyan adalah tanggung jawab saya. Soal tanggung jawab inilah yang menjadi permasalahan penting yang diulas oleh Bauman. Jika modernitas mengukur tanggung jawab dengan menggunakan patokan peraturan atau hukum yang disusun secara rasional, Bauman mengajukan Liyan sebagai patokan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Bauman juga menggunakan konsep Levinas tentang kedekatan (proximity)


(44)

dalam menjelaskan soal tanggung jawab terhadap Liyan. Kedekatan adalah representasi dari pengenalan Liyan sebagai wajah (face) yang menggugah tanggung jawab kita kepadanya.23

Demikianlah pandangan Bauman terhadap etika menurut konstruksi modernitas berserta etika postmodern yang telah diajukannya. Kebaruan etika postmodern bukan meninggalkan perhatian moral modern tetapi lebih pada penolakan terhadap cara-cara modern menghadapi masalah moral. Postmodern juga tidak setuju dengan ide relativisme moral karena yang dilihat adalah relativisme kode etis. Berangkat dari ide soal relativisme kode etis tersebut, Bauman pun kemudian tidak mengajukan kode etik baru untuk menggantikan kode etik menurut modernitas yang sudah ia bongkar. Dalam bagian pengantar buku “Postmodern Ethics”, Bauman sudah memberitahu

para pembacanya bahwa sampai akhir buku tidak akan ada kode etik baru yang ia ajukan. Pemahaman terhadap kondisi-kondisi morallah yang membuat pilihan moral itu menjadi lebih mudah.24

Demikian konsep etika postmodern yang diajukan oleh Bauman. Menurut perspektif etika postmodern, kita harus berupaya menjadi individu yang lebih aktif dalam praktik etika. Kita adalah agen moral kita sendiri bukan karena patokan kode-kode, perintah atau aturan tetapi karena berangkat dari tanggung jawab kita terhadap Liyan. Kita perlu belajar untuk hidup dalam kontradiksi, ambiguitas dan ambivalensi. Kita harus membuat pilihan dan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Dalam upaya mengambil 23 Keith Tester, The Social Thought of Zygmunt Bauman, New York, Palgrave Macmillan, 2004,

hlm. 144-145.


(45)

pilihan tersebut, sebuah komitmen yang ditawarkan oleh Bauman adalah keberpihakannya pada pihak yang tertindas dan tak berdaya.

Dan dalam rangka untuk memunculkan akan adanya berbagai kemungkinan pilihan yang bisa diambil dalam keputusan moral, Bauman pun melihat pendidikan sebagai aspek yang sangat penting. Bauman mengikuti ide Yunani kuno soal pendidikan yang dimaknai sebagai proses belajar sepanjang hayat (lifelong education). Pentingnya pendidikan sepanjang hayat ini diungkapkan oleh Bauman sebagai berikut:25

We need lifelong education to give us choice. But we need it even more to salvage the conditions that make choice available and within our power.

Tujuan pendidikan bukanlah untuk menciptakan manusia-manusia dengan kualitas peluru kendali (ballistic missile) yang mempunyai kemampuan untuk membidik sasaran dengan tepat seperti yang digadang-gadang oleh para pemikir pendidikan modern.26 Dalam persoalan etika, pendidikan kemudian tidak bisa berambisi untuk bisa menghasilkan manusia-manusia yang bisa mengambil keputusan moral dengan tepat sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh para legislator dan pemikir modern. Realitas dalam masyarakat kita itu partikular dan tidak bisa diprediksi. Kita berada dalam zaman di mana realitas masyarakat itu terus bergerak dan segala hubungan telah menjadi cair.

Berhadapan dengan zaman yang serba cair maka yang dibutuhkan kemudian adalah manusia dengan kualitas peluru yang cerdas (smart missile) 25 Zygmunt Bauman, Does Ethics have A Chance in A World of Consumers?, London, Harvard

University Press, 2008, hlm. 193. 26 Ibid, hlm. 183.


