Studi Deskriptif Mengenai Tipe Forgiveness pada Anggota Paduan Suara Mahasiswa Universitas 'X' di Kota Bandung.

(1)

This research describe the type of forgiveness in the members of university

student choir of ‘X’ University in Bandung. The sample are selected by using the method of purposive sampling. There are 42 samples that participate in the research.

To measure the primary data in the research, the Decisional Forgiveness Scale (DFS) and Emotional Forgiveness Scale (EFS) are used. Both scales were constructed by Worthington (2006) whose works have been translated into Bahasa Indonesia by Heliany Kiswantomo, M.Si., Psychologist. Meanwhile, the validity of the measuring tool utilizes the construct validity technique of Rank Spearman formula with the result 8 items are valid for the EFS and 7 items valid for the DFS. Furthermore, the reliability of the measuring tool is processed using alpha cronbach with the result of 0.567 for the DFS and 0.782 for the EFS. The resulting data gathered from the research is processed by the SPSS 22.0 program. The results acquired based on the statistic data process are as follow: 16.7% respondents have a type of forgiveness with a high DF degree and 11.9% respondents have a type of forgiveness with a high EF degree. In addition, 38.1% respondents have high level in both DF and EF degrees and the 33.3% respondents have low level in both DF and EF degrees. There are also relations between the aspects of forgiveness traits, depth of hurt, frequency of hurtful events, attitude of the offender, empathy, and gender of the members of university student

choir of ‘X’ University in Bandungwith the forgiveness types.

Based on this research, the researcher offers advices to other researchers who are interested to do research on the correlation between the factors affecting forgiveness types. Moreover, the research may also observe on the contribution of the environment in developing forgiveness in an individual.


(2)

Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada anggota paduan suara mahasiswa Universitas ‘X’ di kota

Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling. Sampel yang terdapat di dalam penelitian ini berjumlah 42 orang.

Alat ukur data primer yang digunakan adalah Decisional Forgiveness Scale (DFS) dan Emotional Forgiveness Scale (EFS) yang dikonstruksi oleh Worthington (2006), dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Heliany Kiswantomo, M.Si., Psikolog. Validitas alat ukur menggunakan teknik construct validity dengan rumus Rank Spearman. Hasil validitas 8 item valid untuk EFS dan 7 item valid untuk DFS. Adapun reliabilitas alat ukur diolah menggunakan alpha cronbach dengan hasil 0,567 untuk DFS dan 0,782 untuk EFS. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan program SPSS 22.0.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, diperoleh data sebanyak 16.7% responden memiliki tipe forgiveness dengan derajat DF yang tinggi, dan sebanyak 11.9% responden memiliki tipe forgiveness dengan derajat EF yang tinggi. Selain itu, sebanyak 38.1% responden memiliki tipe forgiveness dengan derajat DF dan EF yang sama-sama tinggi, sedangkan sebanyak 33.3% responden memiliki tipe forgiveness dengan derajat DF dan EF yang sama-sama rendah. Terdapat kaitan antara trait forgiveness, kedalaman luka, frekuensi peristiwa menyakitkan, sikap pelaku, kemampuan empati, dan perbedaan gender

anggota PSM Universitas ‘X’ di Kota Bandung dengan tipe forgiveness.

Berdasarkan penelitian ini, peneliti mengajukan saran kepada peneliti lain yang berminat agar dapat meneliti mengenai korelasi antar faktor-faktor yang memengaruhi dengan tipe forgiveness. Selain itu juga dapat diteliti mengenai kontribusi lingkungan dalam mengembangkan forgiveness pada individu.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN ... .... i

LEMBAR PERYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... ...ii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... ..iii

KATA PENGANTAR ... ...iv

ABSTRACT... ..ix

ABSTRAK... ...x

DAFTAR ISI... ..xi

DAFTAR BAGAN ... .xv

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN... ...1

1.1 Latar Belakang Masalah ... ...1

1.2 Identifikasi Masalah... .13

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 13


(4)

1.4 Kegunaan Penelitian ... .14

1.4.1 Kegunaan Ilmiah... 14

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 14

1.5 Kerangka Pemikiran ... .15

1.6 Asumsi ... .24

BAB II. TINJAUAN TEORETIS ... .26

2.1 Forgiveness ... .26

2.1.1 Definisi Forgiveness ... .26

2.1.2 Konsep mengenai Forgiveness ... .26

2.1.3 Aspek Forgiveness ... .28

2.1.4 Tipe Forgiveness ... .29

2.1.5 Faktor-Faktor yang memengaruhi Forgiveness ... .33

2.1.6 Forgiveness dalam kelompok sosial... .36

2.1.7 Forgivenessdan Gender……….37

2.2 Teori Kelompok Sosial ... .38

2.3 Organisasi Kemahasiswaan ... .41

2.3.1 Definisi Organisasi Kemahasiswaan ... .41

2.3.2 Manfaat Organisasi Kemahasiswaan ... .42

2.3.3 Bentuk Organisasi Kemahasiswaan... .43

2.4 Tahap Perkembangan Remaja ... .44

2.4.1 Batasan Usia Remaja ... .44


(5)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... .47

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian... .47

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... .48

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... .48

3.3.1 Variabel Penelitian ... 48

3.3.2 Definisi Konseptual... 48

3.3.3 Definisi Operasional... 49

3.4 Alat Ukur ... .50

3.4.1 Alat Ukur Tipe Forgiveness... .50

3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ... .51

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... .53

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... .53

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... .53

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... .54

3.5 Populasi & Teknik Penarikan Sampel ... .56

3.5.1 Populasi Sasaran ... .56

3.5.2 Karakteristik Sampel ... .56

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... .56

3.6 Teknik Analisis Data ... .57

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... .58

4.1 Gambaran Umum Responden... .58


(6)

4.1.2. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... .59

4.1.3. Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Bergabung dalam PSM ... .59

4.1.4. Gambaran Responden Berdasarkan Rata-Rata Latihan per Minggu ... .60

4.1.5. Gambaran Responden Berdasarkan Motivasi Masuk PSM... .61

4.2 Hasil Penelitian... .62

4.2.1. Gambaran Mengenai Tipe Forgiveness... .62

4.3 Pembahasan ... .63

4.4 Diskusi ... .73

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... .76

5.1 Kesimpulan ... .76

5.2 Saran ... .78

5.2.1. Saran Teoretis ... .78

5.2.2. Saran Praktis ... .79

DAFTAR PUSTAKA ... ..xviii

DAFTAR RUJUKAN ...xix


(7)

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran... 23 Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian... 48


(8)

Tabel 2.1. Perbedaan decisional dan emotional forgiveness... 32

Tabel 3.1. Kisi-Kisi Alat Ukur ... 51

Tabel 3.2. Keterangan Skor Item... 52

Tabel 3.3. Kriteria Validitas ... 54

Tabel 3.4. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner DFS ... 54

Tabel 3.5. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner EFS... 55

Tabel 3.6. Kriteria Reliabilitas ... 55

Tabel 4.1. Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 58

Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 59

Tabel 4.3. Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Bergabung dalam PSM... 59

Tabel 4.4. Gambaran Responden Berdasarkan Rata-Rata Latihan Per Minggu... 60

Tabel 4.5. Gambaran Responden Berdasarkan Motivasi Masuk PSM ... 61


(9)

• LAMPIRAN A : Kisi-kisi alat ukur • LAMPIRAN B : Kuesioner

• LAMPIRAN C : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur DFS & EFS • LAMPIRAN D : Data Hasil Tabulasi Silang

• LAMPIRAN E : Hasil Korespondensi dengan Worthington • LAMPIRAN F : Profil Paduan Suara Mahasiswa Universitas ‘X’

• LAMPIRAN G : Hasil Pengambilan Data • LAMPIRAN H : Biodata Peneliti


(10)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Universitas ‘X’ merupakan salah satu perguruan tinggi yang sangat

peduli terhadap perkembangan diri setiap mahasiswanya, tidak hanya mengutamakan kemampuan akademik namun juga mengutamakan kompetensi sosial bagi setiap mahasiswa. Hal ini diungkapkan oleh bapak M, seorang kepala biro kemahasiswaan di Universitas ‘X’ yang diwawancarai oleh peneliti. M menambahkan, dalam rangka perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Universitas ‘X’ meyakini bahwa cukup sulit untuk mewujudkan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat hanya melalui kuliah di kelas. Universitas ‘X’ menyadari bahwa kehadiran organisasi kemahasiswaan sangat penting sebagai wadah pengembangan kompetensi sosial bagi setiap mahasiswa.

