Tipe & Size (, 311K) topik lain edisi 4

Memasuk dekade kedua abad 21, kota-kota indonesia
mengalami berbagai persoalan yang berujung pada
menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Permasalahan
lingkungan, sosial, kependudukan, infrastruktur, lapangan
kerja, dan lain sebagainya merupakan isu perkotaan yang
seringkali bermunculan di ruang publik, baik dalam bentuk
media ataupun diseminasi publik. Selain-selain persoalan
yang bersifat fisik, kota-kota indonesia juga menghadapai
persoalan tata kelola manajemen perkotaan yang tidak
efisien. Banyak kota mengalami permasalahan tidak
memadainya kualitas tata kelola kawasan perkotaaan yang disebabkan oleh minimnya
kapasitas kelembagaan dan SDM pengelola kota di indonesia. Dalam rangka turut
mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang nyaman. Ikatan ahli perencanaan sebagai
organisasi profesi di bidang perencanaan wilayah dan kota melaksanakan survey Most
Livable City Index (MLCI) yang telah diselenggarakan pada tahun 2009 dan 2011.
Indeks ini merupakan “Snapshot” yang Simple dan Aktual mengenai persepsi warga kota
yang menunjukan tingkat kenyamanan sebuah kota berdasarkan persepsi warga yang
hidup sehari-hari di kota tersebut. Data diperoleh melalui survey primer yang dilakukan
kepada masing-masing warga kota. Survey Yang telah dilaksanakan selama dua tahun
terakhir baru terbatas kepada ibukota dari 15 provinsi di indonesia. Ke depan, IAP
memiliki keinginan besar untuk menambah jumlah kota yang disurvey, yang mencakup

beberapa kota menengah. Hal ini dimaksudkan untuk memotret lebih luas dari
karakteristik kota indonesia.
MLCI tahun 2011: menghadapi tantangan dekade kedua abad 21
Pembahasan mengenai peningkatan kualitas kawasan perkotaan sangatlah relevan dewasa
ini, karena sejak tahun 2008, jumlah penduduk perkotaan secara global sudah lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di kawasan pedesaan. Dekade kedua abad
21 merupakan awal dari sebuah abad baru, abad perkotaan. Dekade kedua dari abad 21
juga merupakan tonggak 1 dekade pelaksanaan desentralisasi mulai dilaksanakan secara

penuh di indonesia melalui efektifnya UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dilaksanakannya desenaliasi secara langsung maupun tidak langsung mengubah tata
kelola pembangunan kota yang awalanya top down, sentralistik, growth oriented akhirnya
bertransformasi menjadi, people minded, transparan, demokratis dan consenssus oriented.
Trend positif pembangunan kota ini diharapkan pada akhirnya berkontribusi besar pada
usaha sebuah kota untuk menjadi kompetitif dan layak huni. MLCI tahun 2011 berupaya
untuk dapat memotret persepsi warga kota memasuki dekade kedua abad 21 ini.
Diharapkan melalui upaya memotret kondisi pembangunan kota, IAP mampu
memberikan gambaran permasalahan-permasalahan strategis yang dihadapi masingmasing kota dari kacamata warganya serta mengusulkan rekomendasi dan solusi praktis
yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kuaitas hidup perkotaan. Survei persepsi
ini dilakukan terhadap 26 indikator yang dikelompokkan kedalam 9 kriteria utama :

i. Aspek Tata Ruang (Tata Kota, RTH);
ii. Aspek Lingkungan (Kebersihan, Polusi);
iii .Aspek Transportasi (Jalan, Angkutan);
iv. Aspek Fasilitas Kesehatan;
v. Aspek Fasilitas Pendidikan;
vi. Aspek Infrastruktur – Utilitas (Listrik, Air, Telekomunikasi);
vii Aspek Ekonomi (Lapangan Kerja, Lokasi Kerja;
viii Aspek Keamanan; dan
ix.

Aspek Sosial (Kebudayaan, Interaksi Warga).

Hasil Survei MLCI 2011
Berdasarkan survey yang dilakukan di 15 kota
besar, diketahui bahwa nilai rata-rata (mean)
indeks kenyamanan kota adalah 54,26. Indeks
dengan persepsi tingkat kenyamanan tertinggi di
Kota Yogyakarta (66,52) dan Kota Denpasar
(63.63). Sedangkan dan persepsi kenyamanan
warga yang paling rendah adalah Kota Medan

(46,67) dan Kota Pontianak (46.92). Kota – kota
dengan indeks diatas rata– rata adalah :
Yogyakarta, Denpasar, Makassar, Menado,
Surabaya dan Semarang. Sedangkan kota – kota
dengan indeks dibawah rata-rata adalah Banjarmasin, Batam, Jayapura, Bandung,
Palembang, Palangkaraya, Jakarta, Pontianak dan Medan. Beberapa temuan yang cukup
menarik dari MLCI 2011, diantaranya adalah :

1.

Ko
ta

Paling Nyaman
Kota dengan persepsi warga paling nyaman adalah Kota Yogyakarta dengan indeks
66,52%. Hampir pada semua kriteria, persepsi warga Kota Yogyakarta selalu diatas 30
%, kecuali untuk kriteria ketersediaan lapangan kerja (29%). Kota lainnya yang dianggap
cukup nyaman oleh warganya adalah Kota Denpasar dengan indeks 63.63. Sebagai kota
pariwisata, Denpasar dirasakan cukup nyaman oleh warganya kecuali untuk variabel
tingkat pencemaran lingkungan, dimana warga kota merasakan adanya pencemaran

lingkungan yang cukup tinggi.
2. Kota Paling Tidak Nyaman
Kota Medan dan Kota Pontianak memiliki persepsi kenyamanan warga yang rendah
hampir pada semua kriteria. Kota Medan dipersepsikan warganya memiliki kondisi tata
kota dan kualitas lingkungan yang buruk, kualitas pedestrian yang buruk, perlindungan
bangunan bersejarah yang buruk dan tingginya tingkat kriminalitas kota. Kota Pontianak
dipersepsikan warganya memiliki tata kota yang buruk, biaya hidup yang tinggi,
kesempatan kerja yang rendah, kualitas air bersih yang kurang. Dari aspek fisik dapat
dilihat bahwa Kota Pontianak memiliki lahan gambut yang sangat luas, hal ini berdampak
pada keterbatasan areal pengembangan kota, limitasi bagi pengembangan infrastruktur
dan ketersediaan air bersih.

3.

Kriteria Penataan Kota

Untuk Kriteria Penataan Kota, Kota Palangkaraya memiliki angka prosentase tertinggi
dipersepsikan oleh warganya memiliki penataan kota yang baik, yaitu sebanyak 60 %.
Kota Palangkaraya meskipun masih jauh dari ukuran ideal, namun memiliki kondisi
penataan kota yang cukup baik. Akomodasi ruang Kota Palangkaraya terhadap

pertumbuhan penduduk dinilai masih memadai. Hal yang sebaliknya terjadi dengan Kota
Bandung dan Kota Medan. Kota dengan persepsi terendah untuk aspek tata kota adalah
Kota Bandung dimana hanya 3 % responden warga Kota Bandung dan 5% warga Kota
Medan yang menganggap kualitas penataan kotanya baik. Angka 3 % ini merupakan
angka terendah dari semua kriteria di semua kota, dan itu ada di Kota Bandung. Pada
dasarnya, kepentingan umum seperti perasaan keteraturan, kenyamanan dan keamanan
dapat terwujud dengan penataan yang terarah, teratur dan berkualitas. Sehingga dengan
demikian kriteria penataan kota ini berdampak besar terhadap aspek kehidupan perkotaan
lainnya.
4. Aspek Penentu Kenyamanan Kota
Dari hasil survey juga diketahui beberapa kriteria yang dianggap oleh warga kota sebagai
aspek utama penentu tingkat kenyamanan kota, yaitu :
1. Aspek ekonomi (27,97%)
2. Aspek tata ruang (19,66%)
3. Aspek fasilitas pendidikan (13,29%)
4. Aspek keamanan (11,08%)
5. Aspek kebersihan (10,80%)
MLCI 2011 : Masukan dalam Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan
Perkotaan
Sesuai harapannya dalam menyusun MLCI, maka IAP berharap indeks ini dapat menjadi

salah satu informasi positif bagi para pelaksana pembangunan perkotaan baik di tingkat
daerah ataupun Pusat. Pada dasarnya kenyamanan hidup berkota adalah hak setiap warga
kota, maka pemerintah kota sebagai pihak yang diberi mandate oleh warga harus
berusaha untuk merencanakan, membangun dan mengendalikan kawasan perkotaan demi
terciptanya lingkungan perkotaan yang nyaman untuk dihuni. Begitupun pihak warga
harus paham, mengerti dan menjalankan kewajiban sebagai warga kota yang baik, tidak
sekedar menjadi masyarakat kota saja tetapi benar-benar menjadi warga kota (citizen)
yang turut mewujudkan kenyamanan kota. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka
sudah selayaknya Pemerintah dan masyarakat berpadu dan bekerjasama dalam
mewujudkan sebuah kota yang layak huni. Tanpa ada kolaborasi positif antar pihak,
maka cita-cita akan sebuah kota yang layak huni tidak pernah akan terwujud dan menjadi
jargon abadi Pemerintah tanpa pernah terlaksana.