(46)

yang mampu belajar terus menerus (learn as they go). Untuk bisa menghasilkan smart missile tersebut maka pendidikan harus bisa membekali anak didiknya dengan kemampuan untuk belajar dan sekaligus kemampuan untuk belajar secara cepat ketika berhadapan dengan realitas yang terus bergerak.27 Satu catatan penting juga yang diberikan oleh Bauman yaitu bahwa pendidikan juga harus membekali anak didiknya untuk memiliki keterampilan-keterampilan sosial (social skills) dalam rangka memberdayakan masyarakat di tengah gempuran konsumerisme dan juga privatisasi.28

2. Pendidikan kepedulian (care education) menurut Nel Noddings

Ide tentang pendidikan kepedulian muncul dan berkembang seiring muncul dan berkembangnya ide tentang etika kepedulian (ethics of care) yang terjadi dalam bidang psikologi dan filsafat. Dari bidang psikologi, perkembangan etika kepedulian dan pendidikan kepedulian tidak bisa dilepaskan dari Carol Giligan rekan Kohlberg yang mengkritik hasil penelitian rekannya tersebut. Giligan mengkritik kesimpulan penelitian Kohlberg bahwa etika keadilan menempati tahap keenam atau tahap tertinggi dalam perkembangan moral seseorang. Giligan menilai kesimpulan Kohlberg tersebut mempunyai bias gender. Etika keadilan memuat keutamaan rasio yang diidentikkan dengan maskulinitas. Sementara itu, etika kepedulian yang diidentikkan dengan feminitas dianggap sebagai tahap sementara yang masih

27 Ibid.


(47)

harus dilengkapi dengan wawasan keadilan berdasarkan prinsip. Giligan menuntut supaya etika kepedulian dianggap sama kualitasnya dengan etika keadilan. Jadi, etika kepedulian dan pendidikan kepedulian juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran feminisme.

Dari bidang filsafat, etika kepedulian juga menolak pendekatan etika berdasarkan prinsip menurut Kantian dan bentuk konsekuensi menurut Utilitarian. Para pengikut etika kepedulian dan pendidikan kepedulian setuju dengan Emmanuel Levinas bahwa kepedulian itu muncul ketika kita berhadapan dengan kebutuhan Liyan. Etika kepedulian ini sejalan dengan kritik Bauman yang sama-sama terinspirasi dari pandangan Levinas. Etika kepedulian dan etika postmodern sama-sama menekankan tanggung jawab kepada Liyan sebagai sumber dalam mengambil keputusan di tengah situasi kita yang partikular saat ini.

Lalu bagaimana cara mengajarkan etika semacam itu kepada para murid menurut pendekatan pendidikan kepedulian? Untuk memperlihatkan adanya kenyataan dan situasi yang beragam, pendekatan pendidikan kepedulian kemudian lebih menekankan pada proses pembentukan relasi yang bisa menjadi tempat tumbuh kembangnya kepedulian dan tanggung jawab anak. Melalui pembentukan relasi, anak diharapkan dapat menjumpai orang atau kelompok yang memiliki pemikiran, kepercayaan, dan situasi yang berbeda-beda.

Ada empat komponen yang diajukan oleh Noddings untuk dapat membangun proses pembentukan relasi itu yaitu: modelling, dialogue,


(48)

practice, dan confirmasi. Komponen yang pertama adalah modelling atau pemberian teladan. Hampir semua pendekatan dalam pendidikan moral mengakui akan pentingnya pemberian teladan bagi para murid. Jika kita ingin mengajarkan etika kepada para murid maka kita pun harus memberikan contoh tindakan yang bermoral itu seperti apa. Dari perspektif pendidikan kepedulian, guru harus menunjukkan pada para murid apa itu yang dimaksud dengan peduli.29

Melalui pemberian teladan, guru menunjukkan kepedulian mereka dengan mendengarkan murid-muridnya serta memberikan perhatian dan penghargaan terhadap berbagai ekspresi yang diberikan oleh murid-muridnya. Guru perlu mendalami lebih jauh tentang kebutuhan-kebutuhan para murid dan latar belakang dari munculnya kebutuhan itu.30 Hal ini bertujuan untuk menjauhkan guru memperlakukan murid-murid dari definisinya sendiri yang seakan-akan berpusat pada anak. Guru pun kemudian bisa mengambil respon sesuai dengan konteks yang terjadi. Demikian pula dalam pemberian teladan yang lain, guru mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa relasi itu benar-benar terjalin. Dengan demikian, harapannya anak pun bisa mendengarkan orang lain, menghargai dan memberikan respon sesuai dengan panggilan tanggung jawab mereka.