M mengungkapkan, saat ini Universitas ‘X’ memiliki 44 organisasi kemahasiswaan yang terdiri dari 4 biro kemahasiswaan, 5 senat mahasiswa, 18 himpunan mahasiswa, dan 17 unit kegiatan. Masing-masing organisasi memiliki latar belakang, tujuan, serta memiliki bentuk kegiatan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat memperluas kesempatan mahasiswa untuk dapat menentukan sendiri organisasi seperti apakah yang sesuai dengan minat ataupun bakat yang mereka miliki.


(11)

Salah satu unit kegiatan mahasiswa di Universitas ‘X’ yang paling menonjol dibandingkan unit kegiatan mahasiswa lainnya adalah Paduan Suara Mahasiswa, yang selanjutnya di dalam penelitian ini akan disebut sebagai PSM Universitas ‘X’. Hal tersebut dikarenakan PSM Universitas ‘X’ merupakan salah satu unit kegiatan yang sudah lama berdiri di Universitas ‘X’. PSM Universitas ‘X’sudah menggeluti dunia paduan suara selama 30 tahun dan telah menghasilkan banyak prestasi, baik skala nasional maupun internasional. PSM Universitas ‘X’ juga merupakan unit kegiatan yang sudah cukup dikenal masyarakat luas khususnya di kota Bandung, serta banyak dikenal dalam lingkup internasional dibandingkan dengan unit kegiatan mahasiswa lainnyayang ada di Universitas ‘X’.

Pada awalnya PSM Universitas ‘X’ dibentuk atas dasar kesamaan hobi bernyanyi beberapa mahasiswa yang mencoba untuk membuat sebuah

vocal group mahasiswa. Kegiatan rutin saat itu adalah menyanyikan

beberapa lagu dengan beberapa improvisasi yang dapat mereka lakukan. PSM Universitas‘X’ pun kemudian mulai memberanikan diri untuk tampil dalam beberapa eventdi Universitas ‘X’. Seiring perjalanannya, nama PSM Universitas ‘X’ sendiri mulai terdengar di kalangan civitas akademika Universitas ‘X’. PSM Universitas ‘X’ pun kemudian semakin berkembang dari segi keanggotaan, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk berubah dari vocal group menjadi sebuah paduan suara.

Peneliti melakukan wawancara dengan K yang menjabat sebagai ketua PSMUniversitas ‘X’ mulai dari tahun 2012 hingga 2014. Menurutnya, sejak


(12)

tahun 2000 PSM Universitas ‘X’ sudah dikenal sebagai salah satu paduan suara terbaik di Indonesia dan menjadi salah satu paduan suara dari Indonesia yang cukup diperhitungkan oleh negara lain, khususnya oleh negara-negara di Benua Eropa. Hal tersebut dikarenakan PSM Universitas ‘X’ memenangkan predikat juara dalam 4 kompetisi paduan suara internasional yang pernah diikutinya.

Menurut K, PSM Universitas ‘X’ memiliki visi yaitu menjadi salah satu paduan suara dari Indonesia yang memiliki kualitas kelas dunia dan dikenal dalam lingkup internasional. Misinya yaitu untuk melestarikan dan mempromosikan budaya serta kesenian Indonesia melalui seni musik dan suara. Sejak awal dibentuk hingga saat ini, terdapat satu nilai yang selalu ditanamkan oleh PSM Universitas‘X’ kepada setiap anggotanya yaitu “We are the TEAM, Together Everyone Achive More”. Menurut K, nilai TEAM itu sendiri dimaksudkan agar tercipta rasa saling memiliki dan saling percaya di antara anggota sebagai satu organisasi, satu tim, satu keluarga sehingga mereka akan saling bekerja sama dalam meningkatkan potensi pribadi demi kesuksesan organisasi.

Saat ini (Juni 2014), anggota aktif PSM Universitas ‘X’ berjumlah sekitar 50 orang yang merupakan mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan di Universitas ‘X’. Dalam organisasi kepengurusan PSM Universitas ‘X’ saat ini, terdapat 15 orang pengurus yang membantu menjalankan program kepengurusan PSM Universitas‘X’. PSM Universitas ‘X’ sendiri memiliki beberapa program yang rutin diadakan untuk setiap


(13)

anggota, beberapa diantaranya adalah program penerimaan anggota baru, perayaan ulang tahun PSM, konser Natal, konser tahunan, konser siswa, kompetisi luar negeri, dan gathering anggota. Selain itu, PSM ini juga sering mengisi acara dalam berbagai event baik di dalam maupun di luar Universitas ‘X’, serta melakukan pelayanan ke gereja-gereja di kota Bandung dan Jakarta.

PSM Universitas ‘X’ menetapkan jadwal latihan yang rutin sebanyak 4 kali dalam 1 minggu dengan durasi latihan selama 4 jam. Durasi latihan dapat berkurang ataupun bertambah tergantung pada keputusan pelatih. Tidak hanya latihan rutin saja, PSM Universitas ‘X’ juga mengadakan program les vokal khusus bagi anggota yang ikut serta di dalam konser ataupun kompetisi luar negeri. Latihan rutin biasanya wajib diikuti oleh seluruh anggota dalam tim konser ataupun kompetisi, sedangkan les vokal hanya diwajibkan bagi anggota yang memang dirasa perlu meningkatkan kualitas dan pengetahuan dalam bernyanyi.

K merasa bahwa keanggotaan PSM Universitas ‘X’ semakin terlihat lesu. Hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah anggota PSM Universitas ‘X’ setiap tahunnya. Pada awal tahun 2014 saja anggota PSM Universitas ‘X’ hanya berjumlah 57orang. Jumlah tersebut sangat berbeda dengan data keanggotaan pada tahun 2013 dengan jumlah anggota 74 orang, dan pada tahun 2012 dengan jumlah anggota 90 orang, serta 111 orang pada tahun 2011. Beberapa anggota yang tadinya aktif kemudian perlahan mulai mundur dan memutuskan untuk non-aktif dari kegiatan – kegiatan PSM


(14)

Universitas ‘X’. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti jadwal latihan yang terlalu banyak menyita waktu, anggota kurang merasakan kekeluargaan karena adanya senioritas, dan seringkali antar anggota berusaha saling menjatuhkan satu dengan yang lain dengan kritikan dan celaan sehingga anggota menghayati perasaan sakit hati dan memutuskan untuk keluar dari PSM Universitas ‘X’.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada 16 orang anggota PSM Universitas‘X’,sebanyak 11 anggota (68,75%) merasa setiap anggota seperti mementingkan dirinya sendiri dan bahkan seringkali anggota PSM Universitas ‘X’ melihat bahwa banyak anggota lainnya yang memiliki sifat keras kepala dan sombong sehingga sulit untuk mau menerima kritikan dan pendapat dari anggota lain. Misalnya saat rapat besar pengurus dan seluruh anggota, ketika ada salah satu anggota memberi masukan ataupun kritik terhadap salah seorang pengurus, pengurus biasanya akan terus memberikan alasan-alasan untuk membenarkan diri dan pada akhirnya masukan tersebut tidak dihiraukan. Saat ada senior memberikan masukan terhadap program pengurus, para pengurus pun sering mengabaikan pendapat senior. Mereka merasa bahwa yang menentukan masa depan PSM Universitas ‘X’ adalah pengurus saat itu, bukan senior. Pengurus sering tidak mau terlalu banyak melibatkan senior karena merasa sudah bisa berdiri sendiri dengan kepengurusan yang ada. Pengurus merasa bahwa senior terlalu banyak ingin ikut campur dengan PSM Universitas‘X’ saat ini. Pengurus pernah dimarahi oleh senior secara langsung di depan


(15)

rekan-rekan lainnya mengenai suatu hal, padahal senior tersebut tidak tahu permasalahan yang sebenarnya.

