Media dan Terorisme.
Pikiran
-
c
- --- Senin
.2
3
--- -1
17
G
18
, '\ JafJ
--.
19
0
0
Sefasa
4
5
20
21
0
Rabu
6
7
22
8
Rakyat
.
0
Kamis
9
23
10
24
~
Jumal
11
Sab/u
12
26
0
13
27
28
Minggu
14
15
29
16
30
31
Peb,.:
Mar 0 Apr () Me; ,~Jlln
. Jill 0 Ags 0 Sep 0 Okl 0 Nov 0 Des
._.
-- -.--.----
Media dan Terorisme
Oleh MUHAMMAD
Berbagai ulasan
yang terkait dengan
terorisme tersebut tidak lepas dari liputan
media yang memberitakan soal terorisme
dalam berbagai aspek. Sebagian kalangan mengkritik dan
menganggap media
massa telah mengeksploitasi berbagai tayangan terorisme.
EPEKAN terakhir liputan media maSsa diwarnai berbagai pemberitaan terorisme yang kembali
mengguncang Jakarta melalui
aksi pengeboman di J.W. Marriott dan Ritz-Carlton. Tentu
saja efek pengeboman tersebut
berpengaruh secara fisik seperti yang dialami langsung oleh
korban, yang meninggal maupun yang luka-Iuka, secara psikis yaitu mereka yang memiliki
kedekatan emosional secara
personal dengan korban, maupun secara institusional antara
keluarga tertuduh teroris dan
pemerintah, yang dalam hal ini
kepolisian.
Menurut Zuhairi Misrawi
(2004), terorisme diartikulasi-
S
---
KHAIRIL
kan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat
personal yaitu aksi personal
yang memiliki kepentingan
personal. Kedua, terorisme
yang bersifat kolektif, yaitu teroris melakukannya secara terencana, dilembagakan dalam
jaringan yang rapi dan sasarannya adalah simbol-simbol kekuasaan dan perekonomian.
Ketiga, terorisme yang dilakukan negara (state terrorism).
Penggagasnya adalah Mahathir
Muhammad. Menurut dia, terorisme yang dikerahkan negara tidak kalah dahsyatnya dari
terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk sebelumnya dilaksanakan dengan
sembunyi-sembunyi sedangkan
terorisme yang dilakukan negara secara terang-terangan dan
dapat dilihat secara kasat mata.
Motif teror yang terjadi 17
Juli lalu jika merujuk pada pernyataan Zuhairi, aksi teror tersebut jelas tergolong tindak terorisme yang bersifat kolektif.
Ada dua alasan yang men unjang hal tersebut. Pertama, para pelaku teror secara terencana dan kolektif menyusun stategi dan jadwaI yang tepat sebelum melakukan aksinya. Hal ini
terbukti setelah mereka lolos
dalamjaringan berlapis pengamanan pada kedua hotel tersebut.
Kedua, jaringan terorisme
memilih dan memilah sasaran
yang tepat untuk aksi mereka
yaitu simbol-simbol kekuasaan
dan perekonomian. Hotel J.W.
Marriott dan Ritz-Carlton adalah dua hotel berbintang lima
yang sering digunakan untuk
berbagai kegiatan penting bertaraf internasional, termasuk
tempat menginap para pemain
Manchester United (MU) walaupun akhirnya dibatalkan.
Berbagai ulasan yang terkait
dengan terorisme tersebut tidak lepas dari liputan media
yang memberitakan soal terorisme dalam berbagai aspek.
Sebagian kalangan mengkritik
dan menganggap media massa
telah mengeksploitasi berbagai
tayangan terorisme.
Hubungan antara media dan
terorisme diungkap lebih lanjut
oleh Weiviorla (1993) yang
menjabarkan empat hubungan.
Pertama, pure indifference, yaitu teroris tidak hendak menakut-nakuti kelompok populasi
sasaran di luar korban-korban
mereka ataupun tidak hendak
merealisasikan kudeta propaganda melalui aksi terorisme
mereka.
Kedua, relative indifference,
yaitu kekerasan tidak sematamata berorientasi pada media.
Tujuannya tidak untuk mempertontonkan aksi atau menarik perhatian media massa.
Ketiga, media oriented strategy, yaitu tindakan terorisme
merupakan hasil perhitungan
matang mengenai perilaku media massa. Komunike-komunike dari terorisme itu dirancang
secara cermat dan aktivitas mereka diprogram agar mengandung karakteristik-karakteristik
yang memang sesuai dengan
beragam media. Pada tingkat
taktik mereka bermain-main
dengan kebingungan di kalangan masyarakat atau pemerintab.
Keempat, a total break with
the broader community. Dalam hal ini jurnalis menjadi
musuh teroris.
Dari keempat hubungan terorisme dan mec,lia tersebut,
pengeboman di hotel J.W.
Marriot dan Ritz-Carlton termasuk dalam kategori hubungan media oriented strategy yaitu motif orientasi pelaku teroris yang merencanakan teror
dengan strategi untuk dapat diliput media massa sehingga pesan yang ingin mereka sampaikan sesuai dengan target yang
mereka inginkan.
Bagi para teroris, ketika era
dunia telah menjadi era media
massa, tindakan mereka seperti mendapat kendaraan yang
tepat. Terlebih ketika teror memang merupakan pesan yang
harns tersebar luas secara massif. Kendaraan yang paling
mampu mendistribusikan pesan itu adalab media massa.***
Penulis,
dosen Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako dan saat ini
sedang menempuh Program
Doktoral Pascasarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.
-- Kliping
Humas
Unpad
2009
-
c
- --- Senin
.2
3
--- -1
17
G
18
, '\ JafJ
--.
19
0
0
Sefasa
4
5
20
21
0
Rabu
6
7
22
8
Rakyat
.
0
Kamis
9
23
10
24
~
Jumal
11
Sab/u
12
26
0
13
27
28
Minggu
14
15
29
16
30
31
Peb,.:
Mar 0 Apr () Me; ,~Jlln
. Jill 0 Ags 0 Sep 0 Okl 0 Nov 0 Des
._.
-- -.--.----
Media dan Terorisme
Oleh MUHAMMAD
Berbagai ulasan
yang terkait dengan
terorisme tersebut tidak lepas dari liputan
media yang memberitakan soal terorisme
dalam berbagai aspek. Sebagian kalangan mengkritik dan
menganggap media
massa telah mengeksploitasi berbagai tayangan terorisme.
EPEKAN terakhir liputan media maSsa diwarnai berbagai pemberitaan terorisme yang kembali
mengguncang Jakarta melalui
aksi pengeboman di J.W. Marriott dan Ritz-Carlton. Tentu
saja efek pengeboman tersebut
berpengaruh secara fisik seperti yang dialami langsung oleh
korban, yang meninggal maupun yang luka-Iuka, secara psikis yaitu mereka yang memiliki
kedekatan emosional secara
personal dengan korban, maupun secara institusional antara
keluarga tertuduh teroris dan
pemerintah, yang dalam hal ini
kepolisian.
Menurut Zuhairi Misrawi
(2004), terorisme diartikulasi-
S
---
KHAIRIL
kan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat
personal yaitu aksi personal
yang memiliki kepentingan
personal. Kedua, terorisme
yang bersifat kolektif, yaitu teroris melakukannya secara terencana, dilembagakan dalam
jaringan yang rapi dan sasarannya adalah simbol-simbol kekuasaan dan perekonomian.
Ketiga, terorisme yang dilakukan negara (state terrorism).
Penggagasnya adalah Mahathir
Muhammad. Menurut dia, terorisme yang dikerahkan negara tidak kalah dahsyatnya dari
terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk sebelumnya dilaksanakan dengan
sembunyi-sembunyi sedangkan
terorisme yang dilakukan negara secara terang-terangan dan
dapat dilihat secara kasat mata.
Motif teror yang terjadi 17
Juli lalu jika merujuk pada pernyataan Zuhairi, aksi teror tersebut jelas tergolong tindak terorisme yang bersifat kolektif.
Ada dua alasan yang men unjang hal tersebut. Pertama, para pelaku teror secara terencana dan kolektif menyusun stategi dan jadwaI yang tepat sebelum melakukan aksinya. Hal ini
terbukti setelah mereka lolos
dalamjaringan berlapis pengamanan pada kedua hotel tersebut.
Kedua, jaringan terorisme
memilih dan memilah sasaran
yang tepat untuk aksi mereka
yaitu simbol-simbol kekuasaan
dan perekonomian. Hotel J.W.
Marriott dan Ritz-Carlton adalah dua hotel berbintang lima
yang sering digunakan untuk
berbagai kegiatan penting bertaraf internasional, termasuk
tempat menginap para pemain
Manchester United (MU) walaupun akhirnya dibatalkan.
Berbagai ulasan yang terkait
dengan terorisme tersebut tidak lepas dari liputan media
yang memberitakan soal terorisme dalam berbagai aspek.
Sebagian kalangan mengkritik
dan menganggap media massa
telah mengeksploitasi berbagai
tayangan terorisme.
Hubungan antara media dan
terorisme diungkap lebih lanjut
oleh Weiviorla (1993) yang
menjabarkan empat hubungan.
Pertama, pure indifference, yaitu teroris tidak hendak menakut-nakuti kelompok populasi
sasaran di luar korban-korban
mereka ataupun tidak hendak
merealisasikan kudeta propaganda melalui aksi terorisme
mereka.
Kedua, relative indifference,
yaitu kekerasan tidak sematamata berorientasi pada media.
Tujuannya tidak untuk mempertontonkan aksi atau menarik perhatian media massa.
Ketiga, media oriented strategy, yaitu tindakan terorisme
merupakan hasil perhitungan
matang mengenai perilaku media massa. Komunike-komunike dari terorisme itu dirancang
secara cermat dan aktivitas mereka diprogram agar mengandung karakteristik-karakteristik
yang memang sesuai dengan
beragam media. Pada tingkat
taktik mereka bermain-main
dengan kebingungan di kalangan masyarakat atau pemerintab.
Keempat, a total break with
the broader community. Dalam hal ini jurnalis menjadi
musuh teroris.
Dari keempat hubungan terorisme dan mec,lia tersebut,
pengeboman di hotel J.W.
Marriot dan Ritz-Carlton termasuk dalam kategori hubungan media oriented strategy yaitu motif orientasi pelaku teroris yang merencanakan teror
dengan strategi untuk dapat diliput media massa sehingga pesan yang ingin mereka sampaikan sesuai dengan target yang
mereka inginkan.
Bagi para teroris, ketika era
dunia telah menjadi era media
massa, tindakan mereka seperti mendapat kendaraan yang
tepat. Terlebih ketika teror memang merupakan pesan yang
harns tersebar luas secara massif. Kendaraan yang paling
mampu mendistribusikan pesan itu adalab media massa.***
Penulis,
dosen Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako dan saat ini
sedang menempuh Program
Doktoral Pascasarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.
-- Kliping
Humas
Unpad
2009