Gerakan Fundamentalis Di Perguruan Tinggi islam (Studi: Pola Gerakan Dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Akhmad Haris Khariri 106033201158

PRODI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Gerakan Fundamentalis di Perguruan Tinggi; Studi tentang Pola Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta

Skripsi ini menganalisa pola gererakan dan strategi kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HT) dan gejala fundamentalisme Islam yang ada di Kampus UIN Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola gerakan dan strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI dan untuk mengetahui gejala fundamentalisme Islam di Kampus UIN Jakarta. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan studi pustaka (library research) dan wawancara. Penulis menemukan bahwa, pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di lingkungan kampus UIN Jakarta relatif intens dilakukan dan mengambil beberapa bentuk diantaranya dengan memanfaatkan berbagai sarana baik yang dimiliki internal organisasi maupun sarana-sarana kampus seperti memanfaatkan media kampus Radio Dakwah dan Komunikasi RDK Fakultas Dakwah dan Komunikasi, sarana ibadah Student Center SC, afiliasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan lain-lain. Adapun sarana internal HTI mengembangkan sumber daya organisasi seperti pengembangan kelompok-kelompok studi seperti SRIKAYA, Gema Pembebasan, Muslim Science Comonity MSC, Lisma HTI dan lain-lain. Berbagai subsistem ini dimanfaatkan HTI untuk mengembangkan berbagai gagasannya melalui beberapa varian kegiatan-kegiatan seperti diskusi, seminar, aksi demonstrasi, pengajian, melakukan pendekatan pertemanan dan lain-lain.

Selanjutnya strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI yaitu dengan melakukan pembinaan intensif terhadap calon kadernya. Proses pembinaan tersebut ditempuh melalui berbagai tahapan seperti tahapan pembinaan dan pengkaderan (al-tathqif), tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah al-tafaul ma’a al-umah), dan tahapan pengambilan kekuasaan (istilam al-hukm). Selanjutnya terkait dengan fundamentalisme Islam penulis menemukan beberapa kemiripan-kemiripan karakteristik HTI dengan gerakan fundamentalisme Islam seperti sikap HTI dalam merespon gagsan-gagasan Barat, memiliki unsur politik yang kuat, cara memahami terhadap doktrin keagamaan dan lain-lain.

Argumentasi ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat gejala pertumbuhan HTI dan menganalisis berbagai aktifitas yang dilakukan para aktivis dan proses kaderisasi HTI di Kampus UIN Jakarta. Selain itu, penulis berusaha menghubungkan beberapa indikator yang melekat pada HTI dengan karakteristik fundamentalisme yang telah diklasifikasikan oleh para ahli. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah fundamentalisme Islam, teori gerakan sosial dan teori strategi.


(6)

v

kepada Nabi Muhamad SAW, sebagai rasul pembawa misi pembebasan dari pemujaan terhadap berhala, rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan akhlak. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga, sahabat nabi serta seluruh umat.

Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayahnya, Alhamdulillah penulis mampuh menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi salahsatu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Gerakan Islam Fundamentalis di PerguruanTinggi Studi Tentang Pola Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan serta mejadi pekerjaan yang berat bagi penulis yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada

Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terima kasih kepada jajaran pembantu Dekan, bapak Hendro Prasetyo Ph.D sebagai Pengurus Dekan (Pudek) I FISIP, ibu Dra.Hj. Wiwi Siti Sajaroh, MA Sebagai Pudek II dan Bapak Ahmad Abrori M.Si sebagai Pudek III FISIP. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. Sebagai Ketua Prodi Ilmu Politik. Bapak M. Zaki Mubarak. M. Si. Sebagai Sekertaris Prodi Ilmu Politik.

Bapak Idris Thaha, M.Si selalu dosen pembingbing skripsi yang dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki. Kepada dosen-dosen Prodi Ilmu Politik yaitu bapak Bakir Ikhsan, bapak Syirojudin Ali, ibu Suryani, ibu Haniah


(7)

v

Ayah Abdul Karim Bakhri dan Ibunda Sulsiyah, terima kasih atas kasih sayang dan bimbingan motivasi yang tidak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampuh mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Terima kasih juga kepada kaka-kakaku Ufi Ulfiyah, Nasrul Umam Syafi’i, Akhmad Mae’hi, Susilawati, Huzaemah, Humaerah yang telah memberikan semangat kepada penulis.Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2006/2007 yaitu Bara Ilyasa, Rifqi Zabadi Assegaf, Dedi Candra, Agam Dilya Ulhaq, Rido, Santi, Afrina, Hadi Mustofa, Bangbang, Akhmad Riki, Dede Sahrudin, Khawasih Qudri, Torik, Anwar, Eko Aryo, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat di Sanggar Kreatif Anak Bangsa yaitu Diki (Ucok), Riswan, Hamzah, Kiki, Ipah, Mas Adit, Anisa Zahra, Lyna, IrhamMudzakir, Kumi Laila, Sofa, Sofi, Akhmad Suparjo dan yang lainnya. Terima kasih kepada DPP HTI yang telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis dalam proses pencarian data dan terimakasih kepada pengurus HTI Cabang Ciputat yang telah bersedia memeberikan penulis kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai skripsi ini.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada sepuruh komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya,semoga Allah SWT membalas segala kebaikan amalbudi baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Dan skripsi ini walaupun masih banyak kekurangan semoga bermanfaat bagi kita semua.Wassalam

Jakarta, 21 Januari 2014


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….....iv

KATA PENGANTAR ………...v

DAFTAR ISI ………..vi

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ………...……….. 1

B. Pertanyaan Penelitian ………... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….…… .13

D. Tinjauan Pustaka ...……….... 14

E. Kerangka Teoritis …………...………16

F. Metodologi Penelitian ………...…... 21

G. Sistematika Penelitian ………...… 22

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Teori Fundamentalisme ………...…. 25

B. Teori Gerakan Sosial ……….... 32

1. Struktur Kesempatan Politik ………... 34

2. Mobilisasi Sumber daya ………..………. 37

3. Proses Pembingkaian ………... 40


(9)

BAB III SEKILAS TENTANG GERAKAN ISLAM HIZBUT TAHRIR

A. Sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia ... 51

B. Hizbut Tahrir Indonesia Sebagai organisasi yang berideologi Islam………... 55

C. HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta...……….. 60

D. Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam ... 65

BAB IV POLA GERAKAN DAN STRATEGI KADERISASI HIZBUT TAHRIR INDONESIA DI KAMPUS UIN JAKARTA

A. Masjid Sebagai Instrumen Pengembangan Jejaring Sosial HTI

UIN Jakarta (Ilustrasi Masjid Fatullah dan Masjid

Baitulrrahmah Legoso) ………. 73

B. Memanfaatkan Relasi Personal (Pertemanan dan Keluarga) ...…. 76 C. Membentuk Kelompok Studi dan Memanfaatkan Sarana

Kampus..………. ………...80

D. Pembingkaian Isu Sebagai Pola Gerakan HTI di UIN Jakarta .... 83 E. Strategi Kaderisasi HTI di UIN Jakarta ……… 89 1. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Al-Tahqif) ………... 90 2. Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Al-Tafaul


(10)

ma’a al- Ummah) ... 94 3. Tahapan Pengambilan Kekuasaan (Istilam Al-Hukum) ... 109 F. Faktor-faktor yang Mendukung Eksistensi HTI di Kampus

UIN Jakarta ………... 111

1. Jaringan ………... 112

2. Keberadaan Para Aktivis HTI sebagai Sumber Daya ……….. 115

G. Eksistensi HTI sebagai Indikator dari Fundamentalisme Islam di

Kampus UIN Jakarta ……….... 118

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….122

B. Saran ………...126

DAFTAR PUSTAKA ……….


(11)

(12)

Bab I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak organisasi relogio-politik yang berkembang pasca Orde Baru. Ditinjau secara historis keberadaan HTI di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1982-1983 atas prakarsa seorang mubaligh dari pesantren Al-Ghozali yaitu Abdullah Nuh.1 Pada awalnya aktivitas HTI hanya berpusat di lingkungan pesantren saja, namun berkat interaksi yang terus dilakukan oleh para aktivisnya maka gagasan-gagasan HTI terus menyebar hingga ke Masjid Al-Gifari di Institute Pertanian Bogor (IPB). Di kampus inilah HTI menemukan momentum pertamanya untuk bersentuhan secara langsung dengan para mahasiswa.2

Pada saat HTI pertama kali diperkenalkan di Indonesia, keberadaan anggota HTI sangat terbatas. Namun, karena para aktivis HTI memiliki semangat besar dalam mengemban misi dakwah Islam, maka gerakan mereka sangat cepat menyebar ke kampus-kampus lainnya di Indonesia. Mengutip apa yang pernah ditulis oleh M. Zaki Mubarak yaitu:

1

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, (Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), 121-122.

2

M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LPS, 2008), h. 76.


(13)

Gerakan HTI banyak tersebar di kampus-kampus di Indonesia seperti Institute Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjajaran (UNPAD), IKP Malang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Indonesia Depok dan lain-lain. Simpul-simpul jaringan ini pula terbagun secara merata di banyak kota di Indonesia diantaranya Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain. Kampus-kampus kemudian dijadikan center-center untuk melakukan aktivitas HTI dan melakukan kaderisasi anggotanya.3

Selain di kampus-kampus yang telah disebutkan di atas, aktivitas HTI juga tumbuh di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarata). Dalam hal ini, menurut Aat Yuliawati menyebutkan bahwa momentum pertama HTI di kampus UIN Jakarta adalah sejak 2001. Pada fase pertama HTI bersentuhan dengan UIN Jakarta, gerakan mereka masih mengambil langkah ekslusif dan hanya terbatas pada beberapa orang saja. Ruang lingkup gerakan mereka juga masih bersifat personal dan hanya mengandalkan ikatan-ikatan pertemanan. Bagi anggota baru yang tertarik pada ide-ide HTI akan langsung dibina dengan metode halaqah „am4

(pertemuan atau forum untuk mendiskusikan maslah-masalah agama).5

Selanjutnya sekitar tahun 2002 aktivitas dakwah HTI mulai lebih terorganisisr dengan rapi, kemudian pada tahun ini pula mereka melakukan beberapa kali

3

M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3S, 2008), h. 75-76.