Komponen yang kedua adalah dialog (dialogue). Dialog adalah komponen yang paling penting dalam pendidikan moral dari perspektif pendidikan kepedulian. Konsep dialog yang dipakai oleh Noddings mengikuti 29 Nel Noddings,

“Caring and Moral Education” dalam Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (Ed.),

Handbook of Moral and Character Education, New York, Routledge, 2008, hlm. 168.


(49)

konsep yang diajukan oleh Paulo Freire. Dialog tidak hanya sebatas percakapan, tetapi momen untuk saling bicara dan saling mendengarkan. Dialog di sini bukanlah debat yang bertujuan untuk memenangkan salah satu argumen. Dalam dialog menurut perspektif pendidikan kepedulian, selalu ada perhatian terhadap peserta yang lain tidak hanya pada topik yang sedang didiskusikan. Dialog menjadi wadah untuk kita untuk belajar akan keinginan dan kebutuhan orang lain sebagai mana yang diutarakan oleh Nel Noddings sebagai berikut:31

Dialogue is the means through which we learn what the other wants and needs, and it also the means by which we monitor the effects of our acts. We ask, “What are you going through?” before we act, as

we act, and after we act. It is our way of being in relation.

Komponen yang ketiga adalah praktik (practice). Kita membutuhkan adanya berbagai kesempatan di mana anak bisa mempraktikkan apa yang ia tangkap dari proses pemberian teladan dan dialog yang telah diberikan. Kesempatan itu perlu dihadirkan di hadapan anak-anak. Noddings memberi beberapa contoh yang bisa dipakai, misalnya saja melalui bekerja bersama-sama untuk menolong satu bersama-sama lain. Cara seperti ini bisa meningkatkan kompetensi kepedulian anak-anak tetapi dengan menuntut tanggung jawab dari guru.

Melakukan pelayanan komunitas (community service) pun bisa digunakan sebagai kesempatan anak-anak untuk melakukan praktik kepedulian. Namun, pelayanan komunitas ini juga perlu dipersiapkan dengan

31 Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, op.cit., hlm. 19.


(50)

matang dan serius. Nel Noddings juga menganjurkan agar para murid diminta untuk berpartisipasi dalam sebuah seminar rutin di mana mereka bisa mendialogkan seputar praktik yang telah mereka lakukan.32

Komponen yang terakhir adalah konfirmasi (confirmation). Dalam etika kepedulian, yang dimaksud dengan konfirmasi berbeda dengan bentuk yang bisa kita temukan dalam pendidikan agama yang lebih mengarah pada dakwaan, pengakuan, permohonan maaf dan penebusan dosa. Jika yang terjadi adalah konfirmasi dengan bentuk-bentuk seperti itu maka dialog tidak dapat berlangsung karena terdapat relasi antara yang berwenang dan yang subordinat.33

Konfirmasi yang dimaksud oleh etika kepedulian lebih mengarah kepada melihat secara lebih mendalam motif dan kondisi orang yang ingin kita pedulikan. Dengan adanya konfirmasi ini, kita kemudian tidak dengan mudah berhenti menilai tindakan orang lain dalam kacamata benar atau salah. Nel Noddings memberikan contoh tentang adanya murid-murid yang kadang-kadang mencontek dengan tujuan untuk menolong teman-temannya atau membuat orang tuanya senang. Mereka kemudian mengatakan sesuatu yang buruk untuk menutupi ketakutan mereka. Guru yang tahu murid-muridnya dengan baik mendeteksi lebih baik motif-motif tindakan tersebut dan menunjukkan pengertian mereka dengan mendiskusikan hal tersebut bersama

32 Ibid.


(51)

para muridnya. Tindakan konfirmasi ini bisa sangat berarti pada diri siswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Nel Nodding berikut ini:34

Acts of confirmation point students upward by recognizing a better self already partly formed and struggling to develop. Confirmation is perhaps the loveliest of moral act.