Selain itu, sebanyak 3 anggota (18,75%) melihat bahwa masing-masing anggota lainnya tidak mau memikul beban yang sama, tidak memiliki visi dan tujuan yang sama satu dengan yang lainnya sehingga hal ini seringkali memicu kesalahpahaman dan ketidakpercayaan antar anggota. Suasana kekeluargaan tidak dirasakan oleh anggota PSM Universitas ‘X’ dikarenakan di dalamnya terdapat banyak kelompok-kelompok kecil yang bersikap eksklusif sehingga justru menciptakan jarak antara satu anggota dengan yang lainnya. Setelah selesai latihan, beberapa anggota biasanya langsung pulang dan selama proses latihan pun mereka juga tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anggota lainnya. Hal ini membuat anggota merasa tidak dilibatkan dalam kelompok, merasa diabaikan dan terbuang. Hal-hal tersebut yang kemudian membuat beberapa orang kehilangan motivasi dan minatnya untuk berada dan terikat di dalam PSM Universitas ‘X’ dan memilih untuk mundur secara perlahan.

Sebanyak 2 anggota PSM Universitas ‘X’ lainnya (12,5%) merasa tidak pernah mengalami masalah yang berarti selama bergabung di dalam PSM Universitas ‘X’. Mereka merasa bahwa adanya konflik (masalah interpersonal) antar anggota di dalam organisasi itu merupakan suatu kewajaran. Hal tersebut membuat mereka tidak terlalu memikirkan masalah yang dihadapi saat bergabung di dalam PSM Universitas‘X’.


(16)

Masalah yang timbul seringkali menciptakan emosi negatif yang dirasakan oleh masing-masing anggota. Dari 16 anggota PSM Universitas ‘X’ yang diwawancarai oleh peneliti, sebanyak 10 anggota (62,5%) merasa kecewa karena mereka menilai anggota PSM Universitas ‘X’ cenderung egois dan memikirkan diri sendiri, keras kepala dan tidak mau menerima kritikan. Mereka kecewa karena saran atau kritik yang mereka berikan seringkali ditolak dan justru mereka mendapatkan kritik kembali dari anggota-anggota lain.Anggota PSM Universitas ‘X’ merasakecewa karena pada awalnya mereka mengharapkan adanya rasa kekeluargaan antar anggota, namun ternyata di PSM Universitas ‘X’ sendiri terdapat banyak kelompok-kelompok tertentu hingga akhirnya mereka merasa terabaikan. Sebanyak 4 anggota PSM Universitas ‘X’ (25%) merasa marah karena pernah dimarahi oleh senior di depan rekan-rekan anggota lainnya saat sedang rapat besar kepengurusan, padahal anggota tersebut merasa bahwa masalah yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Selain itu, anggota PSM Universitas ‘X’ pernah merasa tersinggung oleh sikap anggota lain yang membesar-besarkan masalah yang kecil dan membuat seolah-olah mereka yang bersalah. Sebanyak 2 anggota PSM Universitas ‘X’ (12,5%) merasa biasa saja karena mereka memahami bahwa dalam suatu organisasi pasti selalu ada masalah yang akan dihadapi oleh setiap anggota.

K mengungkapkan bahwa permasalahan yang ada di dalam PSM Universitas ‘X’ dapat mengancam kehadiran PSM Universitas ‘X’ itu sendiri. PSM Universitas ‘X’ dengan seluruh program-program seperti


(17)

konser, kompetisi dan jumlah anggota yang banyak seringkali membuka peluang terjadinya konflik interpersonal antar anggota dan menciptakan situasi yang menekan dan tidak menyenangkan bagi setiap anggota. Ketika anggota menghayati perasaan yang kurang menyenangkan di dalam organisasi, hal tersebut dapat membuat mereka kehilangan motivasi untuk berada di dalam kelompok. Hal tersebut akan merugikan PSM Universitas ‘X’ apalagi ketika anggota yang kehilangan motivasi dan minat di PSM Universitas ‘X’adalah anggota-anggota yang memiliki kualitas vokal yang baik. Kualitas PSM Universitas ‘X’ kemudian akan semakin menurun karena memaksakan anggota yang sebenarnya tidak begitu kompeten untuk dapat mengejar kualitas yang diinginkan oleh PSM Universitas ‘X’ itu sendiri. Kemudian anggota yang dipaksakan pun akan sampai pada suatu titik ketika mereka merasa beban dan tanggung jawab yang harus dipikul terlalu berat dan mereka tidak sanggup untuk melanjutkan. PSM Universitas ‘X’ pun akan semakin kehilangan anggota dan orang-orang yang dapat diandalkannya.

Menurunnya jumlah anggota aktif yang ada membuat PSM Universitas ‘X’ kesulitan mencari penyanyi ketika PSM Universitas ‘X’ ingin ikut serta di dalam event ataupun perlombaan. Kekhawatiran K dan pengurus adalah semakin menurunnya partisipasi PSM Universitas ‘X’ di dalam event ataupun lomba yang tentunya dapat membuat eksistensi PSM Universitas‘X’ di dalam masyarakat sendiri mulai pudar dan bahkan dapat menghilang seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat menimbulkan


(18)

pertanyaan bagi banyak orang mengenai kualitas PSM Universitas ‘X’ saat ini. Ketika PSM Universitas ‘X’ sudah tidak dapat dipercaya lagi sebagai sebuah paduan suara dengan kualitas yang selama ini dibanggakan, maka akan menurunkan minat orang lain untuk dapat bergabung dan menjadi bagian dari PSM Universitas ‘X’. Menurut K dengan situasi PSM Universitas ‘X’ sekarang ini, permasalahan yang ada terasa bagaikan “lingkaran setan” yang sepertinya akan terus membawa PSM Universitas ‘X’ menuju kehancurannya sendiri. K mengungkapkan bahwa pada akhirnya PSM Universitas‘X’ akan mati karena tanpa adanya anggota, tidak akan pernah ada sebuah organisasi karena tidak ada yang berjuang untuk membangun, memelihara dan mengembangkan kelompok.

