PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP.

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP

Disertasi

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Pengembangan Kurikulum

Promovendus Dadi Setiadi

0807944

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam mesyarakat keilmuan. Atas pernyataaan ini, saya siap menanggung resiko/sangsi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karaya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juni 2013 Yang Membuat Pernyataan


(4)

MOTTO

SEMUA PENGETAHUAN YANG KITA PEROLEH SECARA ILMIAH TIDAK SEMATA-MATA HANYA HASIL JERIH PAYAH KITA SENDIRI


(5)

KATA PENGANTAR

Kemajuan dalam ilmu pengetahuan teknologi dan perubahan kehidupan sosial masyarakat akan selalu menuntut perubahan bidang pendidikan agar sesuai dengan tuntutan tersebut. Perubahan tersebut mencakup perbaikan kurikulum dan termasuk pembelajaran sains yang harus dapat membekali peserta didik dengan kemampuan literasi sains.

Pembelajaran sains di SMP masih belum sesuai dengan esensi dari sains, dimana kualitas pembelajaran tersebut masih perlu ditingkatkan untuk lebih meningkatkan kemampuan literasi sains. Salah satu solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan pengembangan pembelajaran sains melalui penelitian dan pengembangan disertasi.

Disertasi yang penulis susun terdiri atas: Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Bab V Simpulan, Implikasi dan Saran-Saran. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi untuk perbaikan bagi penulis untuk karya ilmiah dimasa mendatang.

Bandung, Juni 2013 Penulis


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan rasa syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala izinNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi secara baik. Di samping itu keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini ijinkanlah penulis untuk menghaturkan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. As’ari Djohar, M.Pd., selaku Promotor yang telah banyak sekali memberikan bimbingan, saran dan arahan mulai dari persiapan penelitain sampai dengan penyelesaian penulisan disertasi;

2. Bapak Prof. Dr. Mukhidin, S.T., M.Pd., selaku Kopromotor yang banyak memberikan bimbingan dan motivasi dalam penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi

3. Bapak Dr. Toto Ruhimat, M.Pd., selaku Anggota tim pembimbing yang telah memberikan dorongan dan saran-saran dalam penelitan dan penyelesain disertasi;

4. Bapak Prof. Dr. Ishak Abdulhak, M.Pd., Selaku Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascassarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memberikan saran dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis;

5. Bapak Prof. Dr. Didi Suryadi, M.Ed. selaku Direktur SPs UPI atas segala dukungan dan bantuan selama mengikuti perkuliahan dan dukungan administrasi keperluan penelitian dalam penyusunan disertasi;


(7)

6. Bapak Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, selaku Rektor Universitas Pendidikan Indonesia atas segala dukungan berupa fasilitas di kampus UPI;

7. Bapak Ibu Dosen SPs UPI dan khususnya di Program Studi Pengembangan Kurikulum yang telah memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman untuk dapat menyelesaikan program S3 dengan baik;

8. Seluruh Staf Administrasi SPs UPI yang telah banyak membantu selama studi dan dalam proses penyelesaian studi;

9. Bapak Ir. Tadjuddin Erfandy, M.Sc., selaku Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Provinsi NTB atas segala ijin untuk melaksanakan penelitian di semua sekolah yang digunakan dalam penelitian ini;

10. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah memberikan dukungan finasial untuk pelaksanaan dan penyelesaian penelitian;

11. PT Newmont Nusa Tenggara yang telah memberikan dukungan finasial yang sangat membantu untuk pelaksanaan penelitian untuk disertasi;

12. Ibu Hj. Baiq Harwini, S.Pd. kepala SMPN 6 Mataram, Ibu Hj. Rodiah, S.Pd., M.Pd. kepala SMPN 4 Gerung, dan Ibu Sri Irianti, S.Pd., M.Pd. kepala SMPN 1 Sumbawa Besar yang telah memberikan ijin penelitian pada sekolah tersebut; 13. Bapak H. M Zulkifli, S.Pd., M.Pd. kepala SMPN 2 Mataram, dan Bapak Awaluddin, S.Pd, kepala SMPN 1 Selong yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di sekolah tersebut;

14. Ibu Dra. Cholifah guru SMPN 6 Mataram, Ibu Dra. Nani Yulianti, M.Pd. guru SMPN 2 Mataram, Ibu Tuti Agustina, S.Pd. dan Ibu Dra. Mulyanti guru SMPN 1 Sumbawa Besar, Ibu Dra. Paurin, M.Pd. dan Ibu Azizah, S.Pd. Guru SMPN


(8)

4 Gerung yang telah banyak membantu dan kerja sama dengan baik dalam penelitian;

15. Bapak Drs. Safii guru SMPN 1 Selong dan Bapak Drs. I Gede Suweca Guru SMPN 2 Mataram yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian; 16. Ibu tercinta Rahmah (almarhumah) yang telah banyak memberikan dukungan

serta yang selalu mendo’akan agar bisa menyelesaikan studi di jenjang S3; 17. Bapak H. Mahmuddin, S.H. (almarhum) dan Ibu Hj. Maryati (almarhumah)

yang merupakan bapak dan ibu mertua sangat baik, atas segala dukungan dan do’a untuk dapat menyelesaikan studi di jenjang S3;

18. Istri tercinta Elih Sukaryatin atas segala dorongan semangat dan segala do’a yang telah dipanjatkan untuk dapat menyelesaiakan studi serta keikhlasanya berpisah selama studi di SPs UPI;

19. Semua anak tercinta atas pemberian dukungan, semangat dan segala doa; 20. Kakak-kakak yang terhormat atas segala dukungan dan do’a;

21. Seluruh teman-teman angkatan 2008 Program Studi Pengembangan Kurikulum S3 atas dorongan dan motivasi untuk segera menyelesaikan studi.

Akhir kata, penulis tidak akan dapat membalas kebaikan semua pihak yang telah memberikan bantuan, dan hanya dapat berdo’a semoga Allah Yang Maha Kuasa mencatatnya sebagai amal kebaikan dan memberikan balasan kepada semua pihak tersebut di atas. Amien, Amien, Amien.


(9)

ABSTRAK

Dadi Setiadi (2013) ”Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP”. Program Studi Pengembangan Kurikulum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Promotor : Prof. Dr. As’ari Djohar, M.Pd. Kopromotor : Prof. Dr. Mukhidin, S.T., M.Pd. Anggota : Dr. Toto Ruhimat, M.Pd.

Kata Kunci : literasi, sains, pembelajaran, SMP , kemampuan

Hasil tes internasional tentang literasi sains untuk tingkat SMP peserta didik Indonesia berada pada tingkat bawah, termasuk dalam kelompok yang baru mampu mengingat fakta dan konsep sederhana. Kondisi objektif pembelajaran sains di SMP belum menuntut peserta didik berpikir tinggi dan aktif berinteraksi, serta kurang mengembangkan kompetensi sains. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran sains, menghasilkan model pembelajaran sains yang dapat meningkatkan kemampuan literasi sains, dan untuk mengetahui lingkungan belajar yang dapat mendukung implementasi model pembelajaran tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan, dilaksanakan di lima SMP di Nusa Tenggara Barat. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif hasil pos tes dianalisis dengan menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran sains awal kurang mengembangkan cara berpikir tinggi dan kompetensi sains. Tahapan model pembelajaran hasil pengembangan: pendahuluan, eksplorasi, elaborasi, konfirmasi, pengayaan, asesmen, refleksi dan tindak lanjut. Kemampuan literasi sains peserta didik kelompok eksperimen berbeda signifikan lebih tinggi dari kontol. Lingkungan belajar menunjukkan adanya interaksi pertukaran ide sesama peserta didik, dan dengan sumber belajar lain. Pembelajaran membuat peserta didik aktif melakukan investigasi dan berdiskusi hasil investigasi, mengembangkannya dengan konteks kehidupan. Juga mengembangkan kemampuan dalam identifikasi isu sains, dan fenomena sains. Model pembelajaran dilaksanakan apabila peran pendidik dan peserta didik sesuai tuntutan dari model pembelajaran. Disarankan pada pendidik untuk dapat mengimplementasikan model pembelajaran ini karena peserta didik tidak hanya memiliki kemampuan literasi sains tetapi juga mengembangkan kemampuan peserta didik dalam metode ilmiah, keterampilan sains dan implikasi sains teknologi dalam situasi kehidupan masyarakat.


(10)

ABSTRACT

Dadi Setiadi (2013) ”The Development of Instruction Model to Improve Students’ Science Literacy Capability of Junior High School”. Study Programe of Curriculum Development, School of Post Graduate, Indonesia University of Education.

Promotor : Prof. Dr. As’ari Djohar, M.Pd. Kopromotor : Prof. Dr. Mukhidin, S.T., M.Pd. Anggota : Dr. Toto Ruhimat, M.Pd.

Keywords: literacy, science, instruction, junior high school, capability.

