Tipe & Size (, 3213K) edisi butaru5 full

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta
Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami
masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami,
saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun
kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus
menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini
mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan
jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan
bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di
Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari
setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun
ke jalan di Jakarta.
Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara
ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang
menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi.
Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang,
idealnya adalah 4% dari PDB.
Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005.
Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun
yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan.
Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai

2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan
kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun.
Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal
yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang
lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa
didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai
efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan
permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di
Indonesia.
Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia,
khususnya di Jakarta?
Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi
dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah
mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.

Mengapa dikatakan tidak kompetitif?
Karena, akibat kemacetan ini, sejumlah kerugian akan melanda. Salah satunya adalah
kerugian secara ekonomi. Bahkan jika dikalikan setahun, kerugian secara ekonomi bisa
mencapai trilyunan rupiah. Dan, ternyata menurut survey per okober kemarin, kita
menghabiskan 6-8% PDB untuk biaya transport. Ini angka yang besar. Bahkan standart

internasional saja, hanya 4%.
Lalu, bagaimana penyelesaian kemacetan di Jakarta ini?
Kalau bicara tentang menyelesaikan transportasi, harus dipastikan orang yang ada di
dekat Jakarta misalnya Jabodetabek, mengalami kemajuan. Misalnya dalam kurun waktu
5-10 tahun, kecepatan tempuh meningkat dari 13 km/jam menjadi 18 km/jam. Tapi di
Jakarta khususnya, tidak ada progress, dulu macet, sekarang tambah macet. Salah satu
sebabnya adalah arus urbanisasi semakin lama semakin bertambah.
Dan, kecenderungannya adalah, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Mengingat
kendaraan massal kurang memadai maka, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan
pribadi. Inilah salah satu sebab, kemacetan, setiap hari bertambah.
Apa skema yang tepat, untuk mengurai kemacetan ini?
Perjalanan tiap hari di Jakarta mencapai 40 Juta. Dari 40 juta perjalanan, 56%
menggunakan angkutan massal, dan 44% menggunakan kendaraan pribadi. Dimana,
untuk pengguna angkutan missal terbagi menjadi, 3% menggunakan KRL, 3%
menggunakan transjakarta, dan 50% menggunakan bis non transjakarta dan KRL. Jika
hal ini terus dibiarkan, saya khawatir kondisi di Jakarta akan semakin parah, karena
masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Bagaimana dengan wacana tentang MRT?
MRT, kini bukanlah wacana lagi. Namun, penyediaan MRT telah tertuang dalam Perpres
No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Ada dua perspektif

penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi masalah transportasi. Yakni, jangka
pendek terkait mengatasi kemacetan dan jangka panjang adalah pengaturan pemanfaatan
ruang. Pembangunan MRT untuk Jakarta jelas sangat diperlukan demi mengatasi
kemacetan. Pembangunan MRT beserta sistem pendukungnya merupakan solusi yang
harus terus diupayakan. Juga diperlukan master plan untuk mengintegrasikan sistem
busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik sebagai MRT andalan di masa datang.
Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana
transportasi massal atau melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi
sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif.
Apakah MRT ini mampu mengurai kemacetan?
MRT bagian dari solusi transportasi. MRT mampu mengangkut penumpang dari satu
titik asal ke titik tujuan secara cepat, dan dalam jumlah yang besar. Namun, selain MRT

untuk mengatasi kemacetan diperlukan langkah-langkah lain seperti, peningkatan disiplin
lalu lintas, pembatasan volume lalu lintas, mendorong pengguna kendaraan pribadi

beralih ke MRT seperti dengan menyediakan fasilitas park & ride. Dan, yang paling
penting adalah mengintegrasikan sistem MRT dengan sistem angkutan massal lainnya
seperti bus umum, busway, dan kereta Jabodetabek. Sehingga sebelum ada pembatasan
jumlah kendaraan, Pemerintah hendaknya berupaya untuk menyediakan moda

transportasi massal yang andal, layak dan memadai sehingga masyarakatdengan
sendirinya akan lebih tertarik naik angkutan umum ketimbang bawa kendaraan sendiri.
Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan
penggunaan kendaraan pribadi. Sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih
menggunakan transportasi publik.
Sistem MRT Jakarta sendiri dibangun untuk menjawab tantangan mobilitasyang rendah
karena terbatasnya ruang untuk bermobilitas. Kemacetan di jalanraya disebabkan oleh
ketidakseimbangan kapasitas jalan dengan volume kendaraan yang melaluinya.
Keunggulan sistem MRT Jakarta yang andal, tepat waktu, danharga tiketnya terjangkau
memberikan pilihan bagi pengguna kendaraan pribadikhususnya untuk beralih ke MRT.
Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi iniakan meningkatkan ruang gerak di jalan
raya yang berdampak pada berkurangnyatingkat kemacetan serta tingkat polusi
Bagaimana

mekanisme

penyediaan

MRT


yang

baik?