Konflik interpersonal merupakan hal yang tidak terhindarkan di dalam organisasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik atau masalah interpersonal tersebut adalah dengan adanya sikap mau saling memaafkan antar pihak yang terkait. Worthington mengungkapkan bahwa

forgiveness diperlukan bagi setiap individu di dalam kelompok sosial. Forgiveness menurut Worthington (2005) adalah proses internal dari

individu untuk mengatasi respon marah, sakit hati, dan kepahitan melalui belas kasihan terhadap orang yang telah menyakiti. Ketika mengalami konflik ataupun masalah, individu yang mampu melakukan forgiveness mengalami penurunan emosi negatif yang dirasakan dari masalah tersebut. Emosi negatif seperti rasa marah dan kekecewaan apabila dibiarkan, dapat mengubah sikap dan perilaku anggota di dalam PSM Universitas ‘X’ itu


(19)

sendiri. Dari 16 anggota PSM Universitas ‘X’ yang diwawancara oleh peneliti, sebanyak 14 anggota (87,5%) mulai merasa kurang termotivasi untuk sering berada di PSM Universitas‘X’ karena merasa kecewa dengan situasi yang pernah dialaminya di dalam PSM Universitas ‘X’. Anggota tersebut mulai merasa enggan untuk datang ke latihan sehingga sering membuat alasan-alasan untuk tidak datang mengikuti latihan. Selain itu juga mereka mulai mengurangi partisipasi aktif di dalam kegiatan job ataupun pelayanan gereja bersama PSM Universitas‘X’. K mengungkapkan saat ini beberapa anggota masih memutuskan untuk berada di PSM Universitas ‘X’, namun beberapa sudah memutuskan untuk menonaktifkan dirinya. K menambahkan, perasaan marah dan kecewa di antara anggota seringkali memengaruhi kekompakan anggota PSM Universitas‘X’ dalam bernyanyi. Hal tersebut dikarenakan satu anggota seolah merasa terganggu dengan kehadiran anggota lainnya sehingga tidak fokus saat latihan, padahal sebagai sebuah paduan suara tentunya kekompakan sangat diutamakan untuk menghasilkan harmonisasi yang indah.

Sebanyak 2 anggota PSM Universitas ‘X’ (12,5%) masih merasa senang untuk bergabung di dalam PSM Universitas ‘X’. Meskipun pernah mengalami beberapa hal yang kurang menyenangkan, namun hal tersebut tidak membuat mereka berpikir untuk mundur dari PSM Universitas ‘X’. Menurut anggota tersebut, PSM Universitas‘X’ sudah seperti rumah kedua mereka yang membuat mereka nyaman. Mereka masih rajin untuk


(20)

menghadiri latihan, ikut aktif dalam job dan pelayanan bersama PSM Universitas‘X’.

Forgiveness itu sendiri tidak sama dengan resolusi konflik. Seseorang

mungkin saja dapat menyelesaikan suatu konflik namun belum dapat memaafkan, dan sebaliknya seseorang mungkin dapat memaafkan namun konflik yang ada sebenarnya belum selesai (Worthington, 2001). Worthington mengungkapkan bahwa ketika seseorang memutuskan untuk melakukan forgiveness, terdapat dua kecenderungan tipe yaitu decisional

forgiveness dan emotional forgiveness.

Worthington (2006) mendefinisikan decisional forgiveness sebagai suatu keputusan secara kognitif yang berasal dari dalam diri untuk bersikap ataupun bertindak lebih positif terhadap orang yang telah menyakiti. Dari 16 anggota PSM Universitas ‘X’yang diwawancara oleh peneliti, sebanyak 12 anggota (75%) mengungkapkan bahwa setelah mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, menghadapi masalah dengan rekan sesama anggota biasanya mereka akan berusaha tetap ramah dengan tersenyum, menyapa, bermain, dan bahkan saling bercanda satu dengan yang lainnya. Namun di dalam hati mereka masih merasakan perasaan kesal, kecewa terhadap rekan sesama anggota yang pernah memiliki masalah dengan diri mereka masing-masing. Bahkan beberapa dari para anggota akan membicarakan hal-hal yang negatif mengenai anggota lain yang memiliki masalah dengan mereka kepada anggota lain. Hal ini seringkali memicu rasa ketidakpercayaan antar anggota.


(21)

Tipe forgiveness lainnya menurut Worthington adalah emotional

forgiveness, yaitu motivasi untuk melepaskan seluruh emosi negatif

mengenai orang yang telah menyakiti dan menggantinya dengan pikiran dan perasaan yang lebih positif seperti belas kasih, simpati dan empati. Dari 16 anggota PSM Universitas ‘X’ yang diawawancara oleh peneliti, sebanyak 4 anggota (25%) mengungkapkan bahwa mereka biasanya akan berusaha meminta maaf dan menyelesaikan masalah melalui diskusi dengan anggota yang bersangkutan sehingga masing-masing pihak dapat saling mengerti, memahami dan meluruskan permasalahan yang ada dan tidak ada lagi dendam di antara mereka. Setelah meminta maaf dan memaafkan kesalahan anggota lain mereka merasa hubungan yang terjalin satu dengan yang lainnya menjadi jauh lebih dalam dan tidak ada lagi pikiran serta perasaan negatif terhadap rekan anggota tersebut. Selain itu, anggota PSM Universitas ‘X’ pun merasa setelahmereka melakukan forgiveness terhadap anggota lain, ketika bekerja sama dalam kesempatan berikutnya mereka merasa dapat bekerja lebih baik dan lebih kompak satu dengan yang lain.

Forgiveness diperlukan bagi PSM Universitas ‘X’ dalam menghadapi masalah yang terjadi antar anggota dan dapat menjadi cara untuk mengurangi emosi negatif yang dihasilkan dari masalah tersebut.

Forgiveness dapat memperbaiki kualitas hubungan antar anggota di dalam

PSM Universitas ‘X’ serta semakin memperkuat kerjasama setiap anggota sebagai sebuah tim. Oleh karena itulah peneliti ingin melakukan penelitian “Studi Deskriptif Mengenai Tipe Forgiveness pada Anggota Paduan Suara


(22)

Mahasiswa Universitas ‘X’ di Kota Bandung”. Peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’. Peneliti juga ingin mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness yang dilakukan oleh anggota PSMUniversitas ‘X’ dan mengetahui dampak dari forgiveness yang dilakukan bagi PSM Universitas ‘X’itu sendiri.

1.2 Identifikasi Masalah

Peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada anggota PSMUniversitas ‘X’ di kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’ di kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness yaitu decisional forgiveness dan emotional

forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’ di kota Bandung serta faktor-faktor yang memengaruhi tipe forgiveness itu sendiri.


(23)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah

• Untuk mengembangkan penelitian dalam bidang kajian psikologi positif khususnya mengenai forgiveness.

• Untuk memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian mengenai forgiveness.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada anggota PSM Universitas ‘X’ mengenai gambaran konflik-konflik atau masalah interpersonal yang seringkali terjadi di dalam PSM Universitas ‘X’ itu sendiri dan bagaimana konflik atau masalah tersebut memengaruhi dinamika organisasi sehingga mereka dapat menentukan bagaimana cara mengatasi konflik atau masalah yang berkembang di dalam PSM Universitas ‘X’ itu sendiri.

• Memberikan informasi kepada ketua maupun pengurus PSM Universitas ‘X’ mengenai gambaran kecenderungan tipe

forgiveness yang dimiliki oleh anggota paduan suara agar ketua

dapat memahami tipe forgiveness anggota sehingga mereka dapat menentukan tindakan lanjutan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pemahaman anggota akan forgiveness dan


(24)

Anggota dapat memahami pentingnya forgiveness khususnya ketika mengalami situasi konflik atau masalah interpersonal di dalam PSM Universitas ‘X’, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri namun untuk organisasi.

• Memberi informasi kepada kepala Biro Kemahasiswaan Universitas ‘X’ mengenai gambaran masalah yang terjadi dalam PSM Universitas ‘X’ dan bagaimana dampak dari masalah tersebut sehingga dapat ditentukan tindakan lanjutan untuk membantu PSM Universitas ‘X’mengatasi masalah di dalam organisasinya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Anggota PSM Universitas ‘X’ memiliki rentang usia 18-22 tahun. Menurut Erikson, usia tersebut merupakan usia ketika seorang individu berada dalam tahap perkembangan remaja akhir. Masa remaja pada dasarnya merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada tahap ini, individu sedang dalam perjalanan untuk mencari dan menemukan jati dirinya sehingga mereka seringkali ingin mencoba melakukan banyak hal dan melakukan banyak interaksi untuk mengeksplorasi dirinya sendiri. Untuk membantu memenuhi kebutuhan tersebut, mereka biasanya mencari peer yang memiliki kesamaan dan komitmen di dalam suatu kelompok (Erikson, 1993).