Results of international test of science show that Indonesian student of junior high school are grouped in low level position, it means that they can only memorize facts and simple concept. Objective condition of science instruction of junior high school does not challenge students high order thinking and interaction actively, also less develope science competence. The objective of this study are to know instructional condition of science, create a design of instruction model that can improve capability of science literacy, and know learning environment that can support it’s implementation. Research method used is research and development that carried out in five junior high schools of West Nusa Tenggara. Qualitative data were analyzed descriptively whereas quatitative data were analyzed using student t test. The results of this study show that science instruction less develop high order thinking and science competence. Syntax of instruction model consists of introduction, exploration, elaboration, confirmation, enrichment, assessment, reflection and follow up. Students’ science literacy capability of experiment group is significantly higher than control. Learning environment demonstrates interaction in idea exchange between students and other learning sources. The instruction make student more active in doing investigation and discussion of results, develop context of material with life situation. Also extend capability of science isues identification dan phenomen of science. The instruction model can be implemented well if function of students and teacher as what instructional model need. Teachers are suggested apllying the model due to students not only have capability of science literacy but also develop students’ scientific method and science skills, and science technology implication in social life situation.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

MOTTO ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 17

1.Rumusan Masalah ... 17

2.Pertanyaan Penelitian ... 24

C. Penjelasan Istilah ... 24

1.Model Pembelajaran ... 24

2.Kemampuan Literasi Sains ... 25

D.Tujuan Penelitian ... 26

E.Manfaat Penelitian ... 26

1.Manfaat Teoritis ... 26

2.Manfaat Praktis ... 27

F. Struktur Organisasi Disertasi ... 27

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 29

A. Literasi Sains ... 29

1. Konsep Literasi Sains ... 29

2. Tujuan Literasi Sains ... 46

3. Manfaat Literasi Sains ... 49

4. Prinsip-Prinsip Literasi Sains Dalam Pembelajaran ... 55

5. Prinsip Asesmen Literasi ... 68

a. Situasi dan Konteks ... 75

b. Kompetensi Sains ... 75

c. Pengetahuan Sains ... 77

d. Sikap ... 78

e. Struktur Asesmen ... 78

B.Pembelajaran Sains ... 78

1. Hakekat Sains ... 78

2. Konsep Pembelajaran Sains ... 84


(12)

4. Dasar-Dasar Pembelajaran Sains ... 91

5. Konsep Model Pembelajaran ... 107

6. Pembelajaran Inkuiri Sains ... 109

a. Konsep Pembelajaran Inkuiri Sains ... 109

b. Prinsip Pembelajaran Inkuiri Sains ... 118

c. Manfaat Pembelajaran Inkuiri Sains ... 128

d. Model Pembelajaran Inkuiri ... 131

C.Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 138

D.Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ... 143

1. Kerangka Pemikiran ... 143

2. Hipotesis ... ... 145

BAB III METODE PENELITIAN ... 146

A.Pendekatan Penelitian ... 146

B.Waktu dan Tempat Penelitian ... 147

C.Populasi dan Sampel Penelitian ... 148

D.Pengumpulan dan Analisis Data ... 149

1.Studi Pendahuluan ... 149

2.Pengujian Model ... 153

E. Teknik Penelitian ... 154

F. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 160

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 165

A. Hasil Studi Pendahuluan ... 165

1. Deskripsi Data ... 165

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 165

b. Kondisi Pembelajaran ... 167

c. Fasilitas ... 170

d. Pendidik ... 173

e. Peserta Didik ... 173

f. Lingkungan Belajar ... 175

2. Pengolahan Data dan Pembahasan ... 176

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 176

b. Kondisi Pembelajaran ... 180

c. Fasilitas ... 184

d. Pendidik ... 184

e. Peserta Didik ... 189

f. Lingkungan Belajar ... 191

B. Pengembangan Model ... 194

1. Deskripsi Data ... 194

a. Draf Disain Model Pembelajaran ... 194

b. Penilaian Draf Disain Model Pembelajaran ... 199

c. Perbaikan Draf Disain Model Pembelajaran ... 202

d. Hasil Uji Coba Model Pembelajaran ... 204

1) Uji Terbatas ... 204


(13)

e. Hasil Pengujian Model Pembelajaran ... 247

f. Kondisi Lingkungan Belajar Model Pembelajaran ... 265

2. Pengolahan Data dan Pembahasan ... 269

a. Desain Pembelajaran Hasil Pengembangan ... 269

b. Implementasi Model Pembelajaran ... 285

c. Kondisi Lingkungan Belajar Yang Mendukung Model Pembelajaran ... 302

C. Keterbatasan Penelitian ... 319

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN-SARAN ... 322

A. Kesimpulan ... 322

1. Kondisi Pembelajaran Awal ... 325

2.Desain Model Pembelajaran ... 323

3. Implementasi Model Pembelajaran ... 324

4. Kondisi lingkungan belajar model pembelajaran sains ... 328

B. Implikasi Teoritis dan Dalil-Dalil ... 326

C. Saran-Saran ... 329

1. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota ... 330

2. Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan ... 330

3. Sekolah ... 330

4. Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sains ... 331

5. Pendidik Mata Pelajaran Sains ... 332

6. Bagi Peneliti Berikut ... 332

DAFTAR PUSTAKA ... 333


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

4.1 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi SainsPada Uji Terbatas 1 ... 207

4.2 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Terbatas 1 ... 209

4.3 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi Sains Pada Uji Terbatas 2 ... 213

4.4 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Terbatas 2 ... 215

4.5 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi Sains Pada Uji Terbatas 3 ... 218

4.6 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Terbatas 3 ... 220

4.7 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi Sains Pada Uji Terbatas 4 .... 223

4.8 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Terbatas 4... 224

4.9 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi SainsPada Uji Terbatas 5 228 4.10 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Terbatas 5 ... 229

4.11 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi Sains Pada Uji Lebih Luas 1.. 234

4.12 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Lebih Luas 1 ... 235

4.13 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi Sains Pada Uji Lebih Luas 2 . 239 4.14 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Lebih Luas 2 ... 241

4.15 Skor Rata-Rata Hasil Pos Tes Literasi Sains Pada Uji Lebih Luas 3. 245 4.16 Skor Hasil Penilaian Keterlaksanaan Model Pembelajaran Oleh Peserta Didik Pada Uji Lebih Luas 3 ... 246

4.17 Data rata-rata hasil pre pos tes kemampuan literasi sains... 255

4.18 Deskripsi Statistik ... 255

4.19 Deskripsi Normalitas Data... 257

4.20 Tes Sampel Independen... 257


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1.1 Variabel Dalam Pengajaran... 19

2.1 Tingkatan Literasi Sains... 39

2.2 Kompetensi Berhubungan Dengan Literasi Sains ... 43

2.3 Kerangka Kerja Untuk Asesmen Literasi Sains... 74

2.4 Langkah-Langkah Proses Sains... 81

2.5 Pengembangan Pertanyaan KWL Untuk Pedoman Inkuiri... 127

2.6 Siklus Inkuiri... 132

2.7 Model Aktivitas Untuk Inkuiri Sains ... 133

2.8 Model Inkuiri Alberta ... 134

2.9 Keluaran dan Dampak Pembelajaran Inkuiri sains Biologi`... 135

2.10 Model Inkuiri Krajcik ... 137

2.11 Kerangka Berpikir Pengembanagan Model Pembelajaran ... 143

3.1 Langkah-Langkah Penelitian... 155

4.1 Draf Disain Model Pembelajaran... 196

4.2 Model Pembelajaran Hipotetik ... 204

4.3 Model Pembelajaran Hipotetik Perbaikan ... 231

4.4 Histogram Skor Pos Tes... 256

4.5 Normal Q-Q ... 256


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Hal.

1 Surat Permohonan Ijin Penelitian dari SPs UPI ... 356

2 Surat Ijin Penelitian dari Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian ... 357

3 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian di SMPN 2 Mataram . 358 4 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian di SMPN 6 Mataram . 359 5 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian di SMPN 1 Selong .... 360

6 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian di SMPN 4 Gerung ... 361

7 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian di SMPN 1 Sumbawa. 362 8 Surat Pernyataan Ahli Dr. Jamaluddin , M.Pd. ... 363

9 Surat Pernyataan Ahli Dr. H. Agus Ramdani, M.Sc. ... 367

10 Surat Pernyataan Ahli Dr. H. A. Wahab Jufri, M.Sc. ... 371

11 Surat Pernyataan Ahli (Praktisi) Dra. Nani M., M.Pd. ... 375

12 Instrumen Penilaian keterlaksanaan model pembelajaran ... 378

13 Skor pos tes uji terbatas siklus 1-3 ... 382

14 Skor pos tes uji terbatas siklus 4-5 ... 383

15 Skor pos tes uji lebih luas SMPN 6 Mataram ... 384

16 Skor pos tes uji lebih luas SMPN 4 Gerung ... 385

17 Item asesmen kemampuan literasi sains yang digunakan pada pos tes uji validasi ... 386

18 Data skor pre tes uji validasi ... 398

19 Data skor pos tes uji validasi kelompok eksperimen ... 399


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Kualitas pendidikan sains pada tingkat sekolah menengah pertama di Indonesia masih tergolong rendah kalau dibandingkan dengan pendidikan di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang ditunjukan dari hasil tes programe of international student achievement/PISA (Organization for Economic Co-operation and Development, 2007). Namun sejak beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia dalam hal ini adalah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sudah melakukan perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam bidang pendidikan. Program-programnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing bangsa pada tingkat internasional dan sudah dijadikan program prioritas dalam rencana pembangunan nasional demi untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.

Menurut UUD 1945 pasal 31 menyatakan bahwa : “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar serta pemerintah wajib membiayainya”. Selain itu bahwa “pemerintah berkewajiban mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pasal tersebut bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk dapat mengembangkan mutu pendidikan dalam rangka mencetak


(18)

warga negara yang cerdas dan mampu bersaing pada tingkat internasional sesuai dengan tujuan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Berkaitan dengan penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan, visi Indonesia jangka panjang, yaitu “terwujudnya negara-bangsa Indonesia moderen yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Selain itu bahwa pembangunan pendidikan nasional ke depan sebaiknya didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya mencakup aspek pengetahuan, karakter dan keterampilan.