4

Halaqah„am biasanya dilakukan untuk memperkenalkan dan membina siapa saja yang memiliki ketertarikan dengan ide-ide HTI. Halaqah‟am ini dilakukan oleh aktivis HTI sebagai pembinanya. Adapun peserta halaqah‟am ini sangat terbatas, biasanya satu orang pembina akan menangani maksimal lima orang peserta. Halaqoh ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dan minimal delapan minggu waktu yang digunakan. Setelah selasai mengikuti Halaqoh umum ini, maka peserta akan ditawarkan ke tahap selanjutnya dengan syarat peserta harus setuju dengan gagasan-gagasan HTI. Sumber diambil dari wawancara penulis dengan Ust. Fadlan, selaku ketua Komisariat HTI UIN Jakarta, di Masjid Al-Mukhlisisn Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 5 februari 2013. Pukul 15.00 wib.

5

Aat Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan Komunikasi 2009), h. 65.


(14)

halaqah‟am (pertemuan atau forum untuk mendiskusiakan masalah-masalah Islam) dan pelatihan untuk perluasan organisasi.6 Di tahun 2003-2004 HTI mulai merambah ke fakultas-fakultas di sekitar kampus UIN Jakarta. Pola gerakan yang mereka bangun adalah dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi, kajian lesehan, pengajian sederhana di masjid-masjid, kajian rutin anggota dan seminar. Salah satu kegiatan seminar HTI yang paling banyak mendapat sorotan pada fase awal HTI adalah Seminar Nasional Khilafah dengan tajuk “Penegakan Syariat Islam

Relefankah ?...”. Acara tersebut di selenggarakan pada tahun 2004 di Aula Student Center UIN Jakarta. Adapun yang menjadi pembicara dalam senimar tersebut yaitu, DPP HTI yaitu Ust. Hafid Abdurahman dan Ust. Abu Zaid.7

Sejak menit pertama kedatangannya di kampus UIN Jakarta hingga saat ini para aktivis HTI masih konsisten dalam melakukan aktivitas gerakan. Asumsi ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kegiatan/aktivitas HTI yang sampai saat ini tetap berlangsung seperti halnya terlihat pada kegiatan-kegiatan HTI di tahun 2012 yang lalu. Menjelang tahun 2012 para aktivis HTI mengadakan halaqah rutin dengan tema

“Islam: Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat 2012”, yang bertempat di masjid-masjid sekitar kampus seperti masjid Al-Mukhlisin, Baiturrahmah, Fatullah,

6

Halaqah„am dalam pengertian kalangan HTI merupakan kegiatan yang dilakukan aktivis HTI untuk memperkenalkan HTI kepada orang-orang yang belum mengenal HTI. Halaqah „am sendiri dalam HTI dilakukan dengan berbagai uslub (cara) seperti diskusi, seminar, dialog dan bahkan mengunakan pendekatan personal seperti dengan memanfaatkan hubungan teman kost, teman kuliah, saudara, dan keluarga. Lihat Arifin dalam Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 155-161.

7Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”,


(15)

al-Mugirah dan lain-lain.8 Menurut keterangan Andriansyah dalam wawancara dengan penulis menyebutkan bahwa, dalam rentang waktu dua bulan antara Desember dan Oktober 2012 HTI telah mengadakan lima kali halaqah di Masjid Baiturrahmah dan dalam halaqah tersebut ada sekitar 15 peserta baru di tiap-tiap pertemuannya.9

Adapun yang menjadi pemateri dalam seminar tersebut HTI langsung mendatangkan pengurus DPP HTI seperti Drs. Wahyudi Al-Marokay (anggota Lajnah Faaliyah DPP HTI) dan Ust. Ade Sudiyana. LC (anggota Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI), dan acara tersebut bersifat umum.10

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seminar adalah salah satu bagian dari strategi HTI UIN Jakarta untuk memperluas pengaruh mereka di lingkungan kampus UIN Jakarta. Selain melalui halaqah‟am, HTI juga memangfaatkan media serta tulisan-tulisan kecil sebagai instrumen dakwahnya seperti pembuatan web site www.uinjakartamenujukhilafah.or.id, www.hizb-tahrir.or.id, pembuatan pamflet, buletin (Al-Islam, Gema Pembebasan UIN Jakarta) majalah (al-Wa‟ie), selembaran-selembaran, koran (media umat) dan mereka juga terlibat dalam media elektronik

8

Wawancara penulis dengan Firman Kelana (koordinator lapangan HTI UIN Jakarta dalam acara daurah Islam, Aqidah, Syariah: Solusi Problematika Umat 2012), di Masjid Fathullah Kec. Cipuat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 4 Desember 2012, pukul 20.30 wib.

9

Wawancara penulis dengan Andriansyah (pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. Selain menjadi pengurus masjid, Andriyansah juga aktif sebagai Mahasiswa di Fakultas Science dan Teknologi, smester 8 UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 12 April 2012, pukul 15.00 wib.

10

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib.


(16)

yaitu Radio Dakwah dan Komunikasi (RDK) di fakultas dakwah dan komunikasi UIN Jakarta.

Pola gerakan lainnya yang lakukan oleh HTI UIN Jakarta adalah dengan memanfaatkan sumber daya organisasi. Pemanfaatan sumber daya organisasi ini diwujudkan dalam bentuk perluasan subsistem-subsistem di internal organisasi, seperti pembuatan kelompok-kelompok kecil yang memiliki relasi langsung dengan HTI. Kelompok-kelompok ini di bentuk selain untuk pengembangan intelektual, juga bertujuan untuk mengenalkan ide-ide HTI ke para mahasiswa. Beberapa sub organisasi tersebut diantaranya adalah kelompok diskusi Gema Pembebasan yang memliki agenda rutin setiap satu minggu satu kali, diskusi LISMA untuk kaum perempuan HTI, Muslimah HTI, Muslim Science Comunity(MSC), SRIKAIA (Seri Kajian dan Analisa), dan lain-lain.11

Pada 3 April 2013, kelompok diskusi Muslimah HTI UIN Jakarta mengadakan dialog interaktif di Saung Bambu. INA Ciputat dan tema yang diangkat adalah

“Menjawab Pertanyaan Seputar Khilafah”.12 Aktivitas diskusi ini sengaja bersifat terbuka, sehingga bagi siapa saja yang tertarik terhadap kajian keilmuan bisa mudah bergabung didalamnya tanpa diberikan sekat-sekat golongan.

11

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib.

12

Muslimah HTI Chapter UIN Jakarta, “Dialog Interaktif:Menjawab Pertanyaan Seputar


(17)

Berkat pola gerakan tersebut HTI UIN Jakarta menjadi mudah dikenal oleh para mahasiswa di kampus UIN Jakarta. Hal lain yang penting diperhatikan terkait pengembangan organisasi HTI adalah strategi kaderisasi. Dalam melakukan kaderisasi HTI memiliki strategi yang berbeda dengan organisasi-organisasi internal kampus pada umumnya seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Indinesia (HMI), Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan lain-lain. Di HTI calon kader tidak akan menemukan proses kaderisasi seperti LK (Latihan Kader) di HMI atau MAPABA (Masa Pengkaderan Anggota Baru) di PMII. Pada umumnya baik di PMII ataupun di HMI, setiap mahasiswa yang ingin menjadi kader cukup dengan mengikuti MAPABA atau LK, setelah selesai mereka sudah bisa dinyatakan sebagai kader.13 Meskipun di HMI maupun di PMII juga memiliki tingkatan-tingkatan dalam proses kaderisasi namun tidak serumit seperti di HTI.

Di HTI proses kaderisasi terbagi ke dalam beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh calon kader. Setelah kader dinyatakan selesai mengikuti tahap-tahap yang telah ditentukan, baru mahasiswa/anggota dinyatakan menjadi kader HTI. Tahapan yang pertama biasanya dikenal dengan halaqah„am (pengajian sederhana untuk peserta awal). Halaqah„am ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dengan durasi waktu paling cepat delapan minggu. Setelah kader mengikuti halaqah„am,

biasanya darsin (peserta yang bersetatus sebagai pengkaji ide-ide HTI dalam

halaqah„am) diberikan penawaran apakah mereka setuju atau tidak dengan


(18)

gagasan HTI, apabila setuju maka darisin layak mengikuti tahap selanjutnya dan apabila tidak, maka proses kaderisasi dihentikan.14

Potret seperti inilah yang menjadi pembeda HTI dengan organisasi-oragnisasi lain pada umumnya. Selain memiliki pola gerakan dan strategi khusus HTI juga terkenal dengan keberadaan para aktivis/kader yang konsisten, militan dan kritis yang siap memperjuangkan ideologinya. Sumbangsih yang diberikan para aktivis terhadap organisasi sangat berpengaruh besar terhadap pengembangan organisasi. Dalam perspektif teori gerakan sosial, persoalan massa atau anggota diklasifikasikan ke dalam kerangka konsep resouce mobilisation (mobilisasi sumber daya), yang menjadi salah satu modal sosial bagi gerakan sosial. Keberadaan para anggota sangat penting bagi gerakan sosial karena mereka akan berperan memobilisasi, mengkader, dan menyebarkan ide-ide organisasi melalui proses interaktif.