Tindakan konfirmasi ini menuntut dua hal yang sangat penting menurut Noddings yaitu kepercayaan dan kesinambungan. Kesinambungan ini berkaitan dengan perlunya guru memiliki pengetahuan yang baik tentang murid-muridnya. Guru dan murid kemudian membutuhkan waktu bersama yang intens dan cukup lama bahkan dalam kurun waktu beberapa tahun.35Hal ini yang menjadi tantangan karena pada kenyataannya jumlah murid dalam satu kelas cukup banyak dan guru yang mengampu kelas pun sering berganti-ganti.

G. Metodologi dan Metode Penelitian

Metodologi yang saya pakai dalam penelitian ini adalah etnografi, lebih tepatnya etnografi kritis. Etnografi kritis disebut sebagai respon tehadap kondisi masyarakat sekarang, di mana sistem kekuasaan, prestise, privilese, dan otoritas digunakan untuk memarginalkan individu atau kelompok yang dianggap berbeda. Menurut John W. Creswell, komponen utama dari etnografi kritis adalah orientasi bermuatan nilai, memberdayakan masyarakat dengan memberi mereka otoritas,

34 Nel Noddings,

“Caring and Moral Education”, op.cit, hlm. 172.


(52)

menentang status quo, serta mengemukakan persoalan tentang kekuasaan dan kontrol.36

Perkembangan metodologi etnografi kritis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan yang terjadi dalam penelitian kajian budaya. Istilah etnografi kritis pertama kali muncul ditujukan pada metodologi yang dipakai oleh para peneliti Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Birmingham, Inggris sekitar akhir tahun 1970an atau awal 1980an. Pada akhir tahun 1980an, teori-teori postmodern turut memberi banyak sumbangan dan pengaruh bagi perkembangan metodologi etnografi kritis.37

Etnografi kritis pun bukanlah metodologi yang baru dalam penelitian-penelitian seputar bidang pendidikan. Penelitian Paul Willis yang kemudian dibukukan dengan judul “Learning to labour” memberikan banyak inspirasi dalam

melihat sekolah selain dengan perspektif sekolah sebagai sarana reproduksi sosial, politik maupun budaya. Willis meneliti tentang anak-anak kelas pekerja dengan perspektif resistensi. Metodologi yang dipakai oleh Wilis adalah etnografi dengan disertai oleh teori Marxis tentang tenaga kerja. Saat ini, penelitian-penelitian dalam bidang pendidikan yang menggunakan metodologi etnografi kritis sudah banyak dipengaruhi oleh teori-teori neo-Marxis dan Feminisme tentang pendidikan serta teori-teori pendidikan kritis lainnya.

36 John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan (terj.), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, hlm. 130.

37

Phil Francis Carspecken, “Critical Ethnographies from Houston: Distinctive Features and Directions” dalam Critical Ethnography and Education, Oxford, Elsevier Science, 2001, hlm.


(53)

Saya pun mengunakan metodologi etnografi atau lebih tepatnya metodologi imajinasi etnografis seperti yang diperkenalkan oleh Willis sebagai metodologi penelitian saya. Imajinasi etnografis saya pilih karena pendekatan ini memberikan cara bagi saya untuk aktif terlibat, mengamati dan mendeskripsikan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Dan selain memberikan panduan dalam melakukan penelitian melalui imajinasi etnografis ini, Willis pun memberikan cara bagaimana menyajikan data penelitian yang sudah diperoleh.

Ada tiga tahapan dalam melakukan analisis data berdasar pendekatan imajinasi etnografis. Tahap pertama adalah melihat basis material dari kelompok sosial tertentu yang diteliti. Tahap kedua adalah melihat bagaimana seseorang memaknai dunianya (sensuous meaning). Tahap ketiga adalah melihat bagaimana lingkungan dan struktur sosial mempengaruhi identitas dan pembentukan budaya (lived penetration).38

Dengan demikian langkah pertama saya adalah melihat basis material dari orang-orang yang terlibat dalam dinamika SALAM baik pengurus, fasilitator, dan orangtua murid. Dalam langkah pertama ini saya akan melihat bagaimana posisi dan kapital yang mereka miliki di tengah pusaran pendidikan arus utama. Langkah kedua adalah melihat bagaimana SALAM memaknai pendidikan yang mereka selenggarakan dan langkah yang ketiga adalah melihat bagaimana pendidikan yang diajukan oleh SALAM berhadapan dengan realitas pendidikan arus utama yang mendorong kelahiran mereka.

