Tradisi Suap di Perguruan Tinggi.

Pikiran Rakyat
o Setasa
4

5
20

o Peb

0

Mar

0
6

7
22

21


0

0

Apr

0

Rabu

8
23

Mei

Kamis 0 Jumat
9
10
11
24

25
26

0 Jun 0

Jut

0

Ags'

0

Sabtu

12

0

13

27

28

Mtnggu
14
15
16
29
0
31

0 SepOOkt. Nov0 Des

Tradisi Snap

di- -- Pergiir1lan Tinggi
--

-


~

-,

~-"

-

~

--

-

.-~~'

D

IAKUI atau tidak, di

negeri ini umumnya
dosen tak dipersiapkan
dengan matang menjadi asisten
dosen, dan kemudian menjadi
dosen mandiri dan pembina,
yang tugas pokoknya tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik mahasiswa. Mungkin terlalu kasar kalau kita menggunakan istilah arek-arek Suroboyo, bonek (bondho nekatmodal nekat).
Mereka menjadi dosen dengan bonek. Modal mereka cuma mengetabui sedikit-banyak
materi satujbeberapa kuliah
yang diperoleh sewaktu kuliah.
Mereka langsung tampil di kelas dan menangani para'mahasiswa tanpa terlebih dahulu belajar pedagogi, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan,
politik pendidikan, teori-teori
dan model-model pembelajaran sejak baheula hingga kini,
dan materi penting lain yang
menjadi modal pokok tiap caIon dosen. Bagaimana mereka
bisa menjadi dosen yang baik
bila cuma bonek?
Bahkan, mungkin merekajuga tak pemah membaca dan
mempelajari Undang-Undang
Pendidikan Nasional selarna republik ini berdiri, yaitu No.
4/1950jo UUNo. 12/1954 UU

dan No. 2/1989, dan yang terbaru UU No. 20/2003, serta
UUD 1945 yang menjadi landasan UU tersebut. Apakah
merekajuga pemah membaca
dan mempelajari UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU terbaru tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP), dan
segala turunan semua UU itu?
Apakah di republik ini ada
etika profesi dosen (Kode Etik
Dosen) yang berlaku secara nasional yang dibuat oleh suatujbeberapa organisaSi profesi
dosen? Apakah di negeri ini ada
organisasi profesi dosen seperti
halnya kini beberapa organisasi
profesi guru (pada zaman Orde
Baru hanya PGRI - Persatuan
Guru Republik Indonesia)? Bagaimana bisa para dosen bekerja dengan benar di bidang pengajaran dan pendidikan tinggi bila landasan konstitusional, yuridis formal, dan etika profesinya
saja tidak diketahui dan dipahami dengan saksama?
. Apakah dosen selalu mendorong para mahasiswa menjadi
orang yanz...be~afs.2besar un----


.

.

--

tuk maju? Apakah dosen sering! selalu menyuntikkan "virus" n-ach (needfor achievment), yaitu hasrat atau kebutuhari untuk berprestasi besar,
kepada semua mahasiswa, dan
upaya untuk mewujudkannya?
Apakah dosen mengajar dan
mendidik mahasiswa menjadi
manusia yang berorientasi hasil
(yang terpenting lulus dengan
IPK tinggi, misalnya) atau manusia yang berorientasi proses?
Apakah dosen mengarahkan

0"