Terkait penyediaan MRT harus terintegrasi dengan penataan ruang. Harus ada
keterkaitan antara penataan ruang dengan sistem transportasi. Oleh karena itu,
diperlukan konsistensi dari pemangku kepentingan mulai tahap penyusunan
hingga implementasinya. Jakarta harus mencontoh negara-negara tetangganya
seperti Singapura dan Thailand yang telah berhasil mengatasi masalah kemacetan
dengan melakukan tindakan tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang

saat ini dalam tahap penyusunan juga harus menyiapkan ruang yang diperlukan
MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti
angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat.
Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel. Rencananya, MRT
akan membentang kurang lebih ±108.7 km , yang terdiri dari Koridor Selatan –
Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ±21,7
km dan Koridor Timur – Barat sepanjang kurang lebih ±87 km.
Pembangunan Koridor Selatan-Utara dari Lebak Bulus – Kampung Bandan dilakukan
dalam 2 tahap.Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus

sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.5 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan
6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.Tahap II akan
melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke Kampung Bandan yang akan mulai
dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi paling lambat
2020.Koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap pre-feasibility study. Koridor ini
ditargetkan paling lambat beroperasi pada 2027.
Apa kelebihan MRT ini?
MRT, adalah jenis angkutan massal yang mahal dalam pengadaannya, salah satunya
untuk biaya infrastruktur. Perhitungan kasarnya, 1 Km akan memakan biaya 1 trilyun.
Sehingga praktis jika ingin membangun MRT sepanjang 12 Km maka, biaya yang harus
dikeluarkan sebesar 12 trilyun sampai 14 trilyun. Dengan jumlah biaya yang demikian,
jika pemaknaan pembangunan MRT ini hanya untuk mengangut orang saja, kurang. Nah,
yang menjadi sisi keunggulan dari MRT ini adalah mampu mengembangkan daerahdaerah sekitar MRT sesuai dengan tata ruang kota. Seperti di negara-negara yang telah
berhasil menggunakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang
berkembang. Ruang-ruang public maupun bisnis, akan sangat tertarik untuk
mengembangkan investasinya di sekitar MRT. Sehingga makin lama, kawasan sekitar
MRT akan berkembang, sehingga biaya operasional MRT yang cukup mahal jika hanya
untuk angkutan missal tersebut, dapat tertututi oleh berkembangnya daerah sekitar MRT.
Selain itu, MRT ini tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga
sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota. Agar

lebih efektif dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Caranya adalah MRT
Jakarta diintergrasikan dengan tata ruang di kawasannya. Integrasi diwujudkan dengan
pembangunan jalan menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum lain yang
memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT.
Pada beberapa lokasi stasiun, dimungkinkan untuk membangun tempat parkir di stasiun
dan trotoar yang memadai untuk mengakses stasiun. Dengan cara ini, warga yang tinggal
atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya. Sementara
warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses
MRT dengan angkutan umum pendukung. Pemilik kendaraan pribadi juga dapat
memarkir kendaraan di dekat stasiun.

Terhubungnya stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan pusat-pusat
aktivitas sosial lainnya akan memberikan manfaat tersendiri bagi pusat-pusat kegiatan
ini.Dengan laju manusia yang lebih baik, pusat perbelanjaan menjadi ramai dan
perkantoranterjamintingkathuniannya.
Lalu, Bagaimana pembiayan MRT ini?
Sekarang sudah ada sumber pembiayaannya. Tercatat, Pendanaan untuk proyek MRT ini
diperoleh pinjaman dari JICA dan jaminan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain,
proyek MRT ini merupakan proyek nasional yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI
Jakarta. Pada Oktober 2005 telah dikeluarkan surat keputusan Menko Perekonomian no.