Cara membangun tersebut berfungsi untuk mengaktualisasikan potensi diri dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Hal tersebut sesuai dengan Depdiknas (2005: 7) pada dasarnya dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu “afektif yang tercermin pada kualitas akhlak mulia, kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas, dan psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis”. Namun demikian untuk dapat mengimplementasikan ketiga aspek tersebut memerlukan standar proses pendidikan yang harus dipenuhi. Pendidik harus memahami dan menguasai cara mengembangkan pembelajaran yang terbaik dan sesuai dengan kondisi peserta didik agar bisa secara maskimal mengembangkan ketiga potensi tersebut yang dimiliki peserta didik.

Dengan terwujudnya sistem satuan pendidikan yang baik merupakan sarana untuk memberdayakan peserta didik berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga memiliki daya saing yang tinggi di tingkat intenasional.


(19)

Sejalan dengan visi tersebut menurut Depdiknas (2005: 9) bahwa “pada tahun 2025 dapat menghasilkan lulusan yang cerdas dan kompetitif”. Hal ini dapat diartikan bahwa cerdas tidak hanya intelektual tetapi cerdas secara keseluruhan mencakup emosional, sosial dan spiritual. Sedangkan kompetitif mencakup sikap kepribadian karakter bangsa yang mampu bersaing. Untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan pengembangan dalam banyak aspek terkait dengan proses pendidikan, seperti sumber daya manusia, dan fasilitas yang diperlukan untuk terlaksananya proses pendidikan yang sesuai dengan standar yang diperlukan.

Selain itu, seiring dengan tuntutan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan perubahan kehidupan sosial masyarakat serta globalisasi, perubahan kurikulum pembelajaran di sekolah-sekolah, merupakan hal yang harus dilakukan. Dalam implementasi pendidikan saat ini, perubahan-perubahan itu menggiring untuk dianutnya paradigma baru dalam pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan. Hal tersebut disebabkan karena makin kompleks dan kompetitifnya kehidupan pada era informasi komunikasi teknologi.

Dalam konteks lebih luas, satu satuan pendidikan sebaiknya tidak terbatas hanya berusaha untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang merupakan standar minimal pendidikan, tetapi “seharusnya selalu mengarah untuk bisa memenuhi standar yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sesuai dengan panduan kurikulum satuan pendidikan” (Mulyasa, 2008; 28), atau mengacu pada standar internasional. Peningkatan ranking sekolah merupakan satu bentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu dan


(20)

menunjukan bahwa pendidikan telah menjadi salah satu kebutuhan yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini.

Selain itu, di era globalisasi persaingan antar negara di tingkat internasional semakin kuat, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas berwawasan luas, sesuai dengan Colemen (2009: 19) bahwa untuk menghadapi globalisasi diperlukannya keterampilan untuk dapat “collaborating globally and the need for cross-cultural understanding”. Juga, proses dan asesmen pendidikan seharusnya diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan seperti negara anggota OECD atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan dalam bidang pendidikan. Pengayaan bisa dengan cara “penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada pada standar nasional pendidikan (adaptasi) atau penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam standar nasional pendidikan (adopsi)“ (Somatrie, 2008: 15), Cara adaptasi atau adopsi merupakan hal yang perlu dilakukan oleh pihak penyelenggara pendidikan, karena akan lebih menyempurnakan dokumen kurikulum ataupun proses pembelajaran yang akan dikembangkan yang mengarah pada peningkatan kemampuan literasi sains.

Pemahaman terhadap sains telah berkembang dari pemahaman bahwa sains sebagai produk sains menjadi sains sebagai cara berpikir dan bertindak, sains sebagai keterampilan proses sains, serta sains sebagai proses penyelidikan ilmiah. Dengan demikian pembelajaran sains tidak hanya mengembangkan pemahaman isi dan konteksnya dalam kehidupan, tetapi juga mengembangkan keterampilan keterampilan peserta didik dalam inkuiri investigasi mulai dari identifikasi


(21)

fenomena, dan perumusan masalah investigasi sampai dengan penyimpulan hasil, serta pengkomunikasiannya secara lisan atau tulisan.

Perubahan pemahaman terhadap hakekat sains tersebut, secara konseptual pandangan terhadap pendidikan sains semakin mengarah pada makna yang hakiki dari belajar dan pembelajaran sains di sekolah. Makna hakiki dari belajar dan pembelajaran sains tersebut adalah pendidikan sains lebih diartikan sebagai pembentukan kompetensi peserta didik melalui peningkatan motivasi dan aktivitas diri peserta didik (competence based learning) dari pada pembekalan pengetahuan melalui transfer pengetahuan dari pendidik ke peserta didik (knowledge-based learning). Selain itu, menurut Haryana (2008: 13) bahwa “dalam pembelajaran perlu dikembangkan nilai-nilai progresif dalam bidang teknologi dimana dipengaruhi oleh penguasaan Matematik, Sains, Sosiologi dan etika global”. Dengan demikian pembelajaran sains khususnya tidak hanya terkait dengan isi materi, tetapi juga terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial di lingkungan masyarakat secara global.

Dalam usaha mengontrol kualitas pendidikan sains, matematika dan membaca khususnya di negara-negara anggota OECD. Organisasi tersebut melaksanakan tes setiap tiga tahun dikenal dengan Program of International Student Assessment (PISA). Namun tes tersebut mulai dari tahun 1990 mencakup juga sejumlah negara yang bukan negara anggota OECD termasuk diantaranya adalah Indonesia. Program tersebut berupa penyelenggaraan tes untuk pelajaran Matematika, Sains dan Bahasa Inggris. Tes untuk pelajaran sains dilakukan untuk


(22)

mengukur kemampuan peserta didik dalam literasi sains yang meliputi : pengetahuan sains, pengetahuan tentang sains, konteks, identifikasi isu-isu sains, penjelasan fenomena dan penggunaan fakta secara ilmiah serta sikap peserta didik terhadap sains.

Terdapat sejumlah pengertian mengenai literasi sains seperti menurut Hand, et al. (2010: 49) yang mengkaji literasi sains dari aspek fundamental adalah “kapasitas menginterpretasi dan mengkonstruksi teks sains dan kemampuan untuk menjadikan pengetahuan tentang topik sains, konsep, proses dan metode”. Selain itu Yuenyong dan Narjaikaew (2009: 341) memberikan pengertian literasi sains sebagai “pemahaman pengetahuan ilmiah dan hubungan antara sains, teknologi,

masyarakat dan lingkungan”. Berdasarkan pengertian tersebut bahwa kemampuan

literasi sains menyangkut semua aspek sains seperti pengetahuan, sikap dan keterampilan sains, serta konteksnya dengan kehidupan dan kemajuan sain teknologi, sehingga melalui pengembangan pembelajaran sains yang mengarah pada penguasaan literasi sains akan lebih membekali peserta didik untuk memiliki kemampuan pemahaman dan keterampilan sains dengan konteks kehidupan personal, lokal dan global.

Selain itu tujuan utama pendidikan sains seharusnya mengarah pada penguasaan kemampuan literasi sains yang sesuai dengan filsafat dan tujuan pendidikan sains, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Lima et. al., (2010: 323) bahwa “tujuan pendidikan sains diarahkan untuk mengembangkan suatu komunitas yang melek terhadap sains”. Juga pembelajaran sains di sekolah “sebaiknya dilakukan untuk memperkuat dan mengembangkan kemampuan


(23)

literasi sains peserta didik” (Holbrook dan Rannikmae, 2007: 1348). Ditambahkan oleh Tseng et al., (2010: 165) bahwa “mempromosikan literasi sains merupakan satu tujuan akhir dari pendidikan sains”. Arah tujuan pendidikan sains yang lebih fokus pada pengembangan kemampuan literasi sains akan memberikan hasil yang lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan. Sebab kemampuan literasi sains meliputi pendidikan sains secara komprehensif mulai dari pengetahuan sains, keterampilan sains sampai dengan bagaimana sikap sains yang sebaiknya yang harus dimiliki oleh peserta didik, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan kemampuan pemahaman dan motivasi belajar sains.

Pembelajaran yang berbasis pada peningkatan kemampuan literasi sains memberikan manfaat pada peserta didik seperti dikemukakan oleh OECD (2003b: 133) bahwa “literasi sains menekankan tidak hanya pada pengetahuan dan proses ilmiah tetapi menggabungkanya dalam pemahaman”. Ditambahkan Hurd dan Gallagher (1966) yaitu “kemampuan literasi sains akan memahami sosiohistori perkembangan sains, memperhatikan etos sains modern, memahami dan menghargai hubungan sosial dan kultur sains serta menyadari tanggung jawab sosial sains”. Sedangkan menurut Holbrook dan Rannikmae (2009: 286) bahwa “penguatan literasi sains dapat mengembangkan kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta, dan keterampilan yang relevan dengan kehidupan sehari hari, serta penyelesaian secara personal masalah sains”. Oleh karena itu, kemampuan literasi sains sangat terkait dengan aspek pengetahuan, keterampilan, sikap sains termasuk juga masalah-masalah sosial masyarakat lokal dan global. Sehingga akan lebih membekali peserta didik dalam keterampilan


(24)

ilmiah yang akan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Sesuai dengan yang di kemukakan American Association for the Advancement of Science/AAAS (1993: 322) bahwa kemampuan literasi sains “bisa memperkuat kemampuan dalam persepsi dan refleksi kejadian secara internal yang dapat membuat seseorang memiliki dasar untuk membuat keputusan dan melakukan aksi”.