Untuk memotret keterlibatan aktivis/anggota dalam melakukan mobilisasi dapat dilihat ketika persiapan menjelang Mukhtamar Khilafah HTI pada 2013 di Gelora

14

Dalam proses halaqah„am ini biasanya terbagi ke dalam dua tahap. Tahap yang pertama seorang calon anggota diwajibkan mengikutihalaqah‟am tahap pengenalan tentang HTI, tahapan ini peserta halaqah tidak langsung mengkonsumsi/mengkaji kitab-kitab wajib HTI seperti Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam), Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam), dll. Tetapi, peserta awal hanya diberikan materi umum dan gambaran tentang HTI secara umum. Adapun waktu yang diberikan untuk halaqah ini yaitu delapan minggu dari delapan kali pertemuan. Setelah tahapan ini dilalui, maka peserta diberikan kesempatan untuk memilih apakah dia siap atau tidak mengikuti halaqah selanjutnya dengan syarat harus komitmen dan setuju dengan ide-ide HTI bila peserta

menyatakan siap. Dalam halaqah „am lanjutan inilah peserta akan diwajibkan mengkaji kitab-kitab

HTI dan tentunya dengan waktu yang lebih panjang bahkan bisa menghabiskan waktu hingga hitungan tahun. Wawancara penulis dengan Gustar (salah satu pembina halaqah „am HTI UIN Jakarta), pada 25 Maret 2013, pukul 20.00 wib, di Masjid Fathullah Komplek UIN Jakarta Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten,.


(19)

Bung Karno Senayan Jakarta. Dalam upaya mobilisasi massa, hampir seluruh aktivis HTI di UIN Jakarta dilibatkan untuk berperan baik itu sosialisasi, perekrutan peserta, maupun kepanitiaan di acara tersebut. Menurut keterangan Ust. Zen menyebutkan:

Dalam mukhtamar khilafah kali ini HTI UIN Jakarta menargetkan sekitar 700 lebih peserta yang dihandle oleh HTI UIN Jakarta. Dan tadi pagi sudah ada beberapa bus yang telah diberangkatkan yaitu bus khusus akhwat. Keseluruhan bus yang telah disediakan sekitar 20 bus untuk wilayah ciputat dan HTI UIN sebagai penanggungjawab nya.15

Keterangan yang dipaparkan di atas, merupakan sebuah prestasi yang cukup gemilang bagi usaha mobilisasi. Bagaimana tidak, dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama para aktivis HTI mampu memobilisasi massa yang relatif banyak. Keberhasialan HTI dalam memobilisasi massa tidak terlepas dari peran aktivis yang konsisten dan memiliki loyalitas tinggi terhadap organisasi. Selain dalam hal mobilisasi, para aktivis juga terlibat dalam berbagai kegiatan HTI seperti

halaqah‟am, pengajian lesehan, dan sosialisasi tentang ide-ide HTI baik melalui lisam maupun tulisan.

Misi besar HTI adalah membangun sebuah tatanan masyarakat secara global

yang diatur oleh syari’at Islam. Bagi HTI, sebuah tatanan masyarakat yang Islami

akan terwujud jika di dukung oleh keberadaan struktur politik Islam. Maka dari itu,

15

Wawancara dilakukan ketika menjelang keberangkatan rombongan HTI UIN Jakarta. Dalam keterangan Ust. Zen, tidak disebutkan berapa peserta yang sudah pasti ikut dalam acara tersebut meskipun HTI menargetkan 700 lebih peserta dari Ciputat dan UIN Jakarta. Dalam pantauan penulis, peserta yang ikut cukup banyak dan hampir mendekati mendekati dengan jumlah yang Zen kemukakan. Namun, dalam temuan penulis meskipun jumlah yang ikut cukup banyak tetapi peserta yang ikut tidak semua menyandang status HTI/kader HTI tapi ada sebagaian dari peserta sengaja didatangkan dan statusnya sebagai undangan. Wawancara penulis dengan Ustdz. Zen (salah satu koordinator Mukhtamar Khilafah UIN Jakrta), pada 2 Juni 2013, pukul 05.30 wib, di depan Masjid Fathullah Komplek UIN Jakarta Ke. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten.


(20)

HTI menawarkan struktur politik Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya sistem politik yang dapat menciptakan tatanan Islami, sistem khilafah juga diyakini sebagai sistem yang bersumber dari al-qur’an dan sunah.16

Penerimaan HTI terhadap institusi khilafah secara total merupakan bagian dari indikator bahwa mereka memahami teks keagamaan atau doktrin agama itu secara skriptual.17 Selain dimensi politik, HTI juga sangat berhati-hati dalam menyikapi segala macam gagasan-gagasan Barat. Sikap ekslusif ini diekspresikan ke dalam bentuk penolakan mereka terhadap ide-ide dari Barat, seperti demokrasi, komunisme, matrealisme, kapitalisme, pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya.18

Sikap HTI yang menolak gagasan-gagasan Barat dan cenderung tektual dalam memahami doktrin agama tersebut telah menjadi karakter tersendiri bagi kelompok ini. Maka dari itu, sebagian para sarjana ilmu sosial-keagamaan mengelompokan HTI ke dalam kerangka konseptual gerakan fundamentalis Islam.

Dalam menyikapi Islam fundamentalis, dikalangan para sarjana memang masih mengundang kontoversi. Tidak sedikit para sarjana yang menolak terhadap istilah fundamentalis untuk disejajarkan dengan fenomena gerakan Islam. Seperti halnya Martin Van Bruessen mengatakan bahwa: “Penerapan terminologi fundamentalis dalam

16

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 100.

17

Skriptual yang di maksud adalah cara memahami atau mengartikan teks keagamaan secara harfiah atau mereka menolak segala bentuk penafsiran yang bersifat aqliyah dan kontekstual, karena dihawatirkan dapat mengurangi otensititas teks agama. Lihat Nurkhakim, Islam Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi, h. 35-42.

18

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 95-98.


(21)

konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi, bagaimanapun kita berusaha mendeskripsikannya akan tampak sulit difahami”.19

Selain Van Bruisen, pemikir lain seperti Khursid Ahmad menolak dengan alasan istilah fundamentalisme adalah tradisi Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti terjadi pemerkosaan yang besar-besaran terhadap sejarah.20

Merujuk pada pendapat para sarjana di atas, menghubungkan HTI dengan gerakan fundamentalisme Islam memang bukanlah perkara mudah sebab dari sisi historis, karakter, tempat dan rentang waktu pertumbuhan gerakan tersebut sudah berbeda. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalis lahir dari tradisi gereja Protestan di Barat (Amerika) pada paruh abad ke-19 dan permulaan abad ke 20-an.21 Lain halnya dengan gerakan HTI, mereka lahir dan berkembang seiring dengan kemunculan gerakan-gerakan Islam kontemporer di Timur Tengah sekitar tahun 1952. Selanjutnya Hizbut Tahrir ditransfer ke Indonesia sekitar 1982/1983, dan mendapatkan penambahan nama Indonesia pada akhir kata tersebut sebagai penunjuk identitas suatu negara.22

Meskipun banyak sarjana yang menolok kedua istilah disejajarkan, namun ada pula sarjana yang justru menerima kedua istilah itu disejajarkan. Di antara para

19

Ufi Ulfiyah, “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012”, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2008), h. 39.

20

Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L Esposito (ed). Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Perss, 1985), h. 283.

21

Karen Amstrong, Berperang Demi Tuahan, trj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung: Mizan, 2001), h. 10.

22

Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi, Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, h. 100.


(22)

sarjana yang setuju adalah Roxanne L. Euben dan Bassam Tibi. Menurut kedua sarjana tersebut bahwa fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio-politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem religio-politik yang didasatkan pada agama.23 Senada dengan Euben dan Tibi, sarjana lain seperti Leonard Binder mendefinisikan fundamentalisme di dunia Islam bertujuan menetapkan

tatanan politik Islam yang mana syari’ah akan diakui secara umum dan dilaksanakan

sebagai sebuah hukum secara legal.24

Berdasarkan pandangan dari para sarjana di atas, paling tidak penulis sudah sedikit mendapatkan dukungan teoritis untuk menggabungkan kedua istilah yang berbeda tersebut. Apabila HTI telah dapat diklasifikasikan ke dalam kerangka konsep gerakan fundamentalis, maka usaha selanjutnya penulis akan menghubungkan fenomena HTI ke dalam konteks sosial di UIN Jakarta.

Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN Jakarta adalah kampus Islam yang sedang melakukan proses modernisasi pendidikan. Secara teoritis moderenisasi bertujuan untuk merubah sebuah tatanan yang dianggap kolot, fundamental, tradisionl ke dalam tatanan yang dianggap modern sesuai dengan perkembangan zaman. Logikanya, apabila istilah moderenisasi dihadapkan dengan istilah fundamental yang

23

Dikutip dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 320.

24

Ulfiyah, “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012, h. 41.


(23)

lebih mencerminkan tradisional maka akan terjadi benturan yang mengarah pada pengkikisan nilai-nilai, nilai tradisional oleh modern atau pun sebaliknya.

Dalam skripsi ini HTI diklasifikasikan sebagai gerakan Islam yang merepresentasikan nilai-nilai fundamental. Lain halnya dengan UIN Jakarta, ia adalah institusi pendidiakan yang mengusung proses moderenisasi dalam berbagai aspek baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, tidak menuntut kemungkinan akan terjadi pembendungan ruang gerak bagi pertumbuhan gerakan Islam fundamental termasuk HTI.

Untuk membenarkan hipotesis di atas, maka skripsi ini akan menganalisis keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Adapun tema masalah yang akan di kaji dalam skripsi ini adalah: “Gerakan Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi” Studi Tentang (Pola gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta)

B. Pertanyaan Penelitian

Gerakan HTI adalah gerakan Islam yang tergolong aktif melakukan kaderisasi di hampir seluruh kampus-kampus di Indonesia. Di UIN Jakarta organisasi HTI merupakan organisasi yang juga terbilang berhasil dalam menjalankan aktivitas keorganisasian seperti proses kaderisasi, penyebaran opini, pengembangan sumber daya organisasi, maupun dalam penyeberan gagasan-gagasan ke HTI-an (Ideologi, visi-misi, pola keberagamaan, orientasi politik dll).


