KADAR SERUM MALONDIALDEHID PADA PERSALINAN PRETERM LEBIH TINGGI DARIPADA KEHAMILAN PRETERM.

(1)

i TESIS

KADAR SERUM MALONDIALDEHID PADA

PERSALINAN PRETERM LEBIH TINGGI

DARIPADA KEHAMILAN PRETERM

MADE DEWI ANGGRAENI PANDE NIM 1014038207

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii TESIS

KADAR SERUM MALONDIALDEHID PADA

PERSALINAN PRETERM LEBIH TINGGI

DARIPADA KEHAMILAN PRETERM

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

MADE DEWI ANGGRAENI PANDE NIM 1014038207

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 23 NOVEMBER 2015

Mengetahui

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, SpOG(K) NIP. 19431015 197008 1 001

Pembimbing II,

dr. I Made Darmayasa, SpOG(K) NIP.19650710 199703 1 001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK NIP. 19580521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP.19590215 198510 2 001


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 23 November 2015

Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana No. No.: 3236/UN14.4/HK/2015 ,Tanggal 1 Oktober 2015

Panitia Penguji Tesis adalah:

Ketua : Prof. DR. dr. I Gede Putu Surya, SpOG (K).

Anggota :

1. dr. I Made Darmayasa, SpOG (K).

2. Prof. DR. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd., FAACS. 3. Prof. DR. dr. N Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D


(5)

v

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN

PERGURUAN TINGGI

UNIVERSITAS UDAYANA

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

Alamat: Sekretariat Pascasarjana Universitas Udayana. - Jl. Panglima Sudirman Denpasar Bali Telepon/Fax : (0361) 223797/(0361)246656

Laman : www.pps.unud.ac.id

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Made Dewi Anggraeni Pande

NIM : 1014038207

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine- Degree)

Judul : Kadar Serum Malondialdehid Pada Persalinan Preterm Lebih Tinggi daripada Kehamilan Preterm

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang - undang yang berlaku.

Denpasar, 23 November 2015 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan untuk melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Ilmu Biomedik-Combined Degree Program Pascasarjana Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar.

Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah kami mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis I-Combined Degree Obstetri dan Ginekologi. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I-Combined Degree Obstetri dan Ginekologi. Ketua Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar, dr. Tjokorda Gde Agung Suwardewa, Sp.OG (K), atas segala dorongan dan bimbingan selama kami mengikuti pendidikan spesialis. Direktur Pasca Sarjana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang diberikan kepada kami mengikuti pendidikan Ilmu Biomedik-Combine Degree. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik-Combine Degree, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK atas segala dorongan dan bimbingan selama kami mengikuti pendidikan Ilmu Biomedik-Combine Degree. Direktur Utama Rumah Sakit Sanglah Denpasar, dr.Anak Ayu Saraswati, M.Kes, atas segala fasilitas yang diberikan selama kami mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I-Combined Degree Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Ketua Program Studi PPDS I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG (K) atas segala bimbingan dan perhatiannya selama kami mengikuti pendidikan spesialis dan penyelesaian tesis ini. Para pembimbing, Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp.OG (K) dan dr. I Made Darmayasa, Sp.OG (K), atas segala bimbingannya mulai dari persiapan, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian tesis ini. Serta kepada Drs. Ketut Tunas, Msi selaku pembimbing statistik. Para penguji, Prof. Dr. dr Wimpie I


(7)

vii

Pangkahila, SpAnd.FAACS, Prof. DR. dr. N Tigeh Suryadhi, MPHPh.D dan DR. dr. Ida Sri Iswari MK, MKes, atas segala kesempatannya menguji dan membimbing mulai dari persiapan, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian tesis ini. Seluruh Staf Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar atas segala pengetahuan dan bimbingan yang diberikan dalam menunjang penyelesaian tesis ini. Rekan-rekan sejawat dokter PPDS I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas segala bantuan dan kerjasamanya sehingga pelaksanaan penelitian berjalan lancar dan tesis ini dapat diselesaikan. Para bidan dan medis di lingkungan Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RS Sanglah Denpasar atas segala dukungan dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Terima kasih yang mendalam kepada orangtua yaitu Pande Ketut Suniarta dan Elyzabeth Rihit, serta suami tercinta dr. I Putu Gede Dharmawan yang selalu memberi dukungan moril maupun materiil selama masa pendidikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah kepada semua pihak yang dengan ikhlas membantu terselesainya tesis ini.


(8)

viii ABSTRAK

KADAR SERUM MALONDIALDEHID PADA PERSALINAN PRETERM LEBIH TINGGI DARIPADA KEHAMILAN PRETERM

Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di bidang obstetri dan perinatologi. Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnya. Mekanisme yang mendasari persalinan preterm belum diketahui dengan pasti. Kontraksi otot polos miometrium pada persalinan preterm juga dapat dipicu oleh ketidakseimbangan Reactive Oxygen Species (ROS) dengan antioksidan dalam tubuh. Sejumlah besar ROS yang terbentuk akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksidasi lipid.

Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kadar Malondialdehyde (MDA) pada persalinan preterm lebih tinggi daripada kehamilan preterm. Metode penelitian ini adalah studi cross sectional

analitik di Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan ruang bersalin IRD Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar yang dilakukan mulai Juni 2014 sampai dengan bulan Januari 2015 dengan sampel sebanyak 12 sampel yang diambil secara berurutan (consecutive sampling) yang kemudian didapatkan 6 sampel kehamilan preterm dan 6 sampel persalinan preterm. Analisis data dilakukan dengan uji t-independent dengan bantuan SPSS for windows 17.0 version untuk mengetahui nilai p (signifikansi). Hasil uji t-independent menunjukkan terdapat perbedaan kadar MDA antara persalinan preterm dengan kehamilan preterm secara bermakna dengan nilai p 0,004 (p<0,05). Sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar serum

Malondialdehyde (MDA) maternal pada persalinan preterm lebih tinggi dari kehamilan preterm.


(9)

ix ABSTRACT

LEVELS OF SERUM MALONDIALDEHYDE IN PRETERM LABOR WAS HIGHER THAN THAT OF PRETERM PREGNANCY

Preterm labor still become a serious health problem ini obstetric and perinatology. Infants that born preterm often have health problems associated with immaturity of organ system. Mechanism that underlying cause of preterm delivery hasn’t been certainly known. Myometrium contraction can be triggered by imbalance condition between Reactive Oxygen Species (ROS) and antioxidant. Hence, a large number of ROS is formed which in turn will damage the cell membrane that contains unsaturated fatty acids into the lipid peroxidation. Malondialdehyde (MDA) is a compound dialdehydes which is the end product of lipid peroxidation in the body. The study was aimed at proving that Malondialdehyde (MDA) levels in preterm labor was higher than that of preterm pregnancy. This study method an analytical cross sectional that conducted in antenatal clinic and delivery room of Sanglah hospital Denpasar, which was performed from June 2014 to January 2015 with total samples 12, consisting each of 6 preterm pregnancy samples and 6 preterm labor samples. An analysis was conducted with t-independent test using SPSS for windows 17.0 version to determine the p-value (significance). Analysis result proved that serum level of Malondialdehyde (MDA) was significantly higher in preterm labor than that of preterm pregnancy. Conclusion of this study was that maternal serum level of Malondialdehyde (MDA) in preterm labor was higher than that of preterm pregnancy.