(25)

Teman sebaya (peer) merupakan kelompok individu dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Di dalam kelompok peer, remaja merasa aman dan bebas karena tingkat usia yang hampir sama membuat mereka tidak takut ataupun ragu untuk berinteraksi dengan teman kelompoknya (Santrock, 2002). Kehadiran peer dimanfaatkan remaja untuk mengungkapkan pendapat serta masalah yang dialaminya. Di dalam kelompok peer, remaja dapat mempelajari banyak hal seperti belajar bagaimana bekerjasama, menghargai dan menerima perbedaan di dalam kelompok. Remaja harus dapat belajar untuk menghargai orang lain karena di dalam kelompok itu sendiri, setiap individu memiliki karakter, emosi, sifat yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan ini apabila tidak dihadapi dengan sikap yang positif seringkali menimbulkan konflik interpersonal atau masalah lainnya di antara peer sehingga dapat berdampak negatif baik bagi setiap individu maupun kelompok peer itu sendiri (Santrock, 2004).

Hal ini juga yang terjadi di dalam PSM Universitas ‘X’ sebagai suatu kelompok sosial. Setiap anggota PSM Universitas ‘X’ yang bergabung memiliki tujuan dan harapan yang berbeda ketika mereka memutuskan bergabung di dalam PSM Universitas ‘X’. Mereka juga memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dengan perbedaan ini, seringkali menimbulkan kesalahpahaman dan permasalahan antar anggota PSM Universitas ‘X’. Peluang konflik interpersonal terjadi dapat menjadi lebih besar karena PSM Universitas ‘X’ memiliki banyak


(26)

program besar seperti konser dan kompetisi serta jumlah anggota yang besar sehingga membuka peluang terjadinya masalah atau konflik interpersonal antar anggota dan menciptakan situasi yang menekan ataupun tidak menyenangkan bagi anggota. Masalah-masalah yang dialami dapat menciptakan emosi negatif pada setiap anggota PSM Universitas‘X’seperti kekecewaan, rasa marah, kesal, dan kebencian. Ketika anggota PSM Universitas‘X’menghayati banyak emosi negatif dikarenakan oleh masalah di dalam organisasi, hal tersebut dapat memicu berkurangnya motivasi dan minat untuk berada di dalam PSM Universitas‘X’ itu sendiri. Forgiveness

dapat dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi emosi negatif yang dapat berdampak negatif pada organisasi.

Forgiveness menurut Worthington (2005) adalah proses internal dari

individu untuk mengatasi respon marah, sakit hati, dan kepahitan melalui belas kasihan terhadap orang yang telah menyakiti. Ketika seseorang melakukan forgiveness maka dapat terjadi penurunan emosi negatif seperti kekesalan, rasa benci, sikap permusuhan dan penurunan rasa marah yang dihayati oleh orang tersebut. Worthington mengungkapkan bahwa

forgiveness diperlukan bagi setiap individu yang bergabung dalam suatu

kelompok sosial. Di dalam kelompok, setiap individu saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Namun seringkali dalam perjalanan kelompok itu sendiri, konflik dan masalah selalu terjadi. Setiap individu diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut agar tidak memengaruhi sikap dan perilaku


(27)

mereka maupun orang lain di dalam kelompok yang pada akhirnya mempersulit kelompok untuk mencapai tujuan bersama.

Worthington mengungkapkan pada dasarnya terdapat 2 aspek yang harus dipenuhi dalam mewujudkan forgiveness, yaitu aspek kognitif dan aspek emosi. Aspek kognitif anggota PSM Universitas ‘X’ pada dasarnya merupakan pemahaman anggota PSM Universitas ‘X’ mengenai

forgiveness. Mereka pada dasarnya tahu bahwa ketika terjadi masalah di

dalam paduan suara dan masalah tersebut menimbulkan emosi yang negatif, maka mereka harus memaafkan. Sedangkan aspek emosi akan menyentuh perasaan, jauh lebih dalam dari sekedar pengetahuan. Hal tersebut membuat anggota PSM Universitas ‘X’ memaafkan bukan hanya sekedar karena tahu, namun karena ia benar-benar mau melepaskan emosi negatif yang dirasakan.

Menurut Worthington (2006), terdapat dua kecenderungan tipe

forgiveness yang dilakukan oleh seseorang yaitu decisional forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness adalah suatu keputusan dari

dalam diri untuk bersikap ataupun bertindak lebih positif terhadap orang yang telah menyakiti. Sedangkan emotional forgiveness merupakan motivasi untuk melepaskan seluruh emosi negatif mengenai orang yang telah menyakiti dan menggantinya dengan pikiran dan perasaan yang lebih positif seperti belas kasih, simpati dan empati. Worthington (2014) mengungkapkan bahwa baik decisional maupun emotional forgiveness


(28)

forgiveness tersebut berbeda-beda. Worthington menyimpulkan terdapat 4

kombinasi tipe forgiveness, yaitu tipe forgiveness dengan derajat decisional

forgiveness lebih tinggi atau dominan, tipe forgiveness dengan derajat emotional forgiveness lebih tinggi atau dominan, tipe forgiveness dengan

derajat decisional dan emotional forgiveness yang sama-sama tinggi, dan tipe forgiveness dengan derajat decisional dan emotional forgiveness yang sama-sama rendah

Pada decisional forgiveness hanya terdapat aspek kognitif saja, sedangkan pada emotional forgiveness terdapat aspek emosi dan juga aspek kognitif. Keputusan untuk melakukan forgiveness dapat terjadi sebelum seseorang menghayati emotional forgiveness. Ada suatu masa dimana seseorang terlebih dahulu melakukan decisional forgiveness, kemudian seiring berjalannya waktu maka emosi mereka pun dapat berubah hingga akhirnya mereka menghayati emotional forgiveness. Sedangkan seseorang yang terlebih dahulu menghayati emotional forgiveness kemudian memutuskan untuk melakukan decisional forgiveness jarang terjadi, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk hal tersebut (korespondensi dengan Worthington, 2014).

Anggota PSM Universitas ‘X’ yang melakukandecisional forgiveness

akan tetap bersikap ramah, mereka akan menyapa, bermain, dan bahkan saling bercanda satu dengan anggota lain yang pernah mengalami masalah dengan dirinya. Namun di dalam hati mungkin saja mereka masih merasakan perasaan kesal, kecewa terhadap rekan sesama anggota tersebut.


(29)

Pada tipe ini, anggota PSM Universitas ‘X’ pada dasarnya menampilkan niat prososial dan menghambat niat untuk balas dendam ataupun menyakiti anggota lain yang pernah menyakiti dirinya. Sedangkan anggota PSM Universitas ‘X’ yang melakukan emotional forgiveness akan berusaha

mengganti perasaan kesal, marah dan kecewa yang dirasakannya dengan rasa belas kasih, simpati, dan empati. Mereka akan meminta maaf dan bahkan mendiskusikan masalah baik-baik dan berusaha memperbaiki hubungan seperti sebelum masalah terjadi. Pada tipe ini, emosi positif secara perlahan akan menggantikan emosi negatif yang dirasakan oleh anggota PSM Universitas ‘X’.