Dalam kaitannya dengan penilaian hasil belajar sains pada aspek kemampuan literasi sains yang mencakup “science processes, science concepts, and situation or context” (Harlen, 1999) yang dilakukan OECD dalam PISA tahun 2000 menunjukkan bahwa “kemampuan literasi sains untuk peserta didik Indonesia yang berusia sekitar 15 tahun mencapai skor 393” (Rustaman, 2010:13) berada pada urutan “ke-38 dari 41 negara” (Karniawati, 2007: 1; Jalmo, 2007: 98), dan tes PISA tahun 2003 mencapai “skor 395” (Rustaman, 2010:13). Juga hasil tes yang sama yang dilakukan oleh PISA pada tahun 2006 rata rata skor peserta didik Indonesia mencapai “skor 393 berada pada urutan 50 dari 57 negara peserta dan termasuk berada pada tingkat 1” (OECD, 2007: 50), dan skor sains pada tes PISA tahun 2009 OECD (2010: 15) adalah “383 ranking 57 dari 65 negara peserta. Skor tersebut secara statistik berbeda signifikan di bawah skor rata-rata yang dicapai oleh negara-negara OECD.

Berdasarkan skor yang diperoleh tersebut menunjukan bahwa kualitas pembelajaran sains SMP di Indonesia masih jauh dibawah negara-negara OECD. Sehingga sekolah-sekolah di Indonesia perlu mempelajari secara komprehensif bagaimana perencanaan, pelaksanaan dan asesmen pembelajaran sains di


(25)

negara-negara tersebut, sehingga dalam beberapa tahun mendatang bisa lebih kompetitif antara hasil tes literasi sains peserta didik Indonesia dengan hasil tes peserta didik di negara-negara OECD.

Skor di atas yang dicapai peserta didik Indonesia berada pada tingkat 1 dari tingkat maksimal 5. Posisi pada tingkat 1 tersebut diartikan bahwa kemampuan para peserta didik Indonesia “have such a limited scientific knowledge that it can only be applied to a few, familiar situations. They can present scientific explanations that are obvious and follow explicitly from given evidence” (OECD, 2010: 147). Sesuai dengan Pusat Kurikulum (2007a: 19) bahwa “peserta didik Indonesia baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta-fakta sederhana”. Selain itu Gonzales (2008: 38) mengartikan bahwa skor pada tingkat tersebut:

Student: can recognize some basic facts from the life and physyical sciences. They have some knowledge of the human body and demontrate some familiarity with everyday physical phenomena. Student can interpretate pictorial diagram and apply konwledge of simple physical concepts to practical situation.

Juga menurut Harlen (2002: 2) skor tersebut dapat diartikan bahwa “students are able to recall simple factual scientific knowledge (eg. name, facts, terminology, simple rules) and to use common scientific knowledge in drawing or evaluating conclusion”. Pencapaian pada tingkat 1 peserta didik Indonesia pada tes tersebut berada pada tingkat yang paling rendah dan bisa menunjukan bahwa pembelajaran sains masih berorientasi pada menghapal atau mengingat fakta-fakta sederhana, sehingga perlu lebih diorientasikan pada pengembangan


(26)

keterampilan-keterampilan sains inkuiri yang mengarah pada peningkatan kemampuan literasi sains.

Sedangkan hasil tes internasional lain yang dilakukan oleh TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) pada tahun 1999 dalam sains untuk kelas 8 siswa Indonesia “berada pada ranking 38 dari 44 negara dengan skor 435 dibawah skor rata rata international secara signifikan” (Martin, et al., 2000; http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication /education.pdf). Hasil tes yang sama pada tahun 2003 untuk kelas 8 peserta didik Indonesia berada pada “nomor urut 36 dari 45 negara dengan skor 420 di bawah skor rata-rata international secara signifikan” (Martin, et al., 2004; Karniawati, 2007: 1). Sedangkan hasil tes yang sama tahun 2007 untuk kelas 8 peserta didik Indonesia berada pada “urutan 35 dari 49 negara peserta dengan skor 427 di bawah rata rata international” (Martin, Mullis dan Foy, 2008). Hasil tes TIMSS peserta didik Indonesia tidak jauh berbeda dengan hasil tes PISA yang menunjukan bahwa kemampuan peserta didik Indonesia dalam pelajaran sains berada pada posisi di bawah rata-rata skor internasional. Data tersebut menunjukan bahwa kualitas pembelajaran sains di Indonesia masih berada pada tingkat yang rendah.

Hasil studi pendahuluan mengenai pembelajaran menunjukan bahwa dalam kegiatan pembukaan pembelajaran sains di SMP masih terbatas hanya pada menghubungkan materi yang akan dibahas dengan yang sudah dibahas. Hal tersebut kurang mengajak peserta didik untuk berpikir lebih jauh terkait dengan materi yang akan dibahas dengan konteks kehidupan peserta didik. Peserta didik


(27)

kurang termotivasi untuk terlibat dalam pembelajaran. Juga tujuan dari pembelajaran yang akan dilakukan kurang menitik beratkan pada keterampilan-keterampilan sains yang harus dikuasai, tapi lebih pada aspek pengetahuan tingkat rendah, seta kurang memberikan penjelasan mengenai teknik-teknik atau cara-cara yang harus dilakukan oleh peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut melalui inkuiri investigasi.

Dalam kegiatan inti pembelajaran, pelaksanaan praktikum masih tergolong sederhana dan baru pada tingkat membuktikan, belum bersifat eksperiment dengan menggunakan variabel bebas dan terikat. Selain itu, belum mengembangkan keterampilan metode ilmiah seperti : observasi, merumuskan masalah, memformulasikan hipotesis, mengenal variabel, melaksanakan eksperimen, melakukan pengukuran, mengklasifikasi, menyajikan dan mengiterpretasi data, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan hasil eksperimen. serta mengidentifikasi isu-isu sains atau menjelaskan dan menggunakan fakta sains secara ilmiah.

Dalam intepretasi data hasil eksperimen tidak menuntut peserta didik untuk bisa menarik kesimpulan dari seklompok data yang diperoleh, disebabkan data tersebut hanya bersifat membuktikan saja dari materi pelajaran tanpa berbasis eksperimen dalam pengulangan perlakuan. Juga tidak menuntut peserta didik bagaimana cara menyajikan sejumlah data hasil pengamatan, seperti dalam bentuk grafik atau tabel dari hasil kegiatan investigasi kelompok. Cara tersebut dapat lebih memudahkan dalam mempredikasi kecenderungan dan menarik kesimpulan.


(28)

Pertanyaaan pertanyaan yang lebih sering diajukan pendidik kepada peserta didik dalam pembelajaran berupa pertanyaan berdasarkan pengetahuan fakta-fakta dan konsep, jarang yang bersifat aplikasi pengetahuan dan pemahaman, serta bersifat menyimpulkan dari data. Selain itu, pendidik tidak pernah mengajukan pertanyan yang melibatkan pengembangan hipotesis, dan disain investigasi inkuiri, serta pertanyaan yang memerlukan penjelasan, jastifikasi atau disain investigasi inkuiri lebih lanjut.

Cara menutup pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik hanya meringkas materi yang sudah dibahas dan melakukan asesmen melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik untuk mengetahui daya serap materi pelajaran yang sudah dipelajari. Pendidik tidak mengajak peserta didik untuk merefleksikan proses pembelajaran yang sudah dilakukan. Asesmen dilakukan hanya untuk mengukur pengetahuan tingkat rendah, belum mengukur keterampilan ilmiah, dan pemahaman tingkat tinggi. Pelaksanan tindak lanjut hanya menugaskan peserta didik membaca materi yang berhubungan dengan yang sudah dibahas. Selain itu, belum melatih peserta didik mempraktekan menulis dan membaca sumber pustaka berbahasa Inggris melalui tugas berhubungan dengan pelajaran sains di sekolah yang sudah dibahas, dan persiapan pengetahuan awal hanya dengan menyuruh membaca materi yang akan dibahas.

Rendahnya hasil belajar sains peserta didik tersebut diantaranya bisa disebabkan oleh faktor pendidik mata pelajaran sains yang hanya mengutamakan pada isi materi pelajaran, dan hanya mengukur pada tingkat pemahaman rendah, serta kurang mengembangkan keterampilan ilmiah terkait dengan sains, sesuai


(29)

dengan yang dikemukakan Fang (2005: 346) bahwa “teacher often place high priority on content coverage and lack the knowledge and expertise to provide

reading instruction in their content area”, dan ditambahkan menurut Gräber, et al., (2002: 63) pengajaran sains traditionally concentrates on the knowledge aspect, adding perhaps a few of the procedural skills, but usually neglecting the other competencies”. Juga menurut Brown, Reveles, dan Kelly (2005 : 790) bahwa ”science instruction have yet to give voice to the value of analyzing the discursive co-construction of student identities in conjunction with scientific literacy development”. Sehingga pendidik mata pelajaran sains seharusnya lebih fokus pada pengembangan kompetensi keterampilan dan literasi sains, juga bisa menyediakan sumber-sumber bacaan dan informasi atau laman-laman yang bisa mengembangkan pemahaman, wacana, dan sikap positif peserta didik terhadap mata pelajaran sains.

Selain itu, Eisenhart, Finkel, dan Marion (1996: 262) menyampaikan bahwa “science is said to be poorly taught in schools many teachers are under prepared, science activities are poorly designed, and standards for performance are too

low”. Sedangkan King (2002: 75) melihat dari aspek kaitan pembelajaran sains dengan mempersiapkan peserta didik menghadapi kehidupan mendatang yang menyatakan bahwa “ science curriculum is fail in equiping young people to deal with scientific information in everyday context; sustains their wonder and curiosity in science, uses assessment contexts unlike those that young people are likely to use in later life”. Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa pendidik kurang mempersiapkan pembelajaran sains secara baik yang berbasis pada


(30)

keaktifan peserta didik. Selain itu, dalam pembelajaran harus menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan peserta didik, masyarakat lokal dan global agar bisa mempersiapkan peserta didik yang mampu menghadapi kehidupan dimasa mendatang.