38 Paul Willis,

“Twenty-Five Years On: Old Books, New Times dalam Nadine Dolby. dkk. (Ed.).

Learning to Labour in New Times. London dan New York, RoutledgeFalmer, 2004, hlm.


(54)

Dan seperti Willis yang menerapkan metodologi etnografi dengan disertai oleh konsep Marx tentang tenaga kerja, saya pun menggunakan konsep etika postmodern Zygmunt Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings sebagai pisau bedah hasil penelitian saya. Pemilihan kedua teori tersebut bertujuan agar saya bisa mengkaji lebih jauh konsep dan praktik pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM.

Adapun metode pengumpulan dan pengolahan data hasil penelitian saya adalah sebagai berikut:

1. Sumber data

Penelitian ini menggunakan tiga sumber yaitu: 1. Hasil observasi kegiatan belajar-mengajar dan kegiatan-kegiatan lainnya di SALAM. 2. Hasil wawancara dengan para pengurus SALAM, para fasilitator, para murid dan orangtua. 3. Dokumen-dokumen yang mengulas tentang pendidikan SALAM. 2. Lokasi Penelitian

Penelitian berlangsung di Sanggar Anak Alam, Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Observasi kegiatan belajar-mengajar di SALAM. Observasi menjadi metode pengumpulan data utama dalam penelitian ini karena berkaitan dengan pengamatan terhadap praktik-praktik pendidikan etika yang diselenggarakan oleh SALAM.


(1)

persoalan konsistensi dan kemampuan untuk belajar terus-menerus memang menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi SALAM.

SALAM perlu lebih konsisten dalam usahanya membuka kesadaran orang-orang yang terlibat dalam dinamika pendidikannya, terutama para fasilitator dan para orangtua karena merekalah yang banyak terlibat dalam proses pengajaran anak-anak SALAM. Masalah pergantian fasilitator dalam waktu yang relatif cepat juga perlu lebih dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya oleh SALAM karena berkaitan dengan proses pendidikan yang berkesinambungan. SALAM juga perlu mempersiapkan kegiatan-kegiatannya secara lebih matang supaya tujuan yang diinginkan bisa tercapai. Dan persoalan lain yang tidak kalah penting adalah SALAM perlu menjalin jejaring yang lebih luas lagi dengan berbagai elemen masyarakat dan komunitas untuk bisa semakin memperkaya dinamika pendidikan yang diselenggarakannya.

Kita tentu berharap potensi yang dimiliki oleh pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM bisa diolah secara optimal sehingga tanggung jawab kepada Liyan bisa tertanam kuat tidak hanya dalam diri semua anak SALAM tetapi juga dalam diri semua orang yang pernah terlibat dalam dinamika pendidikan SALAM.

2. Untuk perbaikan kebijakan umum

Tesis ini sudah memberikan cukup banyak ulasan dan juga kritik tentang kebijakan pendidikan karakter yang masih berlangsung hingga tahun 2025. Indikator-indikator penilaian pada pendidikan karakter perlu ditinjau lebih lanjut terlebih indikator yang hanya bersifat formalitas semata. Dan berkaca


(2)

dari pendidikan berbasis pengalaman yang diajukan SALAM, maka menurut saya sekolah-sekolah arus utama kita perlu diberi ruang lebih luas untuk bisa bereksplorasi dan mengembangkan berbagai kegiatan yang bisa dipakai sebagai praktik pendidikan etika anak-anaknya.

3. Untuk Sekolah-sekolah lain yang juga mengusung bendera alternatif Melalui penelitian terhadap SALAM, tesis ini kiranya bisa memberi gambaran akan problematika maupun resiko yang mengiringi pilihan untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan alternatif. Petuah Bauman tentang perlunya kemampuan belajar terus menerus (learn as they go) yang juga telah diangkat dalam tesis ini kiranya perlu menjadi perhatian khusus bagi sekolah-sekolah selain SALAM yang juga mengusung bendera alternatif.

4. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan

Karena tesis ini hanya berpaku pada persoalan pendidikan etika, tentu masih banyak persoalan lain yang bisa dikaji dari SALAM. Selain itu, akan menarik dan memang perlu juga untuk mengadakan penelitian terhadap konsep dan praktik pendidikan etika oleh sekolah-sekolah lain yang mengusung bendera pendidikan alternatif selain SALAM. Dengan semakin banyaknya penelitian seputar persoalan pendidikan etika diharapkan bisa semakin memperkaya perbincangan seputar pendidikan etika sekaligus sebagai bahan untuk mencari alternatif di tengah pusaran pendidikan etika arus utama.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Acetylena, Sita. (2013). “Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter di Perguruan Taman Siswa Kecamatan Turen Kabupaten Malang” dalam Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Vol 1, hlm. 56-61, diakses dari http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jmkpp/article/view/1509 pada hari Kamis, 25 juni 2015.

Arthur, James. (2003). Education with Character: The Moral Economy of Schooling. London: RoutledgeFalmer.

Badan Penelitian dan Pengembangan. (2010). Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Badan Penelitian dan Pengembangan. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Bauman, Zygmunt. (1987). Legislators and Interpreters: On Modernity, Post-modernity and Intellectuals. Cambridge: Polity Press.

Bauman, Zygmunt. (1993). Postmodern Ethics. Oxford: Blackwell. Bauman, Zygmunt. (2000). Liquid Modernity. Cambridge: Polity Press.

Bauman, Zygmunt. (2008). Does Ethics have A Chance in A World of Consumers?. London: Harvard University Press.

Bauman, Zygmunt dan Donskis, Leonidas. (2013). Moral Blindness: The Loss of Sensitivity in Liquid Modernity. Cambride: Polity Press.

Bauman, Zygmunt. ________. Alone Again: Ethics after Certainty. London: Demos.

Carspecken, Phil Francis. (2001). “Critical Ethnographies from Houston: Distinctive Features and Directions” dalam Phil Francis Carspecken dan Geoffrey Walford (Ed.). Critical Ethnography and Education. Oxford: Elsevier Science.

Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(4)

Dahlberg, Gunilla dan Moss, Peter. (2005). Ethics and Politics in Early Childhood Education. New York: RoutledgeFalmer.

Dahlberg, Gunilla. dkk. (2007). Beyond Quality in Early Childhood Education and Care: Languages of Evaluation. London dan New York: Routledge. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. (2011). Policy Brief. Jakarta: Kementerian

Pendidikan Nasional.

Ghofur, Muhammad Ikhsan. (2014). “Pendidikan Agama Islam Berbasis Masyarakat di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam Nitriprayan Bantul”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Giroux, Henry A. (2004). “Introduction to “The Moral and Spiritual Crisis in Education” dalam Counterpoints, Vol. 262, hlm. 9-14, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42978521 pada hari Kamis, 25 Juni 2015. Giroux, Henry A. (2005). Border Crossings: Cultural Workers and The Politics of

Education. New York: Routledge.

Indratno, Ferry A. (2005). Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) bekerja sama dengan Misereor.

Ino (Ed.). 2011. “Olifant School Bidik Anak-Anak dari Keluarga yang Sibuk”, diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2011/01/12/olifant-school-bidik-anak-anak-dari-keluarga-yang-sibukpada hari Jumat, 9 Oktober 2015. Jacobsen, Michael Hviid dan Poder, Paul. (2008). The Sociology of Zygmunt

Bauman: Challenges and Critique. Hampshire dan Burlington: Ashgate. Laksana, Bagus A. (2013). Manusia Tanpa Sekat: Inspirasi Driyarkara dan

Tantangan Pendidikan Universitas dalam Dunia Serba Cair. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Latief (Ed.). 2010. “Lho, Industri Lebih Butuh Hasil Pendidikan Karakter”, diakses dari

http://bola.kompas.com/read/2010/04/15/13093311/lho.industri.lebih.butu h.hasil.pendidikan.karakter pada hari Jumat, 20 Februari 2015.