(24)

Agar penelitian ini bersifat sistematis dan objektif, maka perlu dirumuskan beberapa pertanyaan yang menjadi fokus dalam skripsi ini:

a. Bagaimana pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di kampus UIN Jakarta ?

b. Faktor apa saja yang menjadi pendukung keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta ?

c. Apakah di UIN Jakarta telah terjadi pertumbuhan gerakan fundamentalisme Islam ?

C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini yaitu untuk mengetahui pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI dan mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Selanjutnya, mengingat UIN Jakarta adalah kampus Islam yang sedang melakukan proses moderenisasi di berbagai sektor, maka penelitian ini juga bertujuan untuk mengetehui apakah di UIN Jakarta terjadi peretumbuhan gerakan Islam fundamentalis serta mencari beberapa indikator nya.

2. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini untuk menambah wawasan mahasiswa pada umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa gerakan HTI di kampus UIN Jakarta memiliki berbagai pola dan strategi tersendiri dalam mengembangkan organisasinya. Kemudian UIN Jakarta yang statusnya sebagai kampus modern juga


(25)

tidak luput dari tumbuhnya gerakan Islam fundamentalis didalamnya. Maka dari itu, perlu kita amabil hikmah dari fenomena tersebut sebagai tambahan pengetahun khususnya dalam mengembangkan ilmu sosial dan politik.

D. Tinjauan Pustaka

Dewasa ini telah terdapat banyak penelitian yang mengkaji masalah gerakan sosial keagamaan dengan mengambil objek penelitian tentang HTI. Di antara penelitian tersebut yang mendekati dengan penelitian penulis saat ini adalah penelitian Syamsul Arifin yang bertema Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia. Peneliian Arifin dilakukan di kampus-kampus di Malang, khususnya UIN Malang pada 2005. Arifin melakukan analisis mendalam tentang ideologi HTI dan berusaha untuk menghubungkan HTI dengan gerakan fundamentalis terutama pada analisis ideologi. Kemudian, Arifin juga berupaya memaparkan penemuannya terkait dengan pola gerakan HTI di kampus-kampus di Malang.

Sisi pembeda yang akan coba peneliti lakukan terkaiat penelitian skripsi ini dengan penelitaian Arifin adalah penulis mengambil lokasi di kampus UIN Jakarta dan daerah Jakarta. Dengan mengambil lokasi yang berbeda, paling tidak akan nampak perbedaan terhadap ruang, mengingat jarak antara Malang dan Jakarta cukup jauah. Kemudian durasi waktu yang dilakukan Arifin pada 2005 cukup jauh dengan yang dilakukan penulis di 2013. Sebagaimana halnya sejarah, setiap ruang dan waktu


(26)

pastinya akan meniscayakan pengalaman-pengalaman baru yang berbeda pengalaman sebelumnya. Secara substansi penelitian ini hanya akan berfokus pada strategi kaderisasi dan pola-pola gerakan, sehingga ini akan berbeda dengan penelitian Arifin yang memfokskan tidak hanya pada pola gerakan tetapi Arifin lebih meluas dan menekankan dimensi ideologi HTI.

Selain Arifin, penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Aat Yuliawati, yang meneliti tentang eran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta. Penelitian yang dilakukan Aat dilakukan pada 2009, dan memfokuskan penelitiannya pada materi-materi isi dakwah HTI di Kampus UIN Jakarta sebagai fokus analisisnya. Meskipun penelitian ini mengambil objek yang sama dan tempat yang sama, namun fokus penelitian penulis dengan Aat terdapat sisi perbedaannya yaitu, penelitian penulis lebih fokus pada pola gerakan dan strategi HTI dalam melakukan kaderisasi, sedangkan Aat memfokuskan pada materi dakwah HTI. Maka dari itu, penelitian yang akan dilakukan penulis akan nampak jelas perbedaannya.

Adapun Imdadun Rahmat dalam dalam bukunya Arus Baru Islam radikal: Transmisi, Revivalisme Islam timur Tengah ke Indonesia, juga pernah menyinggung tentang HTI, namun Rahmat mengutarakan HTI dalam konteks general. Rahmat melakukan analisis relasional antara gerakan-gerakan Islam Indonesia dan Timur Tengah yang kemudian disimpulkan pada konsep revivalisme Islam transnasional. Selain Rahmat, penelitian serupa juga dilakukan oleh M. Zaki Mubarak dalam buku


(27)

Karya Mubarak, juga hampir serupa dengan Rahmat, yakni kedua peneliti tersebut meletakan HTI ke dalam konteks yang lebih general. Keduanya tidak mengangkat satu objek tunggal, sehingga penelitiannya terlihat hanya mendeskripsikan saja. Namun, usaha yang dilakukan kedua peneliti tersebut patut diapresiasi karena keduanya telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap pengetahuan akademisi dan kontribusi refrensi tentang gerakan sosial. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan penulis saat ini tidak lepas dari kontribusi para sarjana di atas, khususnya dalam hal pemberian refrensi.

E.Kerangka Teoritis

1. Teori Fundamentalis Islam

Menghubungkan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dengan gerakan fundamentalis bukanlah perkara yang mudah bagi siapapun yang tertarik meneliti kedua gerakan ideologis tersebut. Dalam wacana gerakan-gerakan sosial kedua gerakan di atas (HizbutTahrir dan fundamentalis) tersebut nampak jelas sisi perbedaannya baik secara historis maupun dari sumber keduanya dilahirkan. Selain itu, Penelaahan para sarjana mengenai gerakan Islam fundamentalis masih mengundang pro dan kontra. Terlebih gerakan fundamentalis seolah sudah terlanjur tercederai oleh stigma negatif, sehingga cukup sulit bagi penulis untuk menghubungkan kedua gerakan ini dengan gerakan Islam.

Berangkat dari teoritisasi Eumen dan Tibi, yang menggolongkan fundamentalisme sebagai gerakan-religio politik dan berorientasi membangun sebuah


(28)

tatanan politik agama, maka langkah penulis meletakan fundamentalisme sebagai kerangka teori dalam penelitian ini sedikit banyak telah menuai dukungan teoritis.25 Adapun soal istilah fundamentalisme dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai tipe ideal (ideal type), agar cara penggunaannya lebih fleksibel, sehingga dengan meletakan HTI sebagai ideal type, maka akan mempermudah penulis menghubungkan gerakan HTI ke dalam kerangka fundamentalisme.

Cara kerja peletakan ideal type yang dilakukan penulis adalah dengan mengidentifikasi berbagai karakteristik yang dianggap memiliki kesamaan yang satu dengan yang lain. Tentu saja berbagai kriteria HTI yang sama dengan gerakan fundamentalis tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai apakah HTI dapat dikatagorikan fundamentalis atau tidak. Namun, berbagi ciri-ciri tertentu semata-mata berfungsi sebagai woring hypothesis untuk membantu melihat persoalan yang mengandung kemiripan-kemiripan. Dengan kata lain, jika suatu fenomena kaberagamaan hanya memenuhi satu atau dua kriteria bukan berati dia tidak dapat diasosiasikan pada suatu golongan tertentu (fundamentalis). Sebaliknya, bila fenomena tersebut memiliki kriteria lebih dari tiga, ia juga tidak dapat dikeluarkan dari katagori kelompok tertentu (fundamentalis).

Penelitian yang dilakuakan Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, ketika meneliti tentang fundamentalisme dan radikalisme menunjukan cara pendekatan yang

25

Dikutup dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 320.


(29)

hampir sama. Dalam menjelaskan istilah “fundamentalisme”, mereka tidak sekedar mendaftar kriteria-kriteria yang mencari istilah tersebut. Lebih dari itu, mereka meletakan kriteria fundamentalisme dalam kerangka ideal type agar cara penggunannya lebih fleksibel.26

2. Teori Gerakan Sosial

Sebagaian kalangan dari para sarjana ilmu sosial umumnya memiliki perbedaan pandangan ketika memahami gerakan sosial. Namun, dari berbagai perbedaan itu ada semacam kesepakatan yang muncul di kalangan mereka yaitu terkait dengan tiga faktor: kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi sumber daya (resource mobilitation), dan proses pembingkaian (framing processes).

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan ketiga faktor yang muncul dalam studi gerakan sosial sebagai bagian dari media analisis untuk mengetahui berbagai masalah yang menjadi fokus penelitian ini. Seperti pada umumnya para peneliti gerakan sosial, penelitian ini juga akan berangkat dari analisis kemunculan sebuah gerakan sosial dalam hal ini HTI di kampus UIN Jakarta.

Untuk mendeteksi kemunculan gerakan sosial tersebut, maka akan diletakan pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang bertujuan untuk menganalisis kontek sosial dari kemunculan gerakan sosial. Argumen

26

Bahtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, ed., Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM, 1998), h.xvii-xix.


(30)

utama dari pendekatan ini adalah bahwa berhasil atau tidaknya aktivis gerakan dalam mengembangkan klaim-klaim tertentu, atau mobilisasi massa/suporter dan menyebarkan pengaruh sangat tergantung pada konteks sosial-politik.27 Adapun wilayah kerja pendekatan ini penulis gunakan hanya pada konteks mikro yaitu hanya pada scope HTI di kampus UIN Jakarta. Variabel selanjutnya yang tidak kalah penting untuk digunakan dalam penelitian ini adalah studi tentang alat atau instrumen atau mekanisme relasional dalam rangka menyediakan infrastruktur pendukung yang mereka butuhkan. Paling tidak terdapat tiga elemen penting dalam infrastruktur: basis keanggotaan, jejaring komunikasi, dan pimpinan atau tokoh gerakan.28 Studi tentang alat atau instrumen ini dikenal sebagai mobilisasi sumber daya .29

Selain dimensi-dimensi kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya, dalam teori gerakan sosial dibutuhkan untuk mengkaji bagaimana individu-individu peserta mengkonseptualisasikan diri mereka sebagai suatu kolektivitas. Selain itu, gerakan sosial juga penting untuk mengetahui bagaimana para calon peserta diyakinkan untuk berpartisipasi, dan cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interaktif. Dalam perkembangan sebuah teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya mewujudkan melalui studi tentang framing (pembingkaian).

