Pengaruh Tepung Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) Sebagai Sumber Kitin Dalam Ransum Terhadap Kandungan Lemak Feses Dan Efisiensi Pakan Tikus Putih (Rattus norvegiccus) Strain Wistar.

PENGARUH TEPUNG CANGKANG RAJUNGAN (Portunus Pelagicus) SEBAGAI
SUMBER KITIN DALAM RANSUM TERHADAP
KANDUNGAN LEMAK FESES DAN EFISIENSI PAKAN
TIKUS PUTIH (Rattus norvegiccus) STRAIN WISTAR
Muhamad Fatah Wiyatna1, Irba U. Warsono2 dan Aminuddin Parakkasi3
1. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
2. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB
3. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Abstrak.
Cangkang rajungan mengandung kitin yang persentasenya paling besar berupa
polisakarida. Kitin dan derivat-derivatnya telah banyak digunakan dalam berbagai
keperluan terutama untuk kesehatan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian tepung rajungan sebagai sumber kitin terhadap
efisiensi pakan dan kandungan lemak feces tikus putih Rattus norvegicus) strain Wistar.
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2x5 dengan tiga kali
ulangan. Faktor pertama adalah jenis kelamin dan kedua level tepung rajungan yaitu
0%, 5%, 10%, 15%, and 20%. Hasilnya penelitian menunjukkan tidak ada interaksi
antara jenis kelamin dengan kandungan teung rajungan dalam ransum. Kandungan
lemak dalam feces tertinggi diperoleh dari perlakuan 10% yaitu 0.737%. Sedangkan
efisiensi pakan tertinggi diperoleh dari penggunaan tepung rajungan 5% yaitu 13.1%.

Penggunaan tepung rajungan dalam ransum mampu mningkatkan efisiensi pakan dan
menurunkan kadar lemak tubuh tikus putih.
Kata Kunci : Tepung rajungan, efisiensi pakan, lemak feces, tikus putih.
Abstract.
Crabs shells contain the largest percentage of chitin as a pollysaccarides in animal.
Chitin and its derivaties have many properties that make them attractive for a wide
variety of applications. This study want conducted to determine the effect of crabs shells
(Portunus pelagicus) as a source of chitin in ration on feed efficiency and fats of feces
in rat (Rattus norvegicus) strain Wistar. The study was carried out under a factorial
experimental 2x5 with 3 replications. The first factor is sex (male and female) and the
second factor is scrabs shells with 5 levels i.e. 0%, 5%, 10%, 15%, and 20% in ration.
The study showed there were not interaction between sex and using scrabs shells in diet
on parameters. The highest of fats contens in feces is 0.737% at level 10 %. The feed
efficiency increased with using all levels of crabs shells in diet. The highest of feed
efficiency level is 13,1% at using 5%, but the highest contens of fats feces at using 10%
level of diet. The result suggest that crabs shells increased feed efficiency in diet and
decreased fats absorbent on rat body.
Key word: crabs shells, feed efficiency, fats of feces, rat.

2


PENDAHULUAN
Kandungan lemak yang tinggi dalam makanan dan produk lainnya, sering
diidentikan dengan tingginya kandungan kolestrol dari makanan tersebut. Kolestrol
selama ini dianggap sebagai pemicu terjangkitnya penyakit jantung koroner. Bahan
makanan asal hewan sering dituding sebagai pemicu penyakit tersebut yang sangat
ditakuti oleh manusia. Selain itu gaya hidup manusia yang mengarah serba instan dalam
mengkonsumsi makanan menyebabkan munculnya berbagai variasi makanan cepat saji
(fast food) seperti fried chicken, yaitu daging ayam yang mengandung kolestrol 100 mg
per 100 ml darah yang diolah dengan minyak goreng asal nabati yang diidentikan
mengandung kolestrol yang membahayakan, sehingga produknya merupakan makanan
yang mengandung kolestrol tinggi.
Tingginya konsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi sering dianggap
penyebab terjadinya kegemukan (obesitas) pada manusia. Keadaan ini sangat dihindari
terutama oleh kaum hawa karena dianggap menurunkan style (penampilan) secara
umum, sehingga muncul gaya tubuh langsing. Dari fenomena ini banyak bermunculan
penawaran produk-produk penurun lemak tubuh untuk mencapai badan langsing seperti
vegeta, diet, dan sebagainya. Respon masyarakat terhadap penawaran penurun lemak
cukup tinggi, mereka berharap bahwa produk-produk tersebut dapat menurunkan lemak
tubuh sehingga terhindar dari kegemukan dan penyakit-penyakit yang ditimbulkannya.