057/2005 yang menetapkan pembayaran pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh
Pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta dengan komposisi 42% : 58%. Segera setelah
keluarnya SK tersebut, pada tahun2005, juga disepakati struktur proyek dan konsep
pendanaan yang disepakati oleh Bappenas, Departemen Perhubungan, Departemen
Keuangan, Pemerintah Provinsi DKIJakarta dan JICA.
Terkait dengan kota Jakarta yang rawan bencana, terutama banjir, bagaimana
menurut Prof. Danang, tingkat keamanan MRT ini?
Sekarang kan sudah ada teknologinya untuk menyiasatinya. Berdasarkan pengalaman di
negara lain yang rawan gempa seperti di Jepang, begitu juga dengan masalah banjir,
transportasi MRT tetap bisa dijalankan. Persoalan banjir, tanah lembek dan gempa dapat
diatasi dengan rekayasa teknik. Misalnya saja di Hong Kong dan Bangkok, yang rawan
banjir. Rekayasa teknik yang dipergunakan untuk mengatasi banjir antara lain dengan
cara peninggian pintu masuk. Sedangkan untuk tanah lembek dapat diatasi dengan teknik
perbaikan tanah (soil improvement). Selain itu, struktur bangunan yang relatif pendek
pada MRT, membuat pengaruh gempa relatif tidak signifikan dibandingkan dengan
pengaruh
gempa
pada
gedung-gedung
tinggi.

(berbagai
sumber)

WATERFRONT CITY, BANJARMASIN
Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota
Oleh:
Raditya PU *
Kepala Bappeda Banjarmasin

Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk
Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu
Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh
sungai, anak sungai dan bahkan kanal – kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting
bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi
bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas
perdagangannya „terapung‟, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai
dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.

Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai
Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai,

namun kenyataannya Banjarmasin justru
kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah
menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan
Wakil Tentang Sungai, 2010)

Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin
Pasar terapung yang merupakan
cerminan kuatnya kultur kehidupan
perairan masyarakat Banjarmasin saat ini
menjadi salah satu daya tarik pariwisata
khas. (Foto: Paparan Wakil Tentang
Sungai, 2010)

Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam
perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai
Martapura. Di masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang
luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai
timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan
keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama
dengan jukung sebagai „kendaraan‟ utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya,


sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar
sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai
Rumah Lamin. Lebih jauh lagi, penggunaan sungai sebagai jalur transportasi
mempengaruhi orientasi muka bangunan, entrance bangunan menghadap ke sungai yang
merupakan salah satu karakteristik dari waterfront city.

Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city
Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke
sungai. Dengan demikian, kebersihan sungai sebagai halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto:
Foto
3 : Karakteristik Permukiman waterfront
Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai
Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran
sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai
Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya
sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan
Sungai Tatas. Tidak mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik
unik bagi kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari
timur ini.
Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe
rumah panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah
terapung) yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang
aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat
pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai
tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.
Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan
zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya
berjalan secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara
tidak langsung mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk
keperluan pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah
berkompetisi dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan,

tumpuan aktivitas sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan
jukung mulai digantikan oleh mobil dan motor.
Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan
perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini
telah mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat
rusak karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali
menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani
sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota
provinsi ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai
Banjarbaru.
Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi
menjadi „muka depan‟ aktivitas namun justru menjadi „muka belakang‟, permukiman
menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara
tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan „perlakuan‟ terhadap
sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta
aktivitas „belakang‟ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi
tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat.
Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari
permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai
oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai
lahan parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh
kondisi topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang.
Secara geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah
permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain,
pembangunan sektor jasa seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga
tidak diimbangi oleh penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung
berubah menjadi permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat
pula ancaman lain. Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi
Meteorologi ITB memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan
terhadap kenaikan muka air laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada
tahun 2050.

Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur
Foto-foto yang diambil pada tahun 2005 dan 2006 di atas memperlihatkan contoh-

contoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra
Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.
Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada
jamannnya seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme
pembangunan jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas
khas di sepanjang aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota
Banjarmasin yang mampu menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota.
Lantas, apa yang dilakukan pemerintah?
Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal
diam. Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global
mengenai perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin.
Permukiman di sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk
dalam memperlakukan sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah
terjadi semakin banyak sehingga jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi
pemerintahan mewujudkan kota yang harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan
menjadi faktor kunci dalam perkembangan kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal
yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai
dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya mengarah pada perbaikan dan revitalisasi
sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas perkotaan.
Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk
mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per
tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan
dan jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu
pemandangan yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan
struktur kota, khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan
dalam memastikan bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di
samping menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui
pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase
yang pada tahun 2010 mencakup 42 titik.

Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan
citra kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah
memasukkan konsep penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi
jaringan Sungai Barito sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan
Sungai Martapura sebagai jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota
Banjarmasin, serta pemantapan fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai
Kelayan, sebagai jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga
meningkatkan kapasitas pelayanan dan efektivitas kebersihan kota melalui penambahan
personil petugas kebersihan kota menjadi 300 orang serta upaya penghijauan dan
pembangunan sarana persampahan yang lebih memadai, antara lain melalui
pembangunan TPA Basiri.
Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan
mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di
Kawasan Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara
tersebut akan dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini.
Sayembara tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses
tersebut, terdapat sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat
mengenai kepedulian terhadap perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya
mengembalikan fungsi sungai di Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat
yang pernah ditinggalkan. Bahkan, terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk
mengikuti sayembara tersebut, maka diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan
semakin variatif dan adaptif terhadap perkembangan.
Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan
aspek hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan
sebagai ruang terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke
sungai sebagai milik umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah
kawasan perdagangan dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan
ditata secara terintegrasi dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan
dibangun pun disesuaikan secara teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan
material yang ringan. Upaya fisik yang telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau
siring di sepanjang Sungai Martapura, yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari
sekitar 5 km yang direncanakan.
Berhasilkah rencana tersebut?
Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan
bagaimana transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan
drainase wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang
ada dan normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai
menampakkan hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin
melihat kotanya kembali bersih.

Foto 7. Penataan Sungai Miai
Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai
kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai
Miai saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti
Sungai Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto:
Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

Foto 8. Penataan Kawasan Tendean
Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas
memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah
memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan
kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin)
Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam
upaya merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin
ternyata justru sudah menjadi „budaya baru‟ dalam konteks kekinian. Memandang sungai

sebagai „bagian belakang‟ aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut
terlihat melalui banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lamakelamaan sungai seakan dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu
hambatan signifikan dalam penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus
dibarengi dengan perubahan kembali pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai
sebagai bagian penting dalam pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan
citra waterfront bisa dikembalikan kembali.
Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat
realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan
ternyata sudah dikuasai oleh „preman‟ penguasa lahan yang memiliki konsekuensi
terhadap sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut
diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang
bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka
bahkan rela untuk direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat
terikat dengan sungai, kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan
dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya
bukanlah hal yang mustahil.
Pemindahan pusat pemerintahan provinsi
Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan
Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan
wacana lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan
aktivitas pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang
pasang. Di sisi lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman
berbagai penyakit. Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota
Kalimantan Selatan yang baru.
Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan
wilayah di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai
lokasi sebuah ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W.
Van der Peijl bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai
sebuah kota baru (new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya.
Selanjutnya, kota baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga
pada tahun 1997 kota ini ditetapkan sebagai Kotamadya.

Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di
sekitar kantor pemerintahan Provinsi
Gambar di samping memperlihatkan
rencana
pemanfaatan
ruang
Kota
Banjarbaru di sekitar perkantoran provinsi,
yang terdiri atas perumahan dan fasilitas
pendukung, perhotelan, sekolah, hutan
kota, danau buatan dan alun-alun kota.
(Sumber: Distako Banjarbaru, 2010)

Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan
mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini
pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan
mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan
Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan
perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan
perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik
spekulasi lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan
suatu pusat baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi
kepadatan yang dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau.
Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya
telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi
beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang
mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan
Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses
perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis,
sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya
sama-sama menyiratkan optimisme di masa depan.

ALUN-ALUN
Oleh:
Suwardjoko P Warpani
SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota

Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Keraton, Kabupaten) selalu
dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau
dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu
juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan
besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).
Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun
kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang
pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor
kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang
dinamakan “Alun-alun”. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit
yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Ada perbedaan antara Alun-alun Keraton (Istana Raja) dengan Alun-alun Kabupaten
(kediaman Bupati). Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang
istana, sedangkan tempat tinggal resmi Adipati (Kadipaten) hanya memiliki satu alunalun yang terletak hanya di depan istana, seperti Mangkunegaran-Surakarta dan
Pakualaman-Yogyakarta. Begitu juga tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang
hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten. Saat ini dalam pemerintahan,
kabupaten menjadi sebuah daerah otonomi yang dikepalai oleh seorang Bupati, atau
pemerintahan setingkat di bawah propinsi.
Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alunalun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: di samping
sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak
jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi dan sejumlah alun-alun sudah berubah
wajah, namun sebagai elemen kota berupa “ruang terbuka umum”, ruang publik, masih
sangat diperlukan.
Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul
Sejak masa Kerajaan Majapahit alun-alun telah dikenal, namanya pun terabadikan dalam sebuah
riwayat, yakni Alun-alun Bubat. Kota-kota kerajaan kuno (seperti Surakarta dan