(10)

x DAFTAR ISI

Hal

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat akademis ... 6

1.4.2 Manfaat praktis ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Persalinan Preterm ... 8

2.1.1 Definisi persalinan preterm ... 8

2.1.2 Insiden persalinan preterm ... 9

2.1.3 Klasifikasi persalinan preterm ... 9

2.1.4 Faktor risiko persalinan preterm ... 11

2.1.5 Dampak persalinan preterm ... 13

2.1.6 Mekanisme terjadinya persalinan preterm ... 14

2.2 Radikal Bebas, Oksidan, dan Reaktif Oksigen Spesies (ROS) 20 2.2.1 Radikal bebas dan oksidan ... 20


(11)

xi

2.2.2 Reaktif oksigen spesies (ROS) ... 21

2.3 Antioksidan ... 28

2.4 Peran Stres Oksidatif Terhadap Persalinan Preterm ... 31

2.5 Peroksidasi Lipid ... 34

2.5.1 Pembentukan peroksidasi lipid ... 34

2.5.2 Peran peroksidasi lipid terhadap persalinan preterm . 39 2.5.3 Malondialdehid (MDA) ... 42

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir... 46

3.2 Konsep Penelitian ... 48

3.3 Hipotesis Penelitian ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

4.2.1 Tempat penelitian ... 51

4.2.2 Waktu penelitian ... 51

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 51

4.3.1 Populasi target ... 51

4.3.2 Populasi terjangkau ... 51

4.3.3 Sampel penelitian ... 52

4.3.4 Teknik pengambilan sampel ... 53

4.3.5 Perhitungan besarnya sampel penelitian ... 53

4.4 Variabel Penelitian ... 54

4.4.1 Identifikasi variabel ... 54

4.4.2 Klasifikasi variabel ... 54

4.4.3 Definisi operasional variabel ... 55

4.5 Bahan dan Alat Penelitian ... 58

4.5.1 Bahan penelitian ... 58

4.5.2 Alat penelitian ... 59


(12)

xii

4.6.1 Prosedur penelitian ... 58

4.6.2 Alur penelitian ... 61

4.7 Analisis Data ... 62

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Normalitas Data ... 63

5.2 Uji Homogenitas Data ... 64

5.3 Distribusi Karakteristik Umur, Umur Kehamilan, dan Paritas pada Kelompok Persalinan Preterm dan Kehamilan Preterm ... 64

5.4 Perbedaan Kadar MDA antara Persalinan Preterm dengan Kehamilan Preterm... 65

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian... 67

6.2 Perbedaan Kadar MDA antara Persalinan Preterm dengan Kehamilan Preterm... 67

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 72

7.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 76

Lampiran 1 Ethical Clearance ……… 76

Lampiran 2 Ijin Penelitian ... 77

Lampiran 3 Informasi Pasien ……….. .. 78

Lampiran 4 Informed Consent ……… ... 80

Lampiran 5 Kuesioner Penelitian ………... 81

Lampiran 6 Anggaran Dana Penelitian ………... 83


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya ... 19

Gambar 2.2 Kerusakan akibat reaktif oksigen spesies ... 27

Gambar 2.3 Mekanisme relaksasi dan kontraksi pada jaringan miometrium 34 Gambar 2.4 Tahapan autooksidasi lipid ... 36

Gambar 2.5 Produk peroksidasi lipid ... 38

Gambar 2.6 Gambaran kerusakan sel karena ROS ... 40

Gambar 2.7 Struktur malondialdehyde ... 42

Gambar 3.1 Konsep penelitian ... 48

Gambar 4.1 Rancangan penelitian ... 50


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Non Radikal Oksigen ... 23 Tabel 4.1 Tabel Analisis Deskriptif ... 62 Tabel 4.2 Tabel Uji Hipotesis ... 62 Tabel 5.1 Uji Normalitas Umur, Umur Kehamilan, dan Paritas

Masing-masing Kelompok ... 63 Tabel 5.2 Homogenitas Umur, Umur Kehamilan, dan Paritas antar

Kelompok ... 64 Tabel 5.3 Distribusi Karakteristik Umur, Umur kehamilan, dan Paritas

pada Kedua Kelompok ... 64 Tabel 5.4 Perbedaan Kadar MDA antara Persalinan Preterm dengan


(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adreno Cortico Tropic Hormone

ANC : Ante Natal Care

ATP : Adenosine Tri Phosphate BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah BPD : Broncho Pulmonay Dysplasia CA CALM : Calcium Calmodulin

cAMP : cyclic Adeno Mono Phosphate CAPs : Contaction Assosiated Proteins

CAT : Catalase

CDC : Center for Diseases Control and Prevention CRH : Corticotropin Releasing Hormone

CX-26 : Conexin-26

CX-43 : Conein-43

DNA : Deoxyribo Nucleic Acid

G6PD : Glucose-6-Phospates Dehydrogenase GPX : Glutathione Peroxidase

HPA : Hypothalamic Pituitary Adrenal HPHT : Hari pertama haid terakhir HNE : Hidroksi Noneal

ICAM : Intra Cytoplasmic Adhesion Molecule

IL-1 : Interleukin-1

IL-6 : Interleukin-6

IL-8 : Interleukin-8

IsoP : Isoprostan

KTP : Kartu Tanda Penduduk

LMWA : Low Molecular Weight Antioxidant MDA : Malondialdehyde


(16)

xvi

Mn SOD : Manganese Superoxide Dismutase

NAD(P)H : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

NF-B : Nuclear Factor Kappa B NO : Nitric oxide

PDGF : Platelet Derived Growth Factor

PGE : Prostaglandin E2

PGF2α : Prostaglandin F2α

PUFA : PolyUnsaturated Fatty Acid

ROS : Reactive Oxygen Species

SOD : Superoxide Dismutase

TBARS : Thiobarbituric Acid Reactive Substance


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di bidang obstetri dan perinatologi. Hal ini karena kelahiran bayi preterm merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal.

Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (Cunningham dkk, 2010). Persalinan preterm menjadi penyebab utama kematian bayi, dimana sekitar 75% kematian perinatal disebabkan oleh prematuritas (Goldenberg, 2002).

Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress syndrome (RDS), intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP) (Iam, 2003). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003). Dampak yang diakibatkan oleh keadaan ini adalah rendahnya


(18)

2

kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang dan beban biaya yang mahal karena dibutuhkan teknologi kedokteran yang canggih untuk perawatan bayi yang lahir preterm. Karena itu, maka tindakan pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan lebih bermanfaat dibandingkan apabila telah terjadi persalinan. Sehingga diperlukan upaya pencegahan dan pengelolaan persalinan preterm yang lebih rasional didasari suatu pemahaman tentang penyebab terjadinya proses persalinan preterm yang lebih spesifik.

Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap negara. Di negara berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Negara maju, misalnya di Eropa angka insiden persalinan preterm berkisar 5-11%. Di Amerika Serikat pada tahun 2000 sekitar satu dari sembilan bayi dilahirkan prematur (11,9%). Sedangkan di Indonesia angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar. Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara, 2009). Di RSUP Sanglah sendiri, kejadian persalinan preterm periode Januari 2008 sampai dengan Oktober 2011 sebesar 9,12% dari seluruh persalinan (SMF OBGIN, RSUP Sanglah, Denpasar, 2011).

Mekanisme yang mendasari terjadinya persalinan preterm belum diketahui dengan pasti. Namun demikian ada beberapa faktor yang dipikirkan mengatur terjadinya persalinan preterm meliputi : aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal fetus maternal, infeksi dan inflamasi, perdarahan desidua dan peregangan


(19)

3

uterus yang berlebihan, yang menimbulkan suatu rangkaian gejala klinik dan sinkronisasi antara adanya kontraksi otot uterus (miometrium), robeknya selaput janin (korion dan amnion), dan adanya pematangan serviks (cervical ripening) (Krisnadi dkk, 2009). Kontraksi otot polos miometrium juga dapat dipicu oleh ketidakseimbangan Reactive Oxygen Species (ROS) dengan antioksidan dalam tubuh yang bergeser ke arah peningkatan ROS (Yuan & Bernal, 2007). Di mana diketahui bahwa ROS dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan metabolisme seluler (Slavic dkk, 2006).

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif. Mereka menjadi stabil dengan mengikat elektron dari asam nukleat, lemak, protein, serta molekul terdekat lainnya yang menyebabkan kaskade reaksi berantai yang menghasilkan kerusakan sel dan penyakit. Tiga tipe utama dari ROS adalah superoxide (O2-), hydrogen peroxide (H2O2), dan hydroxyl (OH-). Pada keadaan normal, terjadinya peningkatan radikal bebas akan diikuti oleh produksi antioksidan sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas (Eberhardt, 2001).

Antioksidan merupakan sistem pertahanan untuk melindungi diri dari ancaman radikal bebas. Mekanisme sistem pertahanan tersebut terdiri atas enzymatik dan non-enzymatik. Pada sistem pertahanan enzymatik, glutathione peroxidase (GSH-Px), catalase (CAT), dan superoxide dismutase (SOD) memainkan peranan yang utama. Disisi lain, sel dan plasma memiliki non-enzymatik seperti beta karoten dan vitamin E yang larut dalam lemak serta asam


(20)

4

askorbat, asam urat dan glutation yang dapat larut dalam air (Kohen & Nyska, 2002).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan antara antioksidan, stres oksidatif, dan persalinan preterm. Pemberian H2O2 sebagai salah satu ROS, disebutkan dapat memicu kontraksi uterus tikus akibat meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2) (Cherouny,dkk 1989). Di lain pihak, peningkatan ROS (O2- maupun H2O2) pada kehamilan ditengarai dapat memicu peningkatkan influx Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan calcium intraseluler [Ca2+]i yang kemudian akan memicu kontraksi uterus (Matsumoto dkk, 2002 ; Warren dkk, 2005). Apabila produksi radikal bebas melebihi kapasitas penangkapan oleh antioksidan maka akan timbul suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Sejumlah besar ROS yang terbentuk akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001).

Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan lipoprotein pada plasma. Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan lipid hidroperoksida, sementara produk sekundernya diantaranya ialah Malondialdehyde (MDA), thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), hydroxylnonenal (HNE), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-like product yang disebut F2-isoprostanes (Wikipedia, 2010). Peroksidasi lipid menyebabkan kerusakan membran sel secara langsung dan tidak


(21)

5

langsung. Efek secara langsung yaitu menyebabkan gangguan pada fungsi membran sel sehingga dapat mempengaruhi perubahan kandungan cairan (fluiditas) membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, peroksidasi lipid juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influks ion Ca2+ sehingga dapat memicu timbulnya kontraksi otot miometrium (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001). Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian, pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 sehingga dapat memicu terjadinya kontraksi miometrium (Temma, 2011).

Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA menunjukkan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan merupakan analisis yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk, sehingga tingginya konsentrasi MDA menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel (Winarsi, 2007). Didapatkan penurunan kadar antioksidan enzimatik (SOD dan Katalase) dan peningkatan peroksidasi lipid (MDA) pada persalinan preterm dengan preeklamsia (Sarkar dkk, 2006).


(22)

6

Penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kadar MDA pada persalinan preterm dengan kehamilan preterm masih sangat jarang. Di Indonesia sendiri pun belum pernah dilakukan pemeriksaan mengenai kadar MDA pada wanita yang akan mengalami persalinan preterm dibandingkan dengan kehamilan preterm. Mengingat MDA merupakan marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia maupun pada binatang, yang secara signifikan akurat dan stabil, maka peneliti berasumsi bahwa sangat penting dilakukan penelitian kadar MDA pada persalinan preterm.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat di rumuskan suatu masalah penelitian sebagai berikut : Apakah kadar serum malondialdehid pada persalinan preterm lebih tinggi daripada kehamilan preterm ?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan kadar serum malondialdehid pada persalinan preterm lebih tinggi daripada kehamilan preterm.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh stres oksidatif terutama peroksidasi lipid dalam patogenesis terjadinya persalinan preterm, di


(23)

7

mana kadar malondialdehid serum maternal yang tinggi dapat dipakai sebagai penanda terjadinya persalinan preterm.

1.4.2 Manfaat praktis

Apabila terbukti terdapat peningkatan kadar malondialdehid pada persalinan preterm dibandingkan dengan kehamilan normal, maka pemeriksaan kadar malondialdehid dapat digunakan sebagai sebagai salah satu deteksi dini terjadinya persalinan preterm spontan, sehingga dapat dipertimbangkan pemberian antioksidan sebagai upaya pencegahan terjadinya persalinan preterm pada pasien dengan kadar MDA tinggi yang berujung menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.


(24)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Persalinan Preterm

✷✁✁ ❉ ✂✄☎✆☎✝ ☎ persalinan preterm

Menurut definisi WHO, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Menurut Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Mochtar, 2009).

Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans College of Obstrecians, indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham dkk, 2010). Pada penelitian ini, diagnosis persalinan preterm berdasarkan prosedur tetap (protap) tahun 2003 yang berlaku di Lab / SMF Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar.