Kitin merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui kembali (renewable)
dan dapat diekstrak dari limbah kepiting dan limbah udang. Kepiting mengandung
persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing
maupun fungi. Kitin telah banyak digunakan untuk penjernihan air limbah, kosmetika,
pengobatan dan kesehatan ternak serta berbagai feed addititive. Aktivitas kitin sebagai
feed additive dapat meningkatkan kualitas makanan karena pengaruhnya berhubungan
dengan serat makanan dan komponen fungsional. Selain itu kemampuannya dalam
menurunkan kolestrol karena bersifat

hipololestrolamik. Shahidi, dkk. (1999)

melaporkan bahwa pemberian kitin 2% dalam ransum belum dalam mempertahankan
rendahnya kolestrol serum dan triasilgliserol pada kelinci, ayam petelur dan ayam
pedaging tetapi dapat meningkatkan konsentrasi HDL (high dencity lipoprotein) pada
ayam pedaging pada ayam pedaging. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa penambahan

2

3


kitin 10% dalam ransum ikan dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan
paling tinggi.
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salahsatu jenis kepiting laut yang
banyak terdapat diperairan di Indonesia dan menjadi salahsatu komoditas unggulan
untuk ekspor. Permintaan komoditi ini dalam bentuk segar, beku, maupun produk
kalengan terus meningkat setiap tahun. Pada Tahun 1998 produk ekspor rajungan telah
mencapai 9.162 ton dalam bentuk daging (BPS, 1998). Limbah rajungan cukup tinggi
berupa 57% cangkang dan 3% body reject atau rata-rata 27.360 kg cangkang kering per
bulan (Sugihartini 2001).

Kemudian Angka dan Suhartono (2000) menambahkan

bahwa limbah rajungan mengandung 25% bahan padat dan 25% dari padatan tersebut
adalah kitin.
Tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar merupakan salah satu hewan
percobaan yang biasa digunakan dalam berbagai penelitian. Hewan ini telah banyak
diketahui baik sifat , karakteristik, serta struktur anatominya dan zat gizi yang
diperlukannya hampir sama dengan manusia (Smith 1998; Malole, dkk. 1989; dan
Muhtadi 1989).
Dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang pengaruh tepung cangkang rajungan (Portunus pelagicus) sebagai sumber kitin
dalam ransum terhadap kadar lemak feses dan efisiensi pakan tikus putih (Rattus
norvegicus) strain Wistar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan manfaat
dan nilai ekonomis limbah cangkang

rajungan sebagai feed additive dan secara

langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan serta mengurangi pencemaran
lingkungan.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Pada penelitian ini digunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) strain
Wistar berumur 6 minggu, terdiri dari 15 ekor jantan dan 15 ekor betina. Berat awal
rata-rata tikus jantan 114,48 ± 21.67 gram dan betina 105.76 ± 13.11 gram. Tikus-tikus
ini dimasukan ke dalam kandang individu berukuran 39 cm x 21 cm x 15 cm, yang
diberi alas litter dan dilengkapi tempat pakan dan minum. Pakan dan air minum

3


4

diberikan secara ad libitum. Pakan percobaan yang diberikan berbentuk pellet dengan
komposisi bahan dan kandungan gizi seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Rancangan Penelitian
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola
faktorial 2x5 dengan 3 ulangan untuk setiap kombinasi perlakuan sehingga terdapat 30
unit percobaan. Faktor pertama adalah jenis kelamin dengan 2 taraf yaitu jantan dan
betina. Faktor kedua adalah ransum dengan 5 taraf

dengan kandungan cangkang

rajungan yaitu O% (kontrol), 5% (P1), 10% (P2), 15% (P3), dan 20% (P3). Setiap unit
percobaan menggunakan 1 ekor tikus putih. Masa adaptasi tikus pada kandang
percobaan selama 1 minggu dan masa preliminary ransum percobaan dilakukan selama
1 minggu.
Parameter yang diukur dalam percobaan ini adalah konsumsi pakan,
pertambahan bobot badan dan kandungan lemak feses. Pengukuran konsumsi pakan
dilakukan selama 1 minggu pada minggu ke-4, yaitu diberikan ransum secara adlibitum

dan setiap 2 hari dihitung sisanya sehingga dapat terukur konsumsi pakan harian. Bobot
badan dihitung setiap minggu selama 6 minggu pengamatan. Pengambilan data lemak
feses dilakukan pada dua minggu akhir penelitian dari seluruh hewan percobaan.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam sesuai dengan
rancangan yang digunakan. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan diantara nilai
tengah perlakuan, dilanjutkan dengan Uji Tukey (Steel and Torrie, 1991).
Tabel 1. Komposisi Ransum Percobaan
Bahan Pakan
Tepung cangkang rajungan
Bungkil kedele
Jagung kuning
Dedak halus
Premik