Yogyakarta), mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi
terletak di selatan Keraton. Permukaan Alun-alun Keraton tersebut tidak berumput tetapi
berupa hamparan pasir halus (Kisdarjono, 2009), sedangkan Alun-alun Kabupaten

biasanya berumput. Bahkan halaman dalam Keraton berupa pasir halus yang konon
diambil dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti isyarat dalam mitologi Laut Kidul.
Penggunaan hamparan pasir dilakukan atas dasar pertimbangan filosofis. Pada siang hari,
pasir menghadirkan suasana panas namun di malam hari udara semilir sejuk. Hal ini
diibaratkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia ini berpasang-pasangan.
Siang-malam, bahagia-duka, panas-dingin, dan seterusnya (Brongtodiningrat, 1978).
Selain itu, secara teknis dan praktis pun ternyata benar. Busana resmi keraton tanpa alas
kaki (kecuali Raja), dan para sentana dan abdidalem duduk bersila (bila terpaksa di
halaman). Pasir tidak akan mengotori telapak kaki meskipun basah, sehingga paseban
pun tidak kotor. Tak hanya itu, duduk bersila di atas pasir pun tidak akan mengotori kain,
bahkan air hujan pun cepat meresap ke perut bumi.
Di depan bangunan keraton terdapat pintu masuk yang menuju Sitinggil (Pendopo
Keraton), begitu pula di depan bangunan kabupaten terdapat pintu masuk menuju
Pendopo. Pendopo juga dinamakan Paseban, yang berasal dari kata seba (Kisdarjono,
2009). Sementara itu, dari tutur Ki Dalang Wayang, dikenal Paseban Jawi (paseban luar)
yang berfungsi sebagai tempat menunggu bagi para tamu yang hendak menghadap raja,
untuk hal ini tidak terdapat pada kabupaten.
Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid
Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara, dan
sebelah Timur (dahulu) ada kebun binatang. Hal sedikit berbeda terdapat pada Alun-alun
Kabupaten, pasalnya pada sisi sebelah Timur biasanya berdiri bangunan penjara. Konon
letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari
kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah.
Alun-alun di depan masjid biasanya dimanfaatkan untuk shalat Ied pada waktunya.
Kemudian tak jauh dari masjid atau sebelahnya terdapat permukiman yang disebut
Kauman, kampung para santri. Barangkali, karena faktor masjid inilah maka bangunan
keraton di Jawa selalu menghadap Utara-Selatan, demikian pula pendopo kabupaten pada
umumnya menghadap Utara atau Selatan, kecuali Pendopo Kabupaten Kediri yang
menghadap ke Barat.
Disisi lain, jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada
sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat
(di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama
Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian
masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Sebagai lambang kebesaran, Ringin Kurung
hanya ada di Keraton dan Kabupaten, sedangkan Kadipaten (meskipun memiliki
pemerintahan seperti daerah otonom) tidak memilikinya.
Di tempat itu, pada saat paseban rakyat yang ingin seba (menghadap raja), harus duduk
menunggu berjemur di alun-alun (dalam Bahasa Jawa disebut pepe) sampai waktunya
dipanggil jika raja berkenan menerimanya. Rakyat yang pepe adalah rakyat yang akan
menyampaikan keluhannya atau ingin melaporkan sesuatu langsung kepada raja.

