PROSES PEMBELAJARAN SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI KRITIS.

(1)

PROSES PEMBELAJARAN SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI KRITIS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Boy Adisakti NIM 10105244041

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

Pendidikan bukan sekedar proses dari tidak tahu menjadi tahu, didalamnya terdapat sebuah proses panjang bagi kemanusiaan.

(Penulis)

Saya dengar, Saya lupa Saya lihat, Saya ingat Saya lakukan, Saya paham Saya temukan, Saya kuasai


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan mengharapkan ridho Allah SWT, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Ibu, Bapak, dan adik tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi, perhatian serta semangat yang tiada hentinya.

2. Segenap keluarga besar saya yang senantiasa memberikan doa dan support untuk menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi

3. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta 4. Nusa Bangsaku Indonesia


(7)

PROSES PEMBELAJARAN SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI KRITIS

Oleh Boy Adisakti NIM. 10105244041

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah proses pembelajaran Sanggar Anak Alam Yogyakarta yang dikatakan berupaya mewujudkan kemanusiaan. Perspektif yang digunakan dalam menelaah proses pembelajaran Sanggar Anak Alam Yogyakarta adalah pedagogi kritis.

Pedagogi kritis dipilih karena kemunculannya yang merupakan kritik dari praktik-praktik pendidikan formal yang dirasa kurang menghargai kemanusiaan. Lebih lanjut jika ternyata proses pembelajaran di Sanggar Anak Alam Yogyakarta telah sesuai dengan perspektif pedagogi kritis, maka praktik-praktik pembelajaran tersebut dapat diketahui bersama dan dapat dijadikan sebagai alternatif dari praktik-praktik pembelajaran yang sudah ada. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Teknik analisis data yang digunakan adalah kualitatif. Subjek penelitian ini adalah pebelajar dan fasilitator di Sanggar Anak Alam yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah metode observasi, metode wawancara, dan metode dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model Miles and Huberman, yaitu aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas sehingga data jenuh. Sumber data utama adalah kata-kata yang disampaikan informan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pebelajar dan fasilitator. Instrumen penelitian dalam pendekatan kualitatif adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya. Uji keabsahan data yang digunakan adalah menggunakan triangulasi sumber dan member check.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Sanggar Anak Alam tergolong sebagai sekolah alam yang menyelenggarakan pendidikan alternatif. Proses pembelajaran di Sanggar Anak Alam identik dengan proses pembelajaran Pedagogi kritis. Hal tersebut tampak dari yang pertama yaitu Sanggar Anak Alam melakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip proses pembelajaran pedagogi kritis. Kedua, konsep pedagogi kritis seperti pembelajaran berbasis realitas dengan mengajak pebelajar untuk berperan aktif juga peneliti


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PROSES PEMBELAJARAN SANGGAR ANAK ALAM (SALAM) YOGYAKARTA DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI KRITIS” dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan banyak ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi kesempatan penulis menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian dalam proses menyelesaikan skripsi.

3. Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Bapak Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si yang telah memberi rekomendasi perizinan pendidikan.

4. Bapak Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Ch. Ismaniati, M.Pd selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.

6. Kepala sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) yaitu Mas Yudhis Aridayan dan pendiri sekolah Ibu Sri Wahyaningsih yang telah memperbolehkan penulis untuk melakukan penelitian di Sanggar Anak Alam Yogyakarta.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah... 10

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional... 11

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian tentang Pedagogi kritis ... 12

1. Kemunculan Pedagogi Kritis ... 12

2. Pengertian Pedagogi Kritis... 13

3. Diskursus Pedagogi Kritis... 15


(11)

B. Kajian tentang Sekolah Alam... 26

1. Pengertian Sekolah Alam... 26

2. Pembelajaran di Sekolah Alam ... 27

C. Kajian tentang Pembelajaran... 28

1. Pengertian Pembelajaran... 28

2. Pembelajaran sebagai sistem... 29

3. Teori belajar yang menjadi pijakan pedagogi kritis ... 33

4. Karakteristik pembelajaran dari perspektif pedagogi kritis... 37

5. Model-model pembelajaran berbasis konstruktivistik... 42

6. Tahap-tahap pembelajaran dalam pedagogi kritis ... 49

a. Tahap perencanaan pembelajaran... 49

b. Tahap pelaksanaan pembelajaran ... 55

c. Penilaian hasil pembelajaran ... 59

D. Kedudukan Penelitian dalam perspektif Teknologi Pendidikan ... 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 64

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 66

C. Sumber Data ... 66

D. Subjek Penelitian... 68

E. Teknik Pengumpulan Data ... 68

F. Teknik Analisis Data... 71

G. Pemeriksaan Keabsahan data ... 73

H. Instrumen Penelitian... 74

I. Tahapan-tahapan Penelitian... 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 77


(12)

d. Anggota komunitas belajar Sanggar Anak Alam Yogyakarta ... 84

e. Jenjang-jenjang pendidikan Sanggar Anak Alam Yogyakarta ... 88

3. Penyelenggaraan pembelajaran di Sanggar Anak Alam Yogyakarta ... 89

a. Perencanaan pembelajaran... 89

b. Pelaksanaan pembelajaran ... 101

c. Penilaian hasil pembelajaran... 127

B. Pembahasan ... 130

1. Pembahasan mengenai Sanggar Anak Alam Yogyakarta ... 130

2. Proses pembelajaran Sanggar Anak Alam Yogyakarta dari perspektif Pedagogi Kritis ... 132

a. Perencanaan pembelajaran... 132

b. Pelaksanaan pembelajaran ... 136

c. Penilaian hasil pembelajaran... 153

3. Konsep pembelajaran Pedagogi Kritis dan konsep pembelajaran Sanggar Anak Alam Yogyakarta ... 155

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN PENELITIAN A. Kesimpulan... 162

B. Saran ... 164

C. Keterbatasan Penelitian ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 166


(13)

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Hierarki tujuan pembelajaran ... 31

Gambar 2. Uji keabsahan data ... 73

Gambar 3. Lingkungan Sanggar Anak Alam... 78

Gambar 4. Salah satu ruang kelas di Sanggar Anak Alam ... 78

Gambar 5. Struktur kepengurusan Sanggar Anak Alam... 85

Gambar 6. Daur belajar Sanggar Anak Alam ... 90

Gambar 7.1 Skema target dasar belajar kelas satu semester satu ... 96

Gambar 7.2 Skema target dasar belajar kelas satu semester dua ... 96

Gambar 8.1 Skema target dasar belajar kelas dua semester satu ... 97

Gambar 8.2 Skema target dasar belajar kelas dua semester dua... 98

Gambar 9. Skema target dasar belajar smp semester dua ... 99

Gambar 10. Pebelajar kelas 3 sedang membuat kesepakatan kelas ... 108

Gambar 11. Fasilitator dan pebelajar sedang melakukan wawancara... 110

Gambar 12 . Pebelajar SMP melakukan wawancara ... 110

Gambar 13. Pebelajar kelas 4 mencatat hasil riset ... 110

Gambar 14. Pebelajar kelas 2 sedang riset pohon... 111

Gambar 15. Pebelajar kelas 1 sedang riset energi... 111

Gambar 16. Pebelajar SMP sedang riset ke vredeburg ... 112

Gambar 17. Fasilitator SMP membantu pebelajar membaca... 114

Gambar 18 . Fasilitator dan pebelajar SMP di perpustakaan kota ... 114

Gambar 19 . Pebelajar mengantre di bank Sanggar Anak Alam... 115

Gambar 20 . Pebelajar sedang melakukan transaksi jual beli ... 115


(14)

Gambar 25 . Hasil karya pebelajar kelas 3 tentang langkah-langkah

pembuatan batu-bata dan telur asin ... 127

Gambar 26 . Telur asin yang dIbuat pebelajar kelas 3 ... 127

Gambar 27 . Pebelajar kelas 4 sedang membuat produk ... 127

Gambar 28.1 Contoh soal evaluasi ... 129


(15)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran kooperatif ... 46

Tabel 2. Fasilitas belajar Sanggar Anak Alam... 79

Tabel 3. Persamaan konsep Pedagogi Kritis dan Sanggar Anak Alam... 158


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 170

Lampiran 2. Pedoman Dokumentasi ... 172

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 173

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 182

Lampiran 5. Catatan Wawancara ... 230

Lampiran 6. Dokumentasi... 261

Lampiran 7. Analisis data ... 263

Lampiran 8. Surat izin penelitian ... 281


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Imam Barnadib, Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Manusia memerlukan usaha sadar agar mampu menyadari kondisi realitas secara objektif untuk menjadi manusia yang utuh. Manusia yang utuh menurut Paulo Freire (1984:4) adalah manusia sebagai subjek yang mampu berintegrasi dengan lingkungan, integrasi muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk mengubah realitas. Realitas yang sedemikian rumit menjadi tantangan manusia dalam menentukan arah gerak laju dunia. Hal tersebut dapat dilakukan jika manusia mampu memandang secara kritis realitas dunia. Pendidikan menjadi perangkat bagi manusia untuk menumbuhkan kesadaran kritis.

Tilaar (2011:13) menyebutkan bahwa pendidikan mempunyai dua dimensi yang saling bertautan, yang pertama adalah pendidikan merupakan suatu hak asasi manusia, dan yang kedua adalah pendidikan merupakan suatu proses. Menurut Tilaar (2011:13) sebagai suatu hak asasi manusia berarti bahwa tanpa pendidikan tidak dapat mewujudkan kemanusian dalam diri, sedangkan pendidikan sebagai suatu proses berarti bahwa menjadi manusia


(18)

manusia itu sendiri. Di dalam pendidikan terkandung suatu proses kemanusiaan yang terjadi dalam interaksi antar sesama manusia.

