Tipe & Size (, 279K) topik utama edisi 4

Kondisi Geografis Kota-kota Indonesia
Kota-kota di Indonesia memiliki beragam karakter geografis sesuai bentang alam negeri
ini yang mencakup pegunungan hingga pesisir dan kepulauan.Keragaman bentang alam
tersebut menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia dengan alam
sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat yang beragam pula.
Keragaman pola interaksi tersebut melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial, budaya,
ekonomi, dan politik yang beragam pula antar daerah.Dalam perkembangannya, setiap
kota akan menghadapi isu, masalah, maupun kebutuhan yang berbeda-beda dalam
memenuhi tujuan pembangunannya. Dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan di seluruh kota di Indonesia diperlukan suatu pendekatan
pembangunan yang peka terhadap keragaman karakteristik berbagai kota tersebut. Dari
94 kota otonom di Indonesia, 47 di antaranya memiliki karakteristik geografis berupa
kawasan pesisir. Dominasi jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan suatu hal yang
sangat wajar mengingat morfologi NKRI yang berupa kepulauan dengan sekitar 17.480
pulau dan dengan 95.181 Km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Gambaran
keadaan tersebut mencerminkan bahwa diperlukan suatu pendin adalah Kerajaan
Salakanagara di Teluk Lada – Banten (150M), Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan
utama di Sunda Kelapa – Jakarta (400M), Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan utama di
Ligor – Selat Malaka (700M), Kesultanan Tidore (1200M), Kesultanan Ternate (1300M),
Samudera Pasai (1300M), Aceh Darussalam (1600M), Kesultanan Gowa-Tallo di sekitar
Koekatan berwawasan kepesisiran yang komprehensif mencakup dinamika interaksi

berbagai aspek/ sektor dalam kota-kota di kawasan pesisir tersebut.Berikut ini adalah
ilustrasi sebaran kota-kota pesisir di Indonesia.
tentunyaperlumempertimbangkan dinamika interaksi kegiatan maupun masyarakat dalam
kota tersebut. Dinamika interaksi kegiatan dapat didekati dengan memahami proses
pembentukan kota pada kawasan pesisir tersebut. Proses pembentukan kota-kota pesisir
di Indonesia pada umumnya terjadi sejak awal perkembangan kerajaan tradisional di
nusantara. Kegiatan utama berbagai kerajaan tersebut antara lain adalah perdagangan,

jasa, dan pusat pemerintahan (militer). Beberapa kerajaan yang berkembang di kawasan
pesisir antara lain adalah Kerajaan Salakanagara di Teluk Lada – Banten (150M),
Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan utama di Sunda Kelapa – Jakarta (400M),
Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan utama di Ligor – Selat Malaka (700M), Kesultanan
Tidore (1200M), Kesultanan Ternate (1300M), Samudera Pasai (1300M), Aceh
Darussalam (1600M), Kesultanan Gowa-Tallo di sekitar Koekatan berwawasan
kepesisiran yang komprehensif mencakup dinamika interaksi berbagai aspek/ sektor
dalam kota-kota di kawasan pesisir tersebut.Berikut ini adalah ilustrasi sebaran kota-kota
pesisir di Indonesia. ta Makassar (1700M), dan berbagai kerajaan lainnyadi Nusantara
(Tjandrasasmita, 2000). Berikut ini adalah ilustrasi sebaran beberapa kerajaan di kawasan
pesisir Nusantara. ta Makassar (1700M), dan berbagai kerajaan lainnyadi Nusantara
(Tjandrasasmita, 2000). Berikut ini adalah ilustrasi sebaran beberapa kerajaan di kawasan

pesisir Nusantara.