Sementara itu, Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau
Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.
Ini hendaknya “dibaca” dari kanopi pohon beringin yang rindang memberi keteduhan
bagi siapapun yang kepanasan terik matahari, sedangkan akar yang tertanam kuat seolaholah menyiratkan kuasa raja yang mengakar pada rakyatnya. Dari sini pula bisa diartikan
lebih dalam makna keberadaan pohon beringin di alun-alun, sedangkan lapangnya
(jembar : Jawa) alun-alun menyiratkan kesan seorang penguasa (Raja, Bupati) yang
berpandangan luas (jembar nalare) sebagaimana konsep kepemimpinan Astabrata.
Perihal Ringin Kurung, juga memiliki makna dalam model busana, gaya tari, dan gaya
bahasa. Terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dengan Yogyakarta. serupa tapi
tak sama. Menurut versi Surakarta, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon
beringin, yakni: Kyai Jayadaru di sebelah Timur dan Kyai Dewadaru di sebelah Barat. Di
samping itu masih terdapat empat pohon beringin jantan, seperti Kyai Jenggot tumbuh di
Baratdaya, dan beringin betina Wok di Timurlaut, sementara itu beringin Gung terdapat
di Tenggara dan beringin Bitur menempati sisi sebelah Baratlaut.
Tak hanya itu, sejumlah beringin lain juga tumbuh rapat di Jalan Gladhag tak lebih
sebagai pohon peneduh (Setiadi, dkk; 2001). Tetapi jika menengok versi Yogyakarta, bila
kita dari Selatan masuk melalui Plengkung Gadhing (Nirbaya) ke komplek keraton, di
pinggir Alun-alun Selatan, tumbuh dua pohon beringin bernama Wok yang berasal dari
kata brewok, sedangkan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun
menggambarkan bagian tubuh yang rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata,
namanya Supit Urang, lambang perempuan, sedangkan pagarnya terdapat ornamen buser
yang melambangkan sifat pemuda-pemudi. Di sisi lain, sebelah Utara terdapat dua pohon
beringin.
Selain pohon beringin yang ditanam dengan landasan filosofi pemerintahan, halaman
Keraton, Kadipaten, dan Kabupaten biasanya juga ditanami pohon yang mengandung
filosofi hubungan antar sesama, yaitu pohon Sawo Kecik (sawo mini), yang konon
mengandung pesan agar manusia hendaknya selalu nandur kabecikan (berbuat kebaikan)
kepada sesama. Bahkan biji buah sawo kecik dijadikan bahan mainan anak-anak masa
itu, anak-anak lelaki menggunakannya untuk diadu kekerasannya sesama teman
(ditumpangkan satu di atas yang lain, lantas diinjak sambil dihentakkan dengan tumit),
sedangkan anak-anak perempuan menggunakannya untuk main dakon (keterampilan
berhitung dan memindahkan biji kecik dari satu cekungan ke cekungan lain pada
semacam nampan kayu). Selain itu rindangnya pohon-pohon sawo kecik di halaman
digunakan sebagai peneduh yang menebar kesejukan. Konon ini pun mengandung pesan
bagi penguasa agar mampu memberi kesejukan kepada kawulanya.
Pada masa lampau, alun-alun dapat dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan (civic
centre), di antaranya sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar
malam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya; bahkan keberadaan pasar menjadi satu
kesatuan lokasi dengan alun-alun. Pasar Kabupaten pada masa lalu, selalu berdekatan
dengan alun-alun (di seberang jalan). Uniknya, pusat kemasyarakatan ini (berlaku bagi

Keraton) justru terletak di belakang Keraton (Surakarta dan Yogyakarta), yakni di AlunAlun Lor (Utara), karena Keraton menghadap ke Selatan. Buktinya, Dalem Ageng Praba
Suyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan.
Ada riwayat yang mengungkapkan: “Kyai Tumenggung Wiraguna dumugi alun-alun
pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sedaya griyanipun Kumpeni”.
Artinya: Kyai Tumenggung Wiraguna, sampai di alun-alun belakang lalu mengukur
masjid besar, benteng serta loji/rumah Kumpeni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak
terletak di Alun-alun Kidul (Setiadi, dkk; 2001).

Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok
tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu. Ciri ini masih dapat ditemui di
Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada Alun-alun Kidul
biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara
berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat;
dipertontonkan keahlian sodoran (pertandingan keterampilan berkuda dan memainkan
tombak). Kira-kira analog dengan “gelar siaga” militer pada masa sekarang lengkap
dengan pasukan kavaleri untuk unjuk kesiagaan (show of force).