Idealita pendidikan yang bertujuan untuk mewujudkan kemanusiaan saat ini justru menjadi arus balik. Interaksi antar manusia dalam pendidikan yang sejatinya bertujuan untuk mewujudkan kemanusiaan saat ini digunakan untuk praktik penindasan. Praktik penindasan dalam pendidikan dapat dilihat dalam pemerintahan Orde baru di Indonesia. Darmaningtyas (2004:7-9) mengatakan bahwa pada masa orde lama atau pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pendidikan fokus pada mengajarkan baca, tulis, dan berhitung, mengingat pada waktu itu sebagian besar masyarakat Indonesia buta huruf Latin sehingga dicanangkan pemberantasan buta huruf, Lalu setelah memasuki zaman orde baru, Presiden Soeharto menerapkan kebijakan pendidikan yang dikenal dengan “inpres” atau instruksi presiden dan pembangunan besar-besaran infrastruktur pendidikan, seiring diberlakukannya kebijakan tersebut, intervensi pemerintah di dalam pendidikan Indonesia semakin menajam, mulai dari pakaian sekolah yang diseragamkan hingga materi-materi pelajaran yang direkayasa untuk menghilangkan sikap kritis masyarakat.

Praktik-praktik penindasan ternyata tidak hanya berupa regulasi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem pendidikan. Praktik penindasan juga terjadi dalam pembelajaran. Pembelajaran merupakan praktik dari penyelenggaraan pendidikan. Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan pebelajar (Degeng, 1989:90). Sedangkan Nasution dalam


(19)

Sugihartono dkk (2007:80) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan pebelajar sehingga terjadi proses belajar. Dalam konteks tersebut dapat dilihat bahwa pebelajar sebagai orang yang belajar, harus benar-benar diperlakukan sebagai manusia yang mampu mengem-bangkan diri di dalam kegiatan pembelajaran. Pebelajar dibantu oleh guru untuk bersama-sama mengatur lingkungan agar terjadi kondisi yang memungkinkan pebelajar untuk belajar.

Namun hubungan antara guru dan pebelajar saat ini justru menjadi pola hubungan penindas dan tertindas. Yang terjadi saat ini pebelajar dikondisikan untuk patuh terhadap materi-materi yang diberikan guru. Para guru memperlakukan pebelajar seolah-olah objek yang siap diberikan materi. Yang dilakukan pebelajar adalah mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru, lalu dicatat dan dihafalkan sebagai bahan belajar. Pada tahap evaluasi pun yang akan diujikan adalah seputar yang disampaikan oleh guru, sehingga tampak sekali bahwa guru adalah sumber ilmu dan pebelajar tidak akan mampu mengembangkan kreativitas, keterampilan, dan ilmu pengetahuan secara optimal karena pebelajar hanya akan mendapatkan apa yang disampaikan oleh guru. Pola hubungan yang dibangun antara guru dan pebelajar adalah pola satu arah. Sejatinya seorang guru seperti yang dikutip


(20)

Guru-guru juga patuh untuk memberikan materi yang disiapkan oleh pemerintah. Produk dari pendidikan semacam itu adalah sebuah masyarakat yang mudah diombang-ambingkan dan digerakkan kesana-kemari bagaikan sebuah robot. Hal tersebut menyebabkan pendidikan akan kehilangan fungsi sebagai ruang pencerdasan bagi umat manusia. Seperti yang disebutkan Darmaningtyas (2004:10) bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini bukan saja tentang rendahnya anggaran pemerintah atau kurangnya infrastruktur, namun beban ideologis dan politik yang dipikul oleh pendidikan nasional teramat berat dan semakin berkurangnya proses pencerdasan itu sendiri .

Paulo Freire sebagai tokoh pendidikan kritis mengkritik penye-lenggaraan pendidikan semacam itu, yaitu pendidikan yang tidak kritis, menjauhkan manusia dari realitas, bahkan menerapkan situasi-situasi yang menindas ke dalam proses pendidikan. Di dalam konsep pendidikan kritis Paulo Freire, individu ditempa dengan situasi yang menuntut kesadaran kritis, seperti konsep pendidikan “hadap-masalah” yang digagas oleh Paulo Freire. Pemahaman ditemukan dan dibangun sendiri oleh para pelaku atau dalam hal ini adalah pebelajar.

Gagasan Paulo Freire yang tidak kalah penting yaitu menolak secara tegas pendidikan “gaya bank”. Pendidikan “gaya bank” merupakan pengejawantahan praktik penindasan ke dalam pendidikan karena relasi antara guru dan pebelajar yang menyalahi konsep humanisasi. Menurut Paulo Freire, pendidikan gaya bank menempatkan seolah-olah pebelajar adalah suatu objek,


(21)

yang siap diberi materi-materi oleh para guru. pebelajar mendapatkan peran yang pasif dan tidak diberi kesempatan untuk menerima peran lebih aktif. Guru menerapkan konsep bercerita kepada pebelajar, sehingga akan mengarahkan pebelajar untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Sekalipun yang dipaparkan guru mengenai nilai-nilai dan segi-segi empiris dari realitas, namun dengan konsep bercerita tersebut akan menjadikan pebelajar menjadi pasif dan hal-hal yang disampaikan oleh guru hanya menjadi sesuatu yang abstrak. Jika konteks ini dianalogikan, maka pebelajar dapat disamakan dengan bejana-bejana kosong yang siap diisi oleh guru. Guru merasa lebih baik jika mampu mengisi materi yang banyak terhadap pebelajar. Pendidikan yang kritis atau yang membebaskan menurut Paulo Freire adalah yang menghadirkan sikap partisipatif dan aktif. Diwujudkan dengan terus menerus melakukan penggalian/pencarian ilmu pengetahuan dan bersifat dialektis. Saat ini Pedagogi Kritis sebagai kritik terhadap pembelajaran konvensional mulai berkembang dengan muncul berbagai nama-nama besar seperti Henry Giroux, Ivan Illich, Ira Shor, Michael W.Apple.

Berbagai kritik terhadap praktik pendidikan tidak hanya dilakukan oleh para ahli Pedagogi Kritis di atas, namun juga terjadi di Indonesia. Saat ini di Indonesia telah muncul berbagai kritik terhadap praktik-praktik pendidikan


(22)

kemanusiaan Romo Mangunwijaya, Sri Wahyaningsih mengkritik pendidikan di Indonesia yang menjauhkan pebelajar dari realitas dan menciptakan manusia-manusia robot. Berdasarkan keresahan itulah lalu Sri Wahyaningsih bersama sang suami yang juga aktivis pendidikan yaitu Bapak Totok Rahardjo, merespon dengan mendirikan sebuah sekolah Alam yang bernama Sanggar Anak Alam atau akrab disebut SALAM.

SALAM menyelenggarakan kegiatan pendidikan di Ngestiharjo Kasihan Bantul Yogyakarta. Tri Wahyu Utami dalam jogja.solopos.com menyampaikan bahwa mula-mula Sri Wahyaningsih tinggal di daerah di suatu desa di Lawen Pandanarum Banjarnegara Jawa Tengah. Saat tinggal di daerah tersebut, Sri Wahyaningsih menemukan suatu realitas yang memilukan, yaitu kemiskinan di kalangan masyarakat sekitar. Padahal daerah tersebut memiliki sumber daya alam yang berupa ladang dan sawah dapat dijadikan sumber pendapatan. Serta angka putus sekolah yang tergolong tinggi di daerah tersebut semakin melengkapi keprihatinan Sri Wahyaningsih terhadap dunia Pendidikan. Atas keprihatinan tersebut, Sri Wahyaningsih mendirikan Sanggar Anak Alam di daerah Lawen Pandanarum Banjarnegara Jawa Tengah

Sri Wahyaningsih lalu pindah ke Yogyakarta dan kembali mendirikan Sanggar Anak Alam di Ngestiharjo Kasihan Bantul Yogyakarta. Sri Wahyaningsih mulai konsen ke pendidikan non formal yang berbasis Alam/lingkungan dan ingin mewujudkan pendidikan yang memanusiakan pebelajar. Diharapkan dengan didirikan sekolah berbasis alam/lingkungan,


(23)

pebelajar tidak hanya belajar angka-angka maupun abjad-abjad, namun juga mampu membaca kondisi reallingkungan sekitar tempat mereka tinggal.

Setelah peneliti mendapatkan gambaran tentang Sanggar Anak Alam, lalu dilakukan observasi awal untuk memperkuat asumsi peneliti tentang Sanggar Anak Alam. Pada observasi awal tersebut, peneliti melakukan wawancara terhadap pendiri Sanggar Anak Alam yaitu Sri Wahyaningsih. Berdasarkan wawancara tersebut diketahui bahwa tujuan utama dari Sanggar Anak Alam adalah terciptanya benang merah antara pendidikan dengan kehidupan sehari-hari pebelajar. Diketahui pula bahwa pembelajaran di Sanggar Anak Alam berangkat dari hal-hal nyata dan berupaya untuk mengintegrasikan pebelajar dengan lingkungan. Sanggar Anak Alam tidak sepenuhnya berkiblat dari kurikulum yang dirancang dan ditetapkan oleh pemerintah, oleh sebab itu perencanaan pembelajaran dibuat sendiri oleh pihak Sanggar Anak Alam dengan menggunakan istilah skema target dasar belajar yang disusun dua kali dalam satu tahun.

Keilmuan Teknologi Pendidikan adalah salah satu keilmuan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan proses pembelajaran. Baik itu sekolah Formal, Non Formal, maupun Informal. Pengembangan ilmu Teknologi Pendidikan juga terus-menerus dikembangkan dalam bentuk study/kajian sebagai bentuk komitmen terhadap penyelenggaraan pendidikan


(24)

Study and ethical Practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropiate technological and recources”.