Leming, James S. (1997). “Whither Goes Character Education? Objectives, Pedagogy, and Research in Education Programs” dalam The Journal of Education, Vol. 179, hlm. 11-34, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42741720 pada hari Kamis, 25 Juni 2015.


(5)

Lestari, Wiwik. (2013). “Pendidikan Karakter Sekolah Dasar di Indonesia pada Masa 1945-1965”.Tesis. Magister Pendidikan. Universitas Negeri Medan. Lickona, Thomas. (2013). Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik

Siswa Menjadi Pintar dan Baik (terj.). Bandung: Nusa Media.

Lie, Anita. (2008). “Pendidikan Kritis dan Transformasi Masyarakat Kewargaan”, dalam I. Praptomo Baryadi. dkk. (Ed.). Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Listyarti, Retno. (2012). Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif. Jakarta: Esensi.

Mangunwijaya, Y. B. (2005). “SD Kanisisus Eksperimental Mangunan DIY 1994-1998” dalam A. Ferry Indratno. Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) bekerja sama dengan Misereor.

Marcus, George E. (1986). “Contemporary Problems of Ethnography in the Modern World System” dalam James Clifford dan George E. Marcus (Ed.). Writing Culture: The Politics and Poetics of Ethnography. Berkeley: University of California Press.

Muhyiddin, Marfu. 2013. “5 Kesalahan dalam Pendidikan Karakter” diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/11/5-kesalahan-dalam-penerapan-pendidikan-karakter-608557.html pada hari Jumat, 20 Februari 2015. Musfiroh, Ani. (2010). “Konsep dan Implementasi Sekolah Kehidupan di Sekolah

Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan Kasihan Bantul Yogyakarta dalam Perspektif Islam”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Noddings, Nel. (1998). Philosophy of Education. Oxford: Westview Press.

Noddings, Nel. (2002). Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education. New York: Teachers College Press.

Noddings, Nel. (2008). “Caring and Moral Education” dalam Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (Ed.). Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge.

Purpel, David E. (1999). “The Politics of Character Education” dalam Counterpoints, Vol. 102, hlm. 83-97, diakses dari http://www.jstor.org/stable/42975410 pada hari Kamis, 25 Juni 2015.


(6)

Puspita, Mia Hera. (2011). “Studi Deskriptif: Tingkat Kepercayaan Diri Siswa-siswi SD Sanggar Anak Alam Yogyakarta”. Skripsi. Jurusan Psikologi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Rahardjo, Toto. (2014). Sekolah Biasa Saja (Catatan Pengalaman Penyelenggaran Pendidikan Dasar di Sanggar Anak Alam (SALAM). Yogyakarta: Progress berkerja sama dengan SALAM dan Tanoto Foundation.

Sandjaja, Soejanto S. (2014). “Pendidikan Karakter Berbasis Pembelajaran Eksperiensial” dalam Metamorfosis, Vol. 5, hlm. 21-27, diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=199799&val=6579&t itle=Pendidikan%20Karakter%20Berbasis%20Pembelajaran%20Eksperien sial pada hari Kamis, 25 juni 2015.

Saukko, Paula. (2003). Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications.

Suparno, Paul. (2000). “Apakah Pendidikan Menghasilkan Ketulusan?” dalam BASIS, Nomor 05-06, hlm. 58-63.

Tester, Keith. (2004). The Social Thought of Zygmunt Bauman. New York: Palgrave Macmillan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Visi dan misi Greenschool Yogyakarta diakses dari

http://www.yogyagreenschool.com/bahasa/visi-misi/pada hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015.

Willis, Paul. (1977). Learning to labour: Why working class kids get working class jobs. Farnborough: Saxon House.

Willis, Paul. (2000). The Ethnographic Imagination. Oxford: Polity Press.

Willis, Paul. (2004). “Twenty-Five Years On: Old Books, New Times dalam Nadine Dolby. dkk. (Ed.). Learning to Labour in New Times. London dan New York: RoutledgeFalmer.

Yu, Tianlong. (2004). In the Name of Morality: Character Education and Political Control. New York: Peter Lang.

Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.