Worthington (1998) mengungkapkan bahwa forgiveness yang dilakukan oleh individu yang disakiti dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor yang dapat memengaruhi forgiveness yaitu kepribadian terkait trait forgiveness. Menurut Worthington (2006), kepribadian biasanya cenderung konsisten dan hal tersebut dapat memunculkan tingkah laku yang relatif konsisten juga, dalam hal ini disebut

trait.Anggota PSM Universitas ‘X’ yang memilikitrait forgiveness mampu

memahami menjalani hidup perlu adanya sikap saling mengasihi, saling memahami, saling menyayangi satu dengan yang lain. Semakin tinggi kualitas trait forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’, maka akan semakin mudah bagi mereka untuk melakukan forgiveness ketika mengalami masalah ataupun konflik interpersonal dengan rekan sesama anggota.


(30)

Faktor kedua yang memengaruhi forgiveness adalah kualitas hubungan interpersonal antara individu yang disakiti dengan pihak yang menyakiti. Anggota PSM Universitas ‘X’ yang memiliki hubungan dekat dengan sesama rekan anggota akan lebih mudah untuk melakukan

forgiveness. Di dalam suatu hubungan persahabatan terdapat intimacy, rasa

saling percaya dan kemampuan untuk menerima orang lain apa adanya sehingga meskipun individu disakiti oleh sahabatnya, ia akan lebih mudah memutuskan untuk melakukan forgiveness untuk menjaga hubungan yang telah terjalin. Semakin positif hubungan yang dimiliki oleh anggota PSM Universitas ‘X’ dengan rekan sesama anggota sebelum masalah terjadi, maka akan lebih mudah untuk mereka melakukan forgiveness ketika mengalami masalah dengan rekan anggota tersebut.

Faktor ketiga yang memengaruhi forgiveness adalah karakteristik peristiwa yang dialami oleh individu terkait. Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami dan konsekuensi yang mengikutinya. Semakin menyakitkan pengalaman yang dialami oleh anggota PSM Universitas ‘X’, maka akan sulit bagi anggota tersebut untuk melakukan forgiveness karena penilaian mereka terhadap rekan anggota lain akan semakin negatif. Semakin besar penderitaan yang dialami oleh anggota PSM Universitas ‘X’ maka semakin besar pula harga yang harus dibayar oleh rekan anggota yang menyakiti.

Selain itu jangka waktu sejak peristiwa terjadi dan frekuensi peristiwa itu terjadi juga memengaruhi kemampuan anggota PSM Universitas ‘X’


(31)

untuk melakukan forgiveness. Anggota PSM Universitas ‘X’ yang mengalami peristiwa menyakitkan sejak lama akan semakin mudah melakukan forgivenesskarena anggota PSM Universitas ‘X’ mungkin sudah lebih mampu menerima kondisi yang terjadi. Aspek lainnya yang turut memengaruhi adalah frekuensi peristiwa, semakin sering peristiwa menyakitkan tersebut dialami oleh anggota PSM Universitas ‘X’ maka akan semakin sulit bagi mereka untuk melakukan forgiveness karena mereka melihat bahwa forgiveness yang pernah mereka lakukan sebelumnya sia-sia. Sikap pelaku terhadap individu yang disakiti juga dapat memengaruhi proses forgiveness. Anggota PSM Universitas ‘X’ yang mendapatkan permintaan maaf ataupun tindakan positif lainnya dari rekan sesama anggota yang telah menyakiti akan cenderung lebih mudah untuk memaafkan karena mereka menghargai keberanian dan usaha rekan tersebut untuk meminta maaf.

Faktor keempat yang memengaruhi forgiveness adalah sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati. Anggota PSM Universitas ‘X’ yang memiliki sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati akan lebih mudah untuk melakukan forgiveness karena mereka memahami bahwa setiap orang pasti dapat melakukan kesalahan, termasuk dirinya sendiri. Anggota PSM Universitas‘X’ mampu melihat bahwa tidak hanya dirinya yang merasa disakiti, namun anggota lain juga mungkin merasa tersakiti dengan masalah yang dialami.


(32)

Berdasarkan penjelasan mengenai kerangka pikir di atas, maka penelitian ini dapat dibuat dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran Faktor yang memengaruhi :

1. Trait forgiveness

2. Kualitas hubungan interpersonal 3. Karakteristik peristiwa yang

menyakitkan

4. Sikap rendah hati dan kemampuan empati

Konflik Interpersonal

Aspek forgiveness : - Emosi

- Kognitif Anggota Paduan

Suara Mahasiswa Universitas ‘X’

Forgiveness

DF Tinggi - EF Rendah DF Rendah - EF Tinggi DF Tinggi - EF Tinggi DF Rendah -EF Rendah


(33)

1.6 Asumsi

• Anggota PSM Universitas ‘X’ yang mengalami masalah atau konflik interpersonal dengan rekan sesama anggota dapat menghayati emosi negatif seperti perasaan kecewa dan sakit hati.

Forgiveness adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh anggota

PSM Universitas ‘X’ untuk mengurangi emosi negatif yang dirasakan. Tipe forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’ terdiri dari empat kombinasi tipe forgiveness, yaitu tipe dengan derajat decisional

forgiveness (DF) lebih tinggi, tipe dengan derajat emotional forgiveness

(EF) lebih tinggi, tipe dengan derajat DF dan EF yang sama-sama tinggi, dan tipe dengan derajat DF dan EF yang sama-sama rendah.

• Anggota PSM Universitas ‘X’ dikatakan memilikitipe dengan derajat DF yang lebih tinggi apabila anggota mampu menunjukkan sikap positif, namun sebenarnya masih menyimpan pikiran dan perasaan negatif terhadap rekan anggota yang menyakiti.

• Anggota PSM Universitas ‘X’ dikatakan memiliki tipe dengan derajat EF yang lebih tinggi apabila anggota mengembangkan pikiran dan perasaan yang lebih positif, namun cenderung belum mampu memutuskan untuk menunjukkan sikap positif tersebut terhadap rekan yang menyakiti. • Anggota PSM Universitas ‘X’ dikatakan memiliki tipe dengan derajat DF

dan EF yang sama-sama tinggi apabila anggota mampu menyeimbangkan emosi negatif yang dirasakan dengan mengembangkan pikiran dan


(34)

perasaan yang lebih positif serta menunjukkan sikap yang positif juga terhadap rekan anggota yang telah menyakiti.

• Anggota PSM Universitas ‘X’ dikatakan memiliki tipe dengan derajat DF dan EF yang sama-sama rendah apabila anggota tersebut masih diliputi oleh pikiran dan perasaan negatif dan menunjukkan sikap negatif terhadap rekan anggota yang telah menyakiti.

Forgiveness yang dilakukan oleh setiap anggota PSM Universitas ‘X’ dipengaruhi oleh 4 faktor forgiveness, yaitu kepribadian, kualitas hubungan interpersonal, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, dan sikap rendah hati serta kemampuan empati.


(35)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tipe

forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’ di Kota Bandung, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini :

1. Berdasarkan hasil penelitian, anggota PSM Universitas ‘X’ memiliki 4 tipe forgiveness, yaitu tipe derajat decisional forgiveness yang tinggi, tipe derajat emotional forgiveness yang tinggi, tipe derajat decisional dan emotional forgiveness yang sama-sama tinggi, dan tipe derajat

decisional dan emotional forgiveness yang sama-sama rendah.

2. Dari seluruh anggota PSM Universitas ‘X’ yang terlibat di dalam penelitian ini, sebagian besar anggota memiliki derajat tipe decisional dan emotional forgiveness yang tinggi. Hal ini berarti anggota mampu mengendalikan emosi negatif yang dirasakan dengan mengembangkan pikiran dan perasaan yang lebih positif terhadap rekan anggota yang telah menyakiti. Selain itu juga mereka bersedia mengambil keputusan untuk bersikap lebih positif terhadap rekan anggota yang telah menyakiti mereka.


(36)

3. Faktor yang paling memiliki kecenderungan keterkaitan dengan tipe

forgiveness adalah faktor trait forgiveness. Sedangkan aspek macam

peristiwa menyakitkan dan waktu sejak peristiwa terjadi tidak memiliki keterkaitan dengan tipe forgiveness.

4. Di dalam penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat perbedaan kecenderungan untuk melakukan forgiveness pada anggota PSM Universitas ‘X’ yang memiliki jenis kelamin laki-laki dengan anggota yang memiliki jenis kelamin perempuan. Dari seluruh responden penelitian, sebagian besar anggota yang memiliki jenis kelamin perempuan, memiliki derajat tipe decisional dan emotional forgiveness yang tinggi. Anggota perempuan cenderung melihat forgiveness sebagai kunci kesuksesan suatu hubungan dan kunci

pemulihan luka batin yang dialami.

5. Di dalam penelitian ini juga ditemukan, terdapat kecenderungan keterkaitan dari pergeseran kualitas hubungan anggota PSM Universitas ‘X’ bersama rekan anggota yang telah menyakiti dengan tipe DF dan EF yang sama-sama tinggi maupun tipe DF dan EF yang sama-sama rendah. Anggota yang memiliki pergeseran kualitas hubungan ke arah yang lebih positif (misalnya dari tidak dekat menjadi dekat) memiliki tipe DF dan EF yang sama-sama tinggi, sedangkan anggota yang memiliki pergeseran kualitas hubungan ke arah yang negatif (misalnya dari dekat menjadi tidak dekat) memiliki tipe DF dan EF yang sama-sama rendah.


(37)

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan saran bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tipe forgiveness, antara lain :

1. Dalam proses pengambilan data untuk faktor karakteristik peristiwa, yaitu macam peristiwa yang menyakitkan perlu dipertimbangkan bagi penelitian selanjutnya untuk dapat lebih dalam menjaring penghayatan subyek terhadap peristiwa tersebut dan hal-hal yang terjadi setelah peristiwa itu terjadi.

2. Mengingat forgiveness merupakan hal yang bersifat personal dan subyektif, peneliti yang berminat harus memastikan bahwa subyek mengisi kuesioner berdasarkan penghayatan dirinya yang sebenar-benarnya untuk hasil yang lebih akurat.

Selain itu, peneliti juga menyarankan kepada peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih lanjut mengenai :

1. Kontribusi lingkungan (keluarga, masyarakat) dalam mengembangkan

forgiveness pada individu.

2. Korelasi antara faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness dengan tipe forgiveness


(38)

5.2.2. Saran Praktis

Peneliti ingin memberikan saran yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, sehubungan dengan hasil penelitian ini antara lain :

1. Bagi seluruh PSM Universitas ‘X’ perlu memahami situasi konflik ataupun masalah antar anggota yang berkembang di dalam organisasi. Perlu juga disadari bahwa konflik atau masalah ini berdampak negatif bagi PSM Universitas ‘X’ itu sendiri, salah satunya berkurangnya jumlah anggota setiap tahun sehingga PSM mengalami kesulitan saat membutuhkan penyanyi dan dapat mengancam keutuhan PSM itu sendiri. Konflik atau masalah antar anggota yang berkembang di dalam PSM Universitas ‘X’ ini tentunya harus segera diselesaikan, salah satu caranya dengan pendekatan personal dengan setiap anggota yang memiliki konflik atau masalah di dalam PSM.

2. Bagi PSM Universitas ‘X’ dapat mengadakan program-program seperti kegiatan gathering secara rutin untuk meningkatkan kebersamaan antar anggota. Diharapkan dengan semakin eratnya hubungan antar anggota dari kebersamaan tersebut, anggota mampu lebih memahami pentingnya kesatuan dan harmonisasi dalam kehidupan organisasi sehingga ketika mengalami konflik atau masalah, masing-masing pihak dapat mengatasi dengan cara yang lebih positif. Selain itu program lainnya juga dapat berupa training mengenai pengenalan diri, mengingat faktor kepribadian (trait


(39)

forgiveness) merupakan salah satu faktor yang paling berkaitan

dengan forgiveness sehingga pengenalan anggota mengenai dirinya masing-masing cukup penting. Selain itu juga dapat diadakan seminar ataupun retreat anggota yang menekankan pada pemahaman dinamika organisasi, solusi mengatasi konflik dan pentingnya forgiveness dalam organisasi. Anggota kiranya dapat menghayati bahwa forgiveness tidak hanya dapat mengembangkan kualitas diri pribadi, melainkan juga kualitas organisasi.

3. PSM Universitas ‘X’ perlu menyediakan figur-figur yang dapat membantu mahasiswa mengolah emosinya seperti misalnya konsultan organisasi, khususnya ketika mereka mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan atau menyakitkan.

4. Bagi kepala Biro Kemahasiswaan Universitas ‘X’, dapat membantu PSM Universitas ‘X’ dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi dan juga dapat mengadakan penelitian serupa dalam unit kegiatan lain yang terdapat di Universitas ‘X’.


(40)

Erikson, Erik. 1993. Chilhood and society. New York : W.W. Norton & Company. Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-step Guide for Beginners.

London: Sage Publications.

Miller, Andrea J. 2012. Sex, Forgiveness and Health. New York : Springer Publisher.

Myers, David G. 1983. Social Psychology. New York : McGraw-Hill Book Company.

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Santrock. J.W. 2002. Life-Span Development-Perkembangan Masa Hidup. Jakarta : Erlangga.

Santrock, J.W. 2004. Adolescence : Eleventh Edition. New York : McGraw Hill. Sukirman, Silvia. 2004. Tuntunan Belajar Di Perguruan Tinggi. Jakarta: Pelangi

Cendekia.

Worthington, Everett L. Jr. 1997. Interpersonal Forgiving in Close Relationship. Pennsylvania : Templeton Foundation Press

Worthington, Everett L. Jr. 1998. Dimensions of Forgiveness : Psychological

Research & Theological Perspectives. Pennsylvania : Templeton

Foundation Press.

Worthington, Everett L. Jr. 2001. Unforgiveness, Forgiveness, and Reconciliation

and Their Implication for Societal Intervention. Dalam Raymond G.

Helmick, S.J. & Rodney L. Petersen. Forgiveness and Reconciliation :

Religion, Public Policy, & Conflict Transformation. Pennsylvania :

Templeton Foundation Press.

Worthington, Everett L. Jr. 2005. Handbook of Forgiveness. New York : Routledge Taylor & Francis Group.

Worthington, Everett L. Jr. 2006. Forgiveness and Reconciliation : Theory and


(41)

Kiswantomo, Heliany. 2014. Pengaruh Attachment to God terhadap Forgiveness

Siswa SMA Kristen/ Katholik Bandung kepada Teman Sebayanya. Thesis.

Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung :

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://hukum.unsrat.ac.id/men/mendikbud_155_1998.htm. (Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan). Diakses pada tanggal 23 Maret 2014.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39087/4/Chapter%20I.pdf. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

http://www.slideshare.net/jenniewidianie/organisasi-kemahasiswaan-25818189. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

http://www.scribd.com/doc/190735247/Peran-Dan-Fungsi-Organisasi. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

http://www.psychology.sunysb.edu/ewaters/345/2007_erikson/2006_erikson.pdf. Di-akses pada tanggal 30 Maret 2014.

http://ratih-f-a-fpsi05.web.unair.ac.id/ (Teori Perkembangan). Diakses pada tanggal 30 Maret 2014.

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 1 : Permission to use Theory of Forgiveness, DFS & EFS instrument. E-mail kepada christiansamuel.cs@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 2 : Forgiveness’s Aspect. E-mail kepada christiansamuel.cs@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 3 : DF & EF Score. E-mail kepada christiansamuel.cs@gE-mail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 4 : Forgiveness Research.