27

Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 20.

28

Ibid., h. 22.

29


(31)

Trend pembingkain ini akan coba penulis gunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Di beberapa aksinya HTI UIN Jakarta sering melakukan proses

framing untuk memobilisasi anggota, seperti terlihat dalam pembingkain terhadap isu-isu nasional maupun internasional.

3. Strategi

Dalam penelitian ini, HTI diklasifikasikan sebagai salah satu dari eksemplar kelompok fundamentalisme Islam dan ingin dipahami melalui perspektif teori gerakan sosial. Dalam teori gerakan sosial dikemukakan bahwa, selain ideologi gerakan sosial juga dipengaruhi oleh basis massa dan strategy for action.30

Sebagaimana disebutkan di atas, massa dalam gerakan sosial memiliki posisi penting karena melalui kekuatan massa atau kader, suatu gerakan akan lebih mudah untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam ideologi. Selanjutnya, karena keberadaan massa/kader sangat amat penting maka gerakan sosial juga meniscayakan pada strategi yang dirancang secara cermat. Strategi ini berkaitan dengan tata cara untuk memperluas basis massa, pembinaan, serta strategi lainnya yang bisa mengarahkan gerakan sosial agar bisa meraih tujuan secepat-cepatnya.

Mengingat pentingnya sebuah strategi, maka HTI sebagai gerakan sosial membutuhkan strategi-strategi untuk membina dan memperluas basis massa nya.

30

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 68.


(32)

Penelitian ini akan meletakan strategi ke dalam satu kerangka teori secara terpisah, agar mampu menggambarkan dengan komprehensishif bagaimana strategi HTI dalam merekrut kader-kadernya. Langkah seperti ini, berawal dari asumsi bahwa HTI dikenal sebagai organisasi yang cukup selektif dalam merekrut kader-kadernya, namun selektifitas terhadap perekrutan kader ini justru membuat HTI terbilang sukses dalam merekrut anggota.

F. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research dan observasi. Adapun library reseach yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang dituju.31 Kemudian metode observasi yaitu penulis melakukan upaya pencaharian data dengan cara terlibat langsung di lapangan dalam beberapa kegiatan-kegiatan HTI dan penulis melakukan wawancara pada beberapa responden yang dianggap representatif dengan penelitian yang penulis lakukan.

Penelitian gerakan sosial ini juga bersifat kualitataif yang berangkat dari generalisasi empiris atau realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan dianalisis secara komprehensif. Aspek yang bersifat fenomenal

31

Mohamad Kasiram, Metodelogi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodelogi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.


(33)

juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat di amati dari subjek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung dari setting itu secara keseluruhan. Subjek setudi baik berupa organisasi, lembaga, atau pun individu tidak di persempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari satu keseluruhan.32

Metode kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis ini bertujuan untuk menggambarkan pola gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan faktor pendukung gerakan mereka di Kampus UIN Jakarta. Kemudian penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar karya ilmiah (skripsi, tesis, dan desertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Teknik penulisan ini yang digunakan adalah merujuk pada pedoman penulisan skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011. Selain itu penulis juga mewawancarai sejumlah pengurus organisasi HTI khususnya yang masuk pada struktur organisasi HTI di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini, penulis akan menanyakan seputar pola gerakan dan faktor yang mendukung HTI di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jawaban dari pengurus HTI tersebut akan dijadikan sumber rujukan data analisa untuk menambahkan referensi dalam skripsi ini. Penulis paling tidak

32

Burhan Bungin, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodelogis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 31.


(34)

mewawancarai ketua atau anggota yang memiliki posisi strategis dalam kepengurusan HTI di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka penulis menggunakan beberapa hal tentang sistemmatika penulisan dan disusun menurut bab per bab. Kemudian dijelaskan sub per seb dari setiap tema pembahasan. Bab I, merupakan pendahuluan yang mencakup tentang penyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metedologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II meliputi tinjauan teoritis yang mengedepankan beberapa teori yaitu fundamentalisme, teori gerakan sosial yang dilengkapi dengan beberapa sub tema yaitu struktur kesempatan politik, mobilisasi sumberdaya dan pembingkaian dan teori strategi. Bab III, membahas tentang gambaran gerakan Islam Hizbut Tahrir, sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia, Hizbut Tahrir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi yang berideologi Islam, visi dan misi HTI di Kampus UIN Jakarta.

Bab IV, menganalisa pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di Kampus UIN Jakarta dengan sub tema masjid sebagai instrumen pengembangan jaringan sosial HTI UIN Jakarta, memanfaatkan relasi personal (pertemanan dan keluarga), membentuk kelompok studi dan memanfaatkan sarana kampus, pembingkaian isu sebagai pola gerakan HTI UIN Jakarta, strategi kaderisasi HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahapan pembinaan dan pengkaderan, tahapan berinteraksi


(35)

dengan umat, tahapan pengambilan kekuasaan, faktor yang mendukung eksistensi HTI di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jaringan, keberadaan aktivis sebagai sumberdaya, dan eksistensi HTI sebagai indicator fundamentalisme Islam di Kampus UIN Jakarta. Bab V, mengenai sumber-sumber dan rujukan yang dipakai dan dukumpulkan dalam daftar pustaka.


(36)

BAB II

TEORITIS

Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dipaparkan dalam bab I bahwa yang menjadi pertanyaan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, karena HTI adalah organisasi yang eksis relatif lama, maka penulis akan mencari faktor-faktor pendukung keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta.

Selanjutnya dalam skripsi ini HTI juga digolongkan sebagai eksemplar dari gerakan fundamentalisme Islam. Oleh karena itu, penting kiranya penilitian ini menyinggung soal fundamentalisme Islam yang kemudian akan dicari relevansinya dengan gerakan HTI. Untuk itu, penulis mengawali analisa bab ini dengan teori-teori yang sekiranya mendukung pembahasan pada masalah-masalah tersebut. Teori yang digunakan penulis akan diawali dengan teori yang bersifat umum kemudian diikuti dengan teori-teori yang lebih spesifik penunjang skripsi ini.

Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa menghubungkan gerakan fundamentalis dengan HTI bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam wacana gerakan sosial kedua gerakan ideologis tersebut terlihat jelas dimensi perbedaannya baik secara historis, kultural, maupun sumber kedua gerakan itu dilahirkan.


(37)

tataran kata yang masih belum dikonotasikan pada suatu objek khusus. Namun, berbeda dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang telah memiliki sifat khusus karena kata ini telah merujuk pada suatu objek tentang kelompok tertentu. Kata fundamentalis kemudian akan menjadi bermakna ketika dialamatkan pada suatu peristiwa khususnya pada term gerakan keagamaan yang melibatkan sekte kristen Protestan di Amerika pada abad ke-19 dan permulaan abad ke 20.1

Bersumber dari fenomena ini, maka oleh para sarjana ilmu sosial dan keagamaan term fundamentalis memiliki makna dan merujuk pada suatu kelompok. Gerakan fundamentalis Barat yang jelas-jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lahir dan berkembang dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Pada tahun 1982/1983 gerakan ini ditransfer ke Indonesia dengan sebutan HTI.2 Berangkat dari perbedaan di atas, maka dibutuhkan dalam melakukan analisis empiris terkait kedua masalah tersebut.

A. Teori Fundamentalisme

Sejak pertama kali dibentuk HTI telah menyebut identitas mereka sebagai gerakan politik, bahkan para aktivis HTI mengaku bahwa HTI adalah nereka adalah sebuah partai politik. Oleh karena itu, pola gerakan yang dibangun oleh HTI dimanapun mereka berada selalu bersifat politis. Selain membentuk identitas politik

1

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, trj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung: Mizan, 2001), h. 10

2

Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi, Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia,(Yogyakarta: LKIS, 2008), h. 100.


(38)

HTI juga banyak bergerak dalam ranah sosial-keagamaan sehingga sebagaian sarjana mengasumsikan bahwa HTI sebagai gerakan keagamaan dan politik.

Sebagai gerakan politik ideologi yang dibangun HTI adalah ideologi Islam artinya nilai-nilai Islam menjadi ruh untuk membangun sepirit perjuangan bagi HTI serta Islam diyakini dapat mempersatukan umat di seluruh dunia Khilafah Islamiyah.3 Untuk memperkokoh keyakinan terhadap ideologi Islam An-Nabhani menegaskan:

Kami meyakini, bahwa filsafat kebangkitan Islam yang hakiki sesungguhnya bermula dari adanya sebuah mabda (ideologi) yang menggabungkan fikrah dan tariqah secara terpadu, ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakikatnya adalah sebuah aqidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta merupakan pemecahan untuk seluruh msalah kehidupan.4

3

Menurut bahasa,kata khilafah berasal dari bahasa Arab khalafa ,yakhlifu,khilafatan yang artinya menggantikan atau menjadi khalifah atau penguasa .Kata khalafa dapat diartikan kekuasaan atau pemerintahan. Sedang menurut istilah ,khilafah yaitu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam,dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan seluruhnya berlandaskan ajaran Islam. Bentuk khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al Quran dan sunnah pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Dan masa khulafaur rasyidin,dimana hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh kaum muslimin. Khilafah dapat diwujudkan dan ditegaskan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak umat Islam yang bersangkutan.Adanya khilafah memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam ,sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam itu sendiri ,tanpa adanya khilafah ,kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur,kemakmuran bersama tidak akan tercapai,bahkan eksistensi Islam dan umatnya dapat terancam. Konsep khilafah Islamiyah dewasa ini mengandung dua pengertian yaitu a. Negara Islam yaitu negara yang sumber hukum atau undang-Undangnya Al Qur an dan Sunnah dan dilaksanakan secara konsisten ,misalnya sekarang adalah Arab Saudi. b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya Beragama Islam ,undang-undangnya tidak secara eksplisit berdasarkan Al Qur an dan Sunnah,tetapi umat Islam menjalankan agamanya dengan sebaik-bauknya .Misalnya sekarang adalah negara-negara Arab,Malaysia ,Iran ,Brunai Darussalam dan negara-negara anggauta Organisasi Konprensi Islam (OKI). Drs.Suyono, Pengertian Khilafah Islamiyah, Internet di unduh pada 5 Februari 2013, dalam http://suyono1978.blogspot.com/2012/06/pengertian-khilafah-islamiyah.html.