Berhubungan dengan inkuiri dalam pembelajaran sains di lapangan, seperti dikemukakan oleh Hassard (2005: 124) bahwa para pendidik menyatakan kegiatan-kegiatan berikut jarang dilakukan “work on an extended science investigation, design their own investigation, use computers as a tool, participate

in field work, take field trips, make formal presentations to the rest of the class”,

dan banyak pendidik-pendidik yang menyatakan juga bahwa “inquiry is too difficult to do and thus do not attempt inquiry at all” (Brown, et al., 2006; Wee, et al., 2007). Ditambahkan oleh Cheung (2007) bahwa “the major obstacles that prevent students from implementing inquiry-based activities, among them lack of effective inquiry materials, pedagogical problems, large classes, and material

demands”. Sehingga pembelajaran sains yang kurang berbasis pada inkuiri investigasi khususnya akan menyebabkan kemampuan peserta didik dalam kemampuan literasi sains rendah. Hal tersebut dikarenakan peserta didik lebih cenderung menghafal fakta-fakta sains seperti halnya yang ditunjukan pada hasil tes PISA dan TIMSS tersebut di atas.

Selain hal tersebut di atas, sejumlah hal-hal lain terkait dengan rendahnya hasil belajar sains seperti menurut Euler (2006: 8) bahwa “some of the post modern approaches science education seem to ignore the rich philosophical tradition on which science is built”, dan sesuai dengan Fensham (2002 : 30) yang


(31)

mengemukakan bahwa “similarly poor understanding of the technological and socio-scientific concepts that bear so strongly on society and the lives of citizens”, serta didukung oleh Mitman, et al., (1987 : 627) yang menyatakan bahwa

“teachers felt unable to allocate time to its development and articulation. Also

were never trained in how to enrich their curriculum in this fashion”. Sedangkan Gräber et al., (2002: 64) melihat kondisi pengajaran sains di sekolah dimana “lebih mengarah berpusat pada pendidik, mengajarkan fakta dan orientasi disiplin”. Juga “kurangnya pendidik dalam mengembangkan sikap peserta didik tehadap sains, dan pembelajaran kooperatif peer teaching, serta permodelan untuk meningkatkan literasi sains” (Ekohariadi, 2009: 40). Pendidik dalam mengajarkan sains perlu memahami mengenai filosofi sains, perkembangan kemajuan sains teknologi, dan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat yang berhubungan dengan sains, serta penyusunan dokumen kurikulum termasuk didalamnya model pembelajaran yang mendukung khususnya untuk peningkatan kemampuan literasi sains.

Berdasarkan data di atas menurut Pusat Kurikulum (2007: 17) untuk mengatasi masalah tersebut “perlu dilakukan penyempurnaan kurikulum baik itu dalam bentuk dokumen maupun dalam implementasi, perlu mengacu pada hakikat IPA itu sendiri” dan mengkaji serta membandingkan dengan kurikulum negara maju. Selain itu, menurut Mariati (2007: 24) bahwa “isi materi kurikulum sains sekolah Indonesia padat, tidak mendalam dan hanya permukaannya saja”, hal tersebut sesuai pendapat Jeong dan Songer (2008: 195) menyatakan bahwa “kurikulum sains jauh dari keterampilan-keterampilan untuk mengintegrasikan


(32)

beberapa aspek berbeda dari keterampilan inkuiri seperti penyusunan hipotesis dan evaluasi”.

Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu dilakukan penyempurnaan pembelajaran sains di sekolah menengah pertama. Salah satu usaha yang bisa dilakukan berupa penyesuaian standar isi dan implementasi pembelajaran yang mengarah peningkatan kemampuan literasi sains. Juga sesuai dengan pendapat Euler (2006: 3) bahwa “untuk mengatasi rendahnya hasil belajar sains perlu mengembangkan kualitas pembelajaran sains di sekolah”. Secara eksplisit bahwa standar nasional pendidikan sains bertujuan untuk membangun literasi sains yang tinggi. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh negara anggota OECD (1998) seperti “transmission of essential knowledge and skills and a basis of common culture, development of personalities both at the individual level and collectively, giving better chances to those with social”. Dengan demikian, langkah utama yang sangat baik adalah perbaikan pembelajaran sains yang harus didisain agar supaya peserta didik berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dengan difasilitasi pendidik agar peserta didik menjadi “explorer, questioner, problem solver, thinker and resourcer” (Mariati, 2007: 35), dan memahami konsep atau masalah dengan cara menemukan sendiri jawabannya melalui inkuiri investigasi.

Berdasarkan pemikiran dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan mengembangkan model pembelajaran pada mata pelajaran sains Biologi di SMP. Dengan demikian, penelitian untuk disertasi ini merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan satu model pembelajaran mata pelajaran sains Biologi yang dapat meningkatkan


(33)

kemampuan literasi sains peserta didik SMP, serta menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendukung diimplementasikanya model tersebut.

B.Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Rumusan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian dan pengembangan ini adalah pembelajaran sains seperti apa yang dapat meningkatkan kemampuan literasi sains. Hal ini dapat diartikan bahwa suatu model pembelajaran yang bisa memberikan kesempatan kepada peserta didik agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya untuk peningkatan kemampuan literasi sains. Menurut Gage (2009: 51) terdapat variabel-variabel pembelajaran saling mempengaruhi antara variabel satu dengan variabel yang lain seperti : “presage variables, context variables, teacher thought processes, process and students’ though processes” (Gambar 1.1).

Presage variables, variabel ini berhubungan dengan pendidik yang akan mempengaruhi prilaku pendidik di dalam kelas diantaranya : “social class, age, gender, teacher training experiences, and student teaching experiences and combined with characteristics of teacher properties; teaching skills, overall intelligence, motivation, and personality traits” (http://www.cals.ncsu.edu/ agexed/leap/aee535/db.html; Dunkin dan Biddle, 1974: 38). Semua variabel tersebut sangat penting untuk bisa distandarkan khususnya terkait dengan keterampilan, karena akan mempengaruhi proses berpikir pendidik dan proses pembelajaran. Sehingga proses pembelajaran bisa memenuhi standar yang telah


(34)

ditentukan, sesuai dengan Gage (2009: 43) sekurang kurangnya ada empat tipe variabel tersebut seperti : “teacher personality atributes, characteristic of teacher in training, teacher knowledge and achievement, and in-service teacher status characteristic”. Dengan demikian variabel-variabel tersebut sangat berpengaruh pada keterampilan dan sikap pendidik dalam pembelajaran, namun demikian bisa distandarkan dengan mengukur indikator-indikator tertentu yang menggambarkan kemampuan pendidik untuk bisa melaksanakan pembelajaran.

Context variables, variabel-variabel tersebut secara keseluruhan di luar kontrol pendidik, menurut Gage (2009: 48) mencakup “setting, or environment, in which the teaching goes on, the relevant characteristic of culture in the nation, region, community, school, classroom, family and student body”. Semua variabel konteks mempunyai pengaruh pada pembelajaran peserta didik secara tidaklangsung. Juga pengalaman dan kemampuan, pengetahuan dan sikap peserta didik akan mempengaruhi tingkah laku peserta didik dalam kelas (Dunkin dan Biddle, 1974: 38; http://www.cals.ncsu.edu/agexed/leap/aee535/db.htm). Selain itu, bahwa konteks komunitas dan sekolah juga akan mempengaruhi tindakan peserta didik dalam kelas, termasuk iklim pendidikan, pengelolaan dan harapan masyarakat. Namun demikian, bahwa pada dasarnya pembelajaran sains yang akan dilaksanakan selalu memperhatikan variabel konteks agar bisa dilaksanakan secara maksimal sesuai dengan kondisi kelas, juga dalam hal konten atau isi dihubungkan dengan perkembangan sains teknologi dan perubahan sosial masyarakat.


(35)

Gambar 1.1 Variabel Dalam Pengajaran (Gage, 2009: 51, modifikasi)

Teacher thought processes, kategori proses ini berhubungan dengan aspek kognitif (isi materi yang diajarkan, organisasi materi, fakta-fakta, konsep, prinsip) dan afektif (sikap. motivasi, sistem nilai emosi) dan penggunaan pengetahuan pedagogi. Menurut Gage (2009: 49) ada dua jenis proses pemikiran pendidik yaitu “pre-activte (such as planning, knowledge, beliefs, value about teaching, learning and curriculum) and interactive (occur during interaction with student)”. Selain Presage variables (Teacher Characteris- tics) : - Fromative & training experience - Properties Context variables (Teaching situation) : - Pupil formative experience - Properties - School &

community context - Classroom context - Facilities - Management Teacher thought processes (Planning, deciding) : -Dealing with cognitive, affective -Pedagogical knowledge Process : Structuring , soliciting, responding , reacting Content of teaching : Subject matter Students’ thought processes : Perception, motivation, understan-ding, attitude, learning strategy, metacogni-tive process Student Achieve-ment : Cognitive, societal emotional and psycho-motor objectives


(36)

itu pasca interaksi berhubungan dengan kepuasan proses pembelajaran yang telah dilakukan, apakah perlu perbaikan, ketertarikan peserta didik, perhatian dan motivasi, keberhasilan dan kegagalan dari interaksi akan mempengaruhi proses pemikiran pendidik dalam perencanaan pembelajaran berikutnya. Proses proses ini khususnya akan mempengaruhi proses pembelajaran mulai dari perencanaan sampai implementasi, seperti dijelaskan di atas kemampuan kognitif dan sikap serta pengetahuan pendidik tentang ilmu pendidikan. Pendidik akan menentukan kualitas perencanaan dan implementasinya, semakin baik ketiga hal tersebut maka akan semakin baik dalam mendisain perencanann dan implementasi pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh pendidik.