Keterikatan akan budaya masyarakat Indonesia yang dekat dengan kawasan pesisir dan
bukan semata-mata dalam kegiatan primer berupa kegiatan pengumpulan hasil laut,
namun juga mencakup kegiatan tersier berupa kegiatan perdagangan dan jasa seperti
pelayanan kepelabuhanan, pusat transaksi ekonomi lintas wilayah bahkan lintas Negara,
serta sebagai pusat pemerintahan negara. Berdasar kenyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa sejak dulu kawasan pesisir merupakan beranda dari kegiatan masyarakat di
Indonesia yang umumnya menjadi pusat aglomerasi ekonomi kawasan sekitarnya
(hinterland) dalam bentuk pelabuhan sebagai ‘pasar’ atau lokasi transaksi ekonomi

Perkembangan Kota Pesisir di Indonesia

Secara teoritis, perkembangan kota-kota memang memiliki kecenderungan terjadi
sepanjang perairan baik di laut maupun sungai (EPA, 2001 dalam Vollmer, 2009).Pada
proses selanjutnya, kota-kota tersebut beralih menjadi pusat pemerintahan yang berperan
sebagai pusat koleksi-distribusi komoditas dari dan menuju kawasan sekitarnya. Hal ini
menunjukkan kedekatan masyarakat perkotaan Indonesia dengan kawasan pesisir
maupun sektor kelautan. Sebagai wujud konkret kedekatan ini masih dapat kita temukan
artikulasi budaya lokal berbentuk ritual persembahan di kawasan pesisir yang dilakukan

sebagai rasa syukur atas hasil laut yang diperoleh masyarakat setempat seperti upacara
Mappanre Tasi di Pantai Pagatan – Kalimantan Selatan, upacara Nadran di Indramayu –
Jawa Barat, upacara Bakar Tongkang di Bagansiapiapi – Riau, dan upacara Rebo
Buntung di Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat. Perkembangan kegiatan pada kotakota pesisir di masa kini telah mengalami pergeseran dominasi kegiatan usaha yang
terkait dengan kelautan menjadi kegiatan sektor perdagangan dan jasa yang tidak
berorientasi kelautan. Sejak tahun 2004 hingga 2009 jumlah prosentase kegiatan yang
berkaitan secara langsung dengan kelautan di kawasan pesisir seperti sektor angkutan
kepelabuhanan dan perikanan hanya berkisar 3 – 3.5% dari keseluruhan PDRB. Kondisi
ini menggambarkan pergeseran kegiatan utama di kota-kota pesisir Indonesia dari masa
tradisional (awal masa sejarah nusantara) hingga ke masa modern saat ini.Efek samping
dari terjadinya pelepasan kegiatan masyarakat kota pesisir dengan laut ini adalah
terjadinya pergeseran nilai dari pandangan kawasan pesisir sebagai ‘beranda’ menjadi

kawasan pesisir sebagai ‘kawasan belakang’.Pergeseran pandangan tersebut
mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai dan luput dari
perhatian. Terlepas dari terjadinya pemisahan kegiatan masyarakat dengan kelautan
secara langsung,kegiatan ekonomi secara umum di kawasan pesisir secara umum masih
memberikan kontribusi secara signifikan secara nasional.Diperkirakan aktivitas di
kawasan pesisir menyumbang 25 persen n Pendapatan Domestik Bruto dan menyerap 15
persen tenaga kerja secara nasional MoE dalam Tumiwa, 2010).Berdasarkan proyeksi

kenaikan permukaan air laut setinggi 1,1 meter pada tahun 2100 akan mengakibatkan
hilangnya 90.260 Km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian ekonomi sebesar US$
25,56 Miliyar (Susandi dalam Tumiwa, 2010). Seiring dengan perubahan zaman terjadi
pergeseran antara keterkaitan kota pesisir tersebut dengan peranannya sebagai pelabuhan.