(25)

9

2.1.2 Insiden persalinan preterm

Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap Negara. Di negara berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Eropa,angkanya berkisar 5-11%, USA 11,9%, Australia sekitar 7%. Di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Malaysia 10%, di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar. Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara, 2009). Sedangkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit pemerintah pada tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003 dari 1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%) (Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat insiden persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Dan berdasarkan data persalinan yang tercatat di bagian SMF Obstetri Ginekologi RSU Sanglah Denpasar terdapat sebanyak 852 kasus persalinan preterm (9,12%) terhitung sejak tahun 2008 hingga bulan Oktober tahun 2011.

✞ ✟✠ ✟✡ ❑ ☛☞✌ ✍✎✍✏ ☞✌ ✍ Persalinan Preterm

Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)


(26)

10

Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan. Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan karena faktor infeksi (korioamnionitis).

Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena ternyata setelah diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan preterm, maka sebagian besar penyebab persalinan preterm dapat digolongkan kedalamnya. Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada sehingga penyebab persalinan preterm tidak dapat diterangkan, maka penyebab persalinan preterm ini disebut idiopatik.

2. Iatrogenik/Elektif

Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya (Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang

disebut juga sebagai elective preterm. Sekitar 25% persalinan preterm


(27)

11

a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah : - Preeklamsi berat dan eklamsi,

- Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solution plasenta), - Korioamnionitis,

- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat. b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah :

- Gawat janin, - Infeksi intrauterin,

- Pertumbuhan janin terhambat (IUGR), - Isoimunisasi Rhesus.

Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.

2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32 minggu. 3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27

minggu.

2.1.4 ❋ ✑✒✓✔ ✕❘✖✗ ✖✒✔ Persalinan Preterm

Sangat disayangkan jika hingga kini, sulit untuk menentukan secara dini dan akurat seorang wanita hamil akan mengalami persalinan preterm. Bahkan sistim skoring yang meliputi : jumlah kehamilan, status sosial ekonomi, umur wanita saat hamil dan riwayat persalinan preterm/abortus, pernah dikembangkan


(28)

12

untuk menentukan wanita-wanita mana saja yang perlu mendapat pemantauan lebih intensif. Tapi kenyataanya sistem ini belum dapat menurunkan insiden persalinan preterm (Arias, 1993). Meskipun demikian ada beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan persalinan preterm yang dibagi dalam dua kriteria (Hole, 2001), yaitu:

1. Kriteria Mayor : a. Kehamilan ganda b. Hidramnion c. Anomali uterus

d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu

e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan TVS)

f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm i. Riwayat konisasi

j. Iritabilitas uterus

k. Penggunaan cocaine atau amfetamin 2. Kriteria Minor :

a. Penyakit-penyakit yang disertai demam

b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu c. Riwayat pielonefritis


(29)

13

d. Merokok lebih dari 10 batang per hari e. Riwayat abortus pada trimester II

f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x

Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).

2.1.5 ✘ ✙✚ ✛✙✜ Persalinan Preterm

Persalinan preterm merupakan masalah serius di bidang obstetri. 70% kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole dan Tressler, 2001). Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30 minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g (Cunningham dkk, 2010).

Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir

sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress

syndrome(RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP)


(30)

14

(Iam,2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko

retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di

samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003).

Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Karena adanya morbiditas jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Selain itu perawatan bayi preterm juga membutuhkan tehnologi kedokrteran yang canggih dan mahal. Mengingat penyulit - penyulit yang bisa terjadi, tingginya biaya perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan penyulit jangka panjang pada bayi yang lahir preterm tersebut, tindakan pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat dan lebih menghemat biaya dibanding dengan apabila telah terjadi persalinan (Iam, 2003).

2.1.6 Mekanisme ❚ ✢✣✤✥ ✦✧★✩✥ Persalinan Preterm

Persalinan pada wanita melibatkan serangkaian peristiwa yang progresif

dimulai dengan aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan

peningkatan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) plasenta. Hal ini


(31)

15

akan mengaktivasi Contraction Assosiated Proteins (CAPs) termasuk reseptor

oksitosin, oksitosin dan prostaglandin. Peristiwa biologis ini akan menyebabkan pematangan serviks, kontraksi uterus, aktivasi desidua dan membrane janin serta pada kala dua persalinan akan meningkatkan oksitosin ibu. Terdapat suatu hipotesa tentang persalinan preterm dan aterm yang memiliki persamaan dan pada persalinan patologis bisa berlangsung bersama – sama dengan proses persiapan untuk persalinan fisiologis normal, terutama pada kehamilan di atas 32 minggu. Sebelum usia 32 minggu, dibutuhkan stimulus patologis yang lebih besar untuk memulai persalinan. Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan

preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada

persalinan aterm (physiologic activation), sedangkan pada persalinan preterm berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa komponen pathway tersebut (pathologic activation) (Romero, 2009).

Hingga saat ini pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Berdasarkan studi epidemiologi dan patofisiologi, terdapat 4 mekanisme yang mengatur terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009 ; Nesin, 2007 ; Esplin, 2005), yaitu :

1) Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal yang dicetuskan oleh stress.

Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Stres pada


(32)

16

ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan produksi kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa androgen pada janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh plasenta. Hal ini akan menyebabkan rangkaian proses biologis yang mengarah pada jalur umum terjadinya proses persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus, pematangan serviks dan aktivasi desidua janin (Challis, dkk.,2000).

2) Inflamasi dan infeksi.

Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm termasuk infeksi intauterin (bertanggung jawab sampai 50% kelahiran preterm pada usia kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal, bakteriuria asimtomatik, dan periodontitis maternal. Produk-produk bakteri merangsang produksi sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin- sitokin ini, kemudian merangsang produksi prostaglandin oleh amnion dan desidua. Prostaglandin bekerja melalui reseptor spesifik. Prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-1 dan EP-3,yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui mekanisme peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi penghambat

cAMP intraseluler. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang

menyebabkan kontaksi miometrium. Peningkatan prostaglandin pula dapat disebabkan oleh infeksi intraamniotik maupun defisiensi enzim korio-desidual yg memetabolisme prostaglandin E2 (hydroxyprostaglanin dehidrogenase). Sitokin yang diproduksi selama infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari


(33)

17

matriks metalloproteinase dalam serviks dan desidua yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan serviks uteri. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan preterm.

3) Trombosis uteroplasental dan perdarahan desidua.

Lesi vascular dari plasenta secara umum dikaitkan dengan kelahiran preterm. Meskipun patofisiologinya belum jelas namun trombin dicurigai memiliki peranan besar. Trombin adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang aktivitas kontraksi dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium.

Trombin mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk

protease-activated receptor 1, protease-activated receptor 3 dan protease-activated receptor 4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili

protein heptahelical-G. Interaksi dengan trombin menghasilkan perubahan

konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi fosfolipase C. Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang berakhir pada pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma. Kombinasi antara pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan

osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain

Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang menghasilkan kontraksi uterus secara fasik.

