HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG.

(1)

No. 314/Skripsi/PSI-FIP/UPI.02.2013

HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI

PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN

MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN

KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL

DI KOTA BANDUNG

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana psikologi

Oleh:

Herlina Rahmawati 0806957

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU

PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN

MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA

SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG

Oleh:

Herlina Rahmawati 0806957

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan

© Herlina Rahmawati 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotokopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Herlina Rahmawati (0806957). HUBUNGAN ANTARA SIKAP

MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN

MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA

SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG. Skripsi, Jurusan Psikologi

FIP UPI, Bandung (2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada sales promotion girl. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan tiga instrumen. Pertama HSCL-25 untuk mengukur masalah kesehatan mental, yang kedua Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe untuk mengukur kepuasan kerja, dan terakhir untuk mengukur sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, peneliti menyusun instrumen berdasarkan teori the tripartite model of attitudes yang dicetuskan Eagly & Chaiken (1993). Teori ini menjelaskan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap. Hasil penelitian ini menunjukan: (1) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. (2) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja dikarenakan terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual.


(7)

ABSTRACT

Herlina Rahmawati (0806957). CORRELATION BETWEEN THE ATTITUDE TOWARD SEXUAL HARASSMENT, MENTAL HEALTH PROBLEM, AND JOB SATISFACTION OF SALES PROMOTION GIRL ON BANDUNG. Skripsi, Psychology Major, Education Study Faculty, Education University of Indonesia, Bandung (2013).

This research purpose is to investigate correlation between the attitude toward sexual harassment, mental health problem, and job satisfaction of sales promotion girl. In this research an author used quantitative methode with three instruments. First is HSCL-25 to measures mental health problem, second is Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe to measures job satisfaction, and the last is an author’s original instrument based of Eagly & Chaiken’s the tripartite model of attitudes theory (1993) to measure attitude toward sexual harassment. This theory explain that attitude is built by three components, that is cognition, affective, and conative, then the three of them will interact each other to understand, to feel, to behave toward attitude object. The outcomes of this research are: (1) There’s no correlation between the attitude toward sexual harassment and mental health problem. (2) There’s no correlation between the attitude toward sexual harassment and job satisfaction because there’s a lot of factor that can determine job satisfaction other than the attitude.


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGUJI

PERNYATAAN SKRIPSI ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR i

UCAPAN TERIMA KASIH iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR BAGAN vii

DAFTAR TABEL viii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 13

D. Manfaat Penelitian 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA 15

A. Landasan Teori 15

1. Pelecehan Seksual 15

a. Definisi Pelecehan Seksual 15

b. Teori Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual 16

c. Jenis-Jenis Pelecehan Seksual 22

d. Efek Pelecehan Seksual 24

2. Sikap 27

a. Definisi Sikap 27

b. Komponen Sikap 29

c. Karakteristik Sikap 30

d. Fungsi Sikap 31

e. Pembentukan dan Perubahan Sikap 32

f. Sikap Sebagai Prediktor Perilaku 33

3. Kesehatan Mental 34

a. Definisi Kesehatan Mental dan Sehat Mental 34

b. Karakteristik Mental yang Sehat 36

c. Masalah Kesehatan Mental 37

4. Kepuasan Kerja 39

a. Definisi Kepuasan Kerja 39

b. Faktor Penentu Kepuasan Kerja 41

c. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja 42

B. Hasil Penelitian Terdahulu 44

C. Kerangka Berpikir 47

D. Asumsi 50


(9)

BAB III METODE PENELITIAN 52

A. Lokasi dan Sampel Penelitian 52

B. Metode Penelitian 54

C. Variabel Penelitian 54

D. Definisi Konseptual dan Operational 55

E. Instrumen Penelitian 58

F. Proses Pengembangan Instrumen 60

G. Teknik Pengumpulan Data 79

H. Teknik Analisis Data 79

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 81

A. Hasil Penelitian 81

1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 81

2. Masalah Kesehatan Mental yang Dimiliki SPG 86

3. Kepuasan Kerja SPG 87

4. Korelasi Antar Variabel 88

a. Uji Normalitas Sebaran Data 88

b. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental

90

c. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja

91

B. Pembahasan 92

1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 92

2. Masalah Kesehatan Mental yang Dimiliki SPG 96

3. Kepuasan Kerja SPG 98

4. Korelasi Antar Variabel 99

a. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental

99

b. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja

102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 105

A. Kesimpulan 105

B. Saran 106

DAFTAR PUSTAKA 109

RIWAYAT PENULIS 112


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan II.C. Kerangka Berpikir 50


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 61

Tabel III.F.2. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25) 61

Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)

62 Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku

Pelecehan Seksual

64 Tabel III.F.5. Reliabilitas Instrumen Masalah Kesehatan Mental

(HSCL-25)

64 Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job

Satisfaction Scale-Short Version)

65

Tabel III.F.7. Kategorisasi Nilai KMO 66

Tabel III.F.8. Norma Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

75

Tabel III.F.9. Norma Komponen Kognitif 76

Tabel III.F.10. Norma Komponen Afektif 77

Tabel III.F.11. Norma Komponen Konasi 77

Tabel III.F.12. Norma Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)

78 Tabel III.H.1. Kriteria Interpretasi Hasil Koefisien Korelasi 80 Tabel IV.A.1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 82 Tabel IV.A.2. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Komponen Kognitif

83 Tabel IV.A.3. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Komponen Afektif

84 Tabel IV.A.4. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Komponen Konasi

85

Tabel IV.A.5. Masalah Kesehatan Mental 86

Tabel IV.A.6. Kepuasan Kerja 87

Tabel IV.A.7. Uji Normalitas Sebaran Data 88

Tabel IV.A.8. Statistik Deskriptif 89

Tabel IV.A.9. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental

90 Tabel IV.A.10. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku

Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bekerja menurut Winarsunu (2008) merupakan mekanisme bagi seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri, memperluas aktifitas, memperteguh status dan jangkauan sosial, juga untuk mendapat penghasilan. Hal demikian juga berlaku untuk kaum perempuan. Saat ini wanita bukan hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anaknya, memenuhi kebutuhan suami, dan mengerjakan pekerjaan rumah, melainkan telah banyak wanita baik sebelum maupun setelah menikah, turut mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Wanita bekerja menurut Suranto dan Subandi (1998) adalah seorang wanita yang melakukan aktifitas formal atau nonformal di tempat kerja yang dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun beberapa alasan wanita bekerja menurut Matlin (1987) yaitu untuk membantu menambah penghasilan dalam keluarga atau suami, karena adanya keinginan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada diri wanita, dan mencari tantangan baru dalam bekerja, sehingga mereka kemudian memutuskan untuk mencari pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka dan sesuai dengan kapasitas diri yang dimiliki. Banyak sekali jenis pekerjaan atau profesi yang tidak hanya dapat dikerjakan oleh pria namun


(13)

juga dapat dikerjakan oleh wanita, salah satu profesi yang banyak dipilih wanita ialah bekerja sebagai SPG.

SPG atau Sales Promotion Girl, adalah profesi yang bergerak di

bidang pemasaran produk (marketing) baik dalam bentuk barang maupun

jasa. SPG merupakan bagian dari divisi ujung tombak perusahaan yang biasanya berhadapan langsung dengan end user atau bisa juga berhadapan

dengan reseller atau retailer alias pengecer. Hal ini disesuaikan dengan

program yang digunakan oleh perusahaan dalam menggunakan jasa SPG. (Kampung, 2001). Untuk bekerja menjadi seorang SPG ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Yang pertama berkaitan dengan performance

atau tampilan fisik yang terlihat serta pembawaan individu. Pembawaan ini diukur dari penampilan outlook (penampilan fisik) dan desain dress code

(desain pakaian). Yang kedua adalah kemampuan berkomunikasi. Komunikasi mutlak harus terpenuhi oleh seorang SPG karena melalui komunikasi ini akan mampu tercipta interaksi antara SPG dan konsumen. Dan yang terakhir adalah body language. Body language ini lebih mengarah

pada gerakan fisik, seperti gerakan lemah lembut, gemulai, dan lainnya. Gerak tubuh ketika menawarkan produk dan sentuhan fisik (body touch)

adalah deskripsi dari body language ini. Jika memenuhi ketiga unsur diatas

terutama aspek performance atau tampilan fisik yang menarik, sangat besar

kemungkinan seorang wanita dapat bekerja sebagai SPG, karena kemampuan berkomunikasi dan body language dapat dipelajari seiring


(14)

Kehadiran SPG dalam sebuah acara promosi dapat membantu perusahaan untuk menggaet calon konsumen. Hal ini didasari oleh penampilan SPG yang menarik sehingga menarik perhatian konsumen untuk mendekati stand perusahaan atau sekedar menerima pamflet dan mencoba

produk yang ditawarkan, baru kemudian kemampuan berkomunikasi yang berperan untuk memperkenalkan dan menawarkan produk yang dijajakan kepada konsumen. Maka dari itu penting sekali bagi SPG untuk memiliki penampilan fisik yang menarik, selain itu juga dapat ditunjang oleh desain pakaian yang dirancang untuk menarik perhatian konsumen.