Terdapat kata study atau kajian yang salah satu bentuknya adalah penelitian guna mengembangkan keilmuan Teknologi Pendidikan. Di dalam definisi tersebut juga terdapat kata “learning” atau belajar. Belajar sebagai kawasan Teknologi Pendidikan melingkupi kerja dan karya para teknolog pendidikan dan pembelajaran (Dewi Salma Prawiradilaga, 2012:56)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap proses pembelajaran Sanggar Anak Alam atau “SALAM” karena memiliki proses pembelajaran yang anti mainstream. Peneliti menggunakan perspektif Pedagogi Kritis dalam menelaah proses pembelajaran yang berlangsung di Sanggar Anak Alam. Pedagogi Kritis merupakan konsep yang mengusung pendidikan sebagai upaya pembebasan dengan menumbuhkan kesadaran kritis untuk mewujudkan kemanusiaan. Sanggar Anak Alam sebagai penyedia proses pembelajaran juga menekankan terhadap upaya mewujudkan kemanusiaan dalam diri pebelajar. Fokus dalam penelitian ini adalah upaya Sanggar Anak Alam dalam mewujudkan kemanusiaan melalui praktik-praktik pembelajaran yang dilakukan. Hal tersebut disadari oleh peneliti sebagai seorang calon Teknolog Pendidikan guna mengimplementasikan dan mengembangkan keilmuan Teknologi Pendidikan.


(25)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat identifikasi beberapa masalah yang ada yaitu sebagai berikut :

1. Pendidikan di Indonesia yang menjauhkan pebelajar dari realitas dan lingkungan, sehingga menciptakan manusia-manusia yang tidak peka dan mudah diombang-ambingkan.

2. Pola hubungan satu arah antara guru dan pebelajar dalam proses pembelajaran. Guru memperlakukan pebelajar sebagai objek kosong yang siap diisi oleh guru. Pebelajar tidak mampu mengembangkan potensi diri di dalam situasi yang demikian.

3. Jarang ditemukan praktik-praktik pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran kritis di Indonesia, sehingga masyarakat menjadi awam terhadap bentuk-bentuk pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran kritis.

4. Praktik pembelajaran yang berupaya mewujudkan kemanusiaan di Sanggar Anak Alam perlu ditelaah dengan menggunakan perspektif Pedagogi Kritis untuk mengetahui sejauh mana praktik-praktik tersebut telah berlangsung. 5. Penelitian terhadap bentuk-bentuk pembelajaran yang menumbuhkan

kesadaran kritis masih minim dilakukan dalam lingkup Teknologi Pendidikan.


(26)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan pokok-pokok masalah yang ada pada identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah penelitian dengan memfokuskan pada proses pembelajaran yang diselenggarakan di Sanggar Anak Alam.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti adalah:

Bagaimana proses pembelajaran di Sanggar Anak Alam dilihat dari pers-pektif Pedagogi Kritis?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui proses pembelajaran yang terdapat di Sanggar Anak Alam Yogyakarta.

2. Mengetahui dan menganalisis proses pembelajaran di Sanggar Anak Alam dengan menggunakan perspektif Pedagogi Kritis.

F. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang Proses Pembelajaran yang ada di Sanggar Anak Alam dengan menggunakan pendekatan Pedagogi Kritis adalah:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam membangun keilmuan Teknologi Pendidikan dengan perspektif kritis, karena kondisi pendidikan di Indonesia saat ini membuat pebelajar menjadi tidak kritis,


(27)

dan disiplin ilmu Teknologi Pendidikan merupakan salah satu yang mampu memecahkan kondisi tersebut.

2. Manfaat Praktis

Secara umum diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bagaimana implementasi Pedagogi Kritis di Indonesia secara lebih jelas, karena praktik-praktik Pedagogi Kritis di Indonesia yang jarang ditemui.

G. Definisi Operasional 1. Pembelajaran

Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan pebelajar (Degeng & Sudana, 1989:90)

2. Pedagogi Kritis

Teori pendidikan dan praktik pembelajaran yang didesain untuk membangun kesadaran kritis mengenai kondisi sosial yang menindas. Pedagogi Kritis merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya menantang dominasi serta keyakinan dan praktik-praktik yang mendominasi (Monchinski, 2011:10) dalam Rakhmat Hidayat (2013:6).


(28)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Tentang Pedagogi Kritis 1. Kemunculan Pedagogi Kritis

Pedagogi Kritis diprakarsai oleh seorang warga negara Brazil bernama Paulo Freire yang lahir pada 19 September 1921. Paulo Freire tinggal di suatu perkampungan miskin dan kumuh di Recife Brazil. Ide tentang Pedagogi Kritis muncul dari pengalaman Paulo Freire yang bermula sejak kecil dari keadaan-keadaan di sekitar lingkungan tempat tinggal. Beban berat yang dirasakan Freire kecil juga dimulai ketika terjadi suatu peristiwa yang dinamakan “depresi besar” atau gejolak ekonomi global pada tahun 1929 yang mengharuskan keluarga Freire untuk pindah ke perkampungan yang lebih kumuh di Jaboatao dos Brazil. Dari akumulasi pengamatan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar lingkungan, Freire pernah mengeluarkan argumen cemerlang terkait kemiskinan dan pendidikan, yaitu: “saya tidak mengerti apa-apa karena lapar saya. Aku tidak bodoh. Ini bukan kurangnya minat. Kondisi sosial yang tidak memungkinkan saya untuk memiliki pendidikan” (Rakhmat Hidayat, 2013:2-3). Secara singkat, sejak kecil Freire mampu menangkap fenomena-fenomena sosial yang janggal sehingga menimbulkan kepri-hatinan sebagai seorang individu. Hingga akhirnya keprikepri-hatinan tersebut mampu mengantarkan freire sebagai sosok yang memberikan pencerahan terhadap dunia pendidikan.


(29)

Semakin mengemukanya Paulo Freire sebagai tokoh Pedagogi Kritis, diikuti pula dengan kemunculan gerakan-gerakan lain yang berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan pada dunia pendidikan untuk menuju ke arah yang humanis dan demokratis. Mula-mula tokoh bernama Henry Giroux yang mengembangkan pemikiran Paulo Freire dengan menerbitkan buku berjudul Theory and resistance in education: Toward a pedagogy for the opposition yang terbit pada tahun 1983. Henry Giruox merupakan seorang sosiolog yang mengembangkan Pedagogi Kritis pasca Paulo Freire dan menjadi Freirian. Henry Giroux memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengembangkan pemikiran Pedagogi Kritis sebagai suatu kajian yang independen. Henry Giroux sangat konsen dan gigih dalam mengembangkan Pedagogi Kritis dari sebuah warisan panjang tentang pemikiran sosial radikal dan gerakan progresif , sehingga gerakan yang dimulai oleh Henry Giroux berkembang dan melahirkan nama-nama lain seperti; Peter McLaren, Joe. I Kincheloe, Douglas Kellner, Ira Shor, Stanley Aronowitz, Antonia Darder, Michael W. Apple, Carlos Alberto Torres, Peter mayo, yang sekaligus menjadi kolega Henry Giroux dalam berdiskusi untuk merevitalisasi pendidikan emansipatoris selama kurun waktu 1980 Henry Giroux (Rakhmat Hidayat, 2013:5).


(30)

suatu ilmu dalam mengajar anak-anak. Pedagogi Kritis dapat dipahami sebagai suatu ilmu mengajar anak-anak dengan memunculkan kesadaran kritis terhadap kondisi sosial yang menindas. Anak-anak diajak untuk menyadari realitas-realitas sosial yang terjadi di masyarakat untuk selanjutnya dapat diketahui bentuk-bentuk ketidakadilan seperti apa yang terjadi.

Beberapa pendapat dalam Rakhmat Hidayat (2013:64) yang menegaskan posisi dan urgensi Pedagogi Kritis sebagai suatu ilmu adalah: a. Pedagogi Kritis sebagai konsep pendidikan yang mengalami

transformasi di kalangan pendidik yang menjadi strategi baru untuk menghadapai perubahan konteks sosial dan historis. Pedagogi Kritis secara tradisional disebut teori pendidikan dan pengajaran serta praktik belajar yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran kritis pebelajar mengenai kondisi sosial yang menindas (Voke, 2007)

b. Sebuah proyek politik yang mencoba untuk mengubah struktur kekuasaan dari kehidupan sehari-hari, di lembaga-lembaga budaya seperti pendidikan dan media. Membangun kekuatan manusia untuk menghindari manipulasi dan sekaligus memberdayakan mereka. (Winter, 2004)

c. Cara untuk membawa konsep kunci seperti ideologi, hegemoni, resistensi, kekuasaan, konstruksi pengetahuan, kelas, politik, budaya, tindakan emansipatoris ke dalam pembelajaran. (Vavrus, 2007)


(31)

d. Respon terhadap pendidikan dalam relasi dengan kekuasaan yang menindas dan terjadinya ketidaksetaraan dalam lembaga pendidikan. (Keesing, 2003)

Melihat paparan di atas yang menyatakan bahwa Pedagogi Kritis merupakan suatu upaya membawa ide-ide kunci untuk memahami realitas serta gerakan politik yang berupaya untuk mengubah struktur masyarakat yang dinilai tidak adil, maka Pedagogi Kritis memiliki dua makna, yaitu : Pedagogi sebagai paradigma berpikir, yaitu dengan selalu mempertanyakan dan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan, dan implementasi. Pedagogi Kritis juga sebagai gerakan sosial. Tujuan akhir Pedagogi Kritis adalah praksis pendidikan yang egaliter, humanis, dan berbasiskan critical thinkingdi kalangan pebelajar.

3. Diskursus Pedagogi Kritis

Manusia merupakan makhluk yang berakal, bebas menentukan pilihan, mengeluarkan gagasan dan ide, serta melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan produktif yang bersumber dari sikap otonom pada diri manusia. Sikap otonom tersebut bersumber dari akal budi manusia yang bebas dan bertanggung jawab. Perlu diingat pula bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesama dan alam.


(32)

yang tidak tergantung kepada siapapun dan dapat mengerti (Paulo Freire, 1984:3).

Sebagai makhluk yang berakal dan menjalin hubungan dengan sesama dan dunia, manusia juga merupakan makhluk yang rentan. Yang dimaksud rentan dalam hal ini adalah pola hubungan yang mengkhawatirkan antar manusia yang timbul karena superioritas yang dimiliki oleh beberapa golongan. Superioritas tersebut akan dimanfaatkan untuk melakukan ketidakadilan terhadap golongan manusia lain yang lebih inferior. Praktik ketidakadilan tersebut dapat dikatakan sebagai praktik penindasan. Pola hubungan antara kedua golongan tersebut didasari oleh semangat penindasan yang mengedepankan prinsip ketidakadilan, dan akan menimbulkan dikotomi penindas (superior) dan tertindas (inferior). Di dalam Praktik penindasan tersebut, penindas akan melakukan eksploitasi terhadap tertindas dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, politik, kebijakan, dan ideologi. Hal tersebut berujung pada tenggelamnya kesadaran manusia yang tertindas.