Variabels process content, menurut Gage (2009: 49) dalam variabel ini ada 2 proses yaitu “cognitive process (student mental activity) and teaching process (teaching is doing)”. Proses kognitif akan mempengaruhi tingkat pencapain tujuan, dan akan ditentukan oleh sejauh mana peserta didik terlibat secara mental dalam kegiatan pembelajaran, dan proses ini juga akan dipengaruhi oleh model pembelajaran yang dilaksanakan oleh peserta didik berdasarkan pada perencanaan yang telah disusun oleh pendidik. Selain itu, dalam proses pembelajaran ada bagian yang disebut proses verbal seperti “structuring (setting forth and organizing the content), soliciting (asking question of students)

responding (a student answering a teacher’s question), and reacting (teacher

after a students’ response” (Gage 2009: 49).

Keempat proses tersebut akan menentukan proses pembelajaran yang akan dilaksanakan berhubungan dengan structuring, soliciting, responding dan


(37)

reacting. Dalam pembelajaran menunjukan adanya interaksi antara behavior pendidik dan peserta didik untuk menghasilkan perubahan tingkah laku atau behavior peserta didik yang positif sesuai dengan yang diharapkan dan bisa diukur. Prilaku peserta didik mencakup tidak hanya mengikuti proses dalam kelas, tetapi juga cara pendekatan peserta didik dalam belajar, harapan untuk berpartisipasi dalam kelas, dan performannya dalam kegiatan belajar (http://www.cals.ncsu.edu/agexed/leap/aee535/db.htm).

Juga termasuk prilaku pendidik dalam kelas bagaimana pendidik mengelola kelas, melaksanakan program pengajaan, mengelola prilaku peserta didik, mengevaluasi performa peserta didik (Dunkin dan Biddle, 1974: 38). Dengan demikian, variabel tersebut sangat menentukan sejauh mana pencapain tujuan yang diharapkan, dimana yang menjadi kunci utama adalah bagaimana pendidik mengelola keterlibatan peserta didik secara maksimal selama pembelajaran melalui model pembelajaran yang digunakan secara tepat, sehingga pendidik harus memahami secara baik mengenai pengelolaan pembelajaran sains yang bisa mengembangkan kemampuan peserta didik dalam literasi sains.

Students thought process, proses ini mengikuti variabel-variabel proses secara umum di dalam kelas dan variabel-variabel pencapaian tujuan. Ketika proses berpikir peserta didik dijadikan pertimbangan sebagai karakteristik stabil seperti pada variabel konteks, hal tersebut merupakan situasi dimana terjadinya pembelajaran. Selain itu menurut Gage (2009: 46) bahwa “kognisi peserta didik dijadikan sebagai penyebab belajar”. Kategori in mencakup: “persepsi peserta didik, harapan, proses perhatian, motivasi, memori, pemahaman, keyakinan,


(38)

sikap, strategi-strategi belajar dan proses metakognitif yang memediasi pencapaian hasil belajar” (Gage 2009: 50). Dengan demikian proses berpikir peserta didik penting dalam usaha untuk mencapai tujuan pembelajaran, sehingga pendidik sebelum pembelajaran dilaksanakan seharusnya dimulai dengan mengarahkan proses ini, sehingga peserta didik bisa melibatkan diri secara maksimal dalam pembelajaran sains untuk dapat mencapai tujuan.

Student achievement disebut variabel produk, dan merupakan gambaran tingkat pencapaian tujuan dari semua elemen. Menurut Gage (2009) bahwa kategori tersebut mencakup : “achievement of cognitive objectives and can also refer to achievement of social-emotional objectives and psychomotor objectives”. Selain itu, kategori tujuan belajar peserta didik yang merupakan penyempurnaan dari Bloom menurut Anderson dan Krathwohl (2001: 28) adalah mencakup dua dimensi yaitu : “Knowledge dimension: Factual, Conceptual, Procedural, and Metacognitive Knowledge, whereas The cognitive Process Dimension: Remember, Understand, Apply, Analyze, Evaluate and Create”. Disamping itu pendidik seharusnya fokus pada pertumbuhan peserta didik dalam tanggung jawab mempelajari materi yang dibahas dan perkembangan sikap positif terhadap pelajaran sains. Pendidik harus juga memfokuskan diri pada “long-term effects of education—the development of a person’s adult personality, the development of professional competence, and the attitude that learning continues throughout the lifetime of the person” (http://www.cals.ncsu .edu/agexed/ leap/aee535/db.htm). Dalam variabel ini asesmen yang dilakukan pendidik seharusnya secara umum menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun lebih fokus lagi


(39)

psikomotor di dalam pembelajaran sains mencakup keterampilan-keterampilan sains termasuk dalam pelaksanan metode ilmiah.

Berhubungan dengan peningkatan kemampuan literasi sains melalui proses pembelajaran, banyak faktor-faktor yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan literasi sains. Seperti dikemukakan Gage (2009) di atas bahwa variabel yang terlibat dalam pembelajaran akan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain, seperti variabel pendidik (karaketeristik dan proses berpikir pendidik), konteks, proses dan proses berpikir peserta didik. Namun demikian, salah satu tindakan yang lebih memungkinkan untuk bisa meningkatkan kemampuan literasi sains yaitu melalui penyempurnaan dalam variabel proses, dalam hal ini adalah model pembelajaran yang didisain dan dikembangkan agar lebih sesuai untuk bisa meningkatkan kemampuan literasi sains. Dalam konteks proses, meliputi proses kognitif dan pembelajaran. Proses kognitif mencakup sejauh mana keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran hal ini sangat tergantung dari model pembelajaran yang digunakan pendidik. Sedangkan dalam proses pembelajaran mencakup pengorganisasian isi, pengajuan pertanyaan dan pemberian jawaban oleh peserta didik dan reaksi pendidik setelah peserta didik merespon. Dengan demikian faktor pembelajaran yang lebih memungkinkan dikembangkan terutama pada interaksi peserta didik, berpikir tingkat tinggi dan kemampuan pendidik dalam pengelolaan pembelajaran sains untuk bisa meningkatkan kemampuan literasi sains.


(40)

Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan masalah penelitian disertasi ini adalah: ”Model pembelajaran sains seperti apa yang bisa meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik kelas VIII SMP?”.

2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas maka pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kondisi awal pembelajaran sains Biologi di SMP berhubungan dengan literasi sains?;

b. Disain model pembelajaran sains Biologi seperti apa yang bisa meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik SMP?;

c. Bagaimanakah implementasi model pembelajaran sains dapat meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik SMP?;

d. Kondisi lingkungan belajar seperti apa yang mendukung impelemntasi model pembelajaran sains untuk meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik di SMP?.

C.Penjelasan Istilah 1. Model Pembelajaran

Model Pembelajaran menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2011: 24) merupakan “a description of a learning environment, including our behavior as teacher when that models is used. Selain itu model pembelajaran tersebut menurut Briggs, dan Sommefeldt (2002: 39) bahwa “strongly influenced both by the


(41)

prevailing culture of the education system and the generic and particular needs of the learner” . Selain itu dalam pembelajaran terjadi “interact to create the learning environment” (Joyce, dan Calhoun, 2009: 645). Ditambahkan menurut Briggs, dan Sommefeldt (2002: 39) bahwa dalam pembelajaran “children learn well through engagement with a practical task, this is a preferred approach; where learning a skill is commonly undertaken”. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan pengkondisian lingkungan belajar bagi peserta didik dan terjadinya interaksi di dalamnya, memiliki sintaks serta diimplementasikan dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam konteks penelitian ini adalah peningkatan kemampuan dalam literasi sains peserta didik di kelas VIII SMP.

Pengembangan model mengacu pada Joyce, Weil, dan Calhoun (2011) meliputi tujuan dan asumsi yang melandasi model, tahapan pengembangan sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi pendidik dan peserta didik, sistem pendukung, dampak instruksional dan pengiring. Model yang dijadikan acuan adalah White dan Frederiksen (2000) dan Krajcik et al. (1998).

2. Kemampuan Literasi Sains

Kemampuan literasi sains merupakan kemampuan peserta didik dalam mata pelajaran sains Biologi mencakup: pemahaman alam sebagai dasar pengetahuan ilmiah yang meliputi pengetahuan alam dan pengetahuan tentang alam, kemampuan mengidentifikasi isu dan fenomena sains secara ilmiah serta menyusun simpulan berdasarkan fakta.


(42)

D.Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian untuk menghasilkan model pembelajaran sains yang dapat meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik di SMP yang sesuai dan dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah bersangkutan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Memahami kondisi awal pembelajaran sains Biologi di SMP berhubungan kemampuan literasi sains peserta didik;

2. Menghasilkan model disain pembelajaran sains yang bisa meningkatkan kemampuan literasi sain di SMP;

3. Dapat mengimplementasikan model pembelajaran sains yang dapat meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik di SMP;

4. Untuk mengetahui kondisi lingkungan belajar yang mendukung implementasi model pembelajaran sains yang bisa meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik di SMP.

E.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menemukan sejumlah konsep dan prinsip dasar berhubungan dengan model pembelajaran sains yang dapat meningkatkan kemampuan literasi sains di SMP. Secara empirik dapat menemukan sejumlah faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan model pembelajaran sains, serta alternative-alternative untuk meminimalkan munculnya hambatan-hambatan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Juga mengetahui kondisi


(43)

lingkungan belajar yang mendukung untuk dapat mengimplementasikan model pembelajaran dan meningkatkan kemampuan literasi sains.

2. Manfaat Praktis

Dari segi praktis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk :

a. Dasar peningkatan hasil belajar peserta didik dalam mata pelajaran sains di SMP yang berbasis pada peningkatan kemampuan literasi sains sesuai dengan kekuatan dan kelemahan sekolah masing- masing;

b. Dasar perbaikan kualitas pembelajaran sains di SMP yang mengacu pada peningkatan kemampuan literasi sains;

c. Memberikan pengetahuan dan keterampilan pada pendidik mata pelajaran sains di SMP tentang cara mendesain dan mengembangkan model pembelajaran sains berhubungan peningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik; d. Meningkatkan kemampuan literasi sains, keterampilan metode ilmiah dan sains

bagi peserta didik.