Pada perdarahan desidua, juga diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease dan matrik


(34)

18

metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme preterm rupture of membrane yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm.

4) Peregangan uterus berlebihan.

Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset persalinan preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda, polihidramnion, dan makrosomia. Peregangan uterus mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan

protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya

kontraksi yang berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin. Peregangan dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE. Peregangan dari otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari IL-8 dan produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya persalinan preterm.


(35)

19

Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya (Elmer, 2009)


(36)

20

Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm (Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang mengkaitkan terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm melalui suatu mekanisme yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium yang dapat memicu terjadinya kontraksi uterus sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya persalinan preterm (Warren dkk, 2005).

2.2 ✪ ✫✬✭✮✫✯❇ ✰✱ ✫✲✳❖ ✮✲✭✬ ✫✴✳ dan ✪✰ ✫ktif ❖ ✮✲ ✭✵✰✴ Spesies ✶✪ ❖✸✹ ✺ ✻✺ ✻✼ ✪ ✫✬✭✮✫✯ bebas dan oksidan

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki sebuah elektron

yang tidak berpasangan di orbit luarnya (unpaired electron). Struktur yang

demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera sel. Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reaktif Oksigen Spesies) dan RNS (Reaktif Nitrogen Spesies), dimana target utama dari radikal bebas itu sendiri adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat (Agarwal dkk, 2005). Radikal bebas punya 2 sifat penting : 1). bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga bentuk lebih stabil. 2). dapat mengubah


(37)

21

molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan dalam sifatnya sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya daripada oksidan oleh karena reaktifitas yang tinggi dan kecenderungannya membentuk radikal bebas yang baru (Arkhaesi, 2008).

Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu

senyawa yang dapat menarik elektron. Sering dibaurkan pengertian antara radikal bebas dan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang sama yaitu kecenderungan untuk menarik elektron (penerima elektron). Aktivitas keduanya menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda, oleh karena itu radikal bebas digolongkan dalam oksidan, namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang bukan radikal bebas, dikarenakan sifat radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi dan kecenderungan membentuk radikal yang baru sehingga terjadi reaksi rantai (chain reaction) dan akan berhenti apabila dapat diredam (quenched) oleh antioksidan (Arkhaesi, 2008).

2.2.2 ✽ ✾✿❀❁❂❃ oksigen spesies ❄✽❅ ❆❈

Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar fungsi biologis. Proses ini memerlukan ATP, di mana sumber utama ATP adalah melalui proses oksidasi fosforilasi di dalam mitokondria. Selama proses ini, molekul

oksigen direduksi membentuk H2O, reaksi ini dikatalisasi oleh enzim sitokrome c


(38)

22

dari mekanisme ini tanpa kerusakan, sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen hanya tereduksi partial, yang memiliki peranan penting pada produksi ROS (Slavic, dkk., 2006).

ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler

yang terdiri dari superoksida (O2⎯), radikal bebas hidroksil (OH-), hidrogen

peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (RCOO-). ROS terus menerus dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis normal karena berbagai rangsangan (Kohen, dkk., 2002).

Sumber ROS dapat dibagi dua : 1) sumber endogenous misalnya dari sel (netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase), indirect-producing ROS enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria), serta penyakit (kelainan metal, proses iskemia, infeksi, maupun inflamasi). 2) sumber eksogenous misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen, dkk., 2002).

ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Dalam jumlah yang tepat, ROS berperan sebagai tranduser signal fisiologis dan dikenal juga

sebagai secondary messengers dalam proses signaling intraselular. Secara

fisiologis, ROS akan mempengaruhi fungsi selular, menghentikan pertumbuhan, bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis) dari sel yang memang dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang mengandung mikroorganisme asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proteksi antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya jumlah ATP, menyebabkan


(39)

23

kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion, perubahan pada reaksi oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis sel-sel saraf, dan menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel yang seharusnya tidak terjadi (Burton & Jauniaux, 2011).

Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal (Kohen & Nyska, 2002).

Tabel ❊● ❍ Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen

Radikal oksigen

Nama Simbol

Oksigen (Bi-radikal) Ion Superoksida

Hidroksil Peroksil Alkoksil Nitrit Oksida

O2-. O2.

OH.

ROO.

RO.

NO.


(40)

24

Turunan nonradikal oksigen

Nama Simbol

Hidrogen Peroksida Peroksida organik

Asam Hipoklorit Ozon Aldehid Singlet oksigen

Peroksinitrit

H2O2 ROOH HOCL

O3 HCOR

/O 2 ONOOH Sumber : Kohen & Nyska, 2002

Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS

dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain.

Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif

dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan

langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di


(41)

25

lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan biologis (Kohen & Nyska, 2002).

Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan pada dua orbit yang berbeda. (Kohen & Nyska, 2002). Penambahan satu elektron

pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion

superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau katalisis metal. Radikal superoksid sendiri dihasilkan dari reaksi fosforilasi oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria (1-5% oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal superoksid). Di samping itu juga, bisa dihasilkan melalui sistem oksidase NADPH-dependen, yang jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi

reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2- (Valko, dkk.,

2005).

Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid

(O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2).

Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan

pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik,


(42)

26

Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal

superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan

enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen & Nyska, 2002). Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak

langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO.

Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi

enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen & Nyska, 2002).

Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1),

waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan logam (Kohen & Nyska, 2002).

Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi

di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks


(43)

27

sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2)

bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan

radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal

superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian

menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi

inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil (Kohen & Nyska, 2002).

Pada persalinan spontan pervaginam sangat erat kaitannya dengan timbulnya kontraksi uterus yang terkoordinasi untuk membantu pengeluaran fetus dari jalan lahir. Pada beberapa kasus, kontraksi dapat menyebabkan timbulnya

Gambar 2.2 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies. (Kohen & Nyska, 2002)


(44)

28

kompresi dari suplai darah ke uterus. Episode alamiah tersebut merupakan proses awal terbentuknya ROS. Di sisi lain, miometrium manusia tidak hanya membentuk ROS, namun juga menciptakan sistem pertahanan antioksidan yang dapat meminimalisir efek destruktif potensial dari ROS tersebut (Jauniaux, 2011).

2.3 Antioksidan

Antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu

memberikan elektron (electron donor). Disebut antioksidan karena zat tersebut

dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan kimia lain dari reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Dalam arti biologis, antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu 1) mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2) mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus reaksi rantai. Pengelompokan antioksidan yang lain adalah berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen & Nyska, 2002), yaitu:

1. Mekanisme antioksidan enzimatik

Superoksid dismutase (SOD), merupakan enzim yang mengkatalisis


(45)

29

oksigen (O2). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD

(Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, mangan-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk

H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari

1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan.

Enzim SOD akan merubah superoksid menjadi H2O2 :

2O2ˉ + 2H+ SOD O

2 + H2O2

Catalase (CAT), ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun

terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, catalase ditemukan di

dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O

dan O2. Kapasitas reduksi catalase tinggi pada suasana H2O2

konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya

menurun (Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena catalase

memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya,

sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat

rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari

proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi

untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air.