Menurut penelitian Fitriana (2008), cara berpakaian SPG sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan yaitu rokok dan hal ini menunjukan bahwa industri rokok sangat identik dengan SPG sebagai market instrument. Dengan kata lain para

produsen rokok berusaha untuk menjadikan SPG berpenampilan semenarik mungkin dengan menambahkan pakaian yang menarik perhatian konsumen, terutama kaum pria sebagai target pasar utama rokok, agar mampu bersaing dengan produsen lainnya. Tidak jarang pakaian yang dikenakan SPG cenderung terbuka dan ketat sehingga menonjolkan lekuk tubuh SPG. Pakaian seragam (dress code) yang telah ditentukan oleh perusahaan

tersebut wajib dikenakan SPG selama bekerja, terlepas dari rasa suka atau tidak suka SPG mengenakan pakaian tersebut karena hal ini merupakan tugas dan kewajiban yang harus dijalankan SPG.


(15)

Selain itu tanggung jawab SPG ialah memasarkan produk sehingga mencapai target penjualan. Berbagai cara dapat dilakukan SPG dalam memasarkan produknya dengan mengandalkan penampilan fisik, kemampuan berkomunikasi dan body language yang dimiliki. Namun perlu

diwaspadai bahwa sikap ramah dan terbuka yang ditunjukan SPG dapat disalahartikan oleh konsumen terutama konsumen pria, karena umumnya sikap ramah tersebut dipersepsikan oleh pria sebagai minat terhadap seksual. Kaum pria berpikir bahwa secara umum wanita ingin menunjukan ketertarikan seksualnya dengan bertingkah laku ramah di hadapan pria. Mispersepsi ini terjadi karena pria memiliki imajinasi mengenai seks lebih banyak daripada wanita, sehingga wanita yang bekerja akan dilihat dan diperlakukan sebagai wanita pertama kali oleh pria dan baru kemudian dipandang sebagai pekerja. Bagi pria identitas gender pada wanita lebih penting dari pada identitas pekerjaannya (Winarsunu, 2008). Hal ini dapat menimbulkan resiko terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama yang mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya ketertarikan fisik pelaku terhadap korban, yang dalam kasus ini adalah ketertarikan konsumen terhadap SPG.

Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat, dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung


(16)

unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, kejadian tidak menyenangkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.

Budiarti (2009) menyebutkan bahwa pelecehan seksual terhadap wanita di tempat kerja telah tercatat sejak pertama kali perempuan memasuki pasar tenaga kerja. Ini berarti pelecehan seksual terhadap wanita di tempat kerja bukanlah suatu persoalan yang baru, tetapi sudah setua umur sejarah perempuan memasuki dunia kerja (publik) yaitu sejak kapitalisme berkembang. Farley (dalam Budiarti, 2009) mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan metode baru yang dikembangkan oleh kapitalisme dalam mengontrol tenaga kerja wanita. Menurut Budiarti “men have power over women in society” karena kondisi kekuasaan sosial yang menempatkan posisi pria lebih tinggi atau lebih berkuasa daripada wanita, maka pria dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan manfaat keuntungan seksual terhadap wanita (Budiarti, 2009). Sebagai contoh seorang konsumen pria dapat melakukan pelecehan seksual terhadap SPG seperti menggoda dan mencolek SPG dengan alasan jika SPG mengijinkan tindakannya tersebut maka dia akan membeli produk yang ditawarkan SPG.

Berdasarkan data yang dihimpun ILO pada tahun 2010, tren pelecehan seksual di tempat kerja terus meningkat. Di Uni Eropa 30-50% wanita dan 10% pria mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan di kawasan Asia Pasifik sebanyak 30-40%. Sedangkan menurut dokumentasi Komnas


(17)

Perempuan, pada 1998-2010, hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap wanita ialah kekerasan seksual. Terdapat 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap wanita (Tempo Interaktif, 23 November 2010). Salah satu kasus pelecehan seksual melibatkan SPG yang terjadi di Indonesia yaitu kasus pelecehan seksual terhadap SPG oleh konsumennya di kota Tegal. Saat itu korban merasa dilecehkan di depan umum ketika menawarkan produk minuman di kantor tempat tersangka bekerja. Korban mengaku dipeluk dan dicium tersangka dari belakang. Setelah itu korban mengadukan perbuatan tersangka kepada pihak kepolisisan dan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (Puspa) Kota Tegal untuk meminta perlindungan dan keadilan atas pelecehan yang diterima (Suara Merdeka, 25 Mei 2005).

Bercermin dari kasus diatas, pekerja wanita disamping harus menjalankan pekerjaannya sebagaimana yang harus dilakukan pria, wanita terutama yang berprofesi sebagai SPG, masih dituntut untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat kerjanya sendiri. Belum lagi ia harus menghadapi kenyataan pada umumnya bahwa ancaman bisa terjadi di luar tempat kerjanya. Sebagaimana kaum wanita lainnya seorang SPG juga merasa takut mengalami perkosaan. Sebenarnya setiap saat pekerja wanita sudah menjadi korban potensial dari berbagai macam ancaman yang bisa menimpanya. Bagi kaum wanita pelecehan seksual bukan lagi merupakan endemic, yang hanya terjadi di tempat


(18)

bisa mengancam dan siap menyerang kapanpun dan dimanapun. Menurut Winarsunu (2008), beberapa penelitian menunjukan bahwa korban pelecehan seksual 70% adalah wanita dan sedikit sekali korban pria. Besarnya korban pada wanita ada kaitannya dengan kondisi umum dimana wanita memiliki kerentanan terutama apabila ia lemah secara ekonomi. Beberapa variabel yang berhubungan dengan pelecehan seksual, diantaranya ditemukan bahwa pelecehan seksual mudah dan sering terjadi pada wanita yang memiliki karakteristik usia yang lebih muda dibanding pelaku, pekerja baru, wanita yang berstatus lajang, tingkat pendidikan rendah, dan pekerja magang atau part timer. Winarsunu juga menjelaskan bahwa pelecehan

seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi, dan mempengaruhi performa kerja korban. Bukan hanya yang menjadi korban langsung saja yang menderita akibat pelecehan seksual, tetapi juga para pekerja wanita lain yang menyaksikan atau menjadi saksi ketika pelecehan seksual itu terjadi. Para saksi tersebut juga mengalami stres meskipun tarafnya tidak seberat korban utama. Berat ringannya akibat yang diderita korban dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah penghayatan korban terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang dimiliki korban juga sangat menentukan penghayatan terhadap peristiwa. Oleh karena itu sikap yang ditunjukan SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual juga dapat berbeda-beda.

Menurut Dayaksini dan Hudaniah (2009), sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang.


(19)

Manisfestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Menurut Eagly & Chaiken (1993) sikap merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen. Komponen yang pertama adalah kognitif. Komponen kognitif adalah komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi dan keyakinan yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Komponen yang kedua adalah afektif. Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Dan komponen yang terakhir adalah konasi. Komponen konasi adalah kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan objek sikapnya. Berdasarkan ketiga komponen di atas, dapat dinyatakan bahwa sikap SPG pada suatu perilaku yang berkonotasi seksual merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap.

Dikarenakan sikap yang ditunjukan setiap SPG bervariasi terhadap perilaku pelecehan seksual, maka efek perilaku pelecehan seksual yang diterima oleh SPG, baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap performansi kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap psikologis berkaitan erat dengan kesehatan mental yang meliputi upaya-upaya mengatasi stres kerja, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, dan proses pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan Nielsen dan Einarsen (2012), menunjukan perilaku pelecehan seksual mempunyai kontribusi terhadap masalah kesehatan mental pada


(20)

pekerja wanita. Pekerja wanita umumnya merasakan ketidaknyamanan akan adanya perilaku pelecehan seksual pada lingkungan kerja dan akhirnya berdampak pada timbulnya masalah kesehatan mental, seperti kecemasan (anxiety) dan depresi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarsunu (2008)

bahwa efek langsung yang dialami korban pasca mendapat perilaku pelecehan seksual adalah depresi dan stres pasca trauma.

Selain itu perilaku pelecehan seksual juga dapat dinilai sebagai gangguan di lingkungan kerja yang mempengaruhi kepuasan kerja yang dimiliki seorang SPG. Menurut Hasibuan (2009), kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Maka dari itu terdapat kemungkinan bahwa pelecehan seksual juga memiliki hubungan yang signifikan dengan rendahnya kepuasan kerja pada pekerja. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen terhadap karyawan di Norwegia (2009). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perilaku pelecehan seksual memiliki hubungan yang signifikan terhadap masalah kesehatan mental dan rendahnya kepuasan kerja pada karyawan pria dan wanita. Berdasarkan informasi di atas penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada SPG.

Untuk lebih memahami sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual, penulis mengadakan penelitian pendahuluan dengan melakukan wawancara informal pada seorang SPG di Kota Bandung. Wawancara ini


(21)

berlangsung di sebuah restoran cepat saji pada bulan Oktober tahun 2011. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa SPG yang berinisial N ini pernah mengalami perilaku pelecehan seksual. Menurut pengakuan N, dirinya pernah diajak seorang pria ikut ke mobilnya saat tengah bekerja namun N menolaknya. Sejak saat itu N cenderung menghindar saat dirinya bertemu pria yang memiliki gelagat yang sama dengan pria yang sebelumnya mengajak dirinya ke dalam mobil. “Mendingan gue kabur duluan dari pada diganjenin om-om. Gue sih jutek aja pas kerja kecuali ke target penjualan gue.” kata N. N juga bercerita bahwa banyak SPG yang justru bersikap genit untuk memancing tawaran seperti itu dari pria yang dianggap kaya, seperti saat dirinya sedang jalan-jalan di mall dan kehabisan uang, teman-temannya mengajak N untuk menggoda seorang pria agar dapat makan dan berkaraoke gratis. Namun N menolak dan memutuskan pulang sedangkan teman-temannya melaksanakan niat mereka untuk makan dan berkaraoke gratis dengan om-om tersebut. Dari keterangan di atas N memiliki sikap negatif terhadap perilaku pelecehan seksual berdasarkan pengalaman yang ia miliki sehingga dalam rangka mengantisipasi terjadinya perilaku serupa, N cenderung bersikap jutek terhadap konsumen pria yang memiliki gelagat serupa dengan pria sebelumnya yang melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. Maka dari itu, penulis menjadi semakin tertarik untuk meneliti sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual.


(22)

B. IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH 1. Identifikasi Masalah

Menurut Winarsunu (2008), bagi pria identitas gender pada wanita lebih penting dari pada identitas pekerjaannya. Hal ini dapat menimbulkan resiko terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama yang mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya ketertarikan fisik pelaku terhadap korban, seperti dalam kasus ini adalah ketertarikan konsumen terhadap SPG, karena ciri khas SPG adalah memiliki performance atau penampilan fisik yang menarik sebagai salah

satu sarat utama menjadi SPG. Budiarti (2009) mengatakan bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual adalah wanita. Sehingga pekerja wanita terutama yang berprofesi sebagai SPG dituntut untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat kerjanya sendiri.

Winarsunu (2008) juga menjelaskan bahwa pelecehan seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi, dan mempengaruhi performa kerja korban. Berat ringannya akibat yang diderita korban dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah penghayatan korban terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang dimiliki korban juga sangat menentukan penghayatan terhadap peristiwa. Oleh karena itu sikap yang ditunjukan SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual juga dapat berbeda-beda. Sikap sendiri merupakan kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi


(23)

terhadap rangsang dan merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konasi (Eagly & Chaiken, 1993).

Dikarenakan sikap yang ditujukan setiap SPG bervariasi terhadap perilaku pelecehan seksual, maka efek perilaku pelecehan seksual yang diterima oleh SPG, baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap performa kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap psikologis berkaitan erat dengan kesehatan mental yang meliputi upaya-upaya mengatasi stres kerja, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, dan proses pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen (2009) perilaku pelecehan seksual memiliki hubungan yang signifikan terhadap masalah kesehatan mental dan rendahnya kepuasan kerja pada karyawan pria dan wanita. Berdasarkan informasi di atas penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada Sales

Promotion Girl (SPG).

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini berfokus pada beberapa aspek yang antara lain:


(24)

a. Bagaimanakah profil sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual?

b. Bagaimanakah profil masalah kesehatan mental yang dimiliki SPG?

c. Bagaimanakah profil kepuasan kerja SPG?

d. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada SPG?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap menghadapi pelecahan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja yang dimiliki SPG.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat pada perkembangan beberapa ilmu psikologi, antara lain dalam bidang psikologi sosial berkaitan dengan sikap yang ditunjukan Sales Promotion Girl (SPG)

dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual, dalam bidang psikologi klinis mengenai masalah kesehatan mental yang dimiliki SPG, dan dalam bidang psikologi industri tentang aspek kepuasan kerja yang dimiliki SPG.


(25)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para SPG dan instansi-instansi yang menggunakan jasa SPG dalam kegiatan promosi agar mengetahui dan memahami bentuk pelecehan seksual yang diterima SPG, sikap SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual, serta masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja yang dimiliki SPG. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat membantu SPG maupun instansi yang mempekerjakan SPG untuk dapat menyusun strategi bagaimana cara mengantisipasi dan mencegah terjadinya perilaku pelecehan seksual yang dilakukan pelanggan terhadap SPG, mengatasi masalah kesehatan mental yang dimiliki SPG, dan meningkatkan kepuasan kerja SPG terhadap profesinya.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Bandung. 2. Sampel Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek penelitian yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Karakteristik tersebut dapat berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan wilayah tempat tinggal. Sedangkan subjek penelitan dapat merupakan sekelompok penduduk di suatu desa, sekolah, atau yang menempati wilayah tertentu (Latipun, 2010).

Berdasarkan ukurannya, populasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu populasi terhingga dan populasi tak terhingga (Sudjana, 2005). Populasi terhingga adalah populasi yang jumlah subjek di dalamnya diketahui dengan pasti dan jumlahnya relatif sedikit. Populasi tak terhingga ialah populasi yang berisikan jumlah subjek yang tak terhingga karena jumlahnya relatif sangat besar atau populasi yang jumlah subjek di dalamnya sulit ditentukan dengan pasti. Ukuran populasi juga dapat mempengaruhi sistem pengambilan sampling. Jika jumlah subjek dalam populasi terhingga umumnya dapat digunakan


(27)

proses penelitian. Namun jika jumlah subjek dalam populasi tidak terhingga maka dilakukanlah sistem sampling. Sistem sampling adalah sistem pengambilan sebagian dari populasi atau dapat disebut dengan sampel yang kemudian dilibatkan dalam proses penelitan.

Subjek penelitian yang menjadi sampel seharusnya bersifat representatif atas populasinya. Hakikat kerepresentatifan sampel secara teoritis dapat dipahami sebagai karakteristik sampel yang identik dengan populasi. Dalam kenyataannya tidak akan pernah dijumpai kondisi sampel yang identik dengan populasi, maka dari itu biasanya kerepresentatifan ditafsirkan sebagai kecenderungan mendekati keadaan yang identik. Kerepresentatifan sampel dapat dipengaruhi oleh tingkat homogenitas populasi, yaitu populasi yang disusun oleh subjek-subjek yang memiliki karakteristik yang relatif sama. Serta semakin besar jumlah sampel yang dipilih, semakin besar pula derajat kerepresentatifan sampel penelitian (Latipun, 2010).

Dalam menetapkan sampel terdapat berbagai jenis teknik yang dapat digunakan dan pemilihan teknik tersebut disesuaikan dengan keadaan populasi yang akan diteliti. Pada penelitian ini populasi penelitian adalah Sales Promotion Girl di Kota Bandung dan karena

jumlah populasinya sulit ditentukan maka tergolong kategori populasi tak terhingga. Teknik pengambilan sampel yang dapat digunakan kepada populasi tak terhingga yang jumlah populasinya sulit ditentukan ialah teknik sampling seadanya (Sudjana, 2005). Teknik ini tidak


(28)

menyertakan perhitungan apapun mengenai derajat kerepresentatifan sampel. Sehingga untuk meningkatkan derajat kerepresentatifan sampel, jumlah sampel penelitian harus cukup besar yaitu sedikitnya 100 orang.

B. METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan, meramalkan, dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus dari data numerik. Dengan kata lain pendekatan ini menjelaskan penyebab fenomena sosial melalui pengukuran objektif dan analisis numerikal (Moleong, 2010). Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasional. Metode ini bertujuan untuk mengetahui seberapa kuat derajat hubungan antara variabel-variabel penelitian (Sudjana, 2005). Dengan demikian pada penelitian ini yang dicari adalah hubungan antara sikap terhadap perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada Sales Promotion Girl.

C. VARIABEL PENELITIAN

Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu satu variabel

independent dan dua variabel dependent. Perinciannya sebagai berikut:


(29)

Dependent Variabel : masalah kesehatan mental

kepuasan kerja

Adapun paradigma dari tiga ketiga variabel di atas akan digambarkan dalam bagan di bawah ini.

r1

r2

Bagan III.C. Variabel Penelitian

Keterangan:

X : variabel independent (sikap menghadapi perilaku pelecehan

seksual)

Y1 : variabel dependent 1 (masalah kesehatan mental)

Y2 : variabel dependent 2 (kepuasan kerja)

r1 : korelasi 1

r2 : korelasi 2

D. DEFINISI KONSEPTUAL DAN OPERATIONAL

1. Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang akan dicaritahu hubungan antara ketiganya, yaitu sikap menghadapi perilaku pelecehan

X

Y

2

Y

1


(30)

seksual, masalah kesehatan mental, dan kepuasan kerja. Adapun definisi konseptual dari variabel-variabel di atas antara lain:

a. Sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual adalah kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang objek sikap yaitu perilaku pelecehan seksual. Sikap individu pada suatu objek sikap merupakan manifestasi dari konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap (Eagly & Chaiken, 1993).

1) Komponen kognitif tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang objek sikap tersebut.

2) Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang, sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai-nilai yang dimilikinya.

3) Komponen konasi ialah kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan objek sikapnya.

b. Masalah kesehatan mental merupakan gangguan psikologis yang terdiri atas simptom depression (depresi), simptom anxiety

(kecemasan) dan simptom somatization (somatisasi) secara umum


(31)

c. Kepuasan kerja karyawan dapat diukur melalui sikap karyawan terhadap pekerjaannya yaitu hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak suka tenaga kerja terhadap berbagai aspek pekerjaannya (Brayfield & Rothe, dalam Nielsen dkk, 2009).

2. Definisi Operational

Sedangkan definisi operational yang merupakan turunan dari definisi konseptual dan merupakan acuan dalam penyusunan instrumen dari ketiga variabel yang diteliti yaitu:

a. Sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual mengukur kecenderungan SPG untuk berperilaku terhadap pelecehan seksual. Jika skor sikap tinggi maka individu memiliki sikap yang positif terhadap perilaku pelecehan seksual, sedangkan jika skornya rendah maka individu memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku pelecehan seksual.

1) Komponen kognitif mengukur bagaimana individu memaknai dan menilai suatu perilaku sebagai pelecehan seksual terhadap dirinya. Semakin tinggi skor yang didapat, semakin positif pemaknaan individu terhadap perilaku pelecehan seksual. 2) Komponen afektif mengukur bagaimana perasaan individu

terhadap perilaku pelecehan seksual, apakah perasaan tersebut bersifat positif atau negatif. Semakin tinggi skor yang didapat,


(32)

semakin positif penilaian individu terhadap perilaku pelecehan seksual.

3) Komponen konasi mengukur kesiapan individu menghadapi subjek pelaku pelecehan seksual. Semakin tinggi skor yang didapat, semakin tinggi kecenderungan individu mendekati subjek, dan semakin rendah skor yang didapat, semakin tinggi kecenderungan individu untuk menolak atau menghindari subjek pelaku pelecehan seksual.

b. Masalah kesehatan mental mengukur apakah individu dapat dikatakan memiliki mental yang sehat atau tidak. Individu dapat dikatakan memiliki masalah kesehatan mental berkaitan dengan perilaku pelecehan seksual yang dihadapi jika rata-rata skor yang

didapat ≥ 1,75.

c. Kepuasan kerja dalam penelitian ini hanya mengacu pada persepsi SPG terhadap pekerjaannya. Semakin tinggi nilai SPG maka semakin tinggi nilai kepuasan kerjanya.

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang digunakan oleh peneliti dalam rangka mempermudah kegiatan pengumpulan data sehingga hasilnya lebih sistematis (Arikunto, 2006). Pada penelitian kuantitatif instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data layaknya alat tes (Moleong, 2010). Dikarenakan pada penelitian ini terdapat tiga


(33)

variabel, maka terdapat pula tiga alat ukur atau instrumen. Instrumen yang pertama bertujuan untuk mengukur sikap terhadap perilaku pelecehan seksual dirancang oleh peneliti berdasarkan teori sikap menurut Eagly & Chaiken (1993). Menurut teori tersebut sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang objek sikap yaitu perilaku pelecehan seksual dan terdiri atas tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konasi.

Instrumen yang kedua merupakan adaptasi dari The Hopkins Symptom

Checklist versi 25 item (HSCL-25) guna mengukur masalah kesehatan

mental. HSCL-25 merupakan versi kecil dari HSCL yang terdiri dari 58 item dengan lima dimensi, sedangkan HSCL-25 terdiri dari tiga dimensi yaitu depression (depresi), anxiety (kecemasan) dan somatization

(somatisasi). Item-item dalam HSCL disusun berdasarkan penilaian ahli klinis yaitu Rickels dan Uhlenhuth dimana keduanya telah berpengalaman dalam menangani berbagai masalah klinis sehingga memenuhi kualifikasi untuk menyusun alat ukur masalah kesehatan mental. Selain itu HSCL juga telah melalui proses analisis faktor dengan rotasi orthogonal dan oblique

terhadap 1.115 pasien anxiety. HSCL memiliki empat pilihan jawaban yaitu

tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan sering kali, serta keempatnya diberi nilai 1 sampai dengan 4 (Derogatis, 2001). Penggunaan HSCL-25 pada penelitian ini didasari oleh penelitian terdahulu yaitu yang dilakukan oleh Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen (2009) yang menunjukan bahwa HSCL-25 mampu mengukur masalah kesehatan mental yang


(34)

diakibatkan pengalaman mendapat perilaku pelecehan seksual pada lingkungan pekerjaan. Nilai reliabilitas HSCL-25 diukur melalui Cronbach

Alpha dan 9735 partisipan menunjukan nilai 0,93 yang berarti sangat

reliabel. Serta berdasarkan hasil uji coba instrumen tersebut ditentukan nilai batas minimum individu dapat dikategorikan memiliki masalah kesehatan mental ialah 1,75 (Strand, 2002).

Instrumen yang ketiga juga merupakan adaptasi dari The Job

Satisfaction Scale-Short Version ciptaan Brayfield & Rothe (dalam Nielsen,

2009). Alat ukur ini terdiri atas lima item dan dua diantaranya adalah item

unfavorable, serta lima pilihan jawaban. Nilai reliabilitas instrumen diukur

melalui Cronbach Alpha ialah 0,81 yang berarti reliabel.

F. PROSES PENGEMBANGAN INSTRUMEN

Proses pengembangan instrumen terdiri atas beberapa tahap, antara lain (Ihsan, 2009):

1. Menyusun definisi konseptual dan operational

Definisi konseptual adalah definisi konstruk yang akan diukur untuk membedakan konsep satu perilaku dengan perilaku yang lain. Definisi ini diperoleh dari kajian pustaka atau teori-teori yang telah dikembangkan agar penyusunan konsep pengukuran masih dalam koridor ilmiah.

Definisi operasional adalah yang menjembatani antara suatu definisi konseptual dengan teknik dan prosedur pengukuran. Definisi ini


(35)

adalah indikator-indikator perilaku yang bisa diukur secara empiris. Definisi operasional dapat ditampilkan dalam bentuk blue print.

2. Konstruksi item

Konstruksi item adalah menyusun pernyataan-pernyataan yang mencerminkan indikator perilaku. Jumlah item awal yang dibuat minimal dua kali lipat dari jumlah target indikator perilaku untuk menghindari adanya indikator yang tidak terwakili dalam kumpulan item final. Pernyataan yang disusun adalah pernyataan yang favorabel

dan unfavorabel. Pernyataan favorabel adalah pernyataan yang

mencerminkan perilaku yang menunjukan kecenderungan terhadap perilaku tersebut. Sedangkan pernyataan unfavorabel adalah

pernyataan yang mencerminkan perilaku yang tidak menunjukan kecenderungan terhadap perilaku tersebut. Adapun rancangan item dari tiap instrumen antara lain:

a. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

NO INDIKATOR ITEM

1 Kognitif 11 item, dari item 1 sampai dengan 11. 2 Afektif 10 item, dari item 12 sampai dengan 21. 3 Konasi 11 item, dari item 22 sampai dengan 32.

Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

b. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

NO INDIKATOR ITEM

1 Depression

(Depresi)

12 item, item no 44, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56 dan 57.

2 Anxiety

(Kecemasan)

9 item, item no 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 48 dan 53.

3 Somatization

(Somatisasi)


(36)

c. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short

Version)

NO INDIKATOR ITEM

1 Kepuasan Kerja

(Job Satisfaction)

5 item, dari item 58 sampai dengan 62

Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short

Version)

Untuk lebih jelasnya blue print dari setiap instrumen disertakan pada

lampiran.

3. Mencari validitas isi melalui proses professional judgement dari

sedikitnya dua orang pakar di bidang yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan (Suryabrata, 2005). Dalam penelitian ini pakar yang memberikan judgement pada ketiga instrumen adalah Diah

Zaleha W., S.Psi., M.Si. dan Medianta Tarigan, M.Psi. Adapun pernyataan hasil judgement dapat dilihat di lampiran.

4. Pemilihan Item

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memilih item final, yaitu Critical Ratio (korelasi internal), Corrected Item Total

Correlation (korelasi item total terkoreksi), Discriminatory Power

(daya beda), rata-rata korelasi antar item, dan Unrotated Factor 1.

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Corrected Item

Total Correlation. Metode ini bertujuan untuk mencari korelasi antara

skor item dengan skor total dari sisa item lainnya. Item yang dipilih

menjadi item final adalah item yang memiliki korelasi item total ≤


(37)

instrumen sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual menunjukan bahwa item 7, 8, 11, 23, 24, 25, 29, 31, dan 32 memiliki korelasi item total terkoreksi di bawah 0,30 sehingga item tersebut tidak dapat digunakan sebagai item final. Maka dari itu item final yang tersisa setelah dipotong item diatas yang korelasinya di bawah 0,30 terdiri atas 23 item dan kemudian urutan nomornya akan disesuaikan.

5. Uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha .

Reliabilitas tes adalah sejauh mana hasil suatu tes dapat dipercaya. Sebuah tes dapat dikatakan reliabel atau dipercaya jika memberikan hasil yang sama dalam atribut diukur yang didapat dari pengukuran, peserta, dan tes yang sama. Menurut Azwar (1999) reliabilitas mengacu kepada keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh faktor eror daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Dalam aplikasinya,

reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya

berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitasnya. Salah satu teknik pengukuran reliabilitas tes ialah dengan menggunakan Cronbach


(38)

Alpha. Adapun hasil dari reliabilitas dari ketiga instrumen sebagai

berikut:

a. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

.857 23

Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan

Seksual

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas

dari instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual yaitu 0,857. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen ini dapat dipercaya (reliabel) karena mendekati 1,00.

b. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

.806 25

Tabel III.F.5. Reliabilitas Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas

dari instrumen Masalah Kesehatan Mental yaitu 0,806. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen ini dapat dipercaya (reliabel) karena mendekati 1,00.


(39)

c. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short

Version)

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.665 5

Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction

Scale-Short Version)

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas

dari instrumen Kepuasan Kerja yaitu 0,665. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen ini cukup dapat dipercaya (reliabel) karena mendekati 1,00.

6. Uji validitas konstuk melalui analisis faktor eksploratori.

Hanya instrument Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual saja yang menjalani proses ini, karena kedua instrumen lainnya merupakan instrumen adaptasi yang telah melalui analisis faktor sebelumnya dan telah diketahui nilai reliabilitas dan validitas isinya.

Analisis faktor eksploratori memiliki dua kegunaan berkaitan dengan tujuan-tujuan analisis. Yang pertama adalah tujuan eksploratori (goals

of exploratory) yaitu memberikan penjelasan-penjelasan dan

mengidentifikasi dimensi-dimensi sebagaimana yang dinilai oleh instrumen pengukuran. Kegunaan yang kedua ialah reduksi data (data

reduction) yaitu mengidentifikasi item-item dari sebuah susunan


(40)

dalam jumlah yang lebih sedikit. Analisis faktor berkaitan erat dengan validitas sehingga penting sekali untuk dilakukan dalam rangka mengetahui sejauh mana hasil analisis faktor sesuai dengan rancangan instumen yang dibuat (Ihsan, 2009). Adapun tahapan-tahapan dalam analisis faktor eksploratori antara lain:

a. Memilih dimensi yang layak untuk dianalisis dengan menggunakan metode KMO MSA (Keiser Meyer Olkin Measure of Sampling

Adequacy), Bartlets Test, dan Anti Image Correlation.

Dalam menentukan kelayakan dimensi, Bartlets Test menggunakan hipotesis sebagai berikut:

Hₒ = dimensi belum layak untuk dianalisis faktor Hᵢ = dimensi layak untuk dianalisis faktor

Dengan ketentuan:

Angka signifikansi < 0,05 : Hₒ ditolak Angka signifikansi > 0,05 : Hₒ diterima

Sedangkan angka KMO MSA berkisar antara 0 s/d 1. Adapun kriteria kelakayan dimensi menurut Gebotys (dalam Ihsan, 2009) sebagai berikut.

KATEGORISASI NILAI KMO

Nilai KMO Derajat Varian Umum

0,90 s/d 1,00 Bagus Sekali 0,80 s/d 0,89 Bagus

0,70 s/d 0,79 Cukup Bagus 0,60 s/d 0,69 Cukup


(41)

0,50 s/d 0,59 Jelek

0,00 s/d 0,49 Jangan dianalis faktor

Tabel III.F.7. Kategorisasi Nilai KMO

Kemudian untuk menentukan kelayakan item untuk dianalis faktor pada matriks Anti Image Correlation, item yang memiliki korelasi

anti image ≥ 0,5 dapat dianalisis faktor, sedangkan yang memiliki korelasi < 0,5 harus dibuang dan dilakukan uji KMO MSA ulang. Pada penelitian ini dikarenakan jumlah item final cukup banyak yaitu 23 item, maka proses penilaian kelayakan variabel dilakukan per-dimensi (Ihsan, 2009).

1) Kognitif

Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 8 item pada dimensi ini adalah 0,678 yang berarti termasuk kategori cukup layak untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi Bartlett's

Test of Sphericity ialah 0,00 yang berarti layak untuk dianalisis

faktor. Dan untuk Anti Image Correlation Matrixes dapat

dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor. 2) Afektif

Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 10 item pada dimensi ini adalah 0,700 yang berarti termasuk kategori cukup bagus untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi


(42)

dapat dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor.

3) Konasi

Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 5 item pada dimensi ini adalah 0,707 yang berarti termasuk kategori cukup bagus untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi Bartlett's

Test of Sphericity ialah 0,00 yang berarti layak untuk dianalisis

faktor. Dan untuk Anti Image Correlation Matrixes dapat

dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor. b. Ekstraksi faktor dan rotasi faktor

1) Reduksi Data

Mereduksi data ialah mempersempit atau menyederhanakan jumlah item menjadi lebih sedikit. Dengan kata lain meringkas kebanyakan informasi asli (varian) dalam sebuah jumlah

minimum faktor untuk tujuan prediksi.

a) Ekstraksi faktor menggunakan Principal Component

Analysis. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah

faktor. Principal Component Analysis menganalisis

matriks korelasi antara item yang diukur dengan nilai 1,0 dari diagonal utama. Maka component analysis adalah


(43)

diukur (total variances). Jika muatan faktor lebih besar

dari 0,600 maka analisis faktor dianggap reliabel (Ihsan, 2009).

1) Kognitif

Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa indikator ini hanya memiliki tiga faktor. Item 1, 2, 4, 5, 6, dan 7 memiliki muatan faktor lebih besar sama dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item 8 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor kedua. Sedangkan item 3 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun kurang reliabel.

2) Afektif

Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa indikator ini hanya memiliki empat faktor. Item 11 dan 14 memiliki muatan faktor lebih besar sama dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item 9 dan 17 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor kedua. Sedangkan item 10, 13, 15, dan 18 memiliki muatan faktor kurang dari


(44)

0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun kurang reliabel. Begitu pula dengan item 16 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor kedua namun kurang reliabel dan item 12 yang juga memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor ketiga namun kurang reliabel.

3) Konasi

Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa indikator ini hanya memiliki satu faktor. Item 21, 22 dan 23 memiliki muatan faktor lebih besar sama dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Sedangkan item 19 dan 20 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun kurang reliabel.

b) Rotasi faktor menggunakan Varimax. Metode Varimax

termasuk jenis rotasi Orthogonal yaitu rotasi yang

bertujuan untuk menjaga faktor-faktor agar tidak berkorelasi. Biasanya terjadi perubahan pada muatan faktor setelah dirotasi yaitu menjadi cenderung lebih besar di salah satu faktor saja (Ihsan, 2009).


(45)

1) Kognitif

Setelah dilakukan rotasi terjadi perubahan besaran muatan faktor pada seluruh item. Item 3, 5, dan 6 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item 1 dan 4 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor kedua. Item 8 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor ketiga. Sedangkan item 2 dan 7 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor ketiga namun kurang reliabel.

2) Afektif

Setelah dilakukan rotasi terjadi perubahan besaran muatan faktor pada seluruh item. Item 11, 13, dan 18 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item 9 dan 17 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor kedua. Item 12 dan 14 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor ketiga. Serta item 10 memiliki muatan


(46)

faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor keempat. Sedangkan item 16 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor kedua namun kurang reliabel dan item 15 juga memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor keempat namun kurang reliabel.

3) Konasi

Dikarenakan dimensi ini hanya memiliki satu faktor, sehingga proses rotasi tidak dapat dilakukan.

2) Penamaan faktor dan kemudian hasilnya ditampilkan dalam bentuk blue print yang baru. Penamaan faktor perlu dilakukan

terhadap hasil pengelompokan muatan faktor pada faktor-faktor untuk menandai bahwa faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor laten (tersembunyi) yang mempengaruhi sebuah kontruk tes. Intepretasi faktor hanya dilakukan terhadap faktor-faktor yang meyakinkan saja (reliabel) atau yang muatannya tinggi. Faktor akan diberi nama tergantung pada muatan faktor tertinggi yang dimiliki oleh dimensi. Sebuah faktor dapat memiliki muatan faktor lebih dari satu. Nama-nama item yang muatan tertingginya masuk ke dalam faktor menjadi dasar penamaan


(47)

faktor (Ihsan, 2009). Adapun untuk blue print baru akan

disertakan dalam lampiran. 3) Eksploratori

Menurut Hair, Anderson, Tatham, dan Black (dalam Ihsan, 2009) eksploratori adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berdampak pada variabel apa yang menyebar pada varian umum. Dengan kata lain asumsi atas komunalitas dari faktor yang diukur atau varian dalam pengukuran ditampilkan oleh prosedur.

a) Ekstraksi faktor menggunakan pendekatan Common

Factor Analysis dengan metode ekstraksi Unweigthed

Least Square. Common Factor Analysis berfungsi

menganalisis matriks korelasi antara faktor yang diukur dengan estimasi komunalitas pada diagonal utama. Dengan menganalisis matriks tereduksi, Common Factor

Analysis hanya berusaha menghadirkan varian umum

variabel yang terdiri atas faktor tampak dan faktor laten (tersembunyi) untuk membantu konseptualisasi. Muatan faktor hasil proses ekstraksi dianggap reliabel jika lebih besar dari 0,600 (Ihsan, 2009).

Hasil dari ekstraksi di atas menunjukan faktor 1 dan 8 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel dan masuk ke dalam kelompok faktor


(48)

pertama. Sedangkan faktor 2, 3, 4, 5, dan 6 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam kelompok faktor pertama namun kurang reliabel. Dan faktor 7 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam kelompok faktor kedua namun kurang reliabel.

b) Rotasi faktor menggunakan Oblique. Metode ini terbuka

untuk faktor berkorelasi sehingga lebih realistis dan lebih akurat dalam pengelompokan faktor. Hal ini dikarenakan poros setiap faktor terotasi dan menjadi lebih mendekati kepada kelompok faktor yang representatif, serta memberikan informasi mengenai sejauhmana faktor-faktor berkorelasi satu sama lain (Ihsan, 2009).

Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat bahwa faktor 1, 2, dan 8 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti faktor tersebut memiliki korelasi positif yang kuat terhadap kelompok faktor pertama. Sedangkan faktor 3 dan 5 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang menunjukan adanya korelasi positif antara faktor tersebut dengan kelompok faktor pertama namun kurang begitu kuat. Faktor 4 dan 7 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti memiliki korelasi positif yang


(49)

kuat terhadap kelompok faktor kedua. Sedangkan faktor 6 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang menunjukan adanya korelasi positif antara faktor tersebut dengan kelompok faktor kedua namun kurang begitu kuat.

7. Norma instrumen

Adapun norma dari tiap instrumen guna memudahkan kelak dalam analisis data antara lain sebagai berikut:

a. Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Norma pada instrumen ini disusun berdasarkan norma kelompok.

Norma Kategori Keterangan

63,91 < x ≤ 115,00 Sangat Positif SPG memiliki sikap sangat positif terhadap perilaku pelecehan seksual, sangat menyukai pelecehan

yang diterima, dan cenderung aktif memancing pelaku untuk melakukan pelecehan pada dirinya,

sehingga perilaku tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelecehan

seksual.

54,16 < x ≤ 63,90 Positif SPG memiliki sikap positif terhadap perilaku pelecehan seksual, menyukai pelecehan yang diterima, dan cenderung mendekati pelaku pelecehan pelecehan pada dirinya, sehingga perilaku tersebut

tidak dapat dikatakan sebagai pelecehan seksual.

44,42 < x ≤ 54,15 Netral SPG memiliki sikap netral terhadap perilaku pelecehan seksual karena

dianggap sebagai hal yang sering kali terjadi pada SPG dan merupakan bagian dari resiko kerja


(50)

bekerja sebagai SPG.

34,68 < x ≤ 44,41 Negatif SPG memiliki sikap negatif terhadap perilaku pelecehan seksual, tidak menyukai dan merasa

terganggu dengan pelecehan yang diterima.

23,00 ≤x ≤ 34,67 Sangat Negatif

SPG memiliki sikap sangat negatif terhadap perilaku pelecehan

seksual, membenci dan mengganggap pelecehan yang diterima sebagai perilaku yang membahayakan dirinya sehingga

menghindari pelaku pelecehan seksual.

Tabel III.F.8. Norma Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

1) Kognitif

Norma Kategori Keterangan

23,66 < x ≤ 40,00 Sangat Positif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sangat positif

dan menguntungkan SPG sehingga perilaku tersebut tidak lagi dapat

dikatakan sebagai pelecehan.

19,52 < x ≤ 23,65 Positif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang positif dan

tidak merugikan SPG sehingga perilaku tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai pelecehan bagi

SPG.

15,38 < x ≤ 19,51 Netral Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sering kali terjadi dalam lingkungan kerja SPG

dan telah menjadi bagian dari resiko kerja yang telah dipahami

SPG ketika memutuskan untuk bekerja sebagai SPG.

11,24 < x ≤ 15,37 Negatif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang negatif dan


(51)

8,00 ≤x ≤ 11, 23 Sangat Negatif

Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sangat negatif dan membahayakan

keselamatan SPG.

Tabel III.F.9. Norma Komponen Kognitif

2) Afektif

Norma Kategori Keterangan

28,91 < x ≤ 50,00 Sangat Positif SPG sangat menyukai adanya perilaku pelecehan seksual di

lingkungan kerjanya dan mengharapkan dirinya mendapat

perilaku tersebut.

24,01 < x ≤ 28,90 Positif SPG menyukai perilaku pelecehan seksual yang dirinya terima.

19,10 < x ≤ 24,00 Netral SPG tidak keberatan mendapat perilaku pelecehan seksual.

14,20 < x ≤ 19,09 Negatif SPG tidak menyukai perilaku pelecehan seksual yang dirinya

terima.

10,00 ≤ x ≤ 14,19 Sangat Negatif

SPG membenci perilaku pelecehan seksual yang dirinya terima dan

menunjukan penolakan tegas terhadap perilaku pelecehan

seksual.

Tabel III.F.10. Norma Komponen Afektif

3) Konasi

Norma Kategori Keterangan

14,33 < x ≤ 25,00 Aktif Mendekati

SPG mendekati pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan seksual dan cenderung memancing

pelanggan untuk melakukan pelecehan seksual pada dirinya

11,64 < x ≤ 14,32 Mendekati SPG mendekati pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan


(52)

8,95 < x ≤ 11,63 Mengabaikan SPG melakukan promosi dengan intensitas yang sama pada setiap pelanggan baik pelanggan tersebut

melakukan pelecehan seksual maupun tidak.

6,25 < x ≤ 8,94 Menghindari SPG menghindari pelanggan yang melakukan pelecehan seksual pada

dirinya.

5,00 ≤x ≤ 6,24 Sangat Menghindari

SPG sangat menghindari pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan seksual pada dirinya.

Tabel III.F.11. Norma Komponen Konasi

b. Masalah Kesehatan Mental

Norma pada instrumen ini telah ditentukan yaitu individu memiliki

masalah kesehatan mental jika memiliki skor ≥ 1,75.

c. Kepuasan Kerja

Norma pada instrumen ini disusun oleh peneliti berdasarkan norma ideal yaitu:

Norma Kategori

21,00 < x ≤ 25,00 Sangat Tinggi 17,00 < x ≤ 20,00 Tinggi 13,00 < x ≤ 16,00 Sedang 9,00 < x ≤ 12,00 Rendah

5,00 ≤x ≤ 8,00 Sangat Rendah

Tabel III.F.12. Norma Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction


(53)

G. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ialah dengan menggunakan instrumen untuk mengukur tiga varibel yang diteliti dan kemudian disebarkan kepada subjek penelitian yaitu Sales Promotion Girl

sejumlah 103 orang.

H. TEKNIK ANALISIS DATA

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada SPG, teknik statistik yang digunakan tergantung hasil uji normalitas data. Jika hasil uji normalitas data menunjukan hasil sebaran data normal maka digunakan Pearson’s

Correlation Coefficient, dan jika hasil sebaran data tidak normal maka

digunakan Spearman’s Roe. Pearson’s Correlation Coefficient adalah parametrik statistik yang digunakan untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih yang memiliki distribusi data normal, sedangkan

Spearman’s Roe adalah non parametrik statistik yang digunakan untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih yang memiliki distribusi data tidak normal (Field, 2000). Hasil yang diperoleh dari perhitungan kedua teknik statistik tersebut berupa koefisien korelasi antar variabel. Koefisien korelasi adalah pengukuran statistik yang digunakan untuk melihat kekuatan hubungan linear dan arah hubungan antara dua variabel atau lebih dengan besaran koefisien korelasi berkisar antara +1 s/d -1


(54)

(Sarwono, 2009). Berikut adalah kriteria yang digunakan untuk melakukan interpretasi hasil koefisien korelasi:

Interval koefisien Tingkat Hubungan

1,00 Korelasi sempurna

>0,75 – 0,99 Korelasi sangat kuat

>0,50 – 0,75 Korelasi kuat

>0,25 – 0,50 Korelasi lemah

>0,00– 0,25 Korelasi sangat lemah

0,00 Tidak ada korelasi

(Sarwono, 2000)


(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Pada penelitian ini ditemukan beberapa informasi yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebagian besar SPG memiliki sikap netral terhadap perilaku pelecehan seksual. Netral disini memiliki pengertian bahwa SPG menganggap perilaku pelecehan seksual merupakan hal yang sering kali terjadi pada dirinya dan merupakan bagian dari resiko kerja yang harus dihadapi jika tetap ingin bekerja sebagai SPG.

2. Sebagian besar SPG tidak mengalami masalah kesehatan mental, namun memiliki simptom somatisasi. Hal ini dikarenakan simptom somatisasi yang ditunjukan oleh hampir setengah dari sampel SPG yang diteliti sebenarnya merupakan gangguan fisik semata yang disebabkan kelelahan fisik, bukan merupakan masalah kesehatan mental karena tidak didasari anxiety tanpa adanya landasan penyakit organis meskipun

ciri fisiknya sama dengan gangguan somatisasi.

3. Tingkat kepuasan kerja yang dimiliki SPG relatif tinggi. Hal ini dikarenakan penilaian atau persepsi SPG terhadap pekerjaannya cenderung positif. SPG menilai bahwa profesinya saat ini dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, beban kerja yang diemban


(56)

pembawaan SPG itu sendiri, dan dapat memenuhi dorongan SPG untuk mengaktualisasikan dirinya.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. Hal ini disebabkan fungsi sikap sebagai bentuk pemahaman mereka terhadap perilaku pelecehan seksual dalam rangka penyesuaian sosial sekaligus cara mereka mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki serta bentuk pertahanan diri, sehingga sikap tersebut tidak dapat menentukan apakah SPG akan memiliki masalah kesehatan mental atau tidak. Sikap positif SPG terhadap perilaku pelecehan seksual tidak menjamin SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental, begitu pula sikap negatif tidak menentukan SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental. 5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi

perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, antara lain gaji, lingkungan kerja, dan beban kerja.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mencoba memberikan saran kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Kepada SPG dan calon SPG diharapkan mengetahui dan memahami apa saja tugas, kewajiban, beban kerja, dan resiko yang akan dihadapi


(57)

saat bekerja sebagai SPG, termasuk perilaku pelecehan seksual yang mungkin dapat diterima SPG di lingkungan kerja terutama dari pelanggan pria. Dengan mengetahui resiko yang akan dihadapi, SPG dan calon SPG akan lebih siap dalam menghadapi pelanggan dan mampu mencegah atau menghindari perilaku pelecehan seksual tersebut. Sehingga SPG dan calon SPG dapat terhindar dari efek-efek negatif yang dapat ditimbulkan dari perilaku pelecehan seksual baik secara fisik, psikis seperti depresi dan stres pasca trauma, serta dapat pula mempengaruhi performa kerja SPG. Selain itu kepada SPG yang memiliki gangguan fisik karena kelelahan saat bekerja agar lebih menjaga kesehatannya dan dapat mempertimbangkan kembali apakah ketahanan fisik yang dimiliki masing-masing SPG tersebut sesuai dengan syarat minimal yang dibutuhkan SPG dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jika ternyata tidak sesuai, SPG tersebut disarankan untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Karena jika terus dipaksakan kesehatan para SPG tersebut akan semakin memburuk dan dapat berakibat fatal.

2. Kepada instansi atau perusahaan yang menggunakan jasa SPG maupun kepada agensi SPG diharapkan memberikan informasi, pengetahuan, dan pelatihan berkaitan dengan berbagai aspek yang akan dihadapi SPG di lingkungan kerjanya, termasuk bagaimana cara SPG menghadapi pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan seksual, serta perlunya pengawasan yang menyeluruh kepada SPG di lingkungan kerjanya


(58)

dalam rangka menjaga kesehatan dan keselamatan kerja SPG. Hal ini dapat mencegah terjadinya perilaku pelecehan seksual kepada SPG sekaligus menanamkan pemahaman kepada SPG bahwa perilaku pelecehan seksual merupakan perilaku negatif yang tidak boleh dibiarkan sampai menimpa diri SPG.

3. Dan kepada peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian serupa guna menggunakan pendekatan mix methode,

sehingga terdapat pendekatan kualitatif untuk memperdalam hasil penelitian dan mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual serta bagaimana pengaruh sikap tersebut terhadap kesehatan mental dan kepuasan kerja SPG. Peneliti selanjutnya juga diharapkan untuk memperluas populasi SPG yang diteliti tidak hanya di kota Bandung dan menambah jumlah sampel sehingga hasil penelitian lebih representatif dan peneliti dapat membandingkan hasil yang didapat dari tiap daerah yang berbeda untuk melihat apakah faktor geografis, budaya dan berbagai faktor lainnya dapat mempengaruhi hasil penelitian.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (1999). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, R. A. & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial Jilid Satu. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga.

Budiarti, I. (2009). Stop Sexual Harassment. [Online]. Tersedia: http://unionism. wordpress.com/2009/02/06/stop-sexual-harassment-and-violence-at-work/ (9 Maret 2011).

Dayaksini, T. & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Dharma, W. S. (2009). Pelecehan Seksual Pada Wanita di Tempat Kerja. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. [Online]. Tersedia: http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/Atik el_10503203.pdf (23 Februari 2011).

Derogatis, L. R., Lipman, R. S., Rickels, K., Uhlenhuth, E. H., & Covi, L. (2001).

The Hopkins Symptom Checklist (HSCL): A Self-Report Symptom Inventory. Behavioral Science. USA: American Psychiatrics Press.

Eagly, A. H. & Chaiken, S. (1993). The Psychological of Attitudes. Florida: HBJ.

Field, A. (2000). Discovering Statistic Using SPSS for Windows. London: SAGE Publications Ltd.

Fitriana, E. (2008). Pengaruh Gaya Busana Sales Promotions Girl Rokok Amild Terhadap Pengambilan Keputusan Membeli Produk (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang).

Undergraduate Thesis, University of Muhammadiyah Malang.

G12. (2005). Ditahan, Diduga Terlibat Pelecehan Terhadap Seorang SPG. [Online]. Tersedia: http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/25/pan04 .htm (9 Maret 2011).


(60)

Hadi, M. S. (2010). Tren Pelecehan Di Tempat Kerja Meningkat. [Online]. Tersedia: http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/23/brk,201011 23-293940,id.html (23 Februari 2011).

Hariandja, M. T. E. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Grasindo.

Hasibuan, M. S. P. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Ihsan, H. (2009). Metode Skala Psikologi. Diktat Perkuliahan Pada Jurusan Psikologi FIP UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kampung, J. (2011). Apa dan Tugas Sales Promotion Girl. [Online]. Tersedia:

http://jawarakampung.blogspot.com/2011/06/apa-dan-tugas-sales-promotion-girls.html (21 Juni 2011).

Latipun. (2010). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.

Mathis, R. L. & Jackson, J. H. (2001). Managemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Salemba Emban Patria.

Matlin, R. (1987). Psychology of Life Span. 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Inc.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press.

Nielsen, M. B., Bjørkelo, B., Notelaers, G. & Einarsen, S. (2009). Sexual Harassment: Prevalence, Outcomes, and Gender Differences Assessed by Three Different Estimation Methods. Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma. UK: Routledge Taylor & Francis Group, LLC.

Nielsen, M. B. & Einarsen, S. (2012). Prospective Relationships Between Workplace Sexual Harassment and Psychological Distress. UK: Oxford University Press.


(61)

Putra, R. A. W. (2007). Hubungan Antara Sikap Terhadap Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja Dengan Keterlibatan Kerja Pada SPG. Undergraduate Thesis, University of Muhammadiyah Malang.

Reksoatmodjo, T. N. (2007). Statistika Untuk Psikologi dan Pendidikan. Bandung: Refika Aditama

Sarwono, J. Statistik Itu Mudah: Panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Strand, B. H., Dalgard, O. S., Tambs, K. & Rognerud, M. (2002). Measuring The Mental Health Status of The Norwegian Population: A Comparison of The Instruments SCL-25, SCL-10, SCL-5 and MHI-5 (SF-36). UK: Routledge Taylor & Francis Group, LLC.

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Suranto, A. & Subandi, A. (1998). Wanita yang Menentang Kodrat. Jakarta: Erlangga.

Suryabrata, S. (2005). Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Suyono, H. (2008). Pengantar Psikologi Sosial 1 – Teori dan Terapan. Yogyakarta: D&H Pro Media.

Winarsunu, T. (2008). Psikologi Keselamatan Kerja. Malang: UMM Press.

Wiramihardja, S. A. (2004). Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.

Wiramihardja, S. A. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.


(1)

106

pembawaan SPG itu sendiri, dan dapat memenuhi dorongan SPG untuk mengaktualisasikan dirinya.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. Hal ini disebabkan fungsi sikap sebagai bentuk pemahaman mereka terhadap perilaku pelecehan seksual dalam rangka penyesuaian sosial sekaligus cara mereka mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki serta bentuk pertahanan diri, sehingga sikap tersebut tidak dapat menentukan apakah SPG akan memiliki masalah kesehatan mental atau tidak. Sikap positif SPG terhadap perilaku pelecehan seksual tidak menjamin SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental, begitu pula sikap negatif tidak menentukan SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental. 5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi

perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, antara lain gaji, lingkungan kerja, dan beban kerja.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mencoba memberikan saran kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Kepada SPG dan calon SPG diharapkan mengetahui dan memahami apa saja tugas, kewajiban, beban kerja, dan resiko yang akan dihadapi


(2)

107

saat bekerja sebagai SPG, termasuk perilaku pelecehan seksual yang mungkin dapat diterima SPG di lingkungan kerja terutama dari pelanggan pria. Dengan mengetahui resiko yang akan dihadapi, SPG dan calon SPG akan lebih siap dalam menghadapi pelanggan dan mampu mencegah atau menghindari perilaku pelecehan seksual tersebut. Sehingga SPG dan calon SPG dapat terhindar dari efek-efek negatif yang dapat ditimbulkan dari perilaku pelecehan seksual baik secara fisik, psikis seperti depresi dan stres pasca trauma, serta dapat pula mempengaruhi performa kerja SPG. Selain itu kepada SPG yang memiliki gangguan fisik karena kelelahan saat bekerja agar lebih menjaga kesehatannya dan dapat mempertimbangkan kembali apakah ketahanan fisik yang dimiliki masing-masing SPG tersebut sesuai dengan syarat minimal yang dibutuhkan SPG dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jika ternyata tidak sesuai, SPG tersebut disarankan untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Karena jika terus dipaksakan kesehatan para SPG tersebut akan semakin memburuk dan dapat berakibat fatal.

2. Kepada instansi atau perusahaan yang menggunakan jasa SPG maupun kepada agensi SPG diharapkan memberikan informasi, pengetahuan, dan pelatihan berkaitan dengan berbagai aspek yang akan dihadapi SPG di lingkungan kerjanya, termasuk bagaimana cara SPG menghadapi pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan seksual, serta perlunya pengawasan yang menyeluruh kepada SPG di lingkungan kerjanya


(3)

108

dalam rangka menjaga kesehatan dan keselamatan kerja SPG. Hal ini dapat mencegah terjadinya perilaku pelecehan seksual kepada SPG sekaligus menanamkan pemahaman kepada SPG bahwa perilaku pelecehan seksual merupakan perilaku negatif yang tidak boleh dibiarkan sampai menimpa diri SPG.

3. Dan kepada peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian serupa guna menggunakan pendekatan mix methode, sehingga terdapat pendekatan kualitatif untuk memperdalam hasil penelitian dan mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual serta bagaimana pengaruh sikap tersebut terhadap kesehatan mental dan kepuasan kerja SPG. Peneliti selanjutnya juga diharapkan untuk memperluas populasi SPG yang diteliti tidak hanya di kota Bandung dan menambah jumlah sampel sehingga hasil penelitian lebih representatif dan peneliti dapat membandingkan hasil yang didapat dari tiap daerah yang berbeda untuk melihat apakah faktor geografis, budaya dan berbagai faktor lainnya dapat mempengaruhi hasil penelitian.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (1999). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, R. A. & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial Jilid Satu. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga.

Budiarti, I. (2009). Stop Sexual Harassment. [Online]. Tersedia: http://unionism. wordpress.com/2009/02/06/stop-sexual-harassment-and-violence-at-work/ (9 Maret 2011).

Dayaksini, T. & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Dharma, W. S. (2009). Pelecehan Seksual Pada Wanita di Tempat Kerja. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. [Online]. Tersedia: http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/Atik el_10503203.pdf (23 Februari 2011).

Derogatis, L. R., Lipman, R. S., Rickels, K., Uhlenhuth, E. H., & Covi, L. (2001).

The Hopkins Symptom Checklist (HSCL): A Self-Report Symptom Inventory. Behavioral Science. USA: American Psychiatrics Press.

Eagly, A. H. & Chaiken, S. (1993). The Psychological of Attitudes. Florida: HBJ. Field, A. (2000). Discovering Statistic Using SPSS for Windows. London: SAGE

Publications Ltd.

Fitriana, E. (2008). Pengaruh Gaya Busana Sales Promotions Girl Rokok Amild Terhadap Pengambilan Keputusan Membeli Produk (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang).

Undergraduate Thesis, University of Muhammadiyah Malang.

G12. (2005). Ditahan, Diduga Terlibat Pelecehan Terhadap Seorang SPG. [Online]. Tersedia: http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/25/pan04 .htm (9 Maret 2011).


(5)

Hadi, M. S. (2010). Tren Pelecehan Di Tempat Kerja Meningkat. [Online]. Tersedia: http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/23/brk,201011 23-293940,id.html (23 Februari 2011).

Hariandja, M. T. E. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Grasindo.

Hasibuan, M. S. P. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Ihsan, H. (2009). Metode Skala Psikologi. Diktat Perkuliahan Pada Jurusan Psikologi FIP UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kampung, J. (2011). Apa dan Tugas Sales Promotion Girl. [Online]. Tersedia:

http://jawarakampung.blogspot.com/2011/06/apa-dan-tugas-sales-promotion-girls.html (21 Juni 2011).

Latipun. (2010). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.

Mathis, R. L. & Jackson, J. H. (2001). Managemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Salemba Emban Patria.

Matlin, R. (1987). Psychology of Life Span. 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Inc.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press. Nielsen, M. B., Bjørkelo, B., Notelaers, G. & Einarsen, S. (2009). Sexual

Harassment: Prevalence, Outcomes, and Gender Differences Assessed by Three Different Estimation Methods. Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma. UK: Routledge Taylor & Francis Group, LLC.

Nielsen, M. B. & Einarsen, S. (2012). Prospective Relationships Between Workplace Sexual Harassment and Psychological Distress. UK: Oxford University Press.


(6)

Putra, R. A. W. (2007). Hubungan Antara Sikap Terhadap Pelecehan Seksual Di

Tempat Kerja Dengan Keterlibatan Kerja Pada SPG. Undergraduate

Thesis, University of Muhammadiyah Malang.

Reksoatmodjo, T. N. (2007). Statistika Untuk Psikologi dan Pendidikan. Bandung: Refika Aditama

Sarwono, J. Statistik Itu Mudah: Panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Strand, B. H., Dalgard, O. S., Tambs, K. & Rognerud, M. (2002). Measuring The Mental Health Status of The Norwegian Population: A Comparison of The Instruments SCL-25, SCL-10, SCL-5 and MHI-5 (SF-36). UK: Routledge Taylor & Francis Group, LLC.

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Suranto, A. & Subandi, A. (1998). Wanita yang Menentang Kodrat. Jakarta: Erlangga.

Suryabrata, S. (2005). Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Suyono, H. (2008). Pengantar Psikologi Sosial 1 – Teori dan Terapan. Yogyakarta: D&H Pro Media.

Winarsunu, T. (2008). Psikologi Keselamatan Kerja. Malang: UMM Press.

Wiramihardja, S. A. (2004). Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.

Wiramihardja, S. A. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.