4

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia,(Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), h. 100.


(39)

Misi besar politik HTI adalah membangun tatanan sosial politik Islam dibawah struktur politik khilafah Islamiyah.5 Oleh karena itu, HTI menolak konsep-konsep politik di luar konsep-konsep politik Islam seperti demokrasi, monarki, presidensial, negara bangsa (nation state) dan lain sebagainya. Selain itu, ideologi-ideologi politik dari Barat seperti kapitalisme, komunisme, dan fasisme dianggap sebagai ideologi kafir yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan bagi umat Islam harus waspada dan menghindarinya.6

Barjuang melawan negera-negara kafir imprealis yang menguasai negara-negara Islam. Mengahadapi segala macam bentuk penjajahan, baik yang berupa pemikiran, politik, penjajahan, maupun militer. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya yang menjadi tempat kegiatan HT, serta mengungkapkan kejahatan mereka, memberi kritik, nasehat.Berusaha menghapus kekuasaannya dan menggantikan dengan hukum-hukum Islam.7

Ciri politis yang terangkum dalam gerakan HTI selama ini diasumsikan oleh sebagian para sarjana sebagai gerakan fundamentalis Islam. Adapun dalam skripsi ini, menghubungkan gerakan HTI dengan gerakan fundamentalis Islam penulis berangkat dari kerangka teori yang dikonseptualisasikan oleh Ronnex L. Euben dan Basam Tibi yaitu fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio-politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem politik yang didasarkan pada

5Farid Wadjidi, “Mengenal Hizbut Tahrir,” al

-Wa’ie, 20 Maret 2005, 55

6

KH.Shiddiq al-Jawi, “Islam Menolak Demokrasi”al-Wa‟ie, 1-31 Maret 2013, 18-21.

7

Anonim, Mengenal Hizb al-Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012), h. 38.


(40)

agama.8 Di antara kedua sarjana tersebut sama-sama meletakan perhatiannya pada unsur politik ketika mendefinisikan gerakan fundamentalisme Islam.

Selain kedua pemikir di atas, Syamsul Arifin menyebutkan beberapa aspek penting untuk menghubungkan gerakan Islam dengan gerakan fundamentalis.

Pertama, meskipun tetap mempertahankan motivasi keagamaan, fundamentalisme juga memiliki aspek politik. Dalam pandangan kaum fundamentalis, keselamatan tidak hanya bisa didapatkan dengan pengasingan diri dari urusan duniawi, melainkan harus didapat dengan melibatkan diri dalam urusan dunia (institusi dunia). Kedua, fundamentalisme dibatasi pada faham dan gerakan kembali pada tradisi religious skriptual dan sebagai konsekuensinya mereka menolak segala bentuk interpretasi. Dengan sikap yang seperti itu fundamentalisme diposisikan sebagai kelompok yang menolak pluralisme. Ketiga, kelompok fundamentalisme selain memiliki sikap yang keras dan reaksioner terhadap modernisme, tetapi mereka juga sebagai ekspresi dari moderenitas.9

Dari pemaparan di atas penulis meletakan aspek politik sebagai cara untuk menghubungkan HTI dengan gerakan fumdamentalis. Selain itu, karakter lainya yang biasa dihubungkan antara HTI dan gerakan fundamentalis adalah sikap mereka yang anti terhadap ideologi-ideologi Barat seperti fasisme, kapitalisme, komunisme, sekulerisme, dan lain-lain. Kemudian, jika kita menoleh pada apa yang di kemukakan

8

Arifin.,Ideologi dan Praksis Gerakan sosial Kaum Fudamental: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 52.

99


(41)

oleh Arifin di atas, maka terdapat karakter yang sama antara HTI dengan gerakan fundamentalis yaitu adanya faham kembali kepada tradisi religius, artinya kedua gerakan ini memandang bahwa setiap perkara yang terjadi di dunia ini baik itu soal agama, sosial, ekonomi, budaya maupun politik agama diyakini sebagai solusi untuk mengatasi masalah.

Meskipun wacana gerkan fundamentalisme Islam sendiri masih mengundang kontroversi dikalangan para sarjana gerakan sosial. Kesulitan para sarjana untuk menghubungkan wacana gerakan fundamentalis dengan gerakan Islam terletak pada beberapa faktor diantaranya adalah dimensi historis, ruang dan waktu istilah itu dikembangkan.

Secara historis kedua istilah tersebut sangat jelas perbedaannya. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari tradisi Kristen yang merujuk pada gerakan keagamaan dalam sekte Kristen Protestan Amerika yang muncul sekitar abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.10 Selanjutnya sebagai istilah, fundamentalisme diadopsi dari buku yang berjudul The Fundamentals: A Testimony to The Truth, sebuah kumpulan yang berasal dari para teolog konservarif.11

Dalam tradisi kristen sendiri kemunculan gerakan fundamentalisme merupakan bentuk reaksi terhadap banyak hal, seperti berkembangnya kajian kritik terhadap injil, populernya teori Darwin, perseteruan antara sains versus teologi. Kaum

10

Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 10.

11


(42)

fundamentalis memiliki doktrin yang disebut five point of fundamentalism. Lima doktrin itu adalah; 1) Injil tidak pernah salah, kata perkata. 2) Ketuhanan Yesus Kristus. 3) Kelahiran Yesus dari Perawan Maria. 4) Penebusan doas. 5) Kebangkitan Yesus ke dunia secara fisik.12

Kelima doktrin ini merupakan hasil interpretasi para teolog konservatif terhadap Injil. Interpretasi ini bersifat tekstual sekaligus menolak kontekstualitas kalangan liberal dan memiliki pengertian yang mutlak, jelas tidak berubah. Jams Barr, mengatakan setigma sosial yang kerap dialamatkan pada kelompok ini adalah fanatik, militan, berfikiran sempit, dan pada kepada mereka yang berbeda keyakinan di luar jalur kelompok sejati dalam kasus tertentu menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya.13

Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama kristen di Amerika, Peter Huff mencatat terdapat enam karakteristik penting gerakan fundamentalisme. Secara sosiologis, gerakan fundamentalisme sering dikaitkan dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukan kecenderungan kepada suatu yang vulgar dan tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual; secara psikologis, gerakan fundamentalisme ditandai dengan

12

F.L Cross (ed) The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press,

1997), h. 926, seperti dikutip dari Rifyal Ka’bah, Modernisme dan Fundamentalisme ditinjau dari

konteks Islam(Ulmul Qur’an, No. 3 vol IV, 1993), h. 26. 13

Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Tsawirul Afkar Edisi 13 Tahun 2002, h. 37.


(43)

otoriterianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara intelektual, gerakan fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan ketidak-mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis, fundamentalisme diidentikan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikatakan dengan populisme reaksioner.14

Dengan demikian secara etimologis dan istilah, gerakan fundamentalisme tidak akan ditemukan dalam tradisi Islam. Grrakan fundamentalisme dalam tradisi Islam hanya padanan kata. Penerapan fundamentalisme dalam tradisi Islam pada akhirnya lebih banyak ditolak daripada diterima.15 Dalam hal ini, John L. Esposito mengatakan dalam beberapa hal kata itu (baca Fundamentalisme Islam) menceritakan tentang segalanya, akan tetapi pada saat yang sama tidak mengungkapkan apa-apa.16 Martin Van Bruessen mengatakan hal serupa bahwa penerapan terminologi fundamentalisme dalam konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi,

14

Huff, “The Challenge of Fundamentalism for Interreligiuos Dialogue”, Cross Curent (SpringSummer,200),10http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_SpringSammer/63300895/print .jhtml. Diakses pada 09 Desember 2012, pukul 19.30 wib.

15

Adanya penolakan terhadap istilah fundamentlaisme disejajarkan dengan istilah Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, geneologi istilah fundemantalisme berasala dari pengalaman kasus Kristen.Kedua, memiliki implikasi yang jauh lebih buruk jika diterapkan dalam Islam, seperti kebodohan, keterbelakangan.Ketiga, karena luasnya kajian yang direpresentasikan oleh istilah fundamentalisme Islam, maka beragam paradigma dan perspektif yang digunakan oleh para sarjana sebagai metode dalam mengkajinya. Maka wajar apabila melahirkan beragam kesimpulan Lihat Ufi Ulfiyah dalam “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012”, h. 38

16

John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos dan Realitas, trj. Alawiyah Abdurahman (Bandung: Mizan, 1996), h. 17.


(44)

bagaimanapun kita berusaha mendeskripsikannya akan tampak sebagai sesuatu yang sulit dipahami.17

Khursid Ahmad menolak dengan alasan istilah fundamentalisme adalah khas Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti terjadi pemerkosaan yang besar-besaran terhadap sejarah.18 Sedangkan Chandra Muzaffar dengan lantang mengatakan gerakan fundamentalisme Islam adalah suatu bukti khas Barat dan menunjukan adanya vested interest dalam penggunaannya baik oleh media maupun akademisi.19

Dari sekian banyak para sarjana yang tidak setuju terhadap istilah fundamentalisme dihubungkan dengan gerakan Islam, namun ada beberapa sarjana yang justru setuju atau paling tidak menemukan persamaan-persamaan dari kedua istilah tersebut dihubungkan. Ibrahim Abu Bakar dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) menemukan beberapa persamaan dari kedua istilah tersebut. Dalam interpretasinya Abu Bakar mengelompokan persamaan gerakan fundamentalisme dan gerakan Islam yaitu dalam hal interpretasi terhadap teks, sikap ingklusif, cenderung menolak gagasan-gagasan Barat dan lain-lain.20

17

Imron Rosidy (ed), Agama dalam Pergulatan Dunia ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998 ), h. 63.