P0

P1

P2


P3

P4

0
28.81
31.57
25.73
12.64

5
27.29
30.93
27.11
8.50

10
25.77
30.28
28.49

4.37

15
24.25
29.64
29.87
0.24

20
24.25
13.94
37.08
0.40

P2
18.0
5.067
5.0
2.863
0.715


P3
18.0
5.067
5.0
4.073
0.857

P4
18.0
5.067
5.0
5.551
1.07

Tabel 2. Komposisi Nutrisi Ransum Percobaan
Bahan Pakan
Protein Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Lemak (%)

Kalsium (%)
Posfor (%)

P0
18.0
5.067
5.0
0.443
0.432

P1
18.0
5.067
5.0
1.653
0.574

4

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Lemak Feses
Rataan variabel respon yang menggambarkan kandungan lemak feses pada tikus
jantan dan betina pada berbagai tingkat pemberian tepung cangkang rajungan disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Kandungan Lemak Feses Tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan dan
betina pada tingkat pemberian tepung rajungan yang berbeda
Tingkat pemberian tepung rajungan
0%

5%

10%

15%

20%

Jantan

0.69

0.51

1.07

0.85

0.71

Betina

0.68

0.43

0.40

0.60

0.47

Rataan

0.685

0.47

0.735

0.725

0.59

Daftar sidik ragam menunjukan bahwa faktor jenis kelamin dan tingkat
pemberian tepung rajungan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan
lemak feses tikus putih. Kandungan lemak feses terendah diperoleh pada level 5 %
(0,47%) dan lebih rendah dari ransum kontrol, hal ini disebabkan jumlah nutrien yang
dimanfaatkan oleh tubuh paling tinggi yaitu dengan melihat nilai efisiensi pakan (13,1
%) paling tinggi dibanding dengan level lainnya. Jadi jika jumlah nutrien yang diserap
tubuh optimal, maka nutrien yang terbuang melalui feses akan rendah (lemak).
Pada Gambar 1 terlihat bahwa tikus jantan tidak banyak mendepositkan lemak
yang berasal dari pakan ke dalam tubuh, tetapi mengeluarkannya melalui feses. Hal ini
disebabkan pada tikus jantan terdapat hormon testosteron yang dianataranya berfungsi
untuk mensintesa otot tanpa lemak sehingga lemak tubuh jantan berkurang dan menjadi
bertambah tinggi lemak tersebut pada feses. Sedangkan pada tikus betina sebaliknya,
dimana lemak yang berasal dari pakan banyak diserap dan didepositkan menjadi lemak
tubuh, akibatnya jumlah lemak yang terdapat dalam feses menjadi sedikit.
Penambahan tepung rajungan sebagai sumber kitin dalam ransum dapat
menghambat penyerapan lemak oleh tubuh dan mempercepat berlalunya lemak tersebut

5

6

keluar melalui feses. Hal ini terlihat dari jumlah lemak feses dari tikus yang diberi

Lemak Feses (%)

tepung rajungan 10% (0,737%) lebih tinggi dari kontrol (0,688%)

1.5
1
0.5
0

0

5

10

15

20

jantan

0.69

0.51

1.07

0.85

0.71

betina

0.68

0.43

0.4

0.6

0.47

Tepung cangkang rajungan (%)

Gambar 1. Grafik kandungan lemak dalam feses tikus putih (Rattus norvegicus)
Jantan dan betina pada tingkat penggunaan tepung rajungan yang
berbeda
Peningkatan jumlah lemak dalam feses yang berasal dari tikus dengan ransum
yang mengandung tepung rajungan 10% (0,737%) dan 15 % (0,725%) merupakan
indikasi adanya pengurangan lemak tubuh yang diduga disebabkan adanya penambahan
kitin dalam ransum, meskipun perbedaan dengan kandungan lemak feses dari tikus yang
diberi ransum kontrol tidak signifikan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Shahidi,
dkk., (1999) bahwa kitin dan derivat-derivatnya dapat menurunkan kemampuan
terhadap penyerapan lemak oleh tubuh dan mempercepat berlalunya lemak dalam
melewati usus halus, sehingga lemak yang diserap oleh tubuh menjadi tidak berlebihan.
Tidak ada perbedaan yang nyata terhadap penurunan kolesterol darah (Tabel 5)
dan kandungan lemak feses tikus akibat penambahan tepung rajungan sebagai sumber
kitin diduga karena kondisi fisiologis tikus yang mempunyai kelebihan dibanding
hewan lainnya yaitu dapat merecycling lemak tubuh dan memanfaatkan untuk proses
metabolisme. Untuk membuktikan dugaan tersebut, maka perlu adanya penelitian
serupa dengan menggunakan hewan lainnya sebagai objek percobaan.