(1)

3. Faktor yang paling memiliki kecenderungan keterkaitan dengan tipe forgiveness adalah faktor trait forgiveness. Sedangkan aspek macam peristiwa menyakitkan dan waktu sejak peristiwa terjadi tidak memiliki keterkaitan dengan tipe forgiveness.

4. Di dalam penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat perbedaan kecenderungan untuk melakukan forgiveness pada anggota PSM

Universitas ‘X’ yang memiliki jenis kelamin laki-laki dengan anggota yang memiliki jenis kelamin perempuan. Dari seluruh responden penelitian, sebagian besar anggota yang memiliki jenis kelamin perempuan, memiliki derajat tipe decisional dan emotional forgiveness yang tinggi. Anggota perempuan cenderung melihat forgiveness sebagai kunci kesuksesan suatu hubungan dan kunci pemulihan luka batin yang dialami.

5. Di dalam penelitian ini juga ditemukan, terdapat kecenderungan keterkaitan dari pergeseran kualitas hubungan anggota PSM

Universitas ‘X’ bersama rekan anggota yang telah menyakiti dengan tipe DF dan EF yang sama-sama tinggi maupun tipe DF dan EF yang sama-sama rendah. Anggota yang memiliki pergeseran kualitas hubungan ke arah yang lebih positif (misalnya dari tidak dekat menjadi dekat) memiliki tipe DF dan EF yang sama-sama tinggi, sedangkan anggota yang memiliki pergeseran kualitas hubungan ke arah yang negatif (misalnya dari dekat menjadi tidak dekat) memiliki


(2)

78

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan saran bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tipe forgiveness, antara lain :

1. Dalam proses pengambilan data untuk faktor karakteristik peristiwa, yaitu macam peristiwa yang menyakitkan perlu dipertimbangkan bagi penelitian selanjutnya untuk dapat lebih dalam menjaring penghayatan subyek terhadap peristiwa tersebut dan hal-hal yang terjadi setelah peristiwa itu terjadi.

2. Mengingat forgiveness merupakan hal yang bersifat personal dan subyektif, peneliti yang berminat harus memastikan bahwa subyek mengisi kuesioner berdasarkan penghayatan dirinya yang sebenar-benarnya untuk hasil yang lebih akurat.

Selain itu, peneliti juga menyarankan kepada peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih lanjut mengenai :

1. Kontribusi lingkungan (keluarga, masyarakat) dalam mengembangkan forgiveness pada individu.

2. Korelasi antara faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness dengan tipe forgiveness


(3)

5.2.2. Saran Praktis

Peneliti ingin memberikan saran yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, sehubungan dengan hasil penelitian ini antara lain :

1. Bagi seluruh PSM Universitas ‘X’ perlu memahami situasi konflik

ataupun masalah antar anggota yang berkembang di dalam organisasi. Perlu juga disadari bahwa konflik atau masalah ini berdampak negatif

bagi PSM Universitas ‘X’ itu sendiri, salah satunya berkurangnya jumlah anggota setiap tahun sehingga PSM mengalami kesulitan saat membutuhkan penyanyi dan dapat mengancam keutuhan PSM itu sendiri. Konflik atau masalah antar anggota yang berkembang di

dalam PSM Universitas ‘X’ ini tentunya harus segera diselesaikan,

salah satu caranya dengan pendekatan personal dengan setiap anggota yang memiliki konflik atau masalah di dalam PSM.

2. Bagi PSM Universitas ‘X’ dapat mengadakan program-program seperti kegiatan gathering secara rutin untuk meningkatkan kebersamaan antar anggota. Diharapkan dengan semakin eratnya hubungan antar anggota dari kebersamaan tersebut, anggota mampu lebih memahami pentingnya kesatuan dan harmonisasi dalam kehidupan organisasi sehingga ketika mengalami konflik atau masalah, masing-masing pihak dapat mengatasi dengan cara yang lebih positif. Selain itu program lainnya juga dapat berupa training mengenai pengenalan diri, mengingat faktor kepribadian (trait


(4)

80

forgiveness) merupakan salah satu faktor yang paling berkaitan dengan forgiveness sehingga pengenalan anggota mengenai dirinya masing-masing cukup penting. Selain itu juga dapat diadakan seminar ataupun retreat anggota yang menekankan pada pemahaman dinamika organisasi, solusi mengatasi konflik dan pentingnya forgiveness dalam organisasi. Anggota kiranya dapat menghayati bahwa forgiveness tidak hanya dapat mengembangkan kualitas diri pribadi, melainkan juga kualitas organisasi.

3. PSM Universitas ‘X’ perlu menyediakan figur-figur yang dapat membantu mahasiswa mengolah emosinya seperti misalnya konsultan organisasi, khususnya ketika mereka mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan atau menyakitkan.

4. Bagi kepala Biro Kemahasiswaan Universitas ‘X’, dapat membantu PSM Universitas ‘X’ dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi dan juga dapat mengadakan penelitian serupa dalam unit kegiatan lain


(5)

Erikson, Erik. 1993. Chilhood and society. New York : W.W. Norton & Company. Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-step Guide for Beginners.

London: Sage Publications.

Miller, Andrea J. 2012. Sex, Forgiveness and Health. New York : Springer Publisher.

Myers, David G. 1983. Social Psychology. New York : McGraw-Hill Book Company.

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Santrock. J.W. 2002. Life-Span Development-Perkembangan Masa Hidup. Jakarta : Erlangga.

Santrock, J.W. 2004. Adolescence : Eleventh Edition. New York : McGraw Hill. Sukirman, Silvia. 2004. Tuntunan Belajar Di Perguruan Tinggi. Jakarta: Pelangi

Cendekia.

Worthington, Everett L. Jr. 1997. Interpersonal Forgiving in Close Relationship. Pennsylvania : Templeton Foundation Press

Worthington, Everett L. Jr. 1998. Dimensions of Forgiveness : Psychological Research & Theological Perspectives. Pennsylvania : Templeton Foundation Press.

Worthington, Everett L. Jr. 2001. Unforgiveness, Forgiveness, and Reconciliation and Their Implication for Societal Intervention. Dalam Raymond G. Helmick, S.J. & Rodney L. Petersen. Forgiveness and Reconciliation : Religion, Public Policy, & Conflict Transformation. Pennsylvania : Templeton Foundation Press.

Worthington, Everett L. Jr. 2005. Handbook of Forgiveness. New York : Routledge Taylor & Francis Group.

Worthington, Everett L. Jr. 2006. Forgiveness and Reconciliation : Theory and Application. New York : Routledge Taylor & Francis Group.


(6)

xix

DAFTAR RUJUKAN

Kiswantomo, Heliany. 2014. Pengaruh Attachment to God terhadap Forgiveness Siswa SMA Kristen/ Katholik Bandung kepada Teman Sebayanya. Thesis. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://hukum.unsrat.ac.id/men/mendikbud_155_1998.htm. (Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan). Diakses pada tanggal 23 Maret 2014.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39087/4/Chapter%20I.pdf. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

http://www.slideshare.net/jenniewidianie/organisasi-kemahasiswaan-25818189. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

http://www.scribd.com/doc/190735247/Peran-Dan-Fungsi-Organisasi. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

http://www.psychology.sunysb.edu/ewaters/345/2007_erikson/2006_erikson.pdf. Di-akses pada tanggal 30 Maret 2014.

http://ratih-f-a-fpsi05.web.unair.ac.id/ (Teori Perkembangan). Diakses pada tanggal 30 Maret 2014.

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 1 : Permission to use Theory of Forgiveness, DFS & EFS instrument. E-mail kepada christiansamuel.cs@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 2 : Forgiveness’s Aspect. E-mail kepada christiansamuel.cs@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 3 : DF & EF Score. E-mail kepada christiansamuel.cs@gE-mail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 2014. E-mail 4 : Forgiveness Research.