18

Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 283.

19

Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global, trj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 236.

20

Beberapa persamaan yang ditemukan oleh Ibrahim Abu Bakar adalah:Pertama, fundamentalisme memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, rdikalisme, dan militanisme. Ketiga, fundamentalisme memberikan penekanan pada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme, humanisme. Keempat, kaum fundamentalisme mendakwahkan diri mereka


(45)

B. Teori Gerakan Sosial

Ditinjau dari perspektif sejarah, fenomena gerakan sosial sebetulnya bukanlah masalah baru di seantero bumi ini. Sebagai tipe klasiknya dalam mengkaji gerakan sosial dapat dilihat pada gerakan buruh pada masyarakat Eropa di abad ke 19 dan awal abad ke 20-an.21 Ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural yang dilahirkan oleh revolusi industri sehingga memicu gerakan buruh di Eropa.

Dalam melihat gerakan sosial para sarjana memiliki pendekatan yang berbeda-beda sehingga hal ini melahirkan perspektif yang berbeda-beda ketika memaknainya. Seperti halnya Micheal Useem, dia mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektifitas terorganisasi yang dimaksudkan mengadakan perubahan terhadap kondisi sosial dan politik. Kemudian John McCarthy dan Mayer Zald sedikitmelangkah lebih rinci dalam memahami gerakan sosial. Kedua sarjana itu memahami gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi apapun yang bernilai secara sosial. Lain halnya dengan Charles Tilly yang menambahkan sisi perseteruan dalam interksi gerakan sosial. Tilly

sebagai penafsir agama yang benar dan diluar dari mereka salah. Dikutip oleh Hadimulyo,

“Fundamentalisme Islam: Istilah yang Dapat Menyesatkan”, Ulumul Qur‟an, No. 3 Vol. IV, 1993, h.

5.20

21

Bara Ilyasa, “Profil Partai Fundamentalis Islam: Studi Tentang Mobilisasi Politik Partai Keadilan Sejahtera 1999-2009)”, (Skripsi SI Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 32


(46)

mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya perseteruan dan dan berkelanjutan di antara warga negara.22

Beberapa sarjana di atas, memberikan ciri-ciri dan penekanan tertentu perihal pendefinisian gerakan sosial. Berbeda dengan David Meyer dan Sidney Tarrow, dalam karyanya Social Movenent Society 1998. Kedua sarjana ini berusaha memasukan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: Tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujaun dan solideritas bersama dalam interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan, atau musuh, bahkan pemegang otoritas.23 Goerge Simel dalam memetakan gerakan sosial ia lebih menekankan pada jumlah anggota sebagai pendukung gerakan sosial.24

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh para sarjana maka HTI bagian daripada gerakan sosial, kerana HTI sebagai sebuah kelompok masyarakat

22

Astrid S. Susanto, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu, (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 21

23

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2007), h. 1-4.

24

Berangkat dari definisi di atas, paling tidak terdapat dua fitur yang menonjol ketika menteoritisikan gerakan sosial. Pertama, gerakan-gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan prubahan didalam aransemen-aransemen kelembagaan. Tantangan-tantangan ini bisa berpusat pada kebijakan-kebijakan publik dan ditunjukan untuk mewakili perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga-lembaga sosial politik, distribusi jaminan sosial atau bisa juaga menyangkut konseptualisasi menganai tanggungjawab sosial dan politik.Kedua, adalah corak politis yang inheren di dalam gerakan-gerakan sosial, terutama terkait dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai lewat gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam distribusi kekuasaan dan wewenang. Tujuan politis ini hanya mungkin dicapai lewat interaksi-interaksi terus-menerus, berkelanjutan, dengan aktor-aktor politik di luar gerakan, yang terpenting diantaranya adalah sekutu-sekutu dan pesaing-pesaing politik dan pemegang otoritas kekuasaan. Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 68. Lihat juga Bara Ilyasa dalam “Profil Partai Fundamentalis Islam, h. 34-35


(47)

yang terorganisir dan memiliki orientasi untuk merubah sebuah tatanan sosial dan politik yaitu dengan menegakan Islam sebagai rujukan tunggal dalam membangun struktur sosial dan politik di bawah struktur kilafah Islamiyah. Kemudian, dari sisi keanggotaan yang ditekankan oleh Simel, nampak jelas HTI memiliki jumlah anggota yang cukup mempuni untuk diidentifikasi sebagai gerakan sosial.

Dari berbagai perbedaan dalam memahami gerakan sosial tersebut, penelitian ini akan meletakan tiga faktor dalam memetakan secara teoritis persoalan gerakan sosial yaitu kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi sumber daya (resource mobilization), dan proses pembingkaian (friming processes). Ketiga trend teoritis inilah yang akan digunakan penulis untuk menganalisis HTI di kampus UIN Jakarta.

1. Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure)

Gerakan sosial tidak beroprasi dalam ruang hampa, namun mereka adalah bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas yang dicirikan oleh bagian konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah dan cair yang menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasaan, ketersediaan sumber daya atau kelajiman struktur mobilisasi. Para aktor kolektif dibatasi maupun diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang seringkali membatasi kemungkinan gerakan dan daftar taktik, tindakan dan pilihan.


(48)

Di kalangan para pemikir gerakan sosial, tidak ditemukan kesepakatan secara khusus terkait faktor-faktor eksogen. Namun, para sarjana banyak memfokuskan pada ketidaktersediaan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substansinya. Teori kesempatan politik berasumsi bahwa para aktor, begitu mereka menyadari terdapatnya kesempatan dan ancaman maka mereka akan memberikan tanggapan secara rasional untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan atau mengetasi kesulitan.

Di Indonesia adanya perubahan sosial-politik pasca kepemimpinan Soeharto, maka membuka kesempatan untuk lahirnya gerakan-gerakan sosial. Sistem politik yang demokratis membuka ruang kebebasan pada masyarakat untuk berekpresi, berkumpul dan berorganisasi. Selain kebebasan secara general berbagai aturan-aturan yang dianggap membonsai pergerakan mahasiswa juga di amademen sebagai contoh adalah amademen aturan kampus NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus).25

Terbukanya celah kesempatan politik tentunya banyak dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan sosial keagamaan untuk masuk pada institusi pendidikan khususnya di lingkungan kampus. Seperti halnya HTI di kampus UIN Jakarta, kehadiran mereka dipicu oleh adanya kesempatan untuk berekpresi dan berorganisasi. Selain adanya kesempatan yang bersifat struktural, situasi sosial di lingkungan kampus juga turut mendukung perkembangan HTI di kampus. Kebijakan kampus yang mengakomodir

25

Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 59


(49)

setiap kegiatan mahasiswa seperti seminar, melakukan demontrasi, dan event-event lainnya, tidak jarang dimanfaatkan sebagai ajang untuk memperluas pengaruh HTI pada mahasiswa UIN Jakarta.

Fenomena menguatnya kelompok-kelompok yang berhaluan fundamentalis seperti HTI di kampus UIN Jakarta ini seraya membenarkan tesis Pipa Noris dan Ronald Inglehart dalam Secred and Secular: Religion and Politics Worldwide, yang menjelaskan kuatnya kehidupan beragama di Amerika Serikat, atau dengan munculnya kelas menengah muda protestan (Yuppies, Young Urban Profesional) dalam tulisan Harvey Cocks berjudul The Return of Religion to The Secular City.26

Tesis ini sekaligus memberikan bantahan terhadap tesis sekulerisasi yang meniscayakan semakin modern, maka akan semakin sekuler. Adanya integrasi keilmuan di UIN Jakarta yang dikembangkan sejak dekade 70-an terwujud dalam program kerjasama UIN dengan McGill University.27

Dalam perkembangannya yang lebih maju gagasan integrasi keilmuan yang diproyeksikan UIN Jakarta melahirkan corak baru bagi sistem pendidikan di UIN Jakarta. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN pada fase IAIN lebih banyak mengembangkan gagasan-gagasan tradisional ala-pesantren, kini berubah menjadi kampus yang mengusung modernisasi dalam berbagai sektor. Meskipun modernisasi

26Anas Shafwan Khalid, “IAIN Sebagai Pembaharuan oleh/dari/ bagi Pesantern”,

Komunita Saung, 6 Maret 2012, h. 5-11

27

Fuad Jabali, Jamhari (Peny), IAIN dan Moderenisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 20-27.


(50)

terjadi di UIN Jakarta, akan tetapi hal ini tidak mengkikis khazanah keilmuan yang berbasis keagamaan.

Tesis Norris nampaknya sedikit relevan dengan pengalaman UIN Jakarta, adanya perubahan ke arah sekuler atau modern bukan berarti akan melahirkan perubahan secara total terhadap situasi yang ada, yang terjadi justru sebaliknya masyarakat akan semakin religius. Dalam konteks UIN perubahan tersebut direspon dengan lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis seperti HTI dan lain-lain.