merekamenjadimanusiaprag-


matis, konsumtif, dan berpola
hidup inst:art'(siap saji) atau siap disuapi? Apakah dosen
marnpu meyakinkan mahasiswa bahwa materi tiap mata kuliah yang mereka peroleh dapat
dan harus digunakan untuk
memecahkan masalah nyata
dalarn kehidupan mereka sehari-hari, baik ketika masih kuliah maupun setelah mereka tamat dan bekeIja?
Apakah para dosen muda
dan tua pemah mempelajari
dan menerapkan ajaran atau
pedagogi dua tokoh pendidikan
temarna, yakni Paulo Freire dari Brasil (1921-1997)dan Ki Hajar Dewantara yang bemama
asli R.M. Suwardi Suryaningrat
(1889-1959)7 Apakah dosen
pemah membaca buku-buku
bagus mereka dan banyak buku
para ahli pendidikan yang berisi
pembahasan buku-buku kedua
tokoh besar itu? Apakah dosen
pemah mengetahui dan menerapkan keputusan Komisi Internasional UNESCO yang merekomendasikan empat pilar belajar dalarn memasuki abad ke21,yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (lihat
artikel Prof. Dr. Soedijarto yang

beIjudul Pendidikan yang
Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia dalarn Kurikulum yang Mencerdaskan, VlSi2030, dan Pendidikan Altematif, bunga rampai,
2007: 3-36)?
Andaikata sebelum tampil di
depan kelas sebagai asisten dosen, mereka terlebih dahulu
memperoleh banyak bekal penting dan utarna, baik melalui
pembekalan formal oleh pihak
,pengelola universitas dan fakultas maupun belajar sendiri (autodidak), tentu para dosen tak
.lagi menera{>kanmodel peI!}be-

-

~

-

- -

.


....

lajaran (belajar-mengajar) konvensional alias kuno. Hingga
kini tradisi suap masih sangat
subur dalarn proses belajarmengajar di perguruan tinggi
kita.
**
UMUMNYA dosen masih
dengan senang hati menyuapi
para mahasiswa, dan anehnya
para mahasiswa pun dengan
senang hati disuapi terus oleh
para dosen. Dosen memosisikan dirinya sebagai pengajar
belaka, padahal seharusnya dia
juga pendidik. Memang, sadar
ataupun tak sadar, diakui atau
tak'diakui, model atau metode
kuno yangjelas tak demokratis
ini sangat mudah dilakukan

.
oleh dosen dan mahasiswa.
Tanpa bekeIja keras pun kedua
belah pihak dapat melaksanakan tugas masing-masing dengan "baik".
Lebih daripada itu, metode
ini juga bisa mempertahankan
dominasi (penguasaan) dosen
terhadap mahasiswa, dan sekaligus tetap menjaga wibawa
tinggi dosen di mata mahasiswa. Metode inijelas memosisikan dosen sebagai subjek (pihak yang dianggap menguasai
materi kuliah), sedangkan mahasiswa sebagai objek belajar
(pihak yang tidak tabu apaapa). Mahasiswa dianggap sebagai makhluk atau benda pasif
yang siap diisi dan dibentuk
oleh dosen.
Hubungan subjek-objek yang
tak manusiawi inilah yang ditentang keras oleh Paulo Freire.
Seharusnya, kata tokoh pedagogi itu, bukan guru mengajari
mood, melainkan guru dan
mood sarna-sarna belajar. Guru/dosen bukanlah atasan, dan
siswa/mahasiswa bukanlah bawahan. lnilah yang dia sebut
pendidikan dialogis.
Di tingkat sekolah dasar dan
sekolah menengah, sejak 2004,
pemerintab (Departemen Pendidikan Nasional) menerapkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).Tak lama kemudian KBKdirevisi, dan hasilnya
bernarna Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum terbaru ini menuntut
perubahan paradigma dalarn
pendidikan dan pembelajaran,
khususnya padajenis danjenjang pendidikan formal (persekolahan). Salah satu perubahan
paradigma pembelaj~
i~

---

DUD! SUGAND!j"PR"