Pergeseran tersebut telah terjadi pada 3 (tiga) komponen keterkaitan kota dengan
pelabuhan (Basset dan Hoare, 1996) sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah.
Pertama, Pelabuhan dengan kota pesisir tidak lagi menjadi sinergi sebagaimana
diilustrasikan pada gambar 3 di atas. Kedua, hubungan kausalitas antara pertumbuhan
intensitas kegiatan pelabuhan sebagai pendorong pertumbuhan kota sudah tidak relevan
karena pertumbuhan kota saat ini terjadi dari proses urbanisasi kota berorientasi kualitas
lingkungan kota pesisir (waterfront city). Ketiga, kota pesisir sebagai pusat produksi
barang dan jasa telah bergeser menjadi kota sebagai pusat konsumsi. Perubahan dinamika
interaksi sektor dalam ruang pada masa awal pembentukan kota-kota kerajaan di masa
lalu dengan perkembangan kota saat ini telah mengalami suatu pergeseran yang cukup
jauh pada saat ini, namun demikian pergeseran yang terjadi saat ini tidak serta merta
menjadikan kita sama sekali meninggalkan proses maupun sejarah pembentukan kotakota Nusantara di masa lalu karena saratnya nilai budaya yang terkandung pada proses
pembentukan kota di masa lalu merupakan suatu aset yang hanya dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Berdasar pemikiran di atas, perlu dilakukan pembenahan orientasi penataan kota- kota di

kawasan pesisir dari penataan berbasis ekonomi (pelabuhan) menjadi berbasis kualitas
lingkungan pesisir kota. Proses penataan kota-kota pada kawasan pesisir dapat dilakukan
melalui rehabilitasi kawasan sebagai upaya revitalisasi peran kota-kota tersebut sebagai
beranda depan dari keseluruhan wilayah. Terdapat beberapa tantangan yang perlu
diantisipasi dalam mewujudkan hal tersebut. Beberapa aspek yang berkompetisi pada
kota-kota kawasan pesisir tersebut, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek
lingkungan.Pada umumnya, pemenang dari persaingan ini adalah faktor ekonomi sebagai
aspek yang mudah dikuantifikasi dan dirasakan keuntungannya dalam waktu
dekat.Dalam mengantisipasi hal ini, partisipasi publik dari masyarakat kota-kota pesisir
menjadi penting.
Pemahaman pemangku kepentingan (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam
memahami urgensi rehabilitasi kawasan berikut kemanfaatannya akan meningkatkan
kesediaannya untuk memberi kesempatan pelaksanaan proses rehabilitasi bahkan dapat
mendorong kesediaannya untuk berpartisipasi mengeluarkan sumberdaya dalam proses
rehabilitasi tersebut (Loomis, 2000 dalam Vollmer, 2009). Partisipasi komunitas dalam
kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
ditawar (Findlay dan Taylor, 2006 dalam Vollmer 2009).Hal tersebut penting mengingat
sangat mungkin terjadinya proses relokasi berbagai kegiatan di kawasan pesisir tersebut
yang membutuhkan kerjasama dan kesediaan dari masyarakat setempat. Dalam
mengantisipasi hal ini, terdapat salah satu insentif yang dapat ditawarkan kepada

masyarakat yaitu peluang peningkatan nilai ekonomi lahan pasca rehabilitasi yang dapat
diperoleh masyarakat karena peningkatan peluang investasi sebagai dampak dari
peningkatan kualitas kawasan pesisir secara keseluruhan (Vollmer 2009)

Pertimbangan dalam Menata Pembangunan Kawasan Pesisir
dalam implementasi rehabilitasi
kota-kota pesisir berbasis kualitas
lingkungan, terdapat beberapa
aspek dalam penataan kota-kota
pesisir yang akan mengalami
dampak positif yang perlu dibahas.
Pertama, aspek keamanan dari
bencana. Dari 41 kota pesisir di
Indonesia terdapat32 kota yang
rawan terhadap banjir, terdapat 29
kota yang rawan terhadap tsunami,
dan terdapat 15 kota yang rawan
terhadap
gelombang
pasang