F. Struktur Organisasi Disertasi

Organisai disertasi terdiri dari 5 (lima) bab dengan rincian sebagai berikut : 1. Bab I Pendahuluan, Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah dan

Pertanyaan Penelitian, Penjelasan Istilah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Struktur dan Organisasi Disertasi;

2. Bab II Kajian Pustaka Kearangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian, Literasi Sains, Pembelajaran Sains, Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian;


(44)

3. Bab III Metode Penelitian, Pendekatan Penelitian, Waktu dan Tempat Penelitian, Populasi dan Sampel Penelitian, Pengumpulan dan Analisis Data, Teknik Penelitian, Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan; 4. Bab IV Hasil dan Pembahasan, Hasil Studi Pendahuluan: Deskripsi dan

Pengolahan data serta Pembahasan, Hasil Pengembangan Desain Pembelajaran: Deskripsi dan Pengolahan data serta Pembahasan dan;


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan dan terdiri atas pendekatan kualitatif untuk studi pendahuluan dan pendekatan kuantitatif untuk tahap validasi model. Metode penelitian pengembangan merupakan prosedur sistematis yang menggabungkan data kualititatif dan kuantitatif untuk meningkatkan setting pendidik, mengajar dan belajar peserta didik.

Pendekatan kualitatif adalah satu tipe penelitian pendidikan di dalamnya menurut Creswell (2008: 46) bahwa “peneliti mengenal keadaan partisipan, bertanya luas, pertanyaan umum, dan pengumpulan data terdiri atas teks secara luas dari partisipan, menjelaskan dan menganalisis teks untuk tema serta melakukan inkuiri, bersifat subjektif”. Selain itu, pendekatan kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana “peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2008a: 1; 2008b: 14). Penelitian awal merupakan tahap awal untuk penelitian tindakan dengan memanfaatkan data kuantitatif, dan kualitatif, serta fokus pada prosedur dengan penekanan pada masalah praktis di sekolah dan rombongan belajar.


(46)

Sedangkan pendekatan kuantitatif adalah satu tipe penelitian pendidikan di dalamnya menurut Creswell (2008: 46) bahwa “researcher decide what to study, asks specific, narrow question, collects quantifiable data from participant, analyze theses numbers using statistics and conduct the inquiry in an unbiased objevtive manner”. Sejalan dengan Sugiyono (2008b: 14) pendekatan tersebut merupakan metode penelitian yang digunakan untuk “meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data dengan menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis”. Pendekatan kuantitatif dilakukan pada tahap uji validasi model pembelajaran, data berupa nilai pos tes peserta didik kemudian dianalisis menggunakan uji statistik.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai dari akhir bulan Juli 2011 sampai dengan Nopember 2012 pada rombongan belajar VIII SMP dan sekolah yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah sekolah yang berada di Kota Mataram, SMPN 2 Mataram, dan SMPN 6 Mataram ; Kabupaten Lombok Barat, SMPN 4 Gerung; Kabupaten Lombok Timur, SMPN 1 Selong, dan Kabupaten Sumbawa Besar, SMPN 1 Sumbawa.


(47)

C. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Penelitian

Semua peserta didik rombongan belajar VIII di 7 (tujuh) SMPN (unggulan) di Propinsi Nusa Tenggara Barat tahun ajaran 2012/2013.

Sampel Penelitian

Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian ini adalah purposif sampling dengan alasan keterbatasan pelaksanaan penelitian. Jumlah sekolah yang digunakan sebagai sampel sejumlah 5 (lima) dan dapat mewakili sekolah kelompok baik dan sedang. Kelompok sekolah baik adalah SMPN 2 Mataram, dan SMPN 6 Mataram ; Kabupaten Lombok Timur, SMPN 1 Selong, sedangkan kelompok sekolah sedang adalah Kabupaten Sumbawa Besar, SMPN 1 Sumbawa. Kabupaten Lombok Barat, SMPN 4 Gerung;

Penentuan sekolah yang digunakan dalam uji lebih luas dan validasi ditentukan dengan dasar keterwakilan kedua kelompok sekolah tersebut. Jumlah peserta didik per rombongan belajar atau rombongan belajar rata-rata 27 orang. Untuk uji terbatas digunakan SMPN Selong dengan dua rombongan belajar. Untuk Uji lebih luas digunakan SMPN 4 Gerung dan SMPN 6 Mataram dengan masing-masing dua rombongan belajar. Untuk uji validasi model digunakan SMPN 2 Mataram dan SMPN 1 Sumbawa dengan masing-masing empat rombongan belajars.

Untuk penentuan sampel rombongan belajar pada uji validasi di SMPN 2 Mataram dan SMPN 1 Sumbawa dilakukan secara random (rombongan belajar),


(48)

sehingga untuk setiap sekolah diperoleh dua rombongan belajar untuk kelompok kontrol dan dua rombongan belajar yang lain untuk kelompok eksperimen. Untuk memelihara keajegan, pendidik berusaha merahasiakan agar pembelajaran pada kelompok eksperimen tidak diketahui oleh peserta didik pada kelompok kontrol, juga meminta peserta didik kelompok eksperimen tidak memberi tahu mengenai pembelajaran pada rekannya di kelas kelompok kontrol.

D. Pengumpulan dan Analisis Data 1. Studi Pendahuluan

a. Pengumpulan data Studi Pendahuluan

Langkah-langkah penyusunan instrumen didasarkan pada Arikunto (2009: 191) secara singkat sebagai berikut: diawali perumusan masalah dan anggapan dasar, memilih pendekatan, penentuan variabel dan sumber data. kemudian menysusun instrumen.

Teknik pengumpulan data dalam studi pendahuluan ini dilakukan melalui observasi, angket, wawancara, dan dokumen. Instrumen-instrumen tersebut digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lebih menggambarkan keadaan sebenarnya khususnya pada penelitian pendahuluan, sehingga model yang didisain sesuai dengan kondisi sekolah, dan dapat menyelesaikan masalah. Adapun informasi-informasi yang dikumpulkan melalui alat pengumpul data sebagai beikut :


(49)

1). Observasi

Pedoman observasi yang dibuat peneliti mencakup judul, waktu, dan tempat, serta pedoman tersebut digunakan untuk catatan lapangan selama melakukan observasi. Pada awal observasi peneliti berperan sebagai observer orang luar, kemudian berpartisipasi di dalamnya dan mengobservasi sebagai orang dalam, serta menghabiskan waktu lebih banyak sebagai partisipan dari pada sebagai observer. Cara tersebut dilakukan untuk dapat menghindari pengaruh dari observer terhadap subyek penelitian, oleh karena itu diharapkan dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

2) Angket

Variabel ingin diketahui melalui angket mencakup; dokumen kurikulum, rencana pelaksanaan pembelajaran, proses pembelajaran, fasilitas, kemampuan peserta didik dan pendidik. Angket berupa pertanyaan-pertanyaan tertutup dan terbuka untuk menggali informasi dari peserta didik dan pendidik sebagai responden. Cara tertutup untuk fokus pada poin tertentu, sehingga informasi yang diperoleh jelas dan tidak bias, sedangkan terbuka untuk memperoleh informasi besifat melengkapi jika tidak termasuk dalam tertutup. Penggunaan dua sumber data yaitu peserta didik dan pendidik untuk mengkonfirmasikan antar informasi dari pendidik dan dari peserta didik, serta akan dikonfirmasikan lagi dengan hasil observasi. Dengan demikian Informasi yang diperoleh dengan cara tersebut membuat peneliti merasa yakin sesuai dengan kenyataaan.


(50)

3) Wawancara

Wawancara dilakukan tidak terstruktur, dan terbuka serta menggunakan pedoman interviu berupa pertanyaan-pertanyaan yang siap untuk ditanyakan. Pedoman interviu dibuat peneliti yang terdiri atas petunjuk dan proses interviu, bagian kosong untuk mencatat jawaban responden. Dasar dilakukan interviu secara terbuka dengan tujuan untuk dapat memperoleh informasi dari responden yang lebih luas dibanding dengan yang tertutup, sehingga informasi yang dicari lebih komprehensif dan menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

4) Dokumen

Pengumpulan informasi dari dokumen bertujuan untuk lebih melengkapi informasi dalam memberikan gambaran keadaan sebenarnya terutama berhubungan dengan perencanaan pembelajaran, lembar kegiatan peserta didik, asesmen literasi sains, kondisi proses pembelajaran, keterampilan sains peserta didik.

5) Rekam data

Teknik perekaman dalam data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan protokol berikut:

- Informal (membuat catatan)


(1)

351 Dadi Setiadi, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Preczewski, P.J., Mittler, A. dan Tillotson. J.W. (2009). ―Perspectives of German and US Students as They Make Meaning of Science in Their Everyday Lives‖. Interntaional Journal of Environment & Science Education. 4, (3), 247-258.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design (2nd Edition). St Leonards : Allen & Unwin Pty Ltd.

Pusat Kurikulum. (2007). Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA. Jakarata: Puskur Balitbang Depdiknas.

Puslitjaknov. (2008). Metode Penelitian Pengembangan. Jakarta : Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Balitbang Depdiknas.

Rascoe, B. (2010). ―What Is Heat ? Inquiry Regarding the Science of Heat‖.

Science Activities, 47, 109–114.

Reed J. dan Koliba, C. (2003). Facilitating Reflection A Manual for Leaders and Educators. [Online]. Tersedia: http://www.uvm.edu/~dewey/ reflection_manual/index.html. [2 Desember 2012].