Sebagaimana disampaikan oleh Ust. Fadlan dalam dialognya dengan penulis dia menyebutkan bahwa:

HTI adalah organisasi yang sangat menjungjung tinggi nilai-nilai Islam, HTI juga meyakini bahwa Islam adalah solusi dari setiap aspek kehidupan.Bagi kami gagasan-gagasan yang selama ini banyak dikembangkan di UIN Jakarta, baik itu yang bersifat keilmuan maupun keagamaan telah bergeser dari nilai-nilai Islam.UIN terlalu menekankan terhadap Barat. Sebagai contoh saat ini UIN Jakarta mengembangkan ide-ide Barat seperti demokrasi, komunisme, sekulerisme dalam berbagai materi perkuliahan yang diajarkan di kampus dan itu tentunya akan mempengaruhi frame berfikir mahasiswa. Oleh karena itu, kami dari akan terus berupaya melakukan sebuah gerakan-gerakan sebagaimana dikembangkan dalam konsep al-sira‟al-fikri

(pergolakan pemikiran) yang kami miliki. Gerakan itu diaplikasikan dalam wujud gerakan pemikiran yang diperuntukan untuk menentang ideologi dan kepercayaan, aturan dan pemikiran kufur yang kami anggap bertentangan dengan Islam.28

Stetmen yang dikemukakan Ust.Fadlan di atas menggambarkan bahwa HTI di UIN Jakarta merespon terhadap kondisi sosial dan struktural yang dilakukan oleh UIN Jakarta. Kemudian adanya kelonggaran aturan dari kampus terhadap kebebasan untuk berekpresi dan berorganisasi pada mahasiswa, paling tidak hal ini akan

28

Wawancara penulis dengan Ust.Fadalan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib.di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel.Pisangan Kota Tangerang Selatan


(51)

mendukung pada pergerakan HTI di lingkungan kampus UIN Jakarta. Karena mereka diberikan kelonggaran untuk bebas bergerak dan menggembangkan organisasinya pada mahasiswa.

2. Mobilisasi Sumber Daya (Resource mobilsation)

Kajian terhadap teori sumber daya muncul sebagai respon terhadap kelemahan dari pendekatan gerakan sosial terutama pada model sosio-psikologis awal. Titik tolak pendekatan sosio-psikologis berawal dari asumsi bahwa keseimbangan sistem merupakan suatu kondisi sosial yang natural. Dari perspektif ini masyarakat secara organis menghasilkan infrastruktur kelembagaan yang mengatur keseimbangan antara

input dan output dalam sistem politik. Tuntutan-tuntutan sosial diakomodasi oleh lembaga-lembaga responsif yang menyalurkan dan menangani kepentingan untuk menghasilkan kebijakan yang optimal.

Dalam kasus HTI di kampus UIN Jakarta pendekatan mobilisasi sumber daya cukup relevan untuk digunakan dengan harapan dapat mendeteksi pola gerakan yang mereka kembangkan. Dibentuknya beberapa subsistem dalam tubuh organisasi HTI adalah indikator yang dapat menjelaskan bahwa HTI teribat dalam pemangfaatan sumber daya demi terwujudnya cita-cita berama dalam organisasi.

Merujuk pada strategi pergerakan yang dikembangkan HTI bahwa pergerakan HTI pada saat ini dimanapun mereka berada sedang dalam fase berinteraksi dengan umat (marhalah al-tafaul ma‟a al-ummah). Target yang ingin dicapai dalam tahapan


(52)

ini yaitu pemikiran Islam yang telah diterapkan oleh HTI bisa diterima menjadi pemikiran umat secara luas. Jika pemikiran HTI diterima oleh umat, maka perjuangan HTI untuk mendirikan kembali daulah khilafah Islam dapat dilakukan. Oleh karena itu, untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut HTI di UIN Jakarta membentuk subsitem organisasi seperti kelompok-kelompok diskusi sebagaimana dikenal dengan Gema Pembebasan, Muslimat HTI UIN Jakarta, SRIKAIA, Muslim Science Community MMC dan sebagainya.29 Selain untuk menyampaikan pesan dakwah keberadaan kelompok-kelompok diskusi ini juga dapat dijadikan media untuk merekrut anggota baru HTI, karena pada momen-momen tertentu aktivitas diskusi ini bersifat terbuka sehingga memungkinkan untuk orang yang berada di luar HTI bergabung didalamnya.

Pemangfaatan sumber daya organisasi HTI di UIN Jakarta tidak hanya terlihat pada adanya berbagai subsistem di atas, namun para aktivis HTI juga melakukan afiliasi ke masjid-masjid di sekitar kampus UIN Jakarta. Karena masjid menawarkan jaringan organik yang menghubungkan komunitas HTI dari berbagai tempat. Selain itu, masjid juga menjadi media empuk untuk memperluas pemikiran-pemikiran HTI terutama melalui agenda-agenda pengajian. Selain gerakan masjid dan kelompok dakwah, HTI di UIN Jakarta memiliki sumber daya media seperti pembentukan webset (www.htiuinjakarta.or.id, dan facebook Kampus Ideologis), radio (HTI

29

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (ketua komisariat HTI cepter Ciputat UIN Jakarta), Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec.Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Baaten.


(53)

berafiliasi dengan Radio Dakwah Kampus di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta), bulitin (Gema Pembebasan, Al-Islam), koran (media umat), majalah ( al-Waie) dan lain-lain.

Selain sumber daya media HTI di UIN Jakarta juga memiliki sumber daya keanggotaan yang solid dan militan. Meskipun jumlah kader yang dimiliki HTI tidak sebanyak organisasi HMI atau PMII di kampus UIN Jakarta, namun dalam hal mengelola kader HTI cukup mempuni. Seperti dikatakan oleh Ust.Gustar dalam persoalan halaqah saja para aktivis HTI hampir setiap hari dilakukan di sekitar kampus UIN Jakarta. Selanjutnya dalam observasi penulis ketika mengikuti beberapa kali kegiatan-kegiatan HTI, penulis menemukan istilah “iltizmat” membayar infak

yang rutin setiap bulan bagi kader dan pelajar HTI. Adanya kesukarelaan dan rutinitas dari para aktivis HTI dalam memberikan kontribusi materi merupakan indikator bahwa dalam hal pemangfaatan sumber daya yang dimiliki HTI cukup baik dan anggota adalah sumber daya yang potensial bagi berkembangnya HTI di kampus UIN Jakarta.

Pendekatan sumber daya melihat gerakan-gerakan sosial sebagai suatu yang rasional, suatu manifestasi tindakan yang terorganisasi. Penegasan utama pendekatan ini bahwa ketika ketidakpuasan tersebar luas, namun gerakan tidak ada. Untuk


(54)

menyikapi masalah ini maka diperlukan adanya variabel penjelas yang akan menerjemaahkan tiap-tiap ketidakpuasan menjadi pernyataan yang terorganisasi.30

Bagi pendekatan mobilisasi sumber daya, para pengelola gerakan membentuk organisasi-organisasi gerakan sosial, infrastruktur kelembagaan dan personil untuk menghasilkan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan yang efektif. Para peserta gerakan bukanlah tidak rasional melainkan bergabung dengan gerakan karena beragam insentif dan tujuan. Wilayah oprasi pendekatan ini terfokus pada infrastruktur dan sumber daya organisasi yang dimiliki gerakan sosial. Gerakan sosial membentuk wadah bagi mobilisasi, mekanisme komunikasi, dan staf-staf profesional melalui proses birokratisasi dan difrensiasi kelembagaan yang di desain untuk mengkoordinasi dan mengorganisasi perseteruan. Melalui infrastruktur yang kuat dan kokoh maka gerakan dapat mengarahkan aktivisme untuk memaksimalkan dampak dan pengaruh serta strategi ini pun akan membantu mempermudah kaderisasi massa.31 Sekurang-kurangnya terdapat tiga aspek infrastruktur yang sangat penting dibahas dalam pendekatan ini, yaitu basis keanggotaan, jejaring komunikasi, dan pemimpin atau tokoh.32

3. Proses Pembingkaian (Framing)

Selain dimensi-dimensi kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya, analisis gerakansosial semakin kuat mengkaji bagaimana individu-individu peserta

30

Ibid., h. 32.

31

Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 20-22

32


(55)

mengkonsptualisasikan diri mereka sebagai suatu kolektivitas, bagaimana para calon peserta diyakinkan untuk berpartisipasi, dan cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interktif. Lebih umum istilah ini dikenal dengan studi tentang pembingkaian (framing).

Bingkai merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa dari luar. Skema ini sangat penting bagi gerakan sosial, karena akan dijadikan modal untuk menyebarkan penafsiran gerakan dan dirancang untuk memobilisasi para peserta dukungan. Gwenn Okruhlik mengemukakan, bingkai adalah sarana dunia atau alat yang memberi aturan dan pengertian tentang dunia yang tanpanya dunia akan tampil membingungkan; hal ini berlangsung karena bingkai menawarkan bahasa yang lengkap atau menyusun makna dari berbagai persoalan yang dipertikaikan. Para aktivis gerakan sosial membingkaikan perjuangan politik dengan cara mengemukakannya ke publik dan simpatisan fanatik.33

33

Ketika sebuah bingkai digunakan ketengah masyarakat, bingkai itu harus memiliki kredibilitas empiris yang dapat diperbandingkan dengan pengalaman-pengalaman lain dan kejituan narasi. Dengan kata lain, bingkai harus relevan dengan kepercayaan, pengalaman, dan narasi-narasi budaya terdahulu. Dari sisi fungsi bingkai di definisikan kedalam beberapa fungsi sebagaimana dijelaskan oleh David Snow dan Robet Benford, pertama gerakan sosial membangun bingkai-bingkai yang mendiagnosis kondisi sebuah persoalan yang perlu ditangani. Kedua, gerakan memberikan pemecahan terhadap persoalan tersebut termasuk kritik dan strategi tertentu yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai penawar untuk kondisi yang rapuh. Ketiga, gerakan memberikan alasan dasar untuk memotivasi tumbuhnya dukungan dan tindakan kolektif. Bingkai-bingkai motivasi ini diperlukan untuk meyakinkan para calon peserta agar mereka benar-benar terlibat dalam aktivisme, dengan demikian akan merubah publik bisa menjadi anggota. Lihat Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, h. 39-391.


(1)

(2)

Foto Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Foto Majalah Hasil Konfrensi HTI dan Kitab Panutan Hidup dalam Islam karya Taqiyuddin An-Nabhani.


(3)

(4)

Foto penulis saat mewawancarai responden

Foto penulis dengan Zakiyatun Nufus (muslimat HTI di UIN Jakarta)


(5)

Foto penulis dengan Munawir (anggota HTI di UIN Jakarta)


(6)

Foto penulis saat berdialog dengan Faisal Fikri (anggota HTI di UIN Jakarta)