Sebagai saluran yang mampu memberikan pencerahan kepada manusia terhadap adanya penindasan, ternyata pendidikan sendiri tidak luput dari praktik penindasan itu sendiri. Mula-mula praktik penindasan yang terjadi adalah dengan mengaburkan realitas objektif. Pendidikan seolah-olah terpisah dari realitas dan menjadi bagian yang independen dari dunia. Pendidikan yang seperti ini tidak mengakomodir fenomena sosial dan historitisas dari manusia sebagai suatu kajian untuk membangun


(33)

keilmuan. Budaya pendidikan seperti ini biasa disebut dengan budaya positivisme. Budaya positivisme merupakan penyerapan rasionalitas teknokratik yang sudah menjadi bentuk dari hegemoni kultural, dan merupakan bagian dari rasionalitas yang menjelaskan bahwa pengetahuan berkembang dengan dominasi metodologi ilmiah yang sangat ketat, pun mereduksi konstruksi pengetahuan menjadi sekedar ilmu yang dibangun berdasarkan pada generalisasi, dekskripsi, klasifikasi berbagai fenomena sosial (Rakhmat Hidayat, 2013:77).

Budaya Positivisme pada pendidikan mengklaim bahwa dirinya merupakan sesuatu yang bebas nilai, yaitu independen, tidak memiliki hubungan dengan aspek sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Maka sifat dari budaya positivisme adalah anti historisitas. Anti historisitas budaya positivisme diwujudkan dengan pemberian perlakuan yang sama terhadap semua pebelajar pada proses pembelajaran. Aspek-aspek seperti lingkungan sosial, budaya, ekonomi dari masing-masing pebelajar tidak mendapat perhatian dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Sehingga yang terjadi adalah tidak ada kesinambungan antara realitas dalam kehidupan pebelajar sehari-hari dengan apa yang ia pelajari di institusi pendidikan. Sifat-sifat positivisme tersebut yang akhirnya dimanfaatkan oleh kaum penindas untuk melanggengkan status quodan bahkan saat ini


(34)

budaya Positivisme telah menjadi hegemoni yang dilancarkan oleh kaum penindas, maka manusia akan tenggelam dalam realitas, tidak mampu menyadari atas kepentingan siapa dia bertindak, dan akan kehilangan daya kritis. Menurut Gramsci, bahwa saat ini hegemoni tidak saja merupakan ideologi hegemonik yang berupa wacana tetapi juga praktik materi yang membentuk struktur pengalaman sehari-hari. Termasuk saat ini pengalaman-pengalaman praktis yang ada di sekolah.

Praktik penindasan dalam institusi pendidikan juga dapat dilihat dalam relasi yang dibangun di dalam kelas. Dalam konteks ini yang dibicarakan adalah antara guru dan pebelajar. Relasi konvensional ini menempatkan guru sebagai suatu otoritas yang memiliki kekuasaan penuh terhadap pebelajar. Kekuasaan penuh tersebut diwujudkan dalam kontrol terhadap kurikulum, aturan-aturan ketat, dan hal-hal lain yang melemahkan dan mematikan daya kritis pebelajar. Pola-pola komu-nikasi antara guru dan pebelajar di dalam kelas juga merupakan pengejawantahan dari praktik penindasan yaitu dengan menempatkan pebelajar sebagai pendengar sedangkan guru sebagai pembicara yang bertugas untuk memberi ilmu pebelajar. Pola konvensional seperti ini diandaikan sebagai “gaya bank” oleh Paulo Freire.

Gaya bank menurut paulo freire adalah pola komunikasi satu arah yang dilakukan oleh guru dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan dan pebelajar diarahkan untuk menerima, mencatat, menghafal, dan mengulangi sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh guru. Maka


(35)

dari itu pola seperti ini persis dengan kegiatan menabung di bank. Dominasi dengan pola berceramah seperti itu oleh Ira Shor juga disebut dengan Teacher Talk. Pola komunikasi satu arah yang demikian akan menimbulkan dampak yang akan melemahkan pebelajar, sehingga akan tercipta suatu kebiasaan yang dinamakan culture of silence.

Adapun ciri-ciri pembelajaran gaya bank/teacher talk adalah sebagai berikut: a) guru mengajar dan pebelajar diajar, b) guru mengetahui segala sesuatu dan pebelajar tidak tahu apa-apa, c) guru berpikir dan pebelajar dipikirkan, d) guru bercerita dan pebelajar patuh mendengarkan, e) guru menentukan peraturan dan pebelajar diatur, f) guru memilih serta memaksakan pilihan dan pebelajar menyetujui, g) guru berbuat dan pebelajar membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan guru, h) guru memilih bahan serta isi pelajaran dan pebelajar tanpa diminta pendapat diminta menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, i) guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatan, yang guru lakukan untuk menghalangi kebebasan pebelajar, j) guru adalah subjek dalam belajar dan pebelajar adalah objek belaka (Paulo Freire, 1985:51-52). Kebiasaan tersebut memiliki be-berapa dimensi berdasarkan temuan dan pengalaman lapangan Ira Shor dalam Rakhmat Hidayat (2013:105) yaitu : pertama, berkembangnya peran yang pasif dari


(36)

yang dianggap sebagai kebenaran, sehingga pebelajar menjadi subordinasi dari guru. salah satu hal yang signifikan yang disebabkan dari kondisi seperti di atas adalah apa yang dinamakan oleh Ira Shor dengan sebutan Siberian Syndrome, yaitu kondisi yang tidak demokratis di dalam kelas sehingga menyebabkan pebelajar duduk menjauhi guru. Hal tersebut telah menjadi pola psikologis yang berulang-ulang, yang diakibatkan dari otoritas guru yang terlalu besar kepada pebelajar sehingga pebelajar menganggap hal tersebut sebagai ancaman.

Praktik penindasan yang mengejawantah ke dalam praktik pendidikan, akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kemanusiaan. Seharusnya lembaga pendidikan menjadi sarana dalam mengasah nilai-nilai kemanusiaan yang di dalamnya terdapat semangat perjuangan untuk melawan kebodohan, melawan penindasan, membela yang lemah, dan memberantas ketidakadilan. Pendidikan bukan sesuatu yang bebas nilai karena pendidikan mengandung kekuatan politis seperti disebutkan oleh john Storey dalam what is cultural studies (H.A.R Tilaar, 2003:xxiii) :

...pedagogy does not represent a neutral site, free from the operations of power and politcs. Far from being the simple transmissiion of ready-made information, pedagogy is for Giroux a site of struggle, a terrain where the complex relations between knowledge and power are worked over”.

Pedagogi Kritis adalah upaya untuk mengembalikan cita-cita pen-didikan sebagai arena perjuangan dalam melawan penindasan. Melawan penindasan dengan melakukan upaya-upaya penyadaran Pedagogi Kritis mencoba memperjelas posisi pendidikan sebagai sebuah gerakan


(37)

pendidikan yang konsen terhadap kemanusiaan. Pedagogi Kritis mengkaji bagaimana pendidikan dapat menyediakan alat bagi individu untuk mengembangkan potensi dan memperkuat demokrasi, serta mengembangkan sebuah masyarakat yang egaliter (Rakhmat Hidayat, 2013:13).

4. Pembelajaran versi Pedagogi Kritis

Menurut Voke (2007) dalam Rakhmat Hidayat (2013:6) Pedagogi Kritis merupakan konsep pedagogi yang telah mengalami transformasi di kalangan pendidik dan menjadi strategi baru untuk mengahadapi perubahan konteks sosial dan historis, Pedagogi Kritis secara tradisional disebut teori pendidikan dan pengajaran serta praktik belajar yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran kritis pebelajar mengenai kondisi sosial yang menindas. Dalam definisi yang dikemukakan oleh Voke, jelas sekali bahwa Pedagogi Kritis menempatkan kesadaran yang kritis menjadi tujuan utama dari praktik Pedagogi Kritis. Paulo Freire (1984:16) menyebutkan bahwa manusia memiliki tiga (3) tingkat kesadaran, yakni :

a. Kesadaran semiintransitif


(38)

lingkungan persepsi manusia terbatas, dan bahwa manusia tidak dapat menembus tantangan-tantangan yang berada di luar lingkungan kebutuhan biologis.

b. Kesadaran transitif-naif

Dalam tingkat kesadaran ini, manusia mulai sadar bahwa dirinya tertindas serta cakrawala telah berkembang dan mereka menanggapi rangsangan dengan lebih terbuka, tetapi tanggapan-tanggapan ini masih juga masih juga mempunyai nilai magis. Kesadaran manusia yang masih menjadi bagian dari massa, dimana perkembangan kemampuan berdialog masih rapuh dan mudah diselewengkan. Kesadaran dalam tahap ini mungkin akan dapat diselewengkan menjadi fanatisme oleh golongan sektarian yang irasional.

c. Kesadaran transitif kritis

Ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah; keterangan-keterangan yang bersifat magis digantikan prinsip-prinsip sebab-akibat; dengan menguji “penemuan” seseorang dengan keterbukaan terhadap pembaharuan; dengan usaha-usaha menghindari penyelewengan-penyelewengan sewaktu memahami masalah dan menghindari prasangka-prasangka sewaktu menganalisis; dengan menolak pemindahan tanggung jawab; dengan menolak peran-peran pasif; dengan argumentasi yang kuat; dengan berdialog bukan dengan berpolemik; dengan menerima yang baru bukan hanya karena baru nya dan secara sehat tidak menolak yang lama hanya karena lamanya.


(39)

Dalam (Rakhmat hidayat, 2013:28) juga disebutkan bahwa manusia dalam tahap ini mampu memandang kritis lingkungannya, memi-sahkan dirinya dengan keadaan sekitar yang menindas, kemudian bertindak untuk membebaskan dirinya.