Ringin Kurung dan Gapura
Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920 (Dok. Ginong)

Sodoran atau rampogan
diadakan di alun-alun tiap
hari Sabtu atau Senin
(Seton
atau
Senenan).
Rampogan adalah laga
prajurit
beramai-ramai
melawan seekor macan
(harimau); macan dirampog
(Jawa). Di alun-alun pula
biasanya digelar berbagai
upacara maupun keramaian,
seperti upacara Gerebeg, Sekaten, apel prajurit, dan pasar malam. Seperti disebutkan olah
Adrisijanti, peran alun-alun merambah aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan
ekonomi. Menariknya, Kisdarjono (2009) menengarai bahwa di Jawa Barat juga terdapat
alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tetapi alun-alun tersebut tanpa pohon
beringin. Masjid seringkali terdapat di sebelah Barat alun-alun.
Alun-alun Kota Bandung tempo dulu pernah menjadi lapangan sepakbola sebelum pindah
di lapangan Gasibu (di depan Gedong Sate) dan kemudian pindah ke Sidolig. Pada masa
silam, di seberang Alun-alun Kabupaten Cilacap adalah tempat “perantaian”, yaitu
hukuman kepada orang yang dirantai dan dijemur tak jauh dari penjara (di sebelah Timur
alun-alun), juga pernah menjadi lapangan olah raga sejumlah sekolah, dan arena

kampanye pemilu 1955. Ini juga membuktikan bahwa kala itu alun-alun menyandang
aneka guna.
Alun-Alun Sekarang
Kini alun-alun pada umumnya sudah kehilangan atau ditinggalkan masyarakat, apalagi
makna filosofi yang terkandung didalamnya. Banyak alun-alun yang sudah tidak lagi
menampilkan ciri khasnya kecuali letaknya di depan kantor Bupati. Tidak ada lagi Ringin
Kurung atau Ringin Kembar yang tumbuh di kanan kiri akses jalan masuk kantor Bupati.
Dua contoh ekstrim, adalah Alun-alun Kota Blitar dan Alun-alun Kota Bandung.
Dua batang pohon beringin sebagai elemen Alun-alun Kota Blitar dikorbankan demi
pelebaran jalan karena tuntutan perkembangan lalu lintas. Elemen pohon di dalam
kawasan alun-alun diubah, tidak hanya pohon beringin, tetapi ditambah dengan pohon
yang dianggap lebih modern, yakni palem. Pohon baru ini ditanam dalam jumlah yang
cukup banyak sehingga menimbulkan kesan yang lebih menonjol daripada beringinnya
(Gunawan, Myra P; 2009). Tidak tahu apa pertimbangannya, maka sejumlah pohon
beringin di Alun-alun Kota Blitar diganti dengan pohon palem. Tatanan wajah alun-alun
pun sudah berbeda dibandingkan dengan alun-alun tradisional.

Bagian dalam Alun-alun Kota Blitar (2009)
Jalan masuk di antara jajaran pohon palem;
pohon beringin di dalam “kurungan”.
[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Ringin Kurung yang menjadi ciri suatu
alun-alun, nampak kehilangan makna.
Pohon beringin tidak lagi di kanan-kiri
akses masuk Kabupaten, bahkan pagarnya “sangat” tinggi, terkesan seperti kurungan
(sangkar).
Zaman dulu, meskipun pohon beringin dipagari, masyarakat dengan bebas dapat masuk.
Bedanya, pohon beringin tempo dulu dikeramatkan, sedangkan kini hanya dianggap
sebagai tanaman biasa. Citra Alun-alun Kota Blitar seluas ± 20.000 m2 yang dibangun
pada tahun 1875 juga sudah hilang, hanya meninggalkan sebutan Alun-alun saja. Sudah
tidak lagi menjadi satu kesatuan jiwa tak terpisahkan dengan fungsi Kabupaten karena
rancangannya memang tidak berlandaskan filosofi alun-alun, tetapi sudah murni menjadi
salah satu elemen ruang terbuka kota, tempat aktivitas masyarakat.
Keadaan serupa juga dialami oleh Alun-alun Kota Bandung. Karena kehilangan makna
filosofi pohon beringin sudah enggan tumbuh dan memang tidak lagi ditanam karena
hamparannya sudah dilapisi perkerasan dan berubah fungsi. Alun-alun Kota Bandung