Richards, J.C. (1990). Towards Reflective Teaching. [Online] Tersedia: http://www.tttjournal.co.uk. [2 Desember 2012].

Roth, K. dan Garnier, H. (2007). What Science Teaching Looks Like: An International Perspective Science in the Spotlight: Vol. 64, (4), 16-23. Roth, W.M. dan Barton, A.C. (2005). Rethinking Scientific Literacy. New York :

Routledge Falmer.

Roth, W.M., dan Lee, S. (2002). ―Scientific Literacy as Collective Praxis‖. Public Understanding of Science. 11, 1 – 24.

Roth, W.M., dan Lee, S. (2004). ―Science Education as/for Participation in the Community‖. Science Education. 88, 263–291.

Rustaman, N.Y. (2007). Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan Asesmennya. Proceeding of The First International Seminar on Science Education Indonesia University of Education. Bandung.

Rustaman, N.Y. (2010).` Literasi Sains Anak Indonesia 2000 dan 2003. [Online] Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI. PENDIDIKAN_IPA/1 95012311979032-NURYANI_RUSTAMAN/MAKALAH_ LITSAINS_2003 _sep,06.pdf. 1-20. [ 1 Maret 2012].


(2)

352 Dadi Setiadi, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Rutherford, F.J., dan Ahlgren, A. (1991). Science for all Americans. New York: Oxford University Press.

Schroeder, M. (2008). The Contribution of Trade Books to Early Science Literacy: In and Out of School. Res Sci Educ. 39,231–250.

Schroeder, M., et al. ( 2009). ―The Contribution of Trade Books to Early Science

Literacy: In and Out of School‖. Res Sci Educ. 39, 231–250.

Severa, S., Yurumezoglua, K., Oguz-Unvera, A. (2010). Comparison Teaching Strategies of Videotaped and Demonstration Experiments in Inquiry-Based Science Education. Procedia Social and Behavioral Sciences 2: 5619–562. Shwartz, Y., Ben-Zvi, R. dan Hofstein, A. (2006). The use of scientific literacy

taxonomy for assessing the development of chemical literacy among high-school students. Chemistry Education Research and Practice, 7, (4), 203-225.

Simpson, D. (2000). Collaborative Conversations: Strategies for Engaging Students in Productive Dialogues. dalam Inquiring into Inquiry Learning and Teaching in Science (J. Minstrell dan E. H. van Zee. Eds). Washington DC.: American Association for the Advance of Science.

Smith, M.H., Heck, K.E, dan. Worker, S.A. (2012). 4-H boosts youth scientific literacy with ANR water education curriculum. California agriculture. 66, (4),158-163.

Smith, P. dan Apple, D.K. (2005). Overview of Quality Learning Environments. [Online] Tersedia: http://www.facultyguidebook.com/3_1_1.pdf. [20 Nopember 2012 ]

Somantrie, H. (2008). Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (Penyelenggaraan dan Penjaminan Mutu) [Online]. Tersedia : http://www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/jek1/jek1_01.pdf [31 December 2009].

Sorden, S.D. (2005). ―A Cognitive Approach to Instructional Design for Multimedia Learning‖. Informing Science Journal .Vol. 8, 2005.

Spronken-Smith, R., dan Walker, R. (2010). Can inquiry-based learning strengthen the links between teaching and disciplinary research? Studies in Higher Education. [Online] Vol. 35, 6, , 723–740. Tersedia:


(3)

353 Dadi Setiadi, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

http://www.informaworld.com/smpp/title~content=t713445574. [5 Oktober 2010].

Srbinovski, M., Erdogan, M. dan Ismaili, M. (2010). ―Enviromnetal Literacy in the Science Education Curriculum in Macedonia and Turkey‖. [Online],

Procedia Social and Behavioral Science. 2, 4528-4532. Tersedia: www. sciencedirect.com. [25 September 2010].

State Council of the People’s Republic of China. (2006). The Outline of the Action Plan for Improving Scientific Literacy for All (From 2006–2010 and then 2010–2020). Beijing: The People Press.

Sugiyono. (2008a). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Sugiyono. (2008b). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan RT & D. Bandung : Alfabeta.

Sujanem, (2005). bahwa implementasi pendekatan STM dalam pembelajaran IPA di kelas IV SD No 6 Banjar Jawa Singaraja dapat meningkatkan kualitas literasi sains dan teknologi siswa yaitu dari kategori cukup. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVIII Desember 2005,783-807.

Sukmadinata, N. S. (2003). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sumaji, et al. (1998). Pendidikan Sains Yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius. Sungur, S. dan Gungoren, S. (2009). The Role of Classroom Environment

Perceptions in Self-Regulated Learning and Science Achievement.

Elementary Education [Online], 8, (3), 883-900. Tersedia: http://ilkogretim-online.org.tr. [23 Nop 2012].

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivime dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Swafford, M.D. dan Dainty, H.T. (2009). Learning Environment: Respecting Diversity and Exceptionality. Journal of Family and Consumer Sciences Education, 27, (4), 45-59.

Taber, K.S. (2009). Progressing Science Education, constructing the Scientific Research Program Into the Contingent Nature of Learning Science. London : Springer. [Online], Tersedia: http://depositfiles.com/en/files/zhgvwpacs. [12 Februari 2010].


(4)

354 Dadi Setiadi, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Tan, M. (2004). Nurturing Scientific and Technological Literacy through Environmental Education Journal of International Cooperation in Education, 7, (1),115-131.

Tenenbaum, G. et al. (2001). Constructivist pedagogy in conventional on-campus and distance learning practice: An exploratory investigation. Learning and Instruction 11, 87-111.

Tobin, K. (2010) . ―Issues of our time: science, religion, and literacy‖. Cult Stud of Sci Educ. 5, 1–4.

Tseng, Y.H., et al. (2010). Mining Concept Maps from News Stories for Measuring Civic Scientific Literacy in Media. 55, 165-177. [Online], Tersedia: www.elsevier.com/locate/compedu. [25 September 2010].

Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Unu, H.B. (2008). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta : Sinar Grafika Offset

Van Hook, S.J., et. al . (2011). Relationship Between Students’ Perceptions of Classroom Environment and Their Motivation in Learning English Language.

International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1, 21 [Special Issue - December 2011].

Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological Processes.( Michael Cole, Vera John-Steiner, Sylvia Scribner dan Ellen Sourbeman, Eds) London: Harvard University Press.

Webb, P. (2009). ―Towards an Integrated Learning Strategies Approach to Promoting Scientific Literacy in the South African Context‖. Interntaional Journal of Environment & Science Education. 4, (3), 313-334.

Wee, B., et al. (2007). ―Teaching and learning about inquiry: Insights and

challenges in professional development‖. Journal of Science Teacher Education, Vol. 18, (1), 63-89.

Wei, L. S. dan Elias, H. (2011). Relationship Between Students’ Perceptions of Classroom Environment and Their Motivation in Learning English Language.

International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 21 [Special Issue - December 2011]

Wheeler, G.F. (2000). The Three Faces of Inquiry dalam Inquiring into Inquiry Learning and Teaching in Science (J. Minstrell dan E. H. van Zee. Eds). Washington : American Association for the Advance of Science.


(5)

355 Dadi Setiadi, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

White, B.Y. dan Frederiksen J.R. (2000). ―Metacognitive Facilitation: An Approach to Making Scientific Inquiry Accessible to All‖ dalam Inquiring into Inquiry Learning and Teaching in Science. Washington: American Association for the Advance of Science.

Widodo, A. (2004). Constructivist Oriented Lessons The Learning Environments and the Teaching Sequences. Frankfrut : Peter Lang Europascher verlag der Wissenschaften,

Wiley, J. et al. (2009). ―Source Evaluation, Comprehension, and Learning in Internet Science Inquiry Tasks. American Educational Research Journal.

[Online] 46,(4), 1060–1106.. Tersedia: http://aerj.aera.net. [26 September 2010].

Wilkens, H.J. (2011). Textbook approval systems and the Program for International Assessment (PISA) results: A preliminary analysis. IARTEM e-Journal. 4, (2), 63-74.

Wong, S.L., et al. (2008). ―Turning Crisis into Opportunity: Enhancing student-teachers’ understanding of nature of science and scientific inquiry through a case study of the scientific research in severe acute respiratory syndrome‖.

International Journal of Science Education. 30, (11), 1417–1439.

Wright, J.M. (2008). ―The Comparative Effects of Constructivist Versus Traditional Teaching Methods on the Environmental Literacy Postsecondary Nonscience Majors‖. Buletin of Science, technology & Society. 25, 4, 324-337.

Wu, Y-T .dan Tsai, C-C. (2005) Effects of constructivist oriented instruction on elementary school students’ cognitive structures. Journal of Biological Education, 39(3).113-118.

Yore, L. et al. (2004). ―Why do future scientists need to study the language arts‖

dalam Crossing borders in literacy and science instruction: Perspectives on theory into practice. Newark DE: International Reading Association.

Yuenyong, C. dan Narjaikaew, P. (2009). ―Scientific Literacy and Thailand Science Education‖. Interntaional Journal of Environment & Science Education. 4, (3), 335-349.

Zee, E.H. (2000). Ways of Fostering Teachers’ Inquiries into Science Learning

and Teaching. dalam Inquiring into Inquiry Learning and Teaching in Science (J. Minstrell dan E. H. van Zee. Eds). Washington D.C.: American Association for the Advance of Science.


(6)

356 Dadi Setiadi, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Zohar, A. (2000). ―Inquiry Learning as Higher Order Thinking: Overcoming Cognitive Obstacles‖, dalamInquiring into Inquiry Learning and Teaching in Science. Washington: American Association for the Advance of Science.