Paparan-paparan oleh para ahli Pedagogi Kritis di atas tentu semakin mempertegas bahwa tujuan dari Pedagogi Kritis adalah menumbuhkan kesadaran yang kritis bagi siapapun yang terlibat dalam proses pendidikan, baik guru atau pun pebelajar. Sehingga untuk mewujudkan kesadaran kritis, diperlukan formula-formula baru dalam praktik pendidikan/pembelajaran.

Paulo Freire sebagai pencetus lahirnya Pedagogi Kritis telah mengusulkan suatu bentuk pembelajaran baru, yang merupakan anti-thesis dari pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran problem posing/hadap masalah. Kritik utama dalam pembelajaran problem posing adalah pola hubungan vertikal yang terjadi antara guru dan pebelajar. Maka dari itu untuk memasuki pendidikan hadap masalah, prasyarat utamanya ialah menciptakan hubungan yang egaliter antara guru dan pebelajar, dengan mengedepankan hubungan dialogis diantara kedua subjek tersebut. Melalui dialog, guru-nya-pebelajar serta pebelajar-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru: pebelajar-nya-guru-yang-pebelajar dengan


(40)

dan mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses dalam mana mereka tumbuh dan berkembang (Paulo Freire, 1985:62).

Relasi yang egaliter antara guru dan pebelajar akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam proses pencarian pengetahuan. Tidak hanya bentuk komunikasinya yang berubah, namun seperangkat metode serta “aturan main” dalam proses pembelajaran pun ikut berubah, terutama adalah keterlibatan aktif pebelajar dalam proses pembelajaran. Seperti yang pernah dilakukan Ira Shor yang merupakan tokoh Pedagogi Kritis, Ira Shor membantu kelas dengan mempersilahkan pebelajar untuk menentukan kelas dengan aturan mereka, silabus, perencanaan, dan bagaimana mereka akan di evaluasi, serta pebelajar wajib untuk menandatangani kontrak untuk kelas yang mereka ingin terima tersebut (Rakhmat Hidayat, 2013:101).

Pembelajaran dengan menggunakan metode problem posing juga memiliki karakteristik lain. Rakhmat Hidayat (2013:106) menyebutkan bahwa selain hubungan guru dan pebelajar yang egaliter dan penggunaan dialog, dalam metode posing juga menggunakan yaitu riset yang efektif dan kolaboratif, pendekatan kritis terhadap standar pengetahuan barat, dorongan untuk respons yang aktif terhadap pengetahuan dan wawasan yang baru, kurikulum yang baru diambil dari budaya dan kehidupan pebelajar, dan keingintahuan mereka yang alami dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan riset yang efektif dan kolaboratif sebagai suatu pendekatan dalam pencarian pengetahuan juga pernah diperkenalkan


(41)

dengan nama yang berbeda oleh tokoh pendidikan progresif lainnya, yaitu John Dewey. John Dewey menyebutkan bahwa proses belajar yang dilakukan oleh anak, menggunakan cara yang sama dengan yang dilakukan ilmuwan. Adapun model belajar dari John Dewey adalah sebagai berikut : (1) Menyadari adanya masalah, (2) merumuskan masalah, (3) mengajukan hipotesis pemecahannya, (4) mengevaluasi konsekuensi hipotesis berdasarkan pengalaman masa lalunya, (5) menguji solusi yang paling mungkin (Rakhmat Hidayat, 2013:44). Model belajar gaya ilmuwan tersebut juga lazim disebut learning by doing (belajar sambil melakukan).

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa dalam pembelajaran khas Pedagogi Kritis relasi guru/pendidik dan pebelajar adalah egaliter. Pebelajar juga memiliki andil yang cukup besar dalam proses pencarian pengetahuan. Namun bukan berarti bahwa guru tidak memiliki peran penting dalam pembelajaran khas Pedagogi Kritis. Paulo Freire (1985:63) mengemukakan peran guru dalam pembelajaran sebaiknya tidak menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai milik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para pebelajar serta dirinya sendiri, dan dengan cara ini pendidik hadap-masalah secara terus menerus memperbaharui refleksinya di dalam refleksi para pebelajar, yang dimana


(42)

mana pengetahuan pada tahap doxa diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu/logos.

B. Kajian tentang Sekolah Alam 1. Pengertian Sekolah Alam

Sekolah alam menurut Efrita Djuwita (2010) adalah salah satu bentuk pendidikan alternatif yang menggunakan alam sebagai media utama sebagai pembelajaran bagi pebelajarnya, dalam hal ini penggunaan alam sebagai media belajar ini diharapkan agar kelas pebelajar jadi lebih perhatian dengan lingkungan dan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dipelajari. Menurut Lendo Novo (2009), pendiri sekolah alam ciganjur, sekolah alam terinspirasi oleh pemanfaatan alam, kehidupan, dan lingkungan sebagai media pembelajaran. Kata alternatif menunjukkan bahwa Sekolah alam memiliki penawaran yang berbeda dari sekolah-sekolah yang formal pada umumnya. Sekolah formal pada umumnya menggunakan metode konvensional yang mengedepankan guru sebagai sumber ilmu utama dan media utama pembelajarannya adalah buku paket. Sekolah Alam memanfaatkan alam sekitar sebagai media pembelajaran utama. Dengan memanfaatkan alam sebagai sumber belajar sekaligus media belajar, pebelajar diharapkan mampu meng-implementasikan ilmu yang didapatkannya. Dengan begitu ilmu tidak menjadi suatu hal yang abstrak dan tidak jelas penggunaannya. Seperti yang diungkapkan oleh Ester Lince Napitupulu (2009) dalam sebuah liputan sekolah alam


(43)

memiliki konsep untuk mengajak anak-anak berinteraksi langsung dengan alam dan memanfaatkan alam sebagai sumber belajar setiap harinya. Pembelajaran tak lagi abstrak bagi pebelajar karena mereka dapat langsung menerapkannya dengan media belajar yang ada di alam. Pendapat tersebut menegaskan bahwa sekolah alam ingin mengintegrasikan ilmu yang didapat langsung dengan kehidupan nyata. Mengaplikasikan langsung di kehidupan nyata berarti pebelajar akan bersentuhan langsung dengan realitas. Ketika pebelajar bersentuhan langsung dengan realitas, maka pebelajar akan memahami realitas. Pebelajar akan memiliki peran dan campurtangan langsung terhadap realitas.

2. Pembelajaran di Sekolah Alam

Menurut Dian Purnama (2010 : 86), Sekolah alam tetap mengacu pada kurikulum depdiknas tetapi sekolah alam juga tetap meramu sendiri kurikulum sesuai dengan tujuan sekolah. Pembelajaran di Sekolah alam tidak benar-benar terlepas dari kurikulum dekdiknas. Terdapat hal-hal dari sekolah formal yang bisa diintegrasikan ke dalam sekolah alam, tentu saja dengan diramu sesuai dengan tujuan-tujuan sekolah alam.

Menurut Agus Thohir (2010), konsep pembelajaran yang dipakai dalam sekolah alam adalah dengan cara belajar sambil bermain dengan harapan orientasi fokusnya mengembangkan kelebihan yang dimiliki anak


(44)

pebelajar, karena berfokus pada mengembangkan kelebihan yang dimiliki oleh anak. Metode pencarian yang tidak baku memberikan keleluasan bagi pebelajar untuk menentukan sendiri sesuatu yang akan mereka pilih dan tidak terpaku dengan sesuatu yang kaku.

C. Kajian tentang Pembelajaran 1. Pengertian Pembelajaran

Degeng & Sudana (1997:1) mengatakan bahwa pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan pebelajar, dalam definisi ini terkandung makna bahwa dalam pembelajaran ada kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode/strategi yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan, bahkan kegiatan-kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan kegiatan-kegiatan inti pembelajaran. Sedangkan Oemar Hamalik (2008:37) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran.

Manusia sebagai subjek pembelajaran melakukan serangkaian strategi untuk menghasilkan kondisi yang mampu mendukung manusia untuk belajar. Syaiful Sagala (2006:63) menyebutkan beberapa karakteristik pembelajaran yang mendukung pebelajar untuk belajar, yaitu :

a. Proses pembelajaran melibatkan proses mental pebelajar secara maksimal dan bukan hanya menuntut pebelajar sekedar mendengar,


(45)

mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas pebelajar dalam proses berpikir.

b. Pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir pebelajar, yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu pebelajar untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

Dengan memperhatikan kedua hal tersebut, pembelajaran diharapkan mampu benar-benar mendukung dan mengembangkan kemampuan belajar anak. Selain itu, agar benar-benar berjalan sesuai dengan harapan, maka pembelajaran harus tertata dengan baik menjadi suatu sistem.

2. Pembelajaran sebagai Sistem

Sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan komponen-komponen, dimana masing-masing komponen memiliki fungsi tertentu yang saling berinteraksi/berhubungan antara satu dengan lainnya yang secara keseluruhan memiliki tujuan tertentu (Zainal Arifin Ahmad, 2012:55) . Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sistem merupakan suatu kesatuan, yang terdiri dari bermacam-macam hal, yang memiliki suatu tujuan seperti dalam pembelajaran.


(46)

belajar, fasilitas, pemeliharaan atau pengontrolan, dan prosedur yang mengatur interaksi perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan. Deni Darmawan & Permasih dalam Tim Pengembang MKDP Kurikulum & Pembelajaran (2011:132) juga menambahkan bahwa konsep tersebut dipandang sebagai suatu sistem, sehingga dalam sistem belajar ini terdapat komponen-komponen pebelajar atau pebelajar, tujuan, materi, fasilitas dan prosedur serta alat atau media yang harus dipersiapkan. Pernyataan para ahli tersebut memperjelas bahwa pembelajaran terdiri dari berbagai macam komponen. Komponen-komponen tersebut saling berintegrasi untuk menciptakan suatu kondisi belajar.

Lebih lanjut jika komponen-komponen pembelajaran tersebut dijabarkan adalah sebagai berikut :

a. Tujuan

Tujuan pembelajaran merupakan suatu target yang ingin dicapai oleh kegiatan pembelajaran, dimulai dari tujuan pembelajaran (umum dan khusus), tujuan-tujuan itu bertingkat, berakumulasi, dan bersinergi untuk menuju tujuan yang lebih tinggi tingkatannya, seperti membangun manusia yang sesuai dengan yang dicita-citakan (Tim Pengembang MKDP Kurikulum & Pembe-lajaran, 2011:148). Tujuan pembelajaran merupakan hal utama yang diusahakan dari terintegrasi nya berbagai komponen yang ada di dalam pembelajaran.


(47)

Menurut Toto Fathoni dan Cepi Riyana dalam Tim Pengembang MKDP Kurikulum & Pembelajaran (2011:149) hierarki tujuan pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut :

TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

MEMBENTUK MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA

TUJUAN INSTITUSIONAL

JENJANG DAN JENIS PERSEKOLAHAN

TUJUAN KURIKULER

MATA PELAJARAN/BIDANG STUDI

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

MATA PELAJARAN/BIDANG STUDI

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

PERSATUAN KBM/BAHASAN


(48)

Pebelajar sebagai pihak yang berkepentingan di dalam proses belajar mengajar, sebab tujuan yang harus dicapai semata-mata untuk pebelajar, sehingga lebih bijaksana jika dalam faktor belajar mengajar didasarkan atas faktor pebelajar (Tim Pengembang MKDP Kurikulum & Pembelajaran, 2011:156). Faktor pebelajar adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Dengan tidak mengindahkan pebelajar dalam merencanakan pembelajaran, maka pembelajaran tidak akan menjadi suatu hal yang berarti bagi pebelajar.

c. Guru atau pendidik

Guru adalah salah satu faktor yang penting, pertimbangan faktor-faktor lain dalam pembelajaran juga bergantung atas kreativitas guru, kemampuan guru mempengaruhi proses pembelajaran (Tim Pengembang MKDP Kurikulum & Pem-belajaran, 2011:157). Pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa guru adalah salah satu penentu kesuksesan dalam proses pembelajaran.

d. Materi

Materi pembelajaran pada dasarnya adalah isi dari kurikulum yang berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik atau sub topik rinciannya, dan secara umum dapat dipilah menjadi tiga unsur, yaitu logika (pengetahuan tentang salah-benar), etika (pengetahuan tentang baik-buruk), Estetika (pengetahuan tentang indah-jelek) berupa muatan nilai seni (Tim Pengembang MKDP Kurikulum &


(49)

Pembelajaran, 2011:152). Materi merupakan sesuatu yang di produksi dan diolah di dalam proses pembelajaran.

e. Media

Yusuf Hadi Miarso (2009:458) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali. Dapat dikatakan bahwa media adalah hal yang mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih kreatif dan menyenangkan, serta dapat memberikan rangsangan-rangsangan untuk berpikir lebih aktif.

f. Lingkungan

Adalah tempat di mana proses belajar mengajar berlangsung, yaitu meliputi keadaan, kondisi, dan berbagai macam perlengkapan yang tersedia (Yusuf Hadi Miarso, 2009:534). Lingkungan yang mampu menunjang proses pembelajaran dengan baik, akan menghasilkan hasil yang baik pula.

3. Teori belajar yang menjadi pijakan Pedagogi Kritis

Seperti telah diketahui bahwa Pedagogi Kritis adalah sebuah konsep pedagogi yang bertransformasi untuk menghadapi tantangan sosial,


(50)

mewujudkan kesadaran kritis tersebut, Pedagogi Kritis mengubah pandangan tentang kegiatan pembelajaran yang konvensional.

Pedagogi Kritis menolak pembelajaran konvensional yang mengedepankan guru sebagai sumber ilmu utama. Dalam pembelajaran konvensional, guru melakukan transfer ilmu kepada pebelajar dan menganggap pebelajar adalah objek-objek yang tidak mengerti apa-apa sehingga perlu diberi materi-materi pelajaran. Dalam istilah Pedagogi Kritis, pembelajaran yang menempatkan guru sebagai sumber ilmu utama disebut dengan pembelajaran gaya bank/teacher talk. Paulo Freire (1985:51-52) menyebutkan ciri-ciri pembelajaran gaya bank/teacher talk adalah sebagai berikut: a) guru mengajar dan pebelajar diajar, b) guru mengetahui segala sesuatu dan pebelajar tidak tahu apa-apa, c) guru berfikir dan pebelajar difikirkan, d) guru bercerita dan pebelajar mendengarkan, e) guru menentukan peraturan dan pebelajar diatur, f) guru memilih serta memaksakan pilihan dan pebelajar menyetujui, g) guru berbuat dan pebelajar membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan guru, h) guru memilih bahan serta isi pelajaran dan pebelajar tanpa diminta pendapat diminta untuk menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, i) guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatan, yang guru lakukan untuk menghalangi kebebasan pebelajar, j) guru adalah subjek dalam belajar dan pebelajar adalah objek belaka. Pembelajaran gaya bank membuat pebelajar tidak mampu mengembangkan kesadaran kritis, menghilangkan daya kreatif pebelajar,


(51)

dan menimbulkan kemandegan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran konvensional adalah pendekatan teacher centered.

Pembelajaran gaya bank merupakan salah satu perwujudan dari teori belajar pembelajaran behavioristik. Behavioristik menekankan pemberian stimulus yang diberikan oleh guru dan respon yang dihasilkan oleh pebelajar. Dalam pandangan ini, belajar merupakan perubahan tingkah laku yang disebabkan interaksi antara stimulus dan respon. Walaupun dari para ahli koneksionis terdapat beberapa perbedaan, namun mereka bersepakat untuk memandang persoalan pembelajaran sebagai persoalan hubungan antara stimuli dan respon (Hill Winfred, 2012:32). Stimulus merupakan masukan atau input, sedangkan respon merupakan keluaran atau output. Teori behavioristik cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif, pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan pebelajar untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi (Asri Budiningsih, 2008:25-26). Behavioristik cenderung mementingkan hasil daripada proses. Hasil yang didapatkan pebelajar harus sesuai dengan apa yang diberikan oleh guru.


(52)

mengedepankan hubungan searah dari guru kepada pebelajar, menolak belajar berdasarkan pada fakta/konsep/kaidah yang kaku untuk dihafalkan, dan menolak belajar yang berisi materi-materi dari guru berupa fakta-fakta yang lepas dari pengalaman pebelajar. Pembelajaran Pedagogi Kritis dan konstruktivistik sama-sama menekankan pada keaktifan pebelajar.

Konstruktivistik menawarkan kegiatan yang bermakna bagi pebelajar. Adapun ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik yang dikemukakan oleh Baharuddin & Wahyuni (2009:109) adalah sebagai berikut: (a) memberi peluang kepada pebelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatan dalam dunia yang sebenarnya, (b) mendorong ide-ide pebelajar sebagai panduan merancang pengetahuan, (c) mendukung pembelajaran secara kooperatif, (d) mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pebelajar, (e) mendorong pebelajar untuk mau bertanya dan berdialog dengan guru, (f) menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran, (g) mendorong proses inkuiri pebelajar melalui kajian dan eksperimen. Disebutkan pula oleh Asri budiningsih (2008:65) bahwa pembelajaran konstruktivistik memiliki karakteristik yang membebaskan pebelajar dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, menempatkan pebelajar sebagai kekuatan timbulnya interes untuk membuat hubungan diantara ide dan gagasan pebelajar itu sendiri lalu memformulasikan kembali ide-ide tersebut dan membuat kesimpulan, dan memahami bersama-sama bahwa proses belajar serta penilaian merupakan


(53)

suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola. Pembelajaran Pedagogi Kritis dan konstruktivistik menggunakan pendekatan student centered.

4. Karakteristik pembelajaran dari perspektif Pedagogi Kritis

Dalam sub bab sebelumnya telah diketahui bahwa di dalam pembelajaran terdapat komponen-komponen yang bekerja sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi satu dengan yang lain. Setiap pembelajaran yang dilakukan memiliki karakteristik komponen pembelajaran yang berbeda.

Pedagogi Kritis sebagai suatu pembelajaran yang menggunakan pendekatan student centered memiliki karakteristik komponen pembelajaran yang berbeda dari karakteristik pembelajaran konvensional. Adapun karakteristik komponen pada pembelajaran Pedagogi Kritis adalah sebagai berikut :

a. Tujuan Pembelajaran

Pedagogi Kritis memiliki tujuan-tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Adapun tujuan pembelajaran Pedagogi Kritis adalah :

1) Meningkatkan partisipasi dan keaktifan pebelajar dalam pembelajaran sehingga terwujud manusia yang aktif dan mampu


(54)

3) Membawa pebelajar beralih dari kesadaran semi-intransitif menjadi transitif-kritis berdasarkan tipologi kesadaran Paulo Freire.

4) Winter dalam Rakhmat Hidayat (2013:7) menyebutkan bahwa Pedagogi Kritis merupakan proyek politik yang mencoba mengubah struktur kekuasaan dari kehidupan sehari-hari , di lembaga-lembaga budaya seperti pendidikan dan media.

5) Tujuan akhir Pedagogi Kritis adalah melahirkan praksis pendidikan yang egaliter, humanis, demokratis berbasiskan critical thinking di kalangan pebelajar. Pedagogi Kritis juga merupakan gerakan sosial yang ingin membongkar praktik pendidikan yang membelenggu dan dilakukan di kalangan status quo(Rakhmat Hidayat, 2013:8).

Tujuan pembelajaran merupakan hal mendasar yang di dalamnya dapat diketahui sebab-sebab diselenggarakan kegiatan pembelajaran. Dari kelima tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa Pedagogi Kritis memiliki tujuan untuk memberdayakan pebelajar agar terlibat aktif dan partisipatif dengan praktik pendidikan yang egaliter, humanis, demokratis dan membawa pebelajar memperoleh kesadaran kritis. b. Pebelajar

Pebelajar merupakan alasan utama kegiatan pembelajaran diselenggarakan. Pebelajar sebagai pihak yang berkepentingan di dalam proses belajar mengajar, sebab tujuan yang harus dicapai


(55)

semata-mata untuk pebelajar, sehingga lebih bijaksana jika dalam faktor belajar mengajar didasarkan atas faktor pebelajar (Tim Pengembang MKDP Kurikulum & Pembelajaran, 2011:156).

Pada Sub bab mengenai teori belajar yang menjadi pijakan Pedagogi Kritis telah disebutkan bahwa Pedagogi Kritis memiliki tipikal pembelajaran yang sama dengan konstruktivistik, yaitu menolak peran pasif dari pebelajar dan dominasi guru dalam pembelajaran. Pembelajaran Pedagogi Kritis mengajak pebelajar untuk berperan aktif dalam pencarian ilmu pengetahuan.

Dalam sub bab mengenai pembelajaran versi Pedagogi Kritis telah disebutkan beberapa peran aktif pebelajar dalam pembelajaran Pedagogi Kritis. Bentuk peran aktif pebelajar misalnya tampak pada aktivitas yang pernah dilakukan Ira Shor yang merupakan tokoh Pedagogi Kritis. Ira Shor membantu kelas dengan mempersilahkan pebelajar untuk menentukan kelas dengan aturan mereka, silabus, perencanaan, dan bagaimana mereka akan di evaluasi, serta pebelajar wajib untuk menandatangani kontrak untuk kelas yang mereka ingin terima tersebut (Rakhmat Hidayat, 2013:101). Dalam contoh pembelajaran Pedagogi Kritis seperti yang dilakukan Ira Shor tersebut menjelaskan bahwa Pedagogi Kritis memberikan wewenang kepada


(56)

c. Guru

Telah disebutkan sebelumnya pada sub bab mengenai teori belajar yang menjadi pijakan Pedagogi Kritis bahwa Pedagogi Kritis menolak dominasi guru di dalam kelas seperti dalam pembelajaran konvensional. Keesing dalam Rakhmat Hidayat (2013:7) menyebutkan bahwa Pedagogi Kritis merupakan respons pendidikan untuk relasi kekuasaan yang menindas dan terjadinya ketidaksetaraan dalam lembaga pendidikan, sehingga posisi guru yang mendominasi tidak boleh terjadi karena hal tersebut merupakan bentuk pengejawantahan dari penindasan

John Dewey mengemukakan bahwa dalam pendidikan progresif guru harus menempatkan diri sebagai fasilitator yang mendorong pebelajar untuk melakukan berbagai aktivitas pembelajaran yang diminati (Rakhmat Hidayat, 2013:46). Guru tidak lagi sebagai pendominasi kelas yang membuat posisi pebelajar sebagai objek yang harus diisi dengan pengetahuan. Guru dalam Pedagogi Kritis harus percaya bahwa pebelajar mampu untuk menemukan pengetahuan sendiri dan perlu untuk diberikan motivasi dan dorongan agar pebelajar benar-benar berada di jalur penemuan pengetahuan. Henry Giroux dalam Rakhmat Hidayat (2013,91) menyebutkan bahwa guru adalah intelektual transformatif yang dapat mendidik pebelajar untuk aktif, kritis dan berbicara menentang ketidakadilan ekonomi, politik, dan sosial baik di dalam maupun di luar sekolah. Dengan kata lain,


(57)

guru harus mampu menjadi fasilitator bagi pebelajar untuk berhubungan dengan dunia nyata dan merasakan kondisi realitas agar pebelajar mampu menemukan sendiri pengetahuannya.

d. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran dalam Pedagogi Kritis bukan merupakan sesuatu yang baku yang sudah ditentukan sebelumnya seperti dalam pembelajaran konvensional, akan tetapi sepenuhnya materi pembelajaran didasarkan atas diri pebelajar terutama pengalaman-pengalaman pebelajar. Sebagai tokoh Pedagogi Kritis Paulo Freire mempromosikan kegiatan pendidikan yang didasarkan atas pengalaman hidup peserta, karena sesungguhnya hal tersebut merupakan upaya pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri (Rakhmat Hidayat, 2010:28). Pengalaman pebelajar dijadikan sebagai bahan untuk materi agar tercipta hubungan antara ilmu pengetahuan dan realitas pengalaman pebelajar sehari-hari.

e. Lingkungan

Pedagogi Kritis sesungguhnya menekankan penggunaan ruang yang fleksibel dan tidak terbatas di dalam ruang kelas. Paulo Freire justru menyarankan penggunaan alam sebagai lingkungan natural dalam pembelajaran yang dikenal dengan istilah pendidikan populer.


(58)

5. Model-model pembelajaran berbasis konstruktivistik

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajaran Pedagogi Kritis berpijak pada teori belajar konstruktivistik. Karakteristik pembelajaran yang ada dalam Pedagogi Kritis juga tidak berbeda dari konstruktivistik yang menekankan pada keaktifan pebelajar dan memandang pembelajaran sebagai suatu hal yang tidak kaku.

Beberapa model pembelajaran berbasis konstruktivistik yang dapat diterapkan dalam pembelajaran Pedagogi Kritis antara lain:

a. Model pembelajaran kontekstual

Nurhadi dalam (Rusman, 2011:189) mengungkapkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata pebelajar dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Model pembelajaran kontekstual menekankan terciptanya hubungan antara hal-hal yang dipelajari pebelajar bersama guru dengan kehidupan pebelajar sehari-hari agar tercipta makna dan kesadaran kritis dari pebelajar terhadap kondisi realitas.

Teori belajar konstruktivistik tampak sangat mempengaruhi model pembelajaran kontekstual, karena dalam model ini hubungan antara guru dan pebelajar tidak lagi sebagai transformasi pengetahuan, namun sebagai kegiatan fasilitasi belajar oleh guru terhadap pebelajar.


(59)

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model yang memberikan fasilitas kegiatan belajar pebelajar untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang bersifat lebih konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas pebelajar dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri, sehingga pembelajaran tidak sekedar berorientasi pada produk atau hasil namun sebagai sebuah proses (Rusman, 2011:190).

Adapun skenario pembelajaran kontekstual yang disebutkan oleh Rusman (2011:199) adalah sebagai berikut :

1) Mengembangkan pemikiran pebelajar untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimiliki. Guru harus membimbing pebelajar untuk menempuh hal-hal yang disebutkan di atas.

2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.

3) Mengembangkan sifat ingin tahu pebelajar dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

4) Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.


(60)

6) Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

7) Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap pebelajar.

b. Model pembelajaran berbasis masalah/problem based instruction. Dalam sub bab mengenai pembelajaran versi Pedagogi Kritis telah dijelaskan bahwa Paulo Freire yang merupakan tokoh Pedagogi Kritis telah mempromosikan bentuk pembelajaran yang lebih demokratis dan dilandasi atas realitas, yaitu problem posing atau yang lebih familiar disebut dengan problem based instruction.

Bern dan Erickson dalam Kokom Komalasari (2010:59) menyebutkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang melibatkan pebelajar dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. Pembelajaran berbasis masalah mengajak pebelajar untuk aktif berhadapan dengan masalah dan menggunakan berbagai disiplin ilmu dalam melihat masalah yang ada.

Dalam pembelajaran berbasis masalah terdapat langkah-langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh guru dan pebelajar. Menurut Kokom Komalasari (2010:59) langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:


(61)

1) Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang dIbutuhkan. Guru memotivasi pebelajar untuk terlibat akivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2) Guru membantu pebelajar mendefinisikan dan mengorganisasikan

tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll)

3) Guru mendorong pebelajar untuk mengumpulkan informasi yang sesuai eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.

4) Guru membantu pebelajar dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.

5) Guru membantu pebelajar untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

c. Model pembelajaran kooperatif

Tom V. Savage dalam Rusman (2011:203) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dilakukan oleh pebelajar dengan menekankan kerjasama dalam kelompok. Kegiatan pembelajaran dengan model kooperatif membagi pebelajar


(62)

bahwa keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individu maupun secara kelompok.

Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Rusman (2011:211) adalah sebagai berikut :

Tabel. 1 langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran kooperatif

Tahap Tingkah laku guru

Tahap 1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi pembelajar

Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada kegiatan elajaran dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi pebelajar belajar

Tahap 2

Menyajikan Informasi

Guru menyajikan informasi atau materi kepada pebelajar dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan

Tahap 3

Mengorganisasikan pebelajar ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada pebelajar bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efisien

Tahap 4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar ada saat mereka mengerjakan tugas mereka

Tahap 5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Tahap 6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

d. Model pembelajaran Inquiry

Pembelajaran Pedagogi Kritis sangat menekankan pada proses penemuan pengetahuan sendiri oleh pebelajar. Telah disebutkan dalam sub bab mengenai pembelajaran versi Pedagogi Kritis bahwa belajar yang baik menurut salah satu tokoh pendidikan progresif John Dewey adalah dengan menggunakan cara-cara seperti ilmuan atau eksperimen. Cara-cara seperti ilmuwan yang dimaksud adalah dengan


(63)

learning by doingatau belajar sambil melakukan. Model pembelajaran yang menggunakan konsep learning by doing adalah model pembelajaran inquiry.

Menurut piaget (mulyasa, 2008:108) bahwa model pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran yang mem-persiapkan pebelajar pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan pebelajar lain. Dengan kata lain, pebelajar akan diajak melakukan pengalaman nyata untuk berhadapan dengan masalah agar mampu menemukan solusi dari proses yang telah dijalani sebagai seorang subjek yang mencari ilmu pengetahuan. Alam adalah sumber belajar dari model pembelajaran inquiry, karena aktivitas yang dijalani berpusat pada pencarian pengetehuan atau eksperimen.

Manfaat dari model pembelajaran inquiry adalah pebelajar mampu kemampuan berfikir secara sistematis, logis dan kritis, sehingga pebelajar akan terbiasa melihat realitas sebagai suatu hal yang utuh dan saling berhubungan. Dengan demikian, dalam pembelajaran


(64)

Menurut Sanjaya (2006:202) langkah-langkah model pembelajaran inquiry ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Orientasi

Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsive. Langkah ini guru mengondisikan pebelajar siap melaksanakan proses pembelajaran. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam tahap ini adalah:

a) menjelaskan topik, tujuan dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh pebelajar,

b) menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh pebelajar untuk mencapai tujuan.