bahkan sudah bukan lagi alun-alun, hilangnya Alun-alun Kota Bandung sudah dirasakan
sejak 1984 (Warpani, Suwardjoko; 1984).
Alun-alun Kota Bandung sudah bermetamorfosa menjadi elemen ruang terbuka kota,
menjadi halaman Masjid Agung yang juga berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung.
Tidak ada lagi ciri-ciri sebuah alun-alun. Citra lapangan pun telah lenyap, padahal alunalun ini pernah menjadi lapangan sepak bola. Di bawah alun-alun dijadikan ruang bawah
tanah bagi PKL dan fasilitas umum, namun kurang diminati. PKL tetap bertebaran di
sekitar alun-alun bahkan tak jarang masuk meramaikan isi halaman Mesjid Raya ini.
Kasus Alun-alun Kota Bandung dan Blitar menunjukkan bahwa nasib alun-alun itu
berada di tangan pemangku kepentingan, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pemerintah
Kota.
Karena melupakan filosofi keberadaan sebidang alun-alun serta tergoda oleh suatu
kepentingan, maka yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan lahan. Pameo yang
beredar perihal Alun-alun Kota Bandung adalah: ‘Ganti Walikota, diubah wajah alunalun’, seolah-olah di alun-alunlah potret karya bakti seorang walikota. Ada satu lagi:
Alun-alun Kota Semarang hilang akibat korban dari kepentingan ekonomi.
Alun-alun Kota Bandung tahun 1999
Bukan lagi alun-alun melainkan plasa.

Oleh karena itu, mau atau tidak
mau, pemangku otoritas harus
memiliki
pemahaman
yang
komprehensif.
Keberpihakan
kepada kepentingan yang mana
harus
jelas
dan
konsisten.
Ujungnya, nasib objek peninggalan
budaya
itu
berada
dalam
keputusannya.
Untuk
mengantisipasi proses tarik menarik
kepentingan itu, mau tidak mau,
pemangku
otoritas
harus
mempelajari juga medan kekuatan
kepentingan yang akan terlibat
dalam tarik-menarik itu (Kisdarjono, 2010), tetapi apakah harus melupakan filosofi
keberadaan suatu elemen kota ?
Ruang Terbuka Umum
Ruang terbuka umum sesungguhnya bukan entitas spesifik, melainkan sebuah kategori
yang berisi banyak varian. Terbuka bisa berarti berada dalam ruang terbuka, bukan dalam
gedung tertutup, tetapi bisa juga diartikan sebagai terbuka bagi pengunjung umum, dalam
arti siapa saja bisa masuk. Sebuah pusat perbelanjaan, misalnya, terbuka untuk
pengunjung umum, walaupun ia berbentuk gedung tertutup. Sebaliknya, lapangan golf

berada di udara terbuka, tetapi tidak semua orang bisa masuk, terbatas pada anggota atau
tamu yang harus membayar (Kisdarjono, 2009).

Monumen Mayor Bismo di Alun-alun Kediri
luas ± 1,5 Ha; umur ± 150 tahun
Tak bisa lagi disebut “Alun-alun”
Fungsi saat ini:
RTH, PKL, upacara; sebagian bekas standplat bis
OJC sekarang menjadi pertokoan.
[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Bagian dalam Alun-alun Madiun
Jalan berbelok dan tak ada Ringin Kurung
[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Sebelah timur Alun-alun Madiun;
bukan pohon peneduh, melainkan atap parabola
[Dok. PWK - SAPPK ITB]

Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya
menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang
sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan
waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi
sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak
anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham
berhak melakukan apa saja.
Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alunalun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna
filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya
dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Alun-alun,
sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat

mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai
pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun jongko.
Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-alun sebagai ruang
terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat
peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar,
rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana
pendidikan.
Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan
dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa
dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat
penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “berceritera” tentang
sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala
Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang

terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.

MRT: Angkutan perkotaan masa depan?
Oleh:
Delik Hudalah1) dan Yudistira Pratama2)
1)

Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan,
ITB
2)
Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB

Apakah itu MRT?
MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang
mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi
dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan
menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail.
Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan
biasa dan kendaraan lain karena biasanya
merupakan shuttle bus yang memiliki rute
perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur
khusus, sehingga sering disebut buslane/busway.
Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang
tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan
tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain
yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway
Bogota, kota yang berhasil mengembangkan
sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk
busway
ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus
bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara
berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah
dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia
merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway.
MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya
memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta
api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat
perbedaan karena subway terletak di bawah
tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya
langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di
Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda
angkutan yang sangat populer dan seringkali
London, kota pertama yang
dikenal dengan istilah metro system. Kota
mengembangkan subway
London merupakan kota pertama yang
menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada
tahun 1863.

Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi
jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir
semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT
di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya
menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional
tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail.
Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil
ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang
ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfu