Hubungan Media dan Terorisme Studi Kasus

Hubungan Media dan Terorisme : Studi Kasus Aksi Teror dalam
Pemberitaan Global Serangan 13/11 di Paris
Oleh Muhammad Ahalla Tsauro
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Abstrak
Tulisan ini mencoba melihat seperti apa hubungan media dan terorisme di era kontemporer saat
ini yang sama-sama saling mempengaruhi dan saling menguatkan. Serangan teror 13/11 yang
terjadi di Paris menjadi pilihan yang tepat lantaran kasus ini menjadi salah satu isu global yang
didalamnya mampu melihat bagaimana media dan terorisme bekerja. Dengan menggunakan
pendekatan media, penulis melihat bahwa terorisme dimanfaatkan untuk tujuan pemberitaan
global itu sendiri. Sedangkan dari teroris, media digunakan sebagai salah satu sarana untuk
memperluas pengaruh dan ancamanya terhadap masyarakat global. Serangan yang terjadi di
tempat publik di Paris menjadi ajang yang tepat untuk membuka babak baru terorisme dengan
menjamurnya berbagai pemberitaan global baik di media dan pers internasional ataupun dari
media sosial yang kini juga menjadi sumber berita. Tidak hanya media saja yang aktif dalam
pemberitaan isu ini, bahkan pelaku terorisme dalam hal ini ISIS juga mampu memanfaatkan
media sebagai alat baru dalam menerapkan strategi terornya, hal ini kemudian menjadi tantangan
global seluruh negara dalam memerangi ISIS, sehingga pemahaman akan hubungan media dan
terorisme menjadi penting kiranya untuk menjawab persoalan mengenai terorisme.
Kata Kunci : Terorisme, Media, Berita Global, Serangan 13/11 Paris


Pendahuluan
Reaksi media massa begitu masif pasca kejadian serangan dibeberapa tempat di Paris pada 13
November 2015 lalu yang menyebabkan ratusan korban meninggal dan mengalami luka-luka,
tidak sedikit dari pengguna media sosial yang bereaksi dengan menyatakan bela sungkawa
dengan cara masing-masing atas kejadian ini dan mengutuk pelaku teror. Mark Zuckerberg,
founder facebook sampai menyediakan fitur untuk berbelasungkawa dengan memberikan layar
setiap pengguna facebook dengan layar bendera prancis. Kabar yang berkicau di twitter pun
tidak mau kalah, kasus terror ini menjadi trending topic menggunakan tagline #PrayforParis
diseluruh dunia pengguna media sosial ini hingga beberapa pecan di bulan November.
Disamping itu, media-media internasional banyak yang melakukan pemberitaan secara global
mengenai segala hal yang berkaitan dengan aksi teror ini. Harian Prancis, Le Perisien, mengutip
sebuah judul utama di headline utamanya L’horreur yang artinya keketakutan. Terdapat pula

ulasan menarik lainya yang berjudul, cette fois c’est la guerre, yang artinya untuk kali ini, ini
adalah perang. Media internasional lain seperti NewYork Times, Daily News, The Mail, Le
Depeche, The Sun dan masih banyak lagi juga tidak mau luput ambil bagian dalam
memberitakan kasus terror ini.
Hadirnya media sosial dan juga media korporasi internasional memberikan wajah baru pada aksi
teror yang terjadi saat ini. jika dahulu, ketika aksis teror pertama kali yang terpublikasikan adalah
pembunuhan yang terjadi pada olimpiade 1972 yang dimuat oleh televisi pada waktu itu

memberikan ancaman yang begitu besar. Bagaimana dengan kondisi saat ini yang mana
informasi dan teknologi komunikasi telah berkembang pesat, pemberitaan melalui siaran televisi
tersebar dimana-mana. Secara tidak langsung opini publik terkontruksi dari apa yang diberitakan
oleh berbagai media mainstream. Jika dilihat dari perkembangan aksi terror yang paling dekat,
aksi terror yang terjadi di Paris ini masih menjadi agenda perang melawan terorisme pasca
kejadian 9/11 di Amerika Serikat. Gedung WTC yang runtuh diolah sedemikian rupa oleh media
Amerika sebagai titik awal peperangan melawan teroris. Sejak saat itu, ketakutan masyarakat
akan teroris semakin merebak, bahkan sampai bergeser pada phobia islam, karena indikasi
berbagai kelompok teroris tersebut berasal dari negara mayoritas muslim. Tidak jauh beda dari
tragedi 9/11, kasus serangan 13/11 di Paris menjadi titik penting bagi aksi terror ditengah
berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan informasi. Dari sini, aksi teror semakin menjadi
isu global, menjadi musuh bersama, lantaran media memainkan peran pentingnya. Anehnya, para
teroris yang dalam hal ini Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau yang lebih dikenal dengan
ISIS juga mahir memanfaatkan media, bahkan pasca tragedy 13/11, ISIS merilis rekaman yang
berisikan bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan di Paris.
Fenomena ini menjadi unik lantaran berkembangnya media, disamping sisi positif yang didapat
dari media dalam mengakses informasi dan mempermudah kehidupan sehari-hari, ternyata media
juga memberikan dampak negatif begitu besar bagi aksi-aksi teror yang terjadi. Untuk itu, dalam
tulisan kali ini, penulis mengulas beberapa hal penting mengenai hubungan media dan terorisme,
selanjutnya kaitanya dengan kasus serangan 13/11 di Paris.


Pembahasan
Terorisme menjadi Berita Global (Media, Terorisme dan Pemerintah)
Media dan terorisme tidak dapat dipisahkan, sama halnya dengan media dan pemerintah,
keduanya bersifat saling membutuhkan. Penulis mengasumsikan apa daya yang bisa dilakukan
aksi terorisme tanpa adanya pemberitaan oleh media. Jika saja terjadi suatu pengeboman di suatu
tempat terpencil tanpa ada akses informasi di sana, aksi ini tentu tidak akan tersebar ke seluruh
masyarakat lainnya. Dampaknya, pengeboman ini hanyalah bersifat pembunuhan lokal tanpa
adanya penyebaran horor dan ketakutan, yang notabene tidak sesuai dengan kepentingan
terorisme. Dengan kata lain, media berperan penting dalam menempatkan posisi terorisme
sebagai breaking news, demi keuntungan kedua belah pihak.
Dalam masa teknologi informasi, media memiliki peranan untuk menyebarkan berbagai
informasi, terutama yang berkaitan dengan masalah publik seperti bencana alam, terorisme, isu
politik, isu sosial dan budaya, isu ekonomi, dan lain sebagainya. Bagi media, penyediaan
informasi ini berhubungan langsung dengan tingkat pendapatan korporasi media. Jika informasi
yang disiarkan menarik minat banyak penonton, rating media akan meningkat dan profit yang
dihasilkan juga bertambah. Oleh karenanya, media tidak sembarangan dalam menampilkan
berita. Hanya isu-isu tertentu yang dianggap dapat menarik perhatian penontonlah yang
ditampilkan. Isu tertentu ini, salah satu yang paling bisa menarik perhatian, adalah isu terorisme.
Terorisme sebagai breaking news yang sempurna terlihat dari dihentikannya semua program

acara televisi demi tayangan aksi terorisme yang mungkin saja lokasinya jauh dari penonton
(Nacos, 2002:35). Sementara media menyebarluaskan berita terorisme demi rating dan profit,
pemerintah seakan berusaha mendamaikan kondisi yang mungkin “heboh” pascakemunculan
berita.
Terorisme memang menempati posisi unik, baik dalam media, maupun dalam pemerintahan.
Martin (2006:392) memaparkan dua perspektif media dan pemerintah yang saling bertolak
belakang namun masih berhubungan dalam melihat isu terorisme. Di satu sisi, media meletakkan
objektivitas dan kepentingan publik dalam menyajikan berita. Media terkesan memberitakan aksi
terorisme secara mentah-mentah tanpa menampilkan alasan terjadinya peristiwa tersebut. Hal ini
memberikan suatu mispersepsi dan misinterpretasi mengenai terorisme. Penonton hanya

memahami bahwa telah terjadi suatu aksi kekerasan yang pada akhirnya menyalahkan pelaku
kekerasan tanpa tahu maksud dan tujuan dari terjadinya kekerasan. Di sisi lain, pemerintah
berusaha untuk menekan berita terorisme karena khawatir akan timbul chaos akibat ketakutan
yang tidak terkontrol. Pemerintah kemudia seakan menjadi pihak yang lemah bagi penonton
karena pemerintah tidak mampu mengatasi atau bahkan mencegah tindakan terorisme yang
terjadi di negaranya. Tidak hanya itu, pemerintah diharapkan mampu mengeluarkan kebijakan
yang tepat dalam merespon segala bentuk terorisme. Meskipun demikian, pemerintah tetap
membutuhkan media untuk menginformasikan kepada penonton (masyarakat) mengenai
kebijakan yang diambil demi memperoleh kembali legitimasi yang sempat koyak pascatindakan

terorisme.
Terorisme merupakan isu yang ada jauh sebelum teknologi informasi dan komunikasi secanggih
sekarang. Namun aksi-aksi terorisme hanya berdampak lokal dan tidak menggaung ke seluruh
belahan dunia dalam waktu yang singkat seperti akhir-akhir ini. Berkat media, aksi terorisme
memperoleh sorotan dan menempati peringkat teratas kejaran paparazi. Menurut Martin
(2006:396), media berperan dalam hal publikasi, penyebaran global, dan menyajikan bentuk
komunikasi massa baru bagi terorisme. Dampaknya, terorisme kemudian berbasis media, dengan
segala proses penyebaran informasi, pengiriman pesan kepada penonton, dan pembentukan iklim
teror dilakukan oleh peran aktif media.
Lebih lanjut, Martin (2006:402) berargumen bahwa terorisme berbasis media membawa bentuk
baru bagi medan perang. Medan perang baru dikarakteristikkan dengan beragamnya partisipan
dalam lingkungan teroris, penggunaan media sebagai konsiderasi praktis dan senjata, serta
munculnya risiko reaksi yang menjadi masalah dalam medan perang. Permainan yang
berlangsung dalam medan perang ini adalah penguasaan informasi. Penulis memiliki
pemahaman bahwa jika yang menguasai informasi adalah media, informasi akan bersifat objektif
namun tetap diiringi dengan kepentingan korporasi. Sementara jika informasi dikuasai teroris,
legitimasi akan jatuh ke pangkuan terorisme. Sedangkan jika pemerintah yang berhasil
menguasai informasi, legitimasi tetap berada di tangan pemerintah namun dengan adanya
regulasi khusus bagi media.
Istilah “kesuksesan” kemudian bergeser menjadi “kesuksesan penguasaan informasi” ataupun

“kesuksesan perang di media”. Mungkin saja target terorisme, seperti simbol-simbol kepentingan

lawan (misalnya saja kapitalisme atau Barat), tidak dapat dimusnahkan, namun ketakutan akan
terorisme sudah tersebar ke seluruh dunia. Penyebutan kelompok-kelompok tertentu yang diduga
teroris akan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi yang mendengarnya. Iklim horor dan
penyebaran pesan inilah yang sebenarnya menjadi tujuan para teoris karena iklim semacam ini
akibatnya bisa menjadi dua, yakni kebencian terhadap terorisme atau bahkan perekrutan orangorang yang sepaham dengan terorisme. Dalam kasus 9/11 misalnya, Nacos (2002:38)
menyebutkan dua kepentingan utama terorisme, yakni (1) menunjukkan kelemahan Amerika
Serikat, menakuti publik, dan melemahkan kebebasan sipil; dan (2) mengupayakan perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam kaitannya dengan Timur Tengah dan negara
mayoritas Muslim lainnya.
Terorisme bergerak dalam multiplikasi, bahwa keberhasilan terorisme tidak akan terjadi tanpa
media turut campur dalam mendramatisasi aksi mereka (Nacos, 2002:41). Dalam hal ini, publik
menyimak aliran informasi yang disediakan media sehingga publik merasa terlibat dalam berita
yang disajikan dan menjadi bagian dari tragedi tersebut. secara tidak langsung, teroris juga ingin
mencari tahu reaksi publik terhadap tindakan mereka menayangkan gambar dramatis. Media
mampu menyajikan kepentingan publik dalam mengulas suatu tragedi kemanusiaan. Hal inilah
yang menjadi poin penting peranan media sebagai aktor yang menjalankan fungsi informan bagi
publik (Nacos, 2002:67). Oleh karenanya, pemerintah sebagai pemegang legitimasi publik
seyogyanya perlu membuat suatu regulasi khusus, baik berupa gatekeeping maupun intervensi

kebebasan media, demi terciptanya suatu standar etis dalam memberitakan insiden terorisme
(Martin, 2006:413).
Hubungan antara pemerintah, media, dan terorisme dapat disimpulkan bahwa bahwa hubungan
ketiganya meskipun bertolak belakang, tetap memiliki kesinambungan yang bersifat saling
membutuhkan. Pemerintah butuh media, media butuh terorisme, dan terorisme berupaya
menggulingkan legitimasi rezim pemerintahan. Dalam era masyarakat informasi, terorisme
bukanlah suatu keniscayaan ataupun konsekuensi tak terhindarkan.
Penulis memahami aksi terorisme sebagai suatu bentuk protes atas ketidakadilan yang terjadi di
dunia. Masyarakat informasi memiliki peranan dalam penyebaran informasi terorisme yang
diwakili oleh media. Kemunculan terorisme diberitakan oleh media, dan karenanya menciptakan
iklim teror bagi masyarakat yang menontonnya. Informasi yang disediakan media mungkin saja

menjadi jeda bagi terorisme ketika informasi ini memiliki standar etis pemberitaan terorisme
sehingga aliran informasi tidak bergerak tanpa kontrol. Masyarakat dapat memperoleh berita
yang nyata dan benar mengenai terorisme ketika media mengutamakan objektivitas yang
dilingkupi oleh standar etis demi meluruskan mispersepsi terhadap terorisme.
Serangan 13/11 di Paris
Menurut rangkuman berita AFP dan Reuters, Serangan di Paris merupakan serangan teroris
bersenjata dan pengeboman yang menewaskan tidak kurang dari 128 korban meninggal dan
ratusan lainya menderita luka-luka di tempat penting seperti restoran Le Petit Cambodge dan Le

Carillon di Rue Aliert, Stadion sepak bola Stade de France, bar La Belle Equipe di Rue La
Charonne, Les Halles di Rue de la Fontaine, dan pertunjukan konser musik di Bataclan.
(www.reuters.com) Kejadian ini mendapat simpati yang begitu luar biasa dari masyarakat
internasional. Dan kejadian di Paris ini menjadi salah satu aksi teror yang menarik begitu banyak
perhatian yang dilakukan oleh ISIS di tahun 2015. Bahkan harian berita Kompas menyebutkan
dalam headline-nya, Mimpi Buruk Perancis Menjadi Kenyataan, Dunia Bersatu Mengecam
Serangan Teror di Paris.
Kompas pun tidak luput memberitakan aksi teror ini dengan menghadirkan analisis dari sumber
pemberitaan dari berbagai laman media seperti CNN, NewYor Times, Stratfor, dan sumber
penmberitaan lainya yang begitu luar biasa dengan menghadirkan kejadian perkara detail sesuai
dengan realitas yang terjadi. Pada pukul 21.20, dua teroris menembak selama tiga puluh menit
menggunakan senapan jenis Kalashnikov (AK) di Restoran Le Petit Cambodge dan Le Carillon
di Rue Aliert. Setelah kejadia ini polisi Paris mulai memperketat penjagaan lantaran orang-orang
berhamburan dan belasan orang ditemukan tewas. Pada 21.20 tiga ledakan bom bunurh diri
terjadi di luar Stadion Sepak Bola Stade de France saat berlangsung pertandingan persabahatan.
Presiden Francois Hollande yang turut menonton pun dievakuasi oleh petugas keamanan. Pukul
21.30 terjadi penembakan di Rue de la Charonne, di luar bar La Belle Equipe. Dilaporkan pula
terjadi tembakan di Rue de la Fontaine dan Les Halles. Pukul 22.00 empat teroris menyerbu
masuk gedung pertunjukan Bataclan saat berlangsung pertunjukan konser musik di Bataclan.
Pelaku teror menembaki dan menyalakan bahan peledak, ditambah lagi tidak kurang dari seratus

penonton disanderan di lokasi tersebut.

Presiden Francois Hollande merespon kejadian ini dengan memberlakukan tiga hari berkabung
nasional. Ia menyebut bahwa kejadian ini merupakan kejadian horor, karena ia merasakan secara
langsung karena ia dievakuasi ketika menonton pertandingan persahabatan timnas Perancis.
Hollande juga menyebut bahwa kejadian ini merupakan serangan yang dipersiapkan dengan
baik, terorganisir, terencana dan direncanakan oleh pihak dari luar dan dalam Perancis. Jauh
sebelum kejadian ini berlangsung, terdapat dua aksi teror di bulan januari ; serangan ke kantor
redaksi Charlie Hebdo yang menewaskan dua belas orang dan juga penyanderaan tiga puluh
orang oleh tiga orang pelaku yang menewaskan 4 pengunjung swalayan khusus makanan yahudi.
Hubungan Media dan Terorisme
Terorisme dan media memang bukan sebuah term yang memiliki makna yang sama. Terorisme
merupakan paham yang berangkat dari bagaimana menciptakan ketidakamanan, ketakutan pada
masyarakat. Sedangkan media, lebih cenderung pada alat, yang mana menjadi wadah bagi segala
aktivitas untuk dipublikasikan. Terorisme dan Media memiliki kaitan erat satu sama lain, banyak
para penstudi yang melakukan penelitian secara mendalam dan kemudian memberikan
argumenya masing-masing terkait hubungan media dan terorisme. The media are the terrorist’s
best friends, the terrorist’s act by itself is nothing, publicity is all (Laquer 2004). Bagaimana
terorisme bisa menjadi mitra kerja teroris yang begitu dekat. Hal ini tidak lain karena apa yang
dilakukan oleh media adalah publikasi kepada masyarakat umum sehingga apa yang diberitakan

secara tidak langsung memberikan dampak tersendiri bagi terorisme. Bahkan terorisme tidak
melakukan apa-apa dengan hadirnya media. Kejadian di Paris juga secara erat menunjukkan
bahwa pelaku teror cukup diam saja, media internasional yang akan memberikan justifikasi
sesuai penerjemahan mereka masing-masing, dengan demikian ia telah menebar teror terhadap
orang-orang disekitar. Sikap majalah Le Parisien misalnya, kontribusinya dalam mengulas berita
baik itu opini, mengolah data selama berhari-hari mengenai kasus ini, ditambah lagi dengan
hadirnya dugaan pelaku yang merupakan anggota ISIS menjadi bahan berita yang cukup
menunjukkan betapa menakutkanya aksi teror tersebut (www.reuters.com).
Terrorist attacks are often carefully choreographed to attract the attention of the electronic
media and the international press” (Jenkins in Hoffman 1998, 132). Jenkins benar jika, serangan
teroris memiliki daya tarik tersendiri untuk diberitakan oleh media dan pers. Ditengah kondisi
politik suatu negara sedang stabil misalnya, atau sedang sibuk mempersiapkan urusan maupun

keperluan lain, serangan teror menjadi pemecah berita mainstream yang terjadi. CNN
memberikan laporan bahwa penyerangan November lalu, adalah kejadian ditengah padatnya
aktivitas di pusat ibukota (www.cnn.com ). Serangan yang terjadi tidak jauh dari Stade de France
misalnya, menjadi perhatian tersendiri bagi media. Kamera dan perilis berita berlomba-lomba
memberikan cara terbaik untuk memberikan berita yang menarik.
Aksi teror dalam beberapa kejadian juga bisa dimaknai sebagai pesan politik. Apa yang
dilakukan ISIS sebenarnya menyimpan tanda Tanya, apa yang sebenarnya ISIS inginkan dari

serangan yang terjadi di Paris. Apakah sebenarnya ia memberikan pesan secara langsung bahwa
aksi teror ini bukan lagi mengancam negara di Timur Tengah saja, akan tetapi negara di Eropa
pun berpotensi untuk diserang. Menurut berita harian Kompas (2015), aksi teror ini menjadi
sebuah pesan bagi publik atas apa yang mereka perbuat, bukan hanya serangan di Paris. Akan
tetapi serangkaian perang di Suriah dan Irak, penguasaan minyak, serangan di Mali, Somalia dan
Mesir seakan menjadi sebuah pesan bahwa mereka ini sangat kuat. “Terrorism..may be seen as a
violent act that is conceived specifically to attract attention and then, through the publicity it
generates, to communicate a message” (Hoffman 1998, 131)
Bagi teroris, media masa adalah alat komunikasi paling efektif untuk mencapai tujuannya, untuk
menebar ancaman, teroris tidak perlu lagi bersusah payah untuk memberikan teror setiap hari,
akan tetapi sedikit kutipan di media, sudah memberikan ancaman. Ditambah lagi jika media
besar mulai ikut andil, hal tersebut benar-benar menjadi senjata bagi teroris. Tanpa pemberitaan
luas media massa, terorisme tidak akan berarti; tidak akan punya gigi dan tidak akan berdampak
luas. Apa jadinya jika isu teror tidak disebar luas, masyarakat tidak tahu apa itu aksi teror,
seberapa kejam aksi tersebut. terorisme seakan menjadi ‘puzzle’ hilang yang ditemukan kembali.
Tanpa media, isu teror tidak akan menakutkan. Kasus ISIS misalnya dalam membunuh wartawan
Amerika yang diunggah ke media sosial dan kemudian media besar ramai-ramai memberitakan
kejadian tersebut. pemberitaan secara luas itulah yang justru memberikan ancaman. Kejadian di
Paris dan pemberitaanya, menjadikan sebagian besar warga eropa berdiam diri di rumah dalam
beberapa hari, status siaga keamanan yang diterapkan setiap negara benar-benar ingin
memproteksi warganya dari serangan teror yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa media telah
berhasil menebar teror. Dengan kata lain, media massa membuat tugas teroris untuk meneror
menjadi lebih mudah dengan cara menyebarluaskan dan menebar ketakutan. Tanpa liputan

media, dampak kekerasan hanya terbatas pada korban dan sasaran langsung. Hal ini menjadi
kriteria tersendiri dalam perkembangan terorisme di era kekinian.
Kemajuan teknologi komunikasi meningkatkan kemampuan propaganda teroris, baik media
ataupun pihak teroris itu sendiri. Betapa hebatnya teknologi komunikasi tersebut dapat berhasil
menjadi ancaman serius bagi banyak orang. Berapa banyak warga eropa yang begitu berhari-hati
keluar rumah pasca serangan 13/11, berapa banyak ketakutan akan simbol islam bermunculan,
betapa banyak polisi yang bertugas menjaga keamanan masyarakat dan lain lain
(www.reuters.com). Propaganda teroris menjadi keberhasilan tersendiri bagin berita harian yang
muncul. Publisitas media menjadi oksigen bagi terorisme untuk bernafas, menjadi aliran darah
yang mampu menyebar samoai ke nadi-nadi tersempit dan terkecil dilapisan masyarakat, dan
menjadi sahabat baikbagi teroris tentunya dengan kebaikan-kebaikan dalam menyebar luaskan
berita teror (www.cbsnews.com ).
Terorisme yang sekarang ini terjadi, oleh Weiman dan Winn (1994) dianggap sebagai model
baru terorisme. Hal ini tidak lain disebabkan oleh peran media dalam memberitakan kejadian
tersebut secara dramatis, efek inilah yang menjadi pembeda dari kejadian-kejadian sebelumnya.
Modern terrorism can be understood in terms of the production requirements of theatrical
engagements. Terrorists pay attention to script preparation, cast selection, sets, props, role
playing & minute-by-minute stage management (Weiman & Winn 1994, 52 in Nacos 2002).
Mengapa kejadian di Paris diberitakan oleh media secara detail bagaimana pengeboman dan
penembakan terjadi, kantor berita Reuters misalnya yang dikutip oleh kompas kejadian perkara
dengan menghadirkan kronologi detail kejadian di Paris mulai dari Stade de France dampai
Bataclan. Itu semua terjadi dalam satu malam, dan uniknya media lain sepakat dengan realitas
yang terjadi ini.
Terorisme dan Media Saling Memanfaatkan
Menjadi menarik kemudian, apakah terorisme memanfaatkan media. Untuk menjawab
pertanyaan ini penulis memberikan beberapa poin penting. Pertama, Terorisme memberikan
pesan ketakutan kepada khalayak luas melalui dan memanfaatkan media (Nacos, 2002).
Sebagaimana dijelaskan pada halaman sebelum ini, media benar-benar menjadi alat yang bekerja
dengan sendirinya dan dimanfaatkan oleh terorisme untuk bergerak memberikan ancaman. Salah

satu kejadian menarik pasca serangan 13/11, adalah kemunculan pria bertopeng yang
mengatasnamakan ISIS dan mengaku bahwa mereka bertanggung jawab atas kejadian ini yang
secara tidak langsung memberikan tekanan pada masyarakat bahwa terorisme benar-benar ada..
dalam video youtube yang diunggah, pria tersebut menyampaikan pesan berikut;
"This is only the beginning, ISIS. We will hunt you, take down your sites, accounts, emails and
expose you ... You will be treated like a virus and we are the cure. We are Anonymous. We are
legion. We do not forgive. We do not forget. ISIS, it is too late to expect us."
(www.cbsnews.com )
Kedua, Terorisme berhasil mempolarisasi pendapat umum dengan memberikan stereotype
permanen pada simbol-simbol yang memiliki kaitan erat dengan pelaku teror, ketakutan yang
dimunculkan dimanfaatkan oleh media untuk menarik dan menawarkan opini mengenai realitas
yang terjadi (Nacos, 2002). Berapa banyak warga eropa yang mengalami phobia dengan
pemberitaan media tersebut. bahkan semua media dan pers internasional seakan telah berhasil
memberikan pendapat umum dan opini yang disepakati bahwa teror yang menakutkan tersebut
berasal dari kelompok radikal (Weimann, 2005). Dengan ini para teroris dapat menikmati
laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak
musuh dan mencegah keberanian polisi secara individual
Ketiga, Terorisme berhasil memanfaatkan media untuk merekrut dan menarik anggota baru pada
gerakan teroris. Melalui motif ekonomi dan doktrin ideology ekstrimis, ISIS berhasil mewadahi
minat ribuan anak muda untuk dilatih menjadi anggota kelompok teror yang kuat (Nacos, 2002).
Memanfaatkan akun di media sosial, ISIS tentunya memanfaatkan momen ini untuk menarik
pemuda sebanyak-banyaknya, mulai dari Arab, Afrika, Asia hinnga Eropa, tidak sedikit dari
mereka yang tertarik untuk bergabung dengan gerakan teroris ekstrimis ini. Kasus Paris
mengungkap bahwa pelaku teror merupakan anak muda yang berasal dari negara tetangga yakni
Belgia, mereka masuk ke Eropa melalui gelombang pengungsi dari Suriah yang masuk ke Eropa
melalui jalur darat dari Turki. Keempat, Terorisme mamanfaatkan media mengecoh musuh
dengan menyebar informasi palsu (Nacos, 2002). Tidak jarang memberikan ancaman melalui
telepon maupun pesan singkat untuk menebat ancama teror, walaupun sejatinya tidak. Bisa jadi,
kejadian pembunuhan wartawan di Irak dan Suriah hanyalah kebohongan belaka, untuk

menambah ketakuran dengan menebar informasi yang tidak benar. Seringkali, strategi ini
berhasil mengelabui lawan para teroris yakni pihak yang memerangi teror.
Keenam, Terorisme memanfaatkan media untuk mengiklankan diri dan menyebabkan mereka
merasa terwakili.keterwakilan inilah yang menjadikan mereka para teroris untuk terus
menunjukkan diri mereka ke public (Nacos, 2002). Kriteria teroris ini memang bisa dibilang
cukup aneh, lantaran pelaku kejahatan tertentu ingin menunjukkan bahwa mereka pelaku, dan
bangga dengan itu.Ketujuh, Terorisme memanfaatkan media untuk membangkitkan keprihatinan
publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi.
Keprihatinan ini kemudian menjadi isu utama yang dituangkan oleh para netizen di media sosial
mereka.ukuran ini kemudian menjadi isu sentral yang mampu menarik langkah atau kebijakan
untuk menanggulangi kasus ini. secara tidak langsung, pemerintah meninggalkan urusan yang
lebih penting lainya untuk urusan ini dan mendapatkan bantuan dari negara yang berbelah
kasihan atas korban serangan. Kedepalan, Terorisme memanfaatkan media untuk mengalihkan
perhatian publik dari isu-isu yang tak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi
halaman depan media. Untuk bagian ini, pembaca harus cerdas dalam menyikapi suatu
pemberitaan, apakah benar-benar menimbulkan teror yang mengalihakan isu lain. Bisa jadi ada
sesuatu yang lebih besar yang ingin disampaikan oleh teroris tersebut. Kesembilan, terorisme
memanfaatkan media untuk membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah (Nacos,
2002). Dalam hal ini yang menjadi sorotan utama adalah bagaiman negara tidak mampu
mengamankan warganya sehingga teror pun tidak terelakkan dan banyak korban berjatuhan.
Sebagaimana terjadi di Perancis dan Uni Eropa, dengan kekuatan keamanan yang begitu ketat,
mereka tetap kecolongan yang kemudian menjadi indikator terjadinya kejadian yang tidak
diinginkan tersebut.
Kesepuluh, Terorisme memanfaatkan media sebagai jaringan komunikasi eksternal di antara
teroris, jangan disangka, bahwa para pelaku teror juga memiliki kemampuan memanfatkan
teknologi yang canggih, siapa sangka para teroris itu menjaga hubungan dengan anggota teroris
lainya diberbagai negara memalui teknologi tersebut (Nacos, 2002). yang lebih menakutkan lagi
jika kasus di Paris menjadi salah satu kasus yang menunjukkan bahwa terorisme pun bisa
memanfaatkan media dengan sebaik mungkin, buktinya serangan di enam lokasi strategis dan
terencana tersebut bisa terlaksana. Selain itu pelaku teror juga dapat mempelajari teknik-teknik

penanganan terbaru terhadap yang dilakukan dalam kebijakan pemerihatah mengenai terorisme
dari laporan media (Weimann, 2005). Hal ini terkadang dimanfaatkan sebagai celah untuk
mengidentifikasi kejadian dan mampu mengoperasionalisasikan target-target selanjutnya.
Sebagaimana pemberitaan media mengenai strategi apa yang akan diterapkan oleh pemerintah
dan pasukan keamanan menghadapi teror yang mereka lakukan malah menjadi informasi bagi
para teroris, seharusnya strategi tersebut dibatasi agar tidak ada kemungkinan para teroris
mengakses infomasi tersebut.
Sebaliknya, hubungan media dan terorisme juga bisa dilihar dari bagaimana media
memanfaatkan Teroris. Ada beberapa cara yang diterapkan oleh media dalam memanfaatkan
peluang ini. pertama, media memanfaatkan aksi teror sebagai sebuah berita kriminal yang penuh
kekejaman dan kejahatan (Weimann, 2005). Kejahatan merupakan good news bila perhatian
utama hanya menjual koran atau program televisi (bad news is good news) tergantung persepsi
masing masing korporasi media dalam melihat kejadian ini. Kejadian 9/11 di Amerika, oleh
beberapa media dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam menguak dan
mengidentifikasi kasus ini dalam banyak aspek. Dalam hal ini media sangat beruntung, ditambah
lagi jika berita yang diangkat menjadi dasar rujukan dan pedoman akan studi yang berkaitan
dengan terorisme, semakin menggiurkan tentunya bagi media yang berbasis profit oriented
(Nacos, 2002).
Kedua, media memanfaatkan aksi teror untuk menunjukkan berita seperti ini bisa menjadi
informasi yang penting bagi masyarkat agar dapat mengatasi jika terjadi di publik. Media
membawa banyak berita dengan kandungan kekerasan karena merasa publik memintanya agar
menjadi tahu persis tentang aspek-aspek kehidupan yang mengancam mereka. Belajar dari
kejadian teror menjadi poin penting dan utama dari poin yang diinginkan oleh persebaran berita
melalui media (Nacos, 2002). Dengan ini, publik bisa memanajemen aksi teror bilamana terjadi,
nantinya pemerintah pun akan merespon dengan membuat kebijakan baru atau bahkan
membentuk badan untuk menanggulangi aksi teror. Kejadian yang terjadi di Paris juga menjadi
ancaman serius di Tiongkok, dalam beberapa pekan di bulan Desember, berapa banyak
pemerintah menempatkan petugas keamanan di tempat yang ramai untuk bersiap-siap seperti apa
jika kasus teror itu terjadi di negaranya (www.reuters.com )

Ketiga, media memanfaatkan aksi teror untuk menambah informasi sehari-hari yang selalu
didominasi oleh berita mainstream. Publik bahkan menginginkan berita ini untuk merasakan
suasana baru dalam menikmati berita. Kehidupan khalayak yang membosankan karena rutinitas
harian membutuhkan berita-berita kekerasan sebagai gairah yang menggetarkan. Akan tetapi
jangan disalah artikan bahwa kejadian ini mengharapkan agar aksi teror terus terjadi, ini
hanyalah persepsi sebagian orang dalam melihat suatu kejadian. Keempat, Kadangkala ada
kelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan (misi) para teroris, dan media
mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides. Untuk yang seperti
ini biasanya dilakukan oleh media yang lagi-lagi berbasis profit oriented (Nacos, 2002)..
Kesimpulan
Terorisme dan Media di era perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadi sebuah
kombinasi yang semakin memberikan ketakutan pada masyarakat. Keduanya memiliki hubungan
dan saling memanfaatkan yang secara tidak langsung membawa terorisme ke dalam bentuk baru
di era keninian. Terorisme melihat media sebagai alat yang digunakan sebaik mungkin untuk
menebar pengaruh yang luar biasa sedangkan bagi media, terorisme merupakan fenomena yang
mampu mewarnai pemberitaan global. Serangan 13/11 di Paris menjadi sebuah celah contoh
kekinian untuk melihat hubungan seperti apa yang muncul kaitanya terorisme dan media. Media
Internasional seakan tidak mau melewatkan kejadian ini untuk dimuat di laman utamanya
maupun di headline media cetaknya. Sebaliknya, terorisme semakin menancapkan pengaruhnya
di dunia internasional akan eksistensinya sebagaimana diberitakan oleh media.
Referensi
Martin, Gus. (2006). “The Information Battleground: Terrorist Violence and the Role of the
Media. Dalam Understanding Terrorism 2nd edition. London: SAGE Publications.
Nacos, Birgitte L. (2002). Mass-Mediated Terrorism: The Central Role of the Media in
Terrorism and Counterterrorism. Oxford: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Nacos, Birgitte L. 2002. “Mass-Mediated Terrorism in the New World [Dis]Order,” dalam MassMediated Terrorism: The Central Role of the Media in Terrorism and Counterterrorism, Oxford:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc., pp 7-13.

___________________. “Terrorism as Breaking News: Attack on America”, dalam MassMediated Terrorism: the Central Role of the Media in Terrorism and Counterterrorism, Oxford:
Rowman & Littlefield Publisher, Inc. pp. 33-63
____________________. “Political Violence as Media Event”, dalam Mass-Mediated Terrorism:
the Central Role of the Media in Terrorism and Counterterrorism, Oxford: Rowman & Littlefield
Publisher, Inc. pp. 65-102.
Weiman, Gabrielle. 2005. Cybeterrorism: The Sum of All Fears. United States Institut of Peace,
Washington, USA.
UNODC. 2012. United Nation Office on Drug and Crime in Collaboration with United Nation
Counter-Terrorism Impelentation Task Force. The Use of Internet for Terrorist Purpose
Martin, Gus. 2006. The information battleground: terrorist violence and the role of the media.
Dalam Understanding terrorism 2nd edition. London: SAGE publications.
Priyambodo,

RH.

2015.

Kronologi

Awal

Teror

di

Paris

http://www.antaranews.com/berita/529333/kronologi-awal-teror-di-paris (diakses pada 4 Januari
2015)
Reuters,

2015.

Paris

Under

Attack.

http://www.reuters.com/news/picture/paris-under-

attack?articleId=USRTS6VT0 (diakses pada 4 Januari 2015)
Ed

Payne,

2015.

Terror

in

Paris:

Social

media

reacts.

http://edition.cnn.com/2015/11/14/europe/paris-attacks-social-media/ (diaskes pada 4 Januari
2015)
Brian

Mastroianni,

2015.

Anonymous

Versus

ISIS:

Social

Media

War

http://www.cbsnews.com/news/anonymous-vs-isis-social-media-war/ (diakses pada 4 Januari
2015)
Eliott C. McLaughlin Catherine E. Shoichet. 2015. Paris Attack: What We Know So Far
http://edition.cnn.com/2015/11/16/europe/paris-attacks-at-a-glance/ (diakses pada 4 Januari
2016)

Kompas. 2015. Mimpi Buruk Perancis Menjadi Kenyataan: Dunia Bersatu Mengecam Serangan
Teror di Paris. Terbit pada hari Minggu 15 November 2015

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25