2) Merumuskan masalah

Merumuskan masalah adalah langkah membawa pebelajar kepada persoalan yang mengadung teka teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang pebelajar untuk berpikir memecahkan teka teki itu.

3) Merumuskan hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya.


(65)

4) Mengumpulkan data

Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dIbutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan.

5) Menguji hipotesis

Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data.

6) Merumuskan kesimpulan

Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temu-an ytemu-ang diperoleh berdasarktemu-an hasil pengujitemu-an hipotesis.

6. Tahap-tahap pembelajaran dalam Pedagogi Kritis

Sub bab ini memaparkan tentang pembelajaran sebagai suatu proses kegiatan yang terdiri dari tiga fase atau tahapan, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanan, dan tahap evaluasi. Tahap-tahap tersebut didasarkan atas karakteristik pembelajaran Pedagogi Kritis dan model pembelajaran konstruktivistik. Adapun ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tahap perencanaan pembelajaran

Tahap perencanaan pembelajaran merupakan tahap penyusunan sesuatu untuk dilaksanakan agar mendapatkan tujuan


(66)

efisien. Perencanaan proses pembelajaran biasanya meliputi dua hal, yaitu silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.

Silabus sebagai acuan pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Rusman, 2011:5). Silabus akan menjadi panduan bagi guru untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan kurikulum yang berlaku.

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan jabaran dari silabus. RPP disusun untuk setiap kompetensi dasar yang dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih (Abdul Majid, 2013:38). RPP akan memandu guru dan pebelajar dalam menjalankan kegiatan pembelajaran.

Adapun komponen-komponen RPP menurut Rusman (2011:5) adalah sebagai berikut:

1) Identitas mata pelajaran

Terdiri dari satuan pendidikan, kelas, semester, program, mata pelajaran/tema pelajaran, dan jumlah pertemuan.

2) Standar kompetensi

Adalah kualifikasi kemampuan minimal pebelajar yang menggambarkan penguasan pengetahuan, sikap, dan keterampilan


(67)

yang diharapkan dicapai pada kelas dan atau semester pada suatu mata pelajaran.

3) Kompetensi dasar

Sejumlah kemampuan yang harus dikuasai pebelajar dalam mata pelajaran tertentu sebagai tujuan penyusunan indikator dalam suatu mata pelajaran.

4) Indikator pencapaian kompetensi

Perilaku yang dapat diukur atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran.

5) Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh pebelajar sesuai dengan kompetensi dasar.

6) Materi ajar

Memuat fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang relevan dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.

7) Alokasi waktu


(68)

8) Metode pembelajaran

Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar pebelajar mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan.

9) Kegiatan pembelajaran

Perencanaan kegiatan pembelajaran biasanya dibagi menjadi tiga, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup. Pendahuluan adalah kegiatan awal pada pertemuan pembelajaran untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian pebelajar. Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Sedangkan penutup adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, refleksi, dan umpan balik.

10) Penilaian hasil belajar

Merupakan prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar. Biasanya disesuaikan dengan indikator pen-capaian kompetensi dan mengacu pada standar penilaian

11) Sumber belajar

Biasanya ditentukan berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.


(69)

Perlu diperhatikan bahwa dalam konteks pembelajaran Pedagogi Kritis, tahap perencanaan yang dilakukan tidak terlalu kaku seperti dalam pembelajaran konvensional. Dalam tahap perencaan pembelajaran Pedagogi Kritis, guru dan pebelajar melakukan bersama-sama dengan cara berdialog. Seperti yang dilakukan Ira Shor yang merupakan salah satu tokoh Pedagogi Kritis. Ira shor mengajak pebelajar untuk menentukan kelas, aturan, silabus, perencanaan pembelajaran, dan bagaimana mereka akan dievaluasi (Rakhmat Hidayat: 2013,101). Ruang demokratisasi dalam pembelajaran Pedagogi Kritis dimulai dari tahap perencanaan, sehingga tercipta perencanaan yang mengakomodir ide dari semua yang berkepentingan, baik guru maupun pebelajar.

Dari beberapa komponen RPP yang telah disampaikan di atas, terdapat beberapa komponen yang memiliki sifat khas dalam pembelajaran Pedagogi Kritis. Yang pertama adalah tujuan pembelajaran. Pedagogi Kritis berangkat dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran transitif kritis. kesadaran transitif kritis adalah pebelajar mampu memandang kritis lingkungannya, memisahkan dirinya dengan keadaan sekitar yang menindas, kemudian bertindak untuk membebaskan dirinya (Rakhmat Hidayat,


(70)

kesadaran transitif kritis walaupun pada akhirnya pebelajar juga menguasai indikator-indikator tertentu pada mata pelajaran.

Hal yang kedua adalah komponen materi ajar. Materi ajar memang berisi fakta dan konsep yang sebelumnya telah diketahui kebenarannya. Kebenaran tersebut dalam pembelajaran konvensional disampaikan secara verbalistik oleh guru kepada pebelajar. Tugas guru dalam pendidikan adalah menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan (Rakhmat Hidayat,2013:28). Seakan-seakan ilmu pengetahuan yang ada dalam materi ajar bersifat mutlak dan pasti, sehingga akan mematikan daya kritis pebelajar untuk melakukan penggalian ilmu pengetahuan.

Pedagogi Kritis menolak penyampaian materi ajar yang bersifat kaku seperti yang disampaikan di atas. Pedagogi Kritis mendorong penggalian ilmu pengetahuan dalam materi ajar dengan model-model pembelajaran yang lebih demokratis, seperti model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran berbasis masalah/problem posing, model pembelajaran kooperatif, dan model pembelajaran inquiry/penemuan. Metode pembelajaran yang dipilih dalam pembelajaran Pedagogi Kritis adalah yang bersifat dua arah, seperti dialog. Dialog adalah bentuk perjumpaan di antara sesama manusia dengan perantara dunia dalam rangka menamai dunia (Freire,


(71)

1985:73). Pedagogi Kritis mendorong bentuk-bentuk pembelajaran yang humanis.

b. Tahap pelaksanaan pembelajaran

Tahap pelaksanaan adalah implementasi dari perencaaan yang telah dibuat. Tahap pelaksanaan meliputi tiga bagian, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup. Adapun uraian dari ketiga bagian tersebut menurut Abdul Majid (2013:43) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan pendahuluan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pendahuluan adalah:

a) Guru menyiapkan pebelajar secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

b) Guru berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan akan dipelajari.

c) Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan silabus yang disepakati.

Kegiatan pendahuluan seperti yang telah disampaikan di atas sejalan konsep Pedagogi Kritis yang menempatkan guru


(72)

siap mengikuti kegiatan pembelajaran dengan motivasi-motivasi yang diberikan.

2) Kegiatan inti

Pelaksanaan inti dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang memotivasi pebelajar untuk ber-partisipasi aktif, serta memberikan cukup ruang bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis pebelajar. Rusman (2011:11) menyebutkan bahwa dalam kegiatan inti terdapat 3 hal yang dilakukan, yaitu:

a) Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi yang dilakukan adalah dengan senantiasa melibatkan pebelajar mencari informasi yang luas dalam menentukan topik/tema materi yang akan dipelajari dengan prinsip “alam takambang” jadi guru dan pebelajar belajar dari aneka sumber; guru memfasilitasi interaksi yang akan terjadi antara sesama pebelajar, pebelajar dengan-lingkungan, dan dengan sumber belajar lainnya; melibatkan pebelajar secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; guru memfasilitasi pebelajar melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.


(1)

279

Apakah belajar di Sanggar Anak Alam membuat adik lebih bebas dalam menentukan apa yang akan dipelajari?

Nanda : Di bebasin, tidak terpaku sama buku, nggak kayak sekolah formal baca buku terus ngerjakan soal, nggak gitu. Kita bisa belajar dari mana saja, misal dari ngelakuin sesuatu atau hal-hal lain.

Iris : Kadang iya kadang tidak

Hasil Pengamatan : Dalam pengamatan yang dilakukan peneliti, tidak semua yang dipelajari ditentukan oleh anak-anak. Ada materi-materi yang ditentukan juga oleh fasilitator.

Kesimpulan : Pebelajar di Sanggar Anak Alam belum sepenuhnya bebas menentukan apa yang akan mereka pelajari. Beberapa materi masih ditentukan oleh fasilitator.

Karena pembelajaran Sanggar Anak Alam yang berbeda, apakah terdapat kesulitan yang dialami baik dari fasilitator maupun pebelajar di dalam proses pembelajaran nya?

Bu Sri Wahyaningsih : ...dulu fasilitator kan mendapatkan pelajaran bukan seperti yang ada disini, jadi keinginan untuk mengajar itu kuat. Dan ada rasa tidak percaya terhadap anak-anak untuk belajar, inti nya kepercayaan fasilitator terhadap anak-anak. Itu kadang-kadang ragu-ragu. Saya menyadari bahwa fasilitator juga perlu berproses, maka dari itu yang berproses bukan hanya anak namun fasilitator, dia harus menemukan juga.

Bu Avin : Kalau boleh bilang, yang paling sulit adalah orang tua yang masih sulit bekerja sama. Sementara kita selalu


(2)

280

berkoar-koar bahwa SALAM bukan Cuma fasilitator dan anak. Namun juga kita bertiga, yaitu orang tua, PKBM, dan anak.

Mbak Vian : mungkin karena saya relatif baru, metode-metode unik untuk menghadapi anak yang berbagai macam, memotivasi anak, mungkin juga kendala di awal saat akan membangun motivasi anak.

Kesimpulan : Masih ada kendala-kendala yang dihadapi oleh Sanggar Anak Alam dengan model pembelajaran nya yang berbeda dari sekolah formal.


(3)

281 Lampiran 8. Surat izin penelitian


(4)

(5)

(6)

284