(BNPB, 2010). Berdasar kondisi
tersebut dalam proses rehabilitasi
kota pesisir perlu dibangun pemahaman, penataan ruang, dan pembangunan infrastruktur
yang sensitif terhadap kerawanan bencana tersebut. Hal ini merupakan amanat yang telah
ditetapkan dalam Pasal 6 dan 28 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan dalam
Pasal 35 dan Pasal 51 PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kedua,
Aspek kenyamanan dalam ruang kota. Tuntutan kenyamanan pada beberapa kelompok
masyarakat muncul pada komponen perumahan, komponen rekreasi, kebudayaan,
dankawasan pusaka (Bassett dan Hoare, 1996).
Tuntutan kenyamanan tersebut tidak semata-mata
terbatas pada fasilitas unit rumah sendiri, namun
mencakup pula kualitas lingkungan yang terdiri
atas kualitas visual (pemandangan), kualitas sosial
lingkungan perumahan (keeratan komunitas), dan
berbagai unsur asbtrak lainnya. Pemenuhan hal ini
dapat dilakukan dengan penataan kawasan pesisir kota sehingga dapat mengakomodasi
kebutuhan rekreasi warga melalui penyediaan RTH maupun RTNH serta alokasi kegiatan
pelayanan/jasa di kawasan pesisir yang mendukung fungsi rekreasi tersebut. Tuntutan
identitas kebudayaan dan kawasan pusaka pada suatu kota pesisir merupakan suatu
komponen yang perlu dipenuhi. Masyarakat membutuhkan suatu keterikatan budaya yang

menjadi tata nilai yang berlaku dalam lingkup komunitasnya. Pemugaran/revitalisasi
kawasan pusaka melalui penyediaan prasarana dan sarana penunjang kawasan tersebut
akan membantu menumbuhkan keterikatan emosional warga dengan kota dan tata nilai
budayanya. Ketiga, aspek produktivitas kota pesisir yang dipenuhi dengan adanya
lapangan kerja. Berbagai tuntutan masyarakat tersebut di atas akan membuka lapangan
kerja pada berbagai sektor dari bidang konstruksi hingga sektor perdagangan dan jasa.
Efektivitas penyerapan tenaga kerja ini perlu diimbangi dengan adanya pengembangan
kapasitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan yang mengemuka di atas.Atas dasar
hal inilah maka partisipasi masyarakat menjadi vital dalam segenal proses penataan kota
pesisir dari perencanaan hingga penerapan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya.

Keempat, aspek kualitas lingkungan hidup.Demi menjamin keberlanjutan kota pesisir
perlu dibangun suatu kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Proses ini dapat dilakukan dengan penyediaan prasarana dan sarana
pengendali pembangunan hingga penegakkan sanksi bagi setiap pelanggaran penataan
ruang yang mengancam kelestarian lingkungan hidup. Kunci utama dari terbangunnya
pemahaman dan dan tanggung jawab masyarakat dalam memelihara berkelanjutannya
lingkungan kota pesisir adalah dengan suatu proses pendidikan yang rutin dan intensif
dengan memberdayakan kolompok swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan
semangat yang baik dalam mewujudkan hal ini. Aspek terakhir adalah ketahanan

terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim yang mencakup ancaman angin
siklon, kenaikan muka air laut, bajir, dan kekeringan perlu diantisipasi melalui
pendekatan struktur maupun non- struktur dalam pengembangan perkotaan. Pendekatan
struktur antara lain mencakup pembangunan prasarana dan sarana penahan gelombang
laut, pengolahan air, waduk bendungan dan sebagainya. Sementara upaya non-struktur
mencakup di antaranya penataan ruang melalui pengaturan zonasi pesisir, pengalokasian
kegiatan berdasar tingkat risiko bencana, penghutanan pantai dengan bakau, penghutanan
kawasan resapan air, serta pembentukan perilaku masyarakat yang ramah lingkungan dan
adaptif terhadap perubahan iklim
Penataan
Ruang
sebagai
Basis
Pengembangan
Infrastruktur
Kawasan
Pesisir yang Berkelanjutan
Berdasar berbagai pertimbangan di atas,
pendekatan dalam penyediaan infrastruktur pada
kawasan pesisir harus didasari konsep penataan

ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan. Hal
ini mutlak karena “kualitas kehidupan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang
baik tidak akan bertahan dalam lingkungan yang
secara ekologis menurun” (Royal Commission
on The Future of Toronto`s Waterfront dalam
Laidley, 2005). Penempatan kualitas ekologis
pada prioritas utama dalam pembangunan
menuntut pergeseran pandangan dari perlunya
pembangunan mega-infrastructuredi kawasan
pesisir menjadi penyediaan infrastruktur ramah
lingkungan sesuai karakteristik ekologisnya.
Pengembangan infrastruktur berkelanjutan
berarti perlunya mengedepankan keseimbangan
dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosialbudaya, dan ekonomi (Madiasworo, 2011).
Pemenuhan ketiga prinsip tersebut dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan
dilakukan dengan membangun kegiatan pada beberapa lokasi di jalur sekitar kawasan
pesisir yang memiliki kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota sehingga kawasan
pesisir ini dapat kembali menjadi ‘beranda’ bagi kota di pesisir yang menawarkan nilai


estetis kawasan pesisir (Bischof, 2007). Dalam mewujudkan rancangan tersebut dapat
dilakukan melalui pembangunan jalur pejalan kaki di sepanjang pesisir serta
pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau (RTNH) pada
berbagai lokasi pada sekitar pantai. Penyediaan RTH dapat memenuhi ketiga aspek
berkelanjutan di atas melalui fungsinya pada dimensi ekologis, sosial, bahkan ekonomi.
Selain pembangunan ruang terbuka perlu dibangun pula berbagai infrastruktur
permukiman lainnya sebagai penunjang kegiatan masyarakat seperti penyediaan energi,
pengelolaan sampah, penyediaan air, dan transportasi (Gaffney dkk, 2007). Penyediaan
energi pada kawasan pesisir perlu mulai dilakukan dengan mempertimbangkan sumber
daya yang melimpah di kawasan pesisir tersebut seperti penggunaan panel surya dan
tenaga angin.
Pengelolaan sampah pada kawasan pesisir perlu dilakukan secara seksama dengan
menjaga sebaik mungkin agar rembesan cairan di TPA tidak mencapai laut sehingga
perlu dillakukan penempatan dan penentuan sistem TPA yang baik secara ekologis.
Pengelolaan air minum di kawasan pesisir perlu dilakukan dengan menampung
semaksimal mungkin limpasan (run-off ) air hujan yang digunakan sebagai pasokan bagi
pengolahan air minum dan sedapat mungkin membatasi penggunaan air tanah.
Pengelolaan transportasi pada kawasan pesisir harus dilakukan dengan berorientasi
transportasi masal. Penyediaan transportasi masal di kawasan pesisir perlu dilakukan
terintegrasi antara sarana darat dan laut. Perlu dibangun sarana sistem penyeberangan laut
seperti kapal cepat maupun feri yang terintegrasi dengan bus umum melalui penyediaan
terminal antar moda terpadu (interchange).
REFERENSI
1. Norcliffe, Glen, Keith Basset, Tony Hoare (1996). The emergence of
postmodernism on the urban waterfront. Great Britain: Pergamon.
2. Vollmer, Derek (2009). Urban waterfront rehabilitation: can it contribute to
environmental improvements in the developing world?. Washington DC: IOP
Publishing.
3. Laidley, Jennefer (2005). Constructing a Foundation for Change: The Ecosystem
Approach and The Global Imperative on Toronto`s Central Waterfront. Ontario:
York University.
4. Madiasworo, Taufan (2011). Penataan Ruang Sebagai Basis Pengembangan
InfrastrukturPerkotaan Berkelanjutan. Jakarta: KIPRAH