(46)

30

2 H2O2 CAT H2O + O2

Glutathione peroxidase (GPx), merupakan seleno-enzim yang pertama kali ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan

plasma darah. Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor

substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik

(ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan

bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH).

Glutation peroksidase akan merubah H2O2 menjadi air dan glutation

disulfida (GSSG) :

H2O2 + 2 GSH GPx 2 H2O + GSSG 2. Mekanisme antioksidan non enzimatik

Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan radikal bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya. Beta karoten dan vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam askorbat, asam urat dan glutation larut dalam air.

Adanya radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh dan terbentuknya ROS, sebenarnya merupakan proses fisiologis. Bila terjadi peningkatan radikal bebas, tubuh akan berusaha untuk mengatasi situasi ini dengan memproduksi sejumlah

antioksidan untuk pertahanan yang lebih dikenal sebagai counteracting


(47)

31

artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti perusakan jaringan (Kohen & Nyska, 2002).

2.4 Peran Stres ■❏▲ ▼◆P◗▼ ❙ Terhadap Persalinan Preterm

Ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif (Eberhardt, 2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS atau RNS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Stres oksidatif akan menimbulkan kerusakan biologis yang dapat merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Kohen & Nyska, 2002).

Pada kehamilan, stres oksidatif ditenggarai memiliki peran dalam patofisiologi berbagai komplikasi kehamilan seperti keguguran, preeklamsia, intra uterine growth restriction (IUGR), dan premature rupture of membrane (PPROM) (Burton & Jauniaux, 2011). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Disebutkan jika terdapat keseimbangan antara produksi ROS dengan antioksidan maka tidak akan terbentuk stress oksidatif, sehingga proses kehamilan dapat berjalan sebagai mestinya. Namun pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar ROS tanpa disertai mekanisme pertahanan antioksidan yang adekuat maka akan memicu


(48)

32

terjadinya stres oksidatif yang berujung pada kerusakan sel dan penyakit (Eberhardt, 2001). Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada persalinan preterm dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Sumber radikal bebas dan stres oksidatif yang terbesar pada kehamilan dipercaya berasal dari stres oksidatif yang terjadi di plasenta, terutama mitokondria plasenta (Little, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Cherouny,dkk (1989), ditemukan bahwa

pemberian H2O2 sebagai ROS pada tikus dapat memicu kontraksi uterus akibat

meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2). Pada penelitian yang

sama, tikus juga di beri butylated hydroxyl anisole (BHA) sebagai antioksidan dan terbukti dapat menurun kontraksi otot uterus dan kadar prostaglandin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian antioksidan.

PGF-2α bertanggung jawab terhadap kontraksi miometrium sedangkan PGE-2 menurunkan resistensi jaringan servik, merupakan dua proses yang penting

dalam kemajuan persalinan. PGF-2α bersama-sama estrogen bekerja pada

miometrium meningkatkan pembentukan gap junction dan reseptor oksitosin.

Sekali mekanisme tersebut terjadi maka akan terjadi penjalaran depolarisasi antar sel yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium di dalam sel. Ion kalsium

di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin

mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada


(49)

33

menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium (Cunningham dkk, 2010).

Pada studi lainnya dari Matsumoto, dkk (1990), menemukan kaitan antara keberadaan SOD dan CAT sebagai sistem pertahanan untuk mencegah

peningkatan produksi dari anion superoksida (O2-) di dalam miometrium manusia.

Anion superoksida dikatakan memiliki peran langsung dalam menyebabkan

terjadinya kontraksi pada uterus manusia melalui peningkatan kalsium (Ca2+)

intraselular. kalsium ini dilepaskan dari retikulum endoplasma serta tempat penyimpanan lainnya. Konsentrasi kalsium dalam lumen Retikulum Endoplasma lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam sitosol. Konsentrasi ini dipertahankan oleh mekanisme pompa kalsium ATPase yang terdapat pada sarko dan retikulum endoplasma. Pada saat terjadi peningkatan stres oksidatif, ROS akan memicu pelepasan kalsium dari membran reticulum endoplasma, melalui

reseptor inositol-1,4,5,triphospat (IP3R) dan reseptor ryanodine (Jauniaux, 2011).

Sedangkan hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan salah satu ROS

non radikal yang sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler pun

memiliki peran dalam kontraksi miometrium. H2O2 dikatakan memiliki efek

lanjutan pada banyak sel target yang meliputi channels ion membrane. Penelitian

oleh Warren, dkk (2005) menyebutkan bahwa H2O2 memicu peningkatkan influx

Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler [Ca2+]i yang

kemudian akan mengaktivasi calcium calmodulin (Ca2+ CALM). Calcium


(50)

34

selanjutnya memodulasi terjadinya reaksi actin-myosin yang menyebabkan

kontraksi otot miometrium (Cunningham dkk, 2010). Mekanisme tersebut diatas yang menjadi dasar terjadinya kontraksi miometrium pada persalinan preterm spontan yang berkaitan dengan ROS.

2.5 Peroksidasi lipid

❯ ❱❲ ❱❳ Pembentukan peroksidasi lipid

Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas

berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan

lipoprotein pada plasma. PUFA lebih rentan terhadap reaksi radikal bebas dibandingkan asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan karena PUFA memiliki

Gambar 2.3 Mekanisme relaksasi dan kontraksi pada jaringan miometrium (Cunningham dkk. 2010)


(51)

35

jembatan metilen yang mengandung hidrogen reaktif yang merupakan sasaran utama bagi radikal bebas. Peningkatan produksi radikal bebas akan menyebabkan peningkatan peroksidasi lipid (Winarsi, 2007).

Peroksidasi lipid terjadi melalui reaksi enzimatik maupun non enzimatik

melibatkan spesies kimia aktif yang dikenal sebagai reactive oxygen species

(ROS), yang bertanggung jawab terhadap efek toksik pada tubuh melalui berbagai kerusakan jaringan. Mekanisme yang memicu peroksidasi lipid sangat kompleks. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu peroksidasi itu, yaitu (Wikipedia, 2012) :

1. Autooksidasi atau oksidasi non enzimatik termediasi radikal bebas.

Terjadi melalui mekanisme berantai, dimana satu radikal bebas dapat memicu oksidasi banyak molekul lemak. Proses ini melibatkan tiga tahapan yaitu ; inisiasi, propagasi, dan terminasi.

a. Tahap inisiasi

Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi

reaksi radikal bebas, umumnya ROS (OH dan HO2) terhadap atom

hidrogen partikel lemak dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak

radikal.

b. Tahap propagasi

Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan menghasilkan suatu asam lemak radikal peroksil. Bahan ini juga ternyata


(52)

36

bersifat tidak stabil dan kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya untuk menghasilkan asam lemak radikal yang baru dan lipid peroksida atau peroksida siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut sedemikian rupa hingga memasuki tahap terminasi.

c. Tahap terminasi

Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai. Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi dan menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika konsentrasi spesies radikal sudah sedemikian tingginya sehingga memungkinkan dua spesies radikal untuk saling bereaksi.

