PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA (1945-1949)

  

PERJUANGAN SENIMAN LUKIS

PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA

(1945-1949)

  

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

  

Oleh:

LASARUS

NIM: 014314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

  

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  

PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK

DI YOGYAKARTA

(1945-1949)

  

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

  

Oleh:

LASARUS

NIM: 014314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

  

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  

PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan kepada yang tercinta Ibu, Bapak Abang, Kakak dan Adik-ku. Terima kasih atas dukungan dan doanya.

  

MOTTO

Sesuatu tidak ada yang mudah

Tetapi tidak ada yang tidak mungkin

(Napoleon Bonaparte)

  

ABSTRAK

PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI

YOGYAKARTA (1945-1949)

  Oleh Lasarus

  014314002 Skripsi yang berjudul Perjuangan Seniman Lukis Pada Masa Revolusi

  Fisik Di Yogyakarta (1945-1949) ini bertujuan untuk mengetahui tentang sejarah perjuangan seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta tahun 1945- 1949. Dalam skripsi ini ada tiga permasalahan yang akan dibahas, yaitu:1. Mengapa seniman lukis melakukan perjuangan pada masa revolusi fisik?; 2. Bagaimana peran seniman seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta?;

  3. Apa pengaruh karya seniman lukis bagi perjuangan masyarakat pada masa revolusi fisik? Metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini mencakup: pengumpulan sumber (heuristic), kritik sumber, analisis sumber dan penulisan. Pendekatan penelitian yang digunakan ada dua, yaitu; pendekatan sejarah, sosiologi dan politik. Teori yang digunakan mencakup teori tentang Negara, pemerintahan, kekuasaan, militer dan kepemimpinan.

  Seniman, khususnya seniman lukis merupakan sekelompok orang yang memiliki daya kreatif dalam menuangkan idé-idenya dalam bentuk karya yang disalurkan diatas media berupa kanvas dan cat. Seniman lukis pada masa revolusi fisik juga memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan, walaupun cara yang digunakan tidak seperti orang kebanyakkan yaitu dengan angkat senjata dan tidak menutup kemungkinan ada juga dari mereka yang mengangkat senjata dan turun ke garis depan. Seniman lukis berperan serta dengan menghasilkan karya-karya yang memiliki pengaruh terhadap membangkitkan semangat dan rasa nasionalis yang tinggi bagi masyarakat maupun pejuang yang melihat hasil karya yang dihasilkan pada masa revolusi fisik 1945-1949.

  

ABSTRAC

PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI

YOGYAKARTA (1945-1949)

  Oleh Lasarus

  014314002 The purpose of this thesis writing is to revealing the history of the art painting artist during the physical revolution in Yogyakarta (1945-1949). In this thesis there will be three topics which going be discussed, which is: 1. Why did the art painting artist’s struggled during the physical revolution?; 2. How did the art painting artist took their vole during the physical revolution in Yogyakarta?; 3. What is the influence of the art painting artist’s work of art to words the people’s struggle during the physical revolution period?

  Historical methods which used on this: observation containing, reason in choosing the topic, source collection, source critics, source analysis and write. Research approach which going to be use in this thesis by two approach that is historical approach, sociologis and politic. There are theory of state, government, power, military and leadership.

  Artist’s, especially in art painting is a group of person who has a creative talent in explored their ideas in their work of art which contributed in a media which contain of canvas and paint. Art painting artist’s during the physical revolution also have a great vole in defending the nation’s independence, although they choose a difeerent path which is done by several freedom fighter on those time, which is by guns and weapons and its not limit the possibility that there is one of the artists who also wield a gun and fight in the frontline. The art painting artists have a great vole in producing art work which has an influence to resurrect the spirit and nationalism both to the society and the freedom fighter who saw their art work produced in the physical revolution era during the year 1945-1949.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas kasih dan penyertaan-Nya, tugas ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul “PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA (1945-1949)”, skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.

  Bapak Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M.Hum., selaku pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

  2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, selaku ketua jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma.

  3. Bapak Drs. Purwanto, M.a., selaku pembimbing Akademik Jurusan Ilmu Sejarah, yang telah banyak membantu, memberi masukan dan pengarahan kepada penulis.

  4. Semua Dosen Ilmu Sejarah yang sudah memberikan ilmu selama menjalankan studi di Universitas Sanata Dharma.

  5. Seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas buku- bukunya, sehingga dapat membantu menyelesaikan skripsi ini.

  6. Teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah angkatan 2001: Hendry, Tato, Gagak, Krisna. W, Krisna. Y, Eno, Maryanto, Ajeng, Riska, Lina, Erna, Edy, Eka, Bertha, Eko dan semua teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah.

  7. Teman-teman Rajawali: Anton (Alm), Yus, Yadi, Budi, Ucok, Iik, Lipen, Bambunk, Anggoro, Tri, dan Hanu, serta penerbitan Lingga Pustaka.

  8. Teman-teman kos: Toyib, Pak De, Ilot, Icak, Agung, Jefry, De-de, Banyong, Bang Tarto dan Hafen.

  Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis tetap berharap semoga tulisan sederhana ini dapat dipergunakan sebagai salah-satu khasanah pelengkap penulisan sejarah.

  Penulis

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL........................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... v ABSTRAK ......................................................................................................vi ABSTRACT................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................. viii DAFTAR ISI...................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii

  BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1 B. Rumusan Masalah..................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian .................................................................... 5 E. Kajian Pustaka........................................................................... 5 F. Landasan Teori.......................................................................... 7 G. Metode Penelitian .................................................................... 10 H. Sistematika Penulisan .............................................................. 12 BAB II KEBERADAAN SENIMAN LUKIS SEBELUM REVOLUSI..... 13 BAB III SITUASI YOGYAKARTA SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN......................................................................................... 22 A. Situasi Yogyakarta Pada Masa Awal Proklamasi .................... 22 B. Kedatangan Tentara Sekutu Dan NICA................................... 29 BAB IV KETERLIBATAN SENIMAN LUKIS DALAM MEMPERTAHANKAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945.................... 33

  A.

  Coretan-Coretan Perjuangan .................................................... 34 B. Poster-Poster Perjuangan ......................................................... 40 C. Lukisan Perjuangan.................................................................. 43

  BAB V DAMPAK KARYA-KARYA SENIMAN LUKIS TERHADAP PERJUANGAN KEMERDEKAAN.............................................................. 56 BAB VI KESIMPULAN .............................................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 69

  DAFTAR GAMBAR

  Gambar.4.1. Coretan Dinding ........................................................................ 35 Gambar.4.2.Coretan dinding .......................................................................... 36 Gambar.4.3.Coretan Dinding ......................................................................... 36 Gambar.4.4.Coretan Gerbong Kereta............................................................. 37 Gambar 4.5.Coretan Dinding ......................................................................... 38 Gambar.4.6.Coretan Dinding ......................................................................... 38 Gambar.4.7.Poster Perjuangan....................................................................... 41 Gambar.4.8. Moh. Toha., Kapal Terbang Belanda Melingkari Yogyakarta. 48 Gambar.4.9. Sri Suwarno., Suasana Lenggang Kota Yogyakarta ................. 49 Gambar.4.10. Moh. Toha., Pesawat Belanda Menerjunkan Tentara Payung 50 Gambar.4.11. Moh. Toha., Kendaraan di bumi hangus di Lempuyangan ..... 51 Gambar.4.12. Moh. Toha., Iring-iringan penduduk mengungsi ke luar kota 52 Gambar.4.13. Sri Suwarno., Pos Penjagaan................................................... 53 Gambar.4.14..Moh. Toha.,Presiden diasingkan diasingkan ke Sumatera...... 54 Gambar.5.1. Plakat untuk pembinaan kalangan pejuang ............................... 60 Gambar.5.2. Plakat untuk pembinaan wilayah............................................... 61 Gambar.5.3. Plakat untuk menjawab provokasi lawan .................................. 63

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejarah Indonesia pada Periode Perang Kemerdekaan atau Revolusi Fisik

  (1945-1949), merupakan suatu periode yang sangat penting dan menentukan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru demi persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil terlihat membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II. Untuk yang pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan dan berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Hal ini terbukti dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

  Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadilah suatu kesibukan yang sangat rahasia dan hati-hati di kantor berita “Domei” Jakarta, di mana beberapa orang petugas sedang berusaha agar berita Proklamasi itu dapat disiarkan ke seluruh penjuru tanah airBerita Proklamasi ini ternyata berhasil diterima oleh kantor berita “Domei” Yogyakarta, yang pada waktu itu bertempat di Gedung Perpustakaan

  1 Negara pada tanggal 17 Agustus 1945, hari jumat jam 12.00 siang.

1 Tashadi, Sejarah Revolusi kemerdekaan (1945-1949) di DIY,

  Pada mulanya berita Proklamasi yang sangat menggembirakan dan sangat penting itu akan segera disiarkan, tetapi Jepang yang masih menduduki Yogyakarta melarang untuk penyiaran itu. Akan tetapi karena berita Proklamasi tersebut sudah diterima para petugas dan para wartawan kantor berita Domei yang terdiri dari bangsa Indonesia yang berjiwa Nasionalis, maka secara sembunyi- sembunyi dari mulut ke mulut akhirnya dapat disebarluaskan, terutama karena pada waktu itu adalah hari jumat di mana bertepatan dengan umat Islam menunaikan ibadahnya di masjid, maka kesempatan baik ini dapat dimanfaatkan oleh para wartawan berita Domei dan berhasil menyebarluaskannya ke Masjid

  2 Besar (Alun-Alun Utara) dan Masjid Pakualaman.

  Dengan tersiarnya berita Proklamasi kemerdekaan ini, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berisi ucapan selamat atas berdirinya Negara Republik

  3 Indonesia dan terpilihnya mereka berdua menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

  Peristiwa kemerdekaan tersebut ternyata tidak mengalami jalan yang mulus, dikarenakan pada pertengahan bulan September 1945 datang pasukan sekutu dan tentara NICA yang mulai melakukan kerusuhan, teror dan pembunuhan terhadap para republikan. Mereka (sekutu dan NICA) menganggap masih memiliki kepentingan atas Indonesia dan akan segera memulihkan suatu rezim kolonial yang menurut keyakinan telah mereka bangun selama 350 tahun.

2 Ibid.,

  3 Dengan demikian akan mengancam jalannya roda pemerintahan terganggu dan Ibukota Republik Indonesia terancam.

  Berdasarkan kondisi yang tidak memungkinkan Ibukota Jakarta untuk menjalankan aktifitas pemerintahan, maka atas perhatian pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pemimpin-pemimpin RI itu rupanya mendorong Presiden Sukarno dan Perdana Mentri Syahrir dalam sidang kabinet pada tanggal

  4 3 Januari 1946 memutuskan untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta.

  Semangat revolusi ini juga terlihat dalam jiwa para seniman-seniman dan wartawan Indonesia untuk turut serta berpartisipasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara dan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Seperti lahirnya generasi sastrawan yang dinamakan Angkatan 45, di antara mereka adalah penyair Chairil Anwar, penulis prosa Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Mochtar Lubis. Seniman musik yang tampil dengan gayanya sendiri yaitu dengan menciptakan lagu-lagu perjuangan yang penuh semangat heroisme, seperti: C. Simanjuntak menciptakan lagu “Maju Tak Gentar, Tumpah Darahku”, Ibu Sud tampil dengan lagu “Berkibarlah Benderaku”, L.

  Manik dengan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, Ismail Marzuki dengan lagu “Halo- Halo Bandung dan Sepasang Mata Bola”, dan Kusbini dengan lagu “Padamu Negeri”. Seniman lukis modern juga menjadi dewasa pada masa revolusi ketika seniman-seniman seperti Affandi dan sudjojono tidak hanya menangkap semangat

4 Tashadi, Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa Yogyakarta , Jakarta: Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan RI.

  revolusi di dalam lukisan mereka tetapi juga memberi dukungan secara lebih langsung dengan cara membuat poster-poster anti Belanda.

  Pada khususnya seni lukis ini dapat dirasakan juga semangat yang di tampilkan oleh anak-anak asuh Dullah yang dengan beraninya menggambar walau situasi Yogyakarta pada masa itu sedang galau. Anak-anak yang rata-rata berusia belasan tahun itu sudah dapat melihat realita yang terjadi dan dituangkan dalam bentuk gambar, dimana gambar tersebut dapat menjadi saksi bisu yang dapat menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.

B. Perumusan masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:

1. Mengapa seniman lukis melakukan perjuangan pada masa revolusi fisik? 2.

  Bagaimana peran seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta? 3. Apa pengaruh karya seniman lukis terhadap perjuangan pada masa revolusi fisik ?

  C. Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mendeskripsi dan menganalisis apa yang mendasari seniman lukis di Yogyakarta ikut serta berjuang pada masa revolusi fisik (1945-1949).

  2. Mendeskripsi dan menganalisis peran seniman lukis di Yogyakarta pada masa revolusi fisik (1945-1949).

  3. Mendeskripsi dan menganalisis pengaruh pada hasil karya bagi seniman lukis dan masyarakat.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para peneliti dan pemerhati sejarah seni ,seni lukis di Indonesia.

  2. Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan serta informasi tentang peran seniman dalam perang kemerdekaan.

  E. Kajian Pustaka

  Kajian tentang revolusi fisik (1945-1949) di Yogyakarta telah banyak ditulis, namun masih sedikit yang membahas mengenai peranan seniman lukis pada masa revolusi, salah satunya adalah, buku yang berjudul “Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa Yogyakarta,” diterbitkan oleh Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan RI di Jakarta, tahun 1966. Buku ini berisi tentang situasi Yogyakarta pada awal kemerdekaan tahun 1945, kemudian disusul dengan kedatangan Sekutu dan Belanda serta pindahnya Ibukota RI ke Yogyakarta tahun 1946. Hal ini menyebabkan para seniman termasuk pelukis yang tersebar di beberapa kota untuk pindah ke Yogyakarta dengan alasan keamanan. Buku ini masih terlalu umum karena menulis peran seniman secara keseluruhan, seperti seniman musik, teater, film dan lukis. Yang ingin dilihat adalah seniman lukis secara satu-kesatuan yang hasil karyanya dapat menjadi sumber sejarah.

  Kedua, buku yang berjudul “Menguak Luka Masyarakat”, buku ini ditulis oleh Brita L. Miklouha Maklai. Buku ini berisi tentang gambaran wujud seni modern Indonesia, khususnya perkembangan setelah tahun 1966 dalam kerangka sosial-politik. Di mana keberadaan seniman digunakan untuk kepentingan pihak penguasa, jadi kebebasan berekspresi para seniman telah dimatikan oleh para penguasa pada masa itu.Buku ini terlalu banyak bercerita tentang seniman setelah tahun 1966, beserta aliran-aliran dan gaya yang dianut oleh para seniman pada masa itu, yang ingin dilihat penulis adalah peristiwa pada tahun 1945-1949 masih sedikit sekali referensinya.

  Ketiga, buku yang berjudul ”Affandi 70 Tahun”, diterbitkan oleh Balai Kesenian Jakarta, tahun 1978. Buku ini membahas tentang biografi Affandi, dimana awal perjalanan karir serta kepindahannya ke Yogyakarta pada tahun 1946 yang banyak menghasilkan karya-karya yang berbau heroik dan bersifat perjuangan.Buku ini hanya mengisahkan salah satu tokoh seniman lukis saja yang hidup di zamannya, sehingga teman-teman seangkatan masih kurang terekspos.

  Pada tulisan ini, yang dilihat adalah rekaman peristiwa revolusi di Yogyakarta dari perjuangan seniman lukis, yang berjuang melalui gaya dan kreativitasnya sendiri dari orang-orang yang terjun langsung di masa revolusi.

F. Landasan Teori

  Istilah seni, secara etimologi diduga berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya sebagai penyembahan, pelayanan dan pemberian. Menurut The Liang Gie, ada beberapa pengertian seni yang dapat diungkap. Pertama; seni dalam arti yang paling mendasar, adalah suatu kemahiran atau kemampuan. Kedua; seni adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar dan melalui perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu, menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayati kepada orang lain, sehingga mereka juga merasakan apa yang dirasakan oleh pencipta karya. Ketiga; seni adalah suatu kegiatan manusia dalam menjelajahi dan menciptakan realita baru berdasarkan penglihatan yang irasional, sembari menyajikan realita itu secara simbolis atau kiasan seperti kebulatan dunia kecil

  5 yang mencerminkan kebulatan dunia besar.

  Dalam menghasilkan karya seni ini, tidak terlepas dari peran seniman yang merupakan makhluk yang memiliki kelebihan kehalusan jiwa yang tak tersamai dengan orang awam dalam menikmati dan menciptakan keindahan. Hal ini mengacu kepada seniman lukis, yang dikenal secara umum melalui sapuan kuas dengan cat minyak yang disapukan pada media kanvas dan cat air pada media kertas.

  Seniman lukis itu sendiri dalam menciptakan suatu karya tentu tidak terlepas dari lingkungan sekitar dan dan kehidupan sosialnya sebagai sumber inspirasi untuk mengeksplorasikan ide-idenya berdasarkan gambaran inderawi maupun khayali. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari teori kontekstual yang melihat seni berkaitan dengan keadaan dan fakta-fakta yang ada pada masyarakat

  6 dan lingkungannya.

  Hal ini menggambarkan keterkaitan dengan seniman lukis di Yogyakarta pada masa revolusi fisik (1945-1949), dimana para seniman pada masa itu melukis disaat keadaan sedang bergejolak dan berhasil merekam berbagai peristiwa berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.

  Pada tahun 1945-1949, Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya dimasuki oleh pihak asing dengan sengaja untuk kembali berkuasa dimana secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan tersebut, maka kemampuan untuk mengintimidasi yang lemah dengan cara memperkuat aparatur penindasan dipandang sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan.

  Dalam hubungan antar bangsa, maka kekuasaan ini menjadi Coersive

  

Power ( kekerasan ) di mana kekuasaan yang didapat oleh salah satu pihak diperoleh melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan. Hal ini yang terlihat pada masa-masa penjajahan di Indonesia, sampai dengan dikumandangkannya kemerdekaan negara Republik Indonesia masih saja ada pihak asing yang ingin menguasai kembali.

  Keadaan yang tertekan seperti itu menyebabkan sebuah negara yang ingin dikuasai melakukan perlawanan yang lebih, karena ada rasa untuk memperoleh kembali miliknya yang telah hilang, oleh karena rasa yang ingin dicapai telah kuat maka perubahan tersebut dilakukan secara cepat dan mendadak atau yang disebut dengan revolusi.

  Oleh sebab itu mengapa para seniman ikut berjuang bersama dengan para pejuang lainnya, karena ada rasa ingin mempertahankan kemerdekaan itu sendiri semenjak masuknya kekuatan asing yaitu NICA dan Sekutunya yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Peristiwa ini berlangsung sejak tahun 1945-1949, yang dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai peristiwa Revolusi Fisik. Ketika Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, kota ini menjadi pusat seniman-seniman revolusioner karena tidak sedikit dari mereka ikut bergabung angkat senjata dengan pasukan gerilyawan lainnya. Seniman lebih mengandalkan kemampuan serta kreatifitas yang dimiliki oleh masing-masing seniman sesuai dengan bidang keahliannya. Seniman lukis sendiri secara aktif turut serta menyumbangkan ide-ide lewat cat dan kanvas untuk menggambarkan hal-hal yang berbau perjuangan baik berupa poster-poster, maupun lukisan yang digambarkan langsung di lapangan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada masa itu.

  Adanya perasaan senasib antara seniman, pejuang dan masyarakat luas mengikatkan kelompok-kelompok ini pada kesadaran kolektif, yaitu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasan kelompok yang bersifat mengikat. Kesadaran ini terbentuk dari pengalaman langsung, ketika dihadapkan pada pengaruh luar yang mengancam dan cenderung ingin menguasai, sehingga muncullah kesadaran untuk membela dan mempertahankan nilai-nilai yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat.

G. Metode Penelitian

  Metode penelitian sejarah merupakan suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan penggalan masa lampau, berdasar data yang diperoleh dengan menempuh proses penulisan atau historiografi. Penelitian yang digunakan di sini mempunyai mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pengumpulan Sumber Sumber yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan di atas adalah sumber tertulis yang berupa buku, majalah, surat kabar dan dokumen lainnya. Sumber tertulis tersebut diperoleh melalui perpustakaan, di samping itu sumber lisan juga digunakan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

  2. Kritik Sumber Kritik sumber merupakan tahap penelitian sejarah setelah pengumpulan data. Kritik sumber bertujuan untuk mengetahui kreadibilitas dan otensitas sumber. Oleh kerena itu dapat dikatakan bahwa kritik sumber adalah uji terhadap data penelitian. Kritik sumber dalam penelitian sejarah merupakan langkah yang harus dilakukan untuk menghindari adanya kepalsuan suatu sumber. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan sumber yang mendekati kebenaran adalah kritik intern dengan memperbandingkan sumber. Dalam hal ini sumber yang diperbandingkan adalah sumber yang berupa buku, majalah dan surat kabar diperbandingkan supaya diketahui kebenarannya.

  3. Analisis Sumber Analisis sumber merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan dalam suatu penelitian. Hasil analisis akan menunjukkan tingkat keberhasilan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini data akan ditempatkan secermat mungkin supaya penelitian bisa mendekati keadaan yang sebenarnya. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu mengurangi subyektivitas yang biasa muncul dalam sebuah historiografi sejarah dalam arti objektif (peristiwa) yang diamati dan dimasukkan ke pikiran subjek tidak akan murni, tetapi diberi warna sesuai kacamata

  7 subjek.

  4. Penulisan Sejarah Penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari suatu penelitian. Penulisan sejarah dilakukan secara kronologis dari peristiwa yang terjadi, penulisan sejarah tersebut telah dijabarkan dalam sistematika penulisan.

7 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,

H. Sistematika Penulisan

  Tulisan ini terdiri dari beberapa bab yang akan menjelaskan permasalahan- permasalahan pokok. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, maka ditampilka sistematika penulisan sebagai berikut:

  Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistimatika penulisan.

  Bab II akan menguraikan tentang gambaran awal tentang keberadaan seniman lukis sebelum proklamasi kemerdekaan. Bab III akan menguraikan tentang situasi Yogyakarta pada masa awal Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kedatangan NICA bersama sekutunya. Bab IV akan menguraikan tentang keterlibatan seniman lukis dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, dimana lebih dititikberatkan kepada tindakan nyata dari para seniman lukis berupa karya yang bernilai heroisme dan nilai dokumentasi yang sangat berharga bagi perjuangan.

  Bab V akan menguraikan tentang dampak karya seniman lukis terhadap perjuangan kemerdekaan, di mana akan diungkapkan sejauh mana karya para seniman lukis mampu mambangkitkan semangat juang rakyat dan para pejuang dengan melihat dan membaca karya lukis dan plakat yang bernilai heroisme.

  Bab VI, penutup, berisi uraian tentang kesimpulan dan saran.

BAB II KEBERADAAN SENIMAN LUKIS SEBELUM REVOLUSI Hubungan awal antara kepulauan Indonesia dan Eropa, terjadi melalui sebuah maskapai dagang bernama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Dimulai pada awal abad ke-17, kemudian VOC dianbil alih oleh pemerintahan Belanda yang giat menaklukkan nusantara menjadi negara jajahan. Selama Indonesia menjadi negara jajahan tidak ada sama sekali seni tradisional yang

  mendapat pengaruh barat secara langsung. Satu-satunya contoh dari kalangan seniman Indonesia yang sempat merasakan teknik melukis Eropa , adalah Raden Saleh Syarif Bustaman.

  Raden Saleh dikenal sebagai orang pribumi pertama yang mempelajari teknik melukis Eropa. Sebagai seorang yang berasal dari kalangan bangsawan, dapat dengan mudah ia untuk mengenyam dunia pendidikkan sampai ke negeri Belanda.

  Hidup di Hindia adalah hidup yang berbeda dengan di istana-istana Eropa. Ia tidak menemukan semangat saling menghargai di kalangan orang-orang Belanda yang tinggal di koloninya, yang perhatiannya berpusar pada kopi, gula dan pabrik. Tak seorangpun teman-temannya dari penduduk pribumi dapat masuk ke tengah-tengah kehidupan dunia para seniman gemerlap Eropa dan kalangan istana dan Raden Saleh merupakan salah seorang dari mereka yang mengalami kemiskinan kebudayaan yang dihasilkan sistem kolonial. Ia terperangkap di antara dua dunia, dimana ia tak mampu hadir sepenuhnya.

  Keterasingan dari dua dunia tersebut, membuatnya tak pernah menegakan alirannya sendiri. Tak seorangpun dari mereka yang sezaman dengannya dapat menyamai atau melebihi karya-karyanya. Namun Indonesia memandang pencapaian Raden Saleh sebagai sumbangan berharga bagi pembentukan identitas modern dari seni Indonesia yang mulai terbentuk melalui kebangkitan nasional. Ia dianggap sebagai jembatan kecil antara Jawa tradisional dan unsur-unsur Barat yang merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi pembentukkan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945.

  Meluasnya Nasionalisme di awal tahun 1900 secara menyeluruh meliputi seluruh Indonesia, dapat tersalurkan dengan adanya politik kolonial yang ingin memperhatikan kesejahteraan pribumi melalui Politik Etis yang terbentuk tahun 1901, dimana dunia pendidikan mulai diperhatikan sehingga anak-anak pribumi dapat mengenyam dunia pendidikan.

  Melalui Politik Etis ini mereka mengenal berbagai ide Barat, seperti Liberalisme, Demokrasi, hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan sipil.

  Sehingga makin banyaklah kaum terpelajar Indonesia yang memiliki kesadaran tinggi akan harkat martabat bangsa dan rasa cinta tanah air. Untuk menanamkan rasa tersebut, timbul kesadaran dari manusia Indonesia akan arti pentingnya pendidikkan yang meluas bagi seluruh rakyat pribumi yang belum terjangkau akan dunia tersebut. Salah satunya adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara tahun 1921 di Yogyakarta. Terbentuknya sekolah partikelir kaum nasionalis yang berbudaya Jawa ini, dengan giat menggalakan kepribadian dan pendidikkan kaum pribumi, dimana salah satunya pendidikan kesenian mendapat tempat utama dalam kurikulum. Sebagai hasilnya, kendati akses sejumlah anak pada dunia pendidikkan dasar relatif masih rendah, namun lapisan luas dari penduduk pribumi mulai menerima sejumlah latihan kesenian. Walau tidak ditemukannya sekolah khusus seni sampai pada masa Perang Dunia ke-II, guru-guru kesenian diambil dari keluaran sekolah guru dengan secercah pengetahuan mengenai kesenian, perkembangan ini cukup untuk menyadarkan orang betapa besarnya potensi kreativitas para seniman untuk merangsang banyak orang Indonesia baik dari kalangan nasionalis maupun bukan untuk melukis.

  Salah seorang pelukis muda yang berpendidikkan dari Taman Siswa, yaitu S. Soedjojono, mendirikan kelompok pelukis nasionalis pertama yang dinamakan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) tahun 1937, mengungkapkan bahwa kelahiran PERSAGI merupakan bagian dari kebangkitan Nasionalisme kebudayaan, dimana pernyataannya terungkap dalam pidatonya dibawah ini, yang menunjukkan bahwa kaitan antara nasionalisme radikal dan seni yang bersandar pada angan-angan ke sosialisme dan mencari kepribadian Indonesia, telah dan sedang ditempa.

  “…Pelukis tidak lagi hanya melukis gubuk-gubuk yang damai, gunung- gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin, sandal-sandal, pantolan dan jaket orang dijalanan. …Inilah kenyatan kita, sebab seni yang tinggi mutunya adalah karya yang didasari oleh kehidupan kita sehari-hari yang diolah oleh sang seniman

  8

  yang terbenam dan tercelup di dalamnya untuk kemudian mencipta.”

8 Brita. L.M., Menguak Luka Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1998, hal.

  11.

  Memasuki zaman Jepang di Indonesia merupakan wahana penempaan semangat bangsa dalam menyosong kemerdekaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Sedangkan Jepang ikut bagian dalam Perang Dunia Ke II, untuk mendapatkan dukungan dari pihak Indonesia, Jepang membentuk organisasi politik pertama yang disebut “Gerakan Tiga A”, yaitu Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon cahaya Asia. Akan tetapi gerakkan ini tidak mendapat sambutan massa seperti apa yang diharapkan oleh pihak Jepang.

  Kesadaran akan hal itu membawa Jepang merubah secara radikal garis politiknya, dengan berpaling pada pimpinan-pimpinan Nasional yang mereka rasa benar- benar memiliki dukungan nyata dari rakyat. Dengan latar belakang politik ini, pemerintah militer Jepang memutuskan untuk memunculkan tokoh-tokoh Nasionalis yang anti kolonial dan anti Imperialisme. Gerakkan Nasionalis Indonesia akan sangat membantu berhasilnya tujuan perang Jepang, sebab secara poitis Jepang terus menerus menanamkan harapan kepada bangsa Indonesia seolah-olah kemerdekaan bisa diperoleh. Sehingga pada tanggal 9 Maret 1943 didirikan PUTERA kepanjangan dari Pusat Tenaga Rakyat, dibawah kepemimpinan Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kiai Haji Mas Mansoer.

  PUTERA, merupakan suatu organisasi dari perkumpulan-perkumpulan politik maupun non politik pada jaman penjajahan Belanda, yang memusatkan perhatiannya pada segala potensi masyarakat Indonesia dalam membantu usaha- usaha pemerintahan militer Jepang. Keberadaannya semata-mata hanya ditujukan untuk membujuk kaum nasionalis, pemimpin dan para pelajar agar dapat menarik simpati massa.

  Keimin Bunka Syidosyo atau pusat kebudayaan yang terbentuk pada

  tanggal 1 April 1943, merupakan salah satu bagian dari tugas PUTERA yang mengurusi bidang kesenian. Terbentuknya badan ini memberikan kesempatan bagi perkembangan dunia kesenian dan seniman Indonesia sebagai wadah untuk berkreasi sesuai dengan bidangnya. Tujuan utama dibentuknya pusat kebudayaan ini adalah semata-mata untuk menghimpun para seniman dan budayawan serta mengarahkan mereka pada keperluan propaganda dan usaha peperangan Jepang.

  Sejak pemerintahan militer Jepang berkuasa di Indonesia, Jepang memberikan kesempatan bagi perkembangan dunia kesenian Indonesia. Untuk itu para seniman yang aktif pada masa ini dihimpun dalam sebuah badan yaitu

  

Keimin Bunka Syidosyo atau Pusat Kebudayaan. Badan ini mulai bekerja pada

  tanggal 1 April 1943, dengan berkedudukkan di Jakarta. Tujuan dari didirikannya Pusat Kebudayaan ini adalah untuk menghimpun para seniman dan budayawan serta mengarahkan mereka untuk keperluan propaganda dan usaha peperangan Jepang demi kepentingan mereka sendiri.

  Pusat kebudayaan ini mempunyai lima bidang, yaitu: Kesusasteraan, Musik atau Seni Suara, Sandiwara dan Tari, Film, Seni Lukis. Kepala pusat kebudayaan ini dijabat langsung oleh orang Jepang.

  Pemuda-pemuda seniman di zaman Jepang hanya menyuarakan kelompok kecil. Di bidang masing-masing, mereka harus mencari jalan sendiri dalam usaha memperoleh wawasan untuk dikembangkan sesuai dengan jiwa seni yang mengalir dalam diri mereka, karena tidak ada guru yang dapat dijadikan panutan serta merta diharapkan untuk belajar sendiri melalui bacaan dan diskusi teman antar sejawat. Di samping itu mereka terlihat pula dalam gerakan bangsa dan masyarakat ke arah mencapai Indonesia merdeka.

  Setelah tiga setengah tahun bangsa Indonesia mengalami penjajahan Jepang, maka dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, dipergunakan sebaik-baiknya oleh rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dengan menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

  Sambutan rakyat tentang proklamasi itu spontan dan luar biasa, tidak ketinggalan juga para seniman mengekspresikan sikap-sikapnya dengan memunculkan berbagai produk seni. Para pelukis mencoret-coret gerbong kereta api dengan slogan-slogan heroik, dinding-dinding toko atau bangunan ditulisi dengan cat minyak, seperti: “Merdeka Atau Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Once Free Forever Free” dan masih banyak lagi poster dengan coretan gambar karikatur.

  Seniman musik tampil dengan lagu-lagu heroik dan menggugah semangat perjuangan rakya, seperti: Satu Nusa Satu Bangsa, Halo-Halo Bandung, Sepasang Mata Bola, Sorak-Sorak Bergembira dan lain-lain.

  Bagi grup atau perkumpulan sandiwara atau teater dalam pementasannya membawa lakon-lakon perjuangan yang didukung oleh dekorasi atau tata lampu dan suara rentetetan bedil dan dentuman meriam, walaupun dengan alat yang sangat sederhana. Puisi-puisi perjuangan pun ditampilkan untuk menambah semangat para prajurit di medan laga.

  Ketika pasukan sekutu di bawah pimpinan Letnan Jendral Philip Christison mendaratkan pasukannya di Jakarta pada bulan September 1945, maka sejak itu keadaan di Jakarta mulai bergejolak dan situasi semakin tidak aman.

  Serdadu-serdadu NICA yang mengikuti rombongan Sekutu mulai melancarkan provokasi-provokasi dan teror, sehingga menimbulkan ketakutan terhadap rakyat.

  Suasana pun semakin panas, sebab sering terjadi pertempuran antara pemuda yang membantu satuan-satuan tentara laskar rakyat melawan serdadu-serdadu NICA.

  Meskipun tidak semua pemuda masuk ke dalam kesatuan tentara dan laskar rakyat, akan tetapi ada cara lain untuk turut berpartisipasi dalam berjuang menegakkan RI. Seniman-seniman yang bekerja di Pusat Kebudayaan membentuk Seniman Merdeka, anggotanya antar lain: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Suryo Sumanto, D Djajakusumo, S. Sudjojono, Basuki Resobowo, Sarifin, Rasjidi, Suhaimi, Rosihan Anwar dan Malidar Malik. Mereka dengan menggunakan truk milik bagian sandiwara pusat kebudayaan, berkeliling jakarta

  9 untuk membakar semangat rakyat untuk menentang kaum penjajah.

  Seniman Merdeka yang menyelenggarakan pentas keliling mengunjungi rakyat di berbagai bagian di Jakarta sering dikejar-kejar oleh serdadu NICA dan serdadu Gurkha yang merupakan bagian dari tentara Inggris (sekutu). Adakalanya daerah yang dikunjungi oleh kelompok Seniman Merdeka menjadi daerah

9 Rosihan Anwar., Seniman dan Wartawan Dalam Perjuangan (1942-

  

1950 ), Makalah seminar sejarah yang dselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan tertutup, karena di tempat tersebut berlangsung pertempuran. Seniman dalam aktifitasnya hanya mampu mengadakan kegiatan kurang lebih dua bulan. Hal ini disebabkan oleh keadaan keamanan di Ibukota yang tidak memungkinkan untuk menjalankan aktifitas. Cornel Simanjuntak misalnya, meninggalkan Seniman Merdeka untuk menggabungkan diri pada laskar rakyat yang berjuang di Tanah Tinggi. Seniman yang lain, menjelang akhir tahun 1945 dan awal 1946 banyak yang mengungsi ke daerah pedalaman seperti di Karawang-Cikampek atau Yogyakarta, sebagai akibat keadaaan Jakarta tidak aman dan berpindahnya

  10 ibukota pemerintahan ke Yogyakarta.

  Dengan kepindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta , para seniman termasuk pelukis tersebar di beberapa kota. Sudjojono yang mengungsi ke Madiun, mendirikan Seniman Indonesia Merdeka (SIM) yang di dalamnya terhimpun seniman sastra, musik, teater dan pelukis. Kemudian SIM pindah ke Solo dan seterusnya ke Yogyakarta dengan alasan sebagai pusat pemerintahan, sehingga pergerakan yang akan dilakukan lebih mudah dan terorganisir.

  Di Yogyakarta selain SIM juga ada perkumpulan pelukis seperti Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan ketuanya Jayeng Asmara dan anggotanya Sindusiworo, Indra Sugarda dan Prawito. Perkumpulan pelukis lainnya adalah Golongan Masyarakat dengan ketua Affandi, sekretaris Dullah dan bendahara Nurnaningsih. Ada juga Pelukis Rakyat dengan anggotanya Trubus, Hendra dan Affandi. Dengan demikian Yogyakarta selain sebagai pusat pemerintahan republik, juga merupakan pusat kegiatan seniman. Sultan

  10 Hamengku Buwono IX banyak sekali membantu kegiatan para seniman, salah satunya adalah digunakannya rumah Pakapalan di Alun-Alun Utara untuk studio dan segala aktifitas yang mendukung.

BAB III SITUASI YOGYAKARTA SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN Walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, bukan

  berarti bangsa Indonesia telah lepas begitu saja dari ancaman pihak asing. Masih ada kekuatan-kekuatan asing yang belum sepenuhnya merelakan kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti kuatnya pihak Jepang yang masih berada di Indonesia dan kedatangan pihak Sekutu dan NICA yang masih ingin menguasai Indonesia.

A. Situasi Yogyakarta Pada Masa Awal Proklamasi

  Setelah tiga setengah tahun bangsa Indonesia mengalami penjajahan Jepang, maka dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan berarti bangsa Indonesia telah bebas, akan tetapi masih harus berjuang menghadapi bahaya-bahaya dan tantangan besar terutama menghadapi kekuatan tentara Jepang yang masih serba lengkap.

  Jepang, berdasarkan syarat-syarat penyerahannya kepada Sekutu, berkewajiban untuk memelihara ketertiban umum sampai komando Sekutu untuk Asia Tenggara dapat mendaratkan pasukannya di Indonesia. Tentara Jepang menafsirkannya sebagai kewajiban dan tanggungjawab mereka untuk mempertahankankan status quo politik.

  Pihak Jepang tidak mau mengakui adanya kemerdekaan Indonesia dan lebih-lebih menyerahkan segala kekuasaannya kepada Republik Indonesia.

  Mereka hanya patuh dan taat pada perintah Kaisar yaitu menyerahkan Indonesia sebagai inventaris yang utuh dan lengkap kepada Laksamana Mounbatten SEAC (Inggris) dan kepada Jendral Blamey dari Australia. Sejalan dengan itu sekalipun para pembesar Jepang yang berkuasa di Yogyakarta sudah mengetahui adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia dan juga mengetahui bahwa rakyat Yogyakarta yang bagaikan tertekan kini melonjak bersemangat untuk merdeka.

  Pihak Jepang tetap bersitegang mempertahankan untuk mempertahankan kekuasaannya dan tetap menunggu instruksi dari Kaisar, untuk itulah mereka semakin memperkeras penjagaan-penjagaan dan masih tetap berusaha mempertahankan kantor-kantor, perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik dengan kekuatan senjata yang masih lengkap.

  Bagi bangsa Indonesia, penyerahan Jepang kepada Sekutu itu sama sekali tidak melemahkan perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan, karena semangat nasionalisme telah bulat. Kebulatan itu telah menghasilkan kemauan yang tinggi, yaitu kemerdekaan. Pada masa inilah dinyatakan sebagai tonggak dimulainya revolusi Indonesia.

  Ketika Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII selaku pimpinan daerah Yogyakarta menyambutnya dengan gembira dan mengirim kawat ucapan selamat kepada Sukarno dan Hatta yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI pada tanggal 18 Agustus 1945. Dua hari kemudian Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirim telegram ke Jakarta, bahwa

  11 dirinya siap berdiri di belakang Sukarno Hatta.

  Sukarno sebagai presiden RI meyambut hangat tindakan Sultan dan Paku Alam VIII, bahkan satu hari sesudah Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirim ucapan selamat, Presiden sudah mengeluarkan Piagam Penetapan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman

  12 sebagai bagian dari RI.

  Piagam Penetapan itu baru diserahkan pada tanggal 6 September 1945, sehari setelah dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, yang berisi tentang pernyataan bahwa Yogyakakarta adalah daerah Istimewa Negara RI dan urusan pemerintahan serta kekuasaan lainnya masing-masing dipegang Sultan Hamengku Buwono IX dan

  13 Paku Alam VIII dan langsung bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat RI.

  Sambutan rakyat terutama para pemuda terhadap proklamasi sangat bersemangat. Mereka menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan juga bermakna komando dan sekaligus merupakan perintah harian untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dari tangan pemerintahan tentara Jepang kepada bangsa Indonesia. Para pemuda itu membentuk kelompok-kelompok yang tergabung dalam perkumpulan pemuda beberapa kampung di Yogyakarta. Di antaranya ialah Angkatan Muda Pathook dengan pimpinannya Kusumo Sunjoyo, Angkatan Muda

  11 Tashadi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945) di DIY, Yogyakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan DIY, 1986, hlm. 56.

  12 Ibid.,

  13 Jagalan Paku Alaman dengan pimpinan Faridan, Angkatan Muda Jetis dengan pimpinannya Parmadi Joi, Angkatan Muda Gowongan dengan pimpinannya Wagiyono, Gabungan Sekolah Menengah Mataram (Gasemma), Barisan

  14 penjagaan Umum dan lain-lain.

  Amanat yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945, membuat massa pemuda dan massa rakyat semakin bersemangat dan berani untuk terus bergerak, yang sampai pada puncaknya yaitu massa rakyat dan pemuda berusaha menurunkan bendera “Hinomaru” dan menaikkan bendera “Merah Putih” di gedung “Tyookan Kantai” (sekarang Gedung Agung) yang terletak dijalan Malioboro. Gedung Tyookan Kantai ini merupakan istana Tyookan atau Gubernur dan sekarang digunakan sebagai gedung Negara atau gedung Agung, peristiwa ini dikenal dengan nama “Insiden Bendera di Tyookan Kantai”.

  Keterlibatan Polisi Istimewa (PI) dalam pengibaran bendera di Tyookan

  

Kantai menyebabkan Kepala Polisi dari Kooti Zimu Kyoku pada tanggal 22