6

7

Pengaruh Perlakuan Terhadap Efisiensi Pakan
Konsumsi Pakan
Rataan variabel respon yang menggambarkan konsumsi pakan pada tikus jantan
dan betina pada berbagai tingkat pemberian tepung cangkang rajungan dalam ransum
sebagai sumber kitin disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Konsumsi ransum Tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan dan betina pada
tingkat pemberian tepung rajungan yang berbeda

Jantan
Betina
Rataan

0%
10.27
10.89
10.58

Tingkat pemberian tepung rajungan
5%
10%
15%
15.02
15.01
13.41
13.37
14.17
14.95
14.19
14.59
14.18

20%
13.53
12.74
13.14

Daftar sidik ragam menunjukan bahwa tidak ada interaksi antara faktor
pemberian tingkat pemberian tepung cangkang rajungan dalam ransum dan jenis
kelamin terhadap konsumsi pakan. Faktor jenis kelamin tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap konsumsi pakan, tetapi faktor tunggal tingkat pemberian tepung rajungan
nyata (P>0.05) berpengaruh terhadap konsumsi ransum.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa konsumsi pakan pada level tepung rajungan 10%
(14.59 gram/ekor/hari) sangat nyata (P0.01)
Tingginya pertambahan bobot badan pada pemberian tepung rajungan 5 % (1,85
gram/ekor/hari) ditunjukkan pula dengan tingginya efisiensi penggu- naan pakan yaitu
13,1 %. Hal ini menggambarkan pakan yang dikonsumsi pada level tersebut paling
banyak dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh. Pernyataan tersebut didukung oleh
kandungan lemak feses yang terkecil yaitu 0,472%. Kandungan lemak feses meningkat
pada level tepung rajungan 10 % (0,737%) dan level 15 % (0,725%) yang
mengakibatkan menurunnya pertambahan bobot badan tikus dan efisiensi pakan, artinya
jumlah nutrisi yang dapat diserap tubuh tikus menjadi berkurang dengan semakin
meningkatnya tingkat pemberian tepung rajungan dalam pakan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan hasil percobaan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Penambahan tepung rajungan dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kandungan lemak feses tikus putih
2. Kandungan lemak feses tikus yang paling tinggi diperoleh dari tingkat
penggunaan tepung rajungan 10% (0.737%) yang diikuti level 15%(0.725%)
3. Efisiensi pakan tertinggi diperoleh pada penambahan tepung rajungan 5%
(13,10%)

8

9

SARAN
Tepung rajungan sebagai sumber kitin untuk menekan tingginya deposit lemak
dalam tubuh dapat digunakan pada level 10 % dalam ransum. Sebaiknya ada penelitian
lanjutan yang serupa dengan menggunakan hewan yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Angka, S.L. dan M.T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Pengkajian
Sumberdaya dan Pesisir Lautan, IPB. Bogor
BPS, 1998. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor II. Biro Pusat
Statistik, Jakarta
Chruch, D.C. and W.G. Pond. 1979. Basic Animal Nutrition and Feeding. Third edition.
John Wiley and Sons. 308-310
Linder, M.C. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Ilmu Hayati, IPB Bogor.
Shahidi, F., J.K. V Arachchi and Y. J Jeon. 1999. Food Applications of Chitin and
Chitosan. Trends in Food Science and Technology, 10:37-51.
Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press, Jakarta.
Steel, R G D and J.H Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrika. Alih Bahasa: Bambang Sumantri. Cetakan ke 2. PT Gramedia
Jakarta.
William, S.R. 1985. Nutrition and Diet Theraphy. Times Mirrir Mosby College
Publishing. St. Louis.
Sugihartini, L. 2001. Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Demineralisasi
Khitin terhadap Mutu Khitosan dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus).
Skripsi Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor.

9