Gambar 2.4 Tahapan autooksidasi lipid (Wikipedia, 2012)


(53)

37

2. Foto oksidasi atau oksidasi non enzimatik tidak termediasi radikal bebas

Merupakan proses peroksidasi lipid oleh karena adanya oksigen tunggal dan ozon yang memfasilitasi pancaran energi seperti ultraviolet, dan menghasilkan perubahan yang umumnya berupa pemisahan atau pengurangan berat molekul. Proses foto oksidasi ini berlangsung hampir sama dengan oksidasi termediasi radikal bebas yang meliputi tiga tahapan; inisiasi, propagasi dan terminasi, hanya saja pada proses inisiasi didahului oleh adanya oksigen tunggal dan bukan oleh radikal bebas.

3. Oksidasi enzimatik

Proses peroksidasi lipid yang melibatkan enzym sebagai katalis dan menghasilkan produk stereo- dan regio-spesifik. Ada tiga enzim utama yang berperan yaitu lipooksigenase (LOX), siklooksigenase (SOX) dan sitokrom P450. LOX mengkatalis oksidasi asam arakhidonat dan menghasilkan produk hidroperoksida. COX mengkatalis asam lemak tak jenuh menjadi endoperoksida dan prostaglandin. Sedangkan sitokrom p450 mengkatalis oksidasi asam lemak epoksi menjadi produk epoksid, leukotrin, tromboksan, dan prostasiklin.

Peroksidasi lipid menghasilkan produk primer seperti lipid hidroperoksida dan produk sekunder seperti MDA dan lipid peroksida. Produk peroksidasi lipid ini dibentuk terutama di plasenta lalu terikat pada lipoprotein untuk kemudian disebarkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tempat yang jauh (Niki dkk, 2009).


(54)

38

Peningkatan produksi peroksidasi lipid yang secara tipikal diinisiasi oleh spesies radikal bebas yang sangat reaktif, dapat dinilai dengan banyak metoda termasuk pengukuran baik produk primer maupun sekunder dari hasil peroksidasi

tersebut. Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan

lipid hidroperoksida, sementara produk sekundernya diantaranya ialah Malondialdehyde (MDA), thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), hydroxylnonenal (HNE), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-like product yang disebut F2-isoprostanes (Niki dkk, 2009).


(55)

39

2.5.2 Peran Peroksidasi ❨ ❩❬❩❭ Terhadap Persalinan Preterm

Peroksidasi lipid merupakan fenomena normal yang terjadi secara kontinues dengan level rendah pada manusia. Kehamilan sendiri merupakan suatu kondisi stres di mana banyak fungsi fisiologis dan metabolisme yang berubah dalam batas waktu tertentu, sehingga didapatkan level peroksidasi lipid yang lebih tinggi dibandingkan keadaan tidak hamil. Selama kehamilan, level peroksidasi lipid meningkat sesuai dengan perkembangan normal kehamilan (Patil, 2006). Namun pada kondisi produksi peroksidasi lipid yang berlebihan maka kehamilan dikaitkan dengan suatu keadaan patologis (Little, 2003).

Ketika hamil, peroksidasi lipid terutama di induksi di plasenta. Jaringan plasenta mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang merupakan sasaran dari aktifitas radikal bebas. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam konsentrasi rendah sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang dimediasi oksidatif. Lipid peroksida yang dihasilkan berasal dari trophoblast dan kompartemen inti villous. Produk ini kemudian disekresikan ke sirkulasi maternal yang selanjutnya menginisiasi kaskade peroksidasi lebih lanjut (Little, 2003).

Peroksidasi lipid bersifat sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan membran sel melalui interaksi langsung dengan membran sel maupun secara tidak langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001).

Efek secara langsung yaitu menyebabkan gangguan pada fungsi membran sel sehingga dapat mempengaruhi perubahan kandungan cairan (fluiditas)


(56)

40

membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, lipid peroksidasi juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan

kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influx ion Ca2+ sehingga dapat

mempengaruhi fungsi sel otot seperti halnya yang disebabkan oleh peningkatan ROS (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001).

Konsentrasi ion Ca2+ di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk

Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang

berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin

akan menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi

miometrium (Cunningham dkk, 2010). Disebutkan bahwa calcium channel

blocker dapat digunakan untuk menghambat peroksidasi lipid dan mencegah pembentukan ROS (Valco, 2006).


(57)

41

Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Hidroksinoneal (HNE), yang merupakan salah satu produk metabolit dari peroksidasi lipid, pada konsentrasi tinggi dapat

menyebabkan hilangnya homeostasis ion Ca2+, hambatan terhadap respirasi

mitokondria dan sintesa protein, serta mampu menarik neutrofil dan menginduksi respon inflamasi pada sel endotel (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian, pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 dalam jaringan miometrium (Temma, 2011).

COX-2 (cyclooxygenase-2) merupakan enzim yang mengkatalis pembentukan

prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kontraksi miometrium sedangkan PGE-2 selain dapat memicu kontraksi miometrium, berperan pula menurunkan resistensi jaringan servik. Kedua hal tersebut berperan penting dalam kemajuan persalinan sehingga dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk, 2010).

Peroksidasi lipid bila terus berlanjut akan menyebabkan ketidakstabilan membran, mengubah viskositas membran dan merangsang aktivasi fosfolipase A2 (Gazali, 2002). Fosfolipase A2 adalah enzim yang menghidrolisis fosfolipid yang merupakan komponen utama pada membran sel. Fosfolipid oleh fosfolipase A2 akan dihidrolisis membentuk asam arakidonat, selanjutnya oleh enzim lipoxygenase (LOX) akan membentuk leukotrin dan oleh enzim cyclooxygenase

(COX) 1 dan 2 akan menbentuk prostanoid (Wikipedia, 2012). PGE2 dan PGF2


(58)

42

kontraksi miometrium dan pelunakan jaringan servik, sehingga keseluruhan proses ini dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk, 2010).

2.5.3 Malondialdehid ❪❫ ❴❵❛

Malondialdehid (MDA) adalah produk peroksidasi lipid yang merupakan aldehid reaktif. MDA merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif yang dapat menyebabkan stress toksik pada sel serta membentuk produk protein kovalen yang dikenal sebagai sebutan advance lipoxidation end products (ALE). MDA dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan

membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik (Eberhardt,2001).

Gambar 2.7 Struktur kimia malondialdehid (MDA) (Wikipedia, 2012)

MDA dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan berat molekul


(59)

43

(pKa = 4,46), dihasilkan sebagai produk sampingan pembentukan eikosanoid

enzimatik dan produk akhir degradasi oksidatif asam lemak bebas non enzimatik. MDA telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan brokoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis, cairan amnion, cairan pericardial, dan cairan seminal. Namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak invasive. Data yang tersedia hingga saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Janero, 2001).

Meningkatnya perhatian terhadap keberadaan peroksidasi lipid, potensinya untuk merusak dan keterlibatannya dalam berbagai patogenesis penyakit, menyebabkan peroksidasi lipid menjadi suatu marker penting yang dapat diukur untuk deteksi dini penyakit. Sejumlah Penelitian dalam satu dekade terakhir ini telah menunjukkan bahwa MDA merupakan komponen pengukuran terhadap lipid peroksidasi yang bersifat stabil dan akurat, dan telah membantu menjelaskan peranan stres oksidatif pada sejumlah penyakit (Janero, 2001).

Analisa malondialdehid merupakan analisa radikal bebas secara tidak langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, karena radikal bebas ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat


(60)

44

cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Winarsi, 2007).

Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode TBARS (Thiobarbituric acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai menggunakan spektrofotometer (Janero, 2001).

Hingga saat ini MDA merupakan marker yang paling banyak diteliti, dan dianggap sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia maupun pada binatang, lebih murah dengan bahan lebih mudah didapat yang secara signifikan akurat dan stabil daripada senyawa lainnya (Niki dkk, 2009).

MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stress oksidatif karena beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres oksidatif, (2) Kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang telah tersedia, (3) Bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4) Pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam diet, (5) Merupakan produk spesifik dari peroksidasi lemak, (6) Terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menetukan referensi interval (Llurba dkk, 2004).

Walaupun MDA telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi, namun peranan komponen MDA sendiri dalam patofisiologi kehamilan masih sedikit yang diketahui. Masih jarang penelitian yang menggunakan MDA untuk


(61)

45

meneliti hubungan antara peningkatan peroksidasi lipid dengan terjadinya persalinan preterm. Sehingga berbagai penelitian masih dikembangkan untuk mengetahui lebih dalam apakah MDA juga merupakan suatu faktor yang terlibat dalam patogenesis persalinan preterm spontan.


(1)

membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, lipid peroksidasi juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influx ion Ca2+ sehingga dapat mempengaruhi fungsi sel otot seperti halnya yang disebabkan oleh peningkatan ROS (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001). Konsentrasi ion Ca2+ di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium (Cunningham dkk, 2010). Disebutkan bahwa calcium channel blocker dapat digunakan untuk menghambat peroksidasi lipid dan mencegah pembentukan ROS (Valco, 2006).


(2)

Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Hidroksinoneal (HNE), yang merupakan salah satu produk metabolit dari peroksidasi lipid, pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan hilangnya homeostasis ion Ca2+, hambatan terhadap respirasi mitokondria dan sintesa protein, serta mampu menarik neutrofil dan menginduksi respon inflamasi pada sel endotel (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian, pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 dalam jaringan miometrium (Temma, 2011). COX-2 (cyclooxygenase-2) merupakan enzim yang mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kontraksi miometrium sedangkan PGE-2 selain dapat memicu kontraksi miometrium, berperan pula menurunkan resistensi jaringan servik. Kedua hal tersebut berperan penting dalam kemajuan persalinan sehingga dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk, 2010).

Peroksidasi lipid bila terus berlanjut akan menyebabkan ketidakstabilan membran, mengubah viskositas membran dan merangsang aktivasi fosfolipase A2 (Gazali, 2002). Fosfolipase A2 adalah enzim yang menghidrolisis fosfolipid yang merupakan komponen utama pada membran sel. Fosfolipid oleh fosfolipase A2 akan dihidrolisis membentuk asam arakidonat, selanjutnya oleh enzim lipoxygenase (LOX) akan membentuk leukotrin dan oleh enzim cyclooxygenase (COX) 1 dan 2 akan menbentuk prostanoid (Wikipedia, 2012). PGE2 dan PGF2 merupakan salah satu produksi dari metabolisme ini bertanggung jawab terhadap


(3)

kontraksi miometrium dan pelunakan jaringan servik, sehingga keseluruhan proses ini dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk, 2010).

2.5.3 Malondialdehid ❪❫ ❴❵❛

Malondialdehid (MDA) adalah produk peroksidasi lipid yang merupakan aldehid reaktif. MDA merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif yang dapat menyebabkan stress toksik pada sel serta membentuk produk protein kovalen yang dikenal sebagai sebutan advance lipoxidation end products (ALE). MDA dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik (Eberhardt,2001).

Gambar 2.7 Struktur kimia malondialdehid (MDA) (Wikipedia, 2012)

MDA dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan berat molekul rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat volatil asam lemah


(4)

(pKa = 4,46), dihasilkan sebagai produk sampingan pembentukan eikosanoid enzimatik dan produk akhir degradasi oksidatif asam lemak bebas non enzimatik.

MDA telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan brokoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis, cairan amnion, cairan pericardial, dan cairan seminal. Namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak invasive. Data yang tersedia hingga saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Janero, 2001).

Meningkatnya perhatian terhadap keberadaan peroksidasi lipid, potensinya untuk merusak dan keterlibatannya dalam berbagai patogenesis penyakit, menyebabkan peroksidasi lipid menjadi suatu marker penting yang dapat diukur untuk deteksi dini penyakit. Sejumlah Penelitian dalam satu dekade terakhir ini telah menunjukkan bahwa MDA merupakan komponen pengukuran terhadap lipid peroksidasi yang bersifat stabil dan akurat, dan telah membantu menjelaskan peranan stres oksidatif pada sejumlah penyakit (Janero, 2001).

Analisa malondialdehid merupakan analisa radikal bebas secara tidak langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, karena radikal bebas ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat


(5)

cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Winarsi, 2007).

Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode TBARS (Thiobarbituric acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai menggunakan spektrofotometer (Janero, 2001).

Hingga saat ini MDA merupakan marker yang paling banyak diteliti, dan dianggap sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia maupun pada binatang, lebih murah dengan bahan lebih mudah didapat yang secara signifikan akurat dan stabil daripada senyawa lainnya (Niki dkk, 2009).

MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stress oksidatif karena beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres oksidatif, (2) Kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang telah tersedia, (3) Bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4) Pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam diet, (5) Merupakan produk spesifik dari peroksidasi lemak, (6) Terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menetukan referensi interval (Llurba dkk, 2004).

Walaupun MDA telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi, namun peranan komponen MDA sendiri dalam patofisiologi kehamilan masih sedikit yang diketahui. Masih jarang penelitian yang menggunakan MDA untuk


(6)

meneliti hubungan antara peningkatan peroksidasi lipid dengan terjadinya persalinan preterm. Sehingga berbagai penelitian masih dikembangkan untuk mengetahui lebih dalam apakah MDA juga merupakan suatu faktor yang terlibat dalam patogenesis persalinan preterm spontan.