DUA rnahasiswa rnenerirnapenjelasan dari dosen pernbirnbing saat praktik rnenggarnbar di kawasan Gasibu Kota Bandung,
beberapa waktu lalu. Menurut tokoh pedagogi Paulo Freire, baik guru dan rnurid sarna-sarna belajar. Dengan dernikian,
guru/dosen

bukanlah atasan, dan siswa/rnahasiswa

adalah orientasi pembelajaran
yang semula berpusat pada guru beralih berpusat pada siswa.
Metodologi yang semula lebib
didominasi ekspositori berganti
ke partisipatori. Pendekatan
yang semula lebib banyak bersifat tekstual berubah menjadi
kontekstual. Semua perubahan
ini dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik
dari segi proses maupun hasil
pendidkan (Komarudin dalam
Trianto, 2007: 2).
KTSPjuga menghendaki
bahwa suatu pembelajaran pada dasarnya tidak hanya mempelajari konsep, teori, dan fakta, tetapi juga penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, materi pembelajaran tidak hanya tersusun
atas hal-hal sederhana yang
bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun atas
materi yang kompleks, yang
memerlukan analisis, aplikasi,
dan sintesis (Trianto, 2007: 3),
Nah, kalau di tingkat SD dan

bukanlah bawahan sehingga akan terjalin pendidikan dialog is. *

sekolah menengah saja sudah
diterapkan model-model pembelajaran inovatif dan konstruktif, bagaimana dengan
perguruan tinggi? Apakah para
dosen terus senang menyuapi
para mahasiswa, dan mahasiswa juga terus dibiarkan senang
disuapi? Apakah para dosen
mau dan mampu menciptakan
lulusan yang tergolong manusia
pembelajar, mandiri (independen), otonom, kritis, skeptis,
nasionalis, patriotis, kreatif,
inovatif, produktif, pekeIja dan
berkemauan keras, memiliki
harga
.
" diri dan percaya diri yang
tin ggI.
Kinibeberapa perguruan tinggi mulai belajar meninggalkan
tradisi suap dalam proses belajar-mengajar. Sebagai contoh,
sejak tabun lalu, sebagian fakultas di lingkungan Unpad mulai
menerapkan student-centered
learning (SCL).Proses belajarmengajar tidak lagi berpusat pada dosen atau teacher centered

tuhan mahasiswa kelak. Hal ini
jelas tak terdapat dalam SCL.
Memang metode PBL tidak
berpengaruh terhadap aspek
kognisi atau indeks prestasi kumulatif (!PK) mahasiswa, sebab
tujuan penerapan metode inovatif ini memang untuk meningkatkan kemampuan belajar
mandiri mahasiswa seumur hidup dan kemampuan memecahkan masalah-masalah nyata
yang mereka hadapi kelak dalam pekeIjaan atau profesi. Ini
jelas tak dapat diukur atau terindikasikan dari IPK, tetapi
dampaknyajelas terlihat di dunia keIja kelak.
Nah, apakah para dosen masib percaya bahwa model pembelajaraninovatif dan konstruktifsepertiSCLatauPBL
merupakan metode belajarmengajar belaka, dan hasilnya
sarna saja dengan model pembelajaran konvensional alias
kuno? (S. Sabala Tua Saragih, dosen Jurusan Jurnalistik

learning ~L),

FikornUnpa~**:

pusat pada mahasiswa (Warta
LPPM Unpad, April200g).
Dosen berperan sebagai pemandu, motivator, dan fasilitator saja, sementara mahasiswa
harus aktif mencari informasi,
yang kemudian didiskusikan di
ruang kuliah dan di luar ruang
kuliah. Bahkan, Fakultas Kedokteran Unpad sejak delapan
tabun lalu telah menerapkan
problem-based learning (PBL),
yakni metode belajar-mengajar
berbasis masalah. SCLberfokus
pada aspek proses belajar mandiri mahasiswa saja, sedangkan
PBL menggunakan kasus atau
masalah sebagai pemicu untuk
mendorong proses belajar dan
mengintegrasikan hal baru. Dalam metode ini ada proses belajar dan integrasinya, yaitu integrasi antarbidang ilmu. Dalam PBL mahasiswa diberi masalah yang mereka hadapi kelak
dalam profesi mereka sebagai
dokter. Dengan demikian, dalam PBL terdapat aspek penguk~butetapi t~lah ber- _ a